Agency Theory

advertisement
BAB II
Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Perusahaan merupakan tempat dimana berkumpulnya pihak-pihak dengan
tujuan yang sama, namun seringkali adanya perbedaan pandangan. Perbedaan
pandangan akan berdampak pada tujuan perusahaan. perbedaan tujuan perusahaan
biasanya terjadi pada manajer maupun investor. Para manajer diberi kekuasaan oleh
para pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham untuk membuat keputusan dimana
hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori
keagenan (Brigham dan Houston, 2010:26).
Jensen dan Meckling (1976), teori keagenan adalah teori yang menjelaskan
agency relationship dan masalah – masalah yang ditimbulkannya. Agency
relationship adalah hubungan yang terjadi antara principal dan agent dalam
bertransaksi dengan pihak ke tiga. Principal dan agent yang dimaksud dalam
agency relationship pada suatu perusahaan adalah manajer dan investor yang pada
kenyataannya mempunyai perbedaan pendapat dalam mencapai tujuan perusahaan.
Jensen dan Meckling (1976), adanya informasi yang tidak seimbang juga akan
mempersulit pemegang saham dalam melakukan pengawasan dan pemantauan
kepada manajer sehingga akan menimbulkan dua masalah, yaitu:
14
1) Moral Hazard, yaitu permasalahan yang timbul ketika agent atau manajer
tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak
kerja.
2) Adverse Selection, yaitu suatu keadaan dimana pemilik tidak dapat
mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh manajer benar-benar
didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai
suatu kelalaian dalam menjalankan tugas.
Konflik keagenan (agency conflict) muncul dalam dua bentuk, yaitu antara
pemilik perusahaan (principals) dengan pihak manajemen (agent), dan antara
pemegang saham dengan pemegang obligasi (Husnan dan Pudhiastuti, 2006:12).
Konflik antara pemilik perusahaan dengan pihak manajemen lebih sering terjadi
karena manajer mempunyai kepentingan sendiri yan gtidak menguntungkan pihak
pemegang saham. Pengawasan dan pemantauan dalam mengurangi konflik antara
manajemen dan investor ini pasti akan menimbulkan biaya (agency cost).
Agency cost adalah biaya yang dikeluarkan pemilik untuk mengatur dan
mengawasi kinerja para manajer sehingga mereka bekerja untuk kepentingan
perusahaan (Nur’aeni, 2010). Jensen dan Meckling (1976), terdapat tiga macam
biaya keagenan yaitu:
1) Monitoring Cost, yaitu biaya yang dikeluarkan dengan tujuan untuk
membatasi penyimpangan yang dilakukan oleh pihak manajer dengan
memonitor aktivitas yang dilakukan oleh manajer.
15
2) Bonding Cost, dalam beberapa situasi tertentu pihak agent diberikan
kesempatan untuk membelanjakan sumber daya perubahan yang diharapkan
dapat menjamin bahwa manajer tidak akan merugikan pemilik.
3) Residual Cost, merupakan nilai uang yang ekuivalen dengan kesejahteraan
yang dialami oleh pemilik, biaya ini dianggap sebagai biaya yang timbul
dari hubungan keagenan dan dinamakan biaya kerugian residual.
2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory)
Bringham dan Houston (2010) menyatakan bahwa perusahaan dengan profit
yang konsisten memberikan sinyal positif bagi investor bahwa perusahaan tidak
mudah mengalami kebangkrutan yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan
harga saham. Memberikan informasi ke publik mengenai laporan keuangan yang
menunjukkan kebijakan-kebijakan yang diambil
perusahaan akan dapat
menumbuhkan kepercayaan pihak luar terhadap perusahaan tersebut.
Signaling theory menjelaskan mengenai model penerimaan informasi baik
secara simetri maupun asimetri terkait pengaruh dengan variasi cross sectional
dalam pemilihan kebijakan keuangan (Pujiati dan Widanar, 2006). Adanya
informasi asimetri antara perusahaan dengan pihak luar maka perusahaan
memberikan sinyal berupa laporan keuangan perusahaan karena perusahaan lebih
mengetahui tentang perusahaannya sendiri. Investor cenderung lebih melindungi
diri dalam mengambil keputusan apabila kurang memiliki informasi mengenai
perusahan, hal ini akan mengakibatkan penurunan harga saham pada perusahaan
tersebut.
16
Hasnawati (2005) menyatakan dalam teori sinyal dijelaskan tentang
hubungan antara pengeluaran investasi dan juga nilai perusahaan, dimana
pengeluaran investasi memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan
dimasa yang akan datang, sehingga dapat meningkatkan harga sebagai indikator
nilai perusahaan. Sinyal ini dapat berupa informasi dan promosi dari manajemen
mengenai apa yang sudah dilakukan untuk merealisasikan keinginan pemegang
saham, serta menunjukkan kepada calon investor bahwa perusahaan mereka tepat
sebagai alternatif investasi (Fenandar dan Surya, 2012).
Fenandar dan Raharja (2012) menyatakan laporan keuangan berisi berbagai
informasi yang diperlukan para investor dan pihak manajemen dalam mengambil
berbagai keputusan, seperti keputusan investasi, keputusan pendanaan, dan
kebijakan
dividen.
mencerminkan
Integritas
nilai
informasi
perusahaan
dalam
merupakan
laporan
sinyal
keuangan
positif
yang
yang
dapat
mempengaruhi opini investor dan kreditor serta pihak-pihak lain yang
berkepentingan. Susilowati dan Turyanto (2011) menyatakan teori sinyal ini
membahas bagaimana seharusnya sinyal-sinyal keberhasilan atau kegagalan
manajemen (agent) disampaikan kepada pemilik modal (principle). Penyampaian
laporan keuangan dapat dianggap sebagai sinyal, yang berarti bahwa apakah agent
telah berbuat sesuai dengan kontrak atau belum.
2.1.3 Nilai Perusahaan
Secara normatif tujuan manajer dalam keputusan keuangan adalah untuk
memaksimumkan nilai perusahaan atau memaksimumkan kemakmuran pemegang
saham. Nilai perusahaan adalah harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli
17
apabila perusahaan dijual (Husnan dan Pudjiastuti, 2006:6). Semakin tinggi nilai
perusahaan, semakin besar kemakmuran yang akan diterima oleh pemilik
perusahaan (Wiagustini, 2010:8). Nilai perusahaan sangat penting karena
mencerminkan seberapa besar perusahaan tersebut dapat memberikan keuntungan
bagi investor.
Nilai perusahaan sangat penting karena mencerminkan kinerja perusahaan
yang dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap perusahaan. Untuk dapat
memaksimalkan nilai perusahaan maka manajer dihadapkan pada keputusan
keuangan yang meliputi keputusan investasi, keputusan pendanaan dan keputusan
yang menyangkut pembagian laba (Van Horne, 2001). Nilai perusahaan pada
dasarnya diukur dari beberapa aspek salah satunya adalah harga pasar saham
perusahaan, karena harga pasar saham perusahaan mencerminkan penilaian
investor atas keseluruhan ekuitas yang dimiliki (Wahyudi dan Pawestri, 2006).
Christiawan dan Josua (2007), terdapat beberapa konsep nilai yang
menjelaskan nilai suatu perusahaan antara lain:
1) Nilai nominal yaitu nilai yang tercantum secara formal dalam anggaran
dasar perseroan, disebutkan secara eksplisit dalam neraca perusahaan, dan
juga ditulis jelas dalam surat saham kolektif.
2) Nilai pasar sering disebut kurs adalah harga yang terjadi dari proses tawar
menawar di pasar saham. Nilai ini hanya bisa ditentukan jika saham
perusahaan dijual dipasar saham.
3) Nilai intrinsik merupakan nilai yang mengacu pada perkiraan nilai riil suatu
perusahaan. Nilai perusahaan dalam konsep nilai intrinsik ini bukan sekedar
18
harga dari sekumpulan aset, melainkan nilai perusahaan sebagai entitas
bisnis yang memiliki kemampuan menghasilkan keuntungan di kemudian
hari.
4) Nilai buku adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan dasar konsep
akuntansi.
5) Nilai likuidasi adalah nilai jual seluruh aset perusahaan setelah dikurangi
semua kewajiban yang harus dipenuhi. Nilai sisa itu merupakan bagian para
pemegang saham. Nilai likuidasi bisa dihitung berdasarkan neraca yang
disiapkan ketika suatu perusahaan akan dilikuidasi.
Nilai perusahaan dapat dilihat dari Price Book Value (PBV) yang
merupakan perbandingan antara harga saham dengan nilai buku per lembar saham.
Price book value merupakan rasio antara harga perlembar saham dengan nilai buku
perlembar saham. Nilai buku dapat dicari dengan cara modal dibagi dengan jumlah
saham yang beredar. Nilai buku per lembar saham menunjukkan jumlah rupiah
yang akan dibayarkan kepada setiap lembar saham apabila perusahaan pada saat itu
dibubarkan dengan anggapan bahwa semua aktiva dapat direalisir atau dijual
dengan harga yang sama dengan nilai bukunya atau menunjukkan jumlah rupiah
aktiva perusahaan yang menjadi hak setiap lembar saham (Munawir, 2010).
Murhadi (2009) menyatakan ada beberapa alasan mengapa investor
menggunakan rasio harga terhadap nilai buku (PBV) dalam analisis investasi:
pertama, nilai buku sifatnya relatif stabil, bagi investor yang kurang percaya
terhadap estimasi arus kas, maka nilai buku merupakan cara paling sederhana untuk
membandingkannya. Kedua, adanya praktik akuntansi yang relatif standar diantara
19
perusahaan-perusahaan menyebabkan PBV dapat dibandingkan antar berbagai
perusahaan yang akhirnya dapat memberikan sinyal apakah nilai perusahaan under
atau overvaluation (Murhadi, 2009). Terakhir, pada kasus perusahaan yang
memiliki earnings negative maka tidak memungkinkan untuk mempergunakan
PER, sehingga penggunaan PBV dapat menutupi kelemahan PER (Murhadi, 2009).
2.1.4 Struktur Kepemilikan
Sartono (2000: 10) menyatakan agency problem adalah konflik yang timbul
antara pemilik, karyawan, dan manajer perusahaan dimana ada kecenderungan
manajer lebih mementingkan tujuan individu daripada tujuan perusahaan. Masalah
keagenan (agency problem) muncul dalam yaitu antara pemilik perusahaan
(principals) dengan pihak manajemen (Husnan dan Pudjiastuti: 2006: 10). Konflik
antara hubungan dari pihak-pihak di dalam perusahaan terjadi karena adanya
ketidaksamaan tujuan baik antara pemilik, karyawan, dan manajer. Masalah
keagenan ini diharapkan dapat diatasi dengan struktur kepemilikan.
Struktur kepemilikan adalah perbandingan antara jumlah saham yang
dimiliki orang dalam (insider ownership) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh
investor (Kartini dan Arianto, 2009). Adanya struktur kepemilikan dapat
berpengaruh terhadap perkembangan kinerja
perusahaan karena adanya
pengawasan yang dimiliki oleh pemegang saham sehingga mampu meningkatkan
nilai perusahaan dan memperbaiki kinerja keuangan. Tingkat konsentrasi dan
komposisi kepemilikan menentukan distribusi kekuasaan perusahaan antara
manajer dan pemegang saham yang pada dirinya akan mempengaruhi sifat
20
pengambilan keputusan yang berpengaruh pada perkembangan perusahaan (Sutedi,
2012).
Terdapat dua sudut pandang terkait struktur kepemilikan (Noviawan dan
Septiani, 2013), yaitu:
1) Pendekatan keagenan (agency approach), yaitu pendekatan yang
menganggap bahwa struktur kepemilikan sebagai sebuah alat untuk
mengurangi konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.
2) Pendekatan
ketidakseimbangan
informasi
(asymmetric
information
approach), yaitu pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang
mekanisme struktur kepemilikan sebagai suatu cara untuk mengurangi
ketidakseimbangan informasi antara insiders dan outsiders melalui
pengungkapan informasi di dalam pasar modal.
Jumlah pemegang saham besar mempunyai arti penting dalam memonitor
perilaku manajer dalam perusahaan (Susanti, 2011). Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam struktur kepemilikan, antara lain (Nur’aeni, 2010) :
1) Kepemilikan sebagian kecil perusahaan oleh manajemen mempengaruhi
kecenderungan untuk memaksimalkan nilai pemegang saham dibanding
sekedar mencapai tujuan perusahaan semata.
2) Kepemilikan yang terkonsentrasi memberi insentif kepada pemegang
saham mayoritas untuk berpartisipasi secara aktif dalam perusahaan.
3) Identitas pemilik menentukan prioritas tujuan sosial perusahaan dan
maksimalisasi nilai pemegang saham, misalnya perusahaan milik
21
pemerintah cenderung untuk mengikuti tujuan politik dibanding tujuan
perusahaan.
Pujiati dan Widanar (2009) menyatakan, berdasarkan atas proporsi saham
yang dimiliki dalam suatu perusahaan struktur kepemilikan dikelompokkan
menjadi:
2.1.4.1 Kepemilikan Manajerial
Pada umumnya, manajer dapat diartikan sebagai setiap orang yang
mempunyai tanggung jawab atas bawahan dan sumber daya organisasi lainnya
(Handoko, 2003). Noviawan (2013) menyatakan manajerial berarti suatu sistem
yang mengatur hubungan antara manajer dengan bawahan dan sumber daya
organisasi lainnya. Manajer dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu manajer lini
(supervisor dan mandor), manajer menengah (kepala seksi), dan manajer puncak
(direksi dan komisaris).
Perbedaan tujuan antara manajer dengan pemegang saham mengakibatkan
timbulnya konfilk keagenan yang ada di dalam teori keagenan. Masalah keagenan
dapat diminimalisir dengan adanya kepemilikan manajerial. Kepemilikan
manajerial merupakan pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif
ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (Wahidahwati, 2002). Hal ini
sangat membantu perusahaan dalam menyamakan tujuan perusahaan karena
pemegang saham dari dalam perusahaan ikut serta merasakan hasil keputusan yang
diambil sehingga dapat menyatukan tujuan dari manajemen maupun pemegang
saham.
22
Kepentingan manajerial akan menyejajarkan kepentingan manajemen dan
pemegang saham sehingga akan memperoleh manfaat langsung dari keputusan
yang diambil serta menanggung kerugian dari pengambilan keputusan yang salah
(Wongso, 2012). Jensen and Meckling (1976) menyatakan kepemilikan manajer
akan saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan
kepentingan antara pemegang saham diluar manajemen sehingga permasalahan
keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sebagai
seorang pemilik.
Secara teoritis ketika kepemilikan manajerial rendah maka insentif untuk
memonitor terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan
meningkat (Nur’aeni, 2010). Manajer harus lebih tegas dalam mengambil
keputusan karena akan berdampak bagi dirinya sendiri yang dimana manajer
merupakan sekaligus pemilik dari saham tersebut. Selain itu, manajer harus mampu
bertanggung jawab mencapai tujuan tersebut yaitu menyamakan keuntungan
manajer dan pemegang saham.
Apabila kepemilikan manajerial kecil berarti hanya sedikit jumlah
pemegang saham yang ikut terlibat dalam mengelola perusahaan sehingga semakin
tinggi pula kemungkinan munculnya masalah keagenan karena adanya perbedaan
kepentingan antara pemegang saham dengan pengelola perusahaan yang semakin
besar (Nur’aeni, 2010). Hal berbeda yang dikatakan Grosman dan Hart (1982 dalam
Zulhawati, 2004) menyatakan bahwa tingkat kepemilikan insider yang terlalu tinggi
berdampak buruk terhadap perusahaan, ini dikarenakan pemegang saham kesulitan
kontrol. Manajer mempunyai hak suaara yang tinggi atas kepemilikan yang tinggi,
23
jadi pengendalian perusahaan akan berpindah dari outsider ke insider. Proporsi
kepemilikan saham oleh manajer harus ditentukan dengan tepat sehingga
memberikan dampak positif bagi perusahaan dalam hal kaitannya dengan kebijakan
yang merupakan otoritas manajer sebagai pengelola.
2.1.4.2 Kepemilikan Institusional
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan teori keagenan (Agency Theory)
adalah suatu teori yang menjelaskan hubungan kerjasama antara principal (pemilik
perusahaan) dan agent (manajemen perusahaan), dimana principal mendelegasikan
wewenang kepada agent untuk mengelola perusahaan dan mengambil keputusan.
Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi alat monitoring yang
efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer (Tarjo, 2008).
Kepemilikan institusional merupakan pemegang saham dari pihak luar perusahaan
yang turut mengawasi kinerja perusahaan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan
dalam manajemen.
Putri (2013) menyatakan investor institusional dibedakan menjadi dua yaitu
investor pasif dan investor aktif. Investor aktif merupakan investor yang aktif
terlibat dalam pengambilan keputusan strategi perusahaan. Sedangkan, investor
pasif merupakan investor yang tidak terlalu ingin terlibat dalam keputusan
perusahaan.
Pemegang saham institusional biasanya berbentuk entitas seperti
perbankan, asuransi, dana pensiun, reksa dana dan institusi lain. Investor
institusional umumnya merupakan pemegang saham yang cukup besar karena
memiliki pendanaan yang besar. Semakin besar tingkat kepemilikan saham
24
institusional semakin besar pula pengawasan yang dilakukan untuk menghalangi
perilaku oportunistik manajer (Dian dan Lidyah, 2013).
Semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin kuat kontrol
eksternal terhadap perusahaan dan mengurangi biaya keagenan, sehingga dapat
meningkatkan nilai perusahaan. Adanya kontrol yang ketat, menyebabkan manajer
menggunakan hutang pada tingkat rendah untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya financial distress dan risiko kebangkrutan (Crutchley et all. 1999).
Keberadaaan investor institusional dianggap mampu mengoptimalkan pengawasan
kinerja manajemen dengan memonitoring setiap keputusan yang diambil oleh pihak
manajemen selaku pengelola perusahaan (Wiranata dan Nugrahanti, 2013).
Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa, kepemilikan institusional
memiliki peranan yang penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang
terjadi diantara pemegang saham dengan manajer. Permanasari (2010) menyatakan
kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain:
1) Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat
menguji keandalan informasi.
2) Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat
atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
Wulandari (2005) menyatakan bahwa, struktur kepemilikan perusahaan
publik di Indonesia sangat terkonsentrasi pada institusi. Cruthley et all. (1999)
menyatakan bahwa monitoring yang dilakukan institusi mampu mensubtitusi biaya
keagenan lain sehingga biaya keagenan menurun dan nilai perusahaan meningkat.
Dengan demikian semakin minimnya konflik keagenan akan membuat perusahaan
25
mempunyai keuntungan lebih dan dapat kepercayaan yang lebih dari investor yang
dimana dapat meningkatkan nilai perusahaan.
2.1.5 Investment Opportunity Set
Investasi sebenarnya merupakan suatu tindakan melepaskan dana saat
sekarang yang diharapkan untuk memperoleh arus kas masuk pada waktu yang akan
datang, selama umur proyek itu (Salim dan Moeljadi, 2001: 110). Gitosudarmo dan
Basri (2008: 133) menyatakan investasi merupakan pengeluaran uang pada saat ini,
dimana hasil yang diharapkan dari pengeluaran uang itu baru akan diterima di tahun
akan datang. Proses investasi menunjukkan bagaimana seharusnya seorang investor
membuat keputusan investasi pada efek yang dapat dipasarkan dan kapan dilakukan
(Halim, 2005: 4).
Melakukan kegiatan investasi merupakan keputusan tersulit bagi
manajemen perusahaan karena akan mempengaruhi nilai perusahaan (Vranakis dan
Chatzoglou 2012). Keputusan investasi didefinisikan sebagai kombinasi antara
aktiva yang dimiliki (assets in place) dan pilihan investasi di masa yang akan datang
dengan net present value positif (Myers 1977). Keputusan investasi merupakan
keputusan yang harus diambil manajer dalam mengolah dananya agar kedepannya
dapat memberikan timbal balik yang lebih besar yang dapat membangun
perusahaan.
Sartono (2000: 146) menemukan bahwa, tidak jarang perusahaan
menghadapi masalah lain dalam memilih kesempatan investasi sementara di pihak
lain perusahaan dihadapkan pada keterbatasan kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan dana. Ayuningtias dan Kurnia (2013) menyatakan kesempatan investasi
26
di dalam perusahaan adalah menyangkut pemilihan investasi yang diinginkan dari
sekelompok atau set kesempatan investasi yang ada, memilih salah satu atau lebih
alternatif investasi yang dinilai paling menguntungkan. Memilih investasi yang
paling mengutungkan dan risiko yang paling kecil, disini manajer dapat mengelola
keuangan dengan baik dan akan menarik investor. Semakin baiknya keputusankeputusan investasi yang diambil perusahaan, maka investor akan menaruh
kepercayaannya untuk mendapatkan keuntungan. Dengan semakin banyaknya
investor yang tertarik maka permintaan sahampun bertambah dan akan
meningkatkan nilai perusahaan.
Investment opportunity set (IOS) bersifat tidak dapat diobservasi oleh sebab
itu perlu menggunakan proksi yang sesuai. Kallapur dan Tombley (2001)
menjelaskan proksi IOS yang digunakan dalam bidang akuntansi dan keuangan
digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:
1) Proksi IOS berbasis pada harga
Proksi IOS berbasis pada harga merupakan proksi yang menyatakan
bahwa prospek pertumbuhan perusahaan sebagian dinyatakan dalam harga
pasar. Proksi berdasarkan anggapan yang menyatakan bahwa prospek
pertumbuhan perusahaan secara parsial dinyatakan dalam harga-harga
saham, dan perusahaan yang tumbuh akan memiliki nilai pasar yang lebih
tinggi secara relatif untuk aktiva- aktiva yang dimiliki (asset in place)
dibandingkan perusahaan yang tidak tumbuh. Investment opportunity set
yang didasari pada harga akan berbentuk suatu rasio sebagai suatu ukuran
aktiva yang dimiliki dan nilai pasar perusahaan.
27
Proksi IOS yang merupakan proksi berbasis harga adalah: market
value of equity plus book value of debt, ratio of book to market value of
asset, ratio of book to market value of equity, ratio of book value of property,
plant, and equipment to firm value, ratio of replacement value of assets to
market value, ratio of depreciation expense to value dan earning price ratio.
2) Proksi IOS berbasis pada investasi
Proksi IOS berbasis pada investasi merupakan proksi yang percaya
pada gagasan bahwa suatu level kegiatan investasi yang tinggi berkaitan
secara positif dengan nilai IOS suatu perusahaan. Proksi IOS yang
merupakan proksi IOS berbasis investasi adalah: ratio R&D expense to firm
value, ratio of R&D expense to total assets, ratio of R&D expense to sales,
ratio of capital addition to firm value, dan ratio of capital addition to asset
book value.
3) Proksi IOS berbasis pada varian
Proksi IOS berbasis pada varian (variance measurement)
merupakan proksi yang mengungkapkan bahwa suatu opsi akan menjadi
lebih bernilai jika menggunakan variabilitas ukuran untuk memperkirakan
besarnya opsi yang tumbuh, seperti variabilitas return yang mendasari
peningkatan aktiva. Proksi IOS yang berbasis varian adalah: VARRET
(variance of total return), dan Market Model Beta.
2.1.6 Return On Equtiy
Keuntungan suatu perusahaan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
halnya dari pengelolaan keuangan perusahaan. Pengelolaan keuangan perusahaan
28
dapat berupa keputusan-keputusan yang akan dilakukan seperti keputusan investasi.
Suprantiningrum dan Asji (2013) menyatakan laporan tahunan merupakan salah
satu sumber informasi guna mendapatkan gambaran kinerja perusahaan, informasi
ini diberikan oleh pihak manajemen perusahaan merupakan salah satu cara untuk
memberikan gambaran tentang kinerja perusahaan kepada para stakeholder.
Kinerja keuangan merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap
perusahaan, karena kinerja keuangan tersebut merupakan cerminan dari
kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengalokasikan sumber dayanya
(Suprantiningrum dan Sabat, 2013).
Rentabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menciptakan laba
atau keuntungan, modal perusahaan pada dasarnya diperoleh dari modal sendiri
(equity) dan modal dari luar (short and long term liabitites) (Raharjaputra, 2009:
195). Return on equity (ROE) juga dapat menjadi tolak ukur efeisensi manajemen
dalam mengelola modalnya untuk mendapatkan keuntungannya. Rasio ROE diukur
dengan laba bersih setelah pajak dibagi modal sendiri yang dikalikan 100 persen.
Rentabilitas modal sendiri atau return on equity, rasio ini mengukur banyak
keuntungan yang menjadi hak pemiliki modal sendiri (Husnan dan Pudjiastuti,
2006: 73). Return On Equity merupakan hal yang dilihat oleh investor karena disini
dapat dilihat perusahaan dapat menghasilkan keuntungannya dengan modal sendiri,
semakin tinggi ROE maka semakin tinggi pula kepercayaan investor. Investor akan
lebih percaya dengan perusahaan yang dapat mengelolah modalnya dengan baik
yang dapat memberi keuntungan kepada mereka.
29
Tingkat return yang diperoleh menggambarkan seberapa baik nilai
perusahaan dimata investor (Suprantiningrum dan Asji, 2013). Dewi, Yuniarta,
Atmadja (2014) menyatakan ROE merupakan rasio keuangan yang digunakan
untuk mengukur profitabilitas dari ekuitas, semakin besar hasil ROE maka kinerja
perusahaan semakin baik. Mardiyati dkk. (2012) menyatakan semakin tinggi nilai
profit yang didapat maka akan semakin tinggi nilai perusahaan, karena profit yang
tinggi akan memberikan indikasi prospek perusahaan yang baik sehingga dapat
memicu investor untuk ikut meningkatkan permintaan saham. Hal ini dapat
meningkatkan nilai perusahaan dengan semakin banyaknya permintaan saham oleh
investor.
2.2 Hipotesis
2.2.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Nilai Perusahaan
Kepemilikan manajerial merupakan pemegang saham dari pihak
manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan
(Wahidahwati, 2002). Saham perusahaan yang juga dimiliki oleh pihak manajer
dapat mewujudkan tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaan.
Manajer seringkali mementingkan kepentingan sendiri dengan mengambil
keputusan yang dapat meguntungkan pihak manajer saja dan keputusan yang
diambil akan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Jensen and Meckling (1976)
menyatakan kepemilikan manajer akan saham perusahaan dipandang dapat
menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham diluar
manajemen sehingga permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila
seorang manajer adalah juga sebagai seorang pemilik.
30
Taswan (2003) serta Reyna dan Encalada (2012), menyatakan bahwa faktor
kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, sehingga
semakin besar kepemilikan manajerial maka nilai perusahaan akan meningkat.
Penelitian yang dilakukan Ruan et al. (2011) menyatakan kepemilikan manajerial
mempengaruhi struktur modal, yang pada gilirannya mempengaruhi nilai
perusahaan bagi perusahaan-perusahaan sipil-lari Cina. Hal ini sejalan dengan
penelitian Susanti (2011) menyatakan kepemilikan manajerial memiliki pengaruh
positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian Rizqi dkk. (2013)
juga mengatakan bahwa kenaikan atau penurunan kepemilikan manajerial dapat
mengubah nilai perusahaan. Ullah dkk. (2012) menyatakan kepemilikan manajerial
berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Juhandi dkk. (2013).
H1: Kepemilikan manajerial berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai
perusahaan.
2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Nilai Perusahaan
Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan yang dimiliki oleh pihak
luar perusahaan. Pihak pemegang saham dari luar perusahaan mampu
meningkatkan kualitas pengawasan dalam kinerja perusahaan agar terhindar dari
kecurangan-kecurangan yang dilakukan manajer. Pengawasan tersebut akan
menuntut manajer untuk menjalankan perusahaan dengan mengarah pada tujuan
utamanya yaitu memaksimalkan kemakmuran pemegang saham yang akan
berdampak pada nilai perusahaan (Wongso, 2013).
31
Penelitian yang dilakukan Dian dan Lidyah (2013), kepemilikan
insitusional berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan, hal itu
disebabkan karena investor beranggapan dengan kepemilikan institusi yang tinggi
maka pengawasan terhadap kinerja perusahaan juga tinggi sehingga perusahaan
mampu menghasilkan laba yang tinggi dan dapat memberikan keuntungan bagi
investor. Hal ini sejalan dengna hasil penelitian Abukosim dkk. (2014), bahwa
kepemilikan institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai
perusahaan. Haruman (2008) yang menyatakan kepemilikan institusional memiliki
pengaruh dengan arah positif, semakin tinggi proporsi kepemilikan institusi akan
meningkatkan nilai perusahaan. sejalan dengan penelitian Thanatawee (2014).
H2: Kepemilikan institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai
perusahaan.
2.2.3 Pengaruh Investment Opportunity Set terhadap Nilai Perusahaan
Optimalisasi nilai perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan fungsi
manajemen keuangan dimana satu keputusan keuangan yang diambil akan
mempengaruhi keputusan keuangan lainnya dan berdampak pada nilai perusahaan
(Fama dan French, 1978). Keputusan investasi yang dilakukan oleh pihak manajer
akan berdampak bagi perusahaan. Pemilihan investasi tergantung peluang investasi
yang dimiliki perusahaan. Semakin besar peluang investasi perusahan maka
perusahaan dapat memilih investasi yang dapat menguntungkan dan memilih risiko
yang kecil.
Penelitian yang dilakukan Nasrum (2013) menyatakan keputusan investasi
berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Ketika keputusan investasi
32
diproksikan melalui set kesempatan investasi (IOS) meningkat, maka nilai
perusahaan juga akan meningkat. Sama halnya dengan penelitian Pratiska (2012),
IOS berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan, dimana investor
percaya bahwa perusahaan yang meningkatkan IOS, akan memiliki prospek yang
bagus di kemudian hari sehingga berinvestasi pada perusahaan tersebut akan
menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi. Hasil penelitian Rizqi dkk. (2013) juga
mengatakan bahwa kenaikan atau penurunan peluang investasi dapat mengubah
nilai perusahaan. Penelitian yang lain yang sejalan yang dilakukan Ayuningtias dan
Kurnia (2013) serta Wijaya dan Wibawa (2010) yang menyatakan IOS berpengaruh
positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.
H3: Investment Opportunity Set berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai
perusahaan.
2.2.4 Pengaruh Return On Equtity terhadap Nilai Perusahaan
Return on equity adalah rasio yang mengukur banyak keuntungan yang
menjadi hak pemiliki modal sendiri (Husnan dan Pudjiastuti, 2006: 73). Return on
equity memperlihatkan bagaiamana kemampuan perusahaan dalam mengelola
modalnya agar mendapatkan keuntungan.
Tingkat
return
yang
diperoleh
menggambarkan seberapa baik nilai perusahaan dimata investor (Suprantiningrum
dan Asji, 2013). Investor akan tertarik dengan ROE yang tinggi karena akan
semakin tinggi juga keuntungan bagi pemeganng saham. Banyaknya investor yang
tertarik pada perusahaan membuat nilai perusahaan semakin meningkat.
Penelitian Mardiyati dkk. (2012) serta Dewi dan Wirajaya (2013) ROE
berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hal ini sejalan dengan
33
hasil penelitian Dewi dkk. (2014), semakin tinggi ROE maka semakin tinggi juga
price book value sebagai ukuran dari nilai perusahaan karena investor akan
membeli saham-saham dan akan lebih tertarik dengan ROE atau bagian dari total
profitabilitasnya
ke
pemegang saham. Sejalan dengan hasil
penelitian
Suprantiningrum dan Asji (2013), bahwa besarnya keuntungan yang diperoleh
perusahaan melalui modal yang dimiliki akan meningkatkan nilai perusahaan.
Penelitian lainnya yang sejalan yaitu Marangu dan Jagongo (2014).
H4: Return on Equity berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.
34
Download