100 101 RESIKO BENCANA YANG DIHADAPI INDONESIA PADA PEMUKIMAN, PRASARANA DAN PEWILAYAHAN AKIBAT PERUBAHAN IKLIM Oleh : Nurlita Pertiwi 1) Abstract This article evaluate about disaster risk faced Indonesia at settlement, infrastructures and region effect of climate change. Climate change represents a phenomenon which cannot be avoided. The disasters risk are flooding fatigue of stuttered tidal (sea water level) and sea water intrusion. Strategy mitigation and adaptation are studied to the freshmen live the human being. Implementations of strategy have to do all party. Socialize hold role in the effort public facility conservancy so that the development executed can be enjoyed by all people. Keyword: Climate Chance, Disaster, Mitigation and Adaptation PENDAHULUAN1) Perubahan lingkungan global saat ini menjadi perhatian serius bagi dunia, utamanya pada perubahan iklim global. Iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata suhu, curah hujan, tekanan udara, dan angin dalam jangka waktu yang panjang antara 30 – 100 tahun. Iklim merupakan pola cuaca yang terjadi selama bertahuntahun. Sistem iklim di bumi adalah sesuatu yang kompleks, yaitu sistem yang saling terkait antara atmosfir, lithosfir dan hidrosfir. Energi matahari yang mencapai bumi sebagai radiasi gelombang pendek, sebagian terefleksi kembali ke luar angkasa oleh awan dan permukaan bumi. Bagian terbesar diserap oleh permukaan bumi dan juga oleh atmosfir. Permukaan bumi yang panas memancarkan ke atas sebagian besar energi dalam bentuk radiasi thermal (radiasi gelombang panjang) yang diserap oleh gas-gas rumah kaca (H2O, CO2, O3, N2O, CH4, dan lain-lain) dan sebagian terpancar kembali ke permukaan bumi. Pemancaran kembali ini menyebabkan suhu udara meningkat di sekitar permukaan bumi dari -18oC sampai +15oC. Ini 1) Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar disebut efek gas rumah kaca yang sangat penting bagi kehidupan. Pening-katan gas rumah kaca di atmosfir akibat dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti tambang, minyak dan gas, selain melalui intensifikasi pertanian, menyebabkan efek rumah kaca meningkat. Akibatnya, permukaan bumi akan menjadi sangat panas jika emisi ini tidak dikurangi. Pemanasan permukaan bumi ini dikenal dengan istilah global warming. Perubahan iklim secara umum ditandai dengan meningkatnya temperatur (Increasing temperatures) dan naiknya permukaan laut (Rising sea levels ). IPCC (Intergovernmental Planetary Climate Change) 2007 mempub-likasikan adanya trend temperatur global yang umumnya dipengaruhi oleh Urban Heat Island (UHI). Data menunjukkan bahwa temperatur bumi meningkat 0,76oC sejak tahun 1850 – 2005. IPCC 2007 juga menguraikan bahwa perubahan tempe-ratur dibeberapa negara menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu terdapat peningkatan temperatur secara global. Dengan adanya perubahan iklim tersebut, maka prasarana fisik serta permukiman juga mangalami ancaman kerusakan. 100 Berbagai kerusakan tersebut umumnya disebabkan oleh bencana banjir dan kenaikan temperatur. dasar dalam melakukan kebijakan mitigasi dan adaptasi. IPCC (2007) menguraikan bahwa perubahan iklim dikaji dengan mempertimbangkan model perubahan iklim secara natural serta perubahan iklim akibat tekanan antopogenik sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1. Perubahan Iklim Global Pengaruh perubahan iklim terhadap sistem fisis dan biologi di alam ini dikaji sebagai Temperatures from climate models with natural (N) forcing Temperatures from climate models with antropogenic (A) forcing Weaker agreement Stronger Agree ment Observed effects in natural systems Observed temparatures Stongest agreement Temperatures from climate models with N + A forcing WG I Gambar 1 Penyebab perubahan iklim yang diobservasi oleh IPCC Data secara lokal disajikan dalam Susandi (2008) yang menguraikan bahwa : pada tahun 2000, perubahan temperatur ratarata di Indonesia berkisar antara 0,13 – 0,155. Dan pada tahun 2010, rata-rata perubahan temperatur tersebut meningkat menjadi 0,25 – 0,245. Secara global permukaan air laut meningkat sejak abad ke-20 dengan peningkatan rata-rata 1,7 mm/tahun. Selama abad 21, muka air laut diprediksi meningkat hingga 0,22 – 0,44 m diatas permukaan air laut pada tahun 1990, dan peningkatan muka air laut pada rentang waktu tersebut diprediksi sekita 4 mm/tahun. (IPCC, 2007). Estimasi dan prediksi perubahan muka air laut digambarkan pada gambar 2. Gambar 2 . Tinggi muka air laut rata-rata sejak tahun 1800 hingga tahun 2100. (Prediksi dan estimasi). Selain itu, fenomena yang mudah dirasakan oleh manusia akibat perubahan iklim adalah curah hujan. Di beberapa daerah di Indonesia, struktur musim mengalami perubahan. Selain itu, curah 101 hujan maksimum pada waktu musim hujan menjadi lebih tinggi sedang curah hujan maksimum pada musim kemarau menjadi lebih rendah. Akibatnya, dibeberapa daerah sering terjadi banjir pada musim hujan akibat tingginya curah hujan. Disisi lain, pada saat musim kemarau terjadi kekeringan karena curah hujan yang sangat rendah dan terkadang musim kemarai lebih panjang dibandingkan dengan musim hujan. DAMPAK DAN KERENTANAN PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PEMUKIMAN, PRASARANA DAN PEWILAYAHAN Perubahan iklim menyebabkan terjadinya banyak bencana di Indonesia. Pada periode tahun 2003–2005 terjadi sebanyak 1429 bencana di Indonesia, dan 53,3% diantaranya terkait dengan hydro meteorologi. Selanjutnya bencana banjir yang terjadi sebanyak 34% dan longsor 16% dari sejumlah bencana tersebut. (Kementrian Lingkungan Hidup, 2007). Perubahan iklim juga memberi dampak terhadap terjadinya krisis air. Ketersediaan air untuk kepentingan manusia seperti kebutuhan sehari-hari, pertanian, perikanan, industri dan lingkungan sangat tergantung pada iklim. Reservoir, dam dan fasilitas penampung air memiliki kapasitas yang terbatas untuk menampung air, sehingga pada musim kemarau terjadi kesulitan air. Adanya bencana akibat perubahan iklim memberi dampak terhadap pemukiman, prasarana dan pewilayahan. Dampak Perubahan Iklim terhadap Pemukiman Peningkatan temperatur berpotensi mempengaruhi kondisi pemukiman. Akibat suhu yang lebih tinggi menyebabkan pemukiman membutuhkan energi pendinginan yang lebih tinggi. Rumah-rumah di kota besar membutuhkan AC dan berdampak pada penambahan biaya untuk memperoleh hidup yang lebih nyaman. Kejadian banjir juga mempengaruhi kondisi pemukiman. Pada beberapa kota besar terdapat kawasan yang menerima anca-man banjir setiap tahunnya, dan umumnya pemukiman yang terletak di bantaran sungai. Berikut ini pada tabel 1 disajikan gambaran beberapa kota besar yang memiliki kawasan pemukiman rawan banjir. Tabel 1. Kota-Kota Besar dengan Kawasan Rawan Banjir NO KOTA SUNGAI 1 JAKARTA Kamal, Tanjungan, Angke, Pesanggrahan, Sekretaris, Grogol, Krukut, Cideng, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, Cakung 2 SEMARANG Kali Garang/Kali Semarang 3 BANDUNG SELATAN Sungai Citarum Hulu 4 SURABAYA Kali Brantas 5 PALEMBANG Sungai Musi 6 PADANG Batang Arau, Batang Kuranji, Batang Air Dingin, 7 PEKANBARU Sungai Siak 8 JAMBI Sungai Batanghari 9 MEDAN Sungai Belawan, Deli, Babura, Percut, Kera 10 BANDA ACEH Krueng Aceh 11 PONTIANAK Sungai Kapuas 12 BANJARMASIN Sungai Barito 13 SAMARINDA Sungai Mahakam 14 MAKASSAR Sungai Jeneberang Sumber : Siswoko, 2002 Dampak Perubahan Iklim terhada Prasarana Pada bidang prasarana transportasi, kenaikan temperatur menyebabkan kerusakan permukaan jalan, pembengkokan 102 bantala rel kereta api dan fasilitas bandar udara yang tidak sesuai. Kualitas perkerasan jalan raya diidentifikasi akan menurun sebagai suatu isu potensi karena perubahan temperatur iklim. Perkerasan jalan apakah itu aspal fleksibel atau aspal beton, akan mengalami kerusakan apabila terjadi peningkatan temperatur. Temperatur akan menyebabkan bahan perkerasan jalan memuai pada suhu yang sangat panas dan menyusut pada saat temperatur dingin. Perubahan ini mengakibatkan bahan jalan cepat lelah (fatigue) yang pada akhirnya membuat perkerasan sering lepas, terkelupas, menipis , pecah, retak, menggembung dan berlubang dan lain-lain. Pada temperatur dingin permukaan jalan licin dan pada musim panas aspal fleksibel mencair atau meleleh sehingga aspal fleksibel sering melekat pada roda kendaraan. Lambat laun lapisan perkerasan ini semakin menipis, sehingga untuk penyesuaian, jalan itu harus lebih sering mendapat pemeliharaan, membongkar jalan retak dan menggantinya serta dilakukan pelapisan ulang jalan dengan bahan aspal dengan kekakuan tinggi yang tahan panas. Jalan kereta terbuat dari bentangan baja yang dapat memuai ketika temperatur sangat panas. Pemuaian ini dapat melelahkan baja rel yang menurut hukum hook apabila bahan melewati batas elastisnya dapat menyebabkan baja mudah membengkok. Pembengkokan ini lebih sering terjadi apabila temperatur iklim sering berubah-ubah antara panas dan dingin. Pada temperatur sangat panas jalan rel kereta memuai dan pada saat dingin menyusut. Menurut Peterson dalam Asrib dan Mardiaman (2007) bahwa jarak kereta api untuk dapat melakukan pengereman makin pendek dan kecepatan kereta api akan menurun apabila terjadi pembengkokan rel. Untuk mengatasi pembengkokan rel ini maka pengawasan temperatur rel makin sering dilakukan dan pada akhirnya akan meningkatkan biaya pemeliharaan jalur kereta . Selain itu karena rel sering mengalami pemuaian rel itu menjadi lelah dan mudah rusak sehingga rel harus diganti. Perubahan iklim terutama temperatur dan tingkat curah hujan dapat mempengaruhi pesawat udara ketika meakukan take off ataupun landing. Pada saat pesawat udara take off diperlukan daya angkat pesawat udara ke udara. Apabila tekanan angin kencang maka diperlukan tambahan tenaga untuk bisa mengangkat pesawat. Akibatnya diperlukan runway yang lebih panjang. Selain itu diperlukan bahan bakar yang lebih banyak untuk meningkatkan kemampuan angkat pesawat. Prasarana transportasi laut juga mengalami dampak akibat kenaikan muka air laut. Terjadinya gelombang pasang dapat menyebabkan kerusakan pada konstruksi dermaga. Prasarana transportasi darat juga menghadapi ancaman kerusakan. sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang 250 km). (Depkimpraswil, 2002) Pada bidang prasarana penyediaan air bersih, perubahan iklim berdampak pada kesulitan penyediaan air bersih pada musim kemarau. Debit air pada musim kemarau tidak mencukupi kebutuhan air perkotaan. KLH (2007) mengungkapkan data bahwa penyediaan air bersih hanya mampu melayani 37% kebutuhan penduduk kota dan 8% kebutuhan penduduk desa. Akibat kekurangan air ini, menyebabkan banyak industri yang mengeksplorasi air bawah tanah. Kondisi ini menyebabkan resiko penurunan permukaan tanah (subsidence). Data yang diperoleh dari Dinas Pertambangan dan Energi 103 Propinsi DKI Jakarta dalam Susandi (2008) menguraikan bahwa : Wilayah DKI Jakarta mengalami penurunan permukaan tanah antara 0,012 m – 0,064 m yang dihitung antara tahun 1982 – 1997. Data laiin di Kota Semarang menunjukkan terjadinya penurunan permukaan tanah hingga 0,115 cm/tahun. Kejadian banjir juga menyebabkan rusaknya saluran drainase kota. Selain itu, peningkatan curah hujan membutuhkan drainase yang lebih besar kapasitasnya. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2007, debit banjir maksimum di Kota Jakarta sebesar 1600 m3/detik sedang kapasitas banjir kanal barat hanya sebesar 300 m3/detik. Pada penyediaan energi listrik, perubahan iklim menyebabkan terjadinya kesulitan dalam kegiatan produksi PLTA. Pembangkit listrik jenis ini hanya dapat beroperasi dengan debit air yang cukup sedang pada musim kemarau debit yang dibutuhkan tidak mencukupi. Akibatnya dibeberapa kota besar di Indonesia sering terjadi pemadaman bergilir. Tingginya curah hujan pada saat musim hujan menyebabkan angkutan sedimen tinggi pula dan akibatnya kapasitas waduk sebagai sumber air PLTA menurun. PLTA Bakaru di Sulawesi Selatan mengalami kondisi tersebut, yaitu data yang ditunjukkan oleh oleh PT. PLN (Persero) Wilayah Sulsel dan Sultra Sektor Bakaru Periode Juni 2005, menunjukkan bahwa volume air di waduk cenderung menurun dari kapasitas tampung 6.919.900 m3 pada tahun 1990 menjadi 588.500 m3 pada tahun 2005, sedangkan volume sedimentasi enunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu 0 m3 pada tahun 1990 menjadi 6.331.400 m3 pada tahun 2005. Dampak Perubahan Iklim terhadap Pewilayahan Negara kita yang terdiri atas 17,508 pulau dengan panjang garis pantai 81,000 km sangat rentan terhadap bahaya banjir pasang. Bahkan wilayah pesisir ini dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dan terdapat 47 kota pantai mulai dari Sabang hingga Jayapura sebagai pusat pelayanan aktivitas sosial-ekonomi pada 37 kawasan andalan laut sekaligus sebagai pusat pertumbuhan kawasan pesisir. (Depkimpraswil, 2002). Pada perencanaan pewilayahan kota, perubahan iklim berdampak pada kerentanan pemukiman kawasan pesisir. Fungsi kawasan pesisir yang menurun akibat meningkatnya permukaan air laut, subsidence dan intrusi air laut. Peran strategis kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, ParePare, Sinjai. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan, dalam dua tahun saja (2005 – 2007) Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil di Nusantara. Sebanyak 24 pulau yang tenggelam itu antara lain tiga pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tiga pulau di Sumatera Utara, tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan tujuh di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta. Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut diakibatkan oleh erosi air laut yang diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial Kejadian banjir juga menyebabkan berkurangnya fungsi daerah aliran sungai. Curah hujan ekstrim akan memudahkan terjadinya luapan dan genangan air pada bantaran sungai. Akibatnya erosi tanah mudah terjadi. Erosi yang berelebihan 104 akan menyebabkan meningkatnya luas lahan kritis. LANGKAH MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR PERMUKIMAN, PRASARANA DAN PEWILAYAHAN Mitigasi adalah usaha menekan penyebab perubahan iklim, seperti gas rumah kaca dan lainnya agar resiko terjadinya perubahan iklim dapat diminimalisir atau dicegah. Dalam bidang permukiman, langkah mitigasi yang dapat dilakukan adalah : - Penggunaan konstruksi bangunan yang berwawasan lingkungan, yaitu konstruksi yang memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber cahaya dan sumber energi. Konstruksi bangunan yang demikian dapat meminimalisir penggunaan energi listrik dengan menghemat penggunaan AC dan lampu penerang. - Penyediaan ruang terbuka hijau untuk menurunkan suhu udara perkotaan serta dapat mengurangi emisi karbon. Penyediaan ruang terbuka hijau diatur dalam UU No. 26/2007 tentang pengembangan kawasan perkotaan. Dalam UU tersebut disyaratkan dalam kawasan perkotaan harus tersedia RTH sebesar 10% RTH Privat dan 20% RTH Publik. RTH Privat adalah RTH yang ada dalam ruang terbangun seperti lingkungan perumahan. Sedangkan RTH publik berada dalam ruang terbuka (publik) di kawasan perkotaan. - Pengelolaan sampah yang terintegrasi mulai dari penghasil hingga TPA. Konsep reduce, reuse dan recycle dapat dilakukan untuk meminimalisir tumpukan sampah di TPA. Pengelolaan sampah perkotaan di TPA masih menggunakan metoda open dumping sehingga gas metana yang dihasilkan dari proses dekomposisi anaerobik dapat terlepas ke atmosfer dan menyebabkan pemanasan global. Pada bidang prasarana, langkah mitigasi yang dapat dilakukan berupa penyediaan prasarana untuk fasilitas pejalan kaki dan pengendara sepeda. KLH (2007) menguraikan bahwa berjalan kakisejauh 1 km dapat mereduksi emisi CO2 sebesar 222 gram jika dibandingkan dengan jarak tempuh yang sama untuk mobil. LANGKAH ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR PERMUKIMAN, PRASARANA DAN PEWILAYAHAN. Kegiatan adaptasi adalah pengaturan sistem alam dan manusia dalam merespon perubahan iklim. Berbagai tindakan adaptasi yang dapat dilakukan dalam aspek pemukiman, prasaran dan pewi-layahan adalah : - Sebagai langkah adaptasi terhadap ekstrimnya curah hujan dan kekeringan, maka daya dukung daerah aliran sungai perlu ditingkatkan. Yaitu dengan meningkatkan kapasitas tampung dam serta kemampuan presipitasi untuk menjaga ketersediaan air. - Pada pemukiman padat yang rawan banjir, perlu dibuat ‘warning system” sehingga dampak kerugian baik berupa harta benda maupun nyawa manusia dapat diminimalisir. - Perubahan iklim mengharuskan infrastruktur lebih tahan terhadap kejadian iklim ekstrim. Faktor adaptasi perubahan iklim harus dimasukkan dalam proses perencanaan pembangunan infrastruktur. Informasi perubahan iklim seperti kenaikan temperatur, perubahan proses penguapan, kelembaban, dan kadar air harus terintegrasi dalam desain, kode, dan standard infrastruktur fisik. Perlu perubahan kriteria standar perencanaan, pelaksanaan dan operasi, serta pemeliharaan infrastruktur dengan adanya peningkatan intensitas hujan dan berkurangnya curah hujan dimusim kemarau, seperti perubahan modul drainase, standar pemberian air irigasi, dan pola operasi waduk. - Desain gedung perlu memperhatikan ketahanan terhadap badai tropis, intensitas hujan yang tinggi, kekeringan, dan temperatur yang meningkat. 105 - - Membangun pemukiman penduduk dengan sistem rumah susun (vertikal) khususnya di kota-kota di Pulau Jawa untuk menanggulangi masalah keterbatasan lahan. Pembangunan jalan perlu memperhatikan tata ruang dan prediksi kenaikan permukaan air laut. Pembangunan akses jalan tersebut perlu dibahas oleh Departemen Perhubungan bersama dengan Departemen Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan. PENUTUP Perubahan iklim merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindari. Strategi mitigasi dan adaptasi untuk kenyamanan mahluk hidup utamanya manusia harus diimplementasikan oleh semua pihak. Pada bidang pemukiman, prasarana dan pemukiman, strategi tersebut utamanya melibatkan pihak pemerintah sebagai agen pembangunan. Sedang masyarakat memegang peran dalam upaya pemeliharaan fasilitas umum sehingga pembangunan yang dilaksanakan dapat dinikmati oleh semua pihak. DAFTAR PUSTAKA Asrib, A.R. dan Mardiaman., Dampak Potensial Perubahan Iklim terhadap Sistem Transportasi, Tugas Mata Kuliah Perubahan Lingkungan Global. PSL, IPB, Bogor, 2006. Depkimpraswil, Antisipasi Dampak Pemanasan Global Dari Aspek Teknis Penataan Ruang, Makalah ini disajikan dalam Seminar Nasional tentang Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau dari Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir yang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) di Jakarta, 30–31 Oktober 2002, 2002. lam rangka “Seminar Nasional Penataan Wilayah Pesisir dalam Perspektif Teknik Sipil dan Arsitektur” yang diselenggarakan pada tanggal 27 Agustus 2003 di Kalimantan Barat, Pontianak, 2003. IPCC, Climate Change 2007–Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contributin of Working Group II to the Fourth Assessment Report of IPCC, 2007. June, T., Bahan Kuliah Perubahan Lingkungan Global, PSL, IPB, Bogor, 2005. Kementerian Lingkungan Hidup, National Action Plan Addressing Climate Change, KLH, Jakarta, 2007. Meiviana, A., D.R. Sulistiowati dan M.H. Soejachmoen, Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia, Yayasan Pelangi, Jakarta, 2004. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pengembangan Kawasan Perkotaan. Wahid, dkk., Analisis Karakteristik Sedimentasi Di Waduk PLTA Bakaru dalam Upaya Menanggulangi Krisis Energi Listrik di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Jurnal Sains & Teknologi, Agustus 2006, Vol. 6 No.2: 71–80, 2006. Siswoko, Banjir, Masalah Banjir dan Upaya Mengatasinya,http.www.pu.go.id/ditj en_ruang/TaruNews/LIVEWITHFLOO DS.ppt. Diakses tanggal 6 April 2008. Depkimpraswil, Kebijakan Pemerintah tentang Penataan Ruang Wilayah Pesisir. Makalah ini disampaikan da106