Dr.HMSoerya Respationo, SH.MH, Dosen Pasca

advertisement
Dr.H.M.Soerya Respationo, SH.MH, Dosen Pasca Sarjana Universitas Batam
Written by sijori
Senin, 08 August 2011 00:00 - Last Updated Jumat, 12 August 2011 11:15
Proses Panjang Bertemu Tuhan
Kita telah berada dalam Ramadhan 1432 H. Bulan penuh ampunan dan juga rahmat.
Bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an dan bulan yang berdasarkan hadist yang
diriwayatkan Imam Ahmad menyebutkan, Shuhuf Ibrahim diturunkan pada awal malam pertama
Ramadhan, Taurat turun pada hari keenam Ramadhan, dan Injil pada hari ketiga belas bulan
Ramadhan, sehingga Ramadhan memiliki keistimewaan dibandingkan dengan bulan-bulan
yang lain.
Dalam kesempatan ini, saya ingin menggali Ramadhan dari sisi ‘proses’ wahyu yang sampai
diturunkan kepada Nabi Ibrahim dalam bentuk Shuhuf. Dan tentu ‘proses’ diturunkannya Al
Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam berbagai literatur, termasuk di dalam Al Qur'an, Nabi Ibrahim dan juga Nabi Muhammad,
sebelum menerima wahyu pada Ramadhan, terlebih dahulu melalui sebuah proses, anugerah
wahyu tidak diterima serta merta, Muhammad sebagaimana umat Islam telah mengetahui
kisahnya sebelum menerima wahyu itu, dikenal dan diberi gelar ‘Al-amin’, yang berarti orang
yang sangat dipercaya, orang yang sangat jujur yang telah teruji kejujuranya dalam kehidupan
bermasyarakat.
Lalu bagaimana dengan kisah Ibrahim sebelum ia menerima wahyu pada Ramadhan itu? Salah
satu yang otentik tentang penggambaran kisah Ibrahim itu adalah sebagaimana digambarkan
dalam Al Quran surat Al An’am ayat 74-79, yang mengisahkan bagaimana Ibrahim berupaya
menempuh dan mencari kebenaran haqiqi, mencari zat yang layak dan berhak ia sembah,
menemukan Tuhan, sebagaimana terjemahan berikut: “Dan (ingatlah) saat Ibrahim berkata
kepada bapaknya Azar: “Pantaskah bapak menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?
Sesungguhnya aku melihat bapak dalam kesesatan yang nyata”. Dan demikianlah Kami
perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi,
dan (Kami memperlihatkannya) agar ia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah
menjadi gelap, ia melihat sebuah bintang (lalu) ia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam ia berkata: “Aku tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala ia
melihat bulan terbit ia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam ia berkata.
“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk
orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata: “Inilah
Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu terbenam dia berkata: “Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung
kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan
1/3
Dr.H.M.Soerya Respationo, SH.MH, Dosen Pasca Sarjana Universitas Batam
Written by sijori
Senin, 08 August 2011 00:00 - Last Updated Jumat, 12 August 2011 11:15
Tuhan.”
Kisah Nabi Ibrahim yang menerima wahyu pada Ramadhan itu saya yakin melalui sebuah
proses yang panjang, sebelum menerima wahyu itu setidaknya ia telah melalui proses
menemukan dan mengidentifikasi masalahnya terlebih dahulu. Mengumpulkan data mengenai
masalah tersebut melalui observasi dan mengumpulkan data dengan mengamati langit dan
bumi dan tanda-tanda berupa fenomena alam semesta.
Nabi ibrahim juga digambarkan dalam Al Qur’an menyusun hipotesa berdasarkan
pengamatannya, bahkan berani pada mulanya menyebut bahwa nampaknya bintang
merupakan hal yang mempunyai kesan hebat dan berpengaruh. Namun ia tidak berhenti disitu,
ia menguji hipotesa awalnya dimana ketika bintang itu tenggelam, Ibrahim mendapati bahwa
tenggelamnya bintang itu menunjukkan bahwa bintang tersebut tidaklah terlalu istimewa karena
hanya muncul sebentar. Kemudian hipotesa baru diambil dan diuji lagi (bulan dan matahari).
Akhirnya melalui kejujuran nuraninya setelah menyaksikan dan merenungi bahwa bulan dan
matahari juga tenggelam, Ibrahim sampai pada kesimpulan bahwa dibalik fenomena alam yang
ia amati itu terdapat zat yang mengatur dan zat ini pastilah lebih hebat dari
fenomena-fenomena yang ia amati. Ibrahim sampai pada kesimpulan pengembaraan
intelektualnya dengan diungkapkan sebagai “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi..”
Dari Al-qur’an itulah kita mengetahui bahwa datangnya hidayah, petunjuk dan pertolongan Allah
SAW itu tidaklah instans. Ia membutuhkan proses, memerlukan ladang yang subur bagi
datangnya petunjuk itu. Dan ladang yang subur bagi datangnya petunjuk itu dalam bahasa
universal barangkali adalah al-amin, kejujuran hati dan nurani versi nabi Muhammad atau
tahapan proses metode ilmiahnya Nabi Ibrahim.
Oleh karena itu kita, mayoritas umat Islam yang sering menganggap diri telah berada di jalan
yang ‘benar’ hendaklah segera bercermin dan balik bertanya, sudahkah kita menciptakan
ladang yang subur bagi datangnya petunjuk dari Allah? Benarkah kita telah berada pada jalan
yang benar tanpa proses sebagaimana yang dilalui Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad dalam menemukan Tuhan?
Kita juga seolah lupa bahwa Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama pada Ramadhan
itu, kemudian selanjutnya menerimanya secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun
lamanya. Namun, Kita yang mayoritas umat Islam ini kemudian seolah memaksakan pada umat
kita sendiri agar langsung paham terhadap jalan menuju tuhan itu dalam sekejap mata, paham
langsung pada mushaf Al Qur'an. Padahal proses itu pasti tidaklah instan. Bahkan nabi
Muhammad, ketika wahyu pertama turun berupa perintah untuk membaca ’Iqra’ dengan jujur ia
mengatakan, ’Aku tidak bisa membaca...’. Karena saat itu Qur’an belum menjadi mushaf,
bahkan belum ada, sehingga sebagian mufasir menjelaskan bahwa Muhammad diperintahkan
Allah untuk memulai terlebih dahulu ‘membaca’ alam semesta.......
Oleh karena itu disadari atau tidak, saat ini dalam setiap mushaf al-Qur’an itu selalu tertulis
surat al-Waqiah ayat 79, yang dalam terjemahan artinya."Tidak ada yang menyentuhnya selain
2/3
Dr.H.M.Soerya Respationo, SH.MH, Dosen Pasca Sarjana Universitas Batam
Written by sijori
Senin, 08 August 2011 00:00 - Last Updated Jumat, 12 August 2011 11:15
hamba-hamba yang disucikan..." Suci karena hatinya dipenuhi ketulusan, kejujuran dan
kebaikan budi pekerti sebagai ladang subur bagi datangnya petunjuk, suci karena ia telah
membaca semesta dengan kejujuran dan hati nuraninya dalam menemukan Tuhan, meski
dalam tafsir ‘syariat’ dianggap perintah berwudlu sebelum Al Qur’an itu disentuh.
Wallohu’alam.***
3/3
Download