BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Buras (Gallus) Sebagai hewan peliharaan, ayam mampu mengikuti ke mana manusia membawanya. Hewan ini sangat adaptif dan dapat dikatakan bisa hidup di sembarang tempat, asalkan tersedia makanan baginya, karena kebanyakan ayam peliharaan sudah kehilangan kemampuan terbang yang baik, mereka lebih banyak menghabiskan waktu di tanah atau kadang-kadang di pohon. Ayam buras yang ada kini masih menurunkan sifat-sifat asal nenek moyangnya, oleh karena itu varietas-verietas asal unggas hutan yang setengah liar ini dikenal dengan nama ayam kampung (Masjoer 1985). a. Asal – Usul Darwana (2003) berpendapat bahwa ayam-ayam piara berasal dari lebih dari satu spesies ayam hutan, tetapi ayam hutan merah merupakan moyang sebagian besar ayam piara yang ada sekarang. Selanjutnya Cahyono (1996) menyatakan bahwa nenek moyang ayam adalah ayam hutan (genus Gallus) yang terdiri dari Gallus gallus atau Gallus bankiva, Gallus sonnerati, Gallus lafayetti dan Gallus varius. Ayam lokal Indonesia merupakan hasil domestikasi ayam hutan merah (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius). Ayam hutan merah di Indonesia ada dua macam yaitu ayam hutan merah Sumatera (Gallus gallus gallus), dan ayam hutan merah Jawa (Gallus gallus javanicus). Hasil domestikasi ini secara umum disebut ayam buras. Ayam-ayam buras yang sekarang ini telah tersebar di berbagai wilayah Indonesia telah menjadi ayam-ayam buras dengan morfologi yang beraneka ragam (Mansjoer 1985). Martojo (1992) danWarwick, Astuti, dan Hardjosubroto (1995) menjelaskan bahwa sifat kuantitatif dipengaruhi oleh sejumlah besar pasang gen, yang masingmasing dapat berperan secara aditif, dominan dan epistatik dan bersama-sama dengan pengaruh lingkungan (non-genetik), dan tidak dapat dibedakan dengan jelas. b. Klasifikasi Taksonomi ayam kampung menurut Sarwono (2003) yaitu: c. Kingdom : Animalia Filum : Chordata, Subfilum : Vertebrata, Kelas : Aves, Subkelas : Neonithes, Superordo : Superordo, Ordo : Galiformers, Famili : Phasianidae, Genus : Gallus, Spesies : Gallus Domesticus. Ayam Buras (Gallus Domesticus) Ayam peliharaan berasal dari domestikasi ayam hutan merah (ayam bangkiwa, Gallus gallus) yang hidup di India. Namun demikian, pengujian molekular menunjukkan kemungkinan sumbangan plasma nutfah dari G. sonneratii, karena ayam hutan merah tidak memiliki sifat kulit warna kuning yang menjadi salah satu ciri ayam peliharaan. Ayam menunjukkan perbedaan morfologi di antara kedua tipe kelamin (dimorfisme seksual). Ayam jantan (jago, rooster) lebih atraktif, berukuran lebih besar, memiliki jalu panjang, berjengger lebih besar, dan bulu ekornya panjang menjuntai. Ayam betina (babon, hen) relatif kecil, berukuran kecil, jalu pendek atau nyaris tidak kelihatan, berjengger kecil, dan bulu ekor pendek. Perkelaminan ini diatur oleh sistem hormon. Apabila terjadi gangguan pada fungsi fisiologi tubuhnya, ayam betina dapat berganti kelamin menjadi jantan karena ayam dewasa masih memiliki ovotestis yang dorman dan sewaktu-waktu dapat aktif. d. Bulu Bulu ayam dewasa dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu : - Countour feather (bulu secara keseluruhan) - Plumules atau bulu halus di dekat kulit seperti rachis pendek - Filoplume atau bulu pendek, lentur dan rambutnya seperti rachis Hampir semua permukaan tubuh ayam ditumbuhi bulu dari daerah kepala , leher, dada, bahu, punggung, sayap, perut, paha, kaki dan ekor, kecuali di daerah paruh, mata dan kaki bagian bawah (ceker). Warna bulu ayam bervariasi tergantung dari jenis ayam, lokasi bulu di tubuh, dan jenis kelaminnya. Bulu ayam, lokasi bulu di tubuh, dan jenis kelaminnya. Bulu ayam memiliki beberapa fungsi yaitu untuk membantu menjaga suhu tubuh dan memberi perlindungan dari temperatur ekstrem, memberi perlindungan dari hujan, dan memberi perlindungan dari hewan pemangsa. e. Ciri dan Morfologi Ayam kampung berukuran kecil dan bentuknya agak ramping, berat badannya mencapai 1,4 kg pada umur 4 bulan, produksi telur mencapai 135 butir/tahun, jenis ini memiliki bulu warna putih, hitam, coklat, kuning kemerahan, kuning atau kombinasi dari warna-warna tersebut. pada jantan memiliki jengger yang bergerigi dan berdiri tegak, serta berukuran agak besar sedangkan betina berjengger kecil dan tebal, tegak serta berwarna merah cerah. warna kulit kuning pucat, kaki agak panjang dan kuat, ayam jenis ini banyak terdapat dipelsok tanah air (cahyono 2002). Ayam kampung tidak dapat dibedakan atas penghasil daging dan telur sebagaimana layaknya ayam ras umur empat bulan. Badan ayam kampung mirip dengan badan ayam ras petelur tipe medium umur dua setengah bulan, badan ayam kampung yang benar-benar telah dewasa dapat dilihat pada induk yang telah tiga kali mengeram, warna bulu tidak dapat diandalkan sebagai patokan baku, karena selalu dapat berubah. Misal induk warna coklat berbintik hitam dan jago berwarna kemerahan campur hitam tetapi anaknya berbulu putih atau campuran pada anak yang lain (Rasyaf, 2004). f. Penyebab Penyakit Beberapa penyebab penyakit menurut Darwana (2003) antara lain bentuk dan lokasi kandang yang tidak tepat, kebersihan kandang dan peralatan yang tidak terjaga, sirkulasi udara yang tidak lancar, kurangnya waktu pemanasan DOC, lantai kandang yang basah atau lembab sehingga kandungan amonia meningkat, penyebaran ayam yang tidak rata atau populasi yang terlalu padat, kurangnya sinar matahari yang masuk kedalam kandang, program vaksinasi. program vaksinasi yang tidak dijalankan secara benar serta pemberian pakan dan vitamin yang tidak tepat, hal tersebut yang menyebabkan terjangkitnya kutu khususnya Lipeurus caponis pada bagian ayam buras. B. KUTU SAYAP (Lipeurus caponis) Gambar.1.kutu genus Lipeurus caponis Lipeurus caponis bentuknya panjang dan langsing dengan ukuran 2 mm bentuk tubuhnya berwarna kehitam- hitaman (Gordon dan Jordan 1982). Lipeurus caponis merupakan spesies yang pemalas, karena berjalan sangat lamban dan hidup disepanjang serabut bulu. jalannya miring, telur berwarna keputihan, dan berjalan disepanjang serabut bulu bagian sayap. Morfologi Lipeurus caponis seperti yang terlihat pada gambar berikut ini : Gambar 2. Morfologi Kutu Sayap (Lipeurus caponis) Kutu Lipeurus caponis menyebar dibagian sayap primer ayam kampung. pada umumnya, kutu sayap pada ayam kampung berada di bagian ranting bulu yang berada disela-sela sayap ayam kampung. Struktur bulu yang dorsal pada ayam cenderung memiliki ranting bulu yang panjang, sehingga memungkingkinkan habitat Lipeurus caponis untuk hidup disela-sela bulu tersebut, sehingga secara tidak langsung kutu terhindar dari patukan ayam. kutu ini lebih sering menyerang ayam yang berusia tua dari pada yang muda, hal ini terjadi karena siklus hidup dan perkembangan kutu tidak terputus bila berada ditubuh inang yang tua. menurut Ameen-Babjee et al (1997), menyebutkan bahwa infestasi kutu lebih banyak ditemukan pada ayam yang berumur dua belas minggu dibandingkan pada ayam yang berumur satu minggu. a. Klasifikasi Soulsby (1982) mengemukakan kedalam ordo Phtiraptera dan membagikannya kedalam tiga subordo yaitu Mallophaga, siphunculata dan Rhincopthirina. Subordo Mallophaga dibagi lagi menjadi dua superfamili yaitu Ischnochera dan Abllicera. Shipuncullata disebut juga sebagai kutu penghisap darah, sedangkan rhincoptirina merupakan kutu gajah. Berikut pengelompokan kutu ayam berdasarkan Soulsby (1982) Filum : Athropoda Kelas : Insecta Ordo : Pthiraptera Subordo : Mallophaga Superfamili : Ishnocera Famili : Philopteridae Genus : Lipeurus Goniodes Goniocotes Superfamili : Amblycera Famili : Menoponidae Genus : Menopon Menachantus b. Ciri dan Morfologi Lebih dari 2500 spesies Mallophaga telah dikenal, sebagian besar merupakan ektoparasit unggas, antena bersegmen 3 sampai 5 kutu tidak menghisap darah, melainkan memakan bulu, rambut dan kerak-kerak epidermis. dikenal sebagai kutu penggigit tarsi bersegmen 1 sampai 2, kuku tunggal atau ganda ( Sigit et al. 1992) Kutu mengganggu ayam karena gigitannya. Kutu ayam memakan sisik atau kerak kulit, bulu dan kotoran kulit, kutu penggigit ini merupakan parasit permanen yang terdapat pada kutu ayam, tidak pernah meinggalkan tubuh inangnya kecuali untuk pindah ke ayam yang lain, terutama dari ayam tua ke ayam yang lebih muda (Sudaryani 2003). Kutu ayam berukuran kecil, tidak bersayap, berkaki enam, bertubuh pipih dan berkepala bulat, mereka meletakkan telur pada sayap dari inang, terutama pada dasar dari batang bulu. Sekali bertelur kutu dapat menghasilkan 50 hingga 300 butir. Beberapa jenis kutu dapat berada pada lokasi yang spesifik pada tubuh inang atau ada juga spesies lain yang ditemukan pada hampir keseluruhan tubuh inang seperti Chiken body lice. Keseluruhan siklus hidup kutu terjadi pada inang terutama pada bulu. unggas adalah inang yag spesifik dan tidak dapat berpindah pada manusia (Pickworth & Terresa 2005). Kutu merupakan serangga ektoparasit obligat, karena seluruh hidupnya berada dan tergantung pada tubuh inangnya oleh karena itu secara morfologi kutu ini sudah beradaptasi dengan cara hidupnya misalnya dengan tidak memiliki sayap, sebagian besar tidak merata, bentuk tubuh yang pipih dorsoventral, bagian tubuh disesuaikan untuk menusuk, menghisap atau mengunyah dan memiliki enam kaki yang kokoh dengan kuku yang besar, pada ujung tarsus dan tonjolan tibia utuk merayap dan mengurangi bulu atau rambut inangnya. Telur kutu berukuran 1-2 mm, berbentuk oval, berwarna putih dan pada jenis permukaan telur bercorak-corak dan dilengkapi dengan operkulum, telur kutu disebut Nits yang direkatkan pada bulu rambut inangnya. dengan semacam zat semen pada bagian memanjang telur, jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk kutu mencapai 10-300 butir selama hidupnya. telur menetas menjadi nimfa (kutu muda) setelah 5-18 hari tergantung jenis kutu, warna nimfa dan kutu dewasa keputih-putihan semakin tua umurnya semakin berwarna gelap (Hadi & Susi, 2000) Kutu dari genus Lipeurus mempunyai panjang sekitar 3 mm, berwarna abuabu gelap bisa terdapat pada bulu bagian sayap dan ekor (Gordon, 1977). Kutu ini bergerak lambat ditemukan dekat dengan kulit Lipeurus Caponis, kutu sayap, kutu ini lebih memilih tinggal dibagian sayap dan bawah ekor. c. Siklus Hidup Kutu mengalami metamorfosis sederhana atau tidak sempurna tahapan ini dimulai dari telur, nimfa instar pertama sampai ketiga dan akhirnya tumbuh menjadi dewasa. Secara umum seluruh tahapan perkembangannya berada pada inangnya. Tahapan perkembangan hidup kutu sangat dipengaruhi oleh temperatur tubuh inang itu sendiri. Telur akan menetas menjadi nimfa dalam waktu 5-18 hari tergantung dari jenis kutu. Biasanya kutu betina mampu memproduksi 50 hingga 300 telur. Telur-telur yang diproduksi berwarna keputihan, berbentuk lonjong dan diletakkan pada kumpulan bulu, perkembangan kutu dari telur hingga dewasa memakan waktu 7-21 hari. Kemudian hanya dalam 2-3 hari kutu betina dewasa sudah mampu memproduksi telur (Carwin & Nahm 1997). Temperatur merupakan faktor penting dalam proses pematangan embrio hanya dalam waktu 3-5 hari sedangkan pada suhu lebih rendah 33º memakan waktu 9-14 hari. Telur biasanya diletakkan didaerah dada karena panas tubuh inang sangat penting untuk proses penetasan (Lancaster dan Meisch 1984 dalam Wana PW 2001). Kutu melengkapi siklus hidup mereka pada tubuh dan dapat hidup diluar tubuh inang, tidak lebih dari 5 hari keseluruhan waktu yang dibutuhkan dalam siklus hidupnya sekitar 2-3 minggu, satu ekor kutu dapat menghasilkan keturnan 120.000 hanya dalam beberapa bulan. d. Gejala Klinis Infestasi kutu dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan pada kulit dan bulu ayam yang terinfeksi, khususnya disekitar anus dan dibagian sayap. Kutu dapat diamati bergerak diantara sayap, atau bergerak pada kulit dan telur, juga dapat diamati pada bagian dasar bulu, infestasi yang berat dapat menyebabkan perubahan pada berat badan dan produksi telur yang bisa menurun (Gordon 1977). Gejala yang nampak pada ayam yaitu ayam menjadi gelisah dan sering menyisir atau mematuk-matuk bulu karena gatal, selain itu ayam akan sering mengibas-ngibaskan bulunya, ayam juga tampak kurus dan pucat (Cahyono 2002). Begitu sudah dalam keadaan berkelompok, kutu dapat menyebar dengan adanya kontak. daerah ayam yang paling banyak ditemukan adanya kutu yaitu: utamanya pada bagian bawah sayap dan pada daerah dada dan perut. C. Kunyit (Curcuma domestica, Val) a. Klasifikasi Kunyit (Curcuma domestica, Val.) termasuk salah satu tanaman rempah dan obat. Habitat menyebar ke daerah Indo-Malaysia, Indonesia, Australia bahkan Afrika. Menurut Winarto (2003), tanaman kunyit diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma domestica ,Val. Gambar 3. Tanaman Kunyit dan Rimpang Kunyit (Anonim, 2008) Kunyit merupakan tanaman tahunan, ciri khas tanaman kunyit adalah berkelompok membentuk rumpun. Batangnya merupakan batang semu yang tersusun dari pelepah daun dan terasa agak lunak. Tinggi tanaman berkisar antara 40-100 cm. Daun kunyit tersusun dari pelepah daun, gagang daun dan helai daun. Daun berbentuk bulat telur memanjang, agak besar dengan permukaan sedikit kasar, selain itu daun agak lemas dengan permukaan berwarna hijau muda. Satu tanaman mempunyai 6-10 helai daun. Penyusunan daun terlihat berselangseling mengikuti kelopaknya. Rimpang kunyit bercabang-cabang membentuk rumpun, berbentuk bulat panjang dan membentuk cabang rimpang berupa batang yang berada di dalam tanah. Rimpang kunyit yang sudah besar dan tua merupakan bagian yang dominan sebagai obat (Syukur dan Hermani 2002). b. Kandungan Bagian terpenting dalam pemanfaatan kunyit adalah rimpangnya. Rimpang kunyit mengandung beberapa komponen antara lain minyak folatil, pigmen, zat pahit, resin, rotein, selulosa, pentosa, pati dan elemen mineral. Salah satu komponen kimia dalam kunyit yang berkhasiat sebagai obat adalah Kurkuminoid. Pigmen Kurkuminoid merupakan suatu zat yang terdiri dari campuran senyawa- senyawa Kurkumin (yang paling dominan), Desmetoksikurkumin dan Bisdesmetoksikurkumin (Darwis et al. 1991). Selain Kurkuminoid, kunyit juga mengandung minyak atsiri dan oleoresin. Minyak atsiri kunyit diperoleh dengan cara menyuling (destilasi) rimpang kunyit, warnanya kuning atau kuning jingga dengan penampakan yang terang. Sifat-sifat minyak atsiri kunyit sangat bervariasi tergantung dari daerah asal kunyit dan umurnya. Setelah dilakukan berbagai penelitian diketahui bahwa komponen utama dari minyak atsiri kunyit adalah suatu alkohol yang memiliki rumus molekul C13H18O yang kemudian disebut turmerol (solfainet al.2001). c. Khasiat Menurut Winarto (2003), kunyit tidak beracun, selain itu memiliki efek farmakologi melancarkan darah, menurunkan kadar lemak tinggi, asma, hepatitis, anti empedu, anti radang, dan dapat menambah nafsu makan (Darwis et al.1991). Kunyit mengandung kurkumin dan minyak atsiri yang bersifat sebagai anti inflamasi atau anti peradangan ( Solfainet al. 2001). Peranan utama minyak astiri dapat dipercaya sebagai pengusir serangga pada tanaman itu sendiri sehingga mencegah daun dan bunga tanaman kunyit yang rusak, serta sebagai pengusir serangga lainnya. Pada dunia peternakan khususnya peternakan ayam kampung, kunyit yang dicampurkan baik pada ransum maupun minuman ayam disinyalir dapat mengurangi bau kotoran dan menambah berat badan ayam (Winarto 2003). Pemberian kunyit pada dosis 0,6% dalam ransum ayam memberikan hasil terbaik pada performans ayam pedaging yaitu mampu meningkatkan konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan ayam (Agustiana 1996). Menurut Nugroho (1998), minyak atsiri dan kurkumin dapat meningkatkan relaksasi usus halus yang berarti mengurangi gerakan peristaltik usus halus dengan demikian ingesta akan lebih lama tinggal di usus halus sehingga absorpsi zat-zat makanan akan lebih sempurna. d. Hipotesis Penggunaan ekstrak kunyit dalam air minum dapat mengurangi kutu (Lipeurus Caponis) pada bagian sayap ayam buras.