ILMU KIMIA SUMBER ALAM HAYATI INDONESIA : PENELITIAN UNTUK PENGEMBANGAN PENDIDIKAN, ILMU PENGETAHUAN, DAN SUMBERDAYA MANUSIA * ) Sjamsul Arifin Achmad, Euis Holisotan Hakim, Lia Dewi Juliawaty, Lukman Makmur, Didin Mujahidin, dan Yana Maulana Syah Kelompok Penelitian Kimia Organik Bahan Alam, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganeca 10, Bandung 40132, E-mail: [email protected] I. Pendahuluan Era globalisasi ditandai oleh tersedianya peluang yang sama antara berbagai bangsa di dunia. Dunia berada dalam satu kebudayaan, bangsa yang kuat dan yang lemah berada dalam satu medan yang sama, dengan kedudukan yang sama pula. Dengan demikian, permasalahan bangsa akan berdimensi internasional. Globalisasi adalah dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti terlihat dari perkembangan bidang transportasi, komunikasi, dan informasi selama beberapa dekade terakhir. Kemajuan ekonomi dan budaya bangsa dewasa ini dilandasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan komoditi dan masyarakat dengan muatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin meningkat, atau ”science and technology base economy”. Oleh karena perkembangan ilmu pengetahuan bersifat universal, maka sistem pendidikan di Indonesia terus mendapat tekanan agar terus meningkatkan ”internasionalisasi”, sehingga dapat menghasilkan bangsa Indonesia yang cerdas, menguasai ilmu pengetahuan, mampu mengembangkan intelektualitas, mampu berkomunikasi, mempunyai pandangan yang luas, sehingga mampu merebut peluang dalam persaingan apapun. . Pada kesempatan ini dapat dikemukakan bahwa ilmu kimia bahan alam hayati adalah ilmu pengetahuan yang sangat luar biasa dan sangat indah, mengandung nilainilai ilmu pengetahuan untuk tradisi akademik dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi..Ilmu kimia bahan alam mempunyai nilai-nilai hakiki ilmu pengetahuan, perspektif sejarah ilmu kimia, penuh fenomena kimia, sarat molekul yang menarik, mempunyai prospek ilmiah masa depan, dan aktual untuk Indonesia. Ilmu pengetahuan ini, yang merupakan milik bersama umat manusia, sangat strategis untuk membina dan mengembangkan ”new practicing scientists ” yang akan menggiring ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonensia ke dan di masa yang akan datang. *} Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Kimia, Universitas Negeri Surabaya, 5 Desember 2007. 1 II. Pola kimia Lauraceae, Moraceae, dan Dipterocarpaceae Indonesian termasuk salah satu dari tujuh negara “megadiversity” yang kaya akan keanekaragaman hayati, kedua setelah Brazil. Oleh karena setiap spesies tumbuhan, hewan, dan mikro-organisme yang terdapat di darat maupun di laut mempunyai nilai-nilai kimiawi, dalam arti menghasilkan berbagai jenis senyawa kimia yang banyak jumlahnya, maka keanekaragaman hayati yang tersedia di Indonesia dapat diartikan sebagai sumber senyawa kimia bahan alam yang sangat beranekaragam. Sehubungan dengan itu, sejak hampir dua dekade terakhir, beberapa kelompok tumbuhan tropika yang asli berasal dari Indonesia telah diselidiki di laboratorium kami. Tumbuh-tumbuhan tersebut antara lain termasuk spesies famili Lauraceae, Moraceae, dan Dipterocarpaceae. Masing-masing famili tumbuhan ini terdiri dari banyak spesies, dan tersebar secara luas di Indonesia. Penelitian kami menunjukkan bahwa tumbuhtumbuhan ini mengandung berbagai jenis senyawa kimia baru yang unik, antara lain jenis terpenoid, alkaloid, flavonoid, dan stilbenoid. Terkait dengan itu, hipotesis yang kami gunakan ialah bahwa senyawa-senyawa ini memegang peranan yang sangat penting dalam metabolisme dan fungsi ekologi masing-masing kelompok tumbuhan tersebut, menggantikan senyawa-senyawa sejenis yang dihasilkan oleh kelompok tumbuhan lain. Pertimbangan tersebut di atas telah kami gunakan untuk menyelidiki ilmu kimia sejumlah spesies tumbuhan ini yang tumbuh terisolasi dan tersebar di banyak wilayah Indonesia. Makalah ini akan menguraikan secara ringkas keanekaragaman jenis molekul tersebut yang telah ditemukan di laboratorium kami, serta keunikan yang merupakan faktor penentu sifat-sifat fisika, kimia, dan fisiologi senyawa. Hasil-hasil penelitian ini merupakan landasan bagi pengembangkan penelitian-penelitian orisinil selanjutnya. Alkaloid, seskuiterpenoid dan α-pyron dari Lauraceae Lauraceae yang dikenal dengan nama medang, adalah suatu famili tumbuhan tropika yang tersebar secara luas di seluruh kepulauan Nusantara, terdiri dari 31 genus dan sekitar 3000 spesies. Litsea dan Cryptocarya adalah dua genus utama, masingmasing terdiri dari 318 and 478 (Cronquist, 1981; Kostermans, 1957). Beberapa spesies Litsea dan Cryptocarya digunakan dalam pengobatan tradisional Indonesia untuk menyembuhkan berbagai penyakit, seperti diare dan penyakit kulit (Heyne, 1987). Dilaporkan pula bahwa beberapa spesies yang termasuk kedua genus ini memperlihatkan berbagai efek farmakologi, seperti antikanker dan antimikroba (Collins, 1990). Penelitian kimia terhadap lebih 20 spesies Lauraceae Indonesia, yang berasal dari wilayah Sumatera hingga Irian Jaya, telah kami dilakukan untuk pertama kalinya, misalnya tumbuhan Litsea amara, L. cassiaefolia, L. excelsa, L. firma, L. glutinosa, Neolitsea cassiaefolia, dan Cryptocarya densiflora. Penelitian ini berhasil menemukan banyak senyawa, termasuk senyawa baru jenis alkaloid, seskuiterpenoid, dan α-piron dengan beranekaragam struktur molekul. Dari L. glutinosa ditemukan alkaloid baru yang diberi nama itebein (1), bersama-sama dengan retikulin (2), krikonisin (3), palidin (4), boldin (5), dehidrodisentrin (6), dan disentrinon (7) dari L. cassiaefolia, L. excelsa, L. firma, seperti tercantum pada Bagan 1 (Achmad, 1990; Hakim, 1994a; Makmur, 1995). 2 O N O O CH3O OCH3 Disentrinon (7) (Litsea excelsa) O N O CH3 CH3O OCH3 N(CH3 )2 O O CH3O OH Dehidrodisentrin (6) (Litsea cassiaefolia) CH3O Itebein (1) (Litsea glutinosa) HO N HO CH3 CH3O N CH3O CH3 CH3O OH Retikulin (2) (Litsea firma) OH Boldin (5) (Litsea glutinosa) 3 OH CH3O CH3O N CH3O NCH3 CH3O HO O Krikonisin (3) (Litsea firma) Palidin (4) (Litsea firma) Bagan 1. Beberapa alkaloid dari sejumlah spesies Lauraceae masing-masing dengan kerangka dasar karbon yang berbeda serta hubungan biogenesis Dari L. amara dan C. densiflora ditemukan pula senyawa baru turunan seskuiterpenoid, masing-masing diberi nama indonesiol (8) dan pseudolinderadin (9) (Achmad, 1990, 1992a), bersama-sama dengan senyawa seskuiterpenoid lainnya, yaitu isokurkumol (10). 8-hidroksikusunol (11), dan asam fiserilakton (12), masing-masing dari L. cassiaefolia, L. excelsa, dan N. Cassiaefolia, seperti tercantum pada Bagan 2 (Achmad, 1992b; 1995; Hakim, 1994b; Makmur, 1995). OH Indonesiol (8) (L. amara) OH OH 8-Hidroksikusunol (11) (L. excelsa) H OH O OH O O H3C H H CO2OH H Isokurkumol (10) (L. cassiaefolia) Asam fiserilakton (12) (N. cassiaefolia) 4 H O O S O S CH3 O O Pseudolinderadin (9) (C. densiflora) Bagan 2. Beberapa seskuiterpenoid dari sejumlah spesies Lauraceae masing-masing dengan kerangka dasar karbon yang berbeda serta hubungan biogenesis Dari beberapa spesies Cryptocarya telah ditemukan pula senyawa turunan αpyron. Dari penelitian pertama terhadap spesies Cryptocarya kamahar yang tumbuh di Bolaang Mongondow, Sulawesi, berhasil ditemukan suatu senyawa baru yang diberi nama kamaharlakton (13), bersama-sama dengan goniotalamin (14) (Damayanti, 2005; Juliawaty, 2006). Selanjutnya, dari spesies C. strictifolia yang tumbuh di Gunung Palung, Kalimantan Barat, ditemukan pula senyawa baru turunan α-pyron, .yang diberi nama trivial striktifolion (15) (Juliawaty, 2000, 2006). O O O O H H Kamaharlakton (13) H OH OH H H Goniotalamin (14) O O Striktifolion (15) Stilbenoid, adduct Diels-Alder, dan flavonoid dari Moraceae Tumbuh-tumbuhan yang termasuk famili Moraceae telah digunakan di Asia dalam pengobatan tradisional, pertanian, dan bahan bangunan. Tumbuh-tumbuhan ini terdiri dari 60 genus dan 1400 spesies, dan tersebar di wilayah tropika Asia (Cronquist, 1981; Verheij, 1992). Beberapa genus ini, yaitu Morus dan Artocarpus merupakan genus yang penting dan telah menarik banyak perhatian. Beberapa spesies Morus seperti M. alba (murbei) tumbuh di Cina dan Jepang, dan digunakan dalam pengobatan tradisional untuk menyembuhkan berbagai penyakit, seperti batuk, asma, hipertensi, aterosklerosis, artritis, dan anemia (Kimura, 1996), dan daunnya digunakan sebagai pakan ulat sutera. . Morus macroura yang dikenal dengan nama andalas, adalah tumbuhan langka asli Indonesia. Kayu tumbuhan ini digunakan sebagai bahan bangunan dan perabot yang tahan terhadap jamur dan rayap. Penyelidikan tumbuhan ini berhasil menemukan beberapa senyawa baru turunan stilbenoid, yaitu andalasin A (16) dan andalasin B (17). 5 OH OH HO H O OH OH OH OH HO H OH OH OH OH OH HO OH Andalasin A (16) Andalasin B (17) Melalui pendekatan bioteknologi, maka dari kultur akar tumbuhan andalas atau M. macroura, ditemukan pula beberapa senyawa jenis adduct Diels-Ader, seperti kuwanol E (18), calkomorasin (19), kuwanon J (20), kuwanon R (21), dan mulberofuran P (22). HO HO OH OH HO OH HO O H H OH O O H H OH OH OH H H OH OH HO HO Kuwanol E (18) Calkomorasin (19) OH HO HO OH R O H O OH HO H O O O OH OH H OH OH OH HO R= OH : Kuwanon J (20) R= H : Kuwanon R (21) OH Mulberofuran P (22) Genus Artocarpus yang terdiri dari 50 spesies terutama ditemukan di Indonesia, Malaysia, dan Filipina (Verheij, 1992). Artocarpus mengandung antara lain senyawa- 6 senyawa kimia turunan flavonoid dan adduct Diels-Alder, sejenis dengan yang ditemukan pada Morus (Nomura, 1998). Senyawa-senyawa ini menarik, karena mempunyai kombinasi yang sangat menarik antara struktur molekul yang unik dan relatif sederhana, dengan berbagai khasiat yang berguna. Pada penyelidikan terhadap Artocarpus champeden (sinonim A. integer), yang dikenal dengan nama cempedak, telah ditemukan banyak senyawa flavonoid, termasuk sejumlah senyawa baru, yang memperlihatkan sifat-sifat anti-kanker yang sangat kuat terhadap sel kanker leukemia P388, yakni artoindonesianin A (23), artoindonesianin B (24), artoindonesian T (25), artoindonesianin (26), artoindonesian E (27), artoindonesianin L (28), artokarpanon (29), dan norartokarpetin (30), seperti tercantum pada Bagan 3 (Hakim, 2005, 2006). HO O OH O OH O O Artoindonesianin A (23) IC50 21.0 g/mL OH HO CH3O O HO O OH O O OCH3 OH OOH OH O OH OH HO O O OH O Artoindonesianin B (24) IC50 3.9 g/mL H3 CO HO Artoindonesianin T (25) IC50 1.9 g/mL OCH3 O HO O O Artoindonesianin (26) IC50 0.2 g/mL OH OH OCH3 OH O Artoindonesianin E (27) OH O Artoindonesianin L (28) 7 IC50 0.6 g/mL HO CH3O O OH OH HO HO O Artokarpanon (29) IC50 19.3 g/mL OH O OH O Norartokarpetin (30) Bagan 3. Beberapa senyawa kimia berbagai jenis dari tumbuhan A. champeden dan aktivitas sitotoksik terhadap sel P-388 serta hubungan biogenesis. Stilbenoid dari Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae adalah salah satu famili tumbuhan terbesar yang ditemukan pada hutan tropika Indonesia. Tumbuh-tumbuhan ini terdistribusi di wilayah Indonesia bagian barat hingga Papua, terutama di Kalimantan, sehingga kayu tumbuhan ini dikenal dengan meranti atau kayu Kalimantan Dipterocarpaceae terdiri dari 16 genus dan 600 species (Cronquist, 1981; Symington, 1974), akan tetapi hingga kini baru beberapa spesies yang telah diteliti. Genus terbesar adalah Shorea yang terdiri dari 150 spesies, Vatica terdiri dari 87 spesies, Dipterocarpus terdiri dari 75 spesies, sedangkan Dryobalanops hanya sembilan spesies, termasuk di dalam semuanya ini pohon-pohon yang tinggi sebagai penghasil kayu yang sangat berharga. Pada tumbuh-tumbuhan ini antara lain ditemukan senyawa-senyawa turunan oligostilbenoid, seperti monomer resveratrol, dimer, trimer, dan lain-lain, yang memperlihatkan bioaktivitas yang berguna, seperti antibakteri, antikanker, antihepatotoksik, dan anti-HIV (Hakim, 2002b). Oleh karena itu, Dipterocarpaceae sangat potensial sebagai objek penelitian kimia bahan alam dan farmasi. Pada spesies Shorea seminis, yang baru diselidiki untuk pertama kalinya, telah ditemukan senyawa monomer resveratrol 12-C-glucopyranoside (31) dan suatu senyawa baru dimer resveratrol, yang diberi nama diptoindonesin A (32) ) (Aminah, 2002, 2003), dari spesies S. balangeran ditemukan pula antara lain senyawa dimer laevifonol (33) (Tukiran,2003), sedangkan dari spesies Dryobalanops oblongifolia ditemukan pula dua senyawa baru turunan trimer resveratrol, yang diberi nama cis-diptoindonesin B (34) dan trans-diptoindonesin B (35), seperti tercantum pada Bagan 4 (Syah, 2003 8 Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman hayati hutan tropika Indonesia adalah gudang senyawa-senyawa organik bahan alam yang mempunyai struktur molekul yang beranekaragam dengan sifat-sifat biologi yang potensial. Sebagian besar sumber alam hayati Indonesia ini belum terjamah secara kimiawi, namun masih tetap menjanjikan berbagai metabolit sekunder dengan struktur molekul yang baru dan unik. Penemuan senyawa-senyawa murni ini yang memperlihatkan efek farmakologi, seperti efek sitotoksik, membuka peluang untuk menemukan “lead compounds” untuk uji-uji biologi lainnya yang lebih luas dengan target yang lebih spesifik. Hasil penelitian ini membuka peluang untuk memberdayakan keanekaragaman hayati Indonesia secara ilmiah dengan mengembangkan penelitian-penelitian selanjutnya. Ilmu kimia bahan alam sebagai ”experimental science” merupakan sarana untuk melakukan pengamatan tentang fenomena alam, dengan penuh kejelian dan logika, dan memeriksa ketelitian hipotesis yang muncul dari fenomena apapun yang diamati, menghargai fenomena alam, objektif, dan menegakkan kebenaran dalam penyelidikan, untuk mengembangkan sikap ilmiah. HO HO A1 A1 HO H 7a 8a A2 HO A2 H B2 OH O H HO B2 OH HO H 8b HO H 7a 8a O B1 H 8b H HO 7b O B1 H 7b O C1 C1 HO OH C2 C2 OH OH cis-Diptoindonesin B (34) trans-Diptoindonesin B (35) 9 Gluc. HO HO HO OH H Gluk O H O OH OH HO HO OH O H H H OH OH Resveratrol 12-C-glucopyranoside (31) O H OH OH Diptoindonesin A (32) HO O O H H OH Laevifonol (33) Bagan 4. Beberapa senyawa kimia stilbenoid dari spesies Dipterocarpaceae dan hubungan biogenesis masing-masing senyawa. Daftar pustaka Achmad, S.A., Hakim, E.H., Makmur, L., Rizal, H., and Zamri, A. (1990). "Ilmu Kimia Tanaman Lauraceae Indonesia: III. Isolasi Aktinodafnin dan Boldin dari Litsea glutinosa", ITB Proceedings, 23(1), 1. Achmad, S.A., Ghisalberti, E.L., Hakim, E.H., Makmur, L. and Manurung, M. (1992a). "A New Sesquiterpene Alcohol from Litsea amara Bl. (Lauraceae)", Phytochemistry, 31(6), 2153. Achmad, S.A., Azminah, Effendi, Ghisalberti, E.L.,Hakim, E.H., Makmur, L. and Allan H. White. (1992b). "Structural Studies of Two Bioactive Furanosesquiterpenes from Cryptocarya densiflora (Lauraceae)", Aust. J.Chem., 45, 445. Achmad, S.A., Budiono, R., Hakim, E.H., Juliawaty, L.D., Kasuma, S., Makmur, L., Muharram, Syah, Y.M., dan Tanjung M. (1995). “Senyawa-Senyawa Alkaloid, Terpenoid, dan Flavonoid Tanaman Cryptocarya densiflora dan Cryptocarya ferrea”, J. Mat. Sains, Suplement G, September, 56-66. Aminah, N.S., Achmad, S.A., Aimi, N., Ghisalberti, E.L., Hakim, E.H., Kitajima, M., Syah, Y.M. and Takayama, H. (2002). Diptoindonesin A, a new C-glucoside of viniferin from Shorea seminis (Dipterocarpaceae), Fitoterapia, 73, 501-507. Aminah, N.S., Achmad, S.A., Hakim, E.H., Syah, Y.M., Juliawaty, L.D., dan Ghisalberti, E.L. (2003). Laevifonol, diptoindonesian A, dan ampelopsin A, tiga dimer 10 stilbenoid dari kulit batang Shorea seminis V.Sl. (Dipterocarpaceae), J. Mat. Sains (IT), 8(1), 31034. Collins, D.J., Culvenor, C.C.J., Lamberton, J.A., Loder, J.W., Price, J.R. (1990). Plants for Medicine: A Chemical and Pharmacological Survey of Plants in the Australian Region. Cronquist, A. (1981). An Integrated System of Classification of Flowering Plants, Columbia University Press, New York. Damayanti, A. (2005). Secondary metabolites from the tree bark of Cryptocarya kamahar (Lauraceae), Thesis, Department of Chemistry, Institute Technology Bandung, Indonesia Hakim, E.H., Achmad, S.A., Buchari, and Pramutadi, S., (1994a). "Ilmu Kimia Tanaman Lauraceae Indonesia: X. Alkaloid Benzilisokuinolin dari Litsea cassiaefolia, Proceedings ITB, 27(3), 1 Hakim, E.H., Achmad, S.A., Buchari, and Pramutadi, S. (1994b). "Ilmu Kimia Tanaman Lauraceae Indonesia: XI. Alkaloid Aporfin dan Oksoaporfin dari Litsea excelsa, Proceedings ITB, 27(3), 11. Hakim, E.H. (2002). Review Singkat: Oligostilbenoid dari tumbuh-tumbuhan Dipterocarpaceae, Bull. Soc. Nat. Prod. Chem.(Indonesian), 2(1), 1-19. Hakim, E.H., Achmad, S.A., Juliawaty, L.D., Makmur, L., Syah, Y.M., Aimi, N., Kitajima, M., Takayama, H., Ghisalberti, E.L. (2006). “Prenylated Flavonoids and Related Compounds of the Indonesian Artocarpus (Moraceae), J. Nat. Med., 60, 161184. Heyne, K. (1987). “Tumbuhan berguna Indonesia”, Vol.2, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan R.I., hal. 795. Juliawaty, L.D., Kitajima, M., Takayama, H., Achmad, S.A., Aimi, N. (2000). A 6subsituted-5,6-dihydro-2-pyrone from Cryptocarya strictifolia, Phytochemistry, 54 (8), 989-993. Juliawaty, L.D., Watanabe, Y., Kitajima, M., Achmad, S.A., Takayama, H., Aimi, N. (2002). Tetrahedron Leters., 43, 8657. Juliawaty, L.D., Aimi, N., Ghisalberti, E.L., Kitajima, M., Makmur, L., Syah, Y.M, Siallagan, J., Takayama, H., Achmad, S.A. and Hakim, E.H. (2006). A Review : Chemistry of Indonesian Cryptocarya Plants (Lauraceae), in Chemistry of Natural Products: Recent Trend & Development, p. 399-423, Signpost, Trivandrum 695-023, Kerala, India. Kimura, T., But, P.P.H., Guo, J-X, and Sung, C.K. (1996). International Collation of Traditional and Folk Medicine, Vol.1, Northeast Asia Part 1, World Scientific, Singapore, p.12-13. 11 Kostermans, A.J.G.H. (1957). Lauraceae, Communiaction of the Forest Research Institute, Bogor, No.57. Makmur, L., Achmad, S.A., Hakim, E.H., Juliawaty, L.D., Kasuma, S., Santoni, A., Syah, Y.M., dan Yudi, V. (1995). “Ilmu Kimia Tanaman Lauraceae Hutan Tropis Indonesia: Senyawa-Senyawa Alkaloid dan Terpenoid Tanaman Neolitsea cassiaefolia (Bl.) Merr dan Litsea firma Hook (Bl.) Hkf (Lauraceae), J. Mat. Sains, Suplement G, September, 92-105. Nomura, T., Hano, Y., and Aida, M. (1998). “Isoprenoid-Substituted Flavonoids from Artocarpus Plants (Moraceae), Heterocycles, 47, 1179. Syah, Y. M., Aminah, N. S., Hakim, E. H., Kitajima, M., Takayama, H., Achmad, S. A. (2003). Phytochemistry, 63, 913-917. Symington, C.F. (1974). “Foresters’ Manual of Dipterocarps”, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, Malaysia. Tukiran, Achmad, S.A., Hakim, E.H., Juliawaty, L.D., Sakai, K. and Syah, Y.M. (2003). Bull. Soc. Nat. Prod. Chem.(Indonesian), 3(1), 24-31. Verheij, E.W.M., Coronel, R.E. (Eds.) (1992). Plant Resources of Southeast Asia, No.2, Edible Fruits and Nuts, PROSEA, Bogor, ha 12 MODERNISASI PENDIDIKAN KIMIA MENGHADAPI MASALAH PENDIDIKAN DI ERA GLOBAL *) Oleh: Sukardjo **) A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Di era global saat ini, arus Teknologi Informasi dan Komunikasi (T I K) antar negara dalam segala bidang, termasuk T I K di bidang pendidikan, berjalan sangat cepat seakan-akan batas ruang dan waktu tidak ada lagi. Apa yang terjadi saat ini di negara lain dapat kita ikuti pada saat yang sama. Kemajuan T I K tidak lagi meningkat tajam tetapi bersifat ”booming”. Dengan menggunakan T I K saat ini, tukar informasi dan komunikasi di bidang pendidikan menjadi sangat cepat. Demikian pula penggunaan hal tersebut dalam pendidikan dan pembelajaran sangat membantu kecepatan penyerapan informasi oleh peserta didik. Belajar terdiri atas dua tahap, yaitu tahap penyerapan informasi dan tahap pengolahan informasi oleh peserta didik. Oleh karena penyerapan informasi menjadi cepat, maka pengolahan informasi juga menjadi cepat, dan proses belajar menjadi cepat pula. Dengan menggunakan T I K efektivitas dan efisiensi belajar menjadi lebih baik . Era global yang antara lain ditandai dengan berintegrasinya kehidupan ekonomi dunia (APEC, AFTA, dsb), kemajuan sains dan teknologi yang sangat cepat, timbulnya masalah-masalah kehidupan umat manusia (kependudukan, kesehatan, dsb), juga berpengaruh kepada bidang pendidikan umumnya serta pendidikan sains dan matematika pada khususnya. Kemajuan sains dan teknologi memicu usaha-usaha untuk melakukan modernisasi pendidikan sains dan matematika oleh negara-negara di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh karena teknologi dilandassi oleh ilmu-ilmu dasar, dua diantaranya sains dan matematika. Masalah pendidikan di era global, khususnya pendidikan di Indonesia merupakan satu dari sekian banyak masalah di era global. Indonesia saat ini menghadapi banyak masalah di bidang pendidikan. Masalah yang belum teratasi pada saat ini terutama adalah masalah yang berhubungan dengan mutu pendidikan, khususnya mutu hasil pendidikan sains dan matematika. Masalah lainnya adalah masalah lama dalam bidang pendidikan yang sudah diidentifikasi tahun 1969, berupa masalah yang berhubungan ---------*) Diberikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di UNESA Surabaya, 5 Desember 2007. **) Guru Besar Pendidikan Kimia FMIPA UNY dengan pemerataan pendidikan, efektivitas dan efisiensi pendidikan, relevansi pendidikan, dan kemudian ditambah masalah pembinaan generasi muda. Berbagai usaha dan perlakuan sudah dilakukan oleh pemerintah dari waktu ke waktu sejak tahun 1970-an untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, namun belum semua masalah dapat diatasi. Kendala utama nampaknya disebabkan oleh karena luasnya tanah air kita, penduduk usia sekolah berjumlah besar, dan biaya diperlukan untuk hal tersebut sangat tinggi, sementara biaya Depdiknas belum dapat mencukupi. Dalam era global saat ini timbul masalah-masalah baru. Masalah baru di bidang pendidikan saat ini antara lain masalah yang berhubungan dengan desentralisasi pendidikan, multikulturalisme pendidikan, dan pendidikan lingkungan hidup (Suyanto, 2007). 2. Permasalahan 13 Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini, beik dlam proses maupun hasil, yang dapat dibaca dari berbagai sumber, belum seperti yang diharapkan. Dalam laporan World Bank 2005, dikatakan bahwa “Indonesia’s achievements on education lag behind other countries both in terms of access and quality”, Indonsia menempati urutan keenam setelah Jepang, Korea, Australia, Hong Kong, dan Thailand. (Sukirman, 2007). Dari sumber sama yang mengutip laporan Direktorat Tenaga Kependidikan 2004, diperoleh kenyataan kualitas guru sains dan matematika juga belum seperti yang diharapkan. Uji materi bidang studi yang diajarkan guru di SMA, dengan 40 soal terhadap guru matematika, fisika, kimia, dan biologi, menunjukkan rerata skor 14,34; 13,24; 22,33, dan 19,00 (Sukirman, 2007). Secara lokal, pemahaman peserta didik terhadap konsep-konsep kimia selama bertahun-tahun belum memuaskan. Uji awal kimia dengan materi kimia SMA terhadap peserta didik yang menjadi mahasiswa baru Prodi Pendidikan Kimia FMIPA UNY tahun 1987 (86 orang), tahun 1988 (84 orang), dan 1989 (70 orang) menghasilkan rerata nilai pada skala 11 masing-masing 4,84; 5,02; dan 4,68 (Sukardjo, 1989). Sementara uji awal kimia dengan materi kimia SMA terhadap peserta didik yang menjadi mahasiswa baru Prodi Pendidikan Kimia, Fisika, dan Biologi untuk Program Kependidikan dan Non-Kependidikan, baik Reguler maupun Non-Reguler tahun 2004 yang berjumlah 451 orang memiliki nilai rerata sebesar 4,23 pada skala 11 (Sukardjo, 2006). Kedua nilai tersebut memberikan gambaran bahwa pemahaman konsep kimia peserta didik yang baru lulus SMA relatif rendah. Dengan asumsi nilai tersebut merupakan indikator hasil belajar kimia, dalam rentang waktu lebih dari 15 tahun belum ada peningkatan hasil belajar pendidikan kimia di SMA sebagaimana diharapkan, oleh karenanya efektivitas pendidikan kimia saat ini masih menjadi masalah. Dalam menghadapi era global, modernisasi apakah yang perlu dilakukan terhadap proses pendidikan kimia agar supaya hasil pendidikan kimia bermutu dan dapat bersaing dengan negara lain. Pembahasan dalam makalah ini bertujuan untuk melakukan modernisasi pendidikan kimia dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pendidikan kimia, sehingga dapat menghadapi persaingan yang ketat di era global. Objek modernisasi dipilih berdasarkan pengalaman modernsasi pendidikan kimia masa lalu. 3 Urgensi Masalah Guru kimia dan calon guru kimia merupakan komponen pendidikan kimia di barisan paling depan dalam mengatasi masalah pendidikan kimia, oleh karenanya modernisasi pendidikan kimia lebih tertuju kepada mereka. Pendidikan kimia yang efektif dan efisien akan memberi sumbangan besar terhadap penyelesaian masalah di bidang pendidikan kimia khususnya, pendidikan sains dan matematika dan pendidikan di Indonesia umumnya. B. 1. PEMBAHASAN Masalah Pendidikan di Era Global Saat ini dunia sudah memasuki abad XXI, suatu era baru yang disebut era global. Dalam era global sekan-akan dunia ini menjadi satu kesatuan fisik, ekonomi, dan perdagangan. Segala kejadian di negara asing dapat dilihat dan didengar beritanya melalui televisi, jarak ruang dan waktu hampir tidak ada. Dalam era global saat ini, ada ciri-ciri kehidupan yang sangat berbeda dengan era sebelumnya. Menurut Mochtar Buchori (2001), ada lima hal yang menjadi ciri kehidupam di era global, yaitu (1) kecenderungan untuk berintegrasi dalam kehidupan ekonomi (pembentukan EU, NAFTA, APEC, AFTA) dan berdisintegrasi dalam kehidupan politik (perpecahan UNI Sovyet, Yugoslavia, Irlandia); (2) bertambahnya masalah yang menyangkut nasib seluruh umat manusia (kependudukan, pendidikan, kesehatan, dsb); (3) terjadinya kemajuan sains dan teknologi yang sangat cepat yang 14 akan mengubah secara radikal situasi pasar tenaga kerja; (4) kecenderungan proses industri dalam ekonomi dunia menuju penggunaan teknologi tingkat tinggi (mikroelektronika, bioteknologi, dsb) yang akan berpengaruh kepada ketenagakerjaan. (5) Kemungkinan akan lahirnya gaya hidup baru di masyarakat yang mengandung ekses-ekses tertentu (penyalah gunaan narkotika, penggunaan senjata api ilegal, dsb). Masalah-masalah di atas merupakan masalah yang sangat luas, umum, dan kompleks. Masalah pendidikan merupakan satu dari sekian banyak masalah di era global. Menurut Suyanto (2007: 12) fenomena global ditandai oleh munculnya berbagai hal, seperti: (1) ketergantungan pada IPTEK, (2) perdagangan bebas, (3) kekuatan global, (4) demokratisasi, (5) hak azasi manusia atau HAM, (6) lingkungan hidup, (7) kesetaraan gender, (8) multikulturalisme. Fenomena global tersebut saat ini sudah menjadi masalah yang merambah ke bidang pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia saat ini kecuali menghadapi masalah-masalah global, masih menghadapi masalah-masalah dari dalam negeri yang bersifat makro, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan (1) mutu atau kualitas pendidikan, (2) pemerataan atau kuantitas pendidikan, (3) relevansi pendidikan, dan (4) efektivitas dan efisiensi pendidikan. Akhir-khir ini timbul masalah baru yang juga merupkan masalah makro, yaitu masalah desentralisasi pendidikan dan pembinaan generasi muda. Dari sejumlah masalah global di atas, masalah “ketergantungan pada IPTEK” terutama T I K merupakan masalah yang berkaitan erat dengan masalah kualitas pendidikan, termasuk kualitas pendidikan di Indonesia. Bahasan selanjutnya khusus berkaitan dengan masalah yang berhubungan dengan kualitas pendidikan sains dan matematika, khususnya pendidikan kimia di Indonesia. 2. Modernisasi Pendidikan Kimia a. Pendidikan Kimia Selama ini, pendidikan kimia atau ilmu pendidikan kimia kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak. Banyak pihak berpendapat bahwa seorang ahli kimia dengan sendirinya dapat mendidik dan mengajar peserta didik dalam bidang kimia. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena ilmu kimia sudah dikenal ribuan tahun, sedang ilmu pendidikan kimia baru dikenal sejak sekitar limapuluh tahun yang lalu (Vossen, 1986:15). Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu pendidikan kimia itu? Apakah objek atau bahan kajiannya? Apakah kegunaannya? Bagaimanakah ilmu pendidikan kimia diperoleh? Apakah fungsinya dalam modernisasi pendidikan kimia? Pendidikan Kimia dapat diartikan sebagai ilmu (aspek teoretis) atau sebagai praktik pendidikan (aspek praksis). Sebagai ilmu, pendidikan kimia adalah ilmu interdisiplin antara ilmu kimia dan ilmu pendidikan. Ilmu Pendidikan Kimia pada hakikatnya merupakan penerapan teori pendidikan dalam konteks ilmu kimia untuk tujuan pendidikan dan pembelajaran (Konsorsium Ilmu Pendidikan, 1991). Ilmu Pendidikan Kimia (Chemical Education) merupakan salah satu bidang ilmu dari 11 (sebelas) Bidang Ilmu Kimia. Bidang Ilmu Kimia lainnya adalah (1) Analytical Chemistry, (2) Atmospheric Chemistry, (3) Biological Chemistry, (4) Chemical Education, (5) Inorganic Chemistry, (6) Macromolecul Chemistry, (7) Materials Chemistry and Nanoscience, (8) Nuclear and Radiochemistry, (9) Organic Chemistry, (10) Physical Chemistry, (11) Theory/ Computation Chemistry (Journal of Chemical Education, Vol. 84 No. 6 June 2007). Sebagaimana bidang ilmu lain, Ilmu Pendidikan Kimia memiliki aspek ontologi (objek atau bahan kajian) atau aspek teoretik, aksiologi (kegunaan) atau aspek praksis, dan epistemologi (cara memperoleh) atau aspek penelitian. Objek atau bahan kajian pendidikan kimia, meliputi 5 (lima) aspek atau disiplin: 15 1) Kurikulum, yang meliputi teori tentang pengembangan kurikulum kimia, organi-sasi kurikulum kimia, isi kurikulum kimia, dan model-model pengembangan kurikulum kimia. 2) Peserta didik dan perbuatan belajar, yang meliputi teori tentang karakteristik peserta didik, jenis-jenis dan cara belajar kimia, hirarkhi proses belajar kimia, dan kondisi-kondisi belajar kimia 3) Pendidik dan perbuatan mendidik, yang meliputi teori tentang karakteristik pendidik kimia, karakteristik perbuatan mendidik atau mengajar kimia, modelmodel mendidik atau mengajar kimia, metode atau teknik mendidik atau mengajar kimia, dan sistem pengelolaan kelas. 4) Lingkungan Pendidikan, yang meliputi teori tentang pranata pendidikan kimia, perencanaan dan pengelolaan pendidikan kimia, bimbingan dan penyuluhan atau bimbingan karir, serta prasarana dan sarana (media) pendidikan kimia. 5) Sistem penilaian hasil belajar dan penelitian pendidikan kimia, yang meliputi teori tentang model-model penilaian hasil belajar kimia, teknik penilaian hasil belajar kimia, dan instrumen penilaian hasil belajar kimia; serta jenis-jenis penelitian yang aplikatif bagi pendidikan kimia. Ilmu Pendidikan Kimia tersusun atas sejumlah disiplin ilmu, yang di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merupakan kelompok mata kuliah yang harus dipelajari oleh calon guru kimia. Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Ilmu Pendidikan Kimia merupakan suatu kompetensi yang harus dikuasai oleh guru kimia dan calon guru kimia, yaitu kompetensi pedagogik. Dalam jangka pendek modernisasi pendidikan kimia di SMA/MA dimulai dari guru kimia di lapangan, dalam jangka menengah dan panjang harus dimulai dari pendidikan guru kimia di LPTK. Guru dan calon guru kimia merupakan agen modernisasi, merekalah pelaku-pelaku utama modernisasi pendidikan kimia. b. Modernisasi Pendidikan Kimia di Negara Barat Modernisasi adalah proses pergeseran sikap, cara berpikir, dan bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Modernisasi pendidikan kimia berarti mengubah sistem yang ada menjadi modern, terbaru, mutakhir, atau terkini. Modernisasi pendidikan kimia bertarti mengubah paradigma lama menjadi paradigma modern (baru). Modernisasi atau keterkinian pendidikan kimia bukan merupakan kegiatan statis tetapi merupakan kegiatan dinamis, modernisasi selalu berjalan terus dari waktu ke waktu. Hal ini menjadikan sesuatu yang modern di saat lalu akan menjadi biasa saat ini dan sesuatu ang modern saat ini akan menjadi biasa saat yang akan datang. Atas dasar hal tersebut, modernisasi hanya berlaku saat hal tersebut berlangsung. Di samping istilah modern dikenal istilah up to date. Up to date atau termasa mempunyai arti berbeda, sesuatu yang up to date artinya berlaku sepanjang masa atau waktu. Konsep-konsep dasar sains dan matematika, termasuk kimia, ada yang bersifat up to date, misalnya konsep reaksi kimia, konsep pengembangan zat oleh panas, dsb. Konsep-konsep tersebut berlaku sepanjang masa. Pendidikan kimia sebagai praktik pendidikan (aspek praksis) adalah aspek aksiologi ilmu pendidikan kimia. Modernisasi pendidikan kimia merupakan bagian modernisasi pendidikan sains dan matematik. Modernisasi pendidikan sains dan matematika di negara-negara Barat, khususnya Amerika Sarikat, dimulai tahun enampuluhan. Pada tahun 1959 Uni Soviet dapat membuat pesawat ruang angkasa pertama dan dapat mengirim kosmonaut ke bulan serta dapat memotret punggungya bulan. Negara-negara sekutu Barat sangat terperanjat dengan kemajuan di bidang ilmu dan teknologi yang dicapai Uni Soviet. Mereka sadar bahwa selama bertahun-tahun telah terjadi kesalahan dalam bidang pendidikan sains dan matematika, oleh karena sains dan matematika merupakan dasar teknologi, termasuk teknologi ruang angkasa. Atas dasar kesadaran tersebut, negara-negara Barat melakukan modernisasi dalam pendidikan sains dan matematika. Modernisasi tersebut meliputi dua hal, 16 pertama modernisasi dalam isi atau materi sains dan matematika, dan kedua dalam sistem penyampaian pendidikan sains dan matematika. Dibuatlah proyek-proyek raksasa modernisasi pendidikan sains dan matematika. Di Amerika Sarikat untuk pendidikan kimia dikenal proyek Chemical Education Materials Study (Chem-Study) dan Chemical Bond Approach, untuk fisika dikenal proyek PSSC Physics, untuk Biologi dikenal BSCS Biology, dan untuk matematika dikenal New Mathematics (New Math). Di Inggris modernisasi pendidikan kimia dikenal dengan Nuffield Chemistry Project. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1970 teknologi ruang angkasa sudah sangat maju, tahun itu Amerika Sarikat sudah dapat membuat pesawat rung angkasa yang diberi nama Apollo-I dan mengirimkan astronautnya ke bulan, bahkan dapat mendaratkan astronautnya di bulan. Modernisasi pendidikan sains dan matematika di negara Barat berjalan terus hingga saat ini. Dengan diketemukannya teknologi informasi dan komunikasi saat ini, kemajuan pendidikan sains dan matematika menjadi sangat pesat. c. Modernisasi Pendidikan Kimia di Indonesia Bagaimana dengan pendidikan sains dan matematika di Indonesia? Modernisasi pendidikan sains dan matematika di negara Barat cepat mengimbas ke Indonesia. Pada tahun 1969 Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan ahli-ahli berbagai bidang ilmu untuk mengidentifikasi, masalahmasalah bidang pendidikan. Pada saat itu telah dapat diidentifikasi empat masalah makro bidang pendidikan, yaitu masalah yang berhubungan dengan: pemerataan (kuantitas) pendidikan, mutu (kualitas) pendidikan, relevansi pendidikan, efektivitas dan efisiensi pendidikan. Keempat hal tersebut menjadi dasar modernisasi pendidikan di Indonesia. Di bidang pemerataan pendidikan dilakukan modernisasi dengan cara pembangunan SD Inpres yang jumlahnya mencapai ribuan. Di bidang peningkatan mutu pendidikan, relevansi, efektivitas dan efisiensi, selama 30 tahun dari 1969 – 1999 masalah demi masalah bidang ini telah diusahakan untuk diatasi, namun banyak masalah yang belum dapat diatasi sebagaimana yang diharapkan. Dari empat masalah tersebut, masalah yang berhubungan dengan mutu pendidikan saat ini menjadi prioritas Depdiknas dan menjadi program utama dalam visi dan misinya. Di bidang peningkatan mutu pendidikan, pada tahun 1975, dilakukan perubahan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah yang semula berupa kurikulum berbasis materi (subject matter oriented) menjadi kurikulum berbasis tujuan (output oriented curriculum). Kegiatan lain ialah disusunnya buku-buku teks pelajaran atau buku paket kimia, fisika, biologi, dan matematika modern menggunakan materi baru dan pendekatan baru; pengadaan alat laboratorium IPA untuk semua SMP Negeri dan laboratorium kimia, fisika, dan biologi untuk semua SMA negeri di Indonesia. Pendidikan sains dan matematika saat itu sangat bagus, Malaysia saat itu mendatangkan guru sains dan matematika yang berjumlah besar dari Indonesia. Modernisasi pendidikan kimia dilakukan bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum 1975. Modernisasi dilakukan terhadap dua hal: 1) Modernisasi materi ajar kimia dalam Kurikulum Tahun 1975. Struktur mata pelajaran kimia disesuaikan dengan struktur bidang ilmu kimia yang dipakai negara-negara barat, pengaruh CHEM-Study pada kurikulum kimia 1975 sangat dominan, pengaruh tersebut juga terlihat pada kurikulum kimia tahun 1984 dan tahun 1994. Ilmu kimia dilandasi teori atom dan ikatan kimia, sehingga pembelajaran kimia di SMA/MA juga harus dimulai dengan teori atom dan ikatan kimia. 17 Dalam Kurikulum Kimia Tahun 1950, 1952, 1960, 1968 teori atom dan ikatan kimia di SMA baru diberikan di akhir kelas III, sedang pada Kurikulum Kimia Tahun 1975 teori atom dan ikatan kimia diberikan di kelas I awal. 2) Modernisasi dalam sistem penyampaian. Sistem pendidikan baru yang mendasari Kurikulum Tahun 1975 disebut pendidikan berorientasi tujuan. Pada penyusunan persiapan mengajar, pertama harus ditetapkan lebih dahulu tujuan pembelajaran umum (general instructional objectives) dan tujuan pembelajaran khusus (spesific instructional objectives). Atas dasar tujuan di atas, disusunlah pendekatan pembelajaran kimia, proses pembelajaran, penilaian hasil belajar kimia. Hal baru lainnya ialah digunakannya prinsip mastery learning dengan segala konsekuensinya ( program enrichment, remedial, dan criterian reference evaluation, CRT atau penilaian acuan patokan, PAP). 3. Modernisasi Pendidikan Kimia di Era Global a. Ciri-ciri modernisasi pendidikan kimia di era global Modernisasi pendidikan kimia di era global yang dibahas adalah modernisasi yang dimulai tahun 2003, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 23 Tahun 2005 tentang Sisdiknas. Undang-undang tersebut memberi landasan hukum untuk melakukan modernisasi pendidikan yang bersifat konseptual dan futuristik. Di samping UU Sisdiknas, landasan hukum yang lain adalah PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Standar Nasional Pendidikan berisi 8 (delapan) standar minimal yang harus dipenuhi oleh pendidikan di Indonesia, yaitu standar (1) isi, (2) proses, (3) kompetensi lulusan, (4) pendidik dan tenaga kependidikan, (5) sarana dan prasarana, (6) pengelolaan, (7) pembiayaan, (8) penilaian pendidikan. Apakah ciri-ciri modernisasi pendidikan kimia di era global? Ciri-ciri modernisasi pendidikan kimia di era global, antara lain : Manggunakan T I K dalam segala aspek manajemen pendidikan dan pembelajaran kimia, baik pada perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil belajar. Menggunakan kurikulum berorientasi tujuan dalam bentuk kompetensi atau standart dan kompetensi pembelajaran aspek kognitif menggunakan klasifikasi baru, yaitu dalam kategori dimensi proses kognitif (cognitive process dimension) dan tipe dimensi pengetahuan kimia (chemistry knowledge dimension). Kompetensi pembelajaran aspek kognitif, ada kecenderungan berubah, untuk kategori dimensi proses kognitif dari “mengingat” (remember) menjadi “mengerti” (understand) dan untuk tipe dimensi pengetahuan kimia dari pengetahuan faktual (factual knowlwedge) menjadi pengetahuan konseptual (conceptual knowledge). Organisasi materi kimia disesuaikan dengan struktur keilmuan kimia, dimulai dengan teori atom dan ikatan kimia, serta memasukkan masalah “Kimia, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat” (Chemistry, Environment, Technology, and Society, C E T S) Menerapkan sistem penyampaian yang mengaktifkan peserta didik, berpusat pada peserta didik, media berupa buku kimia dengan pendekatan modular atau modul pembelajaran dalam bentuk tercetak atau CD, bila perlu menggunakan e-learning atau distance learning. Menerapkan sistem penilaian menggunakan teknik dan instrumen penilaian yang variatif, memasukkan sistem penilaian alternatif, prinsip belajar tuntas, 18 dan menggunakan pendekatan penilaian acuan patokan. Dilakukannya peneli-tian pengembangan untuk memperoleh “ilmu baru” dalam pendidikan kimia. Adanya pemikiran, pertemuan, seminar, rekomendasi penyelesaian masalah pendidikan kimia secara kolaboratif antara pendidik, ahli pendidikan kimia, dan ahli-ahli kimia melalui Himpunan Profesi Kimia dan Pendidikan Kimia untuk mendorong terciptanya situasi dan kondisi agar modernisasi pendidikan kimia segera terwujud. b. Objek modernisasi pendidikan kimia di era global Mengapa modernisasi pendidikan kimia di era global harus dilakukan?. Dalam era global saat ini, ilmu kimia maju pesat sehingga jumlah materi kimia menjadi berlipat ganda, aplikasi kimia dalam teknologi juga bertambah banyak, tantangan utama pendidikan kimia adalah bagaimana melakukan pembelajaran kimia dengan jumlah materi kimia yang banyak dapat berhasil baik (pembelajaran efektif), namun dalam alokasi waktu yang sedikit (pembelajaran efisien). Modernisasi harus dilakukan terhadap dua hal, yaitu modernisasi “materi kimia” dan modernisasi ”sistem penyampaian “, agar supaya tercapai pendidikan kimia yang efektif dan efisien. Apakah objek modernisasi pendidikan kimia di era global? Objek modernisasi pendididikan kimia di era global adalah segmen-segmen objek atau bahan kajian yang menunjang berlangsungnya pendidikan kimia yang efektif dan efisien. Modernisasi pendidikan kimia dilakukan mengikuti kecenderungan baru dalam teknologi pendidikan kimia. c. Waktu diperlukan dan manfaat modernisasi pendidikan kimia di era global Berapa waktu diperlukan untuk modernisasi pendidikan kimia di era global? Salah satu perangkat yang diperlukan untuk modal modernisasi pendidikan kimia di era global, ialah 8 (delapan) perangkat standar nasional pendidikan yang saat ini dalam penyelesaian oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Salah satu komponen dalam standar tenaga pendidik disebutkan bahwa syarat menjadi pendidik harus lulusan S1/D4 dengan bidang ilmu sesuai tugasnya dan bersertifikasi pendidik. Menurut rencana semua tenaga pendidik akan berijazah S1/D4 dan memiliki sertifikat pendidik dalam kurun waktu 10-15 tahun dimulai tahun 2005, ini berarti bahwa untuk standar pendidikan lainnya akan memakan waktu lebih lama. Modernisasi pendidikan kimia mempunyai perangkat lebih dari standar minimal. Bila mengikuti hal tersebut berarti modernisasi pendidikan kimia akan memakan waktu cukup lama, sekitar 25 tahun. Berdasarkan pengalaman masa lalu, modernisasi pendidikan matematika dengan penerapan new-math tahun 1970, baru tercapai sekitar 25 tahun kemudian Modernisasi pendidikan kimia di era global akan berjalan lebih cepat bila dilakukan secara bertahap (parsial), objek mana yang siap sarananya dapat dilakukan terlebih dahulu, sedang objek yang belum dipenuhi perangkatnya ditunda pelaksanaannya. Penyediaan prasarana laboratorium kimia dan peralatan laboratorium kimia, memerlukan waktu lama untuk realisasinya, sementara sarana teknologi informasi dan komunikasi lebih cepat direalisasikan. Kendala utama dalam modernisasi pendidikan kimia adalah biaya yang diperlukan untuk hal tersebut, yang saat ini nampaknya masih sulit disediakan oleh Depdiknas dan/atau masyarakat, dalam hal ini Komite Sekolah. Atas dasar hal tersebut, pelaksanaan modernisasi akan dapat dilaksanakan secara parsial. Manfaat apakah yang akan diperoleh dengan modernisasi pendidikan kimia di era global? Modernisasi pendidikan kimia di era global akan sangat bermanfaat dalam merealisasikan pendidikan kimia yang efektif dan efisien. Pendidikan yang demikian akan meningkatkan proses dan hasil pendidikan kimia di Indonesia, yang pada akhirnya kita dapat mengejar kemajuan pendidikan kimia di negara tetangga dan 19 negara asing lainnya. Kemajuan ilmu kimia akan mendorong pula kemajuan teknologi yang menggunakan ilmu kimia sebagai dasarnya. 4. a. Prioritas objek Modernisasi Pendidikan Kimia di Era Global Kurikulum kimia Dua objek penting komponen kurikulum kimia adalah pengembangan kurikulum kimia dan isi kurikulum kimia. Saat ini banyak negara asing mengembangkan pendidikan berbasis kompetensi (competency based education), yang melahirkan kurikulum berbasis kompetensi (competency based curriculum). Indonesia sudah mengambil keputusan untuk memberlakukan kurikulum yang berbasis kompetensi, yaitu “Kurikulum 2006”. Hal ini sesuai dengan arus modernisasi pendidikan kimia di era global. Isi kurikulum kimia, adalah materi kimia SMA/MA yang dipelajari oleh peserta didik. Materi kimia disesuaikan dengan struktur keilmuan kimia, setidak-tidaknya berisi materi pokok yang bersifat esensial dan merupakan pengetahuan dasar kimia, yaitu (1) Materi dan energi, (2) Struktur dan sifat-sifat atom, (3) Ikatan kimia dan sifat-sifat zat, (4) Prinsip-prinsip reaksi, (5) Kimia deskriptif unsur-unsur., (6) Kimia organik. Standar Kompetensi (S K), Kompetensi Dasar (K D), dan Indikator pencapaian ( I P), berisi kompetensi kognitif , afektif, dan psikomotor. Kompetensi kognitif tersusun atas dua dimensi: 6 (enam) kategori dimensi proses kognitif (cognitive process dimension, verb), yaitu mengingat (remember, C1), mengerti (understand, C2), mengaplikasikan (apply, C3), menganalisis (analyze, C4), mengevaluasi (evaluate, C5), dan mencipta (create, C6). 4 (empat) tipe dimensi pengetahuan kimia (chemistry knowledge dimension, noun), yaitu pengetahuan faktual (factual knowledge, K1), pengetahuan konseptual (conceptual knowledge, K2), pengetahuan prosedural (procedural knowledge, K3), dan pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge, K4). Kompetensi afektif dan psikomotorik: (1) pendidikan nilai, (2) pendidikan lingkungan, (3) keterampilan proses sains. b. Peserta didik dan perbuatan belajar kimia Dua objek penting dalam hal ini ialah penerapan teori belajar konstruktivisme dan pembelajaran individual atau kelompok. Peserta didik diberi motivasi untuk selalu “membaca dan belajar kimia”, belajar terdiri atas dua kegiatan yaitu penyerapan informasi dan pengolahan informasi dalam benaknya. Ilmu kimia dikonstruksi oleh peserta didik bukan oleh guru. Pembelajaran individual atau kelompok dilakukan terhadap peserta didik, baik dengan buku teks pelajaran kimia yang menggunakan pendekatan modular maupun melalui soft ware compact disk (CD) yang berbentuk modul pembelajaran. c. Pendidik dan perbuatan mengajar kimia Dua komponen penting dalam hal ini ialah kompetensi pendidik dan metode atau teknik mendidik. Guru kimia harus memiliki sertifikasi pendidik dan memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Dalam pembelajaran kimia guru perlu meningatkan kemampuan mengerti (understand) tentang konsep kimia dan bukan kemampuan mengingat (remember) pengetahuan faktual kimia. Guru tidak hanya mentransfer pengetahuan kimia tetapi mengembangkan kecerdasan peserta didik (Harry Firman, 2007: 786). Guru melaksanakan pembelajaran aktif (student active learning), berpusat pada peserta didik (student centered learning), dan menyenangkan. Guru wajib dapat melakukan pembelajaran kimia berbantuan komputer (computer assisted instruction). d. Lingkungan Pendidikan Kimia Empat komponen penting dalam hal ini ialah tersedianya laboratorium kimia, peralatan dan bahan kimia, buku teks pelajaran kimia dengan pendekatan modular, 20 dan media pembelajaran kimia berbantuan komputer. Sebagian besar SMA/MA saat ini belum memiliki prasarana laboratorium kimia dengan peralatan dan bahan kimianya. Laboratorium kimia, peralatan dan bahan kimia merupakan prasarana dan sarana yang sangat diperlukan untuk proses pembelajaran kimia. Pembelajaran kimia seharusnya dilakukan secara induktif melalui eksperimen. Pemahaman fakta, konsep, dan prosedur kimia sangat memerlukan ketiganya, melalui eksperimen-eksperimen kimia. Saat ini buku teks pelajaran kimia di pasaran sudah banyak, namun perlu dicermati kualitasnya. Pemerintah sebenarnya sudah menyetujui buku teks pelajaran kimia yang memenuhi standar, namun nampaknya belum sampai si sekolah. Harga buku teks pelajaran kimia yang tidak terjangkau masayarakat, merupakan kendala utama. Rencana pemerintah akan membeli hak cipta buku teks pelajaran, termasuk buku teks pelajaran kimia, dan menyebarkannya melalui INTERNET di sambut dengan gembira. Buku teks pelajaran kimia yang ideal: terdiri atas 4 (empat) buku, yaitu buku untuk peserta didik, buku untuk pendidik, buku eksperimen (bukan praktikum), dan buku latihan soal; materi kimia sesuai dengan struktur keilmuan kimia, keluasan dan kedalaman sesuai dengan perkembangan mental peserta didik; menggunakan pendekatan modular dan dilengkapi dengan CD pembelajaran, sehingga peserta didik dapat belajar mandiri dengan pendekatan modular. Bahasa digunakan bahasa Indonesia yang benar dan komunikatif Media pembelajaran kimia berbantuan komputer dan tentu saja hardware komputer beserta perlengkapannya perlu tersedia di sekolah. Media pembelajaran kimia berbantuan komputer dalam bentuk CD pembelajaran telah banyak diteliti penggunaannya, dan umumnya berkesimpulan bahwa media ini meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran kimia. Khusus media jenis ini dapat menggantikan sebagian eksperimen laboratorium, namun bukan keseluruhan karena banyak fakta tidak tergantikan, seperti timbulnya panas, bau, dan rsa. e. Sistem penilaian hasil belajar dan penelitian pendidikan kimia, Penilaian hasil belajar kimia saat ini dilakukan dengan instrumen penilaian hasil belajar berbentuk soal dan terutama menekankan pada aspek kognitif. Cara penilaian klasik demikian tidak dapat merekam hasil belajar kimia peserta didik secara optimal. Diperlukan teknik dan instrumen penilaian yang lebih variatif untuk hal tersebut. Teori multiple intelligence memberikan dasar penilaian yang lebih komprehensif. Atas dasar hal ini, perlu dilakukan perubahan dalam hal berikut: Objek penilaian hasil belajar kimia meliputi spektrum yang luas, yaitu aspek kognitif, aspek afektif (terutama minat belajar dan sikap terhadap pelajaran kimia), dan aspek psikomotorik (terutama kerja laboratorium). Menggunakan teknik penilaian ujian, teknik penilaian non-ujian, dan teknik penilaian alternatif Menggunakan instrumen penilaian yang bervariasi, yaitu instrumen penilaian soal, non-soal, dan penugasan (portofolio, proyek, dsb) Pendekatan penilaian menggunakan Penilaian Acuan Patokan (PAP), sebagai realisasi prinsip belajar tuntas (mastery learning). Konsekuensi digunakannya prinsip belajar tuntas, program remedial (remedial program) dan program pengayaan (enrichment program) wajib dilaksanakan. Organisasi kelas yang saat ini klasikal secara berangsur-angsur perlu diubah menjadi organisasi kelompok, atau individual. Dalam rangka memperkaya khasanah ilmu pendidikan kimia, penelitian perlu dilakukan (aspek epistemologi). Penelitian dilakukan untuk berbagai tujuan: peningkatan pengertian terhadap konsep-konsep kimia, terutama terjadinya miskonsepsi dan cara-cara mencegahnya, melalui penelitian eksperimen, peningkatan sistem penyampaian, terutama sistem penyampaian yang melahirkan metode-metode pembelajaran yang mengaktifkan dan berpusat 21 pada peserta didik, metode pembelajaran yang efektif dan efisien, melalui penelitian tindakan kelas, penemuan-penemuan baru dalam hal sistem penyampaian, media, interaksi kelas, dsb. melalui penelitian pengembangan pendidikan, yang melibatkan dosen, guru, dan peserta didik. 5. Desentralisasi Pendidikan Desentralisasi pendidikan merupakan konsekuensi diberlakukannya Undangundang Otonomi Daerah, yaitu Undang-undang No. 34 Tahun 2005. Setiap sekolah saat ini menjadi unit berdiri sendiri dalam mengurus sekolahnya, menggunakan Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS). Dengan desentralisasi pendidikan, masing-masing daerah dapat membuat sekolah maju sesuai dengan potensi daerahnya. Desentralisai mendorong setiap sekolah untuk maju optimal, sesuai situasi dan kondisi setempat, dan mendorong masyarakat untuk membantu pembiayaan sekolah. Sekolah saat ini menjadi sekolah berbasis masyarakat dan milik masyarakat, oleh karenanya maju mundurnya sekolah sangat ditentukan oleh masyarakat, Komite Sekolah memegang peranan penting dalam hal ini. 6. Sekolah Bertaraf Internasional (S B I) Saat ini sekolah di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu sekolah yang belum maju, sekolah sedang, dan sekolah maju. Adanya tantangan global menuntut daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen, dan ekonomi. Untuk menjawab hal ini pemerintah memberi kesempatan kepada sekolah baik negeri maupun swasta menyelenggarakan Sekolah Bertaraf Internasional (S B I). Sekolah Bertaraf Internasional (S B I) adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan (S N P) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. S B I dapat dirumuskan sbb: SBI = SNP + X S N P = standar nasional pendidikan; X = penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pengalaman melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional. Sekolah Bertaraf Internasional (S B I) bertujuan menghasilkan lulusan yang berkelas nasional dan internasional sekaligus. Dalam kaitan dengan pembahasan modernisasi pendidikan kimia di SMA/MA, sekolah SMA/MA internasional merupakan kekecualian (exception), karena SMA/MA merupakan sekolah super-modern dengan input pilihan, prasarana dan sarana lengkap, pembelajaran dan bahasa pengantar bahasa asing berbeda dengan sekolah biasa. C. 1. a. b. PENUTUP Kesimpulan Menghadapi masalah pendidikan di era global perlu dilakukan modernisasi pendidikan kimia. Ciri-ciri modernisasi pendidikan kimia di era global, antara lain : Manggunakan T I K dalam segala aspek manajemen pendidikan dan pembelajaran kimia. kurikulum berorientasi tujuan dalam bentuk kompetensi atau standart, kompetensi pembelajaran aspek kognitif menggunakan klasifikasi baru, yaitu dalam bentuk kategori dimensi proses kognitif (cognitive process dimension) dan tipe dimensi pengetahuan kimia (knowledge dimension). 22 c. d. e. Materi kimia disesuaikan dengan struktur keilmuan kimia, dimulai dengan teori atom dan ikatan kimia, berisi materi pokok esensial, serta memasukkan masalah “Kimia, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat” Sistem penyampaian mengaktifkan peserta didik, berpusat pada peserta didik, menggunakan T I K, media berupa buku kimia dengan pendekatan modular atau modul pembelajaran dalam bentuk tercetak atau CD, d meapat pula menggunakan e-learning atau distance learning. Sistem penilaian menggunakan teknik penilaian dan instrumen penilaian yang variatif, memasukkan sistem penilaian alternatif, prinsip belajar tuntas, dan menggunakan pendekatan penilaian acuan patokan. Himpunan Profesi Kimia dan Pendidikan Kimia perlu proiaktif membantu dan mendorong terciptanya situasi dan kondisi agar modefnisasi pendidikan kimia dapat terwujud. Peningkatan pembiayaan pendidikan dari Pemerintah sangat diharapkan realisasinya. Peran serta masyarakat dalam menunjang pembiayaan pendidikan akan sangat membantu pencapaian modernisasi pendidikan kimia. 2. Saran a. Modernisasi pendidikan kimia di era global bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pendidikan kimia, untuk dapat melaksanakan hal tersebut perlu komitmen dari guru dan peserta didik. b. Perangkat Standar Nasional Pendidikan diharapkan dapat segera direalisasikan disertai pembiayaan dari Depdiknas. c. Modernisasi pendidikan kimia di SMA/MA dilakukan secara bertahap. d. Peran serta masyarakat melalui Komite Sekolah dalam membantu pembiayaan sekolah ditingkatkan. D. Daftar Pustaka Anderson, L. W. and D. R. Krathwohl. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assesing, A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman BSNP. (2006). Standar Isi Mata Pelajaran Kimia. Jakarta: BSNP -------------. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP Depdiknas. (2003). Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Bandung: Citra Umbara -------------. (2005). Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta : Depdiknas -------------. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas Ditjen Mandikdasmen. (2007). Sistem Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (S B I) untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Ditjen Mandikdasmen. Editor JCE. (2007). Leadership in Chemistry Research and Education. Journal of Chemical Education, Vol. 84 No. 6 June 2007, 903. Hedges, W. D. 1969. Testing and Evaluation for the Siences. Belmont: Wadsworth Publishing Co. Harry Firman. (2007). Pendidikan Kimia (dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, oleh Mohammad Ali, dkk ,Editor). Bandung: Pedagogiana Press. 23 Konsorsium Ilmu Pendidikan. (1991). Penataan Fakultas, Jurusan, dan Program Studi Bidang Pendidikan (Naskah, tidak terbit). Jakarta: Ditjen Dikti. Mochtar Buchori. (2001). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Padolina, MA. C. D. et al. (2007). Conceptual and Fungsional Chemistry, A Modular Approach. Metro Manila: VIBAL Publishing House, Inc. Sukardjo. (1989). Perbandingan Pengetahuan Awal Ilmu Kimia antara Mahasiswa Baru FMIPA Program S1 dengan DIII Tahun 1987, 1988, dan 1989. Yogyakarta: FMIPA IKIP Yogyakarta ----------. (2007). Inovasi Pendidikan Kimia di Sekolah Menengah Atas Suatu Harapan Seorang Guru Kimia, Makalah Purna Tugas 2 April 2007. Yogyakarta: Senat UNY. ----------. (2007). Menuju Pendidikan Kimia yang Efektif dan Efisien di Sekolah Menengah Atas, Makalah Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, 25 Agustus 2007. Yogyakarta: FMIPA UNY Sukirman. (2007). Peningkatan Profesionalitas Guru melalui Lesson Study dalam Era Sertifikasi Guru, Makalah Seminar. Yogyakarta: FMIPA UNY Suparno. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Suyanto. (2007). Tantangan Profesional Guru di Era Global, Pidato Dies UNY 27 Mei 2007. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Tilaar, H. A. R. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: RINEKA CIPTA Tut, I. N. dan Don Adams (Alih bahasa oleh: D. S. Widowatie dan W. Handayani). (2005). Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Konptemporer. Yogyakarta Pustaka Pelajar Vossen, H, (Alih bahasa oleh Soeparmo). (1986). Kompendium Didaktik Kimia. Bandung: Remadja Karya. -----ooooo----- 24 PERAN BAHAN MAKANAN PADA BIOAVAILABILITAS Fe Dr. Leny Yuanita M.Kes Abstrak Fe bahan makanan terdapat dalam dua bentuk yaitu Fe hem dan Fe bukan hem, yang mempunyai perbedaan regulasi absorpsinya, sehingga mempengaruhi bioavailabilitas Fe. Bahan makanan protein hewani dan kalsium, mempengaruhi absorpsi Fe hem; sedangkan untuk absorpsi Fe bukan hem terutama dipengaruhi oleh protein hewani, asam askorbat, fruktosa, polifenol tanaman, fitat, protein telur dan susu, kalsium, fosfor, dan serat pangan. Di antara tiga fase absorpsi Fe pada saluran pencernaan (luminal, mukosal, dan sistemik), fase luminal berperan menentukan perbedaan pengaruh bahan makanan terhadap absorpsi Fe hem dan bukan hem. Kata kunci: Fe hem, Fe bukan hem, bioavailabilitas Pendahuluan Bioavailabilitas Fe (ketersediaan hayati Fe) merupakan ukuran dari jumlah Fe bahan pangan yang dapat ditransfer dari lumen usus ke dalam darah; dipengaruhi oleh faktor diet (kandungan dan bentuk Fe, komposisi bahan makanan) dan faktor fisiologis (sekresi alat pencernaan/ligan endogen, kondisi biologis, status Fe). Fe merupakan mikromineral dalam tubuh manusia, bagian utama dari hemoglobin dan mioglobin serta mempunyai fungsi fisiologis pada proses transfer elektron dalam rantai pernafasan. Konsentrasi normal dalam tubuh manusia adalah 4050 mg per kg berat badan, 30 mg Fe dalam bentuk gugus hem, 4 mg Fe dalam bentuk mioglobin, dan 2 mg Fe dalam sitokrom oksidase, peroksidase dll. Sebagai cadangan Fe sejumlah 10-12 mg Fe/kg pada laki-laki dan 5 mg/kg pada wanita. Sekitar 40% Fe bahan makanan terdapat dalam bentuk Fe hem (hemoglobin, mioglobin, sitokrom, enzim katalase, peroksidase); dan 60% Fe bukan hem (Fe anorganik bentuk Fe(II)/(III)). Fe hem dan bukan hem diabsorpsi melalui jalur yang berbeda. Fe hem lebih mudah diabsorpsi (15-35%) daripada Fe bukan hem (2-20%). Pada lumen usus Fe bukan hem membentuk ikatan (terutama kompleks kelat) dengan konstituen lain pada makanan. Substansi yang membentuk senyawa larut, Mr rendah dan mudah diabsorpsi, disebut pendorong (enhancers); yang membentuk senyawa tak larut dan Mr tinggi, tidak available diabsorpsi, disebut penghambat (inhibitors). Fe hem diabsorpsi langsung dari lumen ke sel mukosa dalam bentuk kompleks forfirin dan pada sisi lain dipisahkan dari protoforfirin oleh hemoksigenase; tidak mengalami mekanisme regulasi, oleh karenanya lebih baik diabsorpsi. Mekanisme regulasi Fe hem dan bukan hem pada mukosa adalah sama; hambatan yang berpengaruh di mukosa akan mempunyai efek sama terhadap absorpsi Fe hem dan bukan hem. Maka absorpsi Fe bukan hem sangat dipengaruhi oleh faktor enhancer dan inhibitor absorpsi Fe, sedangkan Fe hem kurang dipengaruhi. 25 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Fe Absorpsi Fe hem dipengaruhi oleh protein hewani (daging, ikan, unggas), kalsium, status individual Fe dan preparasi bahan pangan (waktu dan suhu). Faktor utama yang mempengaruhi absorpsi Fe bukan hem dirangkum pada Tabel berikut. Tabel: Faktor utama yang mempengaruhi absorpsi Fe bukan hem Pendorong absorpsi Fe bukan hem (enhancers): -asam askorbat -asam sitrat, malat, laktat, tartrat dan asam organik lain -protein daging, ikan dan unggas -Fe bentuk Fe(II) -rendahnya simpanan Fe tubuh Penghambat absorpsi Fe bukan hem (inhibitors): -polifenol tanaman -fitat -protein telur, susu dan kedelai -serat pangan -fosfor,Ca, Zn dan kation divalen lain Pendorong absorpsi Fe bukan hem Asam askorbat Asam askorbat adalah pendorong absorpsi Fe yang sangat potensial. Peranan asam askorbat sebagai pendorong absorpsi Fe bukan hem disebabkan kemampuannya: 1) mereduksi Fe menjadi Fe(II) yang mencegah pembentukan Fe(III) hidroksida yang tak larut, dan 2) membentuk kompleks stabil Fe(II)/(III) askorbat. Kompleks Fe(III) askorbat terbentuk pada pH rendah asam lambung, stabil, dan larut pada pH alkalis saluran pencernaan. Sejumlah asam organik khususnya sitrat, malat, suksinat, laktat dan tartrat juga meningkatkan bioavailibilitas Fe bukan hem. Pengaruh asam askorbat sebagai pendorong bioavailabilitas Fe hanya terlihat jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan, dan tidak berpengaruh jika pemberian askorbat selama 4 atau 6 jam setelah mengkonsumsi makanan. Sekitar 50 mgram asam askorbat dibutuhkan untuk meniadakan efek 100 mg flavonoid teh (secangkir teh yang dibuat dari 2.5 gram daun teh mengandung sekitar 200 mg flavonoid teh), dan 80 mg asam askorbat meniadakan efek 25 mg fitat. Protein daging, ikan, dan unggas Peningkatan absorpsi Fe oleh protein daging, ikan dan unggas melalui 2 cara, yaitu: 1) menstimulasi absorpsi Fe bukan hem, dan 2) menyediakan Fe hem. Pada penambahan 75 gram daging dapat meningkatkan absorpsi Fe bukan hem sekitar 2.5 x dibanding tanpa daging. Protein daging/ikan/unggas berperan meningkatkan absorpsi Fe bukan hem, disebabkan terbentuknya sistein atau peptida yang mengandung sistein pada pencernaan protein daging, sehingga mereduksi Fe(III) menjadi Fe(II) dan membentuk kelat melalui ikatan sulfhidril. Sakarida Beberapa sakarida dapat meningkatkan absorpsi Fe, antara lain fruktosa, sorbitol; disebabkan terbentuknya kompleks kelat larut dan stabil pada kondisi asam dan basa. 26 Produk metabolisme karbohitrat yaitu laktat dan piruvat, juga meningkatkan absorpsi Fe; galaktosa, laktosa dan sukrosa sedikit meningkatkan absorpsi Fe, sedangkan glukosa tidak berpengaruh. Karbohidrat tidak tercerna frukto-oligosakarida (FOS) merupakan prebiotik yang meningkatkan recovery pada anemia defisiensi Fe, disebabkan terbentuknya kompleks Fe kelat larut di dalam cecum dengan asam asetat, propionat, butirat yang merupakan hasil fermentasi FOS oleh bakteri kolon. Kaseinofosfopeptida Senyawa kaseinofosfopeptida merupakan prebiotik yang dapat meningkatkan bioavailibilitas dan absorpsi Fe karena peningkatan kelarutan melalui pembentukan Fe-caseino fosfopeptida, dan adanya jalur spesifik absorpsi yang juga mengurangi interaksi dengan mineral lain. Kaseionfosfopeptida mempunyai kapasitas tinggi mengikat kation di/trivalen dan mempertahankan tetap larut pada pH intestinal, melalui ikatan 4-5 residu fosfoserin dengan Fe. Penghambat absorpsi Fe bukan hem Polifenol Senyawa polifenol terutama terdapat pada teh, kopi, coklat, kacang-kacangan, dan beberapa jenis sayur. Polifenol dalam bahan makanan dibagi 3 kelompok: asam fenolik (kopi), flavonoid (teh, coklat), kompleks hasil polimerisasi dari flavonoid sendiri atau kombinasi flavonoid dan asam fenolat (teh hitam). Absorpsi Fe diturunkan sekitar 60% oleh teh, dan sekitar 40% oleh kopi. Teh mempunyai efek inhibitor kuat pada absorpsi Fe jika dikonsumsi bersama-sama dengan makanan; hambatan ini sebagian dapat dihilangkan oleh asam askorbat dan daging. Di antara senyawa polifenol alami, flavonoid merupakan golongan yang terbesar. Polimer flavonoid katekin disebut thearubigin atau tanin terkondensasi. Flavonoid teh, cacao adalah polifenol yang mengandung 2 cincin aromatik dengan dua atau lebih gugus hidroksil. Molekul cincin aromatik dengan 2 gugus hidroksil (gugus katekol) atau 3 gugus hidroksil (gugus galloyl) terposisi pada atom C berdekatan mempunyai kapasitas mengikat Fe. Mekanisme hambatan absorpsi Fe oleh teh melalui pembentukan kompleks flavonoid teh dengan Fe, terutama gugus galloyl. Polifenol teh hitam mempunyai aktivitas inhibitor tinggi disebabkan struktur polimernya, yang mengandung ester galloyl. Fitat Senyawa fitat banyak dijumpai pada kacang-kacangan, beras, dan jagung. Molekul fitat mempunyai 6 gugus fosfat yang mempunyai kapasitas tinggi mengikat kation seperti Fe. Fitat menghambat absorpsi Fe bukan hem dengan membentuk kompleks pentaferifitat dan heksaferifitat; efek ini dapat dikurangi dengan adanya pendorong absorpsi Fe seperti vitamin C, daging. Sejumlah 5 sampai 10 mg fitat dalam bahan akan mereduksi absorpsi Fe non hem sekitar 50%. Protein telur, susu, kedelai Albumin, fosfoprotein (casein, vitelin) mempunyai kapasitas tinggi terhadap Fe sehingga menurunkan absorpsi Fe. Residu serin dan treonin yang terfosforilasi (fosfoserin/ treonin) mempunyai aktivitas tinggi mengikat Fe melalui interaksi ionik pada usus halus, namun akan dilepaskan pada ujung usus halus untuk absorpsi yang efisien. Fe yang terikat akan menjadi larut oleh adanya asam askorbat. 27 Protein kedelai mempunyai efek yang merugikan terhadap bioavailibilitas Fe, disebabkan kandungan fitat yang tinggi pada kedelai, walaupun sebenarnya kandungan Fe kedelai tinggi. Serat Pangan Di antara komponen serat pangan, lignin mempunyai kapasitas tertinggi mengikat Fe; hemiselulosa mempunyai kapasitas yang lebih rendah, sedangkan selulosa dan pektin mempunyai kapasitas yang terendah. Pengikatan terjadi melalui pembentukan kompleks kelat Fe(III)-polisakarida SP, dengan terjadinya ikatan terhadap gugus OH terdeprotonisasi, oksigen glikosidik atau karbonil, atau gugus COOH. Pati (bukan komponen serat pangan) juga bersifat menghambat absorpsi Fe. Kalsium dan Fosfor Kalsium dan fosfor bersama-sama menghambat absorpsi Fe dengan membentuk kompleks Fe-Ca-fosfat. Mekanisme dan regulasi absorpsi Fe Sejumlah kecil Fe dapat diabsorpsi pada lambung, ileum dan kolon, sedangkan sisi yang sangat aktif untuk absorpsi Fe hem dan bukan hem adalah pada duodenum dan jejunum atas. Tiga fase yang menentukan absorpsi Fe pada saluran pencernaan, yaitu: fase luminal, mukosal, dan sistemik. Fase luminal adalah fase pengangkutan Fe ke brush border sel mukosa usus, ditentukan oleh macam makanan yang dikonsumsi dan interaksinya dengan sekresi alat pencernan. Fase mukosa meliputi kelanjutan dari Fe yang telah ditangkap oleh sel epitel mukosa, sirkulasi dan penyimpanannya serta terbuangnya Fe ketika sel epitel lepas ke dalam saluran pencernaan. Fase sistemik berhubungan dengan mekanisme yang menentukan bagaimana kebutuhan Fe tubuh dikomunikasikan dengan sel mukosa. Fase luminal Fe bukan hem dalam makanan terdapat dalam bentuk Fe(II) dan Fe(III) yang mudah atau sukar diabsorpsi. Fe bukan hem yang larut pada pH netral-alkalis duodenum dan Mr rendah dapat memasuki membran brush border. Fe(II) lebih mudah memasuki lapisan ini disebabkan kelarutannya; sedangkan Fe(III) harus dalam bentuk senyawa kompleks yang larut. Di dalam lambung terjadi reduksi dan pembentukan kelat dengan berbagai senyawa bahan pangan. Fe(III) akan mengendap pada pH >3; asam lambung berfungsi menghindari pembentukan ferioksihidroksida atau feri hidroksida yang tak larut pada pH netral/alkalis, melalui pembentukan Fe(H2O)63+, Fe(H2O)62+. Fe(III) yang larut asam membentuk kompleks dengan musin lambung. Asam organik, sakarida, asam amino, peptida sistein membentuk kompleks kelat Fe yang tak stabil, dan sanggup mendonorkan Fe ke musin pada pH netral (sebagai enhancer). Senyawa fitat, tanat, oksalat membentuk endapan atau kompleks kelat stabil, yang mengganggu ikatan dengan musin (sebagai inhibitor). Pada lumen usus halus, sumber Fe hem (misal: hemoglobin, mioglobin) mengalami pemecahan menghasilkan hem/metaloforfirin dan protein. Fe hem diabsorpsi sebagai metaloforfirin melalui sisi ikatan spesifik pada brush border mukosa dengan afinitas yang tinggi, diperantarai oleh reseptor. Ini menunjukkan bahwa cincin porfirin yang responsibel untuk absorpsi Fe hem dibandingkan Fe bukan hem. Amina primer yang dilepaskan pada proteolisis globin membantu dalam mempertahankan keadaan monomer hem, sehingga metaloporfirin mudah diabsorpsi. 28 Fase Mukosal Fe bukan hem/ ion Fe melewati brush border secara endositosis melalui pengemban, yang terdiri satu atau lebih protein pada epitel mukosa duodenum, masingmasing dengan fungsi spesifik, yaitu: 1) pengikat protein trimer, 2) 3 integrin 3) Hfe, yang berfungsi bersama 2 mikroglobulin, dan 4) Nramp2. Karena sifat fisikokimia Fe(II) dan Fe(III) berbeda, maka ada 2 jenis carrier microvillus yang berbeda untuk Fe non hem. Pada brush border juga terdapat ferireduktase yang mereduksi Fe(III) menjadi Fe(II). Protein reseptor spesifik yang mengatur mekanisme penangkapan Fe hem adalah Hfe protein. Selanjutnya Fe akan melewati mucosal surface membrane atau mucosal side. Dalam sitosol mucosa duodenum, Fe hem dibebaskan dari protoforfirin oleh enzim hemoksigenase menghasilkan Fe(III), biliverdin dan CO. Fe(II) non hem teroksidasi membentuk Fe(III) dan terikat oleh molekul pengemban intraselular yaitu mobilferin bersama-sama dengan Fe (III) hem; yang kemudian ditransfer dalam bentuk Fe(II). Pada keadaan normal, mobilferin mentransfer Fe (II) ke apoferitin untuk membentuk feritin, ke mitokondria, dan melewati serosal side ke apotransferin; distribusi ini tergantung pada keadaan metabolisme Fe individual. Apoferitin juga bertindak sebagai ferooksidase, mengubah Fe(II) menjadi Fe(III); Fe dalam feritin tersimpan sebagai kompleks ferihidroksifosfat: FeO(OH)8 (FeO.PO4H2). Fe ditransfer melalui serosal side dalam bentuk Fe(II) yang terikat oleh ligan Mr rendah, misalkan asam amino dan askorbat; kemudian dilepaskan oleh ligan pada plasma, dioksidasi oleh seruloplasmin menjadi Fe(III), dan bergabung dengan globulin membentuk transferin. Transferin membawa Fe ke sel-sel dengan reseptor spesifik pada permukaan sel. Fase sistemik Proses absorpsi Fe sangat ditentukan oleh mekanisme yang mengkomunikasikan kebutuhan Fe tubuh dan jumlah cadangan Fe tubuh. Berbagai faktor yang berperan pada fase sistemik antara lain simpanan Fe tubuh, sekresi alat pencernaan, dan kondisi fisiologis misalkan saat kehamilan, hipoksia jaringan. Mekanisme yang mengatur transfer Fe adalah sintesis apoferitin dalam sitosol dan reseptor transferin pada membran sel yang ditentukan oleh kebutuhan dan cadangan Fe; sedangkan sintesis paraferitin dan reseptor transferin diregulasi oleh DNA, mRNA paraferitin dan mRNA reseptor transferin. 29 CONTINUING EDUCATION SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN KIMIA DI SEKOLAH Suyono (Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya) e-mail: [email protected] A. PENDAHULUAN 1. Peran Sentral Guru dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran Kimia Peningkatan kualitas pembelajaran kimia di SMA dapat ditempuh melalui berbagai cara, antara lain peningkatan bekal awal siswa baru, peningkatan kompetensi guru, peningkatan isi kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran dan penilaian hasil belajar siswa, penyediaan bahan ajar yang memadai, dan penyediaan sarana belajar. Dari semua cara tersebut, peningkatan kualitas pembelajaran menduduki posisi yang sangat strategis. Pembelajaran kimia yang berkualitas diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Peningkatan kompetensi guru kimia harus senantiasa diupayakan. Upaya meningkatkan kompetensi guru untuk menyelesaikan masalah pembelajaran yang dihadapi saat menjalankan tugasnya di kelas dapat dilakukan melalui pengembangan dan peningkatan kualitas pembelajaran. Pengembangan dan peningkatan kualitas pembelajaran kimia di SMA merupakan tuntutan logis dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks) yang sangat pesat. Perkembangan Ipteks mengisyaratkan penyesuaian dan peningkatan proses pembelajaran secara terus menerus. Di samping itu, perlu adanya inovasi pembelajaran untuk meningkatkan kualitas lulusan (Direktorat Ketenagaan Ditjen Dikti, 2007). Pembelajaran yang bermutu haruslah mencakup dua dimensi, yaitu orientasi akademis dan orientasi keterampilan hidup yang esensial. Berorientasi akademik berarti menjanjikan prestasi akademik peserta didik sebagai tolok ukurnya, sedangkan yang berorientasi keterampilan hidup (life skill) yang esensial adalah pendidikan yang dapat membuat peserta didik dapat bertahan (survive) di kehidupan nyata (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2007). Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran kimia di SMA para guru dapat memberikan perhatian kepada bidang-bidang meliputi: (1) pengelolaan kelas, model pembelajaran, pendekatan dan metode mengajar yang inovatif yang sesuai dengan karakteristik bidang studi kimia (subject specific paedagogy), serta interaksi dalam pembelajaran untuk mengatasi masalah belajar siswa seperti kesalahan-kesalahan belajar dan miskonsepsi; (2) pengembangan bahan ajar cetak dan/atau elektronik, alat bantu dan alat peraga pembelajaran, (3) pemanfaatan sumber belajar, antara lain meliputi pemanfaatan perpustakaan baik cetak maupun elektronik, pemanfaatan internet, atau sumber belajar lain di luar kelas, dan (4) evaluasi proses dan hasil belajar, antara lain evaluasi otentik termasuk penilaian portfolio, evaluasi diagnostik siswa dengan tindakan pembelajarannya, serta pengembangan instrumen dan penggunaannya (Direktorat Ketenagaan Ditjen Dikti, 2007). Guru memegang peran penting dalam pembelajaran. Seorang guru yang profesional akan mampu menjadi fasilitator dalam memberikan keterampilanketerampilan yang dibutuhkan peserta didik dengan baik (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2007). Peserta didik memerlukan guru profesional dalam mengasah 30 kecerdasannya. Guru profesional memiliki potensi untuk menghantarkan anak bangsa menjadi unggul dan memiliki daya saing. Tantangan yang sering dihadapi para guru kimia di lapangan adalah: a. Bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya tentang alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang mereka pelajari? b. Bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari siswa sehingga siswa dapat mempelajari berbagai konsep dan mampu mengaitkannya dengan kehidupan nyata, serta dapat membuka berbagai pintu kesempatan selama hidupnya? Jika diperhatikan catatan-catatan yang diberikan oleh Direktorat Ketenagaan di atas, maka tantangan-tantangan itu tidak akan dapat diatasi manakala interaksi antara guru dan siswa dalam pembelajaran belum mengatasi masalah belajar siswa seperti kesalahan-kesalahan belajar dan miskonsepsi. Untuk memperbaiki miskonsepsi yang terjadi pada siswa diperlukan guru yang tidak dalam keadaan miskonsepsi juga. Apakah masih terdapat miskonsepsi pada guru-guru kimia yang telah lama meninggalkan kampus untuk berjoang di lapangan? Jika jawabnya masih, maka perlu dicari solusi untuk memperbaikinya. Jika tidak dibuat solusinya, maka peran sentral guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di SMA tidak akan menunjukkan fungsinya. B. TEMUAN, REFLEKSI, DAN SOLUSI 1. Apa yang Terjadi dengan Guru Kimia di SMA Berikut disampaikan beberapa fenomena yang terjadi pada seorang guru kimia dan atau kelompok guru kimia yang berhasil diinventarisasi (temuan): a. Dalam sebuah forum diklat yang diadakan oleh Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Pemerintah Australia pada tanggal 5 s.d. 9 November 2007 seorang guru kimia (S1) dengan tanpa beban menyatakan terjadinya reaksi oksidasi atas karbohidrat yang terkandung dalam mie kuwah ketika dikipas dengan kipas listrik. b. Pada hari pertama sebuah kegiatan CE guru kimia di Surabaya (NovemberDesember 2007) kepada 25 orang peserta diminta menghitung pH larutan HCl 10 M. Semua peserta tampak dengan tenangnya mengajukan ide untuk menggunakan rumus pH = - log [H +]. Kemudian kecewa saat angka yang diperoleh adalah angka yang aneh untuk ukuran pH. c. Fenomena pada butir b juga pernah terjadi pada seorang dosen kimia dari sebuah perguruan tinggi negeri saat menempuh ujian tesis di pasca sarjana sebuah perguruan tinggi negeri pula. d. Dalam sebuah supervisi kelas, ditemukan seorang guru kimia yang mengawali pembelajaran materi pokok laju reaksi dengan kegiatan motivasi. Guru ini memotivasi siswa dengan mendemonstrasikan lebih cepatnya melarut dalam air serbuk gula pasir ketimbang kristal gula. Ketika dikritik, sang guru berdalih “demikian yang saya baca di Buku Kimia SMA”. e. Seorang guru kimia senior dari SMA yang sekarang bertarap SBI terperanjat saat ditanya oleh siswanya “mengapa penyepuhan (elektroplating) yang dilakukan dengan rangkaian seri baterei hasilnya lebih rata (nampak halus) jika dibanding hasil penyepuhan menggunakan arus dari adaptor?” Guru menjanjikan jawaban dan tidak terbayar hingga siswa lulus SMA. 31 f. Hanya ada sebagian guru yang telah mempraktikan penelitian tindakan kelas (classroom action research) bagi program perbaikan pembelajaran. Penyajian temuan di atas walau belum diverifikasi melalui kegiatan penelitian yang sistematis, namun dapatlah dijadikan indikasi awal adanya kelemahan dalam konsepsi kimia dan kebiasaan guru dalam menjadikan hasil penelitian sebagai dasar dalam pengembangan pembelajaran di kelas (manfaat PTK). Penyajian temuan di atas sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkan kualifikasi akademis guru kimia di SMA. 2. Refleksi Dari butir B.1 nampak masih adanya miskonsepsi dan kekurangan dalam memahami subjek materi kimia pada sebagian guru kimia di SMA. Hal ini boleh jadi karena kesempatan guru dalam meningkatkan kompetensinya belum terkondisikan oleh lembaga tempat kerjanya. Keadaan itu diperparah oleh kesibukan guru menyusun perangkat administrasi pembelajaran sehingga tidak ada sisa lagi bagi guru untuk mengembangkan diri. Terbatasnya kemampuan dana bagi guru dalam meningkatkan keprofesionalannya ikut memberikan andil yang berarti sehingga tidak berlebihan bila disimpulkan bahwa jumlah guru profesional amat kurang. Kelemahan ini tidak boleh didiamkan oleh siapapun. Harus dicari solusi untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada, tidak penting untuk mencari siapa yang salah. Terpecahkannya problematika ini akan memperbaiki dan memperkuat peran sentral guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran kimia di SMA. Solusi yang dapat dipilih untuk memperbaiki kinerja guru kimia di SMA haruslah memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa (Adult Education) dengan berbekal kepada konsep belajar seumur hidup (lifelong education). Konsep pendidikan berkelanjutan bagi guru kimia diyakini akan mampu meningkatkan kompetensi guru secara berkesinambungan. Solusi yang beranjak dari falsafah pendidikan sepanjang hayat itu harus juga bersinergi dengan konsep pendidikan yang bermakna (meaningful learning). Dalam implementasinya, solusi yang dipilih harus pula mengacu kepada pembelajaran kontekstual, pendidikan keterampilan hidup (life skill). Kurikulum pendidikan bagi guru bertumpu pada pengembangan profesionalisme guru, penguasaan materi pembelajaran, serta pengembangan dan pengayaan, penguasaan metodologi pembelajaran beserta konsep pendidikan yang melatarbelakanginya. Tindakan nyata dari solusi yang direncanakan harus dilaksanakan dengan prinsip berkelanjutan, berbasis kompetensi, dan terintegrasi. Agar para guru kimia termotivasi untuk berpatisipasi secara aktif pada program solusi ini, harus ada penghargaan akademis (sertifikat) yang sesuai dengan level dan jenis pendidikan yang diikutinya. Sertifikat itu harus dikeluarkan oleh lembaga standar dan kompeten sehingga diakui secara nasional. 3. Solusi: Program CE sebagai Salah Satu Alternatif Continuing Education (CE) sebagai salah satu bentuk lifelong learning. CE (pembelajaran terus menerus) merupakan konsep pembelajaran yang bertumpu pada pernyataan “tidak ada kata terlambat untuk belajar”. Orang-orang yang menerima konsep itu harus memiliki sikap terbuka dengan ide-ide baru, kemauan, kemampuan dan kepribadian. CE tidak menyetujui pernyataan “kamu tidak dapat mengajari anjing tua 32 dengan trik baru” untuk dapat keluar pintu dengan cepat. CE memberikan kesempatan kepada setiap orang (setiap warganegara) pada semua umur untuk terus belajar, untuk terus meningkatkan kompetensinya baik dalam konteks pekerjaan, menjalani kehidupan di rumah maupun dalam kegiatan perkuliahan. Jalur-jalur dalam pelaksanaan CE. CE tidak hanya melalui jalur formal seperti sekolah dan pendidikan yang lebih tinggi, tetapi dapat memanfaatkan teknologi informasi. CE juga dapat dilakukan melalui belajar berjarak (distance learning) atau elearning, korespondensi, dan masih terdapat bentuk-bentuk atau jalur yang lain. a. Metode penyampaian CE dapat berupa pembelajaran tradisional di ruang kelas dan laboratorium. Belajar full-time/part-time di universitas dapat dilakukan, tetapi kebanyakan guru akan memilih part-time. Untuk kegiatan-kegitan pembimbingan penelitian model CE ini memiliki kecenderungan dapat berjalan dengan baik, tetapi tidak demikian untuk penkajian bidang studi. b. Induction training bertujuan untuk membantu para guru baru agar mendapatkan tampilan (performance) yang menakjubkan dari guru senior yang berpengalaman. c. Pengembangan pembelajaran melalui website yang dikoordinasikan lembaga tertentu yang berkompeten (belajar melalui internet). Situs kimia yang dapat dikunjungi dapat dilihat di bawah bagian penutup makalah ini. d. Distance Education merupakan suatu pendidikan yang difokuskan pada pedagogi/ andragogi, teknologi, dan desain instruksional yang bertujuan mentransfer pendidikan kepada peserta didik yang tidak terikat oleh keberadaan gedung/ bangunan. Pendidik dan peserta didik dapat saling berkomunikasi sesuai dengan jadwal yang disepakati bersama melalui media cetak atau media elektronik, atau teknologi sejenis yang berkembang saat ini (radio, tv, konferensi audio-video, instruksi berbantukan komputer, e-learning). Kepemilikan kelas secara fisik tidak dilarang, tetapi tidak boleh selalu menuntut kehadiran peserta didik di dalam kelas. Terminologi ”kelas elektronik” berlaku dalam distance education. Kti-on line, adalah salah satu program Depdiknas (dengan website: ktiguru.org) yang mencoba membangun proses belajar antara para guru di sekolah di seluruh Indonesia dengan dosen pembimbing di berbagai perguruan tinggi. e. Mengikuti diklat pembelajaran inovatif dan menghadiri seminar-seminar atau temu ilmiah yang memiliki relevansi yang tinggi dengan mata pelajaran yang diampu adalah sebuah bentuk atau jalur CE yang dapat dijadikan pilihan seraya mengurangi kejenuhan akibat rutinitas di sekolah. Sayang sekali diklat-diklat yang ada belum berdasar kebutuhan guru. f. MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Kimia. 4. Sekilas tentang Program CE Guru Kimia di Kota Surabaya Universitas Negeri Surabaya bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota Surabaya telah melaksanakan Program Continuing Education pada tanggal 5 Desember 2006 s.d. 7 Januari 2007. Kegiatan CE yang dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu berbentuk kuliah tatap muka, diskusi, penugasan, workshop, dan presentasi. Peserta program berjumlah 225 orang dari bidang-bidang bahasa, matematika, dan IPA. Jumlah peserta dari bidang IPA, khususnya kimia adalah 25 orang dengan strata pendidikan S1. Saat ini juga sedang berjalan program CE lanjutan. 33 Keberhasilan program CE ini diukur dengan empat indikator, yaitu: (1) kehadiran peserta, (2) kesesuaian antara materi CE dengan kebutuhan guru di lapangan, (3) kepuasan peserta, dan (4) prestasi akademik. Dari laporan pelaksanaan program CE tahun 2007, khususnya untuk guru bidang studi kimia dapat disajikan fakta terkait dengan empat indikator di atas (lihat Tabel 1). Tabel 1. Rekapitulasi Keberhasilan Setiap Indikator yang Diukur dalam CE Bagi Guru-Guru Kimia Kota Surabaya pada Tahun 2007 No. Indikator Keberhasilan 1. Kehadiran > 75% 2 Kesesuaian antara materi CE dengan kebutuhan guru di lap 3. Kepuasan Peserta a. Ilmu bertambah b. Penguasaan pengajar thd materi c. Respon pengajar thd pertanyaan peserta d. Proses Relajar Mengajar e. Penerlibatan Peserta thd PBM f. Fasilitas di Ruang Kelas g. Motivasi setelah mengikuti kegiatan CE h. Keinginan adanya CE lanjutan i. Keinginan adanya CE untuk guru lain j. Pengaturan waktu k. Kepuasan secara umum Hasil (dalam %) 100 45 (SS); 50% (S); 5 (abstain) Ket Berhasil Berhasil 27 (SS); 73 (S) Berhasil 50 (SB); 41 (B); 4 (C); 5 (KB); 0 Berhasil (TB) 27 (SB); 68 (B); 5 (C); 0 (KB); 0 Berhasil (TB) 27 (SB); 59 (B); 14 (C) Berhasil 32 (SB); 45 (B); 23 (C) Berhasil 23 (SB); 68 (B); 9 (C) 73 (ya); 18 (tidak); 9 (abstain) Berhasil Berhasil 100 (ya) Berhasil 100 (ya) Berhasil 69 (SS); 19 (S); 12 (KS) Berhasil 47,5 (SP); 43,6 (P); 7,4 (CP); 0,6 Berhasil (KP) 4. Prestasi (lulus dg nilai > B) 100 Berhasil Sumber Data: Laporan Kegiatan Pelaksanaan Program CE 2007 Kerja sama Unesa dan Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Karena seluruh indikator dan sub indikator telah memenuhi kriteria keberhasilan, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan program CE berhasil dilihat dari segi: (1) kehadiran peserta, (2) kesesuaian antara materi CE dengan kebutuhan guru guru kimia di lapangan, (3) kepuasan peserta, dan (4) prestasi akademik peserta. C. PENUTUP Tidak ada kata berhenti untuk memperbaiki kemampuan dan menggali informasi terbaru, karena informasi dan teknologi melaju terus dengan cepat, sehingga setiap guru butuh untuk mengimbanginya. Banyak kelebihan yang diperoleh guru jika senantiasa memperbaharui pengetahuan dalam dirinya. Satu di antara kelebihan itu adalah dapat 34 lebih cepat menangani problematika pembelajaran dengan menggunakan metode terbaru, atau dengan bantuan software terbaru. Melalui program Continuing Education para guru memperoleh kesempatan dan fasilitas untuk mengembangkan kemampuan dan memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pekerjaannya. Setiap kegiatan dalam program CE tentu saja harus dipandu oleh tenaga profesional yang telah kompeten di bidangnya. http://www.shodor.org http://www.science.uwaterloo.ca http://www2.wwnorton.com/college/chemistry http://www.uniregensburg.de/Fakultaeten/nat_Fak_IV/Organische_Che mie/Didaktik/Keusch/kinetics.htm http://itl.chem.ufl.edu http://en.wikipedia.org http://staff.um.edu.mt/jgri1/teaching http://www.rjclarkson.demon.co.uk http://www.vias.org/genchem http://www.chemguide.co.uk Daftar Pustaka Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2007. Pedoman Teknis Penyusunan Proposal Bantuan Subsidi Penyelenggara Pendidikan untuk Peserta Didik Berkecerdasan dan atau Berbakat Istimewa. Jakarta: Ditjen Manajemen Dikdasmen, Depdiknas. Direktorat Ketenagaan. 2007. Pedoman Penyusunan Usulan dan Laporan Pengembangan dan Peningkatan Kualitas PembelajarandDi LPTK (PPKP) Tahun Anggaran 2008. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdiknas. Laporan Kegiatan Pelaksanaan Program Continuing Education tahun 2007, Program Kerja Sama Universitas Negeri Surabaya dan Dinas Pendidikan Kota Surabaya Wikipedia. Continuing Education. Diakses tanggal 28-11-2007. Wikipedia. Distance Education. Diakses tanggal 28-11-2007. 35