PENGARUH KADAR AIR AGREGAT TERHADAP STABILITAS

advertisement
100
101
RESIKO BENCANA YANG DIHADAPI INDONESIA PADA PEMUKIMAN,
PRASARANA DAN PEWILAYAHAN AKIBAT PERUBAHAN IKLIM
Oleh : Nurlita Pertiwi
1)
Abstract
This article evaluate about disaster risk faced Indonesia at settlement,
infrastructures and region effect of climate change. Climate change
represents a phenomenon which cannot be avoided. The disasters risk are
flooding fatigue of stuttered tidal (sea water level) and sea water intrusion.
Strategy mitigation and adaptation are studied to the freshmen live the
human being. Implementations of strategy have to do all party. Socialize
hold role in the effort public facility conservancy so that the development
executed can be enjoyed by all people.
Keyword: Climate Chance, Disaster, Mitigation and Adaptation
PENDAHULUAN1)
Perubahan lingkungan global saat ini
menjadi perhatian serius bagi dunia,
utamanya pada perubahan iklim global.
Iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata
suhu, curah hujan, tekanan udara, dan
angin dalam jangka waktu yang panjang
antara 30 – 100 tahun. Iklim merupakan
pola cuaca yang terjadi selama bertahuntahun. Sistem iklim di bumi adalah sesuatu
yang kompleks, yaitu sistem yang saling
terkait antara atmosfir, lithosfir dan
hidrosfir.
Energi matahari yang mencapai bumi
sebagai radiasi gelombang pendek, sebagian terefleksi kembali ke luar angkasa
oleh awan dan permukaan bumi. Bagian
terbesar diserap oleh permukaan bumi dan
juga oleh atmosfir. Permukaan bumi yang
panas memancarkan ke atas sebagian
besar energi dalam bentuk radiasi thermal
(radiasi gelombang panjang) yang diserap
oleh gas-gas rumah kaca (H2O, CO2, O3,
N2O, CH4, dan lain-lain) dan sebagian
terpancar kembali ke permukaan bumi.
Pemancaran kembali ini menyebabkan
suhu udara meningkat di sekitar permukaan bumi dari -18oC sampai +15oC. Ini
1)
Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar
disebut efek gas rumah kaca yang sangat
penting bagi kehidupan. Pening-katan gas
rumah kaca di atmosfir akibat dari
pembakaran bahan bakar fosil, seperti
tambang, minyak dan gas, selain melalui
intensifikasi pertanian, menyebabkan efek
rumah kaca meningkat. Akibatnya, permukaan bumi akan menjadi sangat panas jika
emisi ini tidak dikurangi. Pemanasan
permukaan bumi ini dikenal dengan istilah
global warming.
Perubahan iklim secara umum ditandai
dengan
meningkatnya
temperatur
(Increasing temperatures) dan naiknya
permukaan laut (Rising sea levels ). IPCC
(Intergovernmental
Planetary Climate
Change) 2007 mempub-likasikan adanya
trend temperatur global yang umumnya
dipengaruhi oleh Urban Heat Island (UHI).
Data menunjukkan bahwa temperatur
bumi meningkat 0,76oC sejak tahun 1850 –
2005. IPCC 2007 juga menguraikan bahwa
perubahan tempe-ratur dibeberapa negara
menunjukkan kecenderungan yang sama
yaitu terdapat peningkatan temperatur
secara global.
Dengan adanya perubahan iklim tersebut,
maka prasarana fisik serta permukiman
juga mangalami ancaman kerusakan.
100
Berbagai kerusakan tersebut umumnya
disebabkan oleh bencana banjir dan
kenaikan temperatur.
dasar dalam melakukan kebijakan mitigasi
dan adaptasi. IPCC (2007) menguraikan
bahwa perubahan iklim dikaji dengan
mempertimbangkan model perubahan iklim secara natural serta perubahan iklim
akibat tekanan antopogenik sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 1.
Perubahan Iklim Global
Pengaruh perubahan iklim terhadap sistem
fisis dan biologi di alam ini dikaji sebagai
Temperatures from
climate models with
natural (N) forcing
Temperatures from
climate models with
antropogenic (A)
forcing
Weaker agreement
Stronger
Agree
ment
Observed effects
in natural
systems
Observed
temparatures
Stongest agreement
Temperatures from
climate models with
N + A forcing
WG I
Gambar 1 Penyebab perubahan iklim yang diobservasi oleh IPCC
Data secara lokal disajikan dalam Susandi
(2008) yang menguraikan bahwa : pada
tahun 2000, perubahan temperatur ratarata di Indonesia berkisar antara 0,13 –
0,155. Dan pada tahun 2010, rata-rata
perubahan temperatur tersebut meningkat
menjadi 0,25 – 0,245.
Secara global permukaan air laut
meningkat sejak abad ke-20 dengan
peningkatan rata-rata 1,7 mm/tahun.
Selama abad 21, muka air laut diprediksi
meningkat hingga 0,22 – 0,44 m diatas
permukaan air laut pada tahun 1990, dan
peningkatan muka air laut pada rentang
waktu tersebut diprediksi sekita 4
mm/tahun. (IPCC, 2007). Estimasi dan
prediksi perubahan muka air laut
digambarkan pada gambar 2.
Gambar 2 . Tinggi muka air laut rata-rata
sejak tahun 1800 hingga tahun 2100.
(Prediksi dan estimasi).
Selain itu, fenomena yang mudah
dirasakan oleh manusia akibat perubahan
iklim adalah curah hujan. Di beberapa
daerah di Indonesia, struktur musim
mengalami perubahan. Selain itu, curah
101
hujan maksimum pada waktu musim hujan
menjadi lebih tinggi sedang curah hujan
maksimum pada musim kemarau menjadi
lebih rendah. Akibatnya, dibeberapa
daerah sering terjadi banjir pada musim
hujan akibat tingginya curah hujan. Disisi
lain, pada saat musim kemarau terjadi
kekeringan karena curah hujan yang
sangat rendah dan terkadang musim
kemarai lebih panjang dibandingkan
dengan musim hujan.
DAMPAK
DAN
KERENTANAN
PERUBAHAN
IKLIM
TERHADAP
PEMUKIMAN,
PRASARANA
DAN
PEWILAYAHAN
Perubahan iklim menyebabkan terjadinya
banyak bencana di Indonesia. Pada
periode tahun 2003–2005 terjadi sebanyak
1429 bencana di Indonesia, dan 53,3%
diantaranya terkait dengan hydro meteorologi. Selanjutnya bencana banjir yang
terjadi sebanyak 34% dan longsor 16%
dari
sejumlah
bencana
tersebut.
(Kementrian Lingkungan Hidup, 2007).
Perubahan iklim juga memberi dampak
terhadap terjadinya krisis air. Ketersediaan
air untuk kepentingan manusia seperti
kebutuhan sehari-hari, pertanian, perikanan, industri dan lingkungan sangat tergantung pada iklim. Reservoir, dam dan
fasilitas penampung air memiliki kapasitas
yang terbatas untuk menampung air,
sehingga pada musim kemarau terjadi
kesulitan air.
Adanya bencana akibat perubahan iklim
memberi dampak terhadap pemukiman,
prasarana dan pewilayahan.
Dampak Perubahan Iklim terhadap
Pemukiman
Peningkatan temperatur berpotensi mempengaruhi kondisi pemukiman. Akibat suhu
yang lebih tinggi menyebabkan pemukiman membutuhkan energi pendinginan
yang lebih tinggi. Rumah-rumah di kota
besar membutuhkan AC dan berdampak
pada penambahan biaya untuk memperoleh hidup yang lebih nyaman.
Kejadian banjir juga mempengaruhi
kondisi pemukiman. Pada beberapa kota
besar terdapat kawasan yang menerima
anca-man banjir setiap tahunnya, dan
umumnya pemukiman yang terletak di
bantaran sungai. Berikut ini pada tabel 1
disajikan gambaran beberapa kota besar
yang memiliki kawasan pemukiman rawan
banjir.
Tabel 1. Kota-Kota Besar dengan Kawasan
Rawan Banjir
NO
KOTA
SUNGAI
1
JAKARTA
Kamal, Tanjungan, Angke,
Pesanggrahan, Sekretaris,
Grogol, Krukut, Cideng,
Ciliwung, Cipinang, Sunter,
Buaran, Jatikramat,
Cakung
2
SEMARANG
Kali Garang/Kali Semarang
3
BANDUNG
SELATAN
Sungai Citarum Hulu
4
SURABAYA
Kali Brantas
5
PALEMBANG
Sungai Musi
6
PADANG
Batang Arau, Batang
Kuranji, Batang Air Dingin,
7
PEKANBARU
Sungai Siak
8
JAMBI
Sungai Batanghari
9
MEDAN
Sungai Belawan, Deli,
Babura, Percut, Kera
10
BANDA ACEH
Krueng Aceh
11
PONTIANAK
Sungai Kapuas
12
BANJARMASIN
Sungai Barito
13
SAMARINDA
Sungai Mahakam
14
MAKASSAR
Sungai Jeneberang
Sumber : Siswoko, 2002
Dampak Perubahan Iklim terhada
Prasarana
Pada bidang prasarana transportasi,
kenaikan temperatur menyebabkan kerusakan permukaan jalan, pembengkokan
102
bantala rel kereta api dan fasilitas bandar
udara yang tidak sesuai. Kualitas perkerasan jalan raya diidentifikasi akan menurun sebagai suatu isu potensi karena
perubahan temperatur iklim. Perkerasan
jalan apakah itu aspal fleksibel atau aspal
beton, akan mengalami kerusakan apabila
terjadi peningkatan temperatur.
Temperatur akan menyebabkan bahan
perkerasan jalan memuai pada suhu yang
sangat panas dan menyusut pada saat
temperatur dingin. Perubahan ini mengakibatkan bahan jalan cepat lelah (fatigue)
yang pada akhirnya membuat perkerasan
sering lepas, terkelupas, menipis , pecah,
retak, menggembung dan berlubang dan
lain-lain. Pada temperatur dingin permukaan jalan licin dan pada musim panas
aspal fleksibel mencair atau meleleh
sehingga aspal fleksibel sering melekat
pada roda kendaraan. Lambat laun lapisan
perkerasan ini semakin menipis, sehingga
untuk penyesuaian, jalan itu harus lebih
sering mendapat pemeliharaan, membongkar jalan retak dan menggantinya serta
dilakukan pelapisan ulang jalan dengan
bahan aspal dengan kekakuan tinggi yang
tahan panas.
Jalan kereta terbuat dari bentangan baja
yang dapat memuai ketika temperatur
sangat panas. Pemuaian ini dapat melelahkan baja rel yang menurut hukum hook
apabila bahan melewati batas elastisnya
dapat menyebabkan baja mudah membengkok. Pembengkokan ini lebih sering
terjadi apabila temperatur iklim sering
berubah-ubah antara panas dan dingin.
Pada temperatur sangat panas jalan rel
kereta memuai dan pada saat dingin
menyusut.
Menurut Peterson dalam Asrib dan
Mardiaman (2007) bahwa jarak kereta api
untuk dapat melakukan pengereman
makin pendek dan kecepatan kereta api
akan menurun apabila terjadi pembengkokan rel. Untuk mengatasi pembengkokan rel ini maka pengawasan temperatur rel
makin sering dilakukan dan pada akhirnya
akan meningkatkan biaya pemeliharaan
jalur kereta . Selain itu karena rel sering
mengalami pemuaian rel itu menjadi lelah
dan mudah rusak sehingga rel harus
diganti.
Perubahan iklim terutama temperatur dan
tingkat curah hujan dapat mempengaruhi
pesawat udara ketika meakukan take off
ataupun landing. Pada saat pesawat udara
take off diperlukan daya angkat pesawat
udara ke udara. Apabila tekanan angin
kencang maka diperlukan tambahan
tenaga untuk bisa mengangkat pesawat.
Akibatnya diperlukan runway yang lebih
panjang. Selain itu diperlukan bahan bakar
yang lebih banyak untuk meningkatkan
kemampuan angkat pesawat.
Prasarana
transportasi
laut
juga
mengalami dampak akibat kenaikan muka
air laut. Terjadinya gelombang pasang
dapat menyebabkan kerusakan pada
konstruksi dermaga. Prasarana transportasi darat juga menghadapi ancaman
kerusakan. sebagian ruas-ruas jalan Lintas
Timur Sumatera (dari Lhokseumawe
hingga Bandar Lampung sepanjang  1600
km) dan sebagian jalan Lintas Pantura
Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya
sepanjang  900 km) serta sebagian Lintas
Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar
hingga Bulukumba sepanjang  250 km).
(Depkimpraswil, 2002)
Pada bidang prasarana penyediaan air
bersih, perubahan iklim berdampak pada
kesulitan penyediaan air bersih pada
musim kemarau. Debit air pada musim
kemarau tidak mencukupi kebutuhan air
perkotaan. KLH (2007) mengungkapkan
data bahwa penyediaan air bersih hanya
mampu melayani 37% kebutuhan penduduk kota dan 8% kebutuhan penduduk
desa. Akibat kekurangan air ini, menyebabkan banyak industri yang mengeksplorasi air bawah tanah. Kondisi ini menyebabkan resiko penurunan permukaan
tanah (subsidence). Data yang diperoleh
dari Dinas Pertambangan dan Energi
103
Propinsi DKI Jakarta dalam Susandi (2008)
menguraikan bahwa : Wilayah DKI Jakarta
mengalami penurunan permukaan tanah
antara 0,012 m – 0,064 m yang dihitung
antara tahun 1982 – 1997. Data laiin di
Kota Semarang menunjukkan terjadinya
penurunan permukaan tanah hingga 0,115
cm/tahun.
Kejadian
banjir
juga
menyebabkan
rusaknya saluran drainase kota. Selain itu,
peningkatan curah hujan membutuhkan
drainase yang lebih besar kapasitasnya.
Data menunjukkan bahwa pada tahun
2007, debit banjir maksimum di Kota
Jakarta sebesar 1600 m3/detik sedang
kapasitas banjir kanal barat hanya sebesar
300 m3/detik.
Pada penyediaan energi listrik, perubahan
iklim menyebabkan terjadinya kesulitan
dalam kegiatan produksi PLTA. Pembangkit
listrik jenis ini hanya dapat beroperasi
dengan debit air yang cukup sedang pada
musim kemarau debit yang dibutuhkan
tidak mencukupi. Akibatnya dibeberapa
kota besar di Indonesia sering terjadi
pemadaman bergilir. Tingginya curah
hujan
pada
saat
musim
hujan
menyebabkan angkutan sedimen tinggi
pula dan akibatnya kapasitas waduk
sebagai sumber air PLTA menurun. PLTA
Bakaru di Sulawesi Selatan mengalami
kondisi tersebut, yaitu data yang
ditunjukkan oleh oleh PT. PLN (Persero)
Wilayah Sulsel dan Sultra Sektor Bakaru
Periode Juni 2005, menunjukkan bahwa
volume air di waduk cenderung menurun
dari kapasitas tampung 6.919.900 m3
pada tahun 1990 menjadi 588.500 m3
pada tahun 2005, sedangkan volume
sedimentasi enunjukkan peningkatan yang
signifikan yaitu 0 m3 pada tahun 1990
menjadi 6.331.400 m3 pada tahun 2005.
Dampak Perubahan Iklim terhadap
Pewilayahan
Negara kita yang terdiri atas 17,508 pulau
dengan panjang garis pantai 81,000 km
sangat rentan terhadap bahaya banjir
pasang. Bahkan wilayah pesisir ini dihuni
tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60%
dari penduduk Indonesia yang bertempat
tinggal dalam radius 50 km dari garis
pantai. Dan terdapat 47 kota pantai mulai
dari Sabang hingga Jayapura sebagai
pusat pelayanan aktivitas sosial-ekonomi
pada 37 kawasan andalan laut sekaligus
sebagai pusat pertumbuhan kawasan
pesisir. (Depkimpraswil, 2002).
Pada perencanaan pewilayahan kota,
perubahan iklim berdampak pada kerentanan pemukiman kawasan pesisir.
Fungsi kawasan pesisir yang menurun
akibat meningkatnya permukaan air laut,
subsidence dan intrusi air laut. Peran
strategis kawasan pesisir, yakni sebagai
pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan
pemerintahan bagi kawasan tersebut.
Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air
laut diantaranya adalah Lhokseumawe,
Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda,
Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya,
Singkawang, Ketapang, Makassar, ParePare, Sinjai.
Menurut
Departemen
Kelautan
dan
Perikanan, dalam dua tahun saja (2005 –
2007) Indonesia telah kehilangan 24 pulau
kecil di Nusantara. Sebanyak 24 pulau
yang tenggelam itu antara lain tiga pulau
di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tiga
pulau di Sumatera Utara, tiga di Papua,
lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera
Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan tujuh
di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta.
Mayoritas pulau kecil yang tenggelam
tersebut diakibatkan oleh erosi air laut
yang diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial
Kejadian
banjir
juga
menyebabkan
berkurangnya fungsi daerah aliran sungai.
Curah hujan ekstrim akan memudahkan
terjadinya luapan dan genangan air pada
bantaran sungai. Akibatnya erosi tanah
mudah terjadi. Erosi yang berelebihan
104
akan menyebabkan meningkatnya luas
lahan kritis.
LANGKAH MITIGASI PERUBAHAN
IKLIM PADA SEKTOR PERMUKIMAN,
PRASARANA DAN PEWILAYAHAN
Mitigasi adalah usaha menekan penyebab
perubahan iklim, seperti gas rumah kaca
dan lainnya agar resiko terjadinya
perubahan iklim dapat diminimalisir atau
dicegah. Dalam bidang permukiman,
langkah mitigasi yang dapat dilakukan
adalah :
- Penggunaan konstruksi bangunan yang
berwawasan lingkungan, yaitu konstruksi yang memanfaatkan sinar matahari
sebagai sumber cahaya dan sumber
energi. Konstruksi bangunan yang
demikian dapat meminimalisir penggunaan energi listrik dengan menghemat
penggunaan AC dan lampu penerang.
- Penyediaan ruang terbuka hijau untuk
menurunkan suhu udara perkotaan
serta dapat mengurangi emisi karbon.
Penyediaan ruang terbuka hijau diatur
dalam UU No. 26/2007 tentang
pengembangan kawasan perkotaan.
Dalam UU tersebut disyaratkan dalam
kawasan perkotaan harus tersedia RTH
sebesar 10% RTH Privat dan 20% RTH
Publik. RTH Privat adalah RTH yang ada
dalam ruang terbangun seperti lingkungan perumahan. Sedangkan RTH
publik berada dalam ruang terbuka
(publik) di kawasan perkotaan.
- Pengelolaan sampah yang terintegrasi
mulai dari penghasil hingga TPA.
Konsep reduce, reuse dan recycle dapat
dilakukan untuk meminimalisir tumpukan sampah di TPA. Pengelolaan sampah
perkotaan di TPA masih menggunakan
metoda open dumping sehingga gas
metana yang dihasilkan dari proses
dekomposisi anaerobik dapat terlepas
ke atmosfer dan menyebabkan pemanasan global.
Pada bidang prasarana, langkah mitigasi
yang dapat dilakukan berupa penyediaan
prasarana untuk fasilitas pejalan kaki dan
pengendara sepeda. KLH (2007) menguraikan bahwa berjalan kakisejauh 1 km
dapat mereduksi emisi CO2 sebesar 222
gram jika dibandingkan dengan jarak
tempuh yang sama untuk mobil.
LANGKAH ADAPTASI PERUBAHAN
IKLIM PADA SEKTOR PERMUKIMAN,
PRASARANA DAN PEWILAYAHAN.
Kegiatan adaptasi adalah pengaturan sistem alam dan manusia dalam merespon
perubahan iklim. Berbagai tindakan adaptasi yang dapat dilakukan dalam aspek
pemukiman, prasaran dan pewi-layahan
adalah :
- Sebagai langkah adaptasi terhadap
ekstrimnya curah hujan dan kekeringan,
maka daya dukung daerah aliran sungai
perlu ditingkatkan. Yaitu dengan meningkatkan kapasitas tampung dam
serta kemampuan presipitasi untuk
menjaga ketersediaan air.
- Pada pemukiman padat yang rawan
banjir, perlu dibuat ‘warning system”
sehingga dampak kerugian baik berupa
harta benda maupun nyawa manusia
dapat diminimalisir.
- Perubahan iklim mengharuskan infrastruktur lebih tahan terhadap kejadian
iklim ekstrim. Faktor adaptasi perubahan iklim harus dimasukkan dalam
proses perencanaan pembangunan
infrastruktur. Informasi perubahan iklim
seperti kenaikan temperatur, perubahan
proses penguapan, kelembaban, dan
kadar air harus terintegrasi dalam
desain, kode, dan standard infrastruktur
fisik. Perlu perubahan kriteria standar
perencanaan, pelaksanaan dan operasi,
serta pemeliharaan infrastruktur dengan
adanya peningkatan intensitas hujan
dan berkurangnya curah hujan dimusim
kemarau, seperti perubahan modul
drainase, standar pemberian air irigasi,
dan pola operasi waduk.
- Desain gedung perlu memperhatikan
ketahanan terhadap badai tropis, intensitas hujan yang tinggi, kekeringan, dan
temperatur yang meningkat.
105
-
-
Membangun pemukiman penduduk
dengan sistem rumah susun (vertikal)
khususnya di kota-kota di Pulau Jawa
untuk menanggulangi masalah keterbatasan lahan.
Pembangunan jalan perlu memperhatikan tata ruang dan prediksi kenaikan permukaan air laut. Pembangunan
akses jalan tersebut perlu dibahas oleh
Departemen Perhubungan bersama
dengan Departemen Kehutanan, serta
Departemen Kelautan dan Perikanan.
PENUTUP
Perubahan iklim merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindari. Strategi
mitigasi dan adaptasi untuk kenyamanan
mahluk hidup utamanya manusia harus
diimplementasikan oleh semua pihak. Pada
bidang
pemukiman,
prasarana
dan
pemukiman, strategi tersebut utamanya
melibatkan pihak pemerintah sebagai agen
pembangunan. Sedang masyarakat memegang peran dalam upaya pemeliharaan
fasilitas umum sehingga pembangunan
yang dilaksanakan dapat dinikmati oleh
semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Asrib, A.R.
dan Mardiaman., Dampak
Potensial Perubahan Iklim terhadap
Sistem Transportasi, Tugas Mata
Kuliah
Perubahan
Lingkungan
Global. PSL, IPB, Bogor, 2006.
Depkimpraswil, Antisipasi Dampak Pemanasan Global Dari Aspek Teknis
Penataan
Ruang,
Makalah
ini
disajikan dalam Seminar Nasional
tentang Pengaruh Global Warming
terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil Ditinjau dari Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir yang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi
Tata Ruang Nasional (BKTRN) di
Jakarta, 30–31 Oktober 2002, 2002.
lam rangka “Seminar Nasional Penataan
Wilayah
Pesisir
dalam
Perspektif Teknik Sipil dan Arsitektur” yang diselenggarakan pada
tanggal 27 Agustus 2003 di
Kalimantan Barat, Pontianak, 2003.
IPCC,
Climate Change 2007–Impacts,
Adaptation and Vulnerability. Contributin of Working Group II to the
Fourth Assessment Report of IPCC,
2007.
June, T., Bahan Kuliah Perubahan Lingkungan Global, PSL, IPB, Bogor, 2005.
Kementerian Lingkungan Hidup, National
Action Plan Addressing Climate
Change, KLH, Jakarta, 2007.
Meiviana, A., D.R. Sulistiowati dan M.H.
Soejachmoen, Bumi Makin Panas:
Ancaman
Perubahan
Iklim
di
Indonesia, Yayasan Pelangi, Jakarta,
2004.
Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Pengembangan Kawasan
Perkotaan.
Wahid, dkk., Analisis Karakteristik Sedimentasi Di Waduk PLTA Bakaru
dalam Upaya Menanggulangi Krisis
Energi Listrik di Provinsi Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Barat. Jurnal
Sains & Teknologi, Agustus 2006,
Vol. 6 No.2: 71–80, 2006.
Siswoko, Banjir, Masalah Banjir dan Upaya
Mengatasinya,http.www.pu.go.id/ditj
en_ruang/TaruNews/LIVEWITHFLOO
DS.ppt. Diakses tanggal 6 April
2008.
Depkimpraswil,
Kebijakan
Pemerintah
tentang Penataan Ruang Wilayah
Pesisir. Makalah ini disampaikan da106
Download