BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tukak peptik merupakan penyakit akibat ketidakseimbangan fisiologis antara faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dengan faktor pelindung (pertahanan dan perbaikan mukosa). Tukak peptik dapat disebabkan oleh Helicobacter pylori, penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan tukak stress. Tujuan terapi tukak peptik yaitu menghilangkan rasa nyeri, mengobati tukak, mencegah kekambuhan dan mengurangi terjadinya komplikasi yang berkaitan dengan tukak (Berardi and Welage, 2008). Tukak peptik termasuk dalam daftar 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit tahun 2009 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Angka kejadian tukak lambung yang tersebar di seluruh dunia bergantung pada status sosial ekonomi dan demografi. Kejadian tukak lambung lebih banyak dijumpai pada pria usia lanjut dengan status sosial ekonomi yang rendah. Kejadian tukak lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita (1,3:1) (Sanusi, 2011). Angka kejadian tukak peptik menempati urutan ke-7 dari 10 penyakit terbanyak di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten (Alfiawati, 2014). Hasil diagnosis pasien di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten menunjukkan bahwa kejadian penyakit tukak peptik lebih banyak terjadi dibandingkan dengan tukak stress, tukak duodenum, gastritis, dan dispepsia (Alfiawati, 2014). Drug Related Problems adalah kejadian yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien terkait dengan terapi obat sehingga dapat mengganggu keberhasilan terapi yang diinginkan (Cipolle et al., 2004). Farmasis memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi obat yang aman, tepat, dan cost effective, serta memastikan bahwa terapi yang diberikan adalah yang diinginkan oleh pasien. Hal tersebut terkait dengan adanya paradigma baru yaitu asuhan kefarmasian (pharmaceutical care). Pharmaceutical Care yaitu 1 2 pemberian terapi obat yang dibutuhkan oleh pasien dan menjamin bahwa terapi obat yang diterima pasien aman serta menjamin penggunaan obat yang rasional (Cipolle et al., 1998). Dengan adanya paradigma tersebut praktek farmasi klinik perlu diterapkan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan obat (Drug Related Problem) serta menjamin penggunaan obat yang aman dan tepat bagi setiap pasien (Nita, 2004). Permasalahan obat jika tidak diatasi atau diperhatikan akan sangat mempengaruhi hasil terapi. Permasalahan obat dapat berkaitan dengan indikasi, efektivitas, keamanan, dan kepatuhan pasien (Priyanto, 2009). Terapi pada pasien tukak peptik biasanya sering menggunakan obat kombinasi. Penggunaan beberapa obat sekaligus memudahkan terjadinya interaksi obat. Kejadian efek samping pada pasien yang menerima 0 - 5 macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang menerima 16 - 20 macam obat adalah 54%. Peningkatan kejadian efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat yang digunakan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga semakin meningkat (Setiawati, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Alfiawati (2015), tentang evaluasi penggunaan obat pada pasien tukak peptik di instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2014 ditemukan kejadian ketidaktepatan pemberian dosis obat sebesar 96%. Data ketidaktepatan dosis tersebut menunjukkan dosis obat yang kurang atau berlebih. Hasil penelitian Abidullah et al (2013) di Pakistan ditemukan kejadian interaksi obat pada terapi tukak peptik sebanyak 27,64%. Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi atau timbul efek berbahaya (Priyanto, 2009). Interaksi obat menjadi penting secara klinik apabila berakibat meningkatkan toksisitas atau menurunkan efektivitas obat yang berinteraksi (Setiawati, 2008). Adanya interaksi obat menyebabkan berkurangnya efek terapi bahkan lebih bahaya karena dapat menyebabkan kegagalan terapi yang diharapkan (Abidullah et al., 2013). Berdasarkan hal tersebut dan tingginya angka kejadian tukak peptik di instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten serta tingginya kejadian ketidaktepatan dosis pada pengobatan penyakit tukak peptik maka perlu dilakukan 3 penelitian mengenai Drug Related Problems kategori ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih dan kategori interaksi obat. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu “Berapa besar angka kejadian Drug Related Problems kategori ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih dan kategori interaksi obat pada pasien dengan penyakit gangguan lambung di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2015?” C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian Drug Related Problems kategori ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih dan kategori interaksi obat pada pasien dengan penyakit gangguan lambung di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2015. D. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit gangguan lambung a. Pengertian Dispepsia merupakan suatu kumpulan gejala seperti nyeri ulu hati, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat kenyang, dan sendawa (Sanusi, 2011). Gastritis merupakan proses inflamasi pada mukosa dan sub – mukosa lambung (Djojoningrat, 2001). Tukak peptik adalah kondisi putusnya kontinuitas mukosa yang melebar di bawah epitel dan terjadinya kerusakan jaringan mukosa, sub mukosa sampai lapisan otot di suatu daerah saluran gastrointestinal yang berhubungan secara langsung dengan cairan asam lambung atau pepsin (Sanusi, 2011), sedangkan tukak stress merupakan luka atau beberapa perlukaan pada lambung yang berkembang selama stress fisiologi dari penyakit yang parah (Avunduk, 2008). 4 b. Etiologi dan faktor resiko Dispepsia sebagai suatu gejala atau kumpulan gejala dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti gastritis, tukak peptik dan lainnya. Pada sebagian besar kasus, keadaan klinis yang sering menjadi penyebab timbulnya gastritis erosif misalnya operasi besar, gagal ginjal, gagal nafas, luka bakar, dan penyakit hati yang berat. Penyebab lain dispepsia dan gastritis yaitu akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS). Gastritis kronis juga disebabkan oleh aspek imunologis dan aspek bakteriologis yang sebagian besar disebabkan karena bakteri H. pylori (Djojoningrat, 2001). Tiga penyebab utama terjadinya tukak peptik yaitu akibat penggunaan OAINS, infeksi kronis yang disebabkan oleh Helicobacter pylori, dan keadaan hipersekresi asam pada Zollinger-Ellison syndrome (Sanusi, 2011). Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tukak peptik diantaranya yaitu mengkonsumsi alkohol, merokok, stress, penggunaan kortikosteroid dan penyakit kronis seperti gagal ginjal, pankreatitis, sirosis, atau transplantasi organ (Alldredge et al., 2013). Etiologi pada tukak stress meskipun tidak terbukti, namun kurangnya oksigenasi pada mukosa, perbedaan dalam keseimbangan asam basa, dan peningkatan penggunaan kortikosteroid dapat berkontribusi dalam pembentukan tukak (Avunduk, 2008). c. Patofisiologi Peningkatan asam lambung atau sensitivitas mukosa lambung terhadap asam lambung bertanggung jawab untuk terjadinya gangguan lambung (Sanusi, 2011). Asam yang dihasilkan karena infeksi H. pylori dan penggunaan OAINS merupakan faktor independen yang berkontribusi terhadap gangguan integritas mukosa (Berardi and Welage, 2008). Penggunaan OAINS dapat mengakibatkan pembentukan HCO₃- menurun yang berarti proteksi terhadap mukosa juga menurun serta menghambat efek inhibisi sekresi asam. Selain itu, OAINS dapat menyebabkan kerusakan mukosa secara lokal dengan aksi difusi non ionik pada sel mukosa. H. pylori mampu bertahan dalam suasana asam. Hal tersebut dimungkinkan karena H. pylori mempunyai kemampuan membentuk senyawa urease khusus yang membantu 5 dalam pembentukan CO₂, NH₃ dan HCO₃ serta NH₄⁺ sehingga mampu menjadi dapar terhadap ion H⁺ (Sanusi, 2011). d. Gambaran klinis Gambaran klinis gastritis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, mual, muntah, nyeri ulu hati, hingga hematemesis dan melena (Djojoningrat, 2001). Gambaran klinis tukak stress yaitu berupa tukak yang dangkal dan terbatas pada mukosa dan disebut sebagai erosi. Tukak juga dapat menembus ke submukosa, dan mungkin mengikis ke dalam pembuluh darah submukosa sehingga menyebabkan perdarahan (Avunduk, 2008). Sedangkan pasien tukak peptik secara umum biasanya merasakan keluhan dispepsia, seperti mual, muntah, kembung, sendawa, rasa cepat kenyang, nyeri ulu hati dan rasa terbakar (Sanusi, 2011). Menurut Berardi and Welage (2008) tanda dan gejala tukak peptik yaitu nyeri perut pada bagian epigastrum seperti terbakar, perut terasa tidak nyaman, penuh, dan kram, serta sering disertai rasa kembung. e. Diagnosis Diagnosis gangguan lambung dapat ditegakkan berdasarkan: 1) Pengamatan klinis dan Anamnesis 2) Hasil pemeriksaan endoskopi dan radiologi 3) Hasil biopsi untuk tes pemeriksaan CLO (Campilobacter Like Organism), histopatologi kuman H. pylori. (Sanusi, 2011) f. Terapi Tujuan terapi tukak peptik yaitu menghilangkan keluhan, menyembuhkan tukak, mencegah kekambuhan serta mencegah komplikasi (Sanusi, 2011). Berikut terapi untuk tukak peptik berdasarkan klasifikasinya: 1) Terapi non farmakologi a) Istirahat yang cukup dan meminimalisir stres b) Mengurangi penggunaan OAINS dan rokok 6 c) Menghindari makanan dan minuman yang memperparah gejala tukak dan merangsang sekresi asam seperti makanan pedas, asam, mengandung alkohol, kafein. (Priyanto, 2009) 2) Terapi farmakologi Obat-obat anti sekretori dan pelindung mukosa dapat mempercepat penyembuhan gangguan lambung. Beberapa jenis obat yang dapat digunakan untuk menyembuhkan gangguan lambung (Tabel. 1) : a) Proton pump inhibitors (PPIs) PPIs bekerja hampir sepenuhnya menghambat sekresi asam lambung dengan berikatan kovalen dengan H⁺-K⁺-ATPase atau proton pump dalam aspek lumen dari membran sel parietal. Penyembuhan tukak biasanya membutuhkan waktu 2 minggu dan paling lama 4 minggu. PPIs merupakan obat pilihan untuk terapi tukak peptik karena aman, memiliki sedikit efek samping, dan memberikan kesembuhan yang lebih cepat pada tukak peptik dibanding H₂ antagonis (Avunduk, 2008). Semua jenis PPIs dimetabolisme di hati. PPIs meningkatkan pH lambung dan mungkin dapat menurunkan bioavailabilitas obat yang memerlukan asam lambung untuk absorbsinya (Wecker et al., 2010). b) H₂ reseptor antagonis H₂ reseptor antagonis adalah agen yang memblok reseptor histamin pada sel parietal. Histamin merupakan stimulan yang poten dari sekresi asam lambung sehingga H₂ reseptor antagonis dapat secara efektif menghambat sekresi asam lambung. H₂ antagonis tidak hanya menghambat stimulasi histamin dalam sekresi asam, namun juga menghambat stimulasi asam oleh saraf vagus (asetilkolin) dan lambung (Avunduk, 2008). Obat jenis H₂ antagonis terutama diekskresikan lewat urin sehingga perlu pengurangan dosis untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Semua obat jenis H₂ antagonis dapat meringankan gejala tukak peptik seperti nyeri epigastrum dan memberikan kesembuhan pada tukak (Wecker et al., 2010). 7 c) Sukralfat Penguat mukosa seperti sukralfat melindungi tukak dari asam lambung. Sukralfat juga menghambat pepsin, mengikat garam empedu, dan menstimulasi produksi prostaglandin untuk pelindung mukosa. Efektivitas sukralfat dalam menyembuhkan tukak peptik sama dengan H₂ reseptor antagonis dengan sedikit efek samping (Wecker et al., 2010). d) Analog prostaglandin Misoprostol meningkatkan mukus, sekresi bikarbonat, dan aliran darah mukosa serta menghambat pergantian sel mukosa yang dapat meningkatkan pertahanan mukosa. Misoprostol memiliki efek sebagai anti sekretori dan efek pertahanan mukosa lambung dan duodenum. Namun efek terapi prostaglandin utamanya sebagai stimulasi mekanisme pertahanan mukosa (Wecker et al., 2010). e) Bismuth Bismuth memiliki aktivitas anti bakteri secara langsung terhadap H. pylori dan dapat digunakan untuk eradikasi bersamaan dengan antibiotik lain (Sanusi, 2011). Sukralfat dan bismuth harus digunakan dalam keadaan lambung kosong karena dapat membentuk kompleks dengan protein makanan (Neal, 2007). f) Antasida Antasida efektif untuk meringankan gejala tukak (Avunduk, 2008). Antasida dapat meningkatkan pH lumen lambung yang berakibat pada peningkatan kecepatan pengosongan lambung sehingga efek dari antasida menjadi lebih singkat (Neal, 2007). Tabel. 1 Obat – obat untuk terapi tukak peptik Obat Dosis Omeprazol 40 mg per hari Lansoprazol 30 mg per hari Rabeprazol 20 mg per hari Pantoprazole 40 mg per hari Esomeprazol 20 – 40 mg per hari Simetidin 400 mg 2 x sehari H₂ reseptor antagonis Famotidin 20 mg 2 x sehari Nizatidin 150 mg 2 x sehari Ranitidin 150 mg 2 x sehari Pelindung mukosa Sukralfat 2 g 2 x sehari Bismuth subsalisilat 525 mg 4 x sehari Analog prostaglandin Misoprostol 200 mcg 4 x sehari Antasida Alumunium hidroksida 500 mg 4 x sehari Golongan Proton Pump Inhibitor 8 Golongan Tabel. 1 Lanjutan Obat Magnesium karbonat Magnesium trisilikat Dosis 10 mL 3 x sehari 250 mL 3 x sehari (Berardi and Welage, 2008); (BNF, 2011); (Lacy et al., 2009) 3) Terapi akibat penggunaan OAINS Pasien dengan kondisi gangguan lambung yang harus tetap menggunakan OAINS maka dosis OAINS harus dikurangi atau beralih menggunakan parasetamol, non asetilsalisilat, atau COX-2 selektif inhibitor karena selektif menghambat COX-2 yang berperan dalam proses inflamasi namun tidak menghambat COX-1 yang memiliki peran dalam menjaga integritas mukosa lambung (Berardi and Welage, 2008; Matsui et al., 2011). PPI merupakan obat pilihan ketika OAINS harus tetap digunakan, PPI sebagai penekan asam yang diperlukan untuk mempercepat penyembuhan tukak (Berardi and Welage, 2008). 4) Terapi pencegahan stress related mucosal bleeding (SRMB) Pasien dengan tukak stress beresiko mengalami SRMB, oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan terhadap SRMB. Pilihan terapi untuk pencegahan Stess Related Mucosal Bleeding yaitu antasida, obat anti sekretori (H2 reseptor antagonis dan PPI), sukralfat, dan pelindung mukosa (Berardi and Welage, 2008). 5) Terapi eradikasi H. Pylori Tukak peptik yang positif disebabkan karena infeksi H. pylori perlu dilakukan terapi eradikasi H. pylori (Tabel. 2). Penggunaan antibiotik tunggal untuk eradikasi H. pylori tidak efektif. Rejimen terapi tripel yang terdiri dari kombinasi antibiotik dengan obat anti sekretori sebagai lini pertama efektif untuk eradikasi H. pylori (Wecker et al., 2010). Tabel. 2 Rejimen terapi untuk eradikasi H. pylori Obat Dosis Rejimen terapi tripel PPI (esomeprazol atau 20 mg 2 x sehari omeprazol) Klaritomisin 500 mg 2 x sehari Amoksisilin atau metronidazol Amoksisilin 1 g 2 x sehari atau metronidazol 500 mg 2 x sehari 9 Rejimen terapi kuadrupel Tabel. 2 Lanjutan Obat PPI (esomeprazol atau omeprazol) Bismuth subsalisilat Amoksisilin atau metronidazol Tetrasiklin Dosis 20 mg 2 x sehari 4 x 2 tab Amoksisilin 1 g 2 x sehari atau metronidazol 250 mg 4 x sehari 500 mg 4 x sehari (Avunduk, 2008); (Lockrey and Lim, 2011); (Sanusi, 2011) Amoksisilin tetap menjadi terapi lini pertama. Metronidazol hanya disarankan untuk pasien yang alergi terhadap penisillin. Regimen terapi kuadrupel disarankan apabila terapi tripel tidak memberikan hasil atau gagal (Sanusi, 2011). 2. a. Drug Related Problems (DRPs) Pengertian DRPs adalah seluruh kejadian yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan benar-benar atau berpotensi mengganggu hasil terapi yang diinginkan pasien (Cipolle et al., 1998). DRPs terdiri dari DRPs aktual dan DRPs potensial. DRPs aktual yaitu masalah yang sedang terjadi kaitannya dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh penderita, sedangkan DRPs potensial yaitu masalah yang diperkirakan akan terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh penderita (Nita, 2004). b. Klasifikasi Klasifikasi Drug Related Problems menurut Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) tahun 2006 sebagai berikut: 1) Adverse Drug Reaction (Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki) Obat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Efek yang ditimbulkan dapat berupa alergi, non alergi, atau efek toksik. 2) Drug Use Problem (Masalah Terkait Penggunaan Obat) Termasuk dalam masalah terkait penggunaan obat yaitu obat tidak diambil atau tidak diberikan dan obat yang diambil atau diberikan salah. 10 3) Drug Choice Problems (Masalah Terkait Pemilihan Obat) Pasien mendapatkan obat yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan kondisi serta penyakit yang diderita. Obat yang diberikan tidak sesuai dengan indikasi, kontraindikasi dengan keadaan pasien, bentuk sediaan yang tidak tepat serta adanya duplikasi obat. 4) Dosing Problem (Masalah Terkait Dosis) Pemberian dosis obat yang kurang atau melebihi dari dosis yang dibutuhkan pasien. Termasuk frekuensi dan durasi yang kurang atau lebih. 5) Drug Interaction (Interaksi Obat) Terdapat interaksi aktual dan potensial. Interaksi dapat terjadi antara obat dengan obat lain atau obat dengan makanan. 6) Others (Masalah Lain) Keberhasilan terapi tidak tercapai meskipun obat yang digunakan tepat, kurangnya pengetahuan pasien mengenai penyakit yang diderita. (PCNE, 2006) 3. a. Interaksi obat Pengertian Interaksi obat adalah peristiwa pengubahan aksi suatu obat yang menyebabkan perubahan kadar suatu obat dalam darah akibat penggunan obat lain atau senyawa lain yang diberikan bersamaan (Helmyati et al., 2014). Hasil farmakologis akibat adanya interaksi obat yakni sebagai berikut: 1) Obat yang satu memperkuat efek obat yang lain sehingga efek total obat yang dihasilkan melebihi jumlah total efek kedua obat tersebut 2) Obat yang satu menghambat kerja obat yang lain, sehingga efeknya berkurang 3) Inaktivasi obat yang satu oleh obat yang lain menyebabkan obat pertama tidak/kurang memberikan efek yang diinginkan (Joenoes, 2009) 11 b. Mekanisme interaksi obat Secara garis besar mekanisme interaksi obat dapat dibedakan menjadi 3 mekanisme, yakni interaksi farmasetik atau inkompatibilitas, interaksi farmakokinetik, dan interaksi farmakodinamik (Setiawati, 2008). 1) Interaksi farmasetik atau inkompatibilitas Interaksi farmasetik merupakan interaksi fisiko-kimiawi antara suatu obat dengan obat lain sehingga menaikkan atau menghilangkan aktivitas farmakologi suatu obat (Helmyati et al., 2014). Interaksi berupa inkompatibilitas terjadi di luar tubuh, sebelum obat digunakan. Inkompatibilitas terjadi antara obat yang tidak dapat bercampur. Pencampuran obat menyebabkan tejadinya interaksi langsung baik secara fisik atau kimiawi (Setiawati, 2008). Interaksi fisik sangat bergantung terhadap sifat-sifat fisik obat dan bentuk sediaan yang diberikan. Interaksi kimiawi terjadi jika dua atau lebih obat dicampurkan sehingga membentuk zat baru dengan khasiat yang berbeda dari bahan asalnya (Joenoes, 2009). 2) Interaksi farmakokinetik Interaksi farmakokinetik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi atau mengubah proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dari obat lain (Helmyati et al., 2014). Interaksi ini menyebabkan kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun sehingga terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut (Setiawati, 2008). 3) Interaksi farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga mengakibatkan terjadinya efek aditif, sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam plasma (Setiawati, 2008). Menurut Tatro dalam Kigen et al (2011), klasifikasi keparahan interaksi obat terbagi menjadi 3 yaitu : a) Major : berhubungan dengan toksisitas yang signifikan secara klinis. b) Moderate : dapat menyebabkan penurunan status klinis. c) Minor : memiliki konsekuensi ringan dan tidak mempengaruhi hasil terapi. (Kigen et al., 2011) 12 E. Keterangan Empiris Berdasarkan hasil penelitian Alfiawati (2015), tentang evaluasi penggunaan obat pada pasien tukak peptik di instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2014 ditemukan kejadian ketidaktepatan pemberian dosis obat sebesar 96%. Data ketidaktepatan dosis tersebut meliputi dosis obat yang kurang atau berlebih. Berdasarkan hasil penelitian Abidullah et al (2013) di Pakistan ditemukan kejadian interaksi obat pada terapi tukak peptik sebanyak 27,64%. Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh data yang sesuai kriteria inklusi dan diharapkan dapat diketahui kejadian Drug Related Problems kategori ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih dan kategori interaksi obat potensial pada pasien dengan penyakit gangguan lambung di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2015.