Laporan Kasus LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK DENGAN MANIFESTASI KUTAN WIDESPREAD DISCOID LUPUS ERYTHEMATOSUS: TINJAUAN FAKTOR RISIKO Nunik Sriwahyuni, Ika Fatimah Damayanti, Dwi Retno Adi Winarni Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr Sardjito Yogyakarta ABSTRAK Lupus eritematosus (LE) seringkali disebut sebagai the great imitator. Lupus eritetematosus kutan subakut tipe papuloskuamosa seringkali menyerupai psoriasis vulgaris secara klinis, sehingga diagnosis secara definitif perlu ditegakkan agar tidak berakibat fatal dalam pemilihan terapi. Berbagai faktor risiko LE kutan berkembang menjadi LE sistemik antara lain klinis, genetik, hormonal, dan lingkungan (virus, obat, paparan sinar ultraviolet, dan merokok). Seorang wanita berusia 38 tahun, pada hampir seluruh tubuh tampak bercak dan plak eritematosa sebagian hipopigmentasi, disertai skuama putih tipis di atasnya, multipel, didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris, diterapi dengan fototerapi narrow-band UVB dosis 500 sampai 825 mJ/cm2. Dua minggu kemudian pasien merasa lemas, dan lesi kulit memburuk. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia, peningkatan enzim hati, fungsi ginjal dan lactodehidrogenase, ANA dan anti dsDNA positif. Gambaran histopatologis pada epidermis tampak ortokeratosis tipe basket wave, atrofi, spongiosis, vakuolisasi sel basal, sunburn cells, sebukan sel radang dominsi limfosit terutama di dermis atas, dan dropping melanin. Diagnosis kerja adalah LE sistemik dengan diskoid LE (DLE) yang tersebar luas. Lesi DLE yang tersebar luas berisiko menjadi LE sistemik. Kasus ini awalnya didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris karena manifestasi klinis menyerupai psoriasis vulgaris, dan diterapi fototerapi NBUVB. Fototerapi diduga sebagai faktor yang memicu timbulnya LE sistemik. (MDVI 2014;41/S:36S - 41S) Kata kunci: Lupus erythematosus, widespread DLE, Risiko fototerapi ABSTRACT Lupus erithematosus (LE) often called as the great imitator because the wide variety of clinical manifestation. Papulosquamous subtype subacute cutaneous LE is known to mimic psoriasis vulgaris, therefore definitive diagnosis is necessary in order not to be fatal in the treatment choice. Risk factor cutaneous LE progress to systemic LE are clinical , genetic, hormonal, environmental factors (viral, drug, ultraviolet exposure, smoking). Female, 38 old has multiple erythematousus, hypopigmented patch-plaque on the almost whole of body, she was diagnosed as psoriasis vulgaris, treated by 500-800 mJ/cm2 narrow band UVB phototherapy. Two weeks latter, patient feel weak, the lesion become worsen. Laboratory examination show anemia, elevated liver, renal function test, and lactodehidrogenase, possitive ANA and dsDNA test. Histopatological feature appear basket wave type orthokeratoses, epidermal atrophy, spongiosis, vacuolar basal cells, sun burn cells, inflammmatory cells infiltration of lymphocites predominance, and droping melanin especially on the upper dermis. The working diagnosis is systemic LE with widespread discoid LE (DLE). Widespread DLE has greater risk to develop into systemic LE. Patient was diagnosed as psoriasis vulgaris initially, because the clinical features mimic to psoriasis, then treated by narrow band UVB phototherapy. Phototherapy tought as a triger onset of systemic LE. (MDVI 2014;41/ S:36S - 41S) Keywords: Lupus erythematosus, widespread DLE, phototherapy risk Korespondensi : Gd. Radiopoetra Lt.3, Jl. Farmako, Sekip, Yogyakarta Telp: 0274 - 560700 Email: [email protected] 36S N Sriwahyuni, dkk Lupus erimatosus sistemik dengan manifestasi kutan widespread discoid lupus erythematous PENDAHULUAN KASUS Lupus eritematosus (LE) merupakan penyakit autoimun yang dengan spektrum klinis luas berupa lesi kulit hingga kelainan sistemik yang mengancam jiwa yaitu artritis, nefritis, serositis, dan keterlibatan sistem saraf pusat.1 LE kutan merupakan manifestasi klinis tersering kedua setelah kelainan reumatologik.2 LE kutan dibagi menjadi LE kutan spesifik dan LE kutan non spesifik. LE kutan spesifik secara klinis dan histopatologis dibagi menjadi LE kutan akut, LE kutan subakut, LE kutan kronik.1-3 LE discoid (LED) termasuk dalam kelompok LE kutan kronik, terdiri atas bentuk lokalisata dan generalisata atau tersebar luas.3,4 Prevalensi lupus eritematosus sistemik (LES) di Amerika Serikat sekitar 51 per 100.000 penduduk. Insidens LES di Amerika Utara, Amerika Selatan dan Eropa berkisar antara 2 sampai 8 per 100.000 penduduk. Kejadian LES pada laki-laki lebih rendah kecenderungan fotosensitif dan lebih tinggi serositis.5 Lupus eritematosus kutan terjadi 2 sampai 3 kali lebih sering dibanding LES. Pada LED dapat dijumpai keterlibatan sistemik sebanyak 15 sampai 30%, baik LED lokalisata (5%) maupun LED tersebar luas (25%).2,3 Penyakit LED dapat terjadi pada semua umur, namun prevalensi tertinggi terjadi pada usia 20 sampai 40 tahun. Rasio LED pada perempuan dan laki-laki 3:2 sampai 3:1, dapat mengenai semua ras namun berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa LED lebih sering terjadi pada orang kulit hitam.3 Angka kejadian LED di RSUP Dr. Sardjito dari tahun 2009 hingga 2013 dijumpai 18 kasus, sedangkan jumlah kasus LED tersebar luas dengan LES dalam periode yang sama dijumpai sebanyak 6 kasus. Lupus eritematosus seringkali disebut the great imitator karena manifestasi klinis yang bervariasi. Salah satunya, yaitu LE kutan menyerupai bentuk klinis psoriasis. Lupus eritetematosus kutan subakut tipe papuloskuamosa seringkali sulit dibedakan dengan psoriasis vulgaris secara klinis, sehingga diagnosis secara definitif perlu dipastikan agar tidak berakibat fatal dalam pemilihan terapi.3,6 Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko LE kutan berkembang menjadi LES yaitu faktor klinis, genetik, hormonal, dan lingkungan. Faktor klinis berupa luas lesi kulit yang melibatkan area di bawah leher dan daerah tidak terpajan atau meningkatkan risiko LE kutan berkembang menjadi LES.7 Faktor lingkungan yang pernah dilaporkan berperan dalam kejadian LES yaitu virus, obat, pajanan sinar ultraviolet (UV), dan merokok.3 Makalah ini akan melaporkan satu kasus LES dengan manifestasi kutan LED yang tersebar luas akibat induksi oleh fototerapi. Tujuan penulisan makalah ini untuk memaparkan faktor risiko LED tersebar luas yang dapat berkembang menjadi LES sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan kita sebagai klinisi dan dapat memberikan terapi secara tepat dan akurat. Seorang wanita, berinisial S, usia 38 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, beralamat di Karang Padang, Serut, Gunung Kidul, datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Sardjito pada tanggal 3 Mei 2013 dengan keluhan utama berupa bercak-bercak kemerahan di hampir seluruh tubuh disertai rasa lemas. Sejak kurang lebih 1 tahun sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan tentang bercak-bercak berwarna ungu kehitaman yang muncul di badan, tanpa rasa gatal maupun nyeri. Bercak makin lama makin bertambah banyak dan menyebar di badan. Pasien memeriksakan diri ke dokter umum dengan diagnosis dan terapi yang tidak diketahui. Pasien mengatakan keluhan membaik namun kemudian muncul kembali. Kurang lebih 5 bulan, pasien sering mengeluh badan terasa lemas, yang diobati sendiri dengan tablet deksametason 0,5 mg diminum sekali sehari dan tablet natrium diklofenak 50 mg diminum sekali sehari. Keluhan membaik, kemudian muncul kembali. Kurang lebih 3 bulan memeriksakan diri ke dokter spesialis kulit dan kelamin di Klaten, diagnosis tidak diketahui oleh pasien, mendapat obat minum dan salep racikan yang tidak diketahui nama obatnya, dikatakan keluhan di kulit membaik. Dalam waktu 1 bulan kemudian pasien mengeluhkan bercak-bercak ungu kehitaman berubah menjadi kemerahan dan bersisik menyebar ke wajah, lengan, dan tungkai. Kulit menjadi merah saat terkena sinar matahari. Pasien juga mengeluhkan rambut rontok dan demam. Dua minggu kemudian pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Subbagian Eritroskuamosa RSUP Dr. Sardjito, didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris, skor PASI 16, diterapi dengan fototerapi narrow-band UVB rentang dosis 500 sampai 825 mJ/cm2. Hasil pemeriksaan laboratorium pada saat itu menunjukkan anemia (Hb 7,4 g/dl), peningkatan enzim hati (SGOT 308 mg/dl; SGPT 150 mg/dl), peningkatan fungsi ginjal (BUN 24,3 mg/dl; kreatinin 1,75 mg/dl), hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia, kemudian dirujuk ke Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito, pasien dipulangkan. Pada hari masuk perawatan rumah sakit, pasien mengeluhkan demam dan badan terasa lemas. Kelainan kulit dirasakan pasien semakin bertambah banyak. Riwayat nyeri otot dan sendi, riwayat penyakit serupa, riwayat atopi dan riwayat alergi obat disangkal. Pasien mengeluhkan bercak merah di pipi saat terkena sinar matahari. Riwayat penyakit dalam keluarga, riwayat sakit serupa dan atopi disangkal. Pemeriksaan fisis pasien ini menunjukkan keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis, status gizi kesan normal, dengan tekanan darah 100/70 mmHg, kecepatan respirasi 20 kali per menit, kecepatan denyut jantung 100 kali per menit dan suhu 38,5oC. Status dermatologis daerah wajah terutama malar, tampak plak eritem sebagian hipopigmentasi, bentuk iregular, batas tegas, disertai skuama putih tipis di 37S MDVI Gambar 1. Servisitis klamidia pada i hamil di rumah sakit khusus ibu dan anak Vol 41 No. Suplemen Tahun 2014; 36 S - 41 S Saat datang, pasien didiagnosis psoriasis vulgaris pada wajah, dada punggung, ekstremitas tampak plak hipopigmentasi dengan skuama putih tipis di atasnya multipel tersebar, sebagian patch hiperpigmentasi Gambar 2. Dua minggu setelah fototerapi, pasien didiagnosis SLE.pada wajah, dada, punggung, ekstremitas tampak papul, plak eritem, sebagian hipopigmentasi dan hiperpigmentasi, bentuk ireguler multipel tersebar. atasnya, multipel, tersebar. Pada badan dan ekstremitas tampak papul plak eritematosa sebagian hipopigmentasi, bentuk iregular, batas tegas, disertai skuama putih tipis di atasnya, multipel, tersebar. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, pasien didiagnosis banding sebagai LED, psoriasis fotosensitif, dan dermatomiositis. Tiga kali pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan anemia, hipoalbuminemia, peningkatan SGOT dan SGPT. Pemeriksaan enzim otot menunjukkan peningkatan lactodehidrogenase (650 IU/L). Hasil pemeriksaan ANA dan 38S anti dsDNA positif. Hasil 2 kali pemeriksaan urin rutin mendapatkan proteinuria +1 dan +2, hematuria, leukosit +2, nitrit +2, dan bakteri 15.657,1. Hasil pemeriksaan elektrokardiografi menunjukkan sinus takikardi dengan kecepatan denyut jantung 100 kali per menit. Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan kardiomegali dan paru dalam batas normal. Pemeriksaan biopsi kulit diambil dari bercak eritematosa di daerah lengan(sun-exposed) dan punggung (non-exposed). Gambaran histopatologis epidermis tampak ortokeratosis tipe basket wave, atrofi, spongiosis, degenerasi vakuolar sel basal, dan tampak sunburn cells. N Sriwahyuni, dkk Gambar 3. Lupus erimatosus sistemik dengan manifestasi kutan widespread discoid lupus erythematous Hasil pemerksaan histopatologi. Epidermis tampak orthokeratosis tipe basket wave, atrofi,spongiosis, degenerasi vakuolar sel basal dan sunburn cells. Dermis tampak dropping melanin, sebukan sel radang dominasi limfosit Pada dermis tampak sebukan sel radang dengan dominasi limfosit terutama di dermis atas, dijumpai dropping melanin. Kesimpulan hasil biopsi sesuai dengan LE kutan akut. Pasien dirujuk ke bagian Neurologi untuk kelemahan otot. Pada hasil pemeriksaan neurologis didapatkankelemahan keempat anggota gerak. Diagnosis bagian Neurologi adalah tetraparese, dan disarankan untuk fisioterapi aktif setelah nyeri pada otot yang digerakkan berkurang atau hilang. Pasien dirawat bersama dengan bagian Ilmu Penyakit Dalam Subbagian Reumatologi dan Infeksi Tropis dengan diagnosis lupus eritematosus sistemik dan infeksi saluran kencing. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang maka ditegakkan diagnosis kerja sebagai lupus eritematosus sistemik dengan discoid LE yang tersebar luas. Penatalaksanaan spesifik pada pasien ini dengan metilprednisolon 48 mg/hari dan klorokuin 250 mg/hari. Pengobatan non spesifik yang diberikan adalah Cetirizin tablet 1x1 dan pengobatan topikal olleum cocos 2 kali sehari serta salep Gentamisin 2 kali sehari di daerah erosi. Untuk infeksi saluran kencing diberikan tetrasiklin 4 kali 500 mg selama 7 hari. PEMBAHASAN Karakteristik penyakit lupus eritematosus yaitu respons imun terhadap antigen endogen. Autoantigen dihasilkan oleh sel yang mengalami apoptosis, kemudian dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T. Sel T yang teraktivasi dan sel B memproduksi antibodi terhadap komponen tubuh sendiri dengan cara mensekresi sitokin yaitu interleukin (IL)-10 dan IL-23, dan pada permukaan sel menghasilkan CD40L dan CTLA-4. Proses apoptosis juga menginduksi produksi interferon- imun dan aktivasi komplemen menimbulkan kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan diperantarai oleh akumulasi sel radang, produksi sitokin inflamasi, dan pengaturan jalur koagulasi. Sitokin inflamasi yang dihasilkan yaitu IFNdan tumor necrosis factor (TNF) berperan dalam kerusakan jaringan.5 Penyakit LE diskoid yang tersebar luas merupakan lesi diskoid yang dapat timbul di wajah dan area tubuh lain. Terminologi LE diskoid yang tersebar luas sesuai dengan tipe kronik diseminata menurut klasifikasi Michelson, sedangkan LE diskoid generalisata mengacu pada klasifikasi Pascher.4 Pada kasus, diagnosis LE diskoid yang tersebar luas ditegakkan berdasarkan gambaran klinis berupa lesi diskoid di wajah, badan, dan ekstremitas, dan gambaran histopatologis berupa epidermis dengan ortokeratosis tipe basket wave, atrofi, spongiosis, degenerasi vakuolar sel basal, sunburn cells (SBC); di dermis tampak sebukan sel radang dengan dominasi limfosit terutama di dermis atas, dijumpai dropping melanin. Kesimpulan sesuai dengan LE diskoid karena terdapat sunburn cells yang merupakan gambaran proses akut. Kasus juga memenuhi 4 dari 11 kriteria American College of Rheumatology yaitu fotosensitif, lesi diskoid, titer anti ds-DNA dan ANA positif, sehingga diagnosis ;LES dapat ditegakkan.3-6 Lupus eritematosus merupakan the great imitator karena seringkali menyerupai penyakit lainnya.7 Lupus eritematosus kutan subakut dapat didiagnosis banding dengan psoriasis fotosensitif. Psoriasis fotosensitif merupakan varian psoriasis vulgaris yang sensitif terhadap cahaya, ditandai dengan plak eritematosa disertai skuama putih keperakan lekat yang ditegakkan secara klinis dan histopatologis, kekambuhan penyakitnya diinduksi oleh pajanan sinar UV.3,8-10 Kasus ini pada awalnya ditegakkan diagnosis sebagai psoriasis vulgaris dan diterapi fototerapi NBUVB karena secara klinis menyerupai LE kutan subakut tipe papuloskuamosa. Diagnosis psoriasis fotosensitif dapat disingkirkan, karena 39S MDVI Servisitis klamidia pada i hamil di rumah sakit khusus ibu dan anak Vol 41 No. Suplemen Tahun 2014; 36 S - 41 S gambaran histopatologi yang merupakan baku emas psoriasis tidak sesuai dengan gambaran psoriasis, walaupun secara klinis lesi kulit mirip dengan psoriasis vulgaris yaitu berupa plak eritematosa dengan skuama di atasnya. Diagnosis banding dermatomiositis diajukan karena terdapat riwayat kelemahan otot pada pasien. Menurut Bohan dan Peter (1987), kriteria diagnosis dermatomiositis, yaitu: (1) kelemahan otot batang tubuh secara simetris terutama pada otot bahu dan pinggul yang memburuk dalam hitungan minggu dan bulan dengan atau tanpa disfagia disertai kelemahan otot-otot respirasi; (2) biopsi otot positif; (3) peningkatan enzim otot; (4) perubahan elektromiografi yang ditandai trias motor unit polifasik yang pendek dan kecil, gelombang tajam fibrilasi positif, bizarre (pelepasan kompleks frekuensi tinggi berulang); dan (5) manifestasi kulit, meliputi Gottron's papule, Gottron's sign, dan heliotrope. Untuk diagnosis dermatomiositis harus memenuhi minimum 3 dari 4 kriteria pertama dan kriteria terakhir harus ada.11-13 Diagnosis banding dermatomiositis juga dapat disingkirkan karena secara klinis hanya dijumpai keluhan lemah otot namun lokasi kurang spesifik, peningkatan lactodehidrogenase, tidak dijumpai lesi kulit khas seperti gottron's papule dan heliotrope. Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan elektromigrafi dan biopsi otot, karena keterbatasan biaya. Terdapat berbagai faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko perkembangan LE kutan menjadi LES. Faktor genetik dapat berperan dalam meningkatkan risiko berkembangnya LE kutan menjadi LES, misalnya metilasi DNA dan modifikasi histon pasca translsi yang dapat diwariskan ataupun modifikasi lingkungan. Epigenetik mengacu pada perubahan ekspresi gen.14 Gen utama yang berperan dalam patogenesis LES adalah HLA pada kromosom 6. HLA kelas I, II, dan III berkaitan dengan LES, namun hanya HLA kelas I dan II yang berkontribusi dalam meningkatkan risiko berkembang menjadi LES. Gen lain yang terkait LEC yaitu IRF5, PTPN22, STAT4, CDKN1A, ITGAM, BLK, TNSF4 dan BANK1.15 Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan genetik untuk mengetahui adakah efek epigenetik yang berperan dalam perkembangan LE kutan menjadi LES. Faktor klinis penyakit dapat meningkatkan risiko LES. Luasnya lesi kulit, teleangiektasi periungual, artritis dan atralgia dapat meningkatkan kejadian LES. Lesi kulit pada kasus berupa lesi diskoid yang multipel tersebar luas meningkatkan risiko perkembangan LE kutan menjadi LES. Pada pasien LE LE diskoid yang tersebar luas di Thailand risiko terjadi LES sebesar 2,2 kali secara signifikan. Teleangiektasi periungual dijumpai pada 6,4% pasien LES, sehingga menjadi penanda keterlibatan sistemik. Artritis dan atralgia merupakan manifestasi ekstrakutan tersering LES dan LE diskoid. Pada pasien LES dan LE diskoid dijumpai atralgia sebanyak 40%.6,9,16 Pada kasus hanya dijumpai LE diskoid yang tersebar luas yang dapat meningkatkan risiko berkembang menjadi LES. 40S Faktor lain yang berperan dalam meningkatkan risiko LE kutan berkembang menjadi LES adalah lingkungan. Faktor lingkungan yang diduga dapat memicu kerjadian LES yaitu pajanan sinar UV, obat, infeksi virus. Pada kasus, sebelum didiagnosis sebagai LES dengan LE diskoid yang tersebar luas, dianggap sebagai psoriasis vulgaris sehingga diterapi dengan fototerapi NB-UVB. Fototerapi diduga menjadi faktor yang berperan timbulnya LES. Gambaran histopatologi epidermis menunjukkan sunburn cell dan disimpulkan sebagai LE kutan akut. Sunburn cells adalah keratinosit yang mengalami apoptosis sebagai mekanisme perlindungan terhadap efek karsinogenik radiasi sinar UVB. Pembentukan SBC diatur oleh sinyal kaskade yang timbul akibat kerusakan DNA, kelompok reseptor membran, dan pembentukan oksigen reaktif. Ultraviolet B merupakan penginduksi kuat terjadi apoptosis keratinosit. RNA dan DNA sel yang mengalami apoptosis akan menginduksi sel dendritik plasmasitoid untuk memproduksi IFNgangguan bersihan (clearance) sel yang mengalami apoptosis pada LES. Hal ini kemungkinan karena autoantibodi mengikat sel apoptosis, sehingga terjadi penundaan bersihan sel apoptosis dan proinflamasi Sunburn cells pada gambaran histopatologi kasus menunjukkan sebuah kondisi akut LE kutan. Hal ini juga meningkatkan risiko berkembangnya LE kutan menjadi LES. Faktor risiko obat yang dapat menginduksi LES tidak dijumpai pada kasus. Obat-obatan yang dilaporkan maupun meningkatkan risiko terjadi LES yaitu prokainamid, hidralazin, dan TNF-obat tersebut menginduksi terjadinya autoantibodi. Patogenesis obat dalam menginduksi terjadinya LES masih belum jelas, namun diduga terdapat kecenderungan genetik yang berperan, terutama obat-obat yang dimetabolisme melalui proses asetilasi. Golongan obat tersebut dapat mengubah ekspresi gen dalam sel T CD4+ dengan cara menghambat metilasi DNA sehingga menyebabkan ekspresi antigen berlebihan dan mengakibatkan autoreaktivitas.18,19 Epstein-Barr virus (EBV) dilaporkan sebagai faktor yang dapat berperan dalam perkembangan LES. EBV berinteraksi dengan sel B dan mendorong sel dendritik plasmasitoid untuk memproduksi IFNpeningkatan produksi IFNakibat infeksi virus. Pada kasus tidak dilakukan pelacakan ke arah kemungkinan adanya infeksi virus karena tidak ada indikasi dari hasil laboratorium darah.20 Faktor hormonal juga dapat menginduksi LES. Pemberian tambahan hormon estrogen dan prolaktin merupakan fenotip autoimun karena terjadi peningkatan afinitas tinggi sel B autoreaktif matur. Penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko LES sebesar 1,9 kali. Kondisi kehamilan dapat meningkatkan kekambuhan LES, diduga karena faktor hormonal.21,22 Pada kasus, pasien tidak menggunakan alat kontrasepsi hormonal dan tidak sedang dalam kondisi hamil. N Sriwahyuni, dkk Lupus erimatosus sistemik dengan manifestasi kutan widespread discoid lupus erythematous DAFTAR PUSTAKA 1. Durosaro O, Davis MD, Reed KB, Rohlinger AL. Incidence of cutaneous lupus erythematosus, 1965-2005: A populationbased study. Arch Dermatol 2009; 145:249-53. 2. Cardinali C, Caproni M, Bernacchi E, Amato L, Fabbri P. The spectrum of cutaneous manifestations in lupus erythematosus the Italian experience. Lupus 2000; 9:417-23. 3. Costner MI. Sontheimer RD. Lupus Erythematosus. Dalam Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine 7thed. New York:Mc Graw Hill co. 2012; 155: 2721-42. 4. Tebbe B. Clinical course and prognosis of cutaneous lupus erythematosus. Clin Dermatol 2004; 22:121-4. 5. Wallace DJ, Pistiner M, Nessim S, Metzger AL, Klinenberg JR. Cutaneous lupus erythematosus without systemic lupus erythematosus: Clinical and laboratory features. Semin Arthritis Rheum 1992; 21:221-6. 6. Ng PP, Tan SH, Koh ET, Tan T. Epidemiology of cutaneous lupus erythematosus in a tertiary referral centre in Singapore Australas J Dermatol 2000; 41:229-33. 7. Scott A, Rees EG. The relationship of systemic lupus erythematosus and discoid lupus erythematosus: A clinical and hematological study. Arch Dermatol 1959; 79:444-35. 8. Callen JP. Chronic cutaneous lupus erythematosus - clinical, laboratory, therapeutic, and prognostic examination of 62 patients. Arch Dermatol 1982; 118:412-6. 9. Healy E, Kieran E, Rogers S. Cutaneous lupus erythematosus A study of clinical and laboratory prognostic factors in 65 patients. Ir J Med Sci 1995; 164:113-5. 10. Insawang M, Kulthanan K, Chularojanamontri L, Papapit T, Sumrauy P. Discoid lupus erythematosus: Description of 130 cases and review of their natural history and clinical course. J Clin Immunol Immunopath Res 2010; 2:1-8. 11. Millard LG, Rowell NR. Abnormal laboratory test results and their relationship to prognosis in discoid lupus erythematosus. A longterm follow-up study of 92 patients. Arch Dermatol 1979;115:1055-8. 12. Shrank AB, Doniach D. Discoid lupus erythematosus. Correlation of clinical features with serum auto-antibody pattern. Arch Dermatol 1963; 87:677-85. 13. Callen JP. Systemic lupus erythematosus in patients with chronic cutaneous (discoid) lupus erythematosus. Clinical and laboratory findings in seventeen patients. J Am Acad Dermatol 1985; 12:278-88. 14. Gronhagen CM, Fored CM, Granath F, Nyberg F. Cutaneous lupus erythematosus and the association with systemic lupus erythematosus: A population-based cohort of 1088 patients in Sweden. Br J Dermatol 2011; 164:1335-41. 15. Martens HA, Nolte IM, Steege G, Schipper M, Kallenberg CGM, Meerman GJ. An extensive screen of the HLA region reveals an independent association of HLA class I and class II with susceptibility for systemic lupus erythematosus. Scand J Rheumatol 2009;38:256-62. 16. Heinlen LD, McClain MT, Merrill J, Akbarali YW, Edgerton CC, Harley JB, et al. Clinical criteria for systemic lupus erythematosus precede diagnosis, and associated autoantibodies are present before clinical symptoms. Arthritis Rheum 2007;56:2344-51. 17. James JA, Kim-Howard XR, Bruner BF, Jonsson MK, McClain MT, Arbuckle MR, et al. Hydroxychloroquine sulfate treatment is associated with later onset of systemic lupus erythematosus. Lupus 2007; 16:401-9. 18. Siso A, Ramos-Casals M, Bove A, Soria N, Munoz S, Testi A, et al. Previous antimalarial therapy in patients diagnosed with lupus nephritis: Influence on outcomes and survival. Lupus 2008; 17:281-8. 19. O'Loughlin S, Schroeter AL, Jordon RE. A study of lupus erythematosus with particular reference to generalized discoid lupus. Br J Dermatol 1978; 99:1-11. 20. Koskenmies S, Jarvinen TM, Onkamo P, Panelius J, Tuovinen U, Hasan T, et al. Clinical and laboratory characteristics of Finnish lupus erythematosus patients with cutaneous manifestations. Lupus 2008; 17:337-47. 21. Tebbe B, Mansmann U, Wollina U, Auer-Grumbach P, LichtMbalyohere A, Arensmeler M, et al. Markers in cutaneous lupus erythematosus indicating systemic involvement. A multicenter study on 296 patients. Acta Derm Venereol 1997;77:305-8. 22. Dubois EL, Martel S. Discoid lupus erythematosus: An analysis of its systemic manifestations. Ann Intern Med. 1956; 44:482-96. 41S