pandangan sosioeskalasi pendidikan agama hindu

advertisement
PANDANGAN SOSIOESKALASI
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
OLEH:
I KADEK ABDHI YASA
NIM :15.1.2.5.2.0835
PROGRAM STUDI DHARMA ACARYA
PROGRAM MAGISTER
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2015
1
Pandangan Sosioeskalasi Pendidikan Agama Hindu
Oleh I Kadek Abdhi Yasa, S Pd H
Agama adalah sebuah pemandu dalam upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan
yang bermakna, damai, dan bermartabat. Menyadari bahwa peran agama amat penting bagi
kehidupan umat manusia, maka internalisasi agama dalam kehidupan pribadi menjadi sebuah
keniscayaan yang ditempuh melalui pendidikan, baik pendidikan di lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat. Ini menempatkan pendidikan agama pada posisi yang amat
penting dalam pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia. Seperti dijelaskan dalam Badan
Standar Nasional Pendidikan bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi
pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.
Eskalasi atau peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan
penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada
akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang
aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Pengembangan kurikulum dimaksudkan agar dapat memberi kesempatan kepada peserta
didik, antara lain belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, belajar
untuk memahami dan menghayati, belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara
efektif, belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan belajar untuk
membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan.
Kesempatan belajar ini pada dasarnya hendak memberi pengalaman-pengalaman
kepada peserta didik sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangannya.
Mengingat pendekatan yang digunakan adalah idealis-realis sehingga pengalaman empiris
juga menjadi sumber pengetahuan utama. Peserta didik bukan hanya belajar pengetahuan
tentang objek-objek yang berada di luar dirinya, melainkan juga pengetahuan mengenai
objek-objek yang dialaminya. Oleh karena itu, pada dasarnya kesempatan belajar
memberikan pengetahuan mengenai religiusitas dan spiritualitas, pengetahuan mengenai
kemampuan mengapresiasi dan memeribadikan perolehan, pengetahuan mengenai melakukan
melalui disiplin tindakan, pengetahuan mengenai kehidupan sosial dan budaya sehingga
norma dan nilai menjadi panduan utama setiap tindakan dan pengetahuan mengenai
kehadiran diri (sendiri) bersama orang lain. Artinya, pendidikan agama pada prinsipnya
hendak menjadikan peserta didik sebagai insan Tuhan, yakni makhluk yang berbudi pekerti.
Kenyataannya, budi pekerti merupakan suatu dimensi yang paling penting dalam dunia
manusia.
Bahwa budi pekerti manusia bukanlah nama yang dapat memberikan macam benda
apa manusia itu. Akan tetapi, itulah nama terbaik yang ada pada manusia yang kiranya lebih
baik daripada Pikiran atau Jiwa atau Pribadi atau “Aku” (Ego) atau Kehendak. Dalam
pengertian Budi Pekerti terkandung sifat-sifat manusia seluruhnya – pikiran, perasaan, dan
kehendak. Nama itu meliputi segala-galanya, seperti yang baik, yang buruk, dan yang baik
tidak burukpun tidak. Jadi, tidak ada suatu kata tersendiri untuk menunjukkan substansi
manusia ini, kumpulan yang mengherankan yang meliputi pikiran, perasaan, kecemasan,
harapan, kebiasaan, dan kesadaran.
Pendidikan Agama Hindu merupakan satu mata pelajaran dalam pengembangan
Kurikulum pendidikan di Indonesia, hal ini merupakan usaha yang dilakukan secara sadar,
terencana, dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik
2
untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak
mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Hindu. Kurikulum
Pendidikan Agama Hindu yang berbasis standar kompetensi dan kompetensi dasar
mencerminkan kebutuhan keragaman kompetensi secara nasional. Standar ini diharapkan
dapat digunakan sebagai kerangka acuan dalam mengembangkan Kurikulum Pendidikan
Agama Hindu sesuai dengan kebutuhan daerah ataupun sekolah. Pendidikan agama hindu
memiliki tujuan serta eskalasi dalam membetuk karakter siswa hindu antara lain
a. Tujuan Pendidikan Agama Hindu
Secara umum tujuan penedidikan agama hindu dimaksudkan agar peserta didik
memiliki kemampuan, antara lain menumbuh kembangkan dan meningkatkan kualitas Sradha
dan Bhakti melalui pemberian, pemupukan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama.
Meningkatkan sradha dan bhakti dalam pembangunan insan Hindu yang dapat mewujudkan
nilai-nilai moksartham jagadhita dalam kehidupan memerlukan penjabaran lebih lanjut, agar
dapat dilaksanakan dalam dunia praktik sebagai proses pembelajaran. Sradha merupakan lima
keyakinan Hindu, brahman, atman, karma phala, punarbhawa, dan moksa, karena itu lebih
dikenal panca sradha. Bhakti merupakan basis pelayanan yang diekspresikan dalam bentuk
panca yadnya, yaitu dewa yadnya, pitra yadnya, resi yadnya, bhuta yadnya, dan manusa
yadnya.
Secara khusus tujuan pendidikan Agama Hindu sesungguhnya terkandung dalam
ajaran Catur Purusa Artha yaitu empat tujuan hidup umat Hindu. Antara lain Dharma, Artha,
Kama dan Moksa. Untuk mencapai artha dan kama maka hendaknya dharmalah yang dicari
terlebih dahulu sebagai landasan untuk meraih artha dan kama. Setelah semua itu tercapai
barulah menapaki ke jenjang Wanaprastha untuk melepaskan diri dari ikatan duniawi dan
akhirnya mencapai tujuan akhir yaitu moksartham jagadhita ya ca iti dharma.
Tujuan pendidikan agama Hindu telah dirumuskan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia
Pusat melalui seminar kesatuan tafsir (1985) terhadap aspek-aspek agama Hindu (Titib, 2002:
18), sebagai berikut :
a) Menanamkan ajaran agama Hindu menjadi keyakinan dan landasan segenap kegiatan
umat Hindu dalam semua perikehidupannya.
b) Ajaran agama Hindu mengarahkan pertumbuhan tata kemasyarakatan umat Hindu
hingga serasi dengan Pancasila, dasar negara Republik Indonesia.
c) Menyerasikan dan menyeimbangkan pelaksanaan bagian-bagian ajaran agama Hindu
dalam masyarakat antara tatwa , susila dan upacara.
d) Untuk mengembangkan hidup rukun antar umat berbagai agama.
Tentunya dari pemaparan tentang tujuan pendidikan tersebut diharapkan dapat
mengembangkan; serta membangun insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai
Moksartham Jagathita dalam kehidupannya. Dengan demikian, Insan Hindu adalah mereka
yang memiliki keyakinan terhadapa ajaran agama hinsu seperti catur purusa artha, panca
sradha yang dipraktikkan dalam dunia kehidupan empiris sebagai bakti pelayanan dalam
rangka mewujudkan keselarasan dan keharmonisan, baik horizontal (jagadhita) maupun
vertikal (moksartham). Artinya, kayakinan sradha yang diajarkan melalui tattwa agama dan
bakti pelayanan yang diajarkan melalui acara agama pada dasarnya merupakan landasan bagi
pembangunan manusia susila. Manusia susila inilah yang dimaksudkan dengan manusia yang
memiliki kualitas sradha dan bhakti yang mampu mewujudkan nilai-nilai jagadhita dan
moksartham. Jadi, manusia susila inilah tujuan pendidikan agama Hindu di Sekolah.
Kembali kepada tujuan umumpendidikan agama hindu disebutkan bahwa tujuan
secara umum pendidikan agama Hindu di sekolah adalah “menumbuh kembangkan dan
meningkatkan kualitas Sradha dan Bhakti melalui pemberian, pemupukan, penghayatan, dan
3
pengamalan ajaran agama”. Rumusan tujuan ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan menumbuhkembangkan kualitas sradha dan bhakti berarti, kurikulum pendidikan
agama Hindu disusun dan dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa sradha dan bhakti itu
merupakan suatu kualitas dalam bentuk benih sehingga dapat ditumbuhkembangkan.
Penumbuhkembangannya dilakukan dengan pemberian, pemupukan, penghayatan, dan
pengamalan ajaran agama Hindu. Ini merupakan cara-cara yang paling mungkin yang dapat
dilakukan, walaupun bukan berarti cara-cara lain sama sekali tertutup. Melainkan cara-cara
lain dapat ditempuh sesuai dengan kebutuhan nyata pertumbuhan dan perkembangan peserta
didik, sebagaimana teridentifikasi oleh guru-guru pendidikan agama Hindu dalam
pengalaman praksisnya. Sebaliknya, meningkatkan sradha dan bhakti berarti, kurikulum
pendidikan agama Hindu juga disusun dan dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa sradha
dan bhakti itu merupakan suatu kualitas yang berada pada posisi rendah sehingga perlu
ditingkatkan. Peningkatannya dilakukan dengan pemberian, pemupukan, penghayatan, dan
pengamalan ajaran agama Hindu. Jadi, sradha dan bhakti menjadi tumpuan pengembangan
kurikulum pendidikan agama Hindu dan karenanya kedua aspek ini merupakan dimensi
ontologis pendidikan agama Hindu.
Selanjutnya, kata “pemberian”, “pemupukan”, “penghayatan”, dan “pengamalan”
(ajaran agama Hindu) merupakan cara-cara yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan,
mengembangkan, dan meningkatkan sradha dan bhakti. Ini merupakan landasan pendidikan
agama Hindu dari dimensi epistemologis. Dengan kata “pemberian” yang dimaksudkan
adalah proses tranformasi pengetahuan agama dari guru kepada peserta didik dalam suasana
belajar dan proses pembelajaran. Pilihan metode yang mendekati tepat untuk pembelajaran
ini adalah ceramah atau dharma wacana. Dengan kata “pemupukan” dimaksudkan adalah
memberikan zat penyubur agar benih dapat tumbuh dan berkembang dengan normal. Pilihan
metode pembelajaran yang mendekati tepat adalah pemberian tugas yang juga dimaksudkan
sebagai upaya pengayaan dan perbaikan. Dengan kata “penghayatan” dimaksudkan adalah
penginternalisasian materi ajar, agar menjadi pribadi peserta didik yang dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari (sosial dan budaya). Metode pembelajaran yang mendekati tepat dapat
digunakan perenungan dan demonstrasi sebagai disiplin tindakan dalam praktik-praktik
kehidupan keagamaan. Selain itu, juga dapat digunakan metode diskusi dan tanya-jawab
(dharma tula). Kemudian, dengan kata “pengamalan” dimaksudkan adalah sebagai upaya
pengembangan diri dalam pengalaman kehidupan keagamaan. Pengalaman keberagamaan
yang memungkinkan peserta didik menjadi insan-insan Hindu dengan kualitas sradha dan
bhakti yang secara nyata dapat didemontrasikan dalam kehidupan sosial dan budaya. Metode
pembelajaran yang mungkin mendekati tepat dapat digunakan pemberian tugas mandiri dan
kerja kelompok dalam pelaksanaan upacara keagamaan (misalnya, tirtha-yatra).
Pada tujuan kedua yaitu tujuan khusus disebutkan bahwa tujuan pendidikan agama
Hindu adalah membangun insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai Moksartham
Jagadhita dalam kehidupannya. Mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagadhita dalam
kehidupan merupakan dimensi aksiologis pendidikan agama Hindu. Dimensi ini lebih
menekankan pentingnya kegunaan nilai-nilai pendidikan agama Hindu dalam praktik
kehidupan empiris sehari-hari. Seperti telah dijelaskan di atas moksartham merupakan
dimensi kehidupan berkaitan dengan hubungan manusia secara vertikal, yakni dengan Tuhan
sebagaimana kayakinan sradha dan bhakti pelayanan yang diajarkan agama Hindu.
Sebaliknya, jagadhita merupakan dimensi kehidupan berkaitan dengan hubungan manusia
secara horizontal, yakni hubungan antara manusia dengan sesama sebagaimana kayakinan
sradha dan bakti pelayanan yang diajarkan agama Hindu.
Kedua dimensi ini pada gilirannya akan bermuara pada pembangunan manusia susila
sebagai dimensi ketiga. Dikatakan demikian karena hanya manusia susila yang mampu
4
mewujudkan nilai-nilai jagadhita dan moksartham, baik dalam kehidupan individual maupun
sosial secara normal dan sempurna. Walaupun demikian, ketiga dimensi ini (tattwa, susila,
dan acara) merupakan satu-kesatuan yang bulat dan utuh atau ketiganya merupakan dimensi
teratur-setimbang dalam tatanan holistik dan komprehensif. Dari tattwa mengalir nilai
kebenaran (sathyam); dari susila mengalir nilai kebajikan dan kebijaksanaan (siwam); dan
acara mengalirkan nilai keindahan dan kebahagiaan (sundaram). Dengan demikian, yang
dimaksudkan dengan insan Hindu adalah manusia yang memiliki integritas kepribadian, yaitu
integrasi holistik dan komprehensip kebenaran-kebijaksanaan-kebahagiaan. Dalam kehidupan
empiris teridentifikasi menjadi manusia susila, yaitu manusia bijaksana, manusia
berkesadaran Dharma.
b. Pendidikan Agama Hindu dalam eskalasi Kepribadian insan Hindu
Basement ajaran agama Hindu terdiri dari bagian yang disebut dengan Tri Kerangka
Agama Hindu. Tri Kerangka Agama Hindu itu sendiri dibagi menjadi 3 bagian antara lain
Tattwa ( filsafat), Susila ( Etika), dan Acara ( Ritul). Dari ketiga kerangka tersebut, dapat
dikembangkan menjadi beberapa ajaran agama Hindu yang kemudian diaplikasikan kedalam
sebuah praktek upakara atau simbol-simbol yang mencerminkan makna dari ajaran agama
tersebut.Jika diibaratkan tattwa itu adalah kepala, susila adalah hati, upacara adalah tangan
dan kaki agama. Dapat juga diandaikan sebagai sebuah telor, sarinya adalah tatwa, putih
telornya adalah susila dan kulitnya adalah upacara. Telor ini akan busuk jika satu dari bagian
ini tidak sempurna. Maka dari itu, ketiga kerangka ini haruslah seimbang.
Banyak tattwa yang mampu membuat seseorang menjadi berubah kearah yang lebih
positif bila saja seseorang itu mampu memaknai tattwa tersebut dan mampu disesuaikan
dengan kehidupan yang sekarang. Contoh yang sehari-hari kita dengar yaitu ucapan Om
Swastyastu. Andai saja ucapan ini dapat dipahami dan dimaknai oleh seorang siswa, pastinya
akan ada suatu anugrah, berkah dan timbulnya aura positif dari ucapan yang sangat dalam
tattwanya (filsafatnya). Kata Om merupakan aksara suci untuk Sang Hyang Widhi Wasa,
Swastyastu berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya semoga selalu berada dalam keadaan
yang baik atas karunia Hyang Widhi. Sungguh luar biasa makna dibalik kata yang sederhana
di atas. Tapi seakan-akan orang-orang atau khususnya para siswa, hanya sekedar
mengucapkannya sebagai salam saja tanpa mengetahui makna dibalik kata-kata tersebut.
Sama halnya dengan mengucapkan mantram-mantram suci ketika bersembahyang. Bila
diucapkan dengan sungguh pasti akan timbul suatu getaran sehingga persembahyangan
tersebut akan terasa sangat hikmat. Dari hal-hal tersebut secara tidak langsung akan
mempengaruhi psikologi seseorang dengan adanya keyakinan akan Beliau, pastinya akan
muncul pemikiran-pemikiran positif sehingga mampu untuk berbuat yang positif pula. Hal
apapun menyangkut tattwa tentang ketuhanan haruslah diajarkan sejak dini kepada si anak.
Dan disekolah pun guru-guru harus mampu memberikan pesan-pesan yang menyangkut
tentang ajaran agama terutama kepercayaan terhadap Hyang Widhi haruslah ditingkatkan.
Dengan kepercayaan dan kepahaman akan adanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
maka akan timbul pemikiran positif yang akhirnya mampu diterapkan oleh para insan hindu
dalam hal ini tidak lain adalah siswa hindu kedalam sebuah tindakan konkret pastinya
tindakan konkret tersebut haruslah bersifat positif. Dalam agama Hindu tingkah laku yang
baik disebut dengan susila. Agama merupakan dasar tata susila yang kokoh dan kekal. Ibarat
bangunan jika landasan/pondasinya tidak kokoh maka niscaya bangunan tersebut akan mudah
roboh. Hal inilah yang harus diresapi oleh semua orang khususnya para siswa sebagai
generasi bangsa. Banyak kejadian-kejadian yang terjadi akibat dari perbuatan yang
melanggar dari ajaran tata susila.
5
Banyak siswa yang melanggar norma-norma sehingga bertindak diluar dari ajaran
agama. Misal saja adanya genk motor yang ujung-ujungnya terjadi perkelahian. Adanya
tawuran antar pelajar, siswa yang memakai narkoba, memperkosa, membunuh dan yang
sering terjadi adalah kasus pencurian dengan berbagai macam alasan. Mengapa siswa tersebut
melakukan hal seperti itu? Dari berbagai kejahatan tersebut, tentu dapat dipastikan salah satu
faktornya adalah semakin terdegradasinya moral serta etika di dalam diri para siswa.
Disinilah peran pendidikan agama Hindu yang notabene dibagi menjadi 2 yaitu
pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal tentu saja didapat dari proses
pembelajaran agama Hindu oleh guru. Pendidikan yang dari sekolah tersebut, pada umumnya
hanya bersifat teoritis yang dalam mekanisme pembelajarannya adalah menyampaikan pesan
moral, budi pekerti, tata susila, dan makna-makna ajaran agama Hindu yang diharapkan
mampu mendoktrin pikiran para siswa agar tidak melanggar dari apa yang diajarkan oleh
agama Hindu. Contoh, adanya ajaran Tat Twam Asi, Ahimsa yang mengajarkan para siswa
untuk memiliki sifat welas asih dan tidak menyakiti atau pun membunuh makhluk lainnya.
Diajarkan pula dalam agama Hindu agar para siswa berbuat, berbicara dan berpikir yang baik
yang disebut dengan Tri Kaya Parisudha. Banyak ajaran agama Hindu yang seharusnya
mampu mendoktrin pemikiran para siswa.
Jikalau pendidikan formal belum mampu untuk mendoktrin pikiran siswa agar tidak
menyimpang dari ajaran agama, ada hal lain yang dapat digunakan sebagai penunjang dari
pendidikan formal tersebut yaitu pendidikan non formal. Dalam pendidikan ini yang pertama
perlu disorot adalah bagaimana caranya suatu keluarga (orang tua) menanamkan ajaranajaran agama Hindu kepada anaknya sejak dini.
Bila sejak dini sudah diajarkan, pastinya kita berharap agar ketika anak itu dewasa,
akan muncul karakter yang baik. Kegiatan-kegiatan yang bersifat sosioreligius harusnya
mampu untuk membentuk kepribadian siswa agar menjadi lebih baik. Contohnya seperti
kegiatan ngayah di Pura. Disamping kita dapat bersosialisasi dengan orang lain, dapat
beradaptasi dengan keadaan dan lingkungan, serta dapat pula meningkatkan ketrampilan
dalam membuat sarana upakara seperti membuat penjor, tipat, membuat canang, banten dan
lain sebagainya. Dengan kegiatan-kegiatan positif ini, disamping pembentukan karakter yang
baik, tetapi juga mampu untuk mengisi waktu luang siswa agar tidak terisi oleh kegiatankegiatan negatif. Disekolah pun harus meningkatkan ekstrakurikuler keagamaan sebut saja
Dharma Gita, Dharma Wacana, praktek upakara mejejaitan. Dan sekolah harus membuat
program-program yang bersifat sosioreligius. Dengan berbagai hal yang dipersepsikan di atas
mengenai ajaran agama Hindu, diharapkan agar mampu membentuk kepribadian yang baik
dan mempu mengikis sedikit demi sedikit krisis moral yang terjadi selama ini terutama
dikalangan siswa. Karena kembali ke awal tujuan pendidikan adalah disamping cerdas secara
intelektual, tapi juga harus membentuk karakter yang positif.
DAFTAR BACAAN
1. Rai Sidharta, Tjok dan Oka Punia Atmaja, 2001. Upadesa Tentang Ajaran-Ajaran Agama
Hindu. Denpasar : Paramita.
2. Sumantra, I Nengah. 2009. Dasar-dasar Pendidikan Agama Hindu (Bahan Ajar untuk
Mahasiswa IHDN Denpasar)
3. Aripta Wibawa, I Made. 2005. Siapakah yang Disebut Guru. Denpasar. Panakom.
4. Bidja, I Made. 2006. Serba-Serbi Dharma Wacana. Denpasar : Panakom.
5. Made Madrasita, Ngakan dan Putu Reni, Sang Ayu. 1999. Mahatma Gandhi Kepada
Mahasiswa dan Generasi Muda Hindu. Denpasar. Manikgeni.
6. Subagiasta, I Ketut. 2007. Etika Pendidikan Agama Hindu. Denpasar. Paramita.
6
7. Sudarsana, I. K. (2014). PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN UPAKARA
BERBASIS NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK MENINGKATKAN
PERILAKU KEWIRAUSAHAAN: Studi pada Remaja Putus Sekolah di Kelurahan
Peguyangan Kota Denpasar.
8. Sudarsana, I. K. (2015). PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
DALAM UPAYA PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA. Jurnal
Penjaminan Mutu, (Volume 1 Nomor 1 Pebruari 2015), 1-14.
9. Sudarsana, I. K. (2016). DEVELOPMENT MODEL OF PASRAMAN KILAT
LEARNING TO IMPROVE THE SPIRITUAL VALUES OF HINDU YOUTH.
Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(2), 217-230.
10. Sudarsana, I. K. (2016). PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN DALAM BUKU
LIFELONG LEARNING: POLICIES, PRACTICES, AND PROGRAMS (Perspektif
Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia). Jurnal Penjaminan Mutu, (2016), 44-53.
11. Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2007. Widya Dharma Agama Hindu untuk SMA. Jakarta, Ganeca.
7
Download