1 ilmu kimia sumber alam hayati indonesia

advertisement
ILMU KIMIA SUMBER ALAM HAYATI INDONESIA :
PENELITIAN UNTUK PENGEMBANGAN PENDIDIKAN,
ILMU PENGETAHUAN, DAN SUMBERDAYA MANUSIA * )
Sjamsul Arifin Achmad, Euis Holisotan Hakim, Lia Dewi Juliawaty, Lukman Makmur,
Didin Mujahidin, dan Yana Maulana Syah
Kelompok Penelitian Kimia Organik Bahan Alam, Departemen Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung,
Jalan Ganeca 10, Bandung 40132, E-mail: [email protected]
I. Pendahuluan
Era globalisasi ditandai oleh tersedianya peluang yang sama antara berbagai
bangsa di dunia. Dunia berada dalam satu kebudayaan, bangsa yang kuat dan yang
lemah berada dalam satu medan yang sama, dengan kedudukan yang sama pula. Dengan
demikian, permasalahan bangsa akan berdimensi internasional. Globalisasi adalah
dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti terlihat dari perkembangan
bidang transportasi, komunikasi, dan informasi selama beberapa dekade terakhir.
Kemajuan ekonomi dan budaya bangsa dewasa ini dilandasi oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan komoditi dan masyarakat dengan
muatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin meningkat, atau ”science and
technology base economy”. Oleh karena perkembangan ilmu pengetahuan bersifat
universal, maka sistem pendidikan di Indonesia terus mendapat tekanan agar terus
meningkatkan ”internasionalisasi”, sehingga dapat menghasilkan bangsa Indonesia yang
cerdas, menguasai ilmu pengetahuan, mampu mengembangkan intelektualitas, mampu
berkomunikasi, mempunyai pandangan yang luas, sehingga mampu merebut peluang
dalam persaingan apapun.
. Pada kesempatan ini dapat dikemukakan bahwa ilmu kimia bahan alam hayati
adalah ilmu pengetahuan yang sangat luar biasa dan sangat indah, mengandung nilainilai ilmu pengetahuan untuk tradisi akademik dan mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi..Ilmu kimia bahan alam mempunyai nilai-nilai hakiki ilmu pengetahuan,
perspektif sejarah ilmu kimia, penuh fenomena kimia, sarat molekul yang menarik,
mempunyai prospek ilmiah masa depan, dan aktual untuk Indonesia. Ilmu pengetahuan
ini, yang merupakan milik bersama umat manusia, sangat strategis untuk membina dan
mengembangkan ”new practicing scientists ” yang akan menggiring ilmu pengetahuan
dan teknologi di Indonensia ke dan di masa yang akan datang.
*}
Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Kimia, Universitas Negeri Surabaya,
5 Desember 2007.
1
II. Pola kimia Lauraceae, Moraceae, dan Dipterocarpaceae
Indonesian termasuk salah satu dari tujuh negara “megadiversity” yang kaya
akan keanekaragaman hayati, kedua setelah Brazil. Oleh karena setiap spesies
tumbuhan, hewan, dan mikro-organisme yang terdapat di darat maupun di laut
mempunyai nilai-nilai kimiawi, dalam arti menghasilkan berbagai jenis senyawa kimia
yang banyak jumlahnya, maka keanekaragaman hayati yang tersedia di Indonesia dapat
diartikan sebagai sumber senyawa kimia bahan alam yang sangat beranekaragam.
Sehubungan dengan itu, sejak hampir dua dekade terakhir, beberapa kelompok
tumbuhan tropika yang asli berasal dari Indonesia telah diselidiki di laboratorium kami.
Tumbuh-tumbuhan tersebut antara lain termasuk spesies famili Lauraceae, Moraceae,
dan Dipterocarpaceae. Masing-masing famili tumbuhan ini terdiri dari banyak spesies,
dan tersebar secara luas di Indonesia. Penelitian kami menunjukkan bahwa tumbuhtumbuhan ini mengandung berbagai jenis senyawa kimia baru yang unik, antara lain
jenis terpenoid, alkaloid, flavonoid, dan stilbenoid. Terkait dengan itu, hipotesis yang
kami gunakan ialah bahwa senyawa-senyawa ini memegang peranan yang sangat
penting dalam metabolisme dan fungsi ekologi masing-masing kelompok tumbuhan
tersebut, menggantikan senyawa-senyawa sejenis yang dihasilkan oleh kelompok
tumbuhan lain. Pertimbangan tersebut di atas telah kami gunakan untuk menyelidiki
ilmu kimia sejumlah spesies tumbuhan ini yang tumbuh terisolasi dan tersebar di
banyak wilayah Indonesia.
Makalah ini akan menguraikan secara ringkas keanekaragaman jenis molekul
tersebut yang telah ditemukan di laboratorium kami, serta keunikan yang merupakan
faktor penentu sifat-sifat fisika, kimia, dan fisiologi senyawa. Hasil-hasil penelitian ini
merupakan landasan bagi pengembangkan penelitian-penelitian orisinil selanjutnya.
Alkaloid, seskuiterpenoid dan α-pyron dari Lauraceae
Lauraceae yang dikenal dengan nama medang, adalah suatu famili tumbuhan
tropika yang tersebar secara luas di seluruh kepulauan Nusantara, terdiri dari 31 genus
dan sekitar 3000 spesies. Litsea dan Cryptocarya adalah dua genus utama, masingmasing terdiri dari 318 and 478 (Cronquist, 1981; Kostermans, 1957). Beberapa spesies
Litsea dan Cryptocarya digunakan dalam pengobatan tradisional Indonesia untuk
menyembuhkan berbagai penyakit, seperti diare dan penyakit kulit (Heyne, 1987).
Dilaporkan pula bahwa beberapa spesies yang termasuk kedua genus ini
memperlihatkan berbagai efek farmakologi, seperti antikanker dan antimikroba (Collins,
1990).
Penelitian kimia terhadap lebih 20 spesies Lauraceae Indonesia, yang berasal
dari wilayah Sumatera hingga Irian Jaya, telah kami dilakukan untuk pertama kalinya,
misalnya tumbuhan Litsea amara, L. cassiaefolia, L. excelsa, L. firma, L. glutinosa,
Neolitsea cassiaefolia, dan Cryptocarya densiflora. Penelitian ini berhasil menemukan
banyak senyawa, termasuk senyawa baru jenis alkaloid, seskuiterpenoid, dan α-piron
dengan beranekaragam struktur molekul. Dari L. glutinosa ditemukan alkaloid baru
yang diberi nama itebein (1), bersama-sama dengan retikulin (2), krikonisin (3), palidin
(4), boldin (5), dehidrodisentrin (6), dan disentrinon (7) dari L. cassiaefolia, L. excelsa,
L. firma, seperti tercantum pada Bagan 1 (Achmad, 1990; Hakim, 1994a; Makmur,
1995).
2
O
N
O
O
CH3O
OCH3
Disentrinon (7)
(Litsea excelsa)
O
N
O
CH3
CH3O
OCH3
N(CH3 )2
O
O
CH3O
OH
Dehidrodisentrin (6)
(Litsea cassiaefolia)
CH3O
Itebein (1)
(Litsea glutinosa)
HO
N
HO
CH3
CH3O
N
CH3O
CH3
CH3O
OH
Retikulin (2)
(Litsea firma)
OH
Boldin (5)
(Litsea glutinosa)
3
OH
CH3O
CH3O
N
CH3O
NCH3
CH3O
HO
O
Krikonisin (3)
(Litsea firma)
Palidin (4)
(Litsea firma)
Bagan 1. Beberapa alkaloid dari sejumlah spesies Lauraceae masing-masing dengan
kerangka dasar karbon yang berbeda serta hubungan biogenesis
Dari L. amara dan C. densiflora ditemukan pula senyawa baru turunan
seskuiterpenoid, masing-masing diberi nama indonesiol (8) dan pseudolinderadin (9)
(Achmad, 1990, 1992a), bersama-sama dengan senyawa seskuiterpenoid lainnya, yaitu
isokurkumol (10). 8-hidroksikusunol (11), dan asam fiserilakton (12), masing-masing
dari L. cassiaefolia, L. excelsa, dan N. Cassiaefolia, seperti tercantum pada Bagan 2
(Achmad, 1992b; 1995; Hakim, 1994b; Makmur, 1995).
OH
Indonesiol (8)
(L. amara)
OH
OH
8-Hidroksikusunol (11)
(L. excelsa)
H
OH
O
OH
O
O
H3C
H
H
CO2OH
H
Isokurkumol (10)
(L. cassiaefolia)
Asam fiserilakton (12)
(N. cassiaefolia)
4
H
O
O
S
O
S
CH3
O
O
Pseudolinderadin (9)
(C. densiflora)
Bagan 2. Beberapa seskuiterpenoid dari sejumlah spesies Lauraceae masing-masing
dengan kerangka dasar karbon yang berbeda serta hubungan biogenesis
Dari beberapa spesies Cryptocarya telah ditemukan pula senyawa turunan αpyron. Dari penelitian pertama terhadap spesies Cryptocarya kamahar yang tumbuh di
Bolaang Mongondow, Sulawesi, berhasil ditemukan suatu senyawa baru yang diberi
nama kamaharlakton (13), bersama-sama dengan goniotalamin (14) (Damayanti, 2005;
Juliawaty, 2006). Selanjutnya, dari spesies C. strictifolia yang tumbuh di Gunung
Palung, Kalimantan Barat, ditemukan pula senyawa baru turunan α-pyron, .yang diberi
nama trivial striktifolion (15) (Juliawaty, 2000, 2006).
O
O
O
O
H
H
Kamaharlakton (13)
H
OH OH
H
H
Goniotalamin (14)
O
O
Striktifolion (15)
Stilbenoid, adduct Diels-Alder, dan flavonoid dari Moraceae
Tumbuh-tumbuhan yang termasuk famili Moraceae telah digunakan di Asia
dalam pengobatan tradisional, pertanian, dan bahan bangunan. Tumbuh-tumbuhan ini
terdiri dari 60 genus dan 1400 spesies, dan tersebar di wilayah tropika Asia (Cronquist,
1981; Verheij, 1992). Beberapa genus ini, yaitu Morus dan Artocarpus merupakan
genus yang penting dan telah menarik banyak perhatian. Beberapa spesies Morus
seperti M. alba (murbei) tumbuh di Cina dan Jepang, dan digunakan dalam pengobatan
tradisional untuk menyembuhkan berbagai penyakit, seperti batuk, asma, hipertensi,
aterosklerosis, artritis, dan anemia (Kimura, 1996), dan daunnya digunakan sebagai
pakan ulat sutera.
.
Morus macroura yang dikenal dengan nama andalas, adalah tumbuhan langka
asli Indonesia. Kayu tumbuhan ini digunakan sebagai bahan bangunan dan perabot yang
tahan terhadap jamur dan rayap. Penyelidikan tumbuhan ini berhasil menemukan
beberapa senyawa baru turunan stilbenoid, yaitu andalasin A (16) dan andalasin B (17).
5
OH
OH
HO
H
O
OH
OH
OH
OH
HO
H
OH
OH
OH
OH
OH
HO
OH
Andalasin A (16)
Andalasin B (17)
Melalui pendekatan bioteknologi, maka dari kultur akar tumbuhan andalas atau
M. macroura, ditemukan pula beberapa senyawa jenis adduct Diels-Ader, seperti
kuwanol E (18), calkomorasin (19), kuwanon J (20), kuwanon R (21), dan
mulberofuran P (22).
HO
HO
OH
OH
HO
OH
HO
O
H
H
OH
O
O
H
H
OH
OH
OH
H H
OH
OH
HO
HO
Kuwanol E (18)
Calkomorasin (19)
OH
HO
HO
OH
R
O
H
O
OH
HO
H
O
O
O
OH
OH
H
OH
OH
OH
HO
R= OH : Kuwanon J (20)
R= H : Kuwanon R (21)
OH
Mulberofuran P (22)
Genus Artocarpus yang terdiri dari 50 spesies terutama ditemukan di Indonesia,
Malaysia, dan Filipina (Verheij, 1992). Artocarpus mengandung antara lain senyawa-
6
senyawa kimia turunan flavonoid dan adduct Diels-Alder, sejenis dengan yang
ditemukan pada Morus (Nomura, 1998). Senyawa-senyawa ini menarik, karena
mempunyai kombinasi yang sangat menarik antara struktur molekul yang unik dan
relatif sederhana, dengan berbagai khasiat yang berguna.
Pada penyelidikan terhadap Artocarpus champeden (sinonim A. integer), yang
dikenal dengan nama cempedak, telah ditemukan banyak senyawa flavonoid, termasuk
sejumlah senyawa baru, yang memperlihatkan sifat-sifat anti-kanker yang sangat kuat
terhadap sel kanker leukemia P388, yakni artoindonesianin A (23), artoindonesianin B
(24), artoindonesian T (25), artoindonesianin (26), artoindonesian E (27), artoindonesianin L (28), artokarpanon (29), dan norartokarpetin (30), seperti tercantum pada
Bagan 3 (Hakim, 2005, 2006).
HO
O
OH
O
OH
O
O
Artoindonesianin A (23)
IC50 21.0 g/mL
OH
HO
CH3O
O
HO
O
OH
O
O
OCH3
OH
OOH
OH
O
OH
OH
HO
O
O
OH
O
Artoindonesianin B (24)
IC50 3.9 g/mL
H3 CO
HO
Artoindonesianin T (25)
IC50 1.9 g/mL
OCH3
O
HO
O
O
Artoindonesianin (26)
IC50 0.2 g/mL
OH
OH
OCH3
OH
O
Artoindonesianin E (27)
OH
O
Artoindonesianin L (28)
7
IC50 0.6 g/mL
HO
CH3O
O
OH
OH
HO
HO
O
Artokarpanon (29)
IC50 19.3 g/mL
OH
O
OH
O
Norartokarpetin (30)
Bagan 3. Beberapa senyawa kimia berbagai jenis dari tumbuhan A. champeden
dan aktivitas sitotoksik terhadap sel P-388 serta hubungan biogenesis.
Stilbenoid dari Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae adalah salah satu famili tumbuhan terbesar yang ditemukan
pada hutan tropika Indonesia. Tumbuh-tumbuhan ini terdistribusi di wilayah Indonesia
bagian barat hingga Papua, terutama di Kalimantan, sehingga kayu tumbuhan ini
dikenal dengan meranti atau kayu Kalimantan Dipterocarpaceae terdiri dari 16 genus
dan 600 species (Cronquist, 1981; Symington, 1974), akan tetapi hingga kini baru
beberapa spesies yang telah diteliti. Genus terbesar adalah Shorea yang terdiri dari 150
spesies, Vatica terdiri dari 87 spesies, Dipterocarpus terdiri dari 75 spesies, sedangkan
Dryobalanops hanya sembilan spesies, termasuk di dalam semuanya ini pohon-pohon
yang tinggi sebagai penghasil kayu yang sangat berharga. Pada tumbuh-tumbuhan ini
antara lain ditemukan senyawa-senyawa turunan oligostilbenoid, seperti monomer
resveratrol, dimer, trimer, dan lain-lain, yang memperlihatkan bioaktivitas yang
berguna, seperti antibakteri, antikanker, antihepatotoksik, dan anti-HIV (Hakim,
2002b). Oleh karena itu, Dipterocarpaceae sangat potensial sebagai objek penelitian
kimia bahan alam dan farmasi.
Pada spesies Shorea seminis, yang baru diselidiki untuk pertama kalinya, telah
ditemukan senyawa monomer resveratrol 12-C-glucopyranoside (31) dan suatu senyawa
baru dimer resveratrol, yang diberi nama diptoindonesin A (32) ) (Aminah, 2002, 2003),
dari spesies S. balangeran ditemukan pula antara lain senyawa dimer laevifonol (33)
(Tukiran,2003), sedangkan dari spesies Dryobalanops oblongifolia ditemukan pula dua
senyawa baru turunan trimer resveratrol, yang diberi nama cis-diptoindonesin B (34)
dan trans-diptoindonesin B (35), seperti tercantum pada Bagan 4 (Syah, 2003
8
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman hayati hutan
tropika Indonesia adalah gudang senyawa-senyawa organik bahan alam yang
mempunyai struktur molekul yang beranekaragam dengan sifat-sifat biologi yang
potensial. Sebagian besar sumber alam hayati Indonesia ini belum terjamah secara
kimiawi, namun masih tetap menjanjikan berbagai metabolit sekunder dengan struktur
molekul yang baru dan unik.
Penemuan senyawa-senyawa murni ini yang
memperlihatkan efek farmakologi, seperti efek sitotoksik, membuka peluang untuk
menemukan “lead compounds” untuk uji-uji biologi lainnya yang lebih luas dengan
target yang lebih spesifik.
Hasil penelitian ini membuka peluang untuk
memberdayakan keanekaragaman hayati Indonesia secara ilmiah dengan
mengembangkan penelitian-penelitian selanjutnya.
Ilmu kimia bahan alam sebagai ”experimental science” merupakan sarana untuk
melakukan pengamatan tentang fenomena alam, dengan penuh kejelian dan logika, dan
memeriksa ketelitian hipotesis yang muncul dari fenomena apapun yang diamati,
menghargai fenomena alam, objektif, dan menegakkan kebenaran dalam penyelidikan,
untuk mengembangkan sikap ilmiah.
HO
HO
A1
A1
HO
H
7a
8a
A2
HO
A2
H
B2
OH
O
H
HO
B2
OH
HO
H 8b
HO
H
7a
8a
O
B1
H 8b
H
HO
7b
O
B1
H
7b
O
C1
C1
HO
OH
C2
C2
OH
OH
cis-Diptoindonesin B (34)
trans-Diptoindonesin B (35)
9
Gluc.
HO
HO
HO
OH
H
Gluk
O
H
O
OH
OH
HO
HO
OH O
H
H
H
OH
OH
Resveratrol 12-C-glucopyranoside (31)
O
H
OH
OH
Diptoindonesin A (32)
HO
O
O
H
H
OH
Laevifonol (33)
Bagan 4. Beberapa senyawa kimia stilbenoid dari spesies Dipterocarpaceae
dan hubungan biogenesis masing-masing senyawa.
Daftar pustaka
Achmad, S.A., Hakim, E.H., Makmur, L., Rizal, H., and Zamri, A. (1990). "Ilmu Kimia
Tanaman Lauraceae Indonesia: III. Isolasi Aktinodafnin dan Boldin dari Litsea
glutinosa", ITB Proceedings, 23(1), 1.
Achmad, S.A., Ghisalberti, E.L., Hakim, E.H., Makmur, L. and Manurung, M. (1992a).
"A New Sesquiterpene Alcohol from Litsea amara Bl. (Lauraceae)", Phytochemistry,
31(6), 2153.
Achmad, S.A., Azminah, Effendi, Ghisalberti, E.L.,Hakim, E.H., Makmur, L. and Allan
H. White. (1992b). "Structural Studies of Two Bioactive Furanosesquiterpenes from
Cryptocarya densiflora (Lauraceae)", Aust. J.Chem., 45, 445.
Achmad, S.A., Budiono, R., Hakim, E.H., Juliawaty, L.D., Kasuma, S., Makmur, L.,
Muharram, Syah, Y.M., dan Tanjung M. (1995). “Senyawa-Senyawa Alkaloid,
Terpenoid, dan Flavonoid Tanaman Cryptocarya densiflora dan Cryptocarya ferrea”, J.
Mat. Sains, Suplement G, September, 56-66.
Aminah, N.S., Achmad, S.A., Aimi, N., Ghisalberti, E.L., Hakim, E.H., Kitajima, M.,
Syah, Y.M. and Takayama, H. (2002). Diptoindonesin A, a new C-glucoside of 
viniferin from Shorea seminis (Dipterocarpaceae), Fitoterapia, 73, 501-507.
Aminah, N.S., Achmad, S.A., Hakim, E.H., Syah, Y.M., Juliawaty, L.D., dan
Ghisalberti, E.L. (2003). Laevifonol, diptoindonesian A, dan ampelopsin A, tiga dimer
10
stilbenoid dari kulit batang Shorea seminis V.Sl. (Dipterocarpaceae), J. Mat. Sains (IT),
8(1), 31034.
Collins, D.J., Culvenor, C.C.J., Lamberton, J.A., Loder, J.W., Price, J.R. (1990).
Plants for Medicine: A Chemical and Pharmacological Survey of Plants in the
Australian Region.
Cronquist, A. (1981). An Integrated System of Classification of Flowering Plants,
Columbia University Press, New York.
Damayanti, A. (2005). Secondary metabolites from the tree bark of Cryptocarya
kamahar (Lauraceae), Thesis, Department of Chemistry, Institute Technology Bandung,
Indonesia
Hakim, E.H., Achmad, S.A., Buchari, and Pramutadi, S., (1994a). "Ilmu Kimia
Tanaman Lauraceae Indonesia: X. Alkaloid Benzilisokuinolin dari Litsea cassiaefolia,
Proceedings ITB, 27(3), 1
Hakim, E.H., Achmad, S.A., Buchari, and Pramutadi, S. (1994b). "Ilmu Kimia Tanaman
Lauraceae Indonesia: XI. Alkaloid Aporfin dan Oksoaporfin dari Litsea excelsa,
Proceedings ITB, 27(3), 11.
Hakim, E.H. (2002).
Review Singkat: Oligostilbenoid dari tumbuh-tumbuhan
Dipterocarpaceae, Bull. Soc. Nat. Prod. Chem.(Indonesian), 2(1), 1-19.
Hakim, E.H., Achmad, S.A., Juliawaty, L.D., Makmur, L., Syah, Y.M., Aimi, N.,
Kitajima, M., Takayama, H., Ghisalberti, E.L. (2006). “Prenylated Flavonoids and
Related Compounds of the Indonesian Artocarpus (Moraceae), J. Nat. Med., 60, 161184.
Heyne, K. (1987). “Tumbuhan berguna Indonesia”, Vol.2, Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kehutanan R.I., hal. 795.
Juliawaty, L.D., Kitajima, M., Takayama, H., Achmad, S.A., Aimi, N. (2000). A 6subsituted-5,6-dihydro-2-pyrone from Cryptocarya strictifolia, Phytochemistry, 54 (8),
989-993.
Juliawaty, L.D., Watanabe, Y., Kitajima, M., Achmad, S.A., Takayama, H., Aimi, N.
(2002). Tetrahedron Leters., 43, 8657.
Juliawaty, L.D., Aimi, N., Ghisalberti, E.L., Kitajima, M., Makmur, L., Syah, Y.M,
Siallagan, J., Takayama, H., Achmad, S.A. and Hakim, E.H. (2006). A Review :
Chemistry of Indonesian Cryptocarya Plants (Lauraceae), in Chemistry of Natural
Products: Recent Trend & Development, p. 399-423, Signpost, Trivandrum 695-023,
Kerala, India.
Kimura, T., But, P.P.H., Guo, J-X, and Sung, C.K. (1996). International Collation of
Traditional and Folk Medicine, Vol.1, Northeast Asia Part 1, World Scientific,
Singapore, p.12-13.
11
Kostermans, A.J.G.H. (1957). Lauraceae, Communiaction of the Forest Research
Institute, Bogor, No.57.
Makmur, L., Achmad, S.A., Hakim, E.H., Juliawaty, L.D., Kasuma, S., Santoni, A.,
Syah, Y.M., dan Yudi, V. (1995). “Ilmu Kimia Tanaman Lauraceae Hutan Tropis
Indonesia: Senyawa-Senyawa Alkaloid dan Terpenoid Tanaman Neolitsea cassiaefolia
(Bl.) Merr dan Litsea firma Hook (Bl.) Hkf (Lauraceae), J. Mat. Sains, Suplement G,
September, 92-105.
Nomura, T., Hano, Y., and Aida, M. (1998). “Isoprenoid-Substituted Flavonoids from
Artocarpus Plants (Moraceae), Heterocycles, 47, 1179.
Syah, Y. M., Aminah, N. S., Hakim, E. H., Kitajima, M., Takayama, H., Achmad, S. A.
(2003). Phytochemistry, 63, 913-917.
Symington, C.F. (1974). “Foresters’ Manual of Dipterocarps”, University of Malaya
Press, Kuala Lumpur, Malaysia.
Tukiran, Achmad, S.A., Hakim, E.H., Juliawaty, L.D., Sakai, K. and Syah, Y.M.
(2003). Bull. Soc. Nat. Prod. Chem.(Indonesian), 3(1), 24-31.
Verheij, E.W.M., Coronel, R.E. (Eds.) (1992). Plant Resources of Southeast Asia, No.2,
Edible Fruits and Nuts, PROSEA, Bogor, ha
12
MODERNISASI PENDIDIKAN KIMIA MENGHADAPI MASALAH
PENDIDIKAN DI ERA GLOBAL *)
Oleh:
Sukardjo **)
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Di era global saat ini, arus Teknologi Informasi dan Komunikasi (T I K) antar negara
dalam segala bidang, termasuk T I K di bidang pendidikan, berjalan sangat cepat
seakan-akan batas ruang dan waktu tidak ada lagi. Apa yang terjadi saat ini di negara
lain dapat kita ikuti pada saat yang sama. Kemajuan T I K tidak lagi meningkat tajam
tetapi bersifat ”booming”.
Dengan menggunakan T I K saat ini, tukar informasi dan komunikasi di bidang
pendidikan menjadi sangat cepat. Demikian pula penggunaan hal tersebut dalam
pendidikan dan pembelajaran sangat membantu kecepatan penyerapan informasi oleh
peserta didik. Belajar terdiri atas dua tahap, yaitu tahap penyerapan informasi dan
tahap pengolahan informasi oleh peserta didik. Oleh karena penyerapan informasi
menjadi cepat, maka pengolahan informasi juga menjadi cepat, dan proses belajar
menjadi cepat pula. Dengan menggunakan T I K
efektivitas dan efisiensi belajar
menjadi lebih baik .
Era global yang antara lain ditandai dengan berintegrasinya kehidupan ekonomi
dunia (APEC, AFTA, dsb), kemajuan sains dan teknologi yang sangat cepat, timbulnya
masalah-masalah kehidupan umat manusia (kependudukan, kesehatan, dsb), juga
berpengaruh kepada bidang pendidikan umumnya serta pendidikan sains dan
matematika pada khususnya. Kemajuan sains dan teknologi memicu usaha-usaha
untuk melakukan modernisasi pendidikan sains dan matematika oleh negara-negara di
seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh karena teknologi dilandassi oleh ilmu-ilmu
dasar, dua diantaranya sains dan matematika.
Masalah pendidikan di era global, khususnya pendidikan di Indonesia merupakan
satu dari sekian banyak masalah di era global. Indonesia saat ini menghadapi banyak
masalah di bidang pendidikan. Masalah yang belum teratasi pada saat ini terutama
adalah masalah yang berhubungan dengan mutu pendidikan, khususnya mutu hasil
pendidikan sains dan matematika. Masalah lainnya adalah masalah lama dalam
bidang pendidikan yang sudah diidentifikasi tahun 1969, berupa masalah yang
berhubungan
---------*) Diberikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di UNESA
Surabaya, 5 Desember 2007.
**) Guru Besar Pendidikan Kimia FMIPA UNY
dengan pemerataan pendidikan, efektivitas dan efisiensi pendidikan, relevansi
pendidikan, dan kemudian ditambah masalah pembinaan generasi muda. Berbagai
usaha dan perlakuan sudah dilakukan oleh pemerintah dari waktu ke waktu sejak
tahun 1970-an untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, namun belum semua
masalah dapat diatasi. Kendala utama nampaknya disebabkan oleh karena luasnya
tanah air kita, penduduk usia sekolah berjumlah besar, dan biaya diperlukan untuk hal
tersebut sangat tinggi, sementara biaya Depdiknas belum dapat mencukupi.
Dalam era global saat ini timbul masalah-masalah baru. Masalah baru di bidang
pendidikan saat ini antara lain masalah yang berhubungan dengan desentralisasi
pendidikan, multikulturalisme pendidikan, dan pendidikan lingkungan hidup (Suyanto,
2007).
2. Permasalahan
13
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini, beik dlam proses maupun hasil, yang
dapat dibaca dari berbagai sumber, belum seperti yang diharapkan. Dalam laporan
World Bank 2005, dikatakan bahwa “Indonesia’s achievements on education lag
behind other countries both in terms of access and quality”, Indonsia menempati urutan
keenam setelah Jepang, Korea, Australia, Hong Kong, dan Thailand. (Sukirman,
2007). Dari sumber sama yang mengutip laporan Direktorat Tenaga Kependidikan
2004, diperoleh kenyataan kualitas guru sains dan matematika juga belum seperti
yang diharapkan. Uji materi bidang studi yang diajarkan guru di SMA, dengan 40 soal
terhadap guru matematika, fisika, kimia, dan biologi, menunjukkan rerata skor 14,34;
13,24; 22,33, dan 19,00 (Sukirman, 2007).
Secara lokal, pemahaman peserta didik terhadap konsep-konsep kimia selama
bertahun-tahun belum memuaskan. Uji awal kimia dengan materi kimia SMA terhadap
peserta didik yang menjadi mahasiswa baru Prodi Pendidikan Kimia FMIPA UNY tahun
1987 (86 orang), tahun 1988 (84 orang), dan 1989 (70 orang) menghasilkan rerata
nilai pada skala 11 masing-masing 4,84; 5,02; dan 4,68 (Sukardjo, 1989). Sementara
uji awal kimia dengan materi kimia SMA terhadap peserta didik yang menjadi
mahasiswa baru Prodi Pendidikan Kimia, Fisika, dan Biologi untuk Program
Kependidikan dan Non-Kependidikan, baik Reguler maupun Non-Reguler tahun 2004
yang
berjumlah 451 orang
memiliki
nilai rerata sebesar 4,23 pada skala 11
(Sukardjo, 2006). Kedua nilai tersebut memberikan gambaran bahwa pemahaman
konsep kimia peserta didik yang baru lulus SMA relatif rendah. Dengan asumsi nilai
tersebut merupakan indikator hasil belajar kimia, dalam rentang waktu lebih dari 15
tahun belum ada peningkatan hasil belajar pendidikan kimia di SMA sebagaimana
diharapkan, oleh karenanya efektivitas pendidikan kimia saat ini masih menjadi
masalah. Dalam menghadapi era global, modernisasi apakah yang perlu dilakukan
terhadap proses pendidikan kimia agar supaya hasil pendidikan kimia bermutu dan
dapat bersaing dengan negara lain.
Pembahasan dalam makalah ini bertujuan untuk melakukan modernisasi
pendidikan kimia dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pendidikan
kimia, sehingga dapat menghadapi persaingan yang ketat di era global. Objek
modernisasi dipilih berdasarkan pengalaman modernsasi pendidikan kimia masa lalu.
3
Urgensi Masalah
Guru kimia dan calon guru kimia merupakan komponen pendidikan kimia di barisan
paling depan dalam mengatasi masalah pendidikan kimia, oleh karenanya modernisasi
pendidikan kimia lebih tertuju kepada mereka. Pendidikan kimia yang efektif dan
efisien akan memberi sumbangan besar terhadap penyelesaian masalah di bidang
pendidikan kimia khususnya, pendidikan sains dan matematika dan pendidikan di
Indonesia umumnya.
B.
1.
PEMBAHASAN
Masalah Pendidikan di Era Global
Saat ini dunia sudah memasuki abad XXI, suatu era baru yang disebut era global.
Dalam era global sekan-akan dunia ini menjadi satu kesatuan fisik, ekonomi, dan
perdagangan. Segala kejadian di negara asing dapat dilihat dan didengar beritanya
melalui televisi, jarak ruang dan waktu hampir tidak ada.
Dalam era global saat ini, ada ciri-ciri kehidupan yang sangat berbeda dengan era
sebelumnya. Menurut Mochtar Buchori (2001), ada lima hal yang menjadi ciri
kehidupam di era global, yaitu (1) kecenderungan untuk berintegrasi dalam kehidupan
ekonomi (pembentukan EU, NAFTA, APEC, AFTA) dan berdisintegrasi dalam
kehidupan politik (perpecahan UNI Sovyet, Yugoslavia, Irlandia); (2) bertambahnya
masalah yang menyangkut nasib seluruh umat manusia (kependudukan, pendidikan,
kesehatan, dsb); (3) terjadinya kemajuan sains dan teknologi yang sangat cepat yang
14
akan mengubah secara radikal situasi pasar tenaga kerja; (4) kecenderungan proses
industri dalam ekonomi dunia menuju penggunaan teknologi tingkat tinggi
(mikroelektronika, bioteknologi, dsb) yang akan berpengaruh kepada ketenagakerjaan.
(5) Kemungkinan akan lahirnya gaya hidup baru di masyarakat yang mengandung
ekses-ekses tertentu (penyalah gunaan narkotika, penggunaan senjata api ilegal,
dsb).
Masalah-masalah di atas merupakan masalah yang sangat luas, umum, dan
kompleks. Masalah pendidikan merupakan satu dari sekian banyak masalah di era
global. Menurut Suyanto (2007: 12) fenomena global ditandai oleh munculnya berbagai
hal, seperti: (1) ketergantungan pada IPTEK, (2) perdagangan bebas, (3) kekuatan
global, (4) demokratisasi, (5) hak azasi manusia atau HAM, (6) lingkungan hidup,
(7) kesetaraan gender, (8) multikulturalisme. Fenomena global tersebut saat ini sudah
menjadi masalah yang merambah ke bidang pendidikan di Indonesia.
Pendidikan di Indonesia saat ini kecuali menghadapi masalah-masalah global,
masih menghadapi masalah-masalah dari dalam negeri yang bersifat makro, yaitu
masalah-masalah yang berhubungan dengan (1) mutu atau kualitas pendidikan, (2)
pemerataan atau kuantitas pendidikan, (3) relevansi pendidikan, dan (4) efektivitas dan
efisiensi pendidikan. Akhir-khir ini timbul masalah baru yang juga merupkan masalah
makro, yaitu masalah desentralisasi pendidikan dan pembinaan generasi muda.
Dari sejumlah masalah global di atas, masalah “ketergantungan pada IPTEK”
terutama T I K merupakan masalah yang berkaitan erat dengan masalah kualitas
pendidikan, termasuk kualitas pendidikan di Indonesia. Bahasan selanjutnya khusus
berkaitan dengan masalah yang berhubungan dengan kualitas pendidikan sains dan
matematika, khususnya pendidikan kimia di Indonesia.
2. Modernisasi Pendidikan Kimia
a. Pendidikan Kimia
Selama ini, pendidikan kimia atau ilmu pendidikan kimia kurang mendapat
perhatian dari berbagai pihak. Banyak pihak berpendapat bahwa seorang ahli kimia
dengan sendirinya dapat mendidik dan mengajar peserta didik dalam bidang kimia. Hal
ini antara lain disebabkan oleh karena ilmu kimia sudah dikenal ribuan tahun, sedang
ilmu pendidikan kimia baru dikenal sejak sekitar limapuluh tahun yang lalu (Vossen,
1986:15).
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu pendidikan kimia itu? Apakah
objek atau bahan kajiannya? Apakah kegunaannya? Bagaimanakah ilmu pendidikan
kimia diperoleh? Apakah fungsinya dalam modernisasi pendidikan kimia?
Pendidikan Kimia dapat diartikan sebagai ilmu (aspek teoretis) atau sebagai praktik
pendidikan (aspek praksis). Sebagai ilmu, pendidikan kimia adalah ilmu interdisiplin
antara ilmu kimia dan ilmu pendidikan. Ilmu Pendidikan Kimia pada hakikatnya
merupakan penerapan teori pendidikan dalam konteks ilmu kimia untuk tujuan
pendidikan dan pembelajaran (Konsorsium Ilmu Pendidikan, 1991).
Ilmu Pendidikan Kimia (Chemical Education) merupakan salah satu bidang ilmu
dari 11 (sebelas) Bidang Ilmu Kimia. Bidang Ilmu Kimia lainnya adalah (1) Analytical
Chemistry, (2) Atmospheric Chemistry, (3) Biological Chemistry, (4) Chemical
Education, (5) Inorganic Chemistry, (6) Macromolecul Chemistry, (7) Materials
Chemistry and Nanoscience, (8) Nuclear and Radiochemistry, (9) Organic Chemistry,
(10) Physical Chemistry, (11) Theory/ Computation Chemistry (Journal of Chemical
Education, Vol. 84 No. 6 June 2007).
Sebagaimana bidang ilmu lain, Ilmu Pendidikan Kimia memiliki aspek ontologi
(objek atau bahan kajian) atau aspek teoretik, aksiologi (kegunaan) atau aspek praksis,
dan epistemologi (cara memperoleh) atau aspek penelitian. Objek atau bahan kajian
pendidikan kimia, meliputi 5 (lima) aspek atau disiplin:
15
1) Kurikulum, yang meliputi teori tentang pengembangan kurikulum
kimia,
organi-sasi kurikulum kimia, isi kurikulum kimia, dan
model-model
pengembangan kurikulum kimia.
2) Peserta didik dan perbuatan belajar, yang meliputi teori tentang karakteristik
peserta
didik, jenis-jenis dan cara belajar kimia, hirarkhi proses
belajar
kimia, dan kondisi-kondisi belajar kimia
3) Pendidik dan perbuatan mendidik, yang meliputi teori tentang karakteristik
pendidik kimia, karakteristik perbuatan mendidik atau mengajar kimia, modelmodel mendidik atau mengajar kimia, metode atau teknik mendidik atau
mengajar kimia, dan sistem pengelolaan kelas.
4) Lingkungan Pendidikan, yang meliputi teori tentang pranata pendidikan kimia,
perencanaan dan pengelolaan pendidikan kimia, bimbingan dan penyuluhan
atau bimbingan karir, serta prasarana dan sarana (media) pendidikan kimia.
5) Sistem penilaian hasil belajar dan penelitian pendidikan kimia, yang meliputi
teori tentang model-model penilaian hasil belajar kimia, teknik penilaian hasil
belajar kimia, dan instrumen penilaian hasil belajar kimia; serta jenis-jenis
penelitian yang aplikatif bagi pendidikan kimia.
Ilmu Pendidikan Kimia tersusun atas sejumlah disiplin ilmu, yang di Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merupakan kelompok mata kuliah yang
harus dipelajari oleh calon guru kimia. Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, Ilmu Pendidikan Kimia merupakan suatu kompetensi yang
harus dikuasai oleh guru kimia dan calon guru kimia, yaitu kompetensi pedagogik.
Dalam jangka pendek modernisasi pendidikan kimia di SMA/MA dimulai dari guru
kimia di lapangan, dalam jangka menengah dan panjang harus dimulai dari
pendidikan guru kimia di LPTK. Guru dan calon guru kimia merupakan agen
modernisasi, merekalah pelaku-pelaku utama modernisasi pendidikan kimia.
b. Modernisasi Pendidikan Kimia di Negara Barat
Modernisasi adalah proses pergeseran sikap, cara berpikir, dan bertindak sesuai
dengan tuntutan zaman. Modernisasi pendidikan kimia berarti mengubah sistem yang
ada menjadi modern, terbaru, mutakhir, atau terkini. Modernisasi pendidikan kimia
bertarti mengubah paradigma lama menjadi paradigma modern (baru). Modernisasi
atau keterkinian pendidikan
kimia
bukan
merupakan kegiatan statis tetapi
merupakan kegiatan dinamis, modernisasi selalu berjalan terus dari waktu ke waktu.
Hal ini menjadikan sesuatu yang modern di saat lalu akan menjadi biasa saat ini dan
sesuatu ang modern saat ini akan menjadi biasa saat yang akan datang. Atas dasar
hal tersebut, modernisasi hanya berlaku saat hal tersebut berlangsung.
Di samping istilah modern dikenal istilah up to date. Up to date atau termasa
mempunyai arti berbeda, sesuatu yang up to date artinya berlaku sepanjang masa
atau waktu. Konsep-konsep dasar sains dan matematika, termasuk kimia, ada yang
bersifat up to date, misalnya konsep reaksi kimia, konsep pengembangan zat oleh
panas, dsb. Konsep-konsep tersebut berlaku sepanjang masa.
Pendidikan kimia sebagai praktik pendidikan (aspek praksis) adalah aspek
aksiologi ilmu pendidikan kimia. Modernisasi pendidikan kimia merupakan bagian
modernisasi pendidikan sains dan matematik. Modernisasi pendidikan sains dan
matematika di negara-negara Barat, khususnya Amerika Sarikat, dimulai tahun
enampuluhan. Pada tahun 1959 Uni Soviet dapat membuat pesawat ruang angkasa
pertama dan dapat mengirim kosmonaut ke bulan serta dapat memotret punggungya
bulan. Negara-negara sekutu Barat sangat terperanjat dengan kemajuan di bidang ilmu
dan teknologi yang dicapai Uni Soviet. Mereka sadar bahwa selama bertahun-tahun
telah terjadi kesalahan dalam bidang pendidikan sains dan matematika, oleh karena
sains dan matematika merupakan dasar teknologi, termasuk teknologi ruang angkasa.
Atas dasar kesadaran tersebut, negara-negara Barat melakukan modernisasi
dalam pendidikan sains dan matematika. Modernisasi tersebut meliputi dua hal,
16
pertama modernisasi dalam isi atau materi sains dan matematika, dan kedua dalam
sistem penyampaian pendidikan sains dan matematika. Dibuatlah proyek-proyek
raksasa modernisasi pendidikan sains dan matematika. Di Amerika Sarikat untuk
pendidikan kimia dikenal proyek Chemical Education Materials Study (Chem-Study)
dan Chemical Bond Approach, untuk fisika dikenal proyek PSSC Physics, untuk Biologi
dikenal BSCS Biology, dan untuk matematika dikenal New Mathematics (New Math).
Di Inggris modernisasi pendidikan kimia dikenal dengan Nuffield Chemistry Project.
Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1970 teknologi ruang angkasa sudah
sangat maju, tahun itu Amerika Sarikat sudah dapat membuat pesawat rung angkasa
yang diberi nama Apollo-I dan mengirimkan astronautnya ke bulan, bahkan dapat
mendaratkan astronautnya di bulan. Modernisasi pendidikan sains dan matematika di
negara Barat berjalan terus hingga saat ini. Dengan diketemukannya teknologi
informasi dan komunikasi saat ini, kemajuan pendidikan sains dan matematika menjadi
sangat pesat.
c. Modernisasi Pendidikan Kimia di Indonesia
Bagaimana dengan pendidikan sains dan matematika di Indonesia? Modernisasi
pendidikan sains dan matematika di negara Barat cepat mengimbas ke Indonesia.
Pada tahun 1969 Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
mengumpulkan ahli-ahli berbagai bidang ilmu untuk mengidentifikasi, masalahmasalah
bidang pendidikan. Pada saat itu telah dapat diidentifikasi empat masalah makro
bidang pendidikan, yaitu masalah yang berhubungan dengan:
 pemerataan (kuantitas) pendidikan,
 mutu (kualitas) pendidikan,
 relevansi pendidikan,
 efektivitas dan efisiensi pendidikan.
Keempat hal tersebut menjadi dasar modernisasi pendidikan di Indonesia. Di
bidang pemerataan pendidikan dilakukan modernisasi dengan cara pembangunan SD
Inpres yang jumlahnya mencapai ribuan. Di bidang peningkatan mutu pendidikan,
relevansi, efektivitas dan efisiensi, selama 30 tahun dari 1969 – 1999 masalah demi
masalah bidang ini telah diusahakan untuk diatasi, namun banyak masalah yang
belum dapat diatasi sebagaimana yang diharapkan.
Dari empat masalah tersebut, masalah yang berhubungan dengan mutu
pendidikan saat ini menjadi prioritas Depdiknas dan menjadi program utama dalam visi
dan misinya. Di bidang peningkatan mutu pendidikan, pada tahun 1975, dilakukan
perubahan Kurikulum
Pendidikan Dasar dan Menengah yang semula berupa
kurikulum berbasis materi (subject matter oriented) menjadi kurikulum berbasis tujuan
(output oriented curriculum). Kegiatan lain ialah disusunnya buku-buku teks pelajaran
atau buku paket kimia, fisika, biologi, dan matematika modern menggunakan materi
baru dan pendekatan baru; pengadaan alat laboratorium IPA untuk semua SMP Negeri
dan laboratorium kimia, fisika, dan biologi untuk semua SMA negeri di Indonesia.
Pendidikan sains dan matematika saat itu sangat bagus, Malaysia saat itu
mendatangkan guru sains dan matematika yang berjumlah besar dari Indonesia.
Modernisasi pendidikan kimia dilakukan bersamaan dengan diberlakukannya
Kurikulum 1975. Modernisasi dilakukan terhadap dua hal:
1) Modernisasi materi ajar kimia dalam Kurikulum Tahun 1975.
 Struktur mata pelajaran kimia disesuaikan dengan struktur bidang ilmu
kimia yang dipakai negara-negara barat, pengaruh CHEM-Study pada
kurikulum kimia 1975 sangat dominan, pengaruh tersebut juga terlihat
pada kurikulum kimia tahun 1984 dan tahun 1994.
 Ilmu kimia dilandasi teori atom dan ikatan kimia, sehingga pembelajaran
kimia di SMA/MA juga harus dimulai dengan teori atom dan ikatan kimia.
17

Dalam Kurikulum Kimia Tahun 1950, 1952, 1960, 1968 teori atom dan
ikatan kimia di SMA baru diberikan di akhir kelas III, sedang pada
Kurikulum Kimia Tahun 1975 teori atom dan ikatan kimia diberikan di kelas
I awal.
2) Modernisasi dalam sistem penyampaian.
 Sistem pendidikan baru yang mendasari Kurikulum Tahun 1975 disebut
pendidikan berorientasi tujuan.
 Pada penyusunan persiapan mengajar, pertama harus ditetapkan lebih
dahulu tujuan pembelajaran umum (general instructional objectives) dan
tujuan pembelajaran khusus (spesific instructional objectives).
 Atas dasar tujuan di atas, disusunlah pendekatan pembelajaran kimia,
proses pembelajaran, penilaian hasil belajar kimia.
 Hal baru lainnya ialah digunakannya prinsip mastery learning dengan
segala konsekuensinya ( program enrichment, remedial, dan criterian
reference evaluation, CRT atau penilaian acuan patokan, PAP).
3. Modernisasi Pendidikan Kimia di Era Global
a. Ciri-ciri modernisasi pendidikan kimia di era global
Modernisasi pendidikan kimia di era global yang dibahas adalah modernisasi yang
dimulai tahun 2003, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 23 Tahun 2005
tentang Sisdiknas. Undang-undang tersebut
memberi landasan hukum untuk
melakukan modernisasi pendidikan yang bersifat konseptual dan futuristik. Di samping
UU Sisdiknas, landasan hukum yang lain adalah PP No. 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Standar Nasional Pendidikan berisi 8 (delapan) standar minimal yang harus dipenuhi
oleh pendidikan di Indonesia, yaitu standar (1) isi, (2) proses, (3) kompetensi lulusan,
(4) pendidik dan tenaga kependidikan, (5) sarana dan prasarana, (6) pengelolaan, (7)
pembiayaan, (8) penilaian pendidikan.
Apakah ciri-ciri modernisasi pendidikan kimia di era global? Ciri-ciri modernisasi
pendidikan kimia di era global, antara lain :
 Manggunakan T I K dalam segala aspek manajemen pendidikan dan
pembelajaran kimia, baik pada perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
hasil belajar.
 Menggunakan kurikulum berorientasi tujuan dalam bentuk kompetensi atau
standart dan kompetensi pembelajaran aspek kognitif menggunakan
klasifikasi baru, yaitu dalam kategori dimensi proses kognitif (cognitive
process dimension) dan tipe dimensi pengetahuan kimia (chemistry
knowledge dimension).
 Kompetensi pembelajaran aspek kognitif, ada kecenderungan berubah,
untuk kategori dimensi proses kognitif dari “mengingat” (remember) menjadi
“mengerti” (understand) dan untuk tipe dimensi pengetahuan kimia dari
pengetahuan faktual (factual knowlwedge) menjadi pengetahuan konseptual
(conceptual knowledge).
 Organisasi materi kimia disesuaikan dengan struktur keilmuan kimia, dimulai
dengan teori atom dan ikatan kimia, serta memasukkan masalah “Kimia,
Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat” (Chemistry, Environment,
Technology, and Society, C E T S)
 Menerapkan sistem penyampaian yang mengaktifkan peserta didik, berpusat
pada peserta didik, media berupa buku kimia dengan pendekatan modular
atau modul pembelajaran dalam bentuk tercetak atau CD, bila perlu
menggunakan e-learning atau distance learning.
 Menerapkan sistem penilaian menggunakan teknik dan instrumen penilaian
yang variatif, memasukkan sistem penilaian alternatif, prinsip belajar tuntas,
18
dan menggunakan pendekatan penilaian acuan patokan. Dilakukannya
peneli-tian pengembangan untuk memperoleh “ilmu baru” dalam pendidikan
kimia.
 Adanya pemikiran, pertemuan, seminar, rekomendasi penyelesaian masalah
pendidikan kimia secara kolaboratif antara pendidik, ahli pendidikan kimia,
dan ahli-ahli kimia melalui Himpunan Profesi Kimia dan Pendidikan Kimia
untuk mendorong terciptanya situasi dan kondisi agar modernisasi
pendidikan kimia segera terwujud.
b. Objek modernisasi pendidikan kimia di era global
Mengapa modernisasi pendidikan kimia di era global harus dilakukan?. Dalam era
global saat ini, ilmu kimia maju pesat sehingga jumlah materi kimia menjadi berlipat
ganda, aplikasi kimia dalam teknologi juga bertambah banyak, tantangan utama
pendidikan kimia adalah bagaimana melakukan pembelajaran kimia dengan jumlah
materi kimia yang banyak dapat berhasil baik (pembelajaran efektif), namun dalam
alokasi waktu yang sedikit (pembelajaran efisien). Modernisasi harus dilakukan
terhadap dua hal, yaitu modernisasi “materi kimia” dan modernisasi ”sistem
penyampaian “, agar supaya tercapai pendidikan kimia yang efektif dan efisien.
Apakah objek modernisasi pendidikan kimia di era global? Objek modernisasi
pendididikan kimia di era global adalah segmen-segmen objek atau bahan kajian yang
menunjang berlangsungnya pendidikan kimia yang efektif dan efisien. Modernisasi
pendidikan kimia dilakukan mengikuti kecenderungan baru dalam teknologi pendidikan
kimia.
c. Waktu diperlukan dan manfaat modernisasi pendidikan kimia di era global
Berapa waktu diperlukan untuk modernisasi pendidikan kimia di era global? Salah
satu perangkat yang diperlukan untuk modal modernisasi pendidikan kimia di era
global, ialah 8 (delapan) perangkat standar nasional pendidikan yang saat ini dalam
penyelesaian oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Salah satu komponen
dalam standar tenaga pendidik disebutkan bahwa syarat menjadi pendidik harus
lulusan S1/D4 dengan bidang ilmu sesuai tugasnya dan bersertifikasi pendidik.
Menurut rencana semua tenaga pendidik akan berijazah S1/D4 dan memiliki sertifikat
pendidik dalam kurun waktu 10-15 tahun dimulai tahun 2005, ini berarti bahwa untuk
standar pendidikan lainnya akan memakan waktu lebih lama.
Modernisasi pendidikan kimia mempunyai perangkat lebih dari standar minimal.
Bila mengikuti hal tersebut berarti modernisasi pendidikan kimia akan memakan waktu
cukup lama, sekitar 25 tahun. Berdasarkan pengalaman masa lalu, modernisasi
pendidikan matematika dengan penerapan new-math tahun 1970, baru tercapai sekitar
25 tahun kemudian
Modernisasi pendidikan kimia di era global akan berjalan lebih cepat bila dilakukan
secara bertahap (parsial), objek mana yang siap sarananya dapat dilakukan terlebih
dahulu, sedang objek yang belum dipenuhi perangkatnya ditunda pelaksanaannya.
Penyediaan prasarana laboratorium kimia dan peralatan laboratorium kimia,
memerlukan waktu lama untuk realisasinya, sementara sarana teknologi informasi dan
komunikasi lebih cepat direalisasikan. Kendala utama dalam modernisasi pendidikan
kimia adalah biaya yang diperlukan untuk hal tersebut, yang saat ini nampaknya masih
sulit disediakan oleh Depdiknas dan/atau masyarakat, dalam hal ini Komite Sekolah.
Atas dasar hal tersebut, pelaksanaan modernisasi akan dapat dilaksanakan secara
parsial.
Manfaat apakah yang akan diperoleh dengan modernisasi pendidikan kimia di era
global? Modernisasi pendidikan kimia di era global akan sangat bermanfaat dalam
merealisasikan pendidikan kimia yang efektif dan efisien. Pendidikan yang demikian
akan meningkatkan proses dan hasil pendidikan kimia di Indonesia, yang pada
akhirnya kita dapat mengejar kemajuan pendidikan kimia di negara tetangga dan
19
negara asing lainnya. Kemajuan ilmu kimia akan mendorong pula kemajuan teknologi
yang menggunakan ilmu kimia sebagai dasarnya.
4.
a.
Prioritas objek Modernisasi Pendidikan Kimia di Era Global
Kurikulum kimia
Dua objek penting komponen kurikulum kimia adalah pengembangan kurikulum
kimia dan isi kurikulum kimia. Saat ini banyak negara asing mengembangkan
pendidikan berbasis kompetensi (competency based education), yang melahirkan
kurikulum berbasis kompetensi (competency based curriculum). Indonesia sudah
mengambil keputusan untuk memberlakukan kurikulum yang berbasis kompetensi,
yaitu “Kurikulum 2006”. Hal ini sesuai dengan arus modernisasi pendidikan kimia di era
global.
Isi kurikulum kimia, adalah materi kimia SMA/MA yang dipelajari oleh peserta
didik. Materi kimia disesuaikan dengan struktur keilmuan kimia, setidak-tidaknya berisi
materi pokok yang bersifat esensial dan merupakan pengetahuan dasar kimia, yaitu
(1) Materi dan energi, (2) Struktur dan sifat-sifat atom, (3) Ikatan kimia dan sifat-sifat
zat, (4) Prinsip-prinsip reaksi, (5) Kimia deskriptif unsur-unsur., (6) Kimia organik.
Standar Kompetensi (S K), Kompetensi Dasar (K D), dan
Indikator
pencapaian ( I P), berisi kompetensi kognitif , afektif, dan psikomotor. Kompetensi
kognitif tersusun atas dua dimensi:
 6 (enam) kategori dimensi proses kognitif (cognitive process dimension, verb),
yaitu mengingat (remember, C1), mengerti (understand, C2), mengaplikasikan
(apply, C3), menganalisis (analyze, C4), mengevaluasi (evaluate, C5), dan
mencipta (create, C6).
 4 (empat) tipe dimensi pengetahuan kimia (chemistry knowledge dimension,
noun), yaitu pengetahuan faktual (factual knowledge, K1), pengetahuan
konseptual (conceptual knowledge, K2), pengetahuan prosedural (procedural
knowledge, K3), dan pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge, K4).
Kompetensi afektif dan psikomotorik: (1) pendidikan nilai, (2) pendidikan
lingkungan, (3) keterampilan proses sains.
b. Peserta didik dan perbuatan belajar kimia
Dua objek penting dalam hal ini ialah penerapan teori belajar konstruktivisme dan
pembelajaran individual atau kelompok. Peserta didik diberi motivasi untuk selalu
“membaca dan belajar kimia”, belajar terdiri atas dua kegiatan yaitu penyerapan
informasi dan pengolahan informasi dalam benaknya. Ilmu kimia dikonstruksi oleh
peserta didik bukan oleh guru.
Pembelajaran individual atau kelompok dilakukan terhadap peserta didik, baik
dengan buku teks pelajaran kimia yang menggunakan pendekatan modular maupun
melalui soft ware compact disk (CD) yang berbentuk modul pembelajaran.
c. Pendidik dan perbuatan mengajar kimia
Dua komponen penting dalam hal ini ialah kompetensi pendidik dan metode atau
teknik mendidik. Guru kimia harus memiliki sertifikasi pendidik dan memiliki kompetensi
pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial.
Dalam pembelajaran kimia guru perlu meningatkan kemampuan mengerti
(understand) tentang konsep kimia dan bukan kemampuan mengingat (remember)
pengetahuan faktual kimia. Guru tidak hanya mentransfer pengetahuan kimia tetapi
mengembangkan kecerdasan peserta didik (Harry Firman, 2007: 786). Guru
melaksanakan pembelajaran aktif (student active learning), berpusat pada peserta
didik (student centered learning), dan menyenangkan. Guru wajib dapat melakukan
pembelajaran kimia berbantuan komputer (computer assisted instruction).
d. Lingkungan Pendidikan Kimia
Empat komponen penting dalam hal ini ialah tersedianya laboratorium kimia,
peralatan dan bahan kimia, buku teks pelajaran kimia dengan pendekatan modular,
20
dan media pembelajaran kimia berbantuan komputer. Sebagian besar SMA/MA saat ini
belum memiliki prasarana laboratorium kimia dengan peralatan dan bahan kimianya.
Laboratorium kimia, peralatan dan bahan kimia merupakan prasarana dan sarana yang
sangat diperlukan untuk proses pembelajaran kimia. Pembelajaran kimia seharusnya
dilakukan secara induktif melalui eksperimen. Pemahaman fakta, konsep, dan
prosedur kimia sangat memerlukan ketiganya, melalui eksperimen-eksperimen kimia.
Saat ini buku teks pelajaran kimia di pasaran sudah banyak, namun perlu
dicermati kualitasnya. Pemerintah sebenarnya sudah menyetujui buku teks pelajaran
kimia yang memenuhi standar, namun nampaknya belum sampai si sekolah. Harga
buku teks pelajaran kimia yang tidak terjangkau masayarakat, merupakan kendala
utama. Rencana pemerintah akan membeli hak cipta buku teks pelajaran, termasuk
buku teks pelajaran kimia, dan menyebarkannya melalui INTERNET di sambut dengan
gembira. Buku teks pelajaran kimia yang ideal:
 terdiri atas 4 (empat) buku, yaitu buku untuk peserta didik, buku untuk pendidik,
buku eksperimen (bukan praktikum), dan buku latihan soal;
 materi kimia sesuai dengan struktur keilmuan kimia, keluasan dan kedalaman
sesuai dengan perkembangan mental peserta didik;
 menggunakan pendekatan modular dan dilengkapi dengan CD pembelajaran,
sehingga peserta didik dapat belajar mandiri dengan pendekatan modular.
 Bahasa digunakan bahasa Indonesia yang benar dan komunikatif
Media pembelajaran kimia berbantuan komputer dan tentu saja hardware komputer
beserta perlengkapannya perlu tersedia di sekolah. Media pembelajaran kimia
berbantuan komputer dalam bentuk CD pembelajaran telah banyak diteliti
penggunaannya, dan umumnya berkesimpulan bahwa media ini meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pembelajaran kimia. Khusus media jenis ini dapat
menggantikan sebagian eksperimen laboratorium, namun bukan keseluruhan karena
banyak fakta tidak tergantikan, seperti timbulnya panas, bau, dan rsa.
e. Sistem penilaian hasil belajar dan penelitian pendidikan kimia,
Penilaian hasil belajar kimia saat ini dilakukan dengan instrumen penilaian hasil
belajar berbentuk soal dan terutama menekankan pada aspek kognitif. Cara penilaian
klasik demikian tidak dapat merekam hasil belajar kimia peserta didik secara optimal.
Diperlukan teknik dan instrumen penilaian yang lebih variatif untuk hal tersebut. Teori
multiple intelligence memberikan dasar penilaian yang lebih komprehensif. Atas dasar
hal ini, perlu dilakukan perubahan dalam hal berikut:
 Objek penilaian hasil belajar kimia meliputi spektrum yang luas, yaitu aspek
kognitif, aspek afektif (terutama minat belajar dan sikap terhadap pelajaran
kimia), dan aspek psikomotorik (terutama kerja laboratorium).
 Menggunakan teknik penilaian ujian, teknik penilaian non-ujian, dan teknik
penilaian alternatif
 Menggunakan instrumen penilaian yang bervariasi, yaitu instrumen penilaian
soal, non-soal, dan penugasan (portofolio, proyek, dsb)
Pendekatan penilaian menggunakan Penilaian Acuan Patokan (PAP), sebagai
realisasi prinsip belajar tuntas (mastery learning). Konsekuensi digunakannya prinsip
belajar tuntas, program remedial (remedial program) dan program pengayaan
(enrichment program) wajib dilaksanakan. Organisasi kelas yang saat ini klasikal
secara berangsur-angsur perlu diubah menjadi organisasi kelompok, atau individual.
Dalam rangka memperkaya khasanah ilmu pendidikan kimia, penelitian perlu
dilakukan (aspek epistemologi). Penelitian dilakukan untuk berbagai tujuan:
 peningkatan pengertian terhadap konsep-konsep kimia, terutama terjadinya
miskonsepsi dan cara-cara mencegahnya, melalui penelitian eksperimen,
 peningkatan sistem penyampaian, terutama sistem penyampaian yang
melahirkan metode-metode pembelajaran yang mengaktifkan dan berpusat
21
pada peserta didik, metode pembelajaran yang efektif dan efisien, melalui
penelitian tindakan kelas,
 penemuan-penemuan baru dalam hal sistem penyampaian, media, interaksi
kelas, dsb. melalui penelitian pengembangan pendidikan, yang melibatkan
dosen, guru, dan peserta didik.
5. Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi pendidikan merupakan konsekuensi diberlakukannya Undangundang Otonomi Daerah, yaitu Undang-undang No. 34 Tahun 2005. Setiap sekolah
saat ini menjadi unit berdiri sendiri dalam mengurus sekolahnya, menggunakan
Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS). Dengan desentralisasi pendidikan,
masing-masing daerah dapat membuat sekolah maju sesuai dengan potensi
daerahnya.
Desentralisai mendorong setiap sekolah untuk maju optimal, sesuai situasi dan
kondisi setempat, dan mendorong masyarakat untuk membantu pembiayaan sekolah.
Sekolah saat ini menjadi sekolah berbasis masyarakat dan milik masyarakat, oleh
karenanya maju mundurnya sekolah sangat ditentukan oleh masyarakat, Komite
Sekolah memegang peranan penting dalam hal ini.
6. Sekolah Bertaraf Internasional (S B I)
Saat ini sekolah di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu sekolah
yang belum maju, sekolah sedang, dan sekolah maju. Adanya tantangan global
menuntut daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen, dan ekonomi. Untuk
menjawab hal ini pemerintah memberi kesempatan kepada sekolah baik negeri
maupun swasta menyelenggarakan Sekolah Bertaraf Internasional (S B I).
Sekolah Bertaraf Internasional (S B I) adalah sekolah nasional yang menyiapkan
peserta didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan (S N P) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan
daya saing
internasional. S B I dapat dirumuskan sbb:
SBI = SNP + X
S N P = standar nasional pendidikan;
X = penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pengalaman melalui
adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan, baik dari dalam maupun luar
negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional.
Sekolah Bertaraf Internasional (S B I) bertujuan menghasilkan lulusan yang
berkelas nasional dan internasional sekaligus.
Dalam kaitan dengan pembahasan modernisasi pendidikan kimia di SMA/MA,
sekolah SMA/MA internasional merupakan kekecualian (exception), karena SMA/MA
merupakan sekolah super-modern dengan input pilihan, prasarana dan sarana
lengkap, pembelajaran dan bahasa pengantar bahasa asing berbeda dengan sekolah
biasa.
C.
1.
a.
b.
PENUTUP
Kesimpulan
Menghadapi masalah pendidikan di era global perlu dilakukan modernisasi pendidikan kimia.
Ciri-ciri modernisasi pendidikan kimia di era global, antara lain :
 Manggunakan T I K dalam segala aspek manajemen pendidikan dan
pembelajaran kimia.
 kurikulum berorientasi tujuan dalam bentuk kompetensi atau standart,
 kompetensi pembelajaran aspek kognitif menggunakan klasifikasi baru, yaitu
dalam bentuk kategori dimensi proses kognitif (cognitive process dimension)
dan tipe dimensi pengetahuan kimia (knowledge dimension).
22

c.
d.
e.
Materi kimia disesuaikan dengan struktur keilmuan kimia, dimulai dengan
teori atom dan ikatan kimia, berisi materi pokok esensial, serta memasukkan
masalah “Kimia, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat”
 Sistem penyampaian mengaktifkan peserta didik, berpusat pada peserta
didik, menggunakan T I K, media berupa buku kimia dengan pendekatan
modular atau modul pembelajaran dalam bentuk tercetak atau CD, d meapat
pula menggunakan e-learning atau distance learning.
 Sistem penilaian menggunakan teknik penilaian dan instrumen penilaian
yang variatif, memasukkan sistem penilaian alternatif, prinsip belajar tuntas,
dan menggunakan pendekatan penilaian acuan patokan.
Himpunan Profesi Kimia dan Pendidikan Kimia perlu proiaktif membantu dan
mendorong terciptanya situasi dan kondisi agar modefnisasi pendidikan kimia
dapat terwujud.
Peningkatan pembiayaan pendidikan dari Pemerintah sangat diharapkan
realisasinya.
Peran serta masyarakat dalam menunjang pembiayaan pendidikan akan sangat
membantu pencapaian modernisasi pendidikan kimia.
2. Saran
a. Modernisasi pendidikan kimia di era global bertujuan meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pendidikan kimia, untuk dapat melaksanakan hal tersebut perlu komitmen
dari guru dan peserta didik.
b. Perangkat Standar Nasional Pendidikan diharapkan dapat segera direalisasikan
disertai pembiayaan dari Depdiknas.
c. Modernisasi pendidikan kimia di SMA/MA dilakukan secara bertahap.
d. Peran serta masyarakat melalui Komite Sekolah dalam membantu pembiayaan
sekolah ditingkatkan.
D.
Daftar Pustaka
Anderson, L. W. and D. R. Krathwohl. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and
Assesing, A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New
York: Longman
BSNP. (2006). Standar Isi Mata Pelajaran Kimia. Jakarta: BSNP
-------------. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP
Depdiknas. (2003). Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Bandung: Citra Umbara
-------------. (2005). Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen. Jakarta : Depdiknas
-------------. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas
Ditjen Mandikdasmen. (2007). Sistem Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf
Internasional (S B I) untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Ditjen
Mandikdasmen.
Editor JCE. (2007). Leadership in Chemistry Research and Education. Journal of
Chemical Education, Vol. 84 No. 6 June 2007, 903.
Hedges, W. D. 1969. Testing and Evaluation for the Siences. Belmont: Wadsworth
Publishing Co.
Harry Firman. (2007). Pendidikan Kimia (dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, oleh
Mohammad Ali, dkk ,Editor). Bandung: Pedagogiana Press.
23
Konsorsium Ilmu Pendidikan. (1991). Penataan Fakultas, Jurusan, dan
Program
Studi Bidang Pendidikan (Naskah, tidak terbit). Jakarta: Ditjen Dikti.
Mochtar Buchori. (2001). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Padolina, MA. C. D. et al. (2007). Conceptual and Fungsional Chemistry, A Modular
Approach. Metro Manila: VIBAL Publishing House, Inc.
Sukardjo. (1989). Perbandingan Pengetahuan Awal Ilmu Kimia antara Mahasiswa Baru
FMIPA Program S1 dengan DIII Tahun 1987, 1988, dan 1989. Yogyakarta:
FMIPA IKIP Yogyakarta
----------. (2007). Inovasi Pendidikan Kimia di Sekolah Menengah Atas Suatu Harapan
Seorang Guru Kimia, Makalah Purna Tugas 2 April 2007. Yogyakarta: Senat
UNY.
----------. (2007). Menuju Pendidikan Kimia yang Efektif dan Efisien di Sekolah
Menengah Atas, Makalah Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan
Penerapan MIPA, 25 Agustus 2007. Yogyakarta: FMIPA UNY
Sukirman. (2007). Peningkatan Profesionalitas Guru melalui Lesson Study dalam Era
Sertifikasi Guru, Makalah Seminar. Yogyakarta: FMIPA UNY
Suparno. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Suyanto. (2007). Tantangan Profesional Guru di Era Global, Pidato Dies UNY 27 Mei
2007. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Tilaar, H. A. R. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: RINEKA CIPTA
Tut, I. N. dan Don Adams (Alih bahasa oleh: D. S. Widowatie dan W. Handayani).
(2005). Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Konptemporer. Yogyakarta
Pustaka Pelajar
Vossen, H, (Alih bahasa oleh Soeparmo). (1986). Kompendium Didaktik Kimia.
Bandung: Remadja Karya.
-----ooooo-----
24
PERAN BAHAN MAKANAN PADA BIOAVAILABILITAS Fe
Dr. Leny Yuanita M.Kes
Abstrak
Fe bahan makanan terdapat dalam dua bentuk yaitu Fe hem dan Fe bukan hem, yang
mempunyai perbedaan regulasi absorpsinya, sehingga mempengaruhi bioavailabilitas
Fe. Bahan makanan protein hewani dan kalsium, mempengaruhi absorpsi Fe hem;
sedangkan untuk absorpsi Fe bukan hem terutama dipengaruhi oleh protein hewani,
asam askorbat, fruktosa, polifenol tanaman, fitat, protein telur dan susu, kalsium, fosfor,
dan serat pangan. Di antara tiga fase absorpsi Fe pada saluran pencernaan (luminal,
mukosal, dan sistemik), fase luminal berperan menentukan perbedaan pengaruh bahan
makanan terhadap absorpsi Fe hem dan bukan hem.
Kata kunci: Fe hem, Fe bukan hem, bioavailabilitas
Pendahuluan
Bioavailabilitas Fe (ketersediaan hayati Fe) merupakan ukuran dari jumlah Fe
bahan pangan yang dapat ditransfer dari lumen usus ke dalam darah; dipengaruhi oleh
faktor diet (kandungan dan bentuk Fe, komposisi bahan makanan) dan faktor fisiologis
(sekresi alat pencernaan/ligan endogen, kondisi biologis, status Fe).
Fe merupakan mikromineral dalam tubuh manusia, bagian utama dari
hemoglobin dan mioglobin serta mempunyai fungsi fisiologis pada proses transfer
elektron dalam rantai pernafasan. Konsentrasi normal dalam tubuh manusia adalah 4050 mg per kg berat badan, 30 mg Fe dalam bentuk gugus hem, 4 mg Fe dalam bentuk
mioglobin, dan 2 mg Fe dalam sitokrom oksidase, peroksidase dll. Sebagai cadangan Fe
sejumlah 10-12 mg Fe/kg pada laki-laki dan 5 mg/kg pada wanita.
Sekitar 40% Fe bahan makanan terdapat dalam bentuk Fe hem (hemoglobin,
mioglobin, sitokrom, enzim katalase, peroksidase); dan 60% Fe bukan hem (Fe
anorganik bentuk Fe(II)/(III)). Fe hem dan bukan hem diabsorpsi melalui jalur yang
berbeda. Fe hem lebih mudah diabsorpsi (15-35%) daripada Fe bukan hem (2-20%).
Pada lumen usus Fe bukan hem membentuk ikatan (terutama kompleks kelat)
dengan konstituen lain pada makanan. Substansi yang membentuk senyawa larut, Mr
rendah dan mudah diabsorpsi, disebut pendorong (enhancers); yang membentuk
senyawa tak larut dan Mr tinggi, tidak available diabsorpsi, disebut penghambat
(inhibitors). Fe hem diabsorpsi langsung dari lumen ke sel mukosa dalam bentuk
kompleks forfirin dan pada sisi lain dipisahkan dari protoforfirin oleh hemoksigenase;
tidak mengalami mekanisme regulasi, oleh karenanya lebih baik diabsorpsi.
Mekanisme regulasi Fe hem dan bukan hem pada mukosa adalah sama;
hambatan yang berpengaruh di mukosa akan mempunyai efek sama terhadap absorpsi
Fe hem dan bukan hem. Maka absorpsi Fe bukan hem sangat dipengaruhi oleh faktor
enhancer dan inhibitor absorpsi Fe, sedangkan Fe hem kurang dipengaruhi.
25
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Fe
Absorpsi Fe hem dipengaruhi oleh protein hewani (daging, ikan, unggas),
kalsium, status individual Fe dan preparasi bahan pangan (waktu dan suhu). Faktor
utama yang mempengaruhi absorpsi Fe bukan hem dirangkum pada Tabel berikut.
Tabel: Faktor utama yang mempengaruhi absorpsi Fe bukan hem
Pendorong absorpsi Fe bukan hem (enhancers):
-asam askorbat
-asam sitrat, malat, laktat, tartrat dan asam organik lain
-protein daging, ikan dan unggas
-Fe bentuk Fe(II)
-rendahnya simpanan Fe tubuh
Penghambat absorpsi Fe bukan hem (inhibitors):
-polifenol tanaman
-fitat
-protein telur, susu dan kedelai
-serat pangan
-fosfor,Ca, Zn dan kation divalen lain
Pendorong absorpsi Fe bukan hem
Asam askorbat
Asam askorbat adalah pendorong absorpsi Fe yang sangat potensial. Peranan
asam askorbat sebagai pendorong absorpsi Fe bukan hem disebabkan kemampuannya:
1) mereduksi Fe menjadi Fe(II) yang mencegah pembentukan Fe(III) hidroksida yang
tak larut, dan 2) membentuk kompleks stabil Fe(II)/(III) askorbat. Kompleks Fe(III)
askorbat terbentuk pada pH rendah asam lambung, stabil, dan larut pada pH alkalis
saluran pencernaan. Sejumlah asam organik khususnya sitrat, malat, suksinat, laktat dan
tartrat juga meningkatkan bioavailibilitas Fe bukan hem. Pengaruh asam askorbat
sebagai pendorong bioavailabilitas Fe hanya terlihat jika dikonsumsi bersamaan dengan
makanan, dan tidak berpengaruh jika pemberian askorbat selama 4 atau 6 jam setelah
mengkonsumsi makanan. Sekitar 50 mgram asam askorbat dibutuhkan untuk
meniadakan efek 100 mg flavonoid teh (secangkir teh yang dibuat dari 2.5 gram
daun teh mengandung sekitar 200 mg flavonoid teh), dan 80 mg asam askorbat
meniadakan efek 25 mg fitat.
Protein daging, ikan, dan unggas
Peningkatan absorpsi Fe oleh protein daging, ikan dan unggas melalui 2 cara,
yaitu: 1) menstimulasi absorpsi Fe bukan hem, dan 2) menyediakan Fe hem. Pada
penambahan 75 gram daging dapat meningkatkan absorpsi Fe bukan hem sekitar 2.5 x
dibanding tanpa daging. Protein daging/ikan/unggas berperan meningkatkan absorpsi Fe
bukan hem, disebabkan terbentuknya sistein atau peptida yang mengandung sistein pada
pencernaan protein daging, sehingga mereduksi Fe(III) menjadi Fe(II) dan membentuk
kelat melalui ikatan sulfhidril.
Sakarida
Beberapa sakarida dapat meningkatkan absorpsi Fe, antara lain fruktosa, sorbitol;
disebabkan terbentuknya kompleks kelat larut dan stabil pada kondisi asam dan basa.
26
Produk metabolisme karbohitrat yaitu laktat dan piruvat, juga meningkatkan absorpsi
Fe; galaktosa, laktosa dan sukrosa sedikit meningkatkan absorpsi Fe, sedangkan glukosa
tidak berpengaruh.
Karbohidrat tidak tercerna frukto-oligosakarida (FOS) merupakan prebiotik yang
meningkatkan recovery pada anemia defisiensi Fe, disebabkan terbentuknya kompleks
Fe kelat larut di dalam cecum dengan asam asetat, propionat, butirat yang merupakan
hasil fermentasi FOS oleh bakteri kolon.
Kaseinofosfopeptida
Senyawa kaseinofosfopeptida merupakan prebiotik yang dapat meningkatkan
bioavailibilitas dan absorpsi Fe karena peningkatan kelarutan melalui pembentukan Fe-caseino fosfopeptida, dan adanya jalur spesifik absorpsi yang juga mengurangi
interaksi dengan mineral lain. Kaseionfosfopeptida mempunyai kapasitas tinggi
mengikat kation di/trivalen dan mempertahankan tetap larut pada pH intestinal, melalui
ikatan 4-5 residu fosfoserin dengan Fe.
Penghambat absorpsi Fe bukan hem
Polifenol
Senyawa polifenol terutama terdapat pada teh, kopi, coklat, kacang-kacangan,
dan beberapa jenis sayur. Polifenol dalam bahan makanan dibagi 3 kelompok: asam
fenolik (kopi), flavonoid (teh, coklat), kompleks hasil polimerisasi dari flavonoid
sendiri atau kombinasi flavonoid dan asam fenolat (teh hitam). Absorpsi Fe diturunkan
sekitar 60% oleh teh, dan sekitar 40% oleh kopi. Teh mempunyai efek inhibitor kuat
pada absorpsi Fe jika dikonsumsi bersama-sama dengan makanan; hambatan ini
sebagian dapat dihilangkan oleh asam askorbat dan daging.
Di antara senyawa polifenol alami, flavonoid merupakan golongan yang terbesar.
Polimer flavonoid katekin disebut thearubigin atau tanin terkondensasi. Flavonoid teh,
cacao adalah polifenol yang mengandung 2 cincin aromatik dengan dua atau lebih
gugus hidroksil. Molekul cincin aromatik dengan 2 gugus hidroksil (gugus katekol) atau
3 gugus hidroksil (gugus galloyl) terposisi pada atom C berdekatan mempunyai
kapasitas mengikat Fe. Mekanisme hambatan absorpsi Fe oleh teh melalui pembentukan
kompleks flavonoid teh dengan Fe, terutama gugus galloyl. Polifenol teh hitam
mempunyai aktivitas inhibitor tinggi disebabkan struktur polimernya, yang mengandung
ester galloyl.
Fitat
Senyawa fitat banyak dijumpai pada kacang-kacangan, beras, dan jagung.
Molekul fitat mempunyai 6 gugus fosfat yang mempunyai kapasitas tinggi mengikat
kation seperti Fe. Fitat menghambat absorpsi Fe bukan hem dengan membentuk
kompleks pentaferifitat dan heksaferifitat; efek ini dapat dikurangi dengan adanya
pendorong absorpsi Fe seperti vitamin C, daging. Sejumlah 5 sampai 10 mg fitat dalam
bahan akan mereduksi absorpsi Fe non hem sekitar 50%.
Protein telur, susu, kedelai
Albumin, fosfoprotein (casein, vitelin) mempunyai kapasitas tinggi terhadap Fe
sehingga menurunkan absorpsi Fe. Residu serin dan treonin yang terfosforilasi
(fosfoserin/ treonin) mempunyai aktivitas tinggi mengikat Fe melalui interaksi ionik
pada usus halus, namun akan dilepaskan pada ujung usus halus untuk absorpsi yang
efisien. Fe yang terikat akan menjadi larut oleh adanya asam askorbat.
27
Protein kedelai mempunyai efek yang merugikan terhadap bioavailibilitas Fe,
disebabkan kandungan fitat yang tinggi pada kedelai, walaupun sebenarnya kandungan
Fe kedelai tinggi.
Serat Pangan
Di antara komponen serat pangan, lignin mempunyai kapasitas tertinggi
mengikat Fe; hemiselulosa mempunyai kapasitas yang lebih rendah, sedangkan selulosa
dan pektin mempunyai kapasitas yang terendah. Pengikatan terjadi
melalui
pembentukan kompleks kelat Fe(III)-polisakarida SP, dengan terjadinya ikatan terhadap
gugus OH terdeprotonisasi, oksigen glikosidik atau karbonil, atau gugus COOH. Pati
(bukan komponen serat pangan) juga bersifat menghambat absorpsi Fe.
Kalsium dan Fosfor
Kalsium dan fosfor bersama-sama menghambat absorpsi Fe dengan membentuk
kompleks Fe-Ca-fosfat.
Mekanisme dan regulasi absorpsi Fe
Sejumlah kecil Fe dapat diabsorpsi pada lambung, ileum dan kolon, sedangkan
sisi yang sangat aktif untuk absorpsi Fe hem dan bukan hem adalah pada duodenum dan
jejunum atas. Tiga fase yang menentukan absorpsi Fe pada saluran pencernaan, yaitu:
fase luminal, mukosal, dan sistemik. Fase luminal adalah fase pengangkutan Fe ke
brush border sel mukosa usus, ditentukan oleh macam makanan yang dikonsumsi dan
interaksinya dengan sekresi alat pencernan. Fase mukosa meliputi kelanjutan dari Fe
yang telah ditangkap oleh sel epitel mukosa, sirkulasi dan penyimpanannya serta
terbuangnya Fe ketika sel epitel lepas ke dalam saluran pencernaan. Fase sistemik
berhubungan dengan mekanisme yang menentukan bagaimana kebutuhan Fe tubuh
dikomunikasikan dengan sel mukosa.
Fase luminal
Fe bukan hem dalam makanan terdapat dalam bentuk Fe(II) dan Fe(III) yang
mudah atau sukar diabsorpsi. Fe bukan hem yang larut pada pH netral-alkalis duodenum
dan Mr rendah dapat memasuki membran brush border. Fe(II) lebih mudah memasuki
lapisan ini disebabkan kelarutannya; sedangkan Fe(III) harus dalam bentuk senyawa
kompleks yang larut.
Di dalam lambung terjadi reduksi dan pembentukan kelat dengan berbagai
senyawa bahan pangan. Fe(III) akan mengendap pada pH >3; asam lambung berfungsi
menghindari pembentukan ferioksihidroksida atau feri hidroksida yang tak larut pada
pH netral/alkalis, melalui pembentukan Fe(H2O)63+, Fe(H2O)62+. Fe(III) yang larut asam
membentuk kompleks dengan musin lambung. Asam organik, sakarida, asam amino,
peptida sistein membentuk kompleks kelat Fe yang tak stabil, dan sanggup
mendonorkan Fe ke musin pada pH netral (sebagai enhancer). Senyawa fitat, tanat,
oksalat membentuk endapan atau kompleks kelat stabil, yang mengganggu ikatan
dengan musin (sebagai inhibitor).
Pada lumen usus halus, sumber Fe hem (misal: hemoglobin, mioglobin)
mengalami pemecahan menghasilkan hem/metaloforfirin dan protein. Fe hem
diabsorpsi sebagai metaloforfirin melalui sisi ikatan spesifik pada brush border mukosa
dengan afinitas yang tinggi, diperantarai oleh reseptor. Ini menunjukkan bahwa cincin
porfirin yang responsibel untuk absorpsi Fe hem dibandingkan Fe bukan hem. Amina
primer yang dilepaskan pada proteolisis globin membantu dalam mempertahankan
keadaan monomer hem, sehingga metaloporfirin mudah diabsorpsi.
28
Fase Mukosal
Fe bukan hem/ ion Fe melewati brush border secara endositosis melalui
pengemban, yang terdiri satu atau lebih protein pada epitel mukosa duodenum, masingmasing dengan fungsi spesifik, yaitu: 1) pengikat protein trimer, 2) 3 integrin 3) Hfe,
yang berfungsi bersama 2 mikroglobulin, dan 4) Nramp2. Karena sifat fisikokimia
Fe(II) dan Fe(III) berbeda, maka ada 2 jenis carrier microvillus yang berbeda untuk Fe
non hem. Pada brush border juga terdapat ferireduktase yang mereduksi Fe(III)
menjadi Fe(II). Protein reseptor spesifik yang mengatur mekanisme penangkapan Fe
hem adalah Hfe protein.
Selanjutnya Fe akan melewati mucosal surface membrane atau mucosal side.
Dalam sitosol mucosa duodenum, Fe hem dibebaskan dari protoforfirin oleh enzim
hemoksigenase menghasilkan Fe(III), biliverdin dan CO. Fe(II) non hem teroksidasi
membentuk Fe(III) dan terikat oleh molekul pengemban intraselular yaitu mobilferin
bersama-sama dengan Fe (III) hem; yang kemudian ditransfer dalam bentuk Fe(II).
Pada keadaan normal, mobilferin mentransfer Fe (II) ke apoferitin untuk membentuk
feritin, ke mitokondria, dan melewati serosal side ke apotransferin; distribusi ini
tergantung pada keadaan metabolisme Fe individual. Apoferitin juga bertindak sebagai
ferooksidase, mengubah Fe(II) menjadi Fe(III); Fe dalam feritin tersimpan sebagai
kompleks ferihidroksifosfat: FeO(OH)8 (FeO.PO4H2).
Fe ditransfer melalui serosal side dalam bentuk Fe(II) yang terikat oleh ligan Mr
rendah, misalkan asam amino dan askorbat; kemudian dilepaskan oleh ligan pada
plasma, dioksidasi oleh seruloplasmin menjadi Fe(III), dan bergabung dengan globulin membentuk transferin. Transferin membawa Fe ke sel-sel dengan reseptor
spesifik pada permukaan sel.
Fase sistemik
Proses absorpsi Fe sangat ditentukan oleh mekanisme yang mengkomunikasikan
kebutuhan Fe tubuh dan jumlah cadangan Fe tubuh. Berbagai faktor yang berperan pada
fase sistemik antara lain simpanan Fe tubuh, sekresi alat pencernaan, dan kondisi
fisiologis misalkan saat kehamilan, hipoksia jaringan. Mekanisme yang mengatur
transfer Fe adalah sintesis apoferitin dalam sitosol dan reseptor transferin pada
membran sel yang ditentukan oleh kebutuhan dan cadangan Fe; sedangkan sintesis
paraferitin dan reseptor transferin diregulasi oleh DNA, mRNA paraferitin dan mRNA
reseptor transferin.
29
CONTINUING EDUCATION SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF
PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN KIMIA DI SEKOLAH
Suyono
(Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya)
e-mail: [email protected]
A. PENDAHULUAN
1. Peran Sentral Guru dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran Kimia
Peningkatan kualitas pembelajaran kimia di SMA dapat ditempuh melalui
berbagai cara, antara lain peningkatan bekal awal siswa baru, peningkatan kompetensi
guru, peningkatan isi kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran dan penilaian hasil
belajar siswa, penyediaan bahan ajar yang memadai, dan penyediaan sarana belajar.
Dari semua cara tersebut, peningkatan kualitas pembelajaran menduduki posisi yang
sangat strategis. Pembelajaran kimia yang berkualitas diharapkan dapat meningkatkan
hasil belajar siswa.
Peningkatan kompetensi guru kimia harus senantiasa diupayakan. Upaya
meningkatkan kompetensi guru untuk menyelesaikan masalah pembelajaran yang
dihadapi saat menjalankan tugasnya di kelas dapat dilakukan melalui pengembangan
dan peningkatan kualitas pembelajaran. Pengembangan dan peningkatan kualitas
pembelajaran kimia di SMA merupakan tuntutan logis dari perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks) yang sangat pesat. Perkembangan Ipteks
mengisyaratkan penyesuaian dan peningkatan proses pembelajaran secara terus
menerus. Di samping itu, perlu adanya inovasi pembelajaran untuk meningkatkan
kualitas lulusan (Direktorat Ketenagaan Ditjen Dikti, 2007).
Pembelajaran yang bermutu haruslah mencakup dua dimensi, yaitu orientasi
akademis dan orientasi keterampilan hidup yang esensial. Berorientasi akademik berarti
menjanjikan prestasi akademik peserta didik sebagai tolok ukurnya, sedangkan yang
berorientasi keterampilan hidup (life skill) yang esensial adalah pendidikan yang dapat
membuat peserta didik dapat bertahan (survive) di kehidupan nyata (Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2007).
Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran kimia di SMA para guru dapat
memberikan perhatian kepada bidang-bidang meliputi: (1) pengelolaan kelas, model
pembelajaran, pendekatan dan metode mengajar yang inovatif yang sesuai dengan
karakteristik bidang studi kimia (subject specific paedagogy), serta interaksi dalam
pembelajaran untuk mengatasi masalah belajar siswa seperti kesalahan-kesalahan
belajar dan miskonsepsi; (2) pengembangan bahan ajar cetak dan/atau elektronik, alat
bantu dan alat peraga pembelajaran, (3) pemanfaatan sumber belajar, antara lain
meliputi pemanfaatan perpustakaan baik cetak maupun elektronik, pemanfaatan
internet, atau sumber belajar lain di luar kelas, dan (4) evaluasi proses dan hasil belajar,
antara lain evaluasi otentik termasuk penilaian portfolio, evaluasi diagnostik siswa
dengan tindakan pembelajarannya, serta pengembangan instrumen dan penggunaannya
(Direktorat Ketenagaan Ditjen Dikti, 2007).
Guru memegang peran penting dalam pembelajaran. Seorang guru yang
profesional akan mampu menjadi fasilitator dalam memberikan keterampilanketerampilan yang dibutuhkan peserta didik dengan baik (Direktorat Pembinaan
Sekolah Luar Biasa, 2007). Peserta didik memerlukan guru profesional dalam mengasah
30
kecerdasannya. Guru profesional memiliki potensi untuk menghantarkan anak bangsa
menjadi unggul dan memiliki daya saing.
Tantangan yang sering dihadapi para guru kimia di lapangan adalah:
a. Bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswanya
yang selalu bertanya-tanya tentang alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan
hubungan dari apa yang mereka pelajari?
b. Bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari siswa
sehingga siswa dapat mempelajari berbagai konsep dan mampu mengaitkannya
dengan kehidupan nyata, serta dapat membuka berbagai pintu kesempatan
selama hidupnya?
Jika diperhatikan catatan-catatan yang diberikan oleh Direktorat Ketenagaan di
atas, maka tantangan-tantangan itu tidak akan dapat diatasi manakala interaksi antara
guru dan siswa dalam pembelajaran belum mengatasi masalah belajar siswa seperti
kesalahan-kesalahan belajar dan miskonsepsi. Untuk memperbaiki miskonsepsi yang
terjadi pada siswa diperlukan guru yang tidak dalam keadaan miskonsepsi juga. Apakah
masih terdapat miskonsepsi pada guru-guru kimia yang telah lama meninggalkan
kampus untuk berjoang di lapangan? Jika jawabnya masih, maka perlu dicari solusi
untuk memperbaikinya. Jika tidak dibuat solusinya, maka peran sentral guru dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran di SMA tidak akan menunjukkan fungsinya.
B. TEMUAN, REFLEKSI, DAN SOLUSI
1. Apa yang Terjadi dengan Guru Kimia di SMA
Berikut disampaikan beberapa fenomena yang terjadi pada seorang guru kimia
dan atau kelompok guru kimia yang berhasil diinventarisasi (temuan):
a. Dalam sebuah forum diklat yang diadakan oleh Departemen Kehakiman bekerja
sama dengan Pemerintah Australia pada tanggal 5 s.d. 9 November 2007
seorang guru kimia (S1) dengan tanpa beban menyatakan terjadinya reaksi
oksidasi atas karbohidrat yang terkandung dalam mie kuwah ketika dikipas
dengan kipas listrik.
b. Pada hari pertama sebuah kegiatan CE guru kimia di Surabaya (NovemberDesember 2007) kepada 25 orang peserta diminta menghitung pH larutan HCl
10 M. Semua peserta tampak dengan tenangnya mengajukan ide untuk
menggunakan rumus pH = - log [H +]. Kemudian kecewa saat angka yang
diperoleh adalah angka yang aneh untuk ukuran pH.
c. Fenomena pada butir b juga pernah terjadi pada seorang dosen kimia dari sebuah
perguruan tinggi negeri saat menempuh ujian tesis di pasca sarjana sebuah
perguruan tinggi negeri pula.
d. Dalam sebuah supervisi kelas, ditemukan seorang guru kimia yang mengawali
pembelajaran materi pokok laju reaksi dengan kegiatan motivasi. Guru ini
memotivasi siswa dengan mendemonstrasikan lebih cepatnya melarut dalam air
serbuk gula pasir ketimbang kristal gula. Ketika dikritik, sang guru berdalih
“demikian yang saya baca di Buku Kimia SMA”.
e. Seorang guru kimia senior dari SMA yang sekarang bertarap SBI terperanjat
saat ditanya oleh siswanya “mengapa penyepuhan (elektroplating) yang
dilakukan dengan rangkaian seri baterei hasilnya lebih rata (nampak halus) jika
dibanding hasil penyepuhan menggunakan arus dari adaptor?” Guru
menjanjikan jawaban dan tidak terbayar hingga siswa lulus SMA.
31
f. Hanya ada sebagian guru yang telah mempraktikan penelitian tindakan kelas
(classroom action research) bagi program perbaikan pembelajaran.
Penyajian temuan di atas walau belum diverifikasi melalui kegiatan penelitian
yang sistematis, namun dapatlah dijadikan indikasi awal adanya kelemahan dalam
konsepsi kimia dan kebiasaan guru dalam menjadikan hasil penelitian sebagai dasar
dalam pengembangan pembelajaran di kelas (manfaat PTK). Penyajian temuan di atas
sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkan kualifikasi akademis guru kimia di
SMA.
2. Refleksi
Dari butir B.1 nampak masih adanya miskonsepsi dan kekurangan dalam
memahami subjek materi kimia pada sebagian guru kimia di SMA. Hal ini boleh jadi
karena kesempatan guru dalam meningkatkan kompetensinya belum terkondisikan oleh
lembaga tempat kerjanya. Keadaan itu diperparah oleh kesibukan guru menyusun
perangkat administrasi pembelajaran sehingga tidak ada sisa lagi bagi guru untuk
mengembangkan diri. Terbatasnya kemampuan dana bagi guru dalam meningkatkan
keprofesionalannya ikut memberikan andil yang berarti sehingga tidak berlebihan bila
disimpulkan bahwa jumlah guru profesional amat kurang.
Kelemahan ini tidak boleh didiamkan oleh siapapun. Harus dicari solusi untuk
memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada, tidak penting untuk mencari siapa yang
salah. Terpecahkannya problematika ini akan memperbaiki dan memperkuat peran
sentral guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran kimia di SMA.
Solusi yang dapat dipilih untuk memperbaiki kinerja guru kimia di SMA
haruslah memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa (Adult Education)
dengan berbekal kepada konsep belajar seumur hidup (lifelong education). Konsep
pendidikan berkelanjutan bagi guru kimia diyakini akan mampu meningkatkan
kompetensi guru secara berkesinambungan. Solusi yang beranjak dari falsafah
pendidikan sepanjang hayat itu harus juga bersinergi dengan konsep pendidikan yang
bermakna (meaningful learning). Dalam implementasinya, solusi yang dipilih harus
pula mengacu kepada pembelajaran kontekstual, pendidikan keterampilan hidup (life
skill). Kurikulum pendidikan bagi guru bertumpu pada pengembangan profesionalisme
guru, penguasaan materi pembelajaran, serta pengembangan dan pengayaan,
penguasaan metodologi pembelajaran beserta konsep pendidikan yang
melatarbelakanginya. Tindakan nyata dari solusi yang direncanakan harus dilaksanakan
dengan prinsip berkelanjutan, berbasis kompetensi, dan terintegrasi. Agar para guru
kimia termotivasi untuk berpatisipasi secara aktif pada program solusi ini, harus ada
penghargaan akademis (sertifikat) yang sesuai dengan level dan jenis pendidikan yang
diikutinya. Sertifikat itu harus dikeluarkan oleh lembaga standar dan kompeten sehingga
diakui secara nasional.
3. Solusi: Program CE sebagai Salah Satu Alternatif
Continuing Education (CE) sebagai salah satu bentuk lifelong learning. CE
(pembelajaran terus menerus) merupakan konsep pembelajaran yang bertumpu pada
pernyataan “tidak ada kata terlambat untuk belajar”. Orang-orang yang menerima
konsep itu harus memiliki sikap terbuka dengan ide-ide baru, kemauan, kemampuan dan
kepribadian. CE tidak menyetujui pernyataan “kamu tidak dapat mengajari anjing tua
32
dengan trik baru” untuk dapat keluar pintu dengan cepat. CE memberikan kesempatan
kepada setiap orang (setiap warganegara) pada semua umur untuk terus belajar, untuk
terus meningkatkan kompetensinya baik dalam konteks pekerjaan, menjalani kehidupan
di rumah maupun dalam kegiatan perkuliahan.
Jalur-jalur dalam pelaksanaan CE. CE tidak hanya melalui jalur formal seperti
sekolah dan pendidikan yang lebih tinggi, tetapi dapat memanfaatkan teknologi
informasi. CE juga dapat dilakukan melalui belajar berjarak (distance learning) atau elearning, korespondensi, dan masih terdapat bentuk-bentuk atau jalur yang lain.
a. Metode penyampaian CE dapat berupa pembelajaran tradisional di ruang kelas
dan laboratorium. Belajar full-time/part-time di universitas dapat dilakukan,
tetapi kebanyakan guru akan memilih part-time. Untuk kegiatan-kegitan
pembimbingan penelitian model CE ini memiliki kecenderungan dapat berjalan
dengan baik, tetapi tidak demikian untuk penkajian bidang studi.
b. Induction training bertujuan untuk membantu para guru baru agar mendapatkan
tampilan (performance) yang menakjubkan dari guru senior yang
berpengalaman.
c. Pengembangan pembelajaran melalui website yang dikoordinasikan lembaga
tertentu yang berkompeten (belajar melalui internet). Situs kimia yang dapat
dikunjungi dapat dilihat di bawah bagian penutup makalah ini.
d. Distance Education merupakan suatu pendidikan yang difokuskan pada
pedagogi/ andragogi, teknologi, dan desain instruksional yang bertujuan
mentransfer pendidikan kepada peserta didik yang tidak terikat oleh keberadaan
gedung/ bangunan. Pendidik dan peserta didik dapat saling berkomunikasi
sesuai dengan jadwal yang disepakati bersama melalui media cetak atau media
elektronik, atau teknologi sejenis yang berkembang saat ini (radio, tv, konferensi
audio-video, instruksi berbantukan komputer, e-learning). Kepemilikan kelas
secara fisik tidak dilarang, tetapi tidak boleh selalu menuntut kehadiran peserta
didik di dalam kelas. Terminologi ”kelas elektronik” berlaku dalam distance
education. Kti-on line, adalah salah satu program Depdiknas (dengan website:
ktiguru.org) yang mencoba membangun proses belajar antara para guru di
sekolah di seluruh Indonesia dengan dosen pembimbing di berbagai perguruan
tinggi.
e. Mengikuti diklat pembelajaran inovatif dan menghadiri seminar-seminar atau
temu ilmiah yang memiliki relevansi yang tinggi dengan mata pelajaran yang
diampu adalah sebuah bentuk atau jalur CE yang dapat dijadikan pilihan seraya
mengurangi kejenuhan akibat rutinitas di sekolah. Sayang sekali diklat-diklat
yang ada belum berdasar kebutuhan guru.
f. MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Kimia.
4. Sekilas tentang Program CE Guru Kimia di Kota Surabaya
Universitas Negeri Surabaya bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota
Surabaya telah melaksanakan Program Continuing Education pada tanggal 5 Desember
2006 s.d. 7 Januari 2007. Kegiatan CE yang dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu
berbentuk kuliah tatap muka, diskusi, penugasan, workshop, dan presentasi. Peserta
program berjumlah 225 orang dari bidang-bidang bahasa, matematika, dan IPA. Jumlah
peserta dari bidang IPA, khususnya kimia adalah 25 orang dengan strata pendidikan S1.
Saat ini juga sedang berjalan program CE lanjutan.
33
Keberhasilan program CE ini diukur dengan empat indikator, yaitu: (1)
kehadiran peserta, (2) kesesuaian antara materi CE dengan kebutuhan guru di lapangan,
(3) kepuasan peserta, dan (4) prestasi akademik. Dari laporan pelaksanaan program CE
tahun 2007, khususnya untuk guru bidang studi kimia dapat disajikan fakta terkait
dengan empat indikator di atas (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Rekapitulasi Keberhasilan Setiap Indikator yang Diukur dalam CE
Bagi Guru-Guru Kimia Kota Surabaya pada Tahun 2007
No. Indikator Keberhasilan
1.
Kehadiran > 75%
2
Kesesuaian antara materi CE
dengan kebutuhan guru di lap
3.
Kepuasan Peserta
a. Ilmu bertambah
b. Penguasaan pengajar thd
materi
c. Respon pengajar thd
pertanyaan peserta
d. Proses Relajar Mengajar
e. Penerlibatan Peserta thd
PBM
f. Fasilitas di Ruang Kelas
g.
Motivasi setelah
mengikuti kegiatan CE
h. Keinginan adanya CE
lanjutan
i. Keinginan adanya CE
untuk guru lain
j. Pengaturan waktu
k. Kepuasan secara umum
Hasil (dalam %)
100
45 (SS); 50% (S); 5 (abstain)
Ket
Berhasil
Berhasil
27 (SS); 73 (S)
Berhasil
50 (SB); 41 (B); 4 (C); 5 (KB); 0 Berhasil
(TB)
27 (SB); 68 (B); 5 (C); 0 (KB); 0 Berhasil
(TB)
27 (SB); 59 (B); 14 (C)
Berhasil
32 (SB); 45 (B); 23 (C)
Berhasil
23 (SB); 68 (B); 9 (C)
73 (ya); 18 (tidak); 9 (abstain)
Berhasil
Berhasil
100 (ya)
Berhasil
100 (ya)
Berhasil
69 (SS); 19 (S); 12 (KS)
Berhasil
47,5 (SP); 43,6 (P); 7,4 (CP); 0,6 Berhasil
(KP)
4.
Prestasi (lulus dg nilai > B)
100
Berhasil
Sumber Data: Laporan Kegiatan Pelaksanaan Program CE 2007 Kerja sama Unesa
dan
Dinas Pendidikan Kota Surabaya.
Karena seluruh indikator dan sub indikator telah memenuhi kriteria
keberhasilan, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan program CE berhasil dilihat
dari segi: (1) kehadiran peserta, (2) kesesuaian antara materi CE dengan kebutuhan guru
guru kimia di lapangan, (3) kepuasan peserta, dan (4) prestasi akademik peserta.
C. PENUTUP
Tidak ada kata berhenti untuk memperbaiki kemampuan dan menggali informasi
terbaru, karena informasi dan teknologi melaju terus dengan cepat, sehingga setiap guru
butuh untuk mengimbanginya. Banyak kelebihan yang diperoleh guru jika senantiasa
memperbaharui pengetahuan dalam dirinya. Satu di antara kelebihan itu adalah dapat
34
lebih cepat menangani problematika pembelajaran dengan menggunakan metode
terbaru, atau dengan bantuan software terbaru. Melalui program Continuing Education
para guru memperoleh kesempatan dan fasilitas untuk mengembangkan kemampuan
dan memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
pekerjaannya. Setiap kegiatan dalam program CE tentu saja harus dipandu oleh tenaga
profesional yang telah kompeten di bidangnya.
http://www.shodor.org
http://www.science.uwaterloo.ca
http://www2.wwnorton.com/college/chemistry
http://www.uniregensburg.de/Fakultaeten/nat_Fak_IV/Organische_Che
mie/Didaktik/Keusch/kinetics.htm
http://itl.chem.ufl.edu
http://en.wikipedia.org
http://staff.um.edu.mt/jgri1/teaching
http://www.rjclarkson.demon.co.uk
http://www.vias.org/genchem
http://www.chemguide.co.uk
Daftar Pustaka
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2007. Pedoman Teknis Penyusunan
Proposal Bantuan Subsidi Penyelenggara Pendidikan untuk Peserta Didik
Berkecerdasan dan atau Berbakat Istimewa. Jakarta: Ditjen Manajemen
Dikdasmen, Depdiknas.
Direktorat Ketenagaan. 2007. Pedoman Penyusunan Usulan dan Laporan
Pengembangan dan Peningkatan Kualitas PembelajarandDi LPTK (PPKP)
Tahun Anggaran 2008. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdiknas.
Laporan Kegiatan Pelaksanaan Program Continuing Education tahun 2007, Program
Kerja Sama Universitas Negeri Surabaya dan Dinas Pendidikan Kota Surabaya
Wikipedia. Continuing Education. Diakses tanggal 28-11-2007.
Wikipedia. Distance Education. Diakses tanggal 28-11-2007.
35
Download