1 Analisis Faktor Lingkungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Pekerja di Industri Pemotongan Keramik dan Granit Desa Wanaherang, Gunung Putri, Kabupaten Bogor Tahun 2013 Fitri Kurniasari Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail: [email protected] / [email protected] Abstrak Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama penyakit akut di seluruh dunia. Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat dengan kasus ISPA yang tinggi. Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor merupakan lokasi 25 industri pemotongan keramik dan granit. Proses produksi di industri pemotongan keramik dan granit menghasilkan partikulat debu yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan pekerja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pajanan faktor lingkungan dengan kejadian ISPA pada pekerja di industri pemotongan keramik dan granit Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 103 pekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada pekerja adalah PM10 dalam ruang kerja (2,90; 1,08-7,77). Faktor yang paling dominan hubungannya dengan kejadian ISPA pada pekerja adalah PM10 dalam ruang kerja (2,90; 1,08-7,77). Himbauan penggunaan APD perlu diterapkan pada pekerja industri pemotongan keramik dan granit. Analyze of Environmental Factors with Acute Respiratory Infection (ARI) Among Workers in Ceramic and Granite Cutting Industry at Wanaherang Village, Gunung Putri, Bogor 2013. Abstract Acute Respiratory Infection (ARI) is a major cause of acute illness in the worldwide. Bogor district is one of region in West Java with high ARI case. There is 25 ceramic and granite cutting industry location located in Wanaherang Village that can affect worker’s health. This study aims to analyze the relationship between environmental factors and the incidence of respiratory infection in ceramic and granite cutting industry workers at Wanaherang village, Gunung Putri, Bogor. This study uses cross sectional study design with sample of 103 workers. Result shows that environmental factor which significantly associated with ARI among workers is indoor PM10 concentration (2,90; 1,08-7,77). The most dominant factor associated with the occurrence of ARI among workers is indoor PM10 concentration (2,90; 1,08-7,77). PPE usage should be applied by ceramic and granite cutter workers Keywords: Environmental factors, acute respiratory infection (ARI), ceramic and granite cutting industry Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 2 Pendahuluan Aktivitas produksi suatu industri dapat menyebabkan beberapa masalah lingkungan, salah satunya adalah pencemaran udara dalam ruang. Polutan udara di tempat kerja yang timbul dari proses industrialisasi seperti debu dan gas dapat menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan antara lain iritasi saluran pernapasan dan pneumokoniosis seperti silicosis, byssinosis, dan stannosis.1 Iritasi pada saluran pernapasan memudahkan seseorang terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).2 ISPA merupakan penyakit yang dikenal sebagai penyebab utama penyakit akut di seluruh dunia. ISPA menyebabkan kematian sebanyak 3,9 juta orang setiap tahun di dunia.3 Di Indonesia, prevalensi ISPA dengan diagnosis gejala (DG) adalah 25,5%.4 Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat dengan kejadian ISPA yang tinggi dimana prevalensi ISPA melalui DG yaitu sebesar 30,9%.4 ISPA merupakan penyakit dengan jumlah penderita terbanyak pada kelompok umur 5-44 tahun dan 45-69 tahun untuk kasus rawat jalan di puskesmas Kabupaten Bogor pada tahun 2010,5 selain itu ISPA merupakan penyakit dengan jumlah penderita terbanyak pada semua kelompok umur untuk kasus rawat jalan di puskesmas Kabupaten Bogor pada tahun 2011.6 Sedangkan pada tahun 2012, penyakit ISPA selalu masuk dalam 10 besar pola penyakit di Puskesmas dan Rumah Sakit yang ada di Kabupaten Bogor.7 Kecamatan Gunung Putri adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor dengan jumlah penderita ISPA yang cukup tinggi. ISPA selalu menempati sepuluh penyakit terbanyak yang diderita masyarakat pada tahun 2011 hingga 2013. ISPA merupakan penyakit dengan penderita terbanyak pada tahun 2011 dengan jumlah penderita sebanyak 7.898 orang. Pada tahun 2012, jumlah penderita ISPA di Kecamatan Gunung Putri mengalami penurunan yaitu 5.115 orang, namun meningkat kembali pada tahun 2013 yaitu sebanyak 7.373 orang penderita. Faktor risiko ISPA dapat berasal dari pencemaran udara luar ruang (outdoor air pollution) maupun pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution). Sumber pencemar udara luar ruangan, adalah aktivitas transportasi dan industri. Adapun sumber pencemar udara dalam ruang meliputi bahan sintetis dan bahan alamiah yang digunakan untuk konstruksi bangunan dan perabotan rumah tangga, pembakaran bahan bakar untuk memasak dan pemanas ruangan, Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 3 gas radon, produk konsumsi seperti pengkilap perabot, kosmetik, pestisida dan insektisida, asap rokok, dan mikroorganisme.8 Pencemaran udara menghasilkan berbagai polutan salah satunya particulate matter (PM), yaitu partikel-partikel kecil yang berasal dari padatan maupun cairan yang tersuspensi dalam udara.9 Partikulat terdiri dari PM2,5 (partikel dengan ukuran kurang dari 2,5 µm) dan PM10 (partikel dengan ukuran kurang dari 10 µm).10 Dampak partikulat jika terinhalasi antara lain adalah meningkatnya gejala gangguan pernapasan, menurunnya fungsi paru, memperparah penyakit asma, menimbulkan bronkhitis kronis, serangan jantung ringan, serta kematian dini bagi penderita penyakit jantung dan paru-paru.9 Desa Wanaherang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Gunung Putri merupakan wilayah industri dengan berbagai macam industri formal dan informal di dalamnya. Salah satu industri informal yang paling banyak di wilayah tersebut adalah industri pemotongan keramik dan granit. Industri pemotongan keramik dan granit merupakan industri dengan kegiatan yang meliputi pemotongan dan penghalusan keramik dan granit, serta pengepakan. Adanya kegiatan pemotongan keramik dan granit mengemisikan berbagai polutan di udara seperti debu keramik, debu granit, maupun kristal silika.11 Debu yang dihasilkan oleh kegiatan pemotongan keramik dan granit merupakan jenis partikel yang dapat terhirup, yaitu PM10 maupun PM2,5. Partikel terhirup (inhalable particle) adalah satu-satunya polutan utama yang terdapat pada industri pemotongan keramik dan granit.11 Penelitian ini dilakukan di Desa Wanaherang karena di wilayah tersebut terdapat 25 industri pemotongan keramik dan granit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara faktor lingkungan dengan kejadian ISPA pada pekerja di industri pemotongan keramik dan granit Desa Wanaherang, Gunung Putri, Kabupaten Bogor tahun 2013. Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 4 Tinjauan Teoritis Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia.12 Agent atau hazard di tempat kerja meliputi agen fisik, agen kimia, dan agen biologi.10 Partikulat didefinisikan sebagai partikel-partikel kecil yang berasal dari padatan maupun cairan yang tersuspensi dalam gas (udara).13 ISPA adalah infeksi akut (berlangsung <14 hari) yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai dari hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura).14 Metode Penelitian Desain studi dalam penelitian ini adalah cross-sectional, dimana data dikumpulkan secara bersamaan, yaitu faktor lingkungan dan kejadian ISPA pada pekerja. Data yang dikumpulkan adalah kejadian ISPA pada pekerja, faktor lingkungan fisik kerja (konsentrasi PM10 udara ruang kerja, suhu, dan kelembaban udara), dan faktor karakteristik individu pekerja (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama bekerja, durasi kerja, bagian kerja, kebiasaan merokok, dan penggunaan APD). Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2013 hingga Januari 2014. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja industri pemotongan keramik dan granit yang ada di Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor yaitu berjumlah 108 orang. Sebagai kriteria inklusi yaitu pekerja industri pemotongan keramik dan granit yang bekerja minimal 14 hari di industri tersebut, serta bersedia menjadi responden dalam penelitian. Jumlah sampel minimal yang diambil didapat dari rumus sebagai berikut:15 2 z 1-α/2 * p(1 − p) n= 2 d n = Jumlah sampel Z21-α/2 = 1.96 pada confident interval 95% d = Presisi (0.1) P = Proporsi kejadian ISPA pekerja (50%) Berdasarkan rumus tersebut, didapatkan jumlah sampel minimal sebesar 96 orang. Akan tetapi, untuk mengantisipasi kesalahan dalam pengambilan data, maka jumlah sampel adalah Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 5 total populasi yaitu 108 orang. Dari jumlah sampel yang didapatkan, lima responden bekerja kurang dari 14 hari di industri pemotongan keramik dan granit, sehingga harus dikeluarkan dari sampel. Oleh karena itu, jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 103 responden. Pengumpulan data variabel independen berupa konsentrasi PM10 udara dalam ruang kerja dilakukan dengan menggunakan alat yaitu Haz Dust EPAM-5000 yang dioperasikan oleh instansi Balai Pelatihan Kesehatan Bekasi. Alat ini memakai metode laser analyzer dalam melakukan pengukuran partikulat baik partikulat debu outdoor maupun indoor. Cara pengukuran dilakukan berdasarkan SNI 16-7058-2004 tentang pengukuran kadar debu total di udara tempat kerja. Pengumpulan data untuk variabel independen lain seperti lingkungan fisik industri (suhu dan kelembaban), dan karakteristik individu pekerja (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama bekerja, durasi kerja, bagian kerja, kebiasaan merokok, dan penggunaan APD) dilakukan oleh petugas lapangan dengan menggunakan kuesioner dan alat bantu thermohygrometer untuk pengukuran suhu dan kelembaban. Adapun pengumpulan data kejadian ISPA pekerja dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik tenaga kesehatan (perawat Puskesmas UPTD Gunung Putri). Analisis data yang dilakukan meliputi analisis univariat, analisis bivariat, dan analisis multivariat. Hasil Penelitian Pengelompokan Data Numerik. Pada penelitian ini, variabel umur dan lama kerja termasuk dalam jenis data numerik dan tidak memiliki standar sehingga perlu dilakukan uji normalitas data untuk mengetahui standar yang digunakan. Adapun variabel PM10 memiliki distribusi nilai melebihi standar PM10 dalam ruang yang ditetapkan Pemerintah,16 yaitu sebesar 70 µg/m3. Uji normalitas data dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Data berdistribusi normal jika nilai-p lebih dari atau sama dengan 0,05, sehingga standar yang digunakan adalah nilai mean. Apabila data berdistribusi tidak normal, maka standar yang dipakai adalah nilai median. Pada variabel umur, lama bekerja, dan PM10 dalam ruang kerja diketahui bahwa data berdistribusi tidak normal sehingga standar yang digunakan adalah nilai median. Nilai median dari variabel umur adalah 31 tahun, lama bekerja adalah 24 bulan, dan PM10 dalam ruang kerja adalah 218 µg/m3. Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 6 ISPA pada Pekerja. Hasil pemeriksaan fisik oleh tenaga kesehatan pada pekerja di industri pemotongan keramik dan granit di Desa Wanaherang, Gunung Putri, Bogor menunjukkan sebagian besar pekerja tidak menderita ISPA, yaitu sebanyak 79 orang (76,7%) sedangkan sisanya 24 orang (23,3%) menderita ISPA. Hubungan Faktor Karakteristik Pekerja dengan Kejadian ISPA pada Pekerja. Faktor karakteristik pekerja yang meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama bekerja, durasi kerja, kebiasaan merokok, dan penggunaan APD masker tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada pekerja di industri pemotongan keramik dan granit. (Tabel 1.) Tabel 1. Hubungan Karakteristik Pekerja dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Industri Pemotongan Keramik Desa Wanaherang, Gunung Putri, Bogor Tahun 2013 ISPA Variabel Umur - ≥ 31 tahun - < 31 tahun Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan Tingkat Pendidikan - Tidak Tamat - Tamat Lama Kerja - ≥ 24 bulan - < 24 bulan Durasi Kerja - >7 jam - ≤ 7 jam Bagian Kerja - Pemotong - Bongkar Muat Penggunaan APD Masker - Tidak - Ya Kebiasaan Merokok - Ya - Tidak Ya Jumlah Tidak N % N % OR (95% CI) Nilai p 51,5 48,5 0,93 (0,37-2,31) - 1,000 78 25 75,7 24,3 1,81 (0,55-5,92) - 0,420 74 83,3 73 30 70,9 29,1 1,76 (0,59-5,25) - 0,442 46 33 73 82,5 63 40 61,2 28,8 1,74 (0,65-4,68) - 0,342 21,1 26,1 45 34 78,9 73,9 57 46 55,3 44,7 0,76 (0,30-1,89) - 0,641 5 19 19,2 24,7 21 58 80,8 75,3 26 77 25,2 74,8 0,73 (0,24-2,19) - 0,789 19 5 24,7 19,2 58 21 75,3 80,8 77 26 74,8 25,2 1,38 (0,46-4,15) - 0,789 18 6 26,9 16,7 49 30 73,1 83,3 67 36 65,1 34,9 1,84 (0,66-5,14) - 0,330 N % 12 12 22,6 24 41 38 77,4 76 53 50 20 4 25,6 16 58 21 74,4 84 19 5 26 16,7 54 25 17 7 27 17,5 12 12 Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 7 Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Kerja dengan Kejadian ISPA pada Pekerja. Faktor lingkungan fisik kerja yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada pekerja adalah PM10 dalam ruang kerja. Pekerja yang bekerja di ruangan dengan konsentrasi PM10 ≥218µg/m3 berisiko 2,9 kali lebih besar terkena ISPA dibandingkan dengan pekerja yang bekerja di ruangan dengan konsentrasi PM10 <218µg/m3. (Tabel 2.) Tabel 2. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Kerja dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Industri Pemotongan Keramik dan Granit Desa Wanaherang, Gunung Putri, Bogor Tahun 2013 ISPA Variabel PM10 - ≥ 218µg/m3 - < 218µg/m3 Suhu - TMS - MS Kelembaban - TMS - MS Jumlah OR (95% CI) Ya N % Tidak N % N % Nilai p 17 7 32,1 14 36 43 67,9 86 53 50 51,5 48,5 2,90 (1,08-7,77) - 0,037 18 6 25 19,4 54 25 75 80,6 72 31 69,9 30,1 1,39 (0,49-3,92) - 0,618 18 6 25 19,4 54 25 75 80,6 72 31 69,9 30,1 1,39 (0,49-3,92) - 0,618 Faktor Risiko Dominan Kejadian ISPA pada Pekerja. Berdasarkan hasil seleksi bivariat dengan uji regresi logistik sederhana diperoleh bahwa terdapat dua variabel independen yang masuk ke dalam pemodelan multivariat yaitu PM10 ruang kerja dan kebiasaan merokok (Tabel 3.). Selanjutnya dari kedua variabel tersebut, didapatkan satu variabel yang secara statistik berhubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada pekerja, yaitu variabel PM10 ruang kerja (nilai-p<0,05) (Tabel 4.). Dari semua variabel yang masuk ke dalam model multivariat, PM10 ruang kerja menjadi variabel yang paling dominan dikarenakan memiliki OR yang paling besar dan memiliki hubungan signifikan dengan kejadian ISPA. Berdasarkan analisis multivariat, PM10 ruang kerja merupakan faktor risiko yang paling dominan hubungannya dengan kejadian ISPA pada pekerja. (Tabel 4.) Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 8 Tabel 3. Nilai-p Uji Bivariat Variabel Independen dari Penelitian Analisis Faktor Lingkungan dengan ISPA pada Pekerja Industri Pemotongan Keramik dan Granit Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor Tahun 2013 Variabel Independen Umur Jenis Kelamin Pendidikan Dasar Lama Bekerja Durasi Kerja Jenis Pekerjaan Penggunaan APD Masker Kebiasaan Merokok PM10 Suhu Kelembaban Nilai-p Keterangan 0,871 0,307 0,296 0,261 0,549 0,564 0,564 0,234 0,028 0,529 0,529 Calon Model Calon Model - Tabel 4. Model Akhir Analisis Multivariat dari Penelitian Analisis Faktor Lingkungan dengan ISPA pada Pekerja Industri Pemotongan Keramik dan Granit Tahun 2013 Variabel PM10 Constant B Nilai-p OR 1,065 -0,315 0,034 0,660 2,90 0,730 95%CI Bawah Atas 1,08 - 7,77 - Pembahasan Pada penelitian ini, umur pekerja dikategorikan berdasarkan nilai median yaitu 31 tahun. Pekerja diasumsikan berisiko terkena ISPA bila berumur ≥31 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan kejadian ISPA pada pekerja industri pemotongan keramik dan granit. Hasil penelitian yang tidak signifikan dapat disebabkan karena responden tersebar pada kelompok umur yang tidak berisiko tinggi menderita ISPA. Kelompok umur yang paling berisiko terhadap ISPA adalah balita dan lansia (>55 tahun).17 Umur minimal responden dalam penelitian ini adalah 15 tahun, sedangkan pekerja yang termasuk golongan lansia hanya berjumlah 8 orang (7,7%). Pengaruh umur terhadap infeksi saluran pernapasan berkaitan dengan daya tahan tubuh seseorang. Pada umur 18-21 tahun pertumbuhan paru dan imunitas seseorang sedang mencapai tingkat yang sangat baik, sehingga risiko untuk terkena gangguan saluran pernapasan dan penyakit infeksi lainnya rendah pada rentang umur ini. Sedangkan pada umur 55-60 tahun kapasitas paru dan imunitas mulai mengalami penurunan, sehingga golongan umur tersebut merupakan umur yang rawan terjadinya gangguan saluran pernapasan.2 Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 9 Jenis kelamin yang dianggap berisiko terkena ISPA dalam penelitian ini adalah laki-laki. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada pekerja industri pemotongan keramik dan granit. Walaupun tidak berhubungan secara statistik, namun sebanyak 65 pekerja (83,3%) dari 78 pekerja yang berjenis kelamin laki-laki memiliki kebiasaan merokok. Pajanan asap rokok pada manusia sangat berhubungan dengan gangguan pada saluran pernapasan. Asap rokok dapat merusak mukosa saluran pernapasan dan membunuh makrofag yang berfungsi membunuh bakteri, sehingga perokok sangat rentan terhadap gangguan saluran pernapasan.18 Hasil penelitian tidak signifikan dapat disebabkan karena dari 78 pekerja laki-laki, hanya sebagian kecil yang menderita ISPA. Pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian penyakit menular berkaitan dengan perbedaan faktor biologis maupun perbedaan faktor perilaku antara laki-laki dan perempuan.19 Secara umum, laki-laki memiliki pola aktivitas dan konsumsi rokok yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Aktivitas laki-laki yang lebih berat menyebabkan frekuensi napas pada laki-laki relatif lebih cepat dibandingkan perempuan. Adapun laki-laki memiliki lebih banyak waktu yang dihabiskan di luar rumah, sehingga laki-laki cenderung mendapatkan pajanan yang lebih besar terhadap agent penyakit dibandingkan dengan perempuan.19 Kelompok pekerja yang tidak tamat pendidikan dasar (SMP atau sederajat) dianggap berisiko terkena ISPA.20 Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kejadian ISPA pada pekerja pemotongan keramik dan granit Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Hasil penelitian tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Halim (2012) yang menyatakan bahwa pekerja yang tidak tamat pendidikan dasar memiliki risiko 2,98 kali dibandingkan dengan pekerja yang tamat pendidikan dasar.21 Walaupun hasil penelitian ini tidak berhubungan secara statistik, namun pekerja industri pemotongan keramik dan granit didominasi oleh pekerja yang tidak tamat pendidikan dasar. Variabel sosial berupa tingkat pendidikan akan mempengaruhi distribusi kejadian kontak antara bahan toksik dengan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pengetahuan suatu kelompok, maka kelompok tersebut lebih dapat menghindari dan mengatasi kontak dengan bahan toksik.8 Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memahami suatu pengetahuan yang baru. Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan seseorang dengan tingkat pendidikan rendah.22 Pengetahuan seseorang terhadap kesehatan akan mempengaruhi perilaku seseorang Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 10 untuk memelihara kesehatan, menghindari atau mencegah hal yang merugikan kesehatan, serta mencari pengobatan bila sakit.23 Lama kerja seseorang di industri pemotongan keramik dan granit dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada pekerja. Pada penelitian ini, lama kerja dikategorikan berdasarkan nilai median, yaitu 24 bulan. Pekerja yang bekerja ≥24 bulan di industri pemotongan keramik dan granit dianggap lebih berisiko terkena ISPA. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara lama kerja dengan kejadian ISPA pada pekerja di industri pemotongan keramik dan granit. Walaupun penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara lama kerja dengan kejadian ISPA, namun pekerja di industri pemotongan keramik dan granit didominasi oleh pekerja yang telah bekerja ≥24 bulan. Risiko ISPA pada pekerja dengan lama kerja ≥24 bulan ditunjukkan dari 24 responden yang menderita ISPA, 17 orang (70,8%) bekerja minimal 24 bulan di industri pemotongan keramik dan granit. Lama kerja berhubungan dengan dosis partikulat yang masuk ke dalam tubuh. Dosis suatu zat toksik akan meningkat dengan besarnya konsentrasi, lama dan seringnya pemaparan, dan cara masuk ke dalam tubuh.8 Pajanan partikel secara kronis dapat ditimbun pada membran mukosa, sehingga dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada saluran pernapasan, iritasi kulit, dan mukosa mata.2 Durasi ideal seseorang bekerja dalam sehari adalah 6-8 jam dan 40 jam dalam seminggu. Jumlah 40 jam kerja tersebut dapat dibagi dalam 5 atau 6 hari kerja.33 Waktu kerja yang melebihi durasi ideal biasanya tidak efisien karena dapat menyebabkan penurunan produktivitas, kecenderungan untuk timbulnya kelelahan, penyakit, dan kecelakaan.1 Durasi kerja berhubungan dengan berapa lama seseorang mendapatkan pajanan debu dalam sehari, sehingga dampak yang ditimbulkan semakin bervariasi.8 Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara durasi kerja dengan kejadian ISPA pada pekerja industri pemotongan keramik dan granit. Hasil penelitian yang tidak signifikan dapat disebabkan karena pekerja industri pemotongan keramik dan granit belum memiliki peraturan yang jelas mengenai jam kerja dan hari libur, sehingga banyak pekerja yang bekerja lembur dan tidak memiliki hari libur yang pasti. Durasi dan frekuensi terpapar sangat berhubungan dengan banyak partikulat yang dihirup oleh pekerja, sehingga tidak menutup kemungkinan pekerja lain akan menderita ISPA di kemudian hari. Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 11 Berdasarkan bagian kerja, terdapat 26 responden yang bekerja pada bagian pemotongan keramik dan granit, sedangkan sisanya 77 responden bekerja pada bagian bongkar muat. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara bagian kerja dengan kejadian ISPA pada pekerja industri pemotongan keramik dan granit. Hasil penelitian yang tidak signifikan dapat disebabkan karena pekerja lebih banyak pada bagian yang berisiko rendah, yaitu bagian bongkat muat dibandingkan pekerja pada bagian yang berisiko tinggi, yaitu bagian pemotongan. Dari 26 orang yang bekerja pada bagian yang berisiko tinggi, hanya 5 orang (19,2%) yang menderita ISPA pada saat penelitian ini dilakukan, namun tidak menutup kemungkinan pekerja lain akan sakit di kemudian hari. Tidak ada hubungan yang signifikan antara bagian kerja dan kejadian ISPA dapat juga disebabkan kesadaran pekerja di bagian pemotongan untuk menggunakan APD cukup tinggi (57,7%) dibandingkan dengan pekerja pada bagian bongkar muat (14,3%). Aktivitas pekerjaan yang berbeda akan menyebabkan perbedaan pajanan debu yang diterima oleh pekerja. Pekerja yang mempunyai risiko tinggi untuk menerima pajanan debu adalah pekerja yang berhubungan dengan aktivitas pemotongan, penggergajian, pengerutan, dan pengamplasan.24 Alat Pelindung Diri (APD) adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja.25 Terdapat berbagai macam alat pelindung diri, namun APD yang sangat disarankan untuk mengurangi bahaya pajanan partikulat adalah APD pernapasan berupa masker. Hasil uji statistik menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD masker dengan kejadian ISPA pada pekerja industri pemotongan keramik dan granit. Walaupun hasil penelitian tidak berhubungan secara statistik, namun pekerja industri pemotongan keramik dan granit didominasi oleh pekerja yang tidak memiliki kebiasaan menggunakan APD masker. Kesadaran penggunaan APD yang rendah dapat disebabkan karena ketidaktahuan pekerja tentang cara melindungi diri dari pajanan partikulat. Hal tersebut dibuktikan bahwa dari 77 pekerja yang tidak memiliki kebiasaan menggunakan APD masker, 58 pekerja (75,3%) tidak tamat pendidikan dasar. Penggunaan APD masker pada industri pemotongan keramik dan granit berfungsi mengurangi konsentrasi partikulat yang masuk dalam saluran pernapasan dengan cara penyaringan. Penggunaan alat pelindung merupakan alternatif untuk melindungi pekerja dari bahaya-bahaya kesehatan. Namun, perlu diperhatikan bahwa alat pelindung harus sesuai dan adekuat untuk bahaya tertentu, resisten terhadap kontaminan udara, dibersihkan dan dipelihara dengan baik, serta sesuai untuk pekerja yang memakainya.8 Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 12 Hasil uji statistik menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada pekerja industri pemotongan keramik dan granit. Hasil penelitian yang tidak signifikan dapat disebabkan karena dari 67 pekerja yang memiliki kebiasaan merokok, hanya sebagian kecil yang menderita penyakit ISPA. Walaupun tidak berhubungan signifikan secara statistik, namun sebagian besar pekerja di industri pemotongan keramik dan granit memiliki kebiasaan merokok sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan pernapasan pada pekerja. Asap rokok dapat menyebabkan gangguan saluran pernapasan karena dapat merusak lapisan mukosa dan gerak silia, sehingga tubuh akan sulit untuk mencegah dan mengeluarkan agen penyakit yang masuk dalam saluran pernapasan.18 Selain itu asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri, sehingga perokok memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena penyakit infeksi.18 Penghirupan asap rokok diketahui dapat merusak ketahanan lokal paru, seperti pembersihan mukosiliaris. Pembersihan mukosiliaris yang terganggu akan mengganggu proses pembersihan partikel yang masuk ke dalam saluran pernapasan manusia.17 Konsentrasi PM10 ruang kerja di industri pemotongan keramik dan granit Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor memiliki rata-rata sebesar 343,26 µg/m3 dan median sebesar 218 µg/m3. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata PM10 ruang kerja di industri pemotongan keramik dan granit Desa Wanaherang telah melebihi baku mutu atau standar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah yaitu sebesar ≤70 µg/m3.16 Hasil analisis yang dilakukan antara PM10 ruang kerja dengan kejadian ISPA pada pekerja menunjukkan bahwa nilai-p = 0,037 dan nilai OR=2,90 (95% CI = 1,08-7,77), sehingga terdapat hubungan yang bermakna antara PM10 ruang kerja dengan kejadian ISPA pada pekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Firdaus (2008)28, Yusnabeti (2010)29, Maulana (2011)30, Fitriyani (2011)31, dan Yulistiyani (2012)32 yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi PM10 dengan kejadian ISPA. Pajanan PM10 melalui inhalasi dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan, sehingga menyebabkan pergerakan silia menjadi lambat dan menyebabkan pembersihan saluran pernapasan terganggu. Rusaknya silia menyebabkan benda asing termasuk bakteri dan mikroorganisme lain tidak mudah dikeluarkan dari saluran pernapasan sehingga memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan.2 Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 13 Suhu udara di industri pemotongan keramik dan granit Desa Wanaherang, Gunung Putri, Kabupaten Bogor memiliki nilai rata-rata sebesar 31,10C dan median sebesar 31,40C. Ratarata dan median suhu udara tersebut telah melebihi batas yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 18-300C.26 Suhu yang tinggi pada industri pemotongan keramik dan granit dapat berasal dari suhu udara luar ruang yang cukup tinggi, luas ruangan yang sempit, dan aktivitas mesin yang cukup tinggi. Dari hasil uji statistik membuktikan tidak ada hubungan yang signifikan antara suhu ruangan dengan kejadian ISPA pada penelitian ini. Walaupun tidak berhubungan secara statistik, tetapi mayoritas suhu di lingkungan tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu yang tidak memenuhi syarat dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme patogen di udara. Kenaikan suhu udara dapat mempengaruhi dapat memperparah dampak dari polusi udara serta meningkatkan kelembaban udara, hal tersebut berkaitan dengan persebaran pencemar di udara serta pertumbuhan mikroorganisme patogen dalam udara.10 Bakteri penyebab ISPA seperti Stafilokokus, Pneumokokus, dan Streptokokus merupakan bakteri dengan suhu pertumbuhan optimum adalah 370C. Bakteri tersebut jarang terlihat tumbuh pada suhu di bawah 250C dan suhu di atas 410C.27 Rata-rata kelembaban dalam ruang kerja seluruh industri pemotongan keramik dan granit adalah 59,91%. Rata-rata kelembaban udara tersebut tidak memenuhi syarat kelembaban udara dalam ruang industri yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu berkisar 65%-95%.26 Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kelembaban udara dalam ruang kerja dengan kejadian ISPA pada pekerja industri pemotongan keramik dan granit. Walaupun tidak berhubungan secara statistik, tetapi mayoritas kelembaban di industri pemotongan keramik dan granit Desa Wanaherang tidak memenuhi syarat dan kelembaban merupakan salah satu faktor risiko pertumbuhan mikroorganisme di udara.16 Kelembaban merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme sehingga viabilitas kuman patogen lebih lama.10 Pada kelembaban antara 25%-65%, spora jamur akan meningkat dan terjadi kemungkinan peningkatan pertumbuhan mikroorganisme.8 Mikroorganisme di udara merupakan unsur pencemaran dalam ruang yang penting karena dapat menyebabkan beberapa penyakit antara lain adalah flu, asma, alergi, maupun sick building syndrome.8 Kesimpulan Faktor lingkungan berupa PM10 ruang kerja industri pemotongan keramik dan granit memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA pada pekerja. Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 14 Saran Pemilik industri perlu menerapkan metode basah (wet methods) dengan cara menyemprotkan air menggunakan sprayer ketika melakukan kegiatan pemotongan keramik dan granit, melakukan pembatasan waktu kerja, memberikan kesempatan kepada pekerja untuk beristirahat, memelihara kebersihan ruang dan peralatan yang digunakan baik sebelum maupun setelah bekerja, menyediakan APD kepada pekerja khususnya berupa masker untuk mencegah terjadinya penyakit pada saluran pernapasan. Selain itu, pemilik industri perlu melakukan upaya pemeriksaan kesehatan secara berkala pada pekerja bekerjasama dengan Puskesmas UPTD Gunung Putri. Adapun saran yang dapat diberikan pada pekerja adalah memelihara kebersihan APD masker yang disediakan oleh pemilik industri, menerapkan pola hidup sehat, mengurangi konsumsi rokok terutama bagi pekerja laki-laki, memeriksakan diri segera setelah terjadi gangguan kesehatan sehingga, mengganti penggunaan atap rumah asbes dan mengurangi sumber polusi udara dalam rumah, dan melarang anggota keluarga lain merokok di dalam rumah. Selain itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor berkoordinasi dengan UPT Kesehatan Kerja dan Puskesmas UPTD Gunung Putri perlu mengadakan kegiatan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) kepada pekerja mengenai ISPA dan cara pencegahannya, serta pentingnya penggunaan APD masker. Adapun Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor perlu mengalokasikan anggaran untuk mengadakan kegiatan pemantauan rutin terhadap kualitas udara (PM10) di lokasi industri pemotongan keramik dan granit. Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 15 Daftar Referensi: 1. Suma’mur. (1976). Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Gunung Agung 2. Mukono, H. (2003). Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernapasan. Surabaya: Airlangga University Press. 3. World Health Organization. (2007). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. http://www.who.int/ csr/resources/publications/WHO_CDS_EPR_2007_8bahasa.pdf (diakses pada tanggal 1 November 2013, pukul 19.15 WIB) 4. Riskesdas. (2007). Laporan Nasional 2007. http://www.ppid.depkes.go.id /index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=53&Itemid=87 (diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, pukul 19.00 WIB) 5. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. (2010). Profil Kesehatan Kabupaten Bogor Tahun 2010. Bogor: Depkes RI 6. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. (2011). Profil Kesehatan Kabupaten Bogor Tahun 2011. Bogor: Depkes RI 7. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. (2012). Profil Kesehatan Kabupaten Bogor Tahun 2012. Bogor: Depkes RI 8. Kusnoputranto, H. (2000). Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: UI-Press 9. Kementrian Lingkungan Hidup. (2011). Laporan Kegiatan Pengkajian Baku Mutu Kualitas Udara Ambien Lampiran PP No. 41 Tahun 1999. http://pusarpedal.menlh.go.id/wp-content/uploads/2012/05/Laporan-Pengkajian-BakuMutu-Kualitas-Udara-Ambien.pdf (diakses 22 November 2013, pukul 18.59 WIB) 10. Achmadi, Umar Fahmi. (2011). Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers. 11. Bahrami, A.R. & Mahjub, H., (2003). Comparative Study of Lung function in Iranian Factory Workers Exposed to Silica Dust. http://applications.emro.who.int/emhj/0903/emhj_2003_9_3_390_398.pdf (diakses 27 April 2014, pukul 22.10 WIB) 12. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1407/Menkes/SK/XI/2002 tentang Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara 13. Fardiaz, Srikandi. (1992). Pencemaran Air dan Udara. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 14. Depkes RI. (2007). Bimbingan Keterampilan Tatalaksana Pneumonia Balita. Jakarta: Penerbit Depkes RI. 15. Lemesehow, S., Hosmer, D.W., Klar, J., & Lwanga, S.K. (1997). Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University (terjemahan Dibyo Pramono) 16. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah. 17. Machmud, Rizanda. (2006). Pneumonia Balita di Indonesia dan Peranan Kabupaten dalam Menanggulanginya. Padang: Andalas University Press. 18. Amin, M., Alsagaff, H., & Saleh T. (1989). Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. 19. World Health Organization. (2007). Addressing Sex and Gender in Epidemic-Prone Infectious Diseases. http://www.who.int/csr/resources/publications /SexGenderInfectDis.pdf (diakses 22 Mei, pukul 17.42 WIB) 20. Undang Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 21. Halim, Fitria. (2012). Hubungan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Pekerja di Industri Mebel Dukuh Tukrejo, Desa Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014 16 Bondo, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah Tahun 2012. [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 22. Azwar. A. (1983). Pengantar Pendidikan Kesehatan. Jakarta: PT Sastra Hudaya 23. Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya. 24. Purnomo, Aryanto. (2007). Pajanan Debu Kayu (PM10) dan Gejala Penyakit Saluran Pernapasan pada Pekerja Mebel Sektor Informal di Kota Pontianak Kalimantan Barat. [Tesis]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 25. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2010 tentang Alat Pelindung Diri. 26. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1405/Menkes/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. 27. Warsa, U. C, Syahrurachman, A., Chatim, A., Karuniawati, A., Santoso A.U.S., Bela, B., et al. (1994). Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara 28. Firdaus, Muhammad. (2008). Pajanan PM10 Terhadap Kejadian Gangguan Saluran Pernapasan Non Infeksi (Studi Kasus pada Tenaga Kerja Bongkar Muat di Pelabuhan Boom Baru Palembang Tahun 2008). [Tesis]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 29. Yusnabeti. (2010). PM10 dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Pekerja Industri Mebel. [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 30. Maulana, Riza. (2011). Pajanan PM10 Terhadap Gangguan Iritasi dan Infeksi Saluran Pernapasan (Studi di Daerah Kapur Desa Padabeunghar Kabupaten Sukabumi Tahun 2011). [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 31. Fitriyani. (2011). Pajanan PM10 Terhadap Kejadian Gejala ISPA pada Pekerja Pergudangan Semen di Kotamadya Palembang Tahun 2011. [Tesis]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 32. Yulistiyani, Lili. (2012). Pajanan Debu Teh (PM10) dengan Gejala ISPA pada Pekerja Pabrik Teh di 3 Kecamatan (Kecamatan Cipanas, Pacet, Cibeber) Kabupaten Cianjur Tahun 2012. [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 33. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Universitas Indonesia Analisis faktor…, Fitri Kurniasari, FKM UI, 2014