BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Persediaan Persediaan merupakan salah satu aktiva yang paling aktif dalam operasi kegiatan perusahaan dagang. Persediaan juga merupakan aktiva lancar terbesar dari perusahaan manufaktur maupun dagang. Pengaruh persediaan terhadap laba lebih mudah terlihat ketika kegiatan bisnis sedang berfluktuasi. Menurut C. Rollin Niswonger diterjemahkan oleh Alfonsus Sirait M. Bus dan Hilda Gunawan (2005 : 452), persediaan barang adalah asset perusahaan untuk dijual dalam bentuk barang lain. Sedangkan, Ikatan Akuntan Indonesia (2007 : 143) mengemukakan bahwa persediaan adalah aset: a. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal b. Dalam proses produksi dan atau dalam perjalanan; atau, c. Dalam bentuk bahan atau perlengkapan (suplies) untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa. Menurut F. Skousen dkk (2004 : 653), ”persediaan ditujukan untuk barang-barang yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan bisnis normal, 6 dan dalam kasus perusahaan manufaktur, maka kata ini ditujukan untuk proses produksi atau yang ditempatkan dalam kegiatan produksi”. Pendapat Warren, dkk (2005 : 440) mengatakan persediaan adalah ”barang dagang yang disimpan untuk dijual dalam operasi bisnis perusahan, dan bahan yang digunakan dalam proses produksi atau disimpan untuk tujuan itu”. Persediaan yang diperoleh perusahaan langsung dijual kembali tanpa mengalami proses produksi selanjutnya disebut persediaan barang dagang. Dengan demikian, persediaan barang dagang adalah untuk dijual dalam operasi bisnis perusahaan, dan sesuai dengan pendapat warren, reeve dan Fess maka perusahaan bisa saja menyimpan persediaan sebelum dijual didalam sebuah gudang yang sering berlaku untuk pedagangpedagang besar seperti retail yang perputaran persediaannya cukup tinggi dan beragam untuk mengantisipasi penjualan supaya tidak terjadi kekurangan persediaan. 1. Kelompok Persediaan Menurut K. Fred Skausen dkk diterjemahkan oleh Emil Salim (2001 : 514) bahwa, kata persediaan secara umum diaplikasikan kepada barang-barang yang dimiliki oleh perusahaan dagang, baik grosir maupun retail, ketika barang tersebut berada dalam kondisi yang siap dijual kembali. 7 Kata bahan baku, persediaan barang dalam proses dan barang jadi untuk dijual adalah persediaan untuk perusahaan manufaktur, kelompok ini adalah; a. Bahan Baku (Raw material) Bahan baku adalah barang yang dibeli untuk digunakan dalam proses produksi sebagian bajan baku diambil dari sumber aslinya. Tatapi, sering juga bahan baku diberli dari perusahaan lain yang merupakan bahan siap pakai dari supplier. Walaupun kata bahan baku dapat digunakan secara luas yang meliputi bahan yang digunakan dalam proses manufaktur, kata ini biasanya terbatas pada bahan secara fisik akan terlibat dalam produksi manufaktur. Karena bahan baku ini digunakan dalam proses produksi, mereka sering disebut bahan baku langsung. Sedangkan, kata bahan baku tidak langsung digunakan untuk bahan baku pendukung, misalnya barang yang penting dalam proses produksi tapi tidak terlibat secara langsung dalam produksi. b. Persediaan Dalam Poses (Work in Process- WIP) Persediaan dalam proses sama penertiannya dengan barang dalam proses, terdiri dari barang-barang yang secara terpisah proses dan membutuhan pengerjaan lebih lanjut sebelum dijual. Persediaan ini termasuk tiga elemen biaya. Biaya overhead terdiri dari seluruh biaya proses produksi manufaktur selain dari bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung. Termasuk bahan baku habis 8 pakai pabrik yang digunakan dan tenaga kerja secara tidak langsung diidentifikasikan dengan produksi dari produk spesifik. Juga termasuk biaya pemanufakturan umum seperti depresiasi, pemeliharaan, perbaikan, pajak bangunan, asuransi, lampu, panas dan tenaga listrik, juga bagian dari biaya manajerial yang masuk akal yang berhubungan dengan fungsi penjualaan dan administrasi perusahaan. c. Barang Jadi (Finished Goods) Barang jadi adalah produk manufaktur menunggu yang siap untuk dijual. Kekurangan persediaan dapat berakibat larinya pelanggan, sedangkan kelebihan persediaan dapat berakibat pemborosan atau tidak efisien. Oleh karena itu manajemen persediaan berusaha agar jumlah persediaan yang ada dapat menjamin kelancaran proses produksi. Para pedagang yang berhasil akan membeli dengan hatihati untuk tetap menjaga perputaran barang yang diusahakannya tetap dalam tempo yang cepat. Masalah persediaan mempunyai pengaruh besar pada penentuan jumlah aktiva lancar dan total aktiva, harga pokok penjualan, laba kotor, laba bersih dan taksiran pajak. Penilaian persediaan membutuhkan penilaian yang cermat dan sewajarnya 9 untuk dimasukkan sebagai harga pokok dan mana saja yang dibebankan pada tahun berjalan. 2. Sistem Pencatatan Persediaan Menurut Waluyo (2010 : 76) untuk mencatat persediaan ada dua metode pencatatan persediaan yang biasa digunakan, baik dengan basis periodik dan basis perpetual, adalah: a. Sistem Perpetual Dalam sistem ini persediaan biasanya dapat diketahui secara terusmenerus tanpa melakukan inventarisasi fisik (stock opname). Oleh karena itu setiap jenis barang dibuat kartu, dan setiap mutasi persediaan dicatat dalam kartu, baik harga maupun jumlah barang, sehingga pengendalian persediaan menjadi sangat mudah, yaitu dengan melakukan pencocokan antara kartu persediaan dan hasil inventaris fisik. Pencatatan sistem ini menjadi rumit ketika jenis barang cukup banyak, kecuali dengan menggunakan komputer yang sudah teraplikasi. b. Sistem Periodik Dalam sistem ini, persediaan dihitung dengan melakukan inventarisasi pada akhir periode. Hasil perhitungan tersebut dipakai untuk menghitung Harga Pokok Penjualan. Pada sistem ini, setiap mutasi persediaan tidak dibuatkan pencatatan dan penghitungan persediaannya, seperti telah disebutkan dan tetap dilakukan pengendalian persediaan. 10 3. Metode Penilaian Persediaan Dalam kegiatan perusahaan, terutama pada perusahaan dagang atau industri, terdapat pergerakan atau arus masuk dan keluar barang, baik itu barang dagang atau bahan baku. Untuk analisis, pengendalian, atau penilaian persediaan, arus pergerakan tersebut harus dinilai dengan metode yang sama. Menurut Waluyo (2010 : 80) Penetapan besarnya nilai persediaan akhir atau Harga Pokok Penjualan dapat menggunakan metode: 1. Berdasarkan Harga Perolehan a. Metode Identifikasi Khusus Metode ini berasumsi bahwa arus barang arus sama dengan arus biaya, sehingga setiap kelompok barang diberi identifikasi dan dibuat kartu. Dengan demikian, Harga pokok barang dapat diketahui, sehingga Harga Pokok Penjualan terdiri atas Harga Pokok Barang yang dijual dan sisanya sebagai persediaan akhir. Biasanya digunakan untuk perusahaan yang mempunyai persediaan relatif sedikit tetapi dengan harga per-unitnya besar. b. Metode Masuk Pertama Keluar Pertama (First In First OutFIFO) Metode ini mendasarkan pada asumsi bahwa barang yang masuk pertama akan dikeluarkan pertama. c. Masuk Terakhir Keluar Terakhir (Last In First Out- LIFO) 11 Cara ini digunakan dengan mendasarkan pada asumsi bahwa arus pembebanan ke Harga Pokok Penjualan berdasarkan pada harga pembelian akhir. d. Metode Rata-rata (Average) Dengan metode ini, pembebanan ke harga pokok untuk barang yang dijual atau untuk persediaan akhir menggunakan ratarata. 2. Berdasarkan Estimasi Penetapan besarnya nilai persediaan akhir dapat dilakukan dengan mendasarkan estimasi pada: a. Metode Laba Kotor Pada metode ini nilai persediaan akhir dihitung mundur dan biasanya digunakan dalam keadaan khusus. Sebagai contoh, perusahaan dalam kondisi terbakar, sehingga sulit menetapkan secara fisik nilai persediaan akhir. b. Metode Eceran (Ritel) Dalam metode ini, penetapan nilai persediaan akhir berdasarkan pada harga yang berlaku di pasar (market value). Harga pokok persediaan diestimasi atas dasar hubungan antara harga pokok dengan harga jual eceran untuk persediaan yang sama dengan cara mengakumulasikan semua harga eceran dari persediaan yang dijual. Demikian halnya, persediaan pada harga eceran diperoleh dengan menggunakan penjualan 12 dengan harga eceran persediaan yang tersedia untuk dijual pada periode yang sama. Metode ini umumnya digunakan oleh perusahaan dagang eceran, seperti supermarket, dan perusahaan harus mempunyai catatan harga jual barang. B. Hakikat Perputaran Persediaan Perusahaan dapat melakukan evaluasi terhadap persediaan yang dimilikinya dengan menghitung inventory turn over atau perputaran persediaan. Hal ini perlu dilakukan oleh perusahaan karena untuk mengetahui apakah persediaannya likuid atau tidak likuid. Terjadi tidak likuid atas persediaan artinya persediaan yang menganggur (idle inventory), maka akan sangat merugikan bagi perusahaan, karena hal ini akan menambah biaya yang merugikan perusahaan dengan bertambahnya biaya atas persediaan. Sedangkan, apabila perusahaan yang memiliki persediaan yang likuid atau berputar, akan sangat menguntungkan perusahaan. Menurut S. Munawir (2004 : 77) persediaan adalah ratio antara jumlah pokok barang yang dijual dengan nilai rata-rata persediaan yang dimiliki oleh perusahaan. Perputaran persediaan adalah perputaran persediaan yang menunjukan berapa kali persediaan dijual dan diganti selama satu periode. 13 Sedangkan menurut Soemarso (2004 : 440), semakin tinggi angka ini semakin tinggi bagi perusahaan. Angka tersebut mengukur efisiensi pengelolaan persediaan. Hal ini diperjelas S. Munawir (2004 : 80) perputaran persediaan yaitu rasio antara harga pokok penjualan terhadap persediaan rata-rata menunjukan seberapa cepat persediaan tersebut dapat terjual, dengan perhitungan sebagai berikut: Perputaran Persediaan = Persediaan Rata − rata = Harga Pokok Penjualan Persediaan Rata − rata Persediaan Awal + Persediaan Akhir 2 Apabila tingkat perputaran persediaan yang dimiliki oleh perusahaan tinggi, maka akan sangat baik bagi perusahaan, Sumarso (2004 : 440). Charles T. Horgen dkk (2004 : 910) berpendapat bahwa tingkat perputaran persediaan yang tinggi menunjukan kemudahan dalam penjualan persediaan, sedangkan perputaran persediaan yang rendah menunjukan kesulitan dalam penjualan. Jadi perusahaan dapat mengukur tingkat likuiditas perusahaan dengan menghitung tingkat perputaran persediaan. Tingkat persediaan ini dapat dihitung dengan cara membagi antara harga pokok penjualan dengan persediaan rata-rata dengan membagi antara persediaan awal ditambah persediaan akhir dibagi dua. Apabila rasio perputaran tinggi mencerminkan persediaan terjual dan tidak ada yang menumpuk yang 14 dapat memberikan dampak positif bagi perusahaan. Sedangkan, jika rasio perputaran rendah, mencerminkan persediaan tidak terjual dan menumpuk di gudang yang memberikan dampak negatif bagi perusahaan. C. Hakikat Volume Penjualan Hasil Produk suatu perusahaan tidak terlepas dari kegiatan penjualan. Untuk mengetahui penjualan produk itu mengalami peningkatan, maka dapat dilihat dan volume penjualannya. Menurut Mahmud Machfoedz (2007 : 2) penjualan merupakan fungsi yang paling penting dalam pemasaran, karena menjadi tulang punggung kegiatan untuk mencapai pasar yang dituju. Fungsi penjualan merupakan sumber pendapatan yang diperlukan untuk menutupi ongkosongkos dengan mengharapkan laba. Menurut Basu Swasta (2001 : 90) adanya penjualan tercipta karena suatu proses pertukaran barang atau jasa antara penjual dan pembeli. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan untuk mencapai kesuksesan penjualan, yaitu; 1. Mampu menciptakan sejumlah pelanggan dan melayani mereka dengan baik. 2. Produk-produk yang bermutu. 3. Mampu menyeleksi wiraniaga agar dapat mengidentifikasi pembeli termasuk keperluan dan motivasi pembeli. 15 Alex Nitisemito (2004 : 211) mengemukakan turunnya omzet penjualan dapat terjadi karena sebab internal, yaitu sebab yang terjadi karena perusahaan itu sendiri. Misalnya, turunnya kualitas produk, pelayanan yang diberikan dan sebagainya. Dan juga sebab ekternal, seperti perubahan kebijakan dari pemerintah, perubahan pola konsumsi dan sebagainya. Penjualan merupakan sumber pendapatan yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk menutupi biaya-biaya dengan tujuan untuk memperoleh laba. Dengan adannya penjualan akan tercipta proses penjualan barang dan jasa antara penjual dan pembeli. Sehingga, dengan volume penjualan yang meningkat atau menguntungkan akan mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan untuk tumbuh dan berkembang. Peningkatan atau penurunan volume penjualan suatu produk sangat dipengaruhi oleh kualitas produk yang dijual kepada konsumen atau pelanggan. Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa volume penjualan adalah hasil usaha penjualan yang dapat dinyatakan dengan uang pada suatu periode tententu. Dengan adanya volume penjualan, perusahaan dapat menilai apakah kesadaran suatu perusahaan itu mengalami kemajuan atau kemunduran. Apabila perusahaan tersebut mengalami kemunduran, maka perlu dilakukan suatu strategi yang dapat 16 mengarah kepada perkembangan, selanjutnya apabila sebaliknya, maka perlu mengevaluasi atas atas apa yang terjadi di perusahaan. D. Hubungan Antara Perputaran Persediaan dan Volume Penjualan Menurut Jay Smith dan F Fred Skousen (2001 : 63) jumlah persediaan yang dikuasai seringkali berkaitan erat dengan volume penjualan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Bambang Riyanto (2000 : 64) yaitu tinggi rendahnya inventory tunrover berdampak langsung terhadap besar kecilnya modal yang diinvestasikan dalam inventory. Makin tinggi turnovernya, berarti makin cepat perputarannya, yang berarti makin pendek waktu terikatnya modal dalam persediaan. Sehingga untuk memenuhi penjualan atau harga pokok penjualan tertentu dengan naiknya turnover dibutuhkan jumlah modal yang lebih kecil. Terdapat hubungan antara variabel bebas yaitu perputaran persediaan dengan variabel terikat yaitu volume penjualan. Perputaran persediaan mengukur perusahaan dalam perputaran barang dan menunjukan hubungan antara barang yang diperlukan untuk menunjang atau menimbangi tingkat penjualan yang ditentukan S. Munawir (2004 : 78) Perusahaan dapat mengukur likuiditas perusahaan yang dimiliki dengan rasio perputaran persediaan yang berkaitan erat dengan volume penjualan. Jadi, perputaran persediaan ini berkaitan erat dengan volume penjualan, ketika perputaran persediaan tinggi, maka volume penjualan 17 yang telah diterapkan oleh perusahaan dapat tercapai. Sebaliknya, apabila perputaran persediaan rendah, maka volume penjualan akan mengalami penurunan. Sehingga dari pengertian diatas, sudah jelas bahwa perputaran persediaan berpengaruh terhadap volume penjualan perusahaan. E. Perkembangan Industri Tekstil Perusahaan industri tekstil pada dasarnya adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha tekstil yaitu mengolah bahan baku menjadi produk jadi, berupa kain dan pakaian jadi. Untuk perusahaan yang membuat kain sering disebut perusahaan tekstil sedangkan untuk perusahaan pakaian jadi disebut perusahaan garmen. Namun dari berbagai literatur, perusahaan tekstil dan garmen dinamakan perusahaan industri tekstil dan produk tekstil atau disingkat industri TPT. Perkembangan industri tekstil di Indonesia dimulai setelah pemerintah melakukan kebijaksanaan terbuka dengan disetujuinya proyekproyek Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 dan Penanaman Modal Dalam Negeri pada tahun 1968, industri tekstil terus berkembang. Dengan kebijaksanaan tersebut dan meningkatnya tingkat teknologi maka industri ini mulai mendapat perioritas dalam pengembangannya ke arah industri secara komersial yang menjangkau pasaran internasional. Perkembangan tekstil dan pakaian jadi selama tahun 1983 - 1987 ditandai dengan peningkatan ekspor rata-rata 42,81 % per tahun. 18 Sementara itu ekspor TPT selama tahun 1993 - 1995 mengalami kenaikan dalam volume penjualan yaitu dari sekitar US $ 6,06 Milyar pada tahun 1993 naik menjadi sekiitar US $ 6,65 Milyar pada tahun 1994. Sedangkan untuk tahun 1995 mengalami kenaikan dibanding tahun 1994 yaitu naik sebesar ± US $ 0,40 milyar. Namun pada pertengahan tahun 1997 industri tekstil yang merupakan salah satu sektor unggulan ekspor non migas di Indonesia, mengalami prospek yang tidak begitu cerah. Harga bahan baku yang semakin tinggi sebagai akibat kurangnya pasokan dan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar menyebabkan ratusan industri kelas kecil hingga kelas menengah harus mengurangi atau bahkan tidak memproduksi sama sekali. Untuk kinerja ekspor tekstil dan produk tekstil dari 2000 sampai 2009 meningkat 11,59 persen, atau rata-rata 3,41 persen per tahun. Angka ini setara dengan nilai ekspor US$ 9,26 miliar. Meski cenderung stagnan, bila dibanding nilai impor, industri tekstil masih menunjukkan surplus. Selama 10 tahun terakhir surplus perdagangan selalu di atas US$ 5 miliar, dan pada 2009 mencapai US$ 5,09 miliar. Kondisi kinerja yang terjadi atas industri tekstil dalam negeri merupakan pekerjaan yang harus selesaikan oleh pemerintah dan kalangan dunia usaha industri. Karena, selain faktor eksternal dengan persaingan antar negara atas produk tekstil, faktor lainnya yaitu teknologi yang 19 digunakan dalam proses produksi harus diperbaharui, karena 80 persen masih menggunakan alat yang sudah tua. Kondisi yang lain biaya tinggi yang dihadapi oleh industri tekstil dalam negeri seperti biaya listrik, biaya buruh yang mahal. Serta yang tidak kalah pentingnya, yaitu adanya produk tekstil impor yang tidak melalui jalur resmi atau illegal. F. Penelitian Terdahulu Fadilah (1999) melakukan penelitian tentang hubungan antara perputaran persediaan dengan volume penjualan pada 3 (tiga perusahaan) industri tekstil yang tercatat di Bursa Efek Jakarta dari tahun 1989 sampai 1997 dengan sampel 10 (sepuluh) tahun untuk satu perusahaan. Pada penelitian yang dilakukan, membuktikan bahwa perputaran persediaan memiliki peranan terhadap kenaikan atau penurunan volume penjualan di industri tekstil sebesar 26,11%. Sedangkan sisanya 73,89% dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti harga jual, promosi, dan kualitas barang. Uji hipotesis juga membuktikan bahwa terdapat pengaruh perputaran persediaan terhadap volume penjualan. 20