BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Sapi Bali Sapi bali

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Sapi Bali
Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan sapi yang berdarah murni karena
merupakan hasil domestikasi langsung dari banteng liar. Sapi bali sebagai salah satu
bangsa sapi memiliki ciri-ciri tersendiri (khusus) yang berbeda dengan bangsa sapi
lainnya (Guntoro, 2002).
Menurut Haryana (1989), sapi bali jantan maupun betina sewaktu lahir
memiliki bulu berwarna merah bata. Setelah dewasa kelamin, warna bulu sapi bali
jantan berubah menjadi hitam karena adanya pengaruh hormon testosteron (hormon
kelamin jantan), karena jika sapi bali jantan dikebiri, warna bulunya yang hitam akan
berubah menjadi merah. Dibandingkan dengan sapi potong lainnya, sapi bali
memiliki ciri yang khas, yaitu kaki pendek, badan panjang, ukuran lingkar dada
cukup besar, fertilitas tinggi, kadar lemak karkas rendah, dan persentase karkas relatif
tinggi (Payne dan Williamson, 1978). Darmadja dan Oka (1996) menyatakan pada
kedua paha belakang sapi bali terdapat bulu putih (white mirror), warna bulu dibawah
persendian dari keempat kaki berwarna putih (white stocking). Pada jalur garis
punggung terdapat garis belut (garis hitam) dan bulu pada ujung ekor berwarna hitam.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa tanduk sapi jantan besar, tumbuh kesamping keatas
runcing, sedangkan tanduk betina lebih kecil (Darmadja, 1980).
5
Masudana (1990) menyatakan bahwa sapi bali memiliki kemampuan yang
baik untuk cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Daya tahan
terhadap panas atau hujan (tanpa dikandangkan) termasuk yang terbaik diantara sapisapi lain yang ada di Indonesia, bahkan ia dapat hidup dengan baik walaupun dengan
pakan berupa daun bambu kering, pelepah kelapa, dan batang ketela pohon. Sapi bali
mempunyai tinggi badan mencapai 130 cm, berat badan berkisar 300-400 kg, dengan
asumsi pertambahan bobot badan harian mencapai 0,7 kg. Persentase karkasnya
berkisar 56-57% terdiri atas: daging 41,7%, tulang 9,2%, lemak 0,6%, ekor 0,4%, dan
sisa-sisa 0,1% (Bandini, 1999).
2.2 Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia
Sistem pencernaan adalah sebuah sistem yang terdiri atas saluran pencernaan
yang dilengkapi dengan beberapa organ yang bertanggung jawab atas pengambilan,
penerimaan, dan pencernaan bahan makanan dalam perjalanannya melalui saluran
pencernaan mulai dari rongga mulut sampai ke anus (Sutardi, 1979). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa sistem pencernaan bertanggung jawab pula pada proses pengeluaran
(ekskresi) bahan-bahan makanan yang tidak diserap atau yang tidak dapat diserap
kembali, sedangkan proses pencernaan adalah proses perubahan fisik dan kimia yang
dialami bahan ransum menjadi partikel yang lebih kecil dan penguraian molekul
kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana (Tillman et al., 1984). Pencernaan
sangat penting bagi ternak karena zat gizi yang terdapat pada ransum dalam bentuk
yang tidak larut perlu dipecah menjadi senyawa yang lebih kecil.
6
Berdasarkan perubahan yang terjadi pada bahan makanan dalam alat
pencernaan, maka proses pencernaan dibagi atas tiga yaitu pencernaan mekanik yang
terjadi di dalam mulut, pencernaan fermentatif yang terjadi di rumen oleh mikroba
rumen, dan pencernaan hidrolitik oleh enzim pencernaan. Proses pencernaan secara
mekanik (di mulut), dimulai dengan penempatan makanan di dalam mulut, dimana
terdapat pemamahan atau pelumatan dengan pengunyahan (Tillman et al., 1984).
Davies (1982) melaporkan bahwa saliva merupakan cairan sekresi dalam jumlah
banyak berupa senyawa alkali dan buffer yang dihasilkan oleh lima pasang kelenjar
dan tiga kelenjar tidak berpasangan di dalam rongga mulut. Menurut Arora (1995),
saliva dihasilkan oleh kelenjar parotid, submaksilaris dan sublingualis. Produksi
saliva ini bergantung pada jenis pakan yang dikonsumsi, bila pakan yang dikonsumsi
lebih banyak pakan berserat maka saliva yang dihasilkan juga banyak. Saliva juga
berfungsi sebagai kontrol pH rumen dan kontrol tekanan osmotik cairan rumen.
Pencernaan fermentatif pada ternak ruminansia terjadi di dalam rumen atau
retikulorumen berupa perubahan senyawa-senyawa tertentu menjadi senyawa lain
yang sama sekali berbeda dari molekul zat asalnya (Sutardi, 1980). Rumen sebagai
tempat pencernaan fermentatif dihuni oleh tiga jenis mikroorganisme yaitu: bakteri,
protozoa, dan fungi (jamur) kesemuanya memegang peranan penting dalam
pencernaan makanan. Pada pakan yang banyak mengandung serat kasar, maka bakteri
dan fungi akan berkembang dengan baik, sedangkan pada pakan yang banyak
mengandung karbohidrat mudah larut (fermentable), maka protozoa akan
berkembang lebih banyak (Preston dan Leng, 1987).
7
Perut ternak ruminansia dibagi menjadi empat bagian, yaitu retikulum, rumen,
omasum, dan abomasum. Rumen merupakan bagian lambung yang terbesar,
permukaan bagian dalamnya tidak halus, tetapi terdapat tonjolan-tonjolan halus yang
disebut papillae, papillae berfungsi untuk memperbesar luas permukaan dinding
rumen, sehingga absorbsi dari produk fermentasi (VFA) lebih besar. Rumen dan
retikulum dihuni oleh mikroba dengan kondisi anaerob dengan suhu 39 oC dan pH
rumen 6-7 (Sutardi, 1976).
Rumen dan retikulum mempunyai kapasitas lebih dari 50% dari seluruh
kapasitas organ pencernaan. Bagian ini besar karena berfungsi untuk tempat
pencernaan digesta selulosa dan karbohidrat sejenis dengan bantuan enzim dari
mikroorganisme, absorbsi, pencampuran ingesta, pembentukan vitamin B kompleks
dan vitamin K (Arora, 1995).
Retikulum ukurannya lebih kecil dari rumen. Sering disebut dengan retikulo
rumen karena bersama-sama rumen berfungsi sebagai alat pencernaan fermentatif.
Permukaan dalam retikulum menyerupai bentuk sarang tawon, yang berfungsi
mendorong pakan padat dan ingesta ke dalam rumen atau mengalirkan ingesta selama
ruminasi. Pola fermentasi di dalam organ ini serupa dengan yang terjadi di dalam
rumen (Arora, 1995).
Bagian ketiga dari lambung yang terletak di sebelah kanan rumen disebut
omasum. Dinding bagian dalamnya ditaburi lamina sehingga menambah luas
permukaannya (Arora, 1995). Fungsi omasum dalam proses pencernaan adalah
8
membantu memperkecil ukuran partikel pakan dalam mengendalikan aliran ingesta
ke dalam perut bagian belakang serta absorbsi nutrien (Church dan Pond, 1982).
Bagian terakhir disebut abomasum atau perut sejati, merupakan tempat
pertama terjadinya pencernaan pakan secara kimiawi atau enzimatik karena adanya
sekresi getah lambung. Abomasum mempunyai fungsi yang sama dengan perut
ternak non-ruminansia yaitu tempat pencernaan pakan oleh enzim yang dihasilkan
sel-sel dalam tubuh hewan maupun berupa getah-getah pencernaan serta penyerapan
nutrien (Church dan Pond, 1982).
Di dalam rumen terdapat populasi mikroba yang cukup banyak jumlahnya.
Mikroba rumen dapat dibagi dalam tiga grup utama yaitu bakteri, protozoa dan fungi.
Kehadiran fungi di dalam rumen diakui sangat bermanfaat bagi pencernaan pakan
serat, karena dia membentuk koloni pada jaringan selulosa pakan. Rizoid fungi
tumbuh jauh menembus dinding sel tanaman sehingga pakan lebih terbuka untuk
dicerna oleh enzim bakteri rumen. Bakteri rumen dapat diklasifikasikan berdasarkan
substrat utama yang digunakan, karena sulit mengklasifikasikan berdasarkan
morfologinya. Protozoa rumen diklasifikasikan menurut morfologinya yaitu:
Holotrics yang mempunyai silia hampir diseluruh tubuhnya dan mencerna
karbohidrat yang fermentable, sedangkan oligotrics yang mempunyai silia di sekitar
mulut umumnya merombak karbohodrat yang lebih sulit dicerna (Arora, 1995).
Efisiensi ternak ruminansia dalam memanfaatkan pakan yang bervariasi
berkaitan dengan tingginya jumlah mikroba di dalam rumen yang terdiri dari bakteri
sebanyak 1010 – 1011 sel/ml (50 jenis), protozoa sebanyak 104 – 106 sel/ml (25 jenis),
9
fungi anaerob sebanyak 103 – 105 zoospore/ml (5 jenis), dan bakteriophages sebanyak
108 – 109 sel/ml (Kamra, 2005).
2.3 Konsumsi dan Koefisien Cerna Ternak Ruminansia
Konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan
menentukan produksi. Sehingga dengan mengetahui tingkat konsumsi dapat
ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidup pokok dan produksi. Hewan yang mempunyai sifat dan kapasitas konsumsi
yang lebih tinggi, produksinya pun relatif akan lebih tinggi dibandingkan dengan
hewan (yang sejenis) dengan kapasitas atau sifat konsumsi rendah dengan ransum
yang sama (Kleiber, 1961 dalam Parakkasi, 1999). Tingkat konsumsi seekor sapi
pedaging dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks yaitu jenis hewannya
sendiri, pakan yang diberikan dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara.
Menurut Parakkasi (1999) yang dimaksud faktor hewan adalah permintaan
fisiologis dari hewan tersebut untuk hidup pokok dan produksi sesuai dengan
kapasitas saluran pencernaan dari hewan bersangkutan. Oleh karena itu dapat dibagi
menjadi beberapa faktor yang terkait dengan produksi dan kapasitas saluran
pencernaan seperti bobot badan/ukuran besarnya tubuh, bobot badan dewasa, jenis
kelamin, umur, faktor genetik dan tipe bangsa sapi. Lebih lanjut Tillman et al. (1998)
menyatakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu berat
badan, individu ternak, tipe dan tingkat produksi, jenis pakan serta lingkungan.
Tingkat konsumsi akan nyata menurun bersama dengan tingkat kedewasaan sapi yang
bersangkutan dan kegemukan juga akan menurunkan nafsu makan, hal ini mungkin
10
disebabkan oleh adanya kompetisi dalam pengisian rongga abdominalis atau adanya
feedback dari jaringan lemak (Tylor, 1969 dalam Parakkasi, 1999).
Faktor lingkungan pada dasarnya dapat berpengaruh langsung seperti
temperatur, kelembaban dan sinar matahari ataupun berpengaruh tak langsung seperti
pengaruh cuaca terhadap kualitas bahan makanan dan konsumsi (Parakkasi, 1999).
Lebih lanjut dijelaskan temperatur lingkungan juga dapat mempengaruhi efisiensi
penggunaan pakan, misalnya temperatur di bawah optimum, efisiensi menurun karena
ternak lebih banyak makan guna mempertahankan temperatur tubuh yang normal.
Sebaliknya, pada temperatur di atas optimum ternak akan menurunkan tingkat
konsumsinya guna mengurangi temperatur tubuh.
Arora (1995) menyatakan bahwa konsumsi pakan akan bertambah jika aliran
atau lewatnya pakan cepat. Bahan pakan yang mengandung serat kasar tinggi seperti
jerami padi menyebabkan sulit dicerna sehingga kecepatan aliran pakan akan rendah
(Tillman et al., 1998). Sedangkan pada bahan pakan yang mudah dicerna, maka
kecepatan alirannya akan meningkat sehingga konsumsi pakan akan meningkat.
Peningkatan laju aliran pakan dapat disebabkan karena peningkatan aktivitas mikroba
rumen (Meng et al., 1999 disitasi Bach et al., 2005). Parakkasi (1999) menyatakan
bahwa dengan semakin meningkatnya nilai nutrisi suatu ransum akan meningkatkan
konsumsi bahan kering sampai pada tingkat kecernaan bahan kering 70%. Ransum
dengan tingkat kecernaan bahan kering yang lebih tinggi dari 70% akan menurunkan
konsumsi bahan kering karena kebutuhan nutrisi ternak telah terpenuhi. Sebaliknya
jika kecernaan rendah akan meningkatkan konsumsi bahan kering untuk memenuhi
11
kebutuhan nutrien akan tetapi sebelum kebutuhan nutrien belum terpenuhi, ternak
akan berhenti makan karena kapasitas rumen tidak mampu untuk menampung pakan
lagi.
Faktor pakan erat kaitannya dengan kecernaan. Kecernaan adalah indikasi
awal ketersediaan berbagai nutrisi yang terkandung dalam bahan pakan tertentu bagi
ternak yang mengkonsumsinya. Kecernaan yang tinggi mencerminkan besarnya
sumbangan nutrien tertentu pada ternak, sementara itu pakan yang mempunyai
kecernaan rendah menunjukkan bahwa pakan tersebut kurang mampu mensuplai
nutrien untuk hidup pokok maupun untuk tujuan produksi ternak. Menurut Tillman et
al. (1998), kemampuan mencerna bahan makanan ditentukan oleh berberapa faktor
seperti jenis ternak, komposisi kimia makanan dan penyiapan makanan. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa daya cerna suatu bahan makanan atau ransum tergantung pada
keserasian zat-zat makanan yang terkandung didalamnya. Anggorodi (1994)
menyatakan bahwa pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan pakan adalah
usaha menentukan jumlah nutrien dari suatu bahan pakan yang didegradasi dan
diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan persentase nutrien
yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat
selisih antara jumlah nutrien yang dimakan dan jumlah nutrien yang dikeluarkan
dalam feses. Nutrien yang tidak terdapat dalam feses inilah yang diasumsikan sebagai
nilai yang dicerna dan diserap. Lebih lanjut Tillman et al. (1998) mendefinisikan
daya cerna (digestibility) adalah bagian zat makanan dari makanan yang tidak
12
diekresikan dalam feses dan apabila dinyatakan dalam persentase disebut koefisien
cerna.
Menurut Parakkasi (1999) terdapat tiga hubungan kecernaan dan tingkat
konsumsi yaitu : (1) tidak terdapat hubungan antara kecernaan dan tingkat konsumsi,
jika ternak diberi silase yang banyak mengandung zat beracun sehingga konsumsi
menurun, (2) terdapat hubungan positif antara keduanya yaitu pada pakan dengan
kecernaan rendah akan mengurangi konsumsi, karena pakan akan lebih lama dalam
rumen dan tidak ada ruang yang tersedia dalam saluran pencernaan untuk
memasukkan pakan baru, (3) terdapat hubungan negatif yaitu jika pakan berkualitas
tinggi sehingga konsumsi menurun, karena sebenarnya ternak makan adalah untuk
memenuhi kebutuhan energi dan protein, sehingga jika nilai nutrien pakan tinggi
konsumsi akan menurun, akibatnya kebutuhan nutrien ternak lebih cepat terpenuhi.
McDonald et al. (1995) menyatakan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi
kecernaan makanan meliputi komposisi bahan makanan dan nilai gizi ransum,
penyediaan makanan (bentuk fisik), faktor hewan dan pemberian makanan (frekuensi
pemberian). Menurut Tillman et al. (1998) daya cerna pakan pada ternak sapi lebih
baik dibandingkan kambing dan domba. Pakan yang tinggi kandungan serat kasarnya
relatif tidak dapat dicerna oleh ternak monogastrik, namun pada ternak ruminansia
kandungan serat kasar yang tinggi masih dapat dicerna dengan baik. Suplementasi
pakan konsentrat dapat meningkatkan koefisien cerna nutrien karena kandungan serat
kasar pada konsentrat adalah rendah (Anggorodi, 1994) dan kandungan nutrien energi
dan proteinnya tinggi sehingga mudah dicerna. Proses penyiapan pakan
13
(pemotongan/pencacahan) berpengaruh positif terhadap daya cerna tetapi dapat
mengurangi pemilihan bagian-bagian yang mudah dicerna, sehingga mengurangi
daya cerna keseluruhan. Pemberian pakan yang berlebihan dapat menurunkan daya
cerna karena dapat mempercepat laju alir pakan dalam usus sehingga kontak dengan
enzim pencernaan relatif pendek.
Konsumsi dan proses pencernaan pakan dalam rumen dapat dimaksimalkan
dengan penambahan nutrien prekursor seperti vitamin, mineral, asam amino, energi
yang siap pakai (karbohidrat yang fermentabel) dalam ransum yang diberikan.
Menurut McDonal et al. (1995) penambahan mineral bertujuan untuk meningkatkan
aktivitas mikroba sehingga menghasilkan enzim yang dapat mencerna pakan, baik
yang mudah larut maupun yang sukar larut. Pearce (1983) melaporkan dampak dari
penambahan S bagi kecernaan adalah dapat mengakibatkan lignin pada pakan serat
akan terdegradasi sehingga kecernaan bahan organik meningkat. Menurut Putra
(1999) suplementasi mineral Zn dapat meningkatkan aktivitas mikroba rumen
sehingga dapat menyebabkan laju alir pakan dalam rumen meningkat, selanjutnya
dapat merangsang ternak untuk mengkonsumsi ransum lebih banyak. Kehadiran
mineral Cu dan Co dalam rumen juga dapat meningkatkan kecernaan pakan serat
(Arora, 1995).
2.4 Rumput Raja sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Rumput raja (Pennisetum purpuphoides) berasal dari daerah tropis, sebagai
hasil persilangan antara rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan Pennisetum
thypoides. Hibrida dari persilangan kedua rumput tersebut memiliki nama beragam
14
di berbagai negara, diantaranya Bana Grass (Afrika Selatan), Pusat Giant Napiar
(New Delhi), Taiwan Napier (Tawian).
Rumput raja merupakan tanaman tahunan yang tumbuh tegak hidup
membentuk rumpun dan setiap rumpun terdiri dari 20 sampai 45 batang. Tinggi dari
tanaman rumput raja bisa mencapai 5 meter, dengan helaian daun selebar 3 sampai 6
cm dan panjangnya bisa mencapai 1 meter. Warna daunnya hijau tua, dengan bagian
permukaan maupun bagian dalam daun yang kasar, tulang daun berwarna lebih putih
dari pada tulang daun rumput gajah. Batangnya bulat dengan lingkaran batang lebih
kurang berdiameter 2,55 cm. Rumput ini jarang berbunga sehingga perbanyakannya
lebih banyak digunakan dengan stek atau anakannya (Isworo dkk., 1989).
Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, produksi rumput
raja 2-3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan 2 cultivar rumput gajah lainnya
yaitu rumput gajah cv. Hawai dan rumput gajah cv. Afrika. Produksinya lebih kurang
1.079 ton hijauan segar/ha/tahun sedangkan produksi rumput gajah cv. Hawai 525 ton
hijauan segar/ha/tahun dan rumput gajah cv. Afrika 376 ton hijauan segar/ha/tahun
(Susila, 1990). Dilaporkan juga oleh Susila (1990) kandungan zat-zat makanan yang
dimiliki oleh rumput raja juga tinggi yaitu protein kasar (13,5%), abu (18,6%), Ca
(0,37%) dan P (0,35%).
Rumput raja mudah ditanam, dapat tumbuh dari dataran rendah hingga
dataran tinggi, menyukai tanah subur dan curah hujan yang merata sepanjang tahun.
Produksi rumput ini jauh lebih tinggi dibandingkan rumput lainnya. Sinar matahari
juga sangat dibutuhkan oleh rumpt raja dan pertumbuhannya akan terganggu apabila
15
ditanam dibawah naungan. Rumput raja dapat beradaptasi dengan baik mulai dari
dataran rendah sampai 2.000 meter diatas permukaan laut, terutama di daerah tropis.
Kelembaban yang tinggi sangat mengganggu pertumbuhan pada banyak jenis
tanaman makanan ternak tropis, tetapi berlainan dengan rumput raja yang
memerlukan kelembaban yang retaif tinggi yaitu 90% untuk tumbuh dengan baik
(Isworo dkk., 1990).
2.5 Konsentrat sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Pakan konsentrat atau penguat yang berbentuk tepung adalah sejenis pakan
jadi yang dibuat khusus untuk meningkatkan produksi dan berperan sebagai penguat.
Kecernaan akan lebih baik, karena pakan dibuat dari campuran beberapa bahan pakan
sumber energi (biji-bijian, sumber protein jenis bungkil, kacang-kacangan, vitamin
dan mineral). Tujuan dari suplementasi konsentrat adalah meningkatkan daya cerna
pakan, menambah nilai gizi pakan, mengurangi zat-zat pakan yang defisien serta
meningkatkan konsumsi dan kecernaan pakan (Murtidjo, 1993). Adanya suplementasi
pakan konsentrat, dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan organik, dan
energi lebih tinggi daripada tanpa suplementasi. Pemberian konsentrat yang kaya
akan protein penting bagi ternak ruminansia sebagai penyedia amonia yang akan
digunakan bakteri dalam mensintesis protein mikroba, sedangkan konsentrat yang
kekurangan kandungan protein, menyebabkan konsentrasi amonia rumen akan turun
sehingga pertumbuhan mikroorganisme rumen menjadi lambat akibatnya pemecahan
karbohidrat akan terhambat (Tillman et al., 1991).
16
Pemberian pakan mengandung serta kasar bersamaan konsentrat dapat saling
melengkapi. Menurut Parakkasi (1999) pemberian konsentrat terlebih dahulu sebelum
pemberian hijauan (serat) memberikan kecenderungan mikroba rumen dapat
memanfaatkan pakan konsentrat terlebih dahulu sebagai sumber energi. Hal ini
menyebabkan mikroorganisme dalam rumen lebih mudah dan cepat berkembang
populasinya, sehingga semakin banyak pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Selain
itu, protein mikroba yang tersedia juga bertambah. Hal ini penting artinya bagi
pertumbuhan dan perkembangan ternak. Menurut Putra dan Puger (1995) nisbah
hijauan yang ideal adalah 50:50, karena menciptakan ekosistem mikroba rumen yang
layak untuk aktivitas fisiologinya, terutama ditinjau dari aspek keseimbangan zat-zat
makanan.
2.6 Suplementasi Multivitamin dan Mineral dalam Ransum Ternak Ruminansia
Pakan ternak yang berasal dari daerah tropis umumnya defisiensi mineral
(Murtidjo, 1993) disamping itu juga kondisi pakan yang ada di Indonesia baik hijauan
maupun konsentrat dalam keadaan defisiensi mineral Zn (Little, 1986). Terdapat
minimal 15 mineral yang esensial bagi ternak yang terdiri dari 7 mineral makro dan 8
mineral mikro untuk pokok produksi (Parakkasi, 1999). Mineral yang tergolong
mineral makro antara lain Ca, P, K, Mg, Na, Cl dan S. Sedangkan yang tergolong
mineral mikro antara lain Fe, I, Zn, Cu, Mn, Co, Mo, Se dan Cr (Tillman et al., 1991)
Mineral Ca dan P mempunyai peranan dalam proses pembentukan tulang dan
gigi. Kelebihan mineral Ca dapat menyebabkan defisiensi mineral yang lain seperti
Mg, Fe, I, Mn, Zn dan Cu. Defisiensi mineral Ca dan P dalam ransum dapat
17
menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan ternak terhambat, tidak sehat dan
menekan nafsu makan (Wodzicka Tomaszewska et al., 1993). Mineral Mg juga
sangat penting sebagai komponen tulang dan gigi. Mineral Na, K dan Cl berperan
dalam sistem “buffer” (mempertahankan keseimbangan asam dan basa) dan tekanan
osmose dalam tubuh. Mineral Fe, I, Zn, Cu, Mn, Co, Mo dan Se merupakan bagian
yang penting dari enzim atau hormon tertentu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
ternak dan fungsi utamanya adalah mengatur proses oksidasi dan reduksi dalam
metabolisme energi (Parakkasi, 1999). Lebih lanjut dilaporkan oleh Arora (1995)
bahwa mineral Co dan Cu bersama-sama dapat memperbaiki kecernaan pakan serat
dalam rumen. Mineral Co dibutuhkan untuk sintesis vitamin B12 yang penting bagi
mikroba rumen untuk sintesis protein, menjaga fungsi sel serta aktivitas dalam proses
degradasi pakan.
Mineral yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan aktivitas
mikroba rumen diantaranya S dan Zn (Arora, 1995). Mineral S dapat meningkatkan
laju pertumbuhan mikroba rumen, sehingga meningkatkan produk fermentasi dan
pasokan nutrien untuk induk semang. Selain itu sulfur juga sangat diperlukan untuk
pertumbuhan fungi di dalam rumen. Fungi memiliki aktivitas fibrolisik yang tinggi
dan dikenal sebagai pelopor dalam pencernaan fraksi serat pakan (Gulati et al., 1985).
Selanjutnya Miles dan McDowell (1983) dalam Parakkasi (1999) melaporkan
suplementasi S pada ransum yang defisiensi S, nyata meningkatkan tingkat konsumsi
ruminan 7-200%. Gulati et al. (1985) melaporkan bahwa populasi fungi dalam rumen
meningkat drastis pada ransum yang disuplementasi S.
18
Mineral Zn dapat meningkatkan aktivitas mikroba dalam rumen (Arora,
1995). Suplementasi mineral Zn dalam ransum dapat mengaktifkan beberapa enzim
seperti karbonat anhidrase, alkali fosfatase, timidin kinase dan hormon serta berperan
dalam sintesis asam nukleat (RNA dan DNA) melalui pengaktifan enzim RNA
polymerase dan DNA polymerase. Lebih lanjut dilaporkan pula bahwa Zn juga
berperan dalam sintesa protein dan metabolisme karbohidrat serta terlibat dalam
sistem kekebalan tubuh dan keseimbangan asam basa (McDonald et al., 1995).
Menurut Putra (1999) suplementasi Zn dalam bentuk Zn asetat dapat meningkatkan
aktivitas mikroba dalam rumen, sintesis protein mikroba, kecernaan ransum dan
pertambahan bobot hidup sapi. Defisiensi Zn dapat menyebabkan parakerotis jaringan
usus halus dan mengganggu peranan Zn dalam metabolisme mikroorganisme rumen
(Tillman et al., 1991) serta dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat sebagai
akibat kurang dimanfaatkannya protein dan sulfur.
Ternak juga memerlukan vitamin untuk pertumbuhan dan kehidupan. Vitamin
didefinisikan sebagai senyawa organik yang tidak ada hubungannya satu dengan yang
lain dan yang diperlukan dalam jumlah kecil untuk pertumbuhan normal dan
kehidupan (Tillman et al., 1991). Vitamin sebagai zat organik yang diperlukan oleh
tubuh dalam jumlah kecil, digolongkan menjadi dua kelompok berdasarkan
kelarutannya, yaitu vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, K) dan vitamin yang
larut dalam air (vitamin B kompleks dan vitamin C). Vitamin yang dikonsumsi oleh
ternak dapat berasal dari hijauan, hasil sintesa dalam tubuh dan dari bahan suplemen
(Parakkasi, 1999). Seperti mineral, vitamin juga mempunyai peranan yang penting
19
dalam tubuh ternak. Ketersediaan vitamin dalam rumen terutama vitamin A dan E
cukup besar pengaruhnya terhadap penampilan sapi bali penggemukan. Sedangkan
vitamin B kompleks dan K tidak terlalu bermasalah bagi ruminansia karena dapat
disintesis oleh mikroba rumen. Namun ketersediaan vitamin B kompleks dalam
rumen juga dipengaruhi kondisi rumen dan jenis pakan yang dikonsumsi. Sehingga
pada kondisi tertentu seperti peningkatan pemberian konsentrat pada ternak atau
pengolahan bahan pakan sebelum diberikan pada ternak, perhatian terhadap vitamin
B kompleks cukup penting untuk dilakukan (Parakkasi, 1999).
Dalam pembentukan protein melalui stimulasi aliran energi yang efisien
melalui mitokondria, vitamin A memegang peranan penting. Sapi dewasa
membutuhkan ketersediaan vitamin A sebesar 20-25 µg%, namun tingkat
ketersediaan vitamin A bagi mikroba rumen sangat dipengaruhi oleh sumber dan
beberapa faktor lain penghambat ketersediaanya seperti adanya etanol (dalam silase),
nitrat, defisiensi energi dan mineral serta perlakuan bahan pakan sebelum diberikan
pada ternak (Parakkasi, 1999). Vitamin D pada ternak ruminansia tidak dapat
disintesis oleh mikroba rumen, tetapi vitamin ini dapat rusak oleh mikroba rumen.
Vitamin D bersama-sama dengan mineral Ca dan P berperan dalam proses
pertumbuhan tulang. Defisiensi vitamin D mempengaruhi sistem pertulangan hewan
muda, akan tetapi tidak mempengaruhi proses mineralisasi tulang (Parakkasi, 1999).
Vitamin E memegang peranan penting dalam pertumbuhan sel mikroba melalui
pencegahan peroksidasi asam lemak tak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty
acid) di dalam atau pada dinding sel mikroba rumen (Parakkasi, 1999). Konsentrasi
20
vitamin E yang optimal dalam rumen akan dapat mendukung pertumbuhan dan
aktivitas mikroba rumen yang maksimal. Vitamin A, D dan E adalah jenis vitamin
yang tidak dapat disintesis oleh mikroba rumen (Parakkasi, 1999). Vitamin K dikenal
sebagai anti hemoragi karena dibutuhkan oleh hati untuk membentuk protrombin
yang penting dalam pembekuan darah. Vitamin K adalah satu-satunya vitamin yang
larut dalam lemak yang dapat disintesis oleh mikroba rumen atau mikroba segmen
saluran pencernaan lainnya (Parakkasi, 1999).
Download