ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 EKSISTENSI RAKYU DALAM PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM Ismail Dosen Pascasarjana IAIN Bukittinggi E-mail : [email protected] Diterima: 23 Februari 2016 Direvisi : 3 Mei 2016 Diterbitkan: 15 Juni 2016 Abstract Ijtihad which has evolved since the era of Khulafa` al-Rasyidin has outlined positive values in determining the law at the time of the passage of al-Qur`an and Sunnah do not determine the law explicitly. In this condition rakyu is necessary to avoid a gap in legal when needed. The Prophet permission to use rakyu also identifies that the legal provisions explicitly limited while law events are always evolve following future developments. This is where ijtihad has a very important role in the development of Islamic law. The role of ijtihad here is looking for appropriate and relevant legal alternatives for the situation and the conditions in which ijtihad was done, especially when linked to the current condition that is far different from the situation at the time of the revelation (Wahyu) revealed. Nevertheless, the use of rakyu must be done by using the clear signs and do not follow the passions, such as the stance taken by the mujtahid from previous generations. The use of rakyu in performing law istibath undoubtedly has contributed significantly in the development of Islamic law. Keywords: Rakyu, ijtihad, the development of Islamic law. Abstrak Ijtihad yang telah berkembang sejak era Khulafa` al-Rasyidin telah menggariskan nilainilai positif dalam menetapkan hukum pada saat nas al-Qur`an dan Sunnah tidak menentukan hukumnya secara eksplisit. Dalam kondisi inilah rakyu diperlukan agar tidak terjadi kekosongan hukum pada saat dibutuhkan. Adanya izin Rasulullah SAW untuk menggunakan rakyu sekaligus juga menunjukkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum secara eksplisit terbatas sedangkan peristiwa demi peristiwa hukum selalu berkembang mengikuti perkembangan masa. Di sinilah ijtihad memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan hukum Islam. Peranan ijtihad di sini adalah mencari alternatif-alternatif hukum yang tepat dan relevan untuk situasi dan kondisi di mana ijtihad itu dilakukan, apalagi bila dihubungkan dengan kondisi kekinian yang jauh berbeda dengan kondisi pada saat wahyu diturunkan. Walaupun demikian pemakaian rakyu mesti dilakukan dengan menggunakan rambu-rambu yang jelas dan tidak mengikuti hawa nafsu, sebagaimana sikap yang diambil oleh generasi-generasi mujtahid sebelumnya. Pemakaian rakyu dalam mengistinbathkan hukum tidak diragukan lagi telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam pengembangan hukum Islam. Kata Kunci: Rakyu, ijtihad, pengembangan hukum Islam. pandangan tentang rakyu ini pada periode LATAR BELAKANG awal Rakyu atau pemikiran sebagai sumber hukum Islam telah lama melahirkan dua aliran mainsream dalam metodologi hukum Islam, menjadi yakni aliran ra’yu dan aliran hadis. Namun perbincangan di kalangan ulama. Perbedaan Ismail telah 51 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 demikian, bila diperhatikan secara seksama, mujtahid untuk sampai kepada hokum diketahui bahwa perbedaan antara kedua tersebut dituntut untuk menyusun dan aliran ini tidak bersifat diametral. Karena, menggunakan metodologi yang tepat. Hal aliran rakyu bukanlah aliran yang semata- ini mata menggunakan rakyu dalam ijihadnya digunakannya tidak salah kaprah. Tulisan dan menolak hadis. Begitu juga sebaliknya, ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana aliran yang rakyu dapat menjadi dalil hukum syara’ menolak penggunaan rakyu secara total. serta peranannya dalam pengembangan Keduanya hanya berbeda dalam tingkat hukum Islam. hadis bukan pula aliran sangat penting agar ra’yu yang atau intensitas penggunaan rakyu. Ahli rakyu yang berpusat di Kufah dan Bashrah yang jauh Pengertian Ra’yu dari sumber hadis, lebih banyak menggunakan bentuk mashdār dari kata رأىyang secara rakyu. Sebaliknya, Ahli hadis atau ahli Hijaz etimologi berarti melihat. Kata ra’yu atau yaitu yang yang seakar dengan itu terdapat dalam 328 merupakan sumber hadis, dalam ijtihadnya ayat yang tersebar dalam al-Quran. Tentang tidak banyak menggunakan rakyu. Dengan apa yang dimaksud dengan kata ra’yu itu demikian, rakyu sebenarnya diterima oleh dalam al-Quran tergantung kepada apa kedua aliran tersebut dalam ijtihad. Hingga, yang menjadi objek dari perbuatan melihat yang menjadi persoalan adalah tentang itu. Objek dari perbuatan melihat itu dalam bagaimana rakyu dalam penetapan hukum al-Quran secara garis besar dapat dibagi Islam tersebut berperan. dua, yaitu objek yang konkrit (berupa) atau Menurut pandangan jumhur ulama bahwa objek yang abstrak (tidak berupa).1 ijtihadnya Mekah pada dan dasarnya dalam Medinah, semua tindak Kata ()رأي ra’yu menurut adalah tanduk manusia terdapat hukumnya dalam al- Terhadap objek yang kongkrit kata rakyu Quran berarti melihat dengan mata kepala atau dan bentuknya as-Sunnah. tidak selalu Hanya dalam saja, memperhatikan. bentuk Umpamanya firman Allah, Q.S. al-An’am (6): 78: tersurat. Kadang-kadang hukum tersebut turun 2 secara tersirat, bahkan tersuruk. Terhadap hukum-hukum yang turun dalam االية... ال َه َذا َريِّب َه َذا أَ ْكبَ ُر َ َس بَا ِزغَةً ق ْ فَلَ َّما َرأَى الش َ َّم bentuk tersurat tersebut, tidak diperlukan Kemudian tatkala dia melihat matahari rakyu untuk menemukakannya. Namun, terbit, dan berkata inilahTuhanku, ini lebih terhadap hukum yang turun dalam bentuk besar....” tersirat dan tersuruk, diperlukan usaha keras dan pemikiran yang mendalam untuk Terhadap objek yang abstrak, kata sampai kepada hukum tersebut. Melalui ra’yu tidak mungkin diartikan dengan pemikiran atau rakru inilah kemudian melihat dengan mata kepala, tetapi seorang mujtahid sampai kepada hukumhukum Allah. Namun demikian, untuk sampai bukanlah Ismail kepada hal hukum-hukum yang mudah. Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1993), h. 45 2Amir, Pembaharuan….., h. 46 1 tersebut Seorang 52 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 harus diartikan dengan melihat dengan mujtahid sampai kepada hukum-hukum mata hati atau dengan memikirkan. Allah. Namun demikian untuk sampai Umpamanya firman Allah dalam surat kepada hukum-hukum tersebut bukanlah Luqman (31): 20: hal yang mudah. Seorang mujtahid dituntut untuk ِ السمو ِ َّ َّ أَ ََلْ تَرْوا أ ات َوَما ِِف َ َ َّ َن اللهَ َس َّخَر لَ ُك ْم َما ِف َ menyusun dan menggunakan metodologi yang tepat agar ra’yu yang digunakannya tidak salah kaprah. ِ ْاْل َْر ض…االية Dalam kaitannya dengan istinbath hukum, ra’yu memiliki dua fungsi yaitu Tidakkah kamu perhatikan Allah telah pertama, untuk mengetahui hukum-hukum menundukkan untuk (kepentingan) mu yang tersirat di balik lafaz al-Quran dan al- apa yang di langit dan apa yang di Sunnah. Untuk tujuan ini ra’yu dapat bumi… menemukannya dengan menggunakan metode qiyas. Kedua, untuk menemukan Dalam pembahasan ini kata rakyu hukum-hukum yang tersuruk (tersembunyi) digunakan untuk pengertian memikirkan, di balik keduanya. Untuk tujuan ini ra’yu hasil pemikiran, atau ratio. Pengertian menemukannya seperti ini sama dengan yang terdapat mashlahah. dengan metode 4 dalam Misbah al-Munir: I. al-‘Umuri, penyusun kitab al-Ijtihād fi 3 الرأي ىف اللغة العقل و التدبر al-Islām; Ushuluh Ahkamuh Afāquh, yang mengemukakan dua tugas atau fungsi dari Ra’yu pada asalanya ra’yu ini, yaitu: berarti 1. Mempelajari memikirkan dan merenungkan. maksud dan tujuan sejumlah nash syara’ dengan menggali hikmah Untuk pengertian berpikir dalam al- pada setiap nash syara’. Quran juga digunakan kata “fakara” atau Kemudian mempelajari tujuan syari’at kata lain yang berakar kepada kata tersebut. secara Sedangkan kata yang digunakan Allah bermacam-macam dalam al-Quran untuk arti ini adalah yang diistinbathkan. nazhara atau yang biasa disebut dalam keseluruhan dari kumpulan ketentuan hukum 2. Melakukan istinbath hukum terhadap bahasa Indonesia dengan nalar. Walaupun masalah-masalah secara bahasa kata ini berarti melihat atau penjelasan nashnya, karena nash tidak memperlihatkan, namun bila digunakan lagi bertambah, sedangkan masalah- untuk objek yang abstrak artinya menjadi masalah baru terus saja muncul. Dalam memikirkan keadaan demikian tidak ada jalan lain Sebagai pikiran dalil dapat hukum, ra’yu mengantarkan yang tidak ada atau seorang Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Mugni alFayyumiy (w. 770), Misbah al-Munir, Juz I, (Ttp: Dar alFikr, Tanpa Tahun), h. 247 3 Ismail Amir, Pembaharuan…, h. 48 4 53 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 kecuali menetapkan hukum terhadap sumbernya, metode istinbath adalah cara- masalah tersebut dengan ra’yu. cara yang ditempuh oleh mujtahid dalam 5 menggali dan menetapkan hukum syara’ dari sumber sumbernya. Untuk tujuan ini Metode Istinbath atau Ijtihad bi Ra’yi yang perlu diketahui adalah bagaimana cara Istinbath secara etimologi berasal dari seorang mujtahid menyelesaikan masalah kata nabth atau nubth dengan kata kerja hukum yang dihadapinya; sumber dan dalil nabatha, yanbuthu, yang berarti “air yang hukum apa saja yang digunakan dan mula-mula keluar dari sumur yang digali”. bagaimana caranya menggunakan sumber Kata kerja ini kemudian dijadikan bentuk dan dalil tersebut. transitif, sehingga menjadi anbatha dan Secara umum di kalangan mujtahid istanbatha, yang berarti mengeluarkan air dan ulama ushul dalam menetapkan hukum dari sumur (sumber tempat air tersimpan). menggunakan Jadi kata istinbath pada asalnya berarti sebagaimana yang terdapat dalam ushul “usaha fiqh, mengeluarkan air persembunyiannya”. dari Kata tempat yakni langkah mengikuti langkah langkah-langkah tersebut Mu’az bin Jabal yang telah disetujui oleh kemudian dipakai sebagai istilah fiqh, Nabi. Dalam hadis yang sangat populer bahkan banyak literatur yang menyebut dikatakan: dengan idhafat kepada fiqh, yakni istinbath عن اناس من اهل محص من اصحاب معاذ بن جبل ان رسول al-ahkam.Istilah ini kemudian berarti “usaha untuk mengeluarkan hukum dari sumber- كيف:اهلل ملا اراد ان يبعث معاذ بن جبل اىل اليمن قال sumbernya”6. Dengan demikian Istinbath sama dengan istikhrāj, : قال. تقضي اذا عرض لك قضاء ؟ قال اقضي بكتاب اهلل mengeluarkan hukum, seperti kalimat yang berbunyi, فان: قال. فبسنة رسول اهلل:فان َل جتد ِف كتاب اهلل ؟ قال استنبط الفقيه الباطن باجتهاده وفهمه والذين يستنبطونه هم 7 فضرب,َل جتد ِف سنة رسول اهلل ؟ قال أجتهد برأيي وال الو العلماء احلمدهلل الذي وفق: وقال. رسول اهلل عليه وسلم علي صدره رسول رسول اهلل َل يرضي اهلل ورسوله رواه أبو داود Faqih itu mengeluarkan hukum yang tidak jelas dengan jalan ijtihad dan pemahamannya. Dan orang yang والرتمذي8 mengeluarkan hukum itu adalah ulama” Diriwayatkan Jika istinbath berarti usaha untuk mengeluarkan hukum dari sahabat sumber- Mu’az Rasulullah bin SAW penduduk Homs, Jabal, bahwa ketika bermaksud mengutus Mu’az ke Yaman, Nadiyah Syarif al-‘Umurri, al-Ijtihad fi alIslam Ushuluh, Ahkamuh, Afaquh (Muasat al-Risalat, 1401 H/1979 M), h. 259 6 Ibrahim Husen, “Memecahkan Masalah Hukum Baru”, dalam Ijtihad Dalam Sorotan, Haidar Baqir dan Syafiq Basri (ed), (Bandung: Penerbit Mizan, 1988 M.). h,. 25 7Nadiyah Syarif al-‘Umuri, al-Ijtihad……, h. 261 5 Ismail dari Nabi bertanya kepada Mu’az, “ Jika suatu tindakan hukum dihadapkan kepada anda, Abu Daud, Sunan Abi DaudJuz II (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952), h. 272 ; al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), Juz. I, h. 157 8 54 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam bagaimana anda Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 menyelesaikannya ? quran dan sunnah sebagaimana yang Mu’az menjawab, “Aku akan menetapkan dikemukakan di atas. Dalam hadisnya yang hukum dengan kitab Allah. Nabi bertanya sangat populer di kalangan ahli hukum lagi, “ Jika pada kitab Allah tidak engkau Islam jumpai hukumnya? Ia menjawab, “Aku membenarkan akan menetapkannya berdasarkan sunnah berijtihad dengan ra’yunya ketika tidak Rasul Allah saw. Nabi kemudian bertanya ditemuakannya hukum suatu peristiwa dari lagi, “ Bagaimana jika pada Sunnah quran dan sunnah. Kata Rasul; Segala puji Rasulu Allah saw juga tidak engkau bagi Allah yang telah memberikan taufik jumpai ? Ia menjawab,” Aku akan kepada utusan Rasul-Nya untuk melakukan berijtihad dengan ra’yu (pikiran) ku dan sesuatu yang diakui dan diredhai-Nya. aku akan berusaha secara maksimal. tersebut, Rasul dengan tindakan Pengakuan bangga Mu’az Nabi untuk terhadap Kemudian, Rasulullah menepuk dadanya, penggunaan ra’yu dalam ijtihad tersebut seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah juga diamalkan oleh para Khula al-Rasyidin, yang telah memberikan taufiq kepada seperti Abu Bakar dan Umar bin Khatab. utusan Rasulullah sesuai dengan yang Abu Bakar dalam menetapkan hukum suatu diredhai Allah dan Rasul-Nya.H.R. Abu perkara pertama-tama mengacu kepada Daud dan al-Turmuzi. nash al-Quran dan Sunnah, jika tidak 9 ditemukannya beliau mengajak sahabatsahabat yang lain untuk mendiskusikannya. Dari dialog Nabi dengan Mu’az pada Diriwayatkan dari Maimun Ibn Mahran, hadis di atas dapat dipahami bahwa “Abu Bakar semasa hidupnya, apabila seorang mujtahid bila menemukan suatu disampaikan kepadanya suatu kasus, ia masalah hukum, ia harus terlebih dahulu mencari jawabannya terlebih dahulu dalam mencari jawabannya dalam al-Quran. Jika Quran, jika ia mendapatkannya, perkara itu tidak akan menemukan dalam al-Quran, diselesaikannya dengan jawaban iamencarinya dalam al-Sunnah. Bila pada tersebut. al-Sunnah ia mendapatkan jawabannya dalam quran dan melakukan ijtihad dengan menggunakan dia tahu bahwa jawaban itu terdapat dalam ra’yunya. Sunnah maka ia akan memutuskan perkara juga tidak ditemukan, Selanjutnya jika ia tidak Menggunakan rakyu di saat tidak itu berdasarkan sunnah. Jika ia menemui terdapat nash merupakan sunnah Rasul kesulitan untuk mendapatkan jawabannya, yang ia pun pergi menemui sahabat yang lain dan beliau jalankan yang juga dipraktekkan oleh para Khulafa al-Rasyidin dan para ahli fiqh di kalangan sahabat 9 Ijtihad menurut bahasa berarti upaya pengerahan seluruh kemampuan dan potensi untuk samapai pada suatu perkara atau perbuatan. Menurut ulama Ushul Fiqh Ijtihad adalah usaha seorang ahli hukum dengan mengguanakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah dari dalil-dalil yang tertentu. Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Tt. Dar al-Fiqh al-Arabi, tt)., hal. 379 setelah beliau, menurut kadarnya masingmasing. Beliau sendiri pernah memberikan wewenang penuh kepada Mu’az bin Jabal untuk menggunakan ra’yu dan akal fikirannya dalam menyelesaikan perkara yang tidak ditemukan hukumnya pada Ismail 55 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 ia katakan “saya menghadapi masalah ini Sunnah Nabi dan kebijakan yang dan itu, apakah kamu mengetahui bahwa ditempuh rasul pernah memutuskan perkara seperti menggunakan itu? Jika sejumlah orang datang kepadanya, mereka ketika tidak dijumpai nash al-Quran di menyebutkan dan Sunnah ini kemudian juga diikuti oleh keputusan Rasul tentang itu. Abu Bakar para ulama mujtahid sesudahnya, bahkan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah pada masa pengkodifikasian fiqh (sekitar menyediakan orang yang akan memelihara abad ke II H.) metodologi ijtihad dengan pengetahuan Nabi kita untuk kita. Sebalinya menggunakan rakyu atau akal fikiran jika dia tidak juga mendapatkan sunnah tersebut telah terumuskan dengan baik. mana tiap-tiapnya para sahabat ra’yu atau beliau dalam akal fikiran dari sahabat-sahabatnya itu, ia kumpulkan Metodologi qias misalnya, metologi para pemuka dan orang-orang terpilih, lalu ini mengandung arti mengukur sesuatu meminta mereka dengan ukuran tertentu dan sebagaimana sependapat tentang penyelesaian perkara diketahui dalam istilah fiqh kata itu berarti tersebut, ia putuskan dengan pendapat menyamakan hukum sesuatu yang tidak dimaksud.10 Apa yang dilakukan oleh Abu ada nash hukumnya dengan hukum sesuatu Bakar di atas menunjukkan bahwa dalam yang lain yang ada nash hukumnya atas keadaan tidak ada nash dimungkinkan dasar persamaan illat. Untuk mengetahui baginya untuk melakukan ijtihad secara dan bersama-sama. persamaan illat itu meperlukan pemikiran pendapatnya. Jika Tidak jauh berbeda dengan Abu menentukan ada atau tidaknya yang mendalam. Bakar, Umar bin Khattab juga berpegang dengan rakyu dan akal fikiran ketika tidak Para mujtahid yang menggunakan didapatinya nash. Dalam sebuah suratnya qias ini mendasari pemikirannya kepada kepada ayat dan hadis serta perbuatan sahabat, Abu Musa al-Asy’ari, Umar menulis, “ Pahamilah, pahamilah apa yang sebagaimana meragukanmu tentang apa yang terdapat sebelumnya. Hal ini sekaligus menunjukkan dalam al-Kitab dan al-Sunnah. Kenalilah bahwa ra’yu atau akal fikiran memiliki hal-hal yang serupa dan yang sama, dan peranan ketika itu hubungkan dan bandingkan satu penetapan hukum Islam. Di samping itu sama lain. Dan peganglah perkara yang adanya sandaran hukum yang jelas dari lebih dekat kepada Allah dan yang lebih qias, sebagai salah satu model ijtihad bi al- dekat kepada kebenaran”. ra’yi, 11 yang yang juga telah cukup dikemukakan penting menunjukkan dalam bahwa penggunaan akal fikiran sebagai dasar penetapan hukum Abdul Wahhab Abu Sulaiman, Dauru AlAqli fi Al-Fiqh Al-Islami, edisi terjemahan Sayid Agil Husin al-Munawwar dan Hadri Hasan, Peranan Akal Dalam Hukum Islam, (Semarang : Dina Utama, 1994), hal.15 11 Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Ishtishlah wa alMashalih al-Mursalah fi Syari’at al-Islamiyah wa Ushul Fiqhiha (Dar al-Qalam, 1988), hal. 17 Ismail berada di bawah naungan nash. 10 Selanjutnya terdapat pula metode istihsan, yang mengandung arti memandang lebih baik, dan dalam istilah ushul fiqh didefiniskan dengan “Berpindahnya mujtahid dari tuntutan qias 56 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 jalli kepada qias khafi, atau dari hukum majaz, antara yang sharih dan yang umum kepada hukum kecualian, “ karena kinayah. di pandang lebih baik. Tidak jauh berbeda penunjukannya secara ibarah, isyarah, dengan metode qias, metode istihsan ini iqthidah dan dilalah. Diperiksa pula juga tidak dapat dilepaskan dari pemikiran. mantuqnya dan dicari mafhum yang Tanpa di terdapat di balik manthuq itu. Bila dalamnya seorang mujtahid tidak dapat mujtahid tidak menemukan jawaban mengetahui terjadinya hukum dari apa yang tersurat secara pemalingan hukum dari qias jalli kepada jelas dalam teks atau manthuq al-Quran, qias khafi atau dari hukum kulli ke hukum Ia mencarinya dari pengertian yang juz’i. terkandung (tersirat) di balik teks al- 12 adanya unsur pemikiran kemungkinan Di samping dua metode ijtihad bi al- Kemudian diteliti Quran. ra’yi sebagaimana yang dikemukakan di Mengenai bagaimana cara mengambil atas masih terdapat metode-metode lain, hukum dari yang tersirat di balik teks al- seperti istishlah atau mashalih al-mursalah, urf, Quran ini, terdapat dua metode, yakni dan saddu alzari’ah, yang secara keseluruhan dengan menggunakan qaedah mafhum tidak dan dapat melepaskan diri dari keterlibatan pemikiran atau akal. Berdasarkan menggunakan metode qiyas. ia 2) Jika mujtahid tidak menemukannya mengemukakan beberapa langkah yang dalam al-Quran, ia melangkah ke tahap mesti ditempuh seorang mujtahid yang berikutnya hendak mengistinbathkan hukum, sebagai Sunnah Nabi. Mula-mula mencarinya berikut ini: dari sunnah yang mutawatir, kemudian 1) Langkah pertama yang harus dilakukan dari sunnah yang tingkat kesahihannya mujtahid adalah merujuk kepada al- berada di bawah sunnah mutawattir. Quran. Bila menemukan dalil atau Kemudian, sama halnya dengan mencari petunjuk yang umum dan zahir, si hukum mujtahid harus mencari penjelasannya menemukan dari yang tersurat dalam baik dalam bentuk lafazh khas yang lafaz hadis, mujtahid mencarinya dari akan mentakhsiskan, lafaz muqayyad yang tersirat dari lafaz hadis tersebut. yang menjelaskan yang mutlaq, qarinah 3) Langkah berikutnya, mujtahid mencari yang akan menjelaskan maksudnya. jawabannya dari kesepakatan ulama Selanjutnya, dalam meneliti ayat al- sahabat. Bila dari sini dia menemukan Quran hukum hukum, maka ia menetapkan hukum tersebut perlu pula dipilah-pilah antara menurut apa yang telah disepakati oleh lafaz yang zhahir, nash, mufassar, dan ulama sahabat tersebut. Kesepakatan muhkam. Perlu pula dipilah antara tersebut dinamai dengan ijma’. yang penunjukannya ini dengan pula mengandung secara hakikat dan yaitu pada merujuk al-Quran, jika kepada tidak 4) Bila tidak dijumpai kesepakatan ulama sahabat tentang hukum yang dicarinya, maka mujtahid menggunakan segenap 12 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo : Maktabah al-Nasr, 1956), hal. 89 Ismail kemampuan daya dan ilmunya untuk 57 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 menggali dan menemukan hukum Allah dalam yang dia yakini pasti ada, kemudian bentuk ini disebut sebagai hukum merumuskannya yang tersirat di balik lafaz al-Quran dalam formulasi hukum yang kemudian disebut fiqh c) (hukum Islam). Hukum dalam Hukum Allah tidak dapat ditemukan dari harfiah lafaz dan tidak pula dari Dengan demikian, dapat dipahami bahwa al-Quran. seorang mujtahid isyarat atau lafaz yang terdapat dalam apabila al-Quran dan Sunnah, tetapi dapat dihadapkan kepada suatu peristiwa atau ditemukan masalah yang perlu dicarikan ketetapan keseluruhan. Hukum Allah dalam hukumnya, terlebih dahulu mengembalikan bentuk persoalan tersebut kepada al-Quran dan tersuruk (tersembunyi) di balik al- Sunnah, dua sumber hukum yang hakiki Quran.13 dalam Islam. Dua sumber hukum ini Untuk sebenarnya cukup memadai untuk dalam ini jiwa disebut mengetahui hukum hukum dari yang Allah dalam bentuk yang pertama, yakni yang menjawab segala peritiwa dan persoalan tersurat hukum setiap mengandalkan apa yang tersurat dalam al- peristiwa yang terjadi di atas permukaan Quran dan penjelasannya dari Nabi (atau bumi ini, telah ada ketetapan hukumnya dari dalil nash). Peranan ijtihad dalam hal pada al-Quran dan al-Sunnah. Namun ini hampir tidak berarti. Mujtahid dalam hal demikian, bahwa ini hanya berusaha memahami nas yang ketentuan hukum itu tidak selalu dalam berisi hukum dan merumuskannya dalam bentuk harfiah atau tersurat. Kadang- bentuk operasional.14 yang muncul. perlu Karena diperhatikan kadang hukum tersebut diberikan Allah pada Untuk lafaz, mengetahui kita hukum dapat Allah dalam bentuk tidak gamlang dan tidak dalam bentuk yang kedua, hukum yang mudah ditangkap oleh pikiran. tersirat di balik lafaz, dibutuhkan suatu pengkajian dengan menggunakan ra’yu. Berkenaan menarik Ra’yu dalam hal ini berfungsi sebagai pendapat yang dikemukakan oleh Amir sarana untuk mengetahui hakikat dan Syarifuddin, guru besar hukum Islam UIN tujuan dari suatu lafaz dalam al-Quran. Hal Jakarta, bahwa hukum Allah itu sebenarnya ini dimungkinkan untuk merentangkan dapat ditemukan dalam tiga bentuk, yaitu: hukum a) Hukum Allah yang dapat ditemukan tersebut dalam ibarat lafaz al-Quran menurut bermunculan di balik lafaz tersebut. yang dengan disebutkan Bentuk ini ini, secara disebut harfiah. hukum Hukum Allah yang yang maupun kejadian lafaz lain yang yang lain. tidak dapat Pertama, Sunnah, perentangan suatu lafaz kepada maksud lain dengan pemahaman tetapi Amir, Pembaharuan…, h. 48 14Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2. (Bukit Pamulang Indah: Logos, 1999), h. 283. 13 dapat ditemukan melalui isyarat atau petunjuk dari lafaz yang disebutkan Ismail kepada dalam untuk perentangan makna lafaz itu kepada ditemukan secara harfiah dalam lafaz al-Quran ditentukan Ada dua cara yang dapat dilakukan tersurat dalam al-Quran. b) yang 58 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 lafaz semata.15 Dalam ushul fiqh cara ini al-Sunnah, dapat ditetapkan hukumnya disebut dengan mafhum, baik mafhūm melalui muwāfaqah 17 Perentangan makna nash tersebut bisa Umpamanya memukul orang tua, dipahami dengan menggunakan kaedah mafhum, dari keharaman mengucapkan kata-kata baik mafhum muwaffaqat maupun mafhum kasar kepada orang tua yang terdapat mukhallafat, dan bisa pula melalui qiyas. dalam Dua metode ini akan mampu menjangkau maupun mafhūm mukhalafah. 16 Q.S. haramnya al-Isra’ merusak (17):23. harta 18 Hukum anak yatim, perentangan hukum-hukum dipahami dari larangan memakan harta yang makna disampaikan nash. oleh syari’ secara tersirat pada nash. anak yatim secara zalim yang ketentuan Kemudian, yang untuk tersuruk mengetahui hukumnya terdapat dalam al-Quran surat hukum (tersembunyi), al-Nisa’ (4): 10.19 diperlukan daya dan kemampuan ra’yu Kedua, perentangan kepada maksud yang tinggi. Bila dalam mengetahui hukum lain berdasarkan pemahaman alasan hukum yang tersirat ada pedoman yang digunakan atau illat. dalam Cara perentangan lafaz dalam menetapkan kaitannya minum alkohol yang tidak jelas hukumnya mengetahui hukum yang tersuruk tidak ada dalam al-Quran dikiyaskan kepada larangan yang dapat dijadikan pedoman yang kuat. meminum khamar yang terdapat dalam Q.S. Untuk al-Maidah (5): 90,21 karena jenis minuman kemampuan menggali hakikat dari tujuan itu Allah dalam menetapkan hukum suatu illat yang sama, yaitu memabukkan. Dari keterangan maksud nash, ini maka yaitu bentuk ini disebut qiyas.20 Umpamanya memiliki dengan hukumnya, sangat dalam diperlukan kejadian.22 di atas dapat Untuk mengetahui hukum dalam disimpulkan bahwa untuk menetapkan bentuk yang ketiga ini, mujtahid dapat hukum yang tidak dijelaskan oleh Syari’ berpedoman kepada maksud dan tujuan secara tekstual (harfiyah) pada al-Quran dan Syari’ dalam menetapkan hukum. Karena bila Amir, Pembaharuan…, h. 49 16Mafhum Muwafaqah adalah yang lafaznya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafaz. Amir, Ushul…,, h. 147 17Mafhum mukhalafah adalah mafhum yang lafaznya menunjukkan bahwa bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan.Atau bisa juga diartikan dengan hukum yang berlaku berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq (hukum yang tertulis atau yang disebutkan) Amir, Ushul…,, h. 147 18 ك َ ك أَ اَّل تَ ْعبُدُوا إِ اَّل إِيااهُ َوبِ ْال َوالِ َد ْي ِن إِحْ َسانًا إِ اما يَ ْبلُغَنا ِع ْن َد َ ُّضى َرب َ ََوق ً َ َ َري ًما ك َّل ق ا م ه ل ْْال ِكبَ َر أَ َح ُده ُ َما أَوْ ِك ََلهُ َما فَ ََل تَقُلْ لَهُ َما أُفٍّ َو ََّل تَ ْنهَرْ هُ َما َوقُلْ ُ َ و ِ 19 كلُونَ في بُطُونهم نَارًا ُ ْإِنا الا ِذينَ يَأْ ُكلُونَ أَ ْم َوا َل ْاليَتَا َمى ظُ ْل ًما إِنا َما يَأ ِْ ِ ِ َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِعيرًا 20 Amir, Pembaharuan… ,h. 49 53 ز ََّلم َ يَاأَيُّهَا الا ِذينَ َءا َمنُوا إِنا َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر َو ْاْلَ ْن ُ ْ َصابُ َو ْاْل ا ْ ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال اش ْيطَا ِن فَاجْ تَنِبُوهُ لَ َعل ُك ْم تُفلِحُون 15 Ismail dianalisa hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam al-Quran, akan dapat diketahui bahwa pada dasarnya Allah menetapkan hukum adalah untuk mendatangkan kemaslahahan atau untuk menghindarkan kemudaratan (kerusakan) dari manusia. Karena itu, hakikat dari tujuan hukum itu dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum. Dengan demikian, bila pada suatu kejadian terdapat kemaslahahan yang bersifat umum dan tidak ada dalil nash yang berbenturan dengannya, maka pada 22 59 Amir, Pembaharuan…, h. 50 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam kejadian itu seorang Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 dapat dengan kata lain Syari’ mendiamkannya, melahirkan suatu ketentuan hukum. Usaha hukum tersebut dapat ditetapkan melalui penemuan hukum yang seperti inilah yang kajian terhadap maksud dan tujuan Syari’ dikenal dalam istilah ushul fiqh dengan dalam mashlahah mursalah. Karena Sebagai contoh mujtahid dari penemuan hukum dengan mashlahah mursalah menetapkan Syari’ hukum-hukum-Nya. menetapkan hukum- hukumnya bertujuan untuk mendatangkan ini kemaslahahan dan menghindarkan antara lain adalah pencangkokan kornea kemudaratan (kerusakan) dari mata dari seseorang yang telah mati kepada mujtahid dengan landasan pikir seperti itu seseorang yang memerlukan pengobatan. dapat Masalah ini tidak terdapat jawababannya peristiwa-peristiwa yang tidak terdapat secara harfiah dalam al-Quran, begitu pula hukumnya secara tersurat dan tersirat dalam sunnah Nabi. Tidak terdapatnya dalam al-Quran. pula menetapkan manusia, hukum atas keterangan tentang pencangkokan kornea mata itu secara harfiah dalam al-Quran atau Objek Istinbath atau Lapangan Ijtihad bi al-Ra’yi pun Sunnah, antara lain disebabkan oleh terbatasnya ayat-ayat hukum dalam al- Di Quran, sementara Sunnah sendiri lebih atas telah hukum yang terjadi pada masa Nabi, sedangkan mukallaf kadang-kadang dapat ditemukan pencangkokan kornea mata belum terjadi secara harfiah pada al-Quran, kadang- ketika itu. Di samping nashnya tidak ada, kadang secara tersirat, dan kadang-kadang kaitannya dengan salah satu lafaz yang ada secara tersuruk (tersembunyi). Terhadap dalam ditemukan. hukum-hukum yang telah disebutkan oleh Sedangkan manfaat dari pencangkokan Syari’ secara tersurat pada al-Quran atau kornea mata ini jelas sangat besar, yakni Sunnah, ijtihad tidak berfungsi. Ijtihad seseorang yang tadinya buta, dapat melihat berfungsi kembali di samping tidak ada kepentingan kejadian orang hukumnya secara harfiah dalam al-Quran. lain demikian, juga yang mujtahid tidak terganggu. dapat Dengan Begitu menetapkan segala bahwa banyak merupakan refleksi dari peristiwa nash tentang disinggung menetapkan yang pula tidak dalam tindak-tanduk hukum suatu terdapat aturan keadaan-keadaan melakukan tertentu, ijtihad dapat pula dipergunakan pencangkokan kornea mata. Demikian pula terhadap hal-hal yang sudah ada nash tetapi dengan masalah-masalah lain seperti bayi dalam pengaturannya tidak dikemukakan tabung, bedah plastik dan kejadian-kejadian secara pasti. hukum berupa kebolehan Berkenaan dengan ini ijtihad dapat baru lainnya.23 digunakan dalam dua hal yaitu: Dengan demikian, sekalipun hukum (1) Dalam suatu peristiwa tidak ditemukan secara hal-hal yang tidak ada hukumnya sama sekali. Dalam hal ini eksplisit atau tersurat dalam lafaz al-Quran menemukan hukum secara murni dan dan tidak pula secara inplisit (tersirat), atau tidak akan berbenturan dengan Amir, Pembaharuan…, h. 51 23 Ismail 60 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 ketentuan nash yang sudah ada, karena poligami. Dalam surat al-Nisa’ (4): 4, memang belum ada nashnya. disebutkan bahwa poligami dengan syarat- (2) Dalam hal-hal yang sudah diatur oleh syarat tertentu hukumnya boleh. Kemudian, nash tetapi penunjukannya terhadap dalam surat yang sama, al-Nisa’ (4): 129, hukum tidak secara pasti (zhanniy al- disebutkan pula tentang sulitnya memenuhi dalālah). Nash hukum dalam bentuk ini syarat-syarat kebolehan poligami itu.26 memberikan kemungkinan kemungkinanpemahaman. Dalam memahami kedua ayat Adapun tersebut, ditambah dengan kenyataan yang peranan ijtihad dalam masalah ini berlaku waktu Nabi SAW masih hidup, adalah kemungkinan- timbul ketidakpastian tentang kebolehan kemungkinan atau alternatif-alternatif poligami, antara boleh dengan syarat yang hukum yang dianggap lebih tepat oleh lunak dan boleh dengan syarat yang mujtahid. berat.Dalam kesulitan tersebut ulama dapat menemukan 24 Sebagai contoh adalah batas masa iddah wanita Sebenarnya yang nash ditalak suami. al-Quran telah saja menetapkan salah satu dari hukumnya, baleh atau tidak boleh, tergantung kepada pertimbangan kemashlahahan yang ada. menyebutkan bahwa wanita yang ditalak Melalui dua contoh di atas tergambar oleh suaminya beriddah tiga quru’ (al- bagaimana Baqarah (2): 228, namun karena kata quru’ menetapkan hukum-hukum dari peristiwa itu qath’i) yang oleh nash tidak dijelaskan secara pasti. maksudnya, dimungkinkan bagi mujtahid Peranan ijtihad di sini adalah mencari dengan ra’yunya menetapkan hukum mana alternatif-alternatif hukum yang tepat dan sebenarnya yang dimaksudkan oleh Nash. relevan untuk situasi dan kondisi di mana Sekelompok ijtihad itu dilakukan. tidak pasti (atau mujtahid Syafi’iyah—setelah petunjuk dan tidak –di antaranya memperhatikan qarinah Adapun ijtihad terhadap dalam hukum-hukum ada, yang telah dijelaskan oleh nash secara pasti, menetapkan batas tiga kali suci. Sedangkan Ijtihad tidak berperan sama sekali.27Karena kelompok lain, di antaranya Hanafiyah, terhadap hukum-hukum yang tersurat dan setelah dengan memiliki petunjuk yang pasti, peranan penggaliannya dengan berpedoman kepada ijtihad sama sekali tidak ada. Artinya tidak dalil dan qarinah, menetapkan tiga kali perlu haid. menemukan hukumnya dan tidak perlu menggunakan yang peranan ra’yu 25 lagi melakukan ijtihad untuk Contoh lain yang menarik pula untuk pula mempertanyakan lagi hukum tersebut. dikemukakan bahwa ketidakpastian suatu Apapun hasil yang dicapai ijtihad tanpa dalil mengikuti mungkin pula terjadi dalam dalil itu, akan berbenturan pemahaman dua dalil yang menunjukkan dengan dalil itu sendiri. Misalnya Firman kepada dua hukum yang sama. Sebagai Allah dalam surat al-Nisak (4): 11 yang contoh dalam hal ini antara lain adalah Amir, Pembaharuan…, h.52 Abdurrahman, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 26 27 Amir, Pembaharuan…, h. 52 Amir, Pembaharuan…, h.52 2011). H 24 25 Ismail 61 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 menjelaskan hak anak laki-laki sebesar dua Dengan demikian, dapat dikatakan kali hak anak perempuan. Maksud dari ayat bahwa dalam berijtihad seorang mujtahid ini jelas sekali dan penunjukannya terhadap dituntun untuk menempuh jalan tengah hukum adalah pasti. Dalam hal-hal yang (moderat). Jalan pikiran semacam ini dalam seperti ini ijtihad tidak berperan sama istilah ushul fiqh biasa juga disebut dengan sekali. Berkenaan dengan ini para fuqaha’ " ( "إثباا الوواباو وتغييار المتغياراmempertahankan menetapkan sebuah kaedah: hal-hal yang sudah baku dan merubah halhal ال مساغ لالجتهاد ىف موضع النص الصريح yang memang sifatnya dapat berubah/elastis). Sikap sepeti ini merupakan jalan tengah di antara jalan-jalan ekstrim lainnya, yaitu " "إثباااا الوواباااو وإثباااا المتغيااارا Tidak ada lapangan untuk ijtihad (mempertahankan hal-hal yang sudah baku dalam hal yang sudah ditetapkan (hukumnya) jelas”. dengan nash dan membakukan hal-hal yang sebenarnya yang bersifat elastis), " "تغييااار الوواباااو وتغييااار المتغيااارا 28 (merubah hal-hal yang sudah baku dan merubah hal-hal yang memang sifatnya Menurut Abdul Wahhab Khallaf hal- elastis), hal yang sudah ada ketentuan hukumnya membakukan dan dalālahnya, wajib dilaksanakan sesuai Dengan berijtihad padanya.29 yang sebenarnya demikian, ijtihad mesti dilakukan dengan menggunakan rambu- Berdasarkan keterangan di atas dapat rambu yang jelas. Sikap setiap muslim diketahui bahwa lapangan ijtihad pada terhadap masalah-masalah yang hukumnya dasarnya adalah masalah-masalah yang ditetapkan berdasarkan dalil yang "qath'iy al- tidak ada ketentuan hukumnya di dalam tsubut" dan qath'iy al-dalalah" adalah harus nash secara eksplisit ( )اَّلجتهاا فيماا َّلناي فياdan menerimanya dengan senang hati dan semua masalah yang hukumnya ditetapkan pasrah, seperti yang dijelaskan Allah dalam berdasarkan dalil yang zhanniy, baik dalil surat Al-Ahzab: 36: itu "zhanniy al-tsubūt (otentisitas sumbernya belum pasti, seperti hadis ahad), maupun al-dalālah" hal-hal dapat berubah/elastis). dengan ketentuan nash dan tidak boleh "zhanniy " "تغييرالوواباااااو وإثباااااا المتغيااااارا (merubah hal-hal yang sudah baku dan yang jelas (sharih), qath’i al-tsubūt, wurūd, yang dan ِ م ِ ِ ض ر اللَّ هُ َوَر ُس ولُهُ أ َْم ًرا أَ ْن َ ََوَم ا َك ا َن ل ُم ْ م من َوال ُم ْ منَ ة َِ َذا ق ِ يَ ُك و َن َُُ ُم ا ِْيَ َرُْ ِم ْن أ َْم ِرِه ْم َوَم ْن يَ ْع ص اللَّ هَ َوَر ُس ولَهُ فَ َق ْد ضالال ُمبِينًا َ ض َّل َ (tunjukannya terhadap makna yang dimaksud belum pasti). Dalam kedua lapangan tersebut hukum Islam dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin dan dapat berubah menurut keadaan, laki-laki dan mukmin perempuan bila waktu dan tempat. Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada lagi pilihan lain (alternatif) dalam urusan mereka". Amir Syarifuddin, Ushul…, h. 290 29Abdul Wahab Khalaf, ilmu…, h. 216 28 Ismail 62 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 Terhadap hal di atas, kalaupun ijtihad Giver), Allah dan Rasul.Artinya, ra’yu tidak tetap juga dilakukan, hanyalah sebatas memberikan petunjuk yang pasti tentang menyatakan hukum al-Quran ke dalam hukum, melainkan hanya sebatas dugaan bentuk formula hukum atau membahasa kuat dari mujtahid bahwa hukum yang hukumkannya. semacam itulah yang dimaksudkan oleh pembuat hukum. Dengan Kekuatan Hukum Penemuan Ijtihad logika seperti di atas, dipahami bahwa hukum-hukum penemuan Dilihat dari segi tingkat kepastian ra’yu atau ijtihad tidak memiliki tingkat hukum yang ditunjukkan oleh suatu dalil penunjukkan terhadap hukum secara pasti (dalālah), dalil dapat dikategorikan ke dalam (qath’i al-dalālah), melainkan zhanniy. Ia dua kategori, qath’i dan zhanniy. Dalil-dalil merupakan dugaan kuat (zhann) mujtahid yang memberikan petunjuk secara pasti bahwa hukum yang semacam itulah yang dikenal dengan istilah qath’i al-dalālah yaitu dimaksudkan oleh Allah (zhanni al-dalālah).32 dalil-dalil yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus dipahami menurut Kesimpulan teksnya, tidak mengandung kemungkinan Dari pembahasan di atas dapat ta’wil, dan tidak ada tempat atau peluang disimpulkan bahwa rakyu atau ijtihad untuk memahami maknanya selain dari memiliki peran yang sangat penting dalam makna yang tersebut pada teks.30 Sedangkan pengembangan dalil-dalil yang memberi petunjuk kepada ijtihad di sini adalah mencari alternatif- hukum dengan tidak pasti disebut zhanniy alternatif hukum yang tepat dan relevan al-dalālah untuk situasi dan kondisi di mana ijtihad itu yaitu dalil-dalil yang menunjukkan kepada suatu makna tetapi hukum Islam. Peranan dilakukan. dapat dipalingkan atau ditakwilkan kepada Ijtihad mesti dilakukan dengan makna lain, selain dari makna yang tersebut menggunakan rambu-rambu yang jelas. pada taks (nash).31 Sikap setiap muslim terhadap masalah- Ijtihad sebagai dalil hukum berperan masalah yang hukumnya ditetapkan untuk menemukan hukum dari al-Quran berdasarkan dalil yang "qath'iy al-tsubut" dan Sunnah, tidak menciptakan hukum. dan Dengan kata perantaraan lain, qath'iy al-dalalah" adalah harus mujtahid dengan menerimanya dengan senang hati dan hanya sekedar pasrah. ra’yunya Sebaliknya terhadap masalah- menggali, menemukan, dan mengeluarkan masalah yang ditetapkan berdasarkan dalil- hukum yang tersirat di balik yang tersurat dalil yang zhanni, rakyu memiliki peran dalam yang sangat penting. nash, dan melahirkan yang tersembunyi dari nash. Karena itu, hukumhukum yang ditemukan oleh ra’yu tidak dapat dipastikan sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembuat hukum (Law Amir Syarifuddin, Ushul 2…, h. 110 32 Abdul Wahab Khalaf, ilmu…, h. 35 Abdul Wahab Khalaf, ilmu…, h. 35 30 31 Ismail 63 Eksistensi Rakyu dalam ...... ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 1, Januari – Juni 2016 al-‘Umurri, Nadiyah Syarif, al-Ijtihad fi al- DAFTAR PUSTAKA Islam Abu Sulaiman, Abdul Wahhab, Dauru AlAqli fi Al-Fiqh Al-Islami, Ushuluh, Ahkamuh, Afaquh. Muasat al-Risalat, 1979 edisi terjemahan Sayid Agil Husin alMunawwar dan Hadri Hasan, Peranan Akal Dalam Hukum Islam. Semarang: Dina Utama, 1994 Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh. Kairo: Maktabah al-Nasr, 1956 Abdurrahman, Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2011 Abu Dawud, Sunan Abi Daud. Juz II. Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952 al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi. Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, 1967 Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh. [Tt]: Dar al-Fiqh al-Arabi, [tth] al-Fayyumiy, Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Mugni, Misbah al-Munir. Juz I, [Ttp]: Dar al-Fikr, [tth] Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam. Padang: Angkasa Raya, 1993 ___________, Ushul Fiqh Jilid 2. Bukit Pamulang Indah: Logos, 1999 Husen, Ibrahim, “Memecahkan Masalah Hukum Baru”, dalam Ijtihad Dalam Sorotan, Haidar Baqir dan Syafiq Basri (ed.). Bandung: Penerbit Mizan, 1988 al-Zarqa, Mustafa Ahmad, al-Ishtishlah wa alMashalih al-Mursalah fi Syari’at alIslamiyah wa Ushul Fiqhiha. Dar alQalam, 1988 Ismail 64 Eksistensi Rakyu dalam ......