BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anjing merupakan makhluk sosial sama seperti halnya manusia. Kedekatan pola perilaku anjing dengan manusia menjadikan anjing bisa dilatih, diajak bermain, tinggal bersama manusia, dan diajak bersosialiasi dengan manusia dan anjing yang lain. Seperti halnya manusia anjing juga dapat terserang berbagai macam penyakit, baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius. Banyak diantara penyakit tersebut yang tidak dapat ditangani dengan obat-obatan sehingga untuk penanganannya dibutuhkan tindakan pembedahan (Erwin, 2013). Untuk melakukan tindakan pembedahan pada hewan, anestesi sangat diperlukan untuk mempermudah proses pembedahan. Semua tujuan anestesi dapat dicapai dengan pemberian obat anestetikum secara tunggal maupun mengkombinasikan beberapa agen anestetikum atau dengan agen preanestetikum (Tranquilli, 2007). Preanestesi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi dosis anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek samping anestetikum, dan mengurangi nyeri selama operasi maupun pasca operasi (Debuf, 1991; McKelvey dan Hollingshead, 2003). Saat ini banyak sekali jenis anestetikum yang beredar dan digunakan dalam dunia kedokteran hewan, sehingga diperlukan pemahaman seorang dokter hewan terhadap anestetikum yang akan digunakan (Kilic 2004). Beberapa contoh obat anestetikum yang digunakan dalam dunia kedokteran hewan adalah thiopenton sodium, ketamin, tiletamin dan yang lainnya. Pemilihan preanestetikum dipertimbangkan sesuai dengan spesies, status fisik pasien, jenis operasi, dan kesulitan dalam pemberian anestetikum (Booth dan Branson 1995). Sebelum pemberian agen anestesi, terlebih dahulu pasien diberikan premedikasi dengan tujuan menenangkan pasien, mempermudah induksi dan dosis anestetikum yang digunakan Obat premedikasi yang sering digunakan pada anjing adalah xilazin dan atropin. Pemberian xilazin biasanya dikombinasikan dengan atropin sebagai premedikasi dan ketamin sebagai agen anestesi. Penggunaan xilazin dapat mengurangi produksi saliva dan peningkatan tekanan darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin (Warren, 1983). Penggunaan kombinasi ketamin- xilazin sebagai anestesi umum juga mempunyai banyak keuntungan, antara lain : mudah dalam pemberian, ekonomis, induksinya cepat begitu pula dengan pemulihannya, mempunyai pengaruh relaksasi yang baik dan jarang menimbulkan komplikasi klinis (Benson et al.,1985). Sebagai premedikasi, atropin berfungsi menghambat produksi saliva, menghambat sekresi bronchial, dilatasi pupil mata, meningkatkan denyut jantung dan mengurangi motilitas gastrointestinal. Sementara ketamin merupakan jenis obat anestesi yang dapat digunakan pada hampir semua jenis hewan (Hall dan Clarke, 1983). Ketamin dapat menimbulkan efek yang membahayakan, yaitu takikardia, hipersalivasi, meningkatkan ketegangan otot, nyeri pada tempat penyuntikan, dan bila dosis berlebihan akan menyebabkan pemulihan berjalan lamban dan bahkan membahanyakan (Jones et al., 1997). Karena ketamin dapat menimbulkan efek yang berbahaya, maka dalam penggunaannya ketamin dikombinasikan dengan xilazin. Pemberian anestesi dapat dilakukan melalui topikal misalnya melalui kutaneus atau membrana mukosa; pemberian secara injeksi seperti intravena, subkutan, intramuskuler, dan intraperitoneal; pemberian secara gastrointestinal seperti oral atau rektal; dan secara inhalasi melalui saluran nafas (Tranquilli et al. 2007). Pemberian obat secara inhalasi (gas) dinilai lebih aman dan dapat memberikan anestesi yang lebih baik, namun anestesi secara inhalasi dengan menggunakan gas memerlukan perangkat yang mahal, rumit dan kurang praktis dibandingkan dengan pemberian obat secara injeksi (Sudisma et al., 2012). Penyuntikan premedikasi xilazin secara subkutan dianggap mudah untuk diberikan. Obat diserap secara perlahan karena vaskularisasinya rendah dibandingkan dengan intramuskuler. Namun injeksi secara subkutan masih jarang diaplikasikan dalam praktek khususnya pada anjing, hal ini dikarenakan kurangnya data hasil penelitian tentang efek terhadap fisiologis anjing. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian terhadap keadaan anjing selama masa anestesi dengan pemberian premedikasi xilazin secara subkutan, khususnya terhadap total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai Packed Cell Volume (hematokrit). Total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit anjing lokal dapat menurun selama masa anestesi dan kembali meningkat selama masa pemulihan kesadaran (Schalm, 2010).Nilai hematokrit yang tinggi menandakan adanya peningkatan kekentalan darah, yang menyebabkan penurunan curah jantung. Sebaliknya, apabila nilai hematokrit rendah maka menandakan terjadinya anemia karena kehilangan darah, hemolisis atau adanya gangguan dalam produksi sel darah merah selama masa anestesi, hal tersebut dapat menurunkan jumlah oksigen yang diangkut ke jaringan tubuh. Selama masa anestesi limpa mengalami dilatasi, dimana sel darah merah dalam sirkulasi mengalir masuk limpa karena limpa sebagai tempat penyimpanan eritrosit (Schalm, 2010). Seiring dengan mulai kesadaran limpa mengalami kontraksi disertai keluarnya sel darah merah menuju ke sirkulasi. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Apakah pemberian berbagai dosis premedikasi xilazin dan anestesi ketamin yang diberikan secara subkutan berpengaruh terhadap total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit anjing lokal selama masa anestesi? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian berbagai dosis premedikasi xilazin dan anestesi ketamin secara subkutan terhadap total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit anjing lokal selama masa anestesi. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu a. Memberikan informasi pemberian berbagai dosis xilazin dan ketamin secara subkutan pengaruhnya terhadap total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit anjing lokal selama masa anestesi. b. Memberi informasi rentang dosis premedikasi xilazin yang aman dan efektif pada anjing lokal yang di injeksi secara subkutan. 1.5 Kerangka Konsep Pemilihan obat anestesi yang tepat perlu dilakukan guna meminimalkan efek samping yang ditimbulkan. Ketamin menghasilkan keadaan anestesi disosiatif ditandai dengan hilangnya rasa sakit yang dalam, tetapi mata tetap terbuka selama stadium anestesi (Godman dan Gillman, 1995). Namun ketamin juga mempunyai beberapa kerugian diantaranya dapat menimbulkan kekejangan pada saat teranestesi dan pemulihan yang dapat menyebabkan kematian (Hall dan Clarke, 1983). Untuk menghilangkan efek samping tersebut, penggunaan ketamin dikombinasikan dengan xilazin dan atropin sebagai premedikasi. Penggunaan xilazin dapat mengurangi sekresi saliva dan meningkatkan tekanan darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin (Warren, 1983). Xilazin dapat menyebabkan muntah serta menurunkan frekuensi denyut jantung. Maka dari itu diberikan atropin untuk memperkecil kemungkinan muntah yang disebabkan oleh xilazin. Pemberian agen anestesi pada hewan biasanya dilakukan secara injeksi intramuskuler karena mudah pengaplikasiannya. Namun untuk mendapatkan efek kerja obat yang lama terkadang dilakukan penambahan agen anestesi. Alternatif lain yang dapat dilakukan agar tidak terjadi penambahan agen anestesi adalah dengan injeksi secara subkutan. Dimana injeksi secara subkutanakan memberikan efek kerja obat yang lebih lama karena apabila obat diinjeksikan secara subkutan akan terjadi penyerapan secara perlahan-lahan. Total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit anjing lokal dapat menurun selama masa anestesi dan kembali meningkat selama masa pemulihan kesadaran (Schalm, 2010).Nilai hematokrit yang tinggi menandakan adanya peningkatan kekentalan darah, yang menyebabkan penurunan curah jantung. Sebaliknya, apabila nilai hematokrit rendah maka menandakan terjadinya anemia karena kehilangan darah, hemolisis atau adanya gangguan dalam produksi sel darah merah selama masa anestesi, hal tersebut dapat menurunkan jumlah oksigen yang diangkut ke jaringan tubuh. Selama masa anestesi limpa mengalami dilatasi, dimana sel darah merah dalam sirkulasi mengalir masuk limpa karena limpa sebagai tempat penyimpanan eritrosit (Schalm, 2010). Seiring dengan mulai kesadaran limpa mengalami kontraksi disertai keluarnya sel darah merah menuju ke sirkulasi. 1.6 Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep dapat disusun hipotesis bahwa pemberian berbagai dosis premedikasi xilazin dan anestesi ketamin secara subkutan dan waktu pengamatan berpengaruh terhadap total eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit anjing lokal.