ANATOMI KONFLIK Revitalisasi Nilai Luhur Pancasila Dalam tata ruang Kehidupan Nasional Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang lahir karena kemajemukan dan perbedaan yang dipersatukan oleh kesadaran kolektif untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.Perjuangan panjang bangsa untuk bersatu, diwarnai oleh kepahitan dan perjuangan fisik yang panjang dari generasi pendahulu bangsa untuk merdeka.Bukan merupakan hal yang mudah bagi para pendiri negara (founding fathers) menyepakati Pancasila, yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa, dan menetapkannya sebagai dasar negara. Namun dengan niat luhur dan mengesampingkan kepentingan kelompok, agama maupun golongan, pada tanggal 18 agustus 1945, dalam sidang pertamanya, PPKI telah menghasilkan kesepakatan untuk mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi negara. Sebagai Dasar Negara, Pancasila merupakan ideologi, pandangan dan falsafah hidup yang harus dipedomani bangsa indonesia dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa dan memiliki nilai dasar yang diakui secara universal dan tidak akan berubah oleh perjalanan waktu. Seiring dengan perjalanan waktu dan sejarah bangsa, kini apa yang telah diperjuangkan para pendiri dan pendahulu bangsa tengah menghadapi batu ujian keberlangsungannya. Globalisasi dan euphoria reformasi yang sarat dengan semangat perubahan, telah mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan pola tindak generasi penerus bangsa dalam menyikapi berbagai permasalahan kebangsaan. Pemahaman generasi penerus bangsa terkait nilai–nilai yang terkandung dalam empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Sesanti Bhinneka Tunggal Ika), semakin terdegradasi dan terkikis oleh derasnya nilai – nilai baru yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Ironisnya, sementara nilai–nilai baru ini belum sepenuhnya dipahami dan dimengerti, namun nilai–nilai lama sudah mulai ditinggalkan dan dilupakan.Tanpa disadari, generasi penerus bangsa bergerak semakin menjauh dari Pancasila sebagai jati diri bangsa yang bercirikan semangat gotong royong. Nilai Dasar Pancasila dan Globalisasi. Nilai Dasar Pancasila. Pada dasarnya semua bangsa di dunia, memiliki latar belakang sejarah, budaya dan peradaban yang dijiwai oleh sistem nilai dan filsafat, baik nilai-nilai moral keagamaan (theisme-religious) maupun nilai nonreligious (sekular, atheisme).Tegasnya, setiap bangsa senantiasa menegakkan nilai-nilai peradabannya dengan dijiwai, dilandasi dan dipandu oleh nilai-nilai religious atau non-religious.Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultur, telah hidup dengan hidup keagamaan yang kuat sebagai landasan moral dalam kehidupan ketaanegaraannya. Keberadaan peninggalan candi seperti candi borobudur, prambanan, dan situs peninggalan keagamaan lainnya merupakan bukti tentang kehidupan bangsa Indonesia yang religius sejak dulu. Dan hal ini menjadi pedoman hidup dasar bangsa Indonesia yang berkeTuhanan. Selanjutnya, prinsip yang tertuang dalam sila kedua Pancasila, merupakan bentuk kesadaran bahwa bangsa Indonesia sejak dulu telah menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sesuai budaya bangsa indonesia yang beragam. Dalam budaya bangsa, manusia senantiasa ditempatkan dan diperlakukan sesuai dengan kodrat sebagai mahluk ciptaan Tuhan.Hal ini dapat dilihat dari berbagai seni budaya bangsa yang mengagungkan manusia sesuai dengan kultur dan budaya yang beragam.Sementara itu, menyadari keragaman dan pluralitas yang dimiliki bangsa dan belajar dari pengalaman masa penjajahan, maka persatuan bangsa Indonesia menjadi tuntunan hidup bangsa Indonesia yang majemuk.Justru dengan kemajemukan yang dimiliki, bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat heterogen. Prinsip persatuan indonesia bukan berarti menghilangkan eksistensi, ciri dan identitas masing-masing suku bangsa. Eksistensi, ciri dan identitas masing-masing suku bangsa tetap terpelihara dan terjaga keberadaannya. Sila keempat merupakan bentuk kesadaran dan pengejawantahan prinsip-prinsip kehidupan kelembagaan yang didasarkan pada perilaku kehidupan gotong-royong yang telah mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu.Sifat kegotongroyongan dan musyawarah mufakat telah menjadi pilar kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat secara turun temurun.Globalisasi dan Era Reformasi. Menyadari tantangan sebagai bangsa yang majemuk dan pentingnya persatuan bangsa, maka prinsip-prinsip kelembagaan yang didasarkan pada musyawarah untuk mufakat merupakan tuntunan bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan kelembagaan negara yang menentukan masa depan bangsa yang berkeadilan. Dengan demikian prinsip-prinsip keadilan merupakan kristalisasi keinginan dan cita-cita bangsa untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Bagi generasi penerus bukan suatu hal yang mudah mempertahankan komitmen para pemuda pendahulu dan pendiri bangsa dalam memperjuangkan nilai-nilai luhur pancasila.Dinamika perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional setiap jaman dan era kepemimpinan, sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya pola pikir, pola sikap dan pola tindak generasi penerus dalam menyikapi berbagai permasalahan mendasar yang dihadapi bangsa.Di satu sisi, trauma generasi muda terhadap sikap politik pemerintahan orde baru, telah melahirkan generasi muda era reformasi yang cenderung apatis dan tidak peduli terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Sementara disisi lain, era globalisasi beserta implikasinya telah merubah persepsi ancaman terhadap eksistensi suatu negara. Ancaman bagi bangsa dan negara, tidak lagi diwujudkan dalam bentuk ancaman secara fisik, melainkan ancaman tampil dalam wujud dan bentuk ancaman yang lebih kompleks dan mencakup seluruh dimensi kehidupan nasional.Potensi Ancaman dan Bela Negara.Globalisasi yang didominasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, telah merubah pola hubungan antar bangsa dalam berbagai .aspek.Negara seolah tanpabatas (borderless), saling tergantung (interdependency) dan saling terhubung (interconected) antara satu negara dengan negara lainnya.Saat ini, tidak ada satupun negara di dunia yang mampu berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan warganya.Dominasi negara-negara maju terhadap negaranegara berkembang semakin menguat melalui konsep pasar bebas dalam lingkup global maupun regional. Tantangan terbesar generasi penerus saat ini adalah kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat.Kemajuan teknologi informasi telah merubah hubungan antar negara dan pola hubungan antar manusia.Kehadiran internet dan teknologi komunikasi ikutan lainnya, memungkinkan manusia berhubungan dan berkomunikasi setiap saat dan tanpa batas. Di satu sisi, hal ini dapat memberikan kontribusi positif bagi proses pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Namun disisi lain, teknologi informasi dapat digunakan sebagai sarana melemahkan ketahanan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan suatu negara. Hal ini telah dibuktikan dengan munculnya berbagai ketidakstabilan beberapa negara yang diakibatkan oleh pembentukan opini publik dan penyebaran dokumendokumen rahasia melalui situs-situs yang memanfaatkan jaringan internet. Pada era reformasi perkembangan situasi nasional cukup memprihatinkan dengan banyaknya permasalahan yang muncul secara bergantian di seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadinya perubahan emosi, sikap, tingkah laku, opini, dan motivasi masyarakat, merupakan cerminan merupisnya secara signifikan terhadap pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Dampak demokratisasi yang tidak terkendali dan tidak didasari dengan pemahaman nilai-nilai Pancasila telah memunculkan sikap individualistis yang sangat jauh berbeda dengan nilai-nilai Pancasila yang lebih mementingkan keseimbangan, kerjasama, saling menghormati, kesamaan, dan kesederajatan dalam hubungan manusia dengan manusia.Hal ini juga dirasakan dan diungkapkan oleh mantan Presiden BJ Habibie dan Ibu Megawati dalam sambutannya di depan sidang MPR RI pada tanggal 1 Juni 2011 dalam rangka memperingati Pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Dalam sambutannya Bapak BJ Habibie manyampaikan ” …….sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa.Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitlk “, Ibu Megawati juga menyampaikan bahwa “…………….dalam kurun 13 tahun reformasi, menunjukkan kealpaan kita semua terhadap dokumen penting sebagai rujukan Pancasila dalam proses ketatanegaraan kita”. Ekspresi dan kegundahan kedua tokoh nasional tersebut, tentu merupakan bentuk kegelisahan yang harus dijadikan tolok ukur memudarnya pemahaman masyarakat terhadap nilai–nilai luhur Pancasila.Hingga saat ini, Pancasila masih tampak kokoh berdiri mempersatukan berbagai komponen bangsa, suku bangsa, golongan dan etnik di bawah NKRI.Namun, bangsa ini harus berani jujur untuk mengakui bahwa Pancasila sebagai dasar negara mulai kehilangan roh dan jiwa anak bangsanya.Di tengah semakin kaburnya wujud dan bentuk ancaman yang berkembang dewasa ini, kerapuhan jiwa dan semangat kebangsaan sesungguhnya merupakan potensi ancaman terbesar bagi keberlangsungan dan keutuhan bangsa. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa pemahaman empat pilar wawasan kebangsaan akan membangkitkan semangat dan kesadaran bela negara seluruh warga negaranya dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman. Empat pilar wawasan kebangsaan dan kesadaran bela negara merupakan unsur soft power dalam spektrum bela negara.Lebih jauh lagi, dalam konteks sistem pertahanan negara, pemahaman empat pilar wawasan kebangsaan merupakan kekuatan moral pertahanan nir militer setiap warganegara dengan berbagai profesinya untuk berpartisipasi aktif dalam mempertahankan negara. Implementasi Nilai–Nilai Empat Pilar Wawasan Kebangsaan untuk menciptakan kedamaian Sosial Semua dampak euphoria reformasi yang kita hadapi saat ini, perlu disikapi oleh segenap komponen bangsa melalui pemahaman yang benar, utuh dan menyeluruh dalam konteks semangat persatuan dan kesatuan bangsa.Semangat tersebut merupakan kata kunci dari aktualisasi dan implementasi nilai-nilai luhur Pancasila yang harus terus ditumbuh-kembangkan oleh generasi penerus.Seluruh komponen bangsa harus mampu menyikapi berbagai permasalahan, perbedaan dan kemajemukan dengan berpedoman pada empat pilar wawasan kebangsaan yang dibangun oleh para pendiri bangsa.Seluruh anak bangsa harus proaktif untuk menciptakan, membina, mengembangkan dan memantapkan persatuan dankesatuan bangsa yang kerap menghadapi potensi perpecahan.Generasi penerus harus mampu menghidupkan kembali sikap dan budaya gotong royong, silahturahmi dan musyawarah untuk mufakat yang hakikinya merupakan ciri bangsa Indonesia sejak dulu. Primodialisme, masalah SARA, masalah ketidakadilan, masalah korupsi dan kesenjangan sosial ekonomi secara bertahap harus dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan.Hal ini perlu ditegaskan mengingat, hal tersebut dapat menjadi titik retak rasa persatuan dan kesatuan bangsa bila tidak dapat ditemukan solusi pemecahan masalahnya.Oleh karena itu, pemuda harus mampu mempelopori untuk memahami, menghayati dan mengimplementasikan nilai–nilai empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai daya tangkal terhadap berbagai potensi yang mengancam keutuhan NKRI.Upaya politis sangat diperlukan mengingat Pancasila dan tiga pilar kebangsaan lainnya lahir melalui proses politik yang melibatkan seluruh kelompok dan golongan. Teladan yang ditunjukkan pendahulu bangsa, harus dapat dijadikan contoh untuk menyusun rencana aksi guna melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila. Proses politik harus didasarkan pada komitmen yang mengacu pada kepentingan bangsa dan negara dengan melibatkan Suprastruktur politik, Infrastruktur politik dan Substruktur politik sesuai sistem politik yang berlaku. Oleh karena itu, soliditas dan kohesivitas sistem politik Indonesia akan sangat menentukan keberhasilan revitalisasi nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Suprastruktur, InfraStruktur dan Substruktur harus mampu menciptakan suasana dan iklim politik yang kondusif bagi terjalinnya komunikasi politik dan sosialisasi politik yang sehat.Komunikasi politik dan interaksi di antara ketiganya, harus dibangun berdasarkan keinginan untuk membangun kembali kesadaran kolektif bangsa terkait konsensus empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.Komunikasi politik yang sudah ditunjukkan para tokoh politik dan pendiri bangsa, harus menjadi inspirasi dan teladan bagi para tokoh di era saat ini.Walaupun hal ini terlihat sangat normatif, namun fakta sejarah tidak dapat dipungkiri oleh segenap elemen penerus bangsa.Di tengah kehidupan demokratis yang berkembang, Partai politik sebagai salah satu unsur Suprastruktur politik memegang peran dominan dan menentukan berhasil tidaknya revitalisasi nilai–nilai empat pilar wawasan kebangsaan.Hal ini mengingat bahwa partai politik merupakan salah satu pilar utama demokrasi.Sebagai pilar utama demokrasi, partai politik mengemban fungsi sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, sarana rekruitmen kader–kader pemimpin dan pengelola konflik (conflict menegement) diantara berbagai elemen masyarakat. Oleh karena itu, tata laku partai politik akan mempengaruhi tata laku masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara kelembagaan, revitalisasi nilai–nilai empat pilar wawasan kebangsaan menjadi tanggung jawab penyelenggara negara sesuai dengan stratifikasi dan tataran kewenangan yang dimiliki. Mengingat empat pilar wawasan kebangsaan merupakan hasil keputusan politik, maka lembaga negara seperti MPR–RI, DPR–RI dan Presiden RI selaku kepala pemerintahan rerupakan tiga lembaga negara yang menentukan arah keputusan politik yang akan disepakati. Penting untuk dicatat, bahwa sinkronisasi dan sinergitas diantara ketiga lembaga negara tersebut akan tergantung dari keinginan untuk menyatukan berbagai perbedaan pandangan dan kepentingan politik masing–masing. Diharapkan, keterlibatan lembaga-lembaga tersebut mampu menghasilkan peraturan perundangan yang memperkuat upaya-upaya revitalisasi Pancasila secara demokratis dan bermartabat. Dalam tataran regulasi dan kebijakan yang merupakan penjabaran dari keputusan politik, keberadaan para pemangku kepentingan terkait lainnya seperti: Kementerian koordinator politik dan keamanan, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Keuangan, Lemhannas RI, Mahkamah Konstitusi, Dewan Pertahanan Nasional dan Bappenas RI, memiliki peran sentral dalam pengimplementasian keputusan politik terkait revitalisasi nilai–nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Regulasi dan kebijakan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang–undangan, merupakan sarana yang mengatur terselenggaranya upaya revitalisasi nilai–nilai empat pilar wawasan kebangsaan secara komprehensif dan terpadu.Oleh karena itu, sinkronisasi kebijakan, program, mekanisme, metode dan pengawasan merupakan prasyarat keberhasilan upaya revitalisasi. Pada tataran operasional, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, organisasi politik, organisasi masyarakat, dosen dan guru merupakan pelaksana–pelaksana upaya revitalisasi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.Dengan pembekalan yang memadai terkait nilai–nilai empat pilar wawasan kebangsaan, komponen bangsa tersebut memainkan peran sebagai agen perubahan (agent of change) mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan pemukiman hingga lingkungan kerja.Pendidikan formal, informal maupun nonformal yang dimulai dari lingkungan keluarga hingga lingkungan pendidikan, merupakan sarana yang efektif untuk menanamkan pemahaman atas nilai–nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Sebagai rangkaian upaya yang terstruktur, upaya pada tataran operasional akan bersifat praktis implementatif. Pelibatan lembaga-Iembaga tersebut untuk menghasilkan peraturan perundangan yang memperkuat upaya-upaya revitalisasi Pancasila secara demokratis dan bermartabat.Upaya yang bersifat praktis ditujukan untuk mendukung upaya-upaya politis melalui kegiatan-kegiatan seperti pendidikan, penyuluhan dan training of trainer (ToT) tenaga penyuluh dengan melibatkan peran aktif para pemangku kepentingan.Sedangkan upaya yang bersifat operasional dilakukan oleh lembaga-lembagapendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.Hal ini dilakukan mengingat lembaga pendidikan merupakan ujung tombak pembentukan watak dan karakter bangsa, khususnya generasi muda yang efektif.Dalam tataran operasional, satu hal penting dan mendasar yang perlu dikembangkan adalah teladan secara nyata. Teladan merupakan kata kunci dan kekuatan moral yang akan menentukan berhasil tidaknya upaya revitalisasi nilainilai empat pilar wawasan kebangsaan yang dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari pola dan budaya bangsa Indonesia yang bersifat patriarchy dan paternalistik, sehingga teladan para pemimpin merupakan sarana efektif untuk membangun watak dan karakter bangsa, khususnya di kalangan generasi muda bangsa. Konsep dan Pemikiran Lemhannas RI Mengacu Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2006 tentang Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), salah satu tugas dan fungsi Lemhannas RI adalah memantapkan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam UUD NKRI Tahun 1945 dan nilainilai Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, Lemhannas RI telah melaksanakan berbagai kegiatan diskusi dan kajian serta survei sosial ke seluruh pelosok tanah air, dengan melibatkan instansi pemerintah dan komponen bangsa lainnya, (akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM dan lain-lain) serta masyarakat.Menyadari arti pentingnya pemahaman nilai–nilai empat pilar wawasan kebangsaan bagi keutuhan NKRI dan semakin beratnya tantangan yang dihadapi, Lemhannas RI telah mengembangkan konsep pemikiran dan upaya–upaya terobosan yang memanfaatkan keberadaan dan jaringan para alumninya yang tersebar luas di seluruh wilayah nusantara.Keberadaan para alumni yang bersumber dari berbagai komponen bangsa ini sebagai agen perubahan, tentu merupakan kekuatan potensial dalam rangka revitalisasi nilai–nilai empat pilar wawasan kebangsaan.Memanfaatkan keberadaan para alumni dan bekerjasarna secara sinergis dengan para pemangku kepentingan terkait lainnya, Lemhannas RI yang telah memiliki program pendidikan dan pemantapan nilai kebangsaan terprogram, saat ini sedang mengembangkan program kegiatan pemantapan nilai kebangsaan maupun Training of Trainers (ToT) yang ditujukan kepada: Dosen dan Guru, Politisi, Media Massa dan Pengusaha. Dosen dan Guru. Berdasarkan laporan hasil survei BPS RI tentang Survei Kehidupan Bernegara (SKB) yang dilakukan tanggal 27 Mei 2011 hingga 29 Mei 2011, tampak dengan jelas kepercayaan dan harapan masyarakat yang begitu besar (43,4%) kepada tenaga pendidik (Guru dan Dosen) untuk memberikan edukasi dan sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Kepercayaan yang begitu besar dari masyarakat ini, harus direspon dengan penuh tanggung jawab tenaga pendidik untuk selalu meningkatkan kemampuan profesi, dan memberikan keteladanan dalam tingkah laku di kehidupan masyarakat sehari-hari. Profesi tenaga pendidik (guru dan dosen) yang tersebar merata di seluruh tanah air dan selalu ada dalam setiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga pendidikan tingkat Pasca Sarjana, mempunyai nilai yang sangat strategis dalam pembentukan karakter bangsa melalui sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Dengan pertimbangan itu, Lemhannas RI menempatkan Dosen dan Guru sebagai prioritas untuk diberi pembekalan sebagai agen sosialisasi nilai–nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Politisi.Sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya sebagai pimpinan maupun anggota partai politik, para politisi sangat berperan dalam perumusan peraturan perundangan maupun kebijakan publik.Pemahaman yang komprehensif terhadap nilai–nilai empat pilar wawasan kebangsaan sangat dibutuhkan agar para politisi dapat memberikan sumbangsi pemikiran yang konstruktif dalam peraturan perundangan maupun kebijakan publik yang mengedepankan kepentingan bangsa mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Media Massa. Di era demokrasi, media massa dapat dipandang sebagai salah satu pilar yang mengawal terselenggaranya kehidupan demokrasi yang sehat, beretika dan bermartabat. Disamping itu, di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, peran media massa menjadi sangat penting dan strategis dalam membentuk watak dan karakter bangsa. Dengan demikian, kalangan media massa perlu diberi pembekalan dan perluasan cakrawala berpikir terkait arti pentingnya pemahaman nilai–nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Hal ini dimaksudkan agar kapasitas dan kemampuan yang dimiliki dapat mempercepat proses pembangunan watak dan karakter bangsa yang menjunjung tinggi Pancasila sebagai jati diri bangsanya. Pengusaha. Pengusaha merupakan salah satu motor penggerak perekonomian bangsa. Dalam menjalankan perannya, para pengusaha senantiasa dihadapkan pada pilihan dilematis antara kepentingan usaha dan kepentingan bangsa.Di era globalisasi dan perdagangan bebas, para pengusaha dituntut untuk memiliki kemampuan rnemilih dan memilah agar perekonomian bangsa dapat memajukan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara signifikan.Dengan pemahaman terhadap nilai – nilai empat pilar wawasan kebangsaan, diharapkan para pengusaha mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan kemajuan rakyat. Harus diakui secara jujur, era reformasi yang membawa semangat perubahan dan keterbukaan telah membawa banyak perubahan positif maupun negatif bagi kehidupan nasional.Keterbukaan dan kebebasan individu yang merupakan ciri demokrasi barat semakin mendominasi pola pikir, pola sikap dan pola tindak generasi penerus bangsa.Semangat gotong royong yang merupakan jiwa dan semangat yang terkandung dalam Pancasila, mulai dikesampingkan dan diabaikan.Tata nilai baru yang belum sepenuhnya dipahami dan diterima oleh bangsa Indonesia telah mengakibatkan disharmonisasi hubungan vertikal maupun horisontal di antara masyarakat Indonesia yang majemuk. Berbagai permasalahan bangsa yang terjadi akhir–akhir ini, disebabkan semakin lunturnya toleransi atas perbedaan dan kemajemukan di antara komponen bangsa. Permasalahan ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena akan melemahkan sendi–sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa dalam susunan Suprastruktur, Infrastruktur dan Substruktur politik harus mampu membangun kembali komunikasi politik yang didasarkan atas kesadaran kolektif bangsa untuk mempertahankan nilai– nilai empat pilar wawasan kebangsaan. Sebagai salah satu pemangku kepentingan terkait sosialisasi empat pilar wawasan kebangsaan, Lemhannas RI bersama-sama dengan para pemangku kepentingan terkait lainnya, telah dan sedang menyusun upaya revitalisasi nilai luhur Pancasila dalam rangka memelihara jati diri ke-Indonesia-an di kalangan generasi penerus. Mengingat empat pilar wawasan kebangsaan merupakan keputusan yang dihasilkan melalui proses politik, maka upaya revitalisasi yang akan dilakukan harus melalui proses politik yang melibatkan setiap elemen yang ada dalam sistem politik Indonesia. Rasa Kebangsaan Indonesia Konsep rasa kebangsaan Indonesia tumbuh dari sejarah panjang bangsa.Berawal dari hasrat ingin bersatu, penduduk yang mempunyai latar belakang yang sangat majemuk, kemudian berkembang menjadi keyakinan untuk menjadi satu bangsa yang akhirnya dideklarasikan oleh sejumlah pemuda pada saat Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.Sejalan perkembangan perjuangan kebangsaan, keyakinan terikat sebagai satu bangsa tersebut kemudian berkembang menjadi paham nasionalisme.Kemudian berangkat dari latar belakang sejarah tersebut didefinisikanlah rasa kebangsaan, yaitu kesadaran berbangsa, merupakan rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini.Dinamisasi kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas.Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat patriotisme. (Nation and Character Building-Melalui Pemahaman Wawasan Kebangsaan, dari hasil diskusi reguler Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi Bappenas, Otho H. Hadi, MA, Staf Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi Bappenas). Selama ini, rasa kebangsaan Indonesia dianggap sudah mulai luntur, hal ini dikaitkan dengan kenyataan derasnya arus globalisasi dan westernisasi yaitu semakin lunturnya budaya ketimuran Indonesia.Semakin sulit kita temukan pada anak muda jaman sekarang sopan santun khas budaya Timur yang dulu dipraktekkan orang-orang tua kita pada jamannya.Semakin sulit pula kita menemukan generasi muda sekarang yang hafal butir-butir dari sila Pancasila.Meskipun penguasaan materi butir-butir Pancasila tidak dapat dijadikan indikator pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari, paling tidak hal tersebut menunjukkan adanya penurunan upaya pemantapan pemahaman kewarganegaraan pada generasi muda.Saya tidak yakin (bukan berarti pesimis) jika kita ambil sampel di tempat-tempat umum (misalnya mall-mall) apakah pemudapemudi kita hafal 100% Lagu Indonesia Raya?Tanyakan pula, siapa pencipta lagu Bagimu Negeri?Tapi coba tanyakan, siapa yang menyanyikan lagu “PUSPA”?Dengan cepat pasti segera dijawab. Sekali lagi, meskipun kadar kebangsaan seseorang tidak semata-mata diukur dengan bisa tidaknya menyanyikan lagu kebangsaan, atau mengetahui lagu-lagu wajib perjuangan, paling tidak hal ini menjadi suatu peringatan bagi kita pencinta bangsa dan negara ini. Berangkat dari uraian di atas, memang kita menyadari terjadinya penurunan pemahaman dan aplikasi terhadap rasa kebangsaan Indonesia.Namun kita tidak perlu berkecil hati, dengan berbagai upaya, kita dapat mempertahankan rasa kecintaan terhadap bangsa ini, dengan memanfaatkan dan menggali potensi yang ada. Berbagai peristiwa dan momen dalam kehidupan Bangsa Indonesia telah menunjukkan, bahwa bangsa kita masih punya rasa cinta tanah air dan bangsa, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, harga diri di antara bangsa-bangsa di dunia, rasa bersatu, dan rasa senasib sepenanggungan. Di antara momen tersebut adalah momen yang diuraikan pada awal tulisan ini. Momen lain yang bisa kita manfaatkan sebagai momen pemersatu bangsa namun diarahkan pada hal-hal yang positif antara lain: pertama, Ketika terjadi konflik perbatasan dengan negara tetangga (Malaysia), sebagian masyarakat Indonesia berbondong-bondong menyatakan kesediaan dirinya untuk menjadi sukarelawan ikut berperang melawan Malaysia bahkan sebagian sudah melaksanakan latihan kemiliteran secara mandiri.Kedua, Ketika budaya bangsa (lagu daerah, kesenian daerah, dsb) diklaim oleh bangsa lain (Malaysia) sebagai budaya mereka, masyarakat Indonesia melakukan protes keras terhadap tindakan negara tersebut.Ketiga,Ketika warga negara Indonesia yang berada di negara asing (TKI, duta olah raga, dsb) mendapat perlakuan buruk dan tidak sebagaimana mestinya, masyarakat Indonesia melakukan protes keras dan menuntut keadilan terhadap perlakuan tersebut.Keempat,Pada acara puncak perayaan Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 2008 di Stadion Gelora Bung Karno, masyarakat sangat antusias berpartisipasi, baik sebagai pengisi acara maupun sebagai penonton, termasuk pemirsa televisi di seluruh Indonesia, karena seluruh stasiun televisi nasional menyiarkan secara langsung acara tersebut. Momen-momen dan peristiwa tersebut sangat penting bagi bangsa Indonesia, dan merupakan suatu potensi yang dapat kita kembangkan dalam upaya pemantapan rasa kebangsaan Indonesia. Upaya-upaya tersebut dapat kita lakukan (pemerintah dan segenap bangsa Indonesia) dengan:Pertama,Menggalakkan kembali materi pelajaran wawasan kebangsaan dan kewarganegaraan di dalam sistem pendidikan di Indonesia, terutama mulai tingkat dasar, sehingga sejak kecil anak-anak telah ditanamkan rasa kebangsaan yang dalam dan cinta tanah air dan bangsa. (Perlu perhatian yang serius karena kita dihadapkan pada tumbuh dan berkembangnya sekolah-sekolah yang “global-oriented”, yang sangat fokus pada sains, teknologi dan masa depan pribadi (profesi) tetapi kurang perhatian terhadap kesadaran berbangsa dan bertanah air).Kedua,Memanfaatkan momen-momen kompetisi antar bangsa, termasuk bidang olahraga dan pendidikan (kompetisi sains dan teknologi) yaitu dengan terus mendukung prestasi bangsa Indonesia di dunia Internasional, sehingga semakin banyak hal yang dapat dijadikan kebanggaan nasional.(Sayangnya, pelajar juara-juara kompetisi sains dan teknologi terkadang tidak mendapat perhatian khusus dari kita, khususnya pemerintah, sehingga potensinya sering dimanfaatkan oleh institusi di luar Indonesia).Ketiga,Menggalakkan kembali slogan cinta produksi Indonesia. Namun diharapkan tidak hanya sebagai slogan belaka, tetapi dibarengi usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi dalam negeri sehingga tidak terlalu bergantung pada negara lain.Keempat, Mendukung pemasyarakatan budaya Indonesia untuk membendung masuknya budaya asing. Misalnya: para pejabat kita agar lebih mendahulukan musik dan lagulagu Indonesia seperti lagu-lagu dangdut dalam kegiatan dengan masyarakat, jangan malah lebih memilih lagu-lagu barat atau budaya asing lainnya.Kelima, Kita semua harus punya kesadaran untuk memproteksi (bukan berarti menutup pintu) arus globalisasi informasi dan teknologi, misalnya dengan membatasi akses internet yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia seperti yang telah dilakukan pemerintah dengan aturan pelarangan akses situs porno di seluruh Indonesia. Rasa kebangsaan Indonesia lahir dari suatu sejarah yang panjang.Kita sebagai generasi penerus mempunyai kewajiban untuk melestarikannya.Pelestarian rasa kebangsaan Indonesia merupakan salah satu usaha untuk tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun wacana yang ada menyatakan bahwa telah terjadi penurunan rasa kebangsaan Indonesia, kita tetap harus optimis, karena terbukti masih banyak potensi bangsa ini yang dapat dikembangkan demi tetap terpeliharanya rasa kebangsaan dan dapat dijadikan pijakan untuk usaha-usaha memelihara dan meningkatkan rasa kebangsaan Indonesia itu sendiri. ISU SARA DAN KEPENTINGAN GERAKAN RADIKALISME Indonesia adalah Negara yang bersifat heterogen dan heterogenitas tersebut dapat di lihat dari berbagai suku, agama, ras, budaya, bahasa daerah, dan golongan serta beberapa agama yang diperbolehkan berkembang di Indonesia. Indonesia meliliki lebih dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Selain itu masing-masing suku bangsa juga memiliki norma sosial yang mengikat masyarakat di dalamnya agar ta‟at dan melakukan segala yang tertera didalamnya. Dalam hal cara pandang terhadap suatu masalah atau tingkah laku memiliki perbedaan. Ketika terjadi pertentangan antar individu atau masyarakat yang berlatar belakang suku bangsa yang berbeda, mereka akan mengelompok menurut asal-usul daerah dan suku bangsanya (primodialisme). Itu sangat mungkin menyebabkan pertentangan\ketidakseimbangan sosial dan oleh sebagian kelompok bisa mengarahkan pertentangan tersebut pada gerakan fundamental atau dengan kata lain gerakan radikalisme. Secara umum, kompleksitas masyarakat majemuk tidak hanya ditandai oleh perbedaan-perbedaan horisontal, seperti yang lazim kita jumpai pada perbedaan suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama.Namun, juga terdapat perbedaan vertikal, berupa capaian yang diperoleh melalui prestasi (achievement).Indikasi perbedaan-perbedaan tersebut tampak dalam strata sosial, sosial ekonomi, posisi politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan kondisi permukiman.Sedangkan perbedaan horisontal diterima sebagai warisan, yang diketahui kemudian bukan faktor utama dalam insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antarsuku.Suku tertentu bukan dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan etnik. Sementara itu, dari perbedaan-perbedaan vertikal, terdapat beberapa hal yang berpotensi sebagai sumber konflik, antara lain perluasan batas-batas identitas sosial budaya dari sekelompok etnik, perubahan sosial, perebutan sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi lainnya. Selain itu juga benturan-benturan kepentingan kekuasaan, politik dan ideologi.Untuk menghindari diperlukan adanya konsolidasi antar masyarakat yang mengalami perbedaan.Tetapi tidak semua bisa teratasi hanya dengan hal tersebut.Untuk menuju integritas nasional yaitu keseimbangan antar suku bangsa diperlukan toleransi antar masyarakat yang berbeda asal-usul kedaerahan.Selain itu faktor sejarahlah yang mempersatukan ratusan suku bangsa ini.mempunyai perbedaan antar daerah. hal tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial antar kelompok masyarakat. Keanekaragaman ini ibarat pisau bermata dua, pada satu sisi kalau di kelola dengan baik dan benar maka sangat berpotensi dalam mendorong konstruksi sosial yang kuat dan di perlukan dalam mendorong pembangunan bangsa pada segmentasi sosial yang bermartabat menuju peradaban. Sementara pada sisi yang lain keanekaragaman ini juga bisa berpotensi untuk terciptanya ketidakseimbangan sosial yang mengarah pada konflik sosial. A. Pengertian SARA (Suku Ras Agama dan Antar golongan) 1. SARA SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA.Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. SARA Dapat Digolongkan Dalam Tiga Kategori a. Kategori pertama yaitu Individual: merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan. b. Kategori kedua yaitu Institusional: merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya. c. Kategori ketiga yaitu Kultural: merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan 2. Ras a. Makna Ras Para ahli antropologi berusaha meneliti sifat politipis jenis manusia dengan secara sistematis mengklasifikasikan homo sapiens menjadi sub jenis atau ras, atau dasar lokasi geografis dan ciricirinya yang phenotipis (phisik) seperti warna kulit, besarnya tubuh, bentuk kepala, dan lebatnya rambut. b. Ras sebagai konsep biologis Dalam arti singkat ras dapat didefinisikan sebagai populasi sesuatu jenis yang berbeda dalam frekuensi keadaan suatu atau beberapa gen yang berbeda dari populasi lain dari jenis yang sama. Tapi ada 3 hal yang harus diperhatikan pertama, definisi itu tidak pasti, karena tidak ada kesepakatan mengenai berapa banyak perbedaan genetis yang diperlukan untuk membentuk sebuah ras. Kedua, tidak berarti suatu ras secara ekseklusif mengandung varian yang khas dari sebuah atau beberapa gen. Ketiga, bawa individu-individu dari ras yang satu belum tentu akan dapat dibedakan dari individu-individu ras yang lain. 1. Suku Bangsa Istilah “Suku Bangsa” (dalam bahasa Inggris) disebut ethnic group jika diterjemahkan secara harfiah menjadi kelompok ethnic.Jika sifat kesatuan dari suku suatu bangsa berupa golongan sebaiknya menggunakan istilah suku bangsa saja.Konsep yang tercakup dalam suatu istilah “suku bangsa” adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan jati diri mereka akan kesatuan dari kebudayaan mereka sehingga kesatuan kebudayaan tidak ditentukan oleh orang luar melainkan oleh warga kebudayaan yang bersangkutan itu sendiri. Dalam kenyataanya konsep suku bangsa lebih komplek dari pada apa yang diuraikan diatas karena batas dari kesatuan manusia yang merasa dirinya terikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit sesuai dengan keadaan. Misalnya penduduk pulau Nusa Tenggara Barat terdiri dari berbagai suku bangsa yaitu sukuBima (Mbojo), Samawa, Sasak. Pada dasarnya suatu kelompok etnis mempunyai 6 sifat-sifat sebagai berikut. 1. Memiliki nama yang khas yang mengidentifikasikan hakekat dari suatu masyarakat. Misalnya suku Dayak, Batak dan Melayu. 2. Memeliki Suatu mitos akan kesatuan nenek moyang. Mitos tersebut biasanya terdapat ide dalam kesamaan asal usul dalam waktu dan tempat tertentu sehingga kelompok tersebut membentuk suatukekeluargaan yang fiktif. Misalnya Suku Minahasa memeliki suatu mitos keluarga super yang berasal dari manusia pertama. 3. Kelompok tersebut mempunyai ingatan historis yang sama tau dengan kata lain mempunyai memori masa lalu yang sama seperti para pahlawan, kejadian-kejadian tertentu didalam hari-hari peringatan suku-suku tersebut. 4. Kelompok tersebut memiliki kesatuan elemen-elemen budaya seperti agama, adat istiadat, bahasa. 5. Kelompok tersebut terikat dengan suatu tanah tumpah darah (Homeland) baik secara fisik maupun hanya sebagi keterkaitan simbolik terhadap tanah leluhur seperti pada kelompok-kelompok diaspora. 6. Memiliki suatu rasa solidaritas dari penduduknya. 7. Daerah Kebudayaan Suatu daerah kebudayaan adalah suatu daerah pada peta dunia yang oleh para ahli antropologi disatukan berdasarkan persamaan unsur-unsur atau ciri-ciri kebudayaan yang mencolok.Dengan penggolongan seperti itu, berbagai suku bangsa yang tersebar disuatu daerah dimuka bumi diklasifikasikan berdasarkan unsur-unsur kebudayaan yang menunjukan persamaan untuk memudahkan para ahli antropologi melakukan penelitian analisa komparatif.Klasifikasi berdasarkan daerah kebudayaan mula-mula dicetuskan oleh F. Boas, walupun konsep itu menjadi terkenal dengan terbitnya buku C. Whistler yang berjudul The American Indian (1920). Dalam buku itu Whstler membagi kebudayaan suku bangsa Indian penduduk amerika Utara kedalam 9 daerah kebudayaan. Ciri-ciri kebudayaan yang dijadikan dari suatu penggologan daerah kebudayaan bukan hanya unsur-unsur kebudayaan fisik saja (misalnya alat-alat yang digunakan untuk berbagai jenis mata pencaharian hidup yaitu alat bercocok tanam, alat berburu, dan alat transport, senjata, bentukbentuk ornamen, gaya pakaian, bentuk rumah, dan sebagainya). Tetapi juga unsur-unsur kebudayaan abstrak seperti unsur-unsur organisasi kemasyarkatan , sistem perekonomian, upacara keagaaman, adat istiadat, dan lain-lain-lain. Persamaan ciri-ciri yang mencolok dalam suatu daerah kebudayaan biasanya hadir lebih kuat pada kebudayaan-kebudayaan yang merupakan pusat dari daerah kebudayaan yang bersangkutan dan makin tipis didalam kebudayaan-kebudayaan yang jaraknya makin jauh dari pusat tersebut. 3. Konflik Menurut Ralf Dahrendorf konflik merupakan fenomena yang selalu hadir (Inherent omnipresence) dalam setiap masyarakat manusia.Menurutnya, perbedaan pandangan dan kepentingan diantara keompok-kelompok masyarakat tersebut merupakan hal yang cenderung alamiah dan tidak terhindarkan. Namun pihak yang menolak sudut pandang itu mengatakan bahwa akan menjadi persolan besar tatkala cara untuk mengekspresikan perbedaan kepentingan diwujudkan dalam ekspresi yang tidak demokratis dan merusak melalui penggunaan cara kekerasan fisik. 1 Faktor Penyebab konflik a. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. b. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan.Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang.Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang.Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan.Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya.Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka. d. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilainilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada. 2. Macam-Macam Konflik Sosial Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 6macam : Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role)) Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank). Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa). Koonflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara) Konflik antar atau tidak antar agama Konflik antar politik. 3. Akibat Konflik Sosial Terlepas dari teori konflik yang menganggap konflik memiliki nilai positif, sejarah jaman maupun kenyataan hingga kini membuktikan bahwa konflik sosial secara langsung selalu menimbulkan akibat negatif. Bentrokan, kekejaman maupun kerusuhan yang terjadi antara individu dengan individu, suku dengan suku, bangsa dengan bangsa, golongan penganut agama yang satu dengan golongan penganut agama yang lain. Kesemuanya itu secara langsung mengakibatkan korban jiwa, materiil, dan juga spiritual, serta berkobarnya rasa kebencian dan dendam kesumat. Misalnya Perang Amerika dan Irak, Konflik Etnis (=Kerusuhan Sosial) di Kalimantan Barat. Akibat lanjutannya adalah terhentinya kerjasama antara kedua belah pihak yang terlibat konflik, terjadi rasa permusuhan, terjadi hambatan, bahkan kemandegan perkembangan kemajuan masyarakat; dan akhirnya dapat memunculkan kondisi dan situasi disintegrasi sosial maupun disintegrasi nasional yang menghambat pembangunan. 4. Penyelesaian Konflik Secara sosiologis, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif. Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan konflik. Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), detente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu, kemudian cara yang formal, jika cara pertama tidak membawa hasil. a. Konsiliasi Konsiliasi berasal dari kata Latin conciliatio atau perdamaian yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses pihak pihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan pihak ke tiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara menyeluruh dan tuntas.Ia hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dianggapnya baik kepada kedua pihak yang berselisih untuk menghentikan sengketanya. Contoh yang lazim terjadi misalnya pendamaian antara serikat buruh dan majikan.Yang hadir dalam pertemuan konsiliasi ialah wakil dari serikat buruh, wakil dari majikan/perusahaan serta ketiga yaitu juru damai dari pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga.Kerja.Langkah-langkah untuk berdamai diberikan oleh pihak ketiga, tetapi yang harus mengambil keputusan untuk berdamai adalah pihak serikat buruh dan pihak majikan sendiri. b. Mediasi Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara (mediator). Dalam hal ini fungsi seorang mediator hampir sama dengan seorang konsiliator. Seorang mediator juga tidak mempunyai wewenang untuk memberikan Penanganan Konflik Sosial 5 keputusan yang mengikat; keputusannya hanya bersifat konsultatif.Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk menghentikan perselisihan. c. Arbitrasi Arbitrasi berasal dari kata Latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan.Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi.Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi. Dalam hal persengketaan antara dua negara dapat ditunjuk negara ketiga sebagai arbiter, atau instansi internasional lain seperti PBB.Orang-orang yang bersengketa tidak selalu perlu mencari keputusan secara formal melalui pengadilan.Dalam masalah biasa dan pada lingkup yang sempit pihak-pihak yang bersengketa mencari seseorang atau suatu instansi swasta sebagai arbiter.Cara yang tidak formal itu sering diambil dalam perlombaan dan pertandingan.Dalam.hal ini yang bertindak sebagai arbiter adalah wasit. d. Koersi Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik.Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh.Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah.Misalnya, dalam perang dunia II Amerika memaksa Jepang untuk menghentikan perang dan menerima syarat-syarat damai. e. Detente Detente berasal dari kata Perancis yang berarti mengendorkan.Pengertian yang diambil dari dunia diplomasi ini berarti mengurangi hubungan tegang antara dua pihak yang bertikai.Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan dalam rangka pembicaraan tentang langkah-langkah mencapai perdamaian.Jadi hal ini belum ada penyelesaian definitif, belum ada pihak yang dinyatakan kalah atau menang.Dalam praktek, detente sering dipakai sebagai peluang untuk memperkuat diri masing-masing; perang fisik diganti dengan perang saraf. Lama masa “istirahat” itu. tidak tertentu; jika masing-masing pihak merasa diri lebih kuat, biasanya mereka tidak melangkah ke meja perundingan, melainkan ke medan perang lagi. Fenomena kerusuhan dan kekerasan yang melibatkan gerakan massa akhir-akhir ini marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk wilayah NTB. Fenomena ini telah menarik perhatian publik maupun masyarakat internasional. Lalu, apa yang salah di negeri ini dan apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan berbagai problem kebangsaan? Haruskah setiap masalah diselesaikan dengan kekerasan untuk mewujudkan perubahan atau keadilan sosial? Frekuensi gerakan massa di NTB sejak Januari s/d Desember 2011 (diloah dari berbagai sumber), terdapat sebanyak 780 kasus dalam bentuk aksi unjuk rasa dan pengerahan massa dari berbagai elemen masyarakat, LSM, maupun kelompok pergerakan mahasiswa. Dari data tersebut, teridentifikasi di Kota Mataram sebagai ibukota Provinsi sebanyak 212 kasus, Kab. Lombok Barat 64 kasus, Lombok Tengah 83 kasus, Kab. Lombok Utara 29 kasus, Kab. Lombok Timur 101 kasus, Kab. Sumbawa Barat 52 kasus, Kab. Sumbawa 55 Kasus, Kab. Dompu 70 Kasus, serta Kabupaten dan Kota Bima 114 kasus. Sementara gerakan massa yang berakhir anarkis atau tindakan kekerasan dan pengrusakan, maupun bentrok dengan aparat kepolisian pada tahun 2011 teridentifikasi sebanyak 44 kasus dan 1 kasus (pembakaran Kantor Pemerintahan di Kab. Bima) pada 10 Januari 2012. Daerah tertinggi tingkat anarkisme massa yang terjadi pada tahun 2011, yakni Kab. Lombok Timur 10 kasus, Kab. Bima 9 kasus, Kab. Sumbawa Barat 8 kasus, Kab. Lombok Barat 6 kasus, Kab. Lombok Tengah 5 kasus, Kab. Sumbawa dan Kota Bima masing-masing 2 kasus, serta Kab. Lombok Utara dan Kab. Dompu masing-masing 1 kasus. Maraknya kasus anarkisme massa di wilayah NTB tersebut lebih didominasi oleh permasalahan konflik pertambangan, seperti yang terjadi di Kab. Lombok Timur (Penolakan pertambangan pasir besi di Kec. Pringgabaya), Kab. Lombok Barat (Penolakan Tambang PT ILBB di Kec. Sekotong), Kab. Sumbawa Barat (permasalahan pertambangan dan rekrutmen tenaga kerja PT NNT), dan Kab. Bima (Penolakan SK Bupati Bima No. 188.45/357/004/2010 tentang ijin ekplorasi tambang PT Sumber Mineral Nusantara di Kec. Lambu, Kec. Sape dan Kec. Langgudu). Beberapa tindakan kekerasan dan anarkisme massa juga dipicu oleh perbedaan aliran atau faham keagamaan yang dinilai sesat, seperti kasus pengusiran Jamaah Ahmadiyah di Kab. Sumbawa pada 11 dan 12 Juni 2011, kasus pembakaran mushollah milik Jamaah Assunah Salafiyah di Dusun Lambung Lauk, Desa Pringgasela Selatan, Kab. Lotim pada 6 Mei 2011 dan pembakaran rumah di Dusun Pecatu, Desa Seruni Mumbul, Kec. Pringgabaya karena diduga rumah tersebut dijadikan sebagai tempat pengajian aliran sesat, sehingga mengakibatkan rumah rusak parah dan hangus terbakar. Selain itu, juga disebabkan oleh permasalahan sosial dan konflik politik, seperti ketidakpuasan para pendukung calon kepala desa dalam Pemilihan Kepala desa. Munculnya radikalisme gerakan massa di tengah masyarakat NTB merupakan fenomena menarik untuk dicermati di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah menapaki masa transisi menuju demokrasi. Fenomena tersebut harus dilihat dari persepektif sosial, politik, dan ekonomi, yang mungkin bisa dimaknai ganda, “positif dan negatif”. Secara positif gerakan tersebut dipandang sebagai wujud kebangkitan daya kritis masyarakat ditengah proses konsolidasi demokrasi di Indonesia untuk membangunan sebuah tatanan perubahan dan keadilan sosial secara radikal. Secara negatif, bisa dimaknai sebagai ancaman bagi tegaknya demokrasi di Indonesia, melumpuhkan kekuatan supremasi hukum di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Meskipun seringkali fenomena tersebut hanya selalu dipandang sebagai fenomena konflik vertikal ataupun horizontal tanpa menemukan akar permasalahannya. RADIKALISME GERAKAN MASSA Dalam terminologi ilmu sosial, radikalisme merupakan suatu paham atau aliran dalam gerakan sosial politik yang ingin membangun suatu dunia atau tatanan sosial politik yang lebih baik dengan cara menghancurkan akar kejahatan sosial, menghilangkan institusi-institusi yang dianggap menjadi penghalang bagi tegaknya demokrasi, dengan program membangun sistem politik ekonomi yang demokratis dan bervisi kerakyatan. Radikalisme juga merupakan suatu paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, penjebolan terhadap suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya bila perlu menggunakan cara-cara kekerasan, menginginkan adanya perubahan total terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat. Jika radikalisme dimaknai sebagai faham atau aliran dalam gerakan sosial politik, tentu mempengaruhi cara pandang, sikap, dan perilaku setiap gerakan yang muncul dari individu maupun kelompok atau komunitas yang mengorganisir dirinya dalam sebuah kelompok pergerakan. Pertanyaannya, apakah fenomena gerakan massa radikal di NTB menganut ideologi radikalisme ataukah hanya sebuah strategi dan taktik gerakan yang dengan sengaja diorganisir atau mengorganisir gerakannya oleh aktor (tokoh gerakan) dalam membangun tatanan sosial politik ekonomi yang demokratis atau bervisi kerakyatan, serta mewujudkan perubahan dan keadilan sosial? Atau boleh jadi fenomena tersebut adalah perpaduan yang dilandasi oleh sebuah ideologi gerakan dengan menggunakan strategi-strategi dan taktik gerakan dengan menggunakan instrumen kekerasan untuk menghancurkan akar kejahatan sosial dan menghilangkan institusiinstitusi yang dianggap menjadi penghalang terhadap pencapaian tujuannya dalam menentang kemapanan keuasaan yang tidak populis atau istilah “pro rakyat”. Secara teoritis, berbagai tesis maupun antitesa dalam menjawab fenomena tersebut. Salah satu pendapat Pengamat Sosial dari Universitas Sriwijaya (Unsri), Dr. Ardian Saptawan MSi, bahwa “terjadinya reaksi massa yang berlebihan bisa diakibatkan rasa frustasi dan kekecewaan. Sehingga kerusuhan massa yang didasari perebutan kembali hak sosial dan ekonomi merupakan muara terakhir rasa frustasi tekanan psikologis. Kondisi seperti itu tidak boleh langsung disalahkan begitu saja. Harus ada pengkajian secara komprehensif mengapa masyarakat atau sekelompok orang dapat melakukan tindakan anarkis”. Pendapat ini memandang bahwa munculnya gerakan massa sebagai reaksi terhadap kebijakan pemerintah. Beberapa pakar ilmu sosial di Indonesia juga mengungkapkan 5 penyebab kekerasan massa di Indonesia, yakni ; “Pertama, menumpuknya keresahan dan ketidakpuasan masyarakat atas situasi sosial, ekonomi dan politik yang dirasakan dalam kesehariannya; Kedua, tersumbatnya aspirasi masyarakat dalam format pembangunan politik (istilah penulis- lemahnya fungsi legislatif dalam menangkap dan menyalurkan aspirasi konstituen atau rakyat) atauterdapatnya ketimpangan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan politik dan hukum; Ketiga, gejala kemiskinan dan tajamnya ketimpangan dalam struktur masyarakat bawah antara si kaya dan si miskin; Keempat, meningkatnya fenomena praktek kolusi, korupsi dan manipulasi; dan Kelima, ketimpangan distribusi aset ekonomi yang cenderung dirasakan masyarakat”. Selain itu, beberapa teori-teori gerakan sosial, juga dapat digunakan untuk membedah atau melacak munculnya akar radikalisme gerakan sosial di Indonesia, hususnya di wilayah NTB, antara lain teori kritis dari Mazhab Frankfurt yang diwakili oleh Jurgen Habermas dan Antoni Giddens (karyanya banyak berkembang di Indonesia) dan teori konflik dari Lewis A Coser yang mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel atau terori konflik dari Ralf Dahrendorf (Sosiolog Jerman). Teori lain yang menarik digunakan untuk menganilisis fenomena tersebut melalui pendekatan teori Social Movement yang dikembangkan oleh Neil J. Smelser yang melihat hubungan sebab-sebab tumbuhnya gerakan massa. Menurutnya ada 6 penyebab timbulnya gerakan massa, yakni 1) kondusifitas struktural, 2) ketegangan struktural, 3) tersebarnya kerpercayaan umum (ideology yang dianut), 4) faktorfaktor yang mempercepat, 5) mobilisasi partisipan untuk melakukan aksi, dan 6) pelaksanaan kontrol sosial. Smelser juga membagi 6 penyebab tersebut dalam tiga tahap munculnya gerakan massa, yakni tahap inkubasi (penyebab dari point 1-4), tahap aksi (point 5), dan tahap adaptasi atau institusionalisasi (point 6). Dalam konteks ideologi dan strategi, gerakan massa juga muncul sebagai gerakan perlawanan terhadap anti neoliberalisme global, seperti yang diwacanakan oleh Coen Husain Pontoh dalam bukunya “Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global”. Ia memandang bahwa salah satu ciri khas gerakan anti-neoliberalisme adalah kesadaran mereka untuk memaksimalkan jaringan internasional, sebab dampak neoliberalisme sudah demikian mengglobal sehingga relatif mudah bagi mereka untuk mengidentifikasi masalah dan kesamaan dalam agenda perlawanan mereka. Menurut Pontoh, ada lima karakter yang dimiliki oleh gerakan massa yang sukses, yakni perlawanan terhadap neoliberalisme, perjuangan politik, berbasis massa, demokrasi partisipatoris, dan program yang konkret. Kelima faktor ini telah hadir di gerakan massa di Brasil, Venezuela, Argentina, dan Korea. Berdasarkan kerangka teoritis tersebut, kecenderungan peningkatan intensitas radikalisme gerakan massa dalam kotenks wilayah NTB menurut hemat penulis telah dilandasi oleh sebuah pilihan ideologis dan strategi gerakan yang beberapa diantaranya cukup terkonsolidir dengan kuat. Untuk menganalisa apakah gerakan massa tersebut memiliki landasan ideologis atau tidak, terdapat beberapa variabel yang dapat digunakan, dintaranya latarbelakang dan motivasi keterlibatan aktor penggerak massa, wadah perjuangan (kelompok) yang digunakan dalam mengorganisir massa, isu ataupun slogan-slogan dalam melakukan aksi, serta sponsor yang terlibat atau mendukung aksi tersebut. Sponsor yang dimaksud adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam gerakan tersebut yang saling memanfaatkan antara kelompok gerakan dengan kepentingan yang ingin dicapainya. Hal ini dapat diamati dari beberapa kasus gerakan massa yang menonjol di wilayah NTB, hususnya gerakan radikalisme massa yang melahirkan tindakan-tindakan kekerasan, pengrusakan (anarkisme), maupun bentrok dengan aparat keamanan. Dalam gerakan massa tersebut juga menggunakan strategi dan taktik dalam memobilisasi massa di tengah masyarakat untuk memperjuangkan aspirasinya menuntut perubahan, bahkan mengkritisi atau “melawan” kebijakan pemeritah yang dinilai tidak pro terhadap rakyat. Dari sisi substansi atau isu yang diusung, gerakan massa di NTB juga cenderung dilakukan sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap berbagai permasalahan sosial, politik dan ekonomi, lemahnya supremasi penegakan hukum, lemahnya fungsi legislatif dalam menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat, menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sikap dan perilaku aparat penegak hukum, hilangnya kewibawaan pemerintah daerah di tengah masyarakat, pudarnya kharisma tokoh masyarakat/tokoh agama, dan diperparah dengan rendahnya SDM dan kesadaran hukum di tengah masyarakat. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh berkembangnya pemahaman hak-hak sipil dan politik masyarakat tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan menyampaikan pendapat, maupun kebebasan mendapatkan hak-hak politik dan ekonomi yang didukung oleh undang-undang. Keterlibatan para aktor dan tokoh-tokoh penggerak yang terlibat dalam gerakan massa (terkonsolidir dengan baik dan kuat), baik dari LSM maupun kelompok pergerakan mahasiswa, sangat mempengaruhi kekuatan pola dan strategi mobilisasi massa. Kecenderungan gerakan ini digunakan oleh kelompok pergerakan yang berbasis ideologis “Sosialis Kiri Baru” (dalam istilah ideologi gerakan disebut sebagai “New Left Socialis” yang telah berkembang di negara-negara berkembang, khususnya Amerika Latin yang mengandalkan pada kekuatan aktor mengkonsolidr massa, sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni neo liberalisme dan kapitalisme. Pola gerakan ini juga cenderung memanfaatkan masyarakat yang dinilai menjadi korban pembangunan atau kebijakan pemerintah dengan melakukan propaganda-propaganda di tengah masyarakat yang dimulai dengan kegiatan advokasi dan pendampingan, kemudian melakukan aksi-aksi protes secara berkelanjutan dengan mambangun isu-isu yang merugikan masyarakat dan lingkungan, membentuk front-front perjuangan dengan membangun koalisi gerakan dengan kelompok lainnya yang melibatkan aktivis gerakan, tokoh-tokoh pemuda dan tokoh masyarakat lokal untuk memobilisasi massa melalui kongres atau rapat akbar, yang pada akhirnya menyusun strategi gerakan perlawanan yang dapat menarik simpatik dan dukungan massa. Jika posisi kekuatan massa dalam kelompok gerakan lebih kuat dari kelompok status quo, maka jalan yang akan ditempuh adalah komprontasi atau perlawanan dengan kekerasan, seperti menduduki tempat-tempat vital pemerintahan, fasilitas umum, maupun pemblokiran terhadap infrastruktur yang dapat memancing emosi massa untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan agar tujuan dan aspirasinya terpenuhi. Namun jika posisi kelompok “status quo” lebih besar dari kekuatan massa gerakan, maka jalan yang ditempuh adalah konsensus atau negosiasi. Selain itu, kelompok gerakan tersebut cenderung memanfaatkan konflik dan kemelut politik yang terjadi didaerah setempat dengan melakukan pendekatan kepada elit-elit politik yang memiliki unsur kekecewaan atau ketidakpuasan yang dijiadikan sebagai sponsor gerakan baik lokal maupun nasional yang juga memiliki nuansa politik. Oleh karena itu, beberapa kejadian radikalisme gerakan massa di NTB disinyalir tidak terlepas dari kolaborasi kepentingan kelompok gerakan massa dengan kepentingan elit politik untuk mencapai tujuannya masingmasing dengan menjadikan masyarakat atau rakyat sebagai objek (korban) alat gerakan atas nama “perubahan dan keadilan sosial”.Jika dilihat dari lokus dan sasaran mobilisasi massa, maka dalam perkembangan radikalisme gerakan massa di wilayah NTB saat ini telah masuk ke wilayah-wilayah pedesaan dengan mengusung isu-isu lingkungan, pertambangan, konflik agraria, permasalahan yang dihadapi oleh petani, kaum buruh, dan kaum miskin untuk bersamasama memperjuangkan peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial maupun melawan kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, tetapi dinilai lebih berpihak kepada kepentingan asing dan kapitalisme pemilik modal, melalui kegiatan advokasi dan pendampingan, meksipun lebih cenderung provokatif dari pada “pemberdayaan” atau pencerahan masyarakat. Meningkatnya intensitas radikalisme gerakan massa di wilayah NTB menimbulkan kecenderungan dan potensi ancaman, bukan hanya terhadap stabilitas keamanan dan menghambat konsolidasi demokrasi di Indonesia, tetapi juga menghambat pembangunan di daerah dalam berbagai sektor. Selain itu, potensi ancaman dan kerawanan kemungkinan muncul di tengah meningkatnya gelombang aksi-aksi protes, tindakan anarkis dan kekerasan masyarakat sebagai wujud dari radikalisme gerakan massa di NTB, antara lain:Pertama, melemahnya kekuatan supremasi hukum di tengah masyarakat sebagai salah satu alat penyelesaian masalah di tengah masyarakat, akibat dari ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk menindak tegas para pelaku anarkisme massa. Kedua, berkolaborasinya kepentingan kelompok pergerakan dengan kepentingan elit-elit politik dalam rangka mencapai tujuan politiknya dengan memanfaatkan rakyat sebagai basis dan alat perjuangan yang mengusung slogan “perubahan” yang cederung mengorbankan rakyat itu sendiri, mengingat situasi politik nasional maupun lokal akhir-akhir ini semakin memanas ditandai dengan pertarungan kepentingan politik menjelang Pemilu 2014, bahkan secara lokal menjelang Pemilukada secara serentak pada 13 Mei 2013, yakni Pemilukada Gubernur NTB, Pemilukada Kab. Lombok Timur, dan Pemilukada Kota Bima. Beberapa kasus menonjol di wilayah NTB saat ini sangat menarik dijadikan sebagai isu politik menjelang momentum tersebut untuk dijadikan strategi pengumpulan basis massa oleh Partai Politik maupun elit-elit berkepentingan lainnya. Ketiga, radikalisme gerakan massa tersebut juga berpotensi terjadi dan berkembang luas dalam konteks relasi Suku, Agama, dan Ras akibat kegagalan akulutrasi budaya dan adanya ketegangan-ketengan struktural (Sosial, politik dan ekonomi) yang dipicu oleh instrumen SARA sehingga mengancam terjadinya disintegrasi sosial. Berdasarkan pola, strategi, isu dan permasalahan, serta kepentingan aktor dan jaringan penggeraknya, fenomena radikalisme gerakan massa akan terus memicu letupan-letupan yang bersifat “Bom Waktu” di tengah masyarakat, baik dalam menyelesaikan setiap permasalahan maupun menjadikan alat perjuangan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat. Fenomena ini juga diperkirakan masih berkembang dan berlanjut sepanjang tahun 2012, mengingat beberapa permasalahan yang terjadi selama tahun 2011 hingga saat ini belum terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan kecerdasan dan kecermatan, serta tanggung jawab dari berbagai komponen masyarakat, pemerintah dan legislatif, serta aparat keamanan untuk membangun komunikasi yang efektif dan responsif, serta peka terhadap berbagai gejolak dan aksi-aksi protes yang berkembang di tengah masyarakat dengan sigap dan tangkas menyelesaikan akar permasalahan yang ada, bukan hanya penyelesaian secara formalitas, birokratis dan normatif dipermukaan, tetapi juga penyelesaian melalui pendekatan-pendekatan kultural dengan merangkul dan memberikan perhatian penuh kepada kepentingan masyarakat. Indonesia adalah negara yang multi kultural dilihat dari segi ras, suku, agama,dan antar golongan yang dapat menimbulkan dampak positif maupun negatifnya. Ditinjau dari segi geografisnya Indonesia merupakan negara kepulauan ,menyebabkan setiap daerah memiliki budaya yang berbeda selain itu paham etnosentrisme yang masih ada di masyarakat Indonesia dapat memicu terjadinya masalah ataupun konflik sosial. Konflik sosial ini dapat merugikan banyak hal.Sementara itu disadari bahwa diluar masalah kerusakan dan kerugian material yang harus ditanggung, dampak terbersar dari konflik yang membutuhkan perhatian dan penangan serius justru ialah pada aspek psiko-sosial masyarakat.Ini karena konflik telah membuat masyarakat selalu dihinggapi rasa takut dan tidak aman, akibatnya diantara kelompok-kelompok masyrakat timbul rasa saling curiga dan mengikis rasa kepercayaan diantara warga masyarakat.Sementara itu upaya menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan bisa bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.Dengan demikian untuk, untuk dapat mewujudkan pengelolaan konflik yang baik, ada prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh segenap komponen masyarakat yang bertikai. Hal yang dibutuhkan disana bukan hanya kepemimpinan yang berwawasan kedepan, melainkan juga perlu adanya keinginan yang kuat dari segenap komponen masyarakat untuk menyudahi konflik tanapa kedua hal tersebut maka penganan konflik akan menjadi persoalan yang berlarut-larut. Keinginan masyrakat untuk menyudahi konflik dapa dilihat dari berbagai indikator yang meliputi kesediaan mereka untuk saling memaafkan, mengerti, tolong menolong, menghormati hak orang lain menerima perbedaan serta kesediaan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban sosialnya. Kontekstualisasi Ajaran Islam Upaya Memperkokoh Persatuan Dalam Bingkai NKRI di Bima Islam, secara terminologi berasal dari kata “ “ َس َس َسberarti adalah selamat, damai dan sejahtera. Term keselamatan, perdamaian dan kesejahteraan itu sudah langsung melekat pada namanya sendiri sebagai sebuah agama. Tidak seperti umumnya agama-agama besar lainnya di dunia yang secara terminologis tidak mencerminkan core ajaranya karena dinisbatkan kepada sang penyebar ajarannya yang setelah meninggal kemudian dikultuskan/dituhankan oleh para pengikutnya, seperti misalnya: Kristen, Budha, Hindu dan Konfusianisme (Kong Hu Cu). Kristen artinya PENGIKUT (Yesus) KRISTUS. Budha yang dinisbatkan kepada sejarah sang „Budha‟ Sidharta Ghautama yang bertapa di bawah pohon Bodhy Satwa. Sedang terma Hindu, agama terbesar ketiga di dunia setelah Kristen dan Islam, malah dinisbatkan kepada wilayah tempat muasal agama ini di anak benua India (Hind atau Hindustan) bukan kepada ajarannya.Weda, fokuskan alam sebagai obyek utama pembahasannya. Manusia sebagai bagian kecil dari alam yang memiliki sifat sama dengan sifat alam tersebut. Konfusianisme, sebenarnya bukan agama, melainkan lebih didasarkan pada ajaran Kong Hu Chu, seorang filosof China yang menyebarkan pandangan/filsafat hidupnya.2 agama besar lainnya di China adalah Budhisme dan Taoisme.Tao dalam filsafatnya mengajarkan agar manusia mengikuti alam. 3 tema penting dalam filsafat Cina yakni: 1) Harmoni: antara sesama manusia, manusia dengan alam dan sorga; 2) Toleransi: keterbukaan pada setiap perbedaan pendapat juga beragama; 3) Perikemanusiaan: Manusia sebagai pusat filsafat Cina. Manusia pada hakikatnya baik dan manusia sendirilah yang mencari kebahagiaannya. Seluruh agama di dunia memiliki kesamaan dalam hal memberikan guidence yang menghantarkan umatnya pada kebenaran hakiki yang akan menjamin adanya. keselamatan, kedamaian,kesejahteraan, kasih sayang, harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Agama, selain berisi ritual peribadatan juga sebagai ‘the way of live’.Karenanya tidak satupun agama di dunia yang mengajarkan kekerasan. Interaksi inter dan antar pemeluk beragama sepanjang sejarah manusia hingga kini tidaklah pernah sepi dari konflik dan kekerasan bahkan perang agama, sebagaimana beberapa episode Perang Salib (abad ke 12 M.) yang melambungkan nama Shalahuddin Al-Ayubi sedang hikmah bagi “Barat” adalah lahirnya sekulerisme. Selain kekerasan dan perang, tidak jarang juga terjadi kejahatan kemanusiaan seperti yang dialami bangsa Yahudi pada masa Nazi-Jerman. Setelah Yahudi membangun negaranya FENOMENA RADIKALISME AGAMA; RESPON DAN GERAKANNYA DI NTB Menjelang awal abad ke 21, keberadaan terorisme mulai menunjukan keberadaanya.Apalagi setelah runtuhnya Komunisme di Eropa timur.Banyak akademisi dan berbagai pihak melahirkan teori konspirasi, bahwa keberadaan terorisme itu terlahir dari faktor utama berjalannya ekonomi di Barat yang bersandarkan pada minyak dan jual-beli senjata saja.Sedangkan di Indonesia sendiri, terorisme di stigmakan dengan terorisme yang dilakukan satu agama.Walaupun tidak menutup kemungkinan kekerasan/teror yang mengatas namakan agama telah dilakukan oleh hampir semua agama. Namun pada dasarnya faktor yang mempengaruhi terorisme adalah kemiskinan. Sebagaimana di ungkapkan oleh Mahfudz Siddiq, Ketua komisi I DPR (Kompas,14/09/2011) mengatakan bahwa faktor utama terorisme dan konflik agama di Indonesia dan mengambil konflik Ambon sebagai contohnya adalah Kemiskinan di Ambon, sensitivitas kelompok pasca konflik dan akibat konflik masa lalu berdasarkan etnis dan agama. Namun Kapolri Jendral Timur Pradopo (Lampung Pos,21/03/2012) Mengatakan bahwa permasalahan yang menjadi akar kekerasan, radikalisasi dan terorisme adalah : 1. Persoalan kemiskinan yang masih melanda sebagian umat. Kemiskinan seringkali memaksa seseorang untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kehidupan. 2. Ketidakpercayaan terhadap Negara dan tidak memiliki perasaan takut terhadap penyelenggara negara. 3. Kurangnya pendidikan dan keterbelakangan. Bagaimana Dengan Radikalisme? Menurut Horace M Kallen, radikalisasi ditandai oleh tiga kecenderungan umum. Pertama, radikalisasi merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalahmasalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan terhadap kondisi yang ditolak. Kedua, radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisasi terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Mereka yang radikal berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Dan ketiga, kuatnya keyakinan mereka akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penafian kebenaran dengan sistem lain yang akan diganti. Dalam gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti kerakyatan atau kemanusiaan. Akan tetapi, kuatnya keyakinan ini dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional yang menjurus pada kekerasan. Teoretisasi ini mendapatkan pembenarannya ketika terjadi konflik atas nama agama dan aksi terorisme di mana-mana. Bukankah secara empirik, radikalisme agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya yang paling konkret, Yakni kekerasan atau konflik. Di Bosnia misalnya, kaum Ortodoks, Katolik, Dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan Saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim, umat Yahudi, Kristen, dan Islam, saling menggunakan bahasa kekerasan (Alwi Shihab, 1998: 40). Faktor yang Memicu Terorisme Faktor-faktor pendorong timbulnya terorisme sesungguhnya dapat dibagi kedalam dua bagian besar (dari prespektif agen/aktor/pelaku terorisme) yakni faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal adalah penafsiran aktor/agen/pelaku teror terhadap ajaran-ajaran agama yang cenderung menggunakan pendekatan radikal.Dimana tafsiran terhadap ajaran militansi, perang dan peraturan agama menjadi point yang sangat penting dan berpengaruh terhadap aktor/agen/pelaku dalam melihat kondisi realitas pada masyarakat. Pemahaman atas agama mengalami radikalisasi, dimana pilihan-pilihan untuk menyebarkan ajaran agama mengalami perluasan bahkan sampai dengan pilihan untuk melakukan kekerasan, mendapat pembenaran dalam tafsiran ini. Dalam pemahaman ini, agama tidak hanya diperlukan untuk mengubah prilaku pemeluknya, akan tetapi juga dianggap untuk mengubah sistem sosial yang ada (yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama) bahkan para pemeluk agama lain juga diharuskan tunduk ke dalam ajaran agama mereka. Tindakan kekerasan mendapat pembenaran dari tafsiran ajaran agama untuk mengubah sistem pemerintahan, sistem sosial dalam masyarakat. Di mana diharapkan dengan tindakan kekerasan,sistem pemerintahan dan sistem sosial mengalami keruntuhan/kehancuran dan digantikan sistem pemerintahan dan sistem sosial yang dianggap sesuai dengan ajaran agama. Radikalisasi ajaran agama ini membentuk cara berpikir dan berindak aktor/agen/pelaku terorisme. Radikalisasi tersebut menjadi idiologi akan terus diperjuangkan oleh aktor/agen/pelaku terorisme ketika momen atau kesempatan itu ada. Dan teori ini berlaku untuk agama apapun.Maka jangan kemudian agama yang dimaksud penulis langsung menunjuk pada satu agama tertentu saja. Sementara faktor eksternal adalah pertama) situasi global internasional, dimana negaranegara besar (Amerika serikat dan Negara-negara Eropa) sedang melakukan praktek neo imprealisem (penjajahan kembali) kepada negara-negara dunia ketiga (dalam hal ini mayoritas negara-negara Islam).Praktek neo imprealisem tersebut dikhususkan pada bidang ekonomi, dimana negara-negara AS dan Eropa berusaha menguasai sumber daya alam yang dimiliki negara-negara di dunia ketiga yang notabenenya adalah negara-negara Islam. Negara AS dan negara-negara Eropa dianggap sebagai representasi dari negara-negara Kristen dunia (trauma perang salib).Sehingga praktek neo imprealisem negara AS dan negaranegara Eropa dianggap sebagai upaya negara-negara Kristen dalam menguasai dan menjajah kembali negara-negara Islam. Pasca aksi terorisme 11 September 2001 (pembajakan pesawat dan penyerangan gedung WTC) memicu Amerika Serikat mengambil tindakan dalam rangka melindungi keamanan negeri dengan program pemberantasan terorisme.Akan tetapi program pemberantasan terorisme tersebut ditujukan kepada negara-negara Islam seperti Afganistan dan Irak.Ini semakin memperkuat anggapan adanya upaya negara-negara Kristen untuk menguasai dunia. Apalagi kasus-kasus pelanggaran HAM, konflik, perang, dll di negara-negara Islam selalu tidak mendapat perhatian bagi negara AS dan negara-negara Eropa seperti konflik Israelpalestina atau konflik-konflik yang terjadi di negara Islam Afrika dan Asia. Menunjukan bahwa Islam mendapat perlawanan dan pelucutan kekuasaan diseluruh wilayah didunia. Aspek politik dalam negeri adalah juga salah satu faktor eksternal yang memicu lahirnya radikalisasi ajaran agama yang berujung pada tindakan terorisme.Kebijakan-kebijakan politik yang selama ini tidak berujung pada kesejahteraan rakyat.Kondisi masyarakat justru semakin lama semakin menderita, jumlah rakyat miskin semakin bertambah, jumlah pengangguran semakin lama semakin meningkat sementara lapangan kerja tidak memadai.Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan sumber daya alam yang dimiliki oleh negeri yang begitu banyak dan berlimpah. Kondisi tersebut melahirkan keinginan untuk beralih pada sistem pemerintahan alternatif.Sistem pemerintahan yang ada dianggap telah gagal dalam mengelolah sumber daya alam yang dimiliki dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.Pilihan sistem alternatif tersebut adalah sistem pemerintahan yang beradasarkan ajaran agama.Pilihan terhadap sistem pemerintahan berdasarkan ajaran agama dipilih dikarenakan sejarah agama yang dianggap pernah memperlihatkan pengalaman keemasan dan anggapan bahwa krisis utama dalam negeri ini adalah terletak pada para pengelolahnya yang tidak memiliki landasan agama yang kuat. Lemahnya penegakkan hukum menjadi aspek yang lain pada faktor eksternal dalam mendorong tumbuhnya radikalisasi ajaran agama yang berujung pada tindakan terorisme. Lemahnya penegakkan hukum mendorong orang untuk berani melakukan pelanggaran sehingga tingkat kejahatan meningkat.Kondisi ini mendorong timbulnya keinginan untuk mengganti hukum yang ada dengan hukum yang dianggap lebih keras (hukum agama). Provokasi dan Gerakan Radikalisme Agama Prespektif Ideologi dan Sosiologi1 Setidaknya, dalam satu dasawarsa terakhir isu radikalisme dan fundamentalisme dijadikan wajah khas yang identik dengan ajaran Islam.Jika dahulu kita mendengar orientalis yang berbicara bahwa fundamentalisme dikaitkan dengan gerakan Islam tertentu, kini radikalisme oleh bebrapa ilmuan justru menempatkan ajaran Islam sebagai biang dari radikalisme. Ayat-ayat Al Qur‟an pun kemudian menjadi tertuduh. Wacana penegakkan syari‟at Islam dan pendirian negara Islammenjadi isu yang cukup seksi. Media pun berlomba-lomba menghadirkan pengamat-pengamat baru, mulai akademisi, intelejen sampai mantan Mujahidin. Noorhaidi Hasan dalam disertasinya yang berjudul, Laskar Jihad; Islam, Militancy and Quest for identity in Post-new Order Indonesia (2005),2 menegaskan bahwa akar sosial dari kelompok Radikalisme Agama dapat dilacak sejak tahun 1980-an ketika komunitas Salafi mulai tumbuh pesat di Indonesia. Pertumbuhan ini tidak dapat dipisahkan dari kampanye Global Saudi Arabiah yang sanggat ambisius mendorong Wahabisme umat Islam. Khamami Zada dalam tesisnya yang berjudul “Islam Radikal, menyimpulkan bahwa Islam Radikal berkeyakinan bahwa Islam mengatur persoalan negara karena Islam telah mengatur semua kehidupan ummat manusia dari persoalan duniawi sampai ukhrawi. Istilah radikalisme yang membumi saat ini akhirnya lebih bersifat tuduhan daripada memberikan gambaran.Dimana istilah Radikalisme Agama (Islam) telah diciptakan sebagai elemen penting dalam wacana hegemonik Eropa dan Amerika Serikat mengenai masyarakat Islam secara umum, untuk menaklukan dan mengendilkan mereka. Padahal isi sebenarnya dari pemikiran radikalisme jauh lebih penting dibandingkan kondisi social yang mendorong kebangkitannya. Proses modernisasi yang demikian dahsyat dan cepat dalam masyarakat tradisional terkadang melahirkan penafsiran radikal tentang agama sebagai respon terhadap dislokasi social dan ketidakpastian politik yang menggejala serta politik global yang tidak berkeadilan. Dari titik fokus diatas akan memunculkan berbagai tanda tanya besar, siapa yang menjadi pihak yang ditempatkan sebagai yang memrovokasi dan siapa yang diprovokasi dalam gerakan radikalisme keagamaan. Karena radikalisme agama, dimana ajaran-ajaran agama (tafsiran) bukanlah menjadi faktor tunggal, karena ada faktor sosial, politik, ekonomi, hukum dan budaya akan menjadi tanah yang subur dalam pertumbuhan radikalisme. Tinjaun Ideologis Radikalisme Agama, dapat dilacak sejak permulaan abad ke-18 M, dimana kejayaan peradaban Islam mulai meredup. Secara politik, umat Islam yang sempat menguasai dunia mulai melemah.Kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmani sebagai penguasa tunggal dunia Islam mengalami kemunduran. Pada saat yang sama, perilaku keagamaan umat juga mulai mengalami distorsi. Di kawasan Semenanjung Arab, terjadi distorsi pemahaman Alquran.Gelora keilmuan yang sempat menghangatkan zaman klasik telah berubah dengan sikap fatalis dan kecenderungan 1 Makalah yang disampaikan dalam Worshop Training Of Trainer (TOT). Tema: penguatan Partisipasi Tokoh Desa Dalam Upaya Menangkal Paham radikalisme yang Mengarah Pada terorisme di Bima pada tanggal 23 April 2013. 2 Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad; Islam, Militancy and Quest for identity in Post-new Order Indonesia (2005) mistis.Praktik-praktik khurafat tumbuh subur.Masjid-masjid banyak ditinggalkan, karena sebagian umat lebih gandrung menghias diri dengan azimat, penangkal penyakit, dan tasbih. Kondisi sosial-politik dan keagamaan umat seperti itu membuat Muhammad bin Abdul Wahab tergerak. Di sebuah dusun terpencil bernama Diriyyah, Najd, Jazirah Arab, Abdul Wahab mencetuskan sebuah paham yang oleh pengikutnya diberi nama Al-Muslimun atau AlMuwahhidun, yang berarti pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah SWT. Mereka juga mengklaim sebagai pengikut Mazhab Hanbali atau Ahlus Salaf. Namun, paham tersebut lebih dikenal sebagai Wahabi.Sebenarnya, istilah Wahabi disematkan oleh musuh-musuh aliran tersebut.Aliran Wahabi memiliki tujuan untuk memurnikan perilaku keagamaan umat Islam, yang telah menyimpang dari ajaran Alquran dan sunah. Karena itulah, Abdul Wahab menekankan pentingnya kembali kepada ajaran tauhid dan mengecam keras praktik yang mengotori kesucian tauhid, seperti tawassul (doa dengan perantara orang atau benda supaya cepat terkabul), ziarah kubur, dan praktik-praktik yang dipandang bid'ah. Secara Sosiologis Aksi teror yang sedang berlangsung di Indonesia merupakan pengulangan pola lama.Seharusnya penyerangan bisa diprediksi dan mampu dicegah.Namun, nyatanya aksi teror bisa dilakukan dengan leluasa karena aparat intelijen belum maksimal bekerja.Dalam buku Islam Ekstrem karangan ulama Mesir, Yusuf Qordowi yang menyebut munculnya pelaku teror akibat kekecewaan terhadap sistem sosial, politik dan birokrasi. Ditambah tidak adanya panutan dari politikus dan pemuka agama.Sebab para politikus tersebut justru dipenjara karena melakukan kejahatan. Adanya labelisasi teroris yang dilakukan media massa. Labelisasi ini berdampak besar mengubah cara pandang masyarakat. Penghapusan labelisasi tersebut, katanya, perlu usaha dari berbagai pihak, terutama dari media massa. Labelisasi yang ditujukan pada santri Pondok Pesantren Ngruki dan jaringannya, justru membuat mereka sakit hati dan merasa sebagai kelompok yang terpinggirkan di Indonesia. Kemudian akan mendorong mereka membuktikan benar mereka trouble maker dan melakukan berbagai aksi terorisme. Masih mengenai labelisasi, selama ini banyak kosakata yang digunakan pihak berwenang dan dikutip media massa secara berulangkali yang dapat menyinggung kalangan Islam. Misalnya, dengan membawa nama Islam dan kelompok radikal keagamaan dalam lingkup stigmatisasi dan streotip terhadap beberapa jama‟ah (kelompok pengajian) sebagai gerakan radikalisme. Cara pandang seperti ini adalah adalah bentuk provokasi yang mengakibatkan kelompok-kelompok ini terisolasi dan terpinggir. Transformasi Gerakan Islam Radikalisme di Indonesia. Transformasi gerakan Islam radikal di Indonesia, secara historis terbagi dalam tiga periodesasi yang tidak berkesinambungan karena gerakan Islam tidak hanya bermetaformasi, tetapi juga bermetamorfosir yang terpisah-pisah dalam bentuk gerakan yang bermacam-macam.3 Periode pertamadari gerakan Islam adalah kebangkitan gerakan Islam kebangsaan (kemerdekaan) yang bertransformasi menjadi gerakan politik praktis dalam perhelatan demokrasi. Pada massa kolonial telah ditunjukan oleh Syariakat Islam. Organisasi-organisasi Islam seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, PERTI yang awal kemerdekaan bertarnsformasi 3 Syarif Ahmad, Radikalisme Islam; Studi Tentang Gerakan Majelis Mujahidin Indonesia 2001-2003 (Tesis; Universitas Indonesia 2004 sebagai gerakan politik. Partai NU, Partai PERTI dan muahmmadiyah menguasai Masyumi. Meskipun tidak merubah dirinya menjadi partai politik. Periode kedua dari gerakan Islam dalam transformasi dari gerakan politik praktis ke gerakan dakwah, dan pada periode ini melahirkan dua arus utama, yaitu arus substansiistik dan arus Islam legal-formalistik setelah arus politik Islam mengalami proses peminggiran pada periode Orde Baru. Kedua arus besar Islam di Indonesiasesungguhnya merepresentasi organisasai-organisasi Islam di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad dan beberapa organisasi Islam yang lahir pada orde Baru.Berkaitan dengan aktor-aktor, sebenarnya masih merupakan orang lama atau memiliki keterkaitan dalam kontalasi politik di pemilu 1955, Pemilu 1971 dan 1977. Namun pada periode inilah, selain kedua kecendrungan kelompok subtansial dan legalformalistik, muncul kembali radikalisme Islam4 yang diwakili oleh para eks Darul Islam/Negara Islam Indonesia dengan tetap terlestarinya ide negara Islam dikalangan NII. Periode ketigaadalah periode yang sangat menegangkan dalam gerakan Islam radikal di Indonesia adalah transformasi dari Islam radikal ke Islam yang disebut teroris.Isu pasca pemboman WTC 11 September 2001 sebagai serangan mematikan.Internasionalisasi isu terorisme sejatinya melibatkan praktek ketidakadilan global yang dipelopori Amerika serikat. Penutup Dari uraian diatas tampak dengan jelas bahwa gerakan radikalisme keagamaan, bukan disebabkan oleh satu faktor, tetapi merupakan akumulasi dari banyak faktor yaitu sosial, politik, ekonomi, pemahaman ( tafsir) agama dan budaya. Selama ini upaya yang dilakukan pemerintah terhadap pelaku teroris adalah pendekatan Hard Approach, yakni menempatkan penegakan hukum sebagai satu- satunya jalan keluar.Seperti halnya dalam teori ilmu kesehatan, untuk menghindari penyebaran penyakit menular, maka faktor intinya yakni virus harus dikarantina.Hard Approach dalam penanganan terorisme harus dilihat sebagai upaya mengkarantina” virus teror agar tidak menyebar luas dan sel- sel terornya dapat terputus. Selain upaya Hard Approach, upaya pencegahan tindakan teror harus segera dilakukan oleh semua elemen masyarakat. Upaya tersebut harus dilakukan secara holistik dan secara terkoordinasi dengan baik dan terpadu antar elemen masyarakat. Upaya inilah yang disebut dengan Soft Approach. “Pada upaya Soft Approach, hal penting yang harus segera dilakukan adalah terkoordinasinya semua instansi-instansi terkait, kelompok masyarakat seperti lembaga sosial keagamaan, lembaga pendidikan, organisasi kepemudaan, jurnalis, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia pesantren dalam semua upaya pencegahan terorisme. Dengan catatan bahwa melawan teror tidak dapat dilakukan dengan caracara teror karena akan memprovokasi lahirnya terorisme-terorisme baru. 4 Radikalisme Islam dalam makalah ini dimaknai secara luas yaitu dalam bentuk wacana dan aksi. Radikal pada level wacana adalah mindset mendirikan negara Islam, negara kekhalifahan, formalisasi syari’at Islam secara kaffah tanpa menggunakan kekerasan. Radikal dalam level aksi adalah melakukan perubahan dengan aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Kontribusi Tokoh Agama dalam Membentuk Mental Pemuda yang BerMoral dan BerMartabat: Upaya Mewujudkan Kondusifitas Keamanan di NTB Tanggal 19 Desember ybl oleh SBY dicanangkan sebagai Hari Bela Negara. Landasan konsep bela negara adalah adanya wajib militer .Subyek dari konsep ini adalah tentara dan atau perangkat pertahanan negara lainnya. Jika bela negara dalam konteks fisik, maka pertanyaan awalnya adalah: Siapa musuhnya negara ini? Negara Luar ataubangsa sendiri?Gak jelas.Ini tentu sudah bukan zaman Revolusi Kemerdekaan dimana rakyat jadi pasukan PETA dan semacamnya. Sekarang sudah memasuki era "Perang Bintang", hanya tentara profesional yang bisa mengatasinya bukan rakyat yang buta akan 'Smart Bom' semacam rudal Patriot dan Toma Hawk. Sampai kapan rakyat dibodohi untuk terus saling mencurigai bangsa sendiri yang ujungnya "bela negara" jadi anarki, peristiwa Gestapu harusnya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini. Ironisnya, rakyat disuruh terus-terusan bela negara, namun para Elit diam-diam "menggadaikan” negara. Namun bela negara dalam konteks psikis, punya cakupan yang sangat luas meski juga dilematis. Di satu sisi negara menggalakkan pendidikan bagi generasi mudanya namun di sisi lain negara tidak kunjung mampu memberikan lapangan kerja bagi jutaan pengangguran terdidik. Di satu sisi negara menggalakkan untuk mencintai produksi dalam negeri di saat yang sama negara ini belum kunjung menjadi negara industri. Negara berharap bela negara mampu menanamkan jiwa patriotisme, namun negara juga butuh waktu hampir 50 tahun untuk mengakui kepahlawanan Soekarno. Dst. Terlepas dari konsepsi bela negara, tapi ancaman paling utama yang jelas adalah krisis integritas di level individu dan krisis keadilan di masyarakat. Pertanyaannya bagaimana kontribusi Islam? Karena esensi/prinsip Islam adalah agama yang rahmatan lil-’alamin dan memperjuangkan keadilan. Dalam perang pun, para pemimpin harusnya ada di garis terdepan. Sudahkah pemimpin kita demikian? Termasuk perang melawan nafsu/syahwat ekonomi, syahwat politik, syahwat seksual, dll. Pemuda kita tentu butuh dan perlu „suri tauladan‟ dari sosok pemimpin yang amanah, sederhana, bijak, berwawasan luas (cerdas), yang „Nggahi rawi pahu‟ untuk rakyat dan bersikap low-profile. Rasulullah saw menjunjung keberagaman/pluralitas, menghormati agama lain, tapi realitanya banyak tokoh-tokoh (agama) yang konon „pewaris Nabi‟ justru membangun sentimen keagamaan yang sempit. Dan menjadikan pemuda sebagai ladang menyemai benih-benih kekerasan kolektif, misalnya mobilisasi massa oleh Tuan Guru akibat sengketa Pilkada, anarkisme terhadap pengikut Ahmadiyah, dan lain-lain. Menyoal kontribusi Tokoh Agama dalam kaitannya dengan pembangunan keamanan Negara, terutama di wilayah NTB tidaklah sesederhana sebagaimana kontribusi pembangunan masjid Agung Muwahidin, misalnya. Namun terkait erat dengan diskursus berupa agama dan negara. Dalam pada itu, perdebatan hubungan antara agama dan negara pun merupakan perhelatan yang tidak habis-habis dan tak kenal ujung pangkalnya sampai sekarang. Perdebatan tentang hubungan agama dan negara, setidaknya terpolarisasi dalam dua gerbong pemikiran.Pertama, kelompok sekularisme. Kelompok ini berpandangan bahwa agama dan negara sama sekali tidak ada saling keterpautannya. Negara secara keseluruhan adalah masalah duniawi yang menjadi kewenangan manusia dengan akal budi (hawa nafsu)-nya. Tidak boleh ada satu butir ajaran agama yang intervensi perihal bagaimana masyarakat manusia mengatur negara, karena akan kemungkinan terjadi adalah politisasi agama untuk kepentingan politik sesaat. Kedua, kelompok teosentris (fundamentalis).Kelompok ini bersikeras bahwa tidak ada satu ruang kehidupan pun di dunia ini, termasuk negara, yang boleh lepas dari kendali agama. Untuk keluar dari perhelatan dua kubu di atas, Masdar F. Mas‟udi menjelaskan, sebaiknya diperjelas lebih dahulu apa yang dimaksud dengan “negara” dan “agama” dalam hubungan antar-keduanya.5Dalam hal ini, Masdar mempertanyakan, apakah yang dimaksud dengan negara adalah bangunan kelembagaannya atau sistem nilai yang menjadi ruh dan jiwanya, yang menjadi acuan gerak dan langkahnya. Demikian pula, apakah yang dimaksud dengan agama disini; apakah ajaran moral transendennya, ataukah pranata kelembagaan dan keorganisasiannya?Tanpa kejelasan hal ini, maka jawaban yang diberikan pun bisa salah alamat. Jika yang dimaksud dengan negara adalah bangunan kelembagaannya serta bagaimana negara diselenggarakan, maka bisa dipastikan bahwa tidak ada satu agama pun yang mampu dan layak untuk menjawabnya. Akan tetapi lain halnya, jika yang dimaksud dengan konsep “negara” adalah prinsip-prinsip etik dan moral yang menjadi acuan orientasinya (untuk apa negara didirikan dan dibela, bagi kepentingan siapa, dan dengan prinsip etika yang bagaimana). Jika hal ini yang dimaksud, Masdar meyakini bahwa agama (baca: Islam) memiliki kepentingan untuk menjawabnya. Meski Islam memiliki kepentingan untuk menjawabnya, namun menurut saya, ada banyak faktor yang menyebabkan Islam tidak mudah untuk menjawabnya, baik karena persoalan eksternal maupun internal Islam sendiri. Faktor eksternal, Islam tampak berbenturan (atau dibenturkan) dengan nilai-nilai lain, seperti: nasionalisme, Pancasila, demokrasi dan HAM. Dari waktu ke waktu, sejak sesaat sebelum Republik ini berdiri hingga saat ini, bagi sementara pihak, Islam adalah “ancaman” dalam bingkai negara sekuler. Pada masa Orde Lama, diskursus yang terjadi seputar Islam versus nasionalisme dan ideologi sosialis (marhaenisme, murbaisme, marhamisme dan komunisme). Sedang pada masa Orde Baru hingga Orde Reformasi kini, Islam dibenturkan dengan Pancasila yang diidelogisasikan oleh penguasa, juga terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM. Secara garis besar, adanya kecurigaan dan kekhawatiran terhadap umat Islam Indonesia yang nota-bene pemilik saham terbesar politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya ini untuk nantinya membangun negara Islam. Sehingga upaya Islam untuk ikut menjawab persoalan negara sudah pasti dihadang oleh semacam „grand-strategy‟ yang disusun secara sistematis oleh kelompok pengendali kebijakan negara. Upaya Islam berpartisipasi secara yuridis-formal dalam pembangunan politik hukum nasional sudah “dijegal” sejak dini di meja demokrasi dalam gedung DPR oleh kelompok nasionalis sekuler. Alotnya penggodokan RUU pertama yang bernuansa hukum Islam realitanya membutuhkan waktu hampir 30 tahun hingga diundangkannya UU No. 8/1989 tentang Peradilan Agama hanyalah salah satu buktinya. Bagi kelompok nasionalis sekuler, Indonesia lebih “nyaman” apabila tetap menggunakan hukum perdata dan pidana warisan kolonial Belanda meski banyak berbenturan dengan stelsel hukum Islam dan hukum adat yang hidup di masyarakat. Maupun menerbitkan UU baru pesanan negara kapitalis yang meski tidak sesuai dengan azas dan tujuan hukum. Muhammad Mustofa, Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, menilai bahwa sistem hukum di Indonesia masih morat-marit dan banyak aturan hukum tidak memenuhi syarat yang baik, yakni bermanfaat, memiliki kepastian, dan keadilan. Mustofa mensinyalir ada sekitar 70 Undang-undang pesanan negara asing sehingga kurang bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya ketika di tingkat lokal pemerintah daerah menerbitkan aneka Perda bernuansa syari‟ah Islam yang dirasakan bermanfaat bagi masyarakat, maka semangat Islamisasi tersebut dinilai melanggar HAM dan 5 Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara untuk Rakyat, kebebasan individu. Begitu pun dalam dunia pendidikan maupun dalam pengelolaan anggaran negara tampak bahwa agama tidaklah menjadi prioritas dalam pembangunan fisik maupun psikis bangsa dan negara Indonesia. Namun demikian, peran tokoh agama tetap sangat dibutuhkan terutama untuk menjadi “pemadam kebaran” akibat benturan stelsel hukum tersebut. Agama, baik di negara komunis maupun kapitalis, hanya dibutuhkan untuk me”nina-bobokkan” masyarakat sekaligus guna meredam potensi konflik dan kekerasan komunal di masyarakat. Faktor internal, yang datangnya dari dalam Islam sendiri, baik secara kelembagaan maupun ajaran. Kelembagaan dimaksud adalah adanya perpecahan ormas besar Islam, yakni Muhammadiyah dan NU menjadikan tidak adanya lembaga yang merupakan representasi otoritatif Islam Indonesia. Begitu pun MUI tidak memiliki kewenangan sebagaimana peran otoritatif para Mullah di Iran, misalnya. Ajaran, Islam yang ajarannya multi-interpretatif dan berpotensi konflik sehingga rawan dipecah-belah maupun terpecah-belah oleh ajarannya sendiri. Propaganda terorisme adalah contoh issue strategis untuk memberikan stigma terhadap Islam sebagai agama penebar “teror Bom”. Begitu pun “jihad”-nya kelompok Islam garis keras, semacam FPI, Komando Jihad, dsb. yang memberikan gambaran Islam sebagai ajaran yang rawan melahirkan kekerasan sosial. Berbagai fenomena Islam dan kekerasan sosial di Indonesia menjadi boomerang atau berbalik kepada ajaran dan citra Islam sendiri yang pada gilirannya melahirkan Islamophobia. Strategi KNPI dalam mewujudkan spirit perjuangan pemuda menuju indonesia yang bermartabat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang didirikan 23 Juli 1973. KNPI sebagai Wadah Pemuda didirikan dasar dari sebuah kesadaran akan tanggungjawab pemuda Indonesia untuk mengerahkan segenap upaya dan kemampuan guna menumbuhkan, meningkatkan dan mengembangkan kesadaran sebagai suatu bangsa yang merdeka dan bedaulat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Deklarasi Pemuda lahir guna menndaklanjuti isi pesan Sumpah Pemuda yang menggariskan kebutuhan keberhimpunan dengan mengejawantahkan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa Indonesia. peran pemuda pada estafet perjuangan kebangsaan dan ke-Indonesian selalu hadir dalam ruang titik nadi perjuangan kebangsaan. Masa perjuangan kemerdekaan, orde lama, orde baru dan Reformasi, pemuda menjadi terdepan pada setiap titik perubahan-perubahan yang ada. Pasca reformasi organisasi kepemudaan tumbuh dan berkembang begitu pesatnya.Lahir dari berbagai latar belakang ideologi yang beragam telah menjadi kekuatan dan tantangan bagi organisasi kepemudaan itu sendiri.Kompetisi adalah suatu keniscayaan.Eksistensi institusi tak terhindarkan.Keberagaman dalam kerangka kebinekaan adalah positif value untuk membangun Indonesia khususnya pemuda. KNPI yang merupakan wadah kepemudaan yang terhimpun dari berbagai warna dan corak pemikirin yang kompotibel, potensi sumberdaya yang ada didalamnya memberikn jaminan untuk mengisi gerak pembangunan bangsa. Bukan sesuatu yang mustahil tonggak kemerdekaan bangsa ada di tangan para pemuda yang bersatu dalam visi yang sama. KNPI sebagai lokomotif untuk mewujudkan spirit perjuangan pemuda untuk mencapai harapan mulia, harapa indonesia yang bermartabat. Pemuda dalam lintas sejarah ` Berbagai hal menyangkut perubahan dan pembangunan, selalu dikaitkan dengan adanya campur tangan peranan pemuda. Sejarah membuktikan itu, di berbagai belahan dunia perubahan sosial politik menempatkan pemuda di garda depan. Peranannya menyeluruh, tak hanya menjadi seperti mata air, tapi juga hulu, hilir sampai muara.Bahkan pemuda sebagai air atau sumber energi perubahan. Tak tanggung-tanggung pemimipin besar seperti Bung Karno (Presiden RI Pertama) mengungkapkan kata-kata pengobar semangat “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia,” yang disampaikan dalam pidato kenegaran di masa jayanya. Dalam pikirannya pemuda digambarkan sosok unggul, pilihan, bergairah, bergelegak dan bergelora secara fisik, psikis, intelektual, serta yang terpenting sikapnya. Pemuda sosok superior, progresif, revolusioner dengan api berkobar-kobar, dan bara spirit yang menyala-nyala. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesian, pemuda selalu menempati peran yang sangat strategis dari setiap peristiwa penting yang terjadi.Bahkan dapat dikatakan bahwa pemuda menjadi tulang punggung dari keutuhan perjuangan melawan penjajahan Belanda dan Jepang ketika itu. Peran tersebut juga tetap disandang oleh pemuda Indonesia hingga kini, selain sebagai pengontrol independen terhadap segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan penguasa, pemuda Indonesia juga secara aktif melakukan kritik, hingga mengganti pemerintahan apabila pemerintahan tersebut tidak lagi berihak ke masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada kasus jatuhnya pemerintahan Soekarno oleh gerakan pemuda, yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa dan pemuda tahun 1966. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemuda dalam menumbangkan pemerintahan Soeharto 32 tahun kemudian. Peran yang disandang pemuda Indonesia sebagai agen perubahan (Agent of Change) dan agen kontrol sosial (Agent of Social Control) hingga saat ini masih sangat efektif dalam memposisikan peran pemuda Indonesia. Era reformasi yang bergulir sejak tahun 1988 (di mana pemuda juga punya peran luar biasa), banyak orang kecewa. Reformasi tidak jadi katalisator proses pencerahan kehidupan berbangsa dan bernegara, malah sebaliknya. Sekarang pemuda lebih banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan peranan sebagai kelompok social, sehigga kemandirian pemuda sangat sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini. Peranan pemuda dalam kegiatan sosial itu sangat dibutuhkan untuk mengisi pembangunan dengan menciptakan kewirausahaan dalam pembangunan dan meningkatkan pengetahuan tentang ilmu dan teknologi serta menumbuh kembangkan jiwa kepeloporan, daya pikir, inovasi, kreativitas dan kewiraushaan pemuda dalam rangka mempersiapkan pemimpin masa depan berkualitas. KNPI dalam mewujudkan Semangat Juang pemuda Generasi Muda sebagai pewaris, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sebagai sumber insani bagi pembangunan nasional, ibarat mata rantai yang tergerai panjang, posisi generasi muda dalam masyarakat menempati mata rantai yang paling sentral dalam artian bahwa, pemuda berperan sebagai pelestari nilai budaya, kejuangan, pelopor dan perintis pembaruan melalui karsa, karya dan dedikasI. Selain itu pemuda juga mempunyai peran dalam menggerakkan pembangunan sekaligus menjadi pelaku aktif dalam proses pembangunan nasional serta berperan dalam memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Pasca reformasi reformasi bergulir problem kebangsaan tidaklah usai, namum semakin parah.Korupsi, degradasi moral, konflik sosial, kemiskinan, kesehatan, penganguran merupakan bagian dari banyaknya problem yang di hadapi bangsa ini. Pemuda kembali dituntut untuk melakukan gerak perbaikan bangsa ini, mengarahkan kearah indonesia yang bermartabat. Namun masih bisakah pemuda kembali diharapkan untuk menjadi pelopor perbaikan bangsa yang pesakitan ini ?, pemuda yang kredibelitasnya di ragukan , pemuda cenderung apatis, pemuda yang kehilangan orientasi. Menata kembali semangat juang pemuda untuk meretas problem kebangsaan dalam menata indonesia yamng bermartabat, dibutuhkan peran strategis dari wadah pemuda yang bernama KNPI. KNPI Sebagai lokomotif perubahan, kesadaran kaum muda dari peranya KNPI mesti : Peran Moral Mahasiswa yang dalam kehidupannya tidak dapat memberikan contoh dan keteladanan yang baik berarti telah meninggalkan amanah dan tanggung jawab sebagai kaum terpelajar.Jika hari ini kegiatan mahasiswa berorientasi pada hedonisme (hura-hura dan kesenangan) maka berarti telah berada persimpangan jalan. Jika mahasiswa hari ini lebih suka mengisi waktu luang mereka dengan agenda rutin pacaran tanpa tahu dan mau ambil tahu tentang perubahan di negeri ini, jika hari ini mahsiswa lebih suka dengan kegiatan festival musik dan kompetisi (entertainment) dengan alasan kreatifitas, dibanding memperhatikan dan memperbaiki kondisi masyarakat dan mengalihkan kreatifitasnya pada hal-hal yang lebih ilmiah dan menyentuh ke rakyat maka mahsiswa semacam ini adalah potret generasi yang hilang yaitu generasi yang terlena dan lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemuda dan mahsiswa. Peran Sosial Mahsiswa harus menumbuhkan jiwa-jiwa sosial yang dalam atau dengan kata lain solidaritas sosial. Solidaritas yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat kelompok, namun solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh serta dapat melepaskan keangkuhan dan kesombongan. Mahasiswa tidak bisa melihat penderitaan orang lain, tidak bisa melihat penderitaan rakyat, tidak bisa melihat adanya kaum tertindas dan di biarkan begitu saja. Mahasiswa dengan sifat kasih dan sayangnya turun dan memberikan bantuan baik moril maupun materiil bagi siapa saja yang memerlukannya. Sebagai contoh di Kalimantan Barat pada tahun 1998 s/d 2000 pernah terjadi gelombang pengungsian besar-besaran akibat konflik sosial di daerah ini, maka mahasiswa harus ikut memperhatikan masalah ini dengan memberikan bantuan baik secara moril maupun maeriil serta pemikirannya serta ikut mencarikan solusi penanganan bencana kemanusiaan ini. Betapa peran sosial mahasiswa jauh dari pragmatisme, dan rakyat dapat merasakan bahwa mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari rakyat, walaupun upaya sistematis untuk memisahkan mahasiswa dari rakyat telah dan dengan gencar dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak ingin rakyat ini cerdas dan sadar akan problematika ummat terjadi. Peran Akademik Sesibuk apapun mahasiswa turun ke jalan, turun ke rakyat dengan aksi sosialnya, sebanyak apapun agenda aktivitasnya jangan sampai membuat mahasiswa itu lupa bahwa adalah insan akademik.Mahasiswa dengan segala aktivitasnya harus tetap menjaga kuliahnya.Setiap orang tua pasti ingin anaknya selesai kuliah dan menjadi orang yang berhasil. Maka sebagai seorang anak berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mewujudkan keinginan itu, untuk mengukir masa depan yang cerah. Peran yang satu ini teramat sangat penting bagi kita, dan inilah yang membedakan kita dengan komonitas yang lain, peran ini menjadi simbol dan miniatur kesuksesan kita dalam menjaga keseimbangan dan memajukan diri kita.Jika memang kegagalan akademik telah terjadi maka segeralah bangkit, nasi sudah jadi bubur maka bagaimana sekarang kita membuat bubur itu menjadi bubur ayam special. Artinya, jika sudah terlanjur gagal maka tetaplah bangkit serta mencari solusi alternatif untuk mengembangkan kemampuan diri meraih masa depan yang cerah dunia dan akherat. Peran Politik Peran politik adalah peran yang paling berbahaya karena disini mahasiswa berfungsi sebagai presseur group (group penekan) bagi pemerintah yang zalim.Oleh karena itu, pemerintah yang zalim merancang sedemikian rupa agar mahasiswa tidak mengambil peran yang satu ini.Pada masa orde baru di mana daya kritis rakyat itu di pasung, siapa yang berbeda pemikiran dengan pemerintah langsung di cap sebagai makar dan kejahatan terhadap negara.Pemerintah orba tidak segan-segan membumi hanguskan setiap orang-orang yang kritis dan bersebrangan dengan kebijakan pemerintah. Dalam dunia kampus pada tahun 1984 lewat menteri pendidikan Daud Yusuf pemerintah mengeluarkan kebijakan NKK/BKK (Normalisasis Kehidupan Kampus) yang melarang keras mahasiswa beraktifitas politik. Dan kebijakan ini terbukti ampuh memasung gerakan-gerakan mahasiswa yang membuat mahasiswa sibuk dengan kegiatan rutinitas kampus sehigga membuat mahasiswa terpenjara oleh sistem yang ada. Mahasiswa adalah kaum terpelajar dinamis yang penuh dengan kreatifitas.Mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat. Sekarang mari kita pertanyakan pada diri kita yang memegang label mahasiswa, sudah seberapa jauh kita mengambil peran dalam diri kita dan lingkungan. 1. Aktivitas Mahasiswa Dalam Mengisi Reformasi Sejarah menunjukkan bahwa selain aktivitas gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan internal sebuah perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan momentum-momentum besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam perubahan politik nasional menjadi sangat penting, dapat kita lihat sejak awal lahir dan keberadaan mahasiswa di tanah air, terutama sejak awal abad ke dua puluh, dilihat tidak saja dari segi eksistensi mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran-peran strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya. Aktivitas mahasiswa yang merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi inilah yang kemudian populer dengan sebutan gerakan mahasiswa. Dengan demikian, gerakan mahasiswa merupakan sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya gerakan mahasiswa dengan perannya yang signifikan dalam perubahan secara langsung akan membongkar mitos lama di masyarakat, bahwa mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian dari civitas akademika yang berada di menara gading, jauh dari persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Disinilah letak pentingnya sebuah gerakan dibangun, yakni untuk secara aktif dan partisipatif berperan serta dalam proses perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, sebuah gerakan yang dibangun juga akan meningkatkan daya kritis mahasiswa secara keseluruhan dalam melihat berbagai persoalan yang tengah dihapai masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun internasional. Harus diakui, mahsiswa hanyalah salah satu aktor yang terlibat dalam setiap momentum perubahan yang terjadi. Walaupun demikian, gerakan mahasiswa dalam setiap kurun sejarah selalu mampu menempatkan dirinya menjadi aktor utama yang berada di garda depan perubahan. Hal ini yang membedakan mahasiswa dengan aktor perubahan lainnya, seperti kalangan cendekiawan, polisi, militer, dan elemen masyarakat lainnya.Keadaan ini sangat dimungkinkan karena posisi mahasiswa yang dianggap netral dan belum bersentuhan langsung dengan berbagai kepentingan politik praktis.Selain itu, sebagai kaum muda yang masih belum mempunyai ketergantungan dan tanggung jawab ekonomi kepada keluarga serta posisi mereka sebagai calon intelektual, maka peran sebagai penggagas ide awal, baik di tingkat praksis maupun wacana, menjadi sangat signifikan. Tetapi, banyak studi menyebutkan bahwa kondisi psikologis mereka sebagai kaum muda yang dinamis dan anti kemapanan serta rasa percaya diri yang tinggi sebagai mahasiswa, menjadi faktor penting dalam menempatkan mahasiswa di garda depan perubahan. Sementara elemen lain dalam masyarakat sering hanya menjadi kelompok pengikut (kelompok kesiangan) setelah perubahan berlangsung. Adapun munculnya munculnya kelompok kesiangan ini bisa dimaknai sebagai konsekuensi dari setiap perubahan sosial politik. Kalau gerakan mahasiswa merupakan bagian dari sebuah proses inovasi dalam perubahan sosial. Hadley Read (1979) mengatakan bahwa biasanya untuk menerima suatu inovasi, ada kelompok pelopor (earlier adopters) yang jumlahnya sedikit. Mahasiswa dan sebagian kecil komponen masyarakat lainnya masuk dalam kelompok ini. Setelah kelompok pelopor melakukan sosialisasi dalam waktu tertentu, barulah muncul kelompok kesiangan (later adopters) yang jumlahnya jauh lebih besar. Lantas tersisa kelompok kecil yang menolak sama sekali inovasi yang sudah memasyarakat itu. Mereka termasuk dalam kelompok pendukung status quo (non adopters).Kelompok terakhir ini biasanya selalu menjadi penghambat dalam setiap perubahan sosial yang tengah berlangsung.Mereka adalah kelompok masyarakat yang selama ini sudah hanyut dalam kenikmatan dari sebuah sistem yang menguntungkan mereka.Kelompok ini juga yang diidentifikasi oleh mahasiswa sebagai musuh mereka. Klasifikasi di atas tidak hanya berlaku umum dalam masyarakat ketika perubahan berlangsung, ia juga terjadi dalam tubuh mahsiswa sendiri. Di kalangan mahasiswa juga terdapat mahasiswa yang menempatkan dirinya pada posisi earlier adopters.Mereka adalah kelompok minoritas di kalangan mahasiswa, mereka biasanya diidentifikasi dengan sebutan aktivis mahasiswa.Namun, sebagian besar mahasiswa biasanya menjadi kelompok later adopters, bahkan tidak sedikit yang menjadi pendukung status quo. Hanya saja, pendukung status quo di kalangan mahasiswa bukanlah musuh dalam arti yang sebenarnya dalam sebuah gerakan dibandingkan dengan kelompok yang sama di masyarakat umum. Kelompok mahasiswa ini masih mudah untuk disadarkan akan pentingnya melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, peran sebagai garda depan perubahan dalam arti sesungguhnya pada dasarnya hanya layak disandingkan pada kalangan aktivis mahasiswa, tanpa mereduksi peran mahasiswa secara keseluruhan. Karena para aktivis mahasiswa inilah yang sebenarnya berperan di garda depan yang menggerakkan sebuah proses gerakan mahsiswa. Selain itu, intensitas sebuah gerakan dalam proses perubahan pada dasarnya dipengaruhi oleh dua konsisi, yakni : Pertama, kondisi subyektif berupa hal-hal yang berkaitan dengan faktor internal mahasiswa seperti latar belakang sosial, ideologi dan idealisme yang terbangun. Kedua, kondisi objektif adalah tatanan sosial, politik dan ekonomi yang melingkupi proses gerakan. Umumnya, peran strategis mahasiswa akan menguat tatkala kedua kondisi ini secara signifikan dapat mendukung terjadinya momentum-momentum perubahan sosial dan politik Negara Indonesia. Peran Mahasiswa Dalam Menunjang Kemajuan Bangsa Mahasiswa memang menjadi komunitas yang unik di mana dalam catatan sejarah perubahan selalu menjadi garda terdepan dan motor penggerak perubahan. Mahasiswa di kenal dengan jiwa patriotnya serta pengorbanan yang tulus tanpa pamrih.Namun hanya sedikit rakyat Indonesia yang dapat merasakan dan punya kesempatan memperoleh pendidikan hingga ke jenjang ini karena sistem perekonomian Indonesia yang kapitalis serta biaya pendidikan yang begitu mahal sehingga kemsikinan menjadi bagian hidup rakyat ini. Dalam tulisan ini penulis memetakan ada empat peran mahasiswa yang menjadi tugas dan tanggung jawab yang akan dipikul. Peran Moral Mahasiswa yang dalam kehidupannya tidak dapat memberikan contoh dan keteladanan yang baik berarti telah meninggalkan amanah dan tanggung jawab sebagai kaum terpelajar.Jika hari ini kegiatan mahasiswa berorientasi pada hedonisme (hura-hura dan kesenangan) maka berarti telah berada persimpangan jalan. Jika mahasiswa hari ini lebih suka mengisi waktu luang mereka dengan agenda rutin pacaran tanpa tahu dan mau ambil tahu tentang perubahan di negeri ini, jika hari ini mahsiswa lebih suka dengan kegiatan festival musik dan kompetisi (entertainment) dengan alasan kreatifitas, dibanding memperhatikan dan memperbaiki kondisi masyarakat dan mengalihkan kreatifitasnya pada hal-hal yang lebih ilmiah dan menyentuh ke rakyat maka mahsiswa semacam ini adalah potret generasi yang hilang yaitu generasi yang terlena dan lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemuda dan mahsiswa. Peran Sosial Mahsiswa harus menumbuhkan jiwa-jiwa sosial yang dalam atau dengan kata lain solidaritas sosial. Solidaritas yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat kelompok, namun solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh serta dapat melepaskan keangkuhan dan kesombongan. Mahasiswa tidak bisa melihat penderitaan orang lain, tidak bisa melihat penderitaan rakyat, tidak bisa melihat adanya kaum tertindas dan di biarkan begitu saja. Mahasiswa dengan sifat kasih dan sayangnya turun dan memberikan bantuan baik moril maupun materiil bagi siapa saja yang memerlukannya. Sebagai contoh di Kalimantan Barat pada tahun 1998 s/d 2000 pernah terjadi gelombang pengungsian besar-besaran akibat konflik sosial di daerah ini, maka mahasiswa harus ikut memperhatikan masalah ini dengan memberikan bantuan baik secara moril maupun maeriil serta pemikirannya serta ikut mencarikan solusi penanganan bencana kemanusiaan ini. Betapa peran sosial mahasiswa jauh dari pragmatisme, dan rakyat dapat merasakan bahwa mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari rakyat, walaupun upaya sistematis untuk memisahkan mahasiswa dari rakyat telah dan dengan gencar dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak ingin rakyat ini cerdas dan sadar akan problematika ummat terjadi. Peran Akademik Sesibuk apapun mahasiswa turun ke jalan, turun ke rakyat dengan aksi sosialnya, sebanyak apapun agenda aktivitasnya jangan sampai membuat mahasiswa itu lupa bahwa adalah insan akademik.Mahasiswa dengan segala aktivitasnya harus tetap menjaga kuliahnya.Setiap orang tua pasti ingin anaknya selesai kuliah dan menjadi orang yang berhasil. Maka sebagai seorang anak berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mewujudkan keinginan itu, untuk mengukir masa depan yang cerah. Peran yang satu ini teramat sangat penting bagi kita, dan inilah yang membedakan kita dengan komonitas yang lain, peran ini menjadi simbol dan miniatur kesuksesan kita dalam menjaga keseimbangan dan memajukan diri kita.Jika memang kegagalan akademik telah terjadi maka segeralah bangkit, nasi sudah jadi bubur maka bagaimana sekarang kita membuat bubur itu menjadi bubur ayam special. Artinya, jika sudah terlanjur gagal maka tetaplah bangkit serta mencari solusi alternatif untuk mengembangkan kemampuan diri meraih masa depan yang cerah dunia dan akherat. Peran Politik Peran politik adalah peran yang paling berbahaya karena disini mahasiswa berfungsi sebagai presseur group (group penekan) bagi pemerintah yang zalim.Oleh karena itu, pemerintah yang zalim merancang sedemikian rupa agar mahasiswa tidak mengambil peran yang satu ini.Pada masa orde baru di mana daya kritis rakyat itu di pasung, siapa yang berbeda pemikiran dengan pemerintah langsung di cap sebagai makar dan kejahatan terhadap negara.Pemerintah orba tidak segan-segan membumi hanguskan setiap orang-orang yang kritis dan bersebrangan dengan kebijakan pemerintah. Dalam dunia kampus pada tahun 1984 lewat menteri pendidikan Daud Yusuf pemerintah mengeluarkan kebijakan NKK/BKK (Normalisasis Kehidupan Kampus) yang melarang keras mahasiswa beraktifitas politik. Dan kebijakan ini terbukti ampuh memasung gerakan-gerakan mahasiswa yang membuat mahasiswa sibuk dengan kegiatan rutinitas kampus sehigga membuat mahasiswa terpenjara oleh sistem yang ada.Mahasiswa adalah kaum terpelajar dinamis yang penuh dengan kreatifitas.Mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat. Sekarang mari kita pertanyakan pada diri kita yang memegang label mahasiswa, sudah seberapa jauh kita mengambil peran dalam diri kita dan lingkungan. Tantangan Mahasiswa dan Pemuda Dalam dan Usaha Memajukan Bangsa Pembangunan pemuda mempunyai peran strategis dalam mendukung peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Pemuda merupakan generasi penerus, penanggung jawab dan pelaku pembangunan masa depan. Kekuatan bangsa di masa mendatang tercermin dari kualitas sumber daya pemuda saat ini.Untuk itu, pemuda harus disiapkan dan diberdayakan agar mampu memiliki kualitas dan keunggulan daya saing guna menghadapi tuntutan, kebutuhan, serta tantangan dan persaingan di era global. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan pemuda adalah : 1. Masih rendahnya akses dan kesempatan pemuda untuk memperoleh pendidikan; 2. Masih rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja pemuda; 3. 4. 5. 6. Belum serasinya kebijakan kepemudaan di tingkat nasional dan daerah; Rendahnya kemampuan kewirausahaan di kalangan pemuda; Tingginya tingkat pengangguran terbuka pemuda; Maraknya masalah-masalah sosial di kalangan pemuda, seperti kriminalitas, premanisme, NAPZA, dan HIV/AIDS; 7. Masih rendahnya pembinaan dan perhatian terhadap pemuda dan Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda (OKP). Semangat perjuangan sebenarnya sudah menjadi bagian penting dari pemuda Indonesia sejak dulu.Dari sanalah semangat kepemudaan harus dipupuk dan dipertahankan.Semangat kepemudaan seharusnya tak boleh hilang diterjang sebagai godaan dan tantangan.Seharusnya semakin banyak tantangan, maka semangat kepemudaan itu semakin membaja, semakin kuat dan semakin terlatih.Tantangan besar sesungguhnya yang dihadapi para pemuda dewasa ini adalah menghadapi globalisasi beserta dampak dan pengaruhnya yang terbilang luar biasa. Anak-anak muda sekarang lebih bangga jika dapat berperilaku kebarat-baratan, mulai dari gaya pakaian, makanan, bahkan sikap dan pandangan hidup. Stereotype gaya hidup hura-hura itu ditunjukkan secara gamblang lewat stasiun televisi mulai dari gaya sinetron dengan pendekatan serba hedonis, hingga acara kontes menyanyi seperti Indonesian Idol atau AFI (Akademi Fantasi Indosiar). Anak muda sekarang lebih semangat memacu diri lewat “jalan pintas” menjadi penyanyi terkenal, artis lalu banyak penggemar dan kaya lewat profesi yang serba gemerlap.Cuma segelintir pemuda negeri ini yang lebih keras berupaya dalam hal prestasi dengan kegemilangan pengetahuan, penelitian, atau memeras otak dan keringat dari intelegensinya. Kebanyakan anak muda justru ternina bobo oleh angan-angan kosong yang ditawarkan sistem kapitalisme, tanpa menyadari bahwa “perjuangan” mereka di jalur serba hedonis, hanya bisa dikategorikan dan menjadi sebuah perjudian atau harapan fatamorgana. Kesadaran kolektif untuk menjadikan peran pemuda di tengah masyrakat lebih konkret lagi, perlu adanya kesadaran kolektif para pemuda pada perjuangan yang sesungguhnya.Anak-anak muda perlu diberikan stimulant besar untuk dapat kembali ke jalan kebenaran, mempertahankan semangat perjuangan dan kepemudaan. Hal yang perlu pertama kali disikapi adalah tujuan ideal yang akan dicapai oleh para pemuda itu, bukan hanya sekedar tujuan antara “perjuangan” para anak muda dalam kontes menyanyi, mungkin dapat dikatakan sebagai upaya untuk dapat mencari eksistensi diri. Namun perlu diingat bahwa “perjuangan” itu hanya sekilas, menjadi eufora sesaat, tanpa ada makna yang lebih luas secara sosial dan bagi kemanusiaan.Pemuda perlu mendefinisikan kembali tujuan dan visi hidupnya secara kolektif. Dari sini kemudian akan ada kesadaran kolektif untuk melanjutkan peran yang diwariskan para pemuda sebelumnya. Sebab, hanya dengan semangat, kolektivitas, dan tekad yang kuat, bangsa ini dapat kembali berjaya dan bangkit dari keterpurukan. Jika dilihat berbagai catatan dan berbagai predikat yang disandang Indonesia, maka anak yang baru lahir pun mungkin akan malu menjadi orang Indonesia. Bahkan ada buku yang berjudul seperti itu: Aku Malu Menjadi Orang Indonesia. Berbagai “rekor” memang ditorehkan negeri ini, dengan label buruk.Kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia saat ini berada pada peringkat ke-109 dari 174 negara di dunia.Sementara itu, Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand masing-masing berada pada peringkat ke-41 sampai 44.Posisi negeri ini bahkan di bawah Vietnam yang baru bangkit dari perang dengan Amerika. Jika diamati pula indeks pembangunan manusia Indonesia, maka akan dilihat fakta yang terus menurun dalam lima tahun belakangan ini. Pada tahun 1995, Indonesia menduduki peringkat ke 104 dunia, jauh di atas Vietnam yang saat itu berada di peringkat 120 dunia. Ironisnya, dalam tahun 2005 ini peringkat Indonesia merosot ke urutan 110 dunia sedangkan Vietnam naik menjadi peringkat 108 dunia. Utang luar negeri yang ditanggung Indonesia kini mencapai Rp 1.300 triliun lebih yang bila dibagi rata untuk seluruh penduduk Indonesia, mencapai rupiah 6,5 juta perorang. Transperancy Internasional yang bermarkas di Berlin pun mengumumkan peringkat indeks korupsi tahun 2005, dan Indonesia menempati ranking ke 137 dari 159 negara di dunia. “Luar Biasa”. Indonesia mungkin dapat menjadi negara yang memaluka dalam berbagai hal, hingga saat ini.Namun ini tentu tak boleh dibiarkan berlarut.Bagaimanapun, harga diri bangsa sudah eksis dan didengungkan dari awal.Berkaca pada pepatah melayu lama, sekali layar terkembang, pantang surut kebelakang.Maka tentunya perlu dibentuk kesadaran kolektif terhadap bangsa ini mengenai eksistensi, kemandirian dan harga diri bangsa. Itu sebenarnya harus dimulai dari generasi muda seperti halnya kemerdekaan bangsa, kebangkitan bangsa sejak kelahiran Boedi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928 dan proklamasi kemerdekaan yang semuanya digerakkan oleh motor utama para pemuda. Tentunya diperlukan pemuda-pemuda yang tangguh, bukan para pemuda yang cengeng, atau bermental hedonis. Maka, “cita-cita ideal Bung Karno” pemuda tangguh Indonesia akan benar-benar mampu mengguncang dunia, bukan hanya sekedar orasi dan lips service semata. Mudah-mudahan. Semangat Sumpah Pemuda dalam Konteks Lokal (Bima) dalam Menciptakan Kedamaian Sosial dan Pemuda Masa Depan Keberadaan pemuda akhir-akhir ini terus dipertanyakan, generasi yang mustinya menjadi harapan dan idaman itu justru banyak menjadi beban dan terus menjadi tontonan bukan lagi sebagai harapan masa depan. Siapakah Pemuda ? Pemuda adalah suatu generasi yang dipundaknya terbebani berbagai macam – macam harapan, terutama dari generasi lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena pemuda diharapkan sebagai generasi penerus, generasi yang akan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya, generasi yang mengisi dan melanjutkan estafet pembangunan. Anggapan itu merupakan beban moral yang ditanggung bagi pemuda untuk memenuhi tanggung jawab yang diberikan generasi tua. Selain memikul beban tersebut pemuda juga dihadapkan persoalan-persoalan diantaranya kenakalan remaja, ketidak patuhan pada orang tua/guru, kecanduan narkotika, frustasi, masa depan suram, keterbatasan lapangan kerja dan masalah lainnya. Realita yang terjadi sekarang bahwa pemuda pemudi kita lebih suka peranan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Lebih suka nge Facebook, lebih suka aktif di mailing list, lebih suka di forum ketimbang duduk mufakat untuk kemajuan RT, RW, Kecamatan, Provinsi bahkan di tingkat lebih tinggi adalah Negara. Selaku Pemuda kita dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sosialisasi dengan warga sekitar.Kehadiran pemuda sangat dinantikan untuk menyokong perubahan dan pembaharuan bagi masyarakat dan negara.Aksi reformasi disemua bidang adalah agenda pemuda kearah masyarakat madani.Reformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang tua dan anak-anak. Makna Sumpah Pemuda Mari kita mengingat kembali akanteks sumpah pemuda Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Itulah teks Sumpah Pemuda, yang untuk pertama kalinya diikrarkan di Jakarta pada 28 Oktober 1928.Hari ini tepat 85 tahun yang lalu, hari bersejarah bagi bangsa Indonesia dalam membangun landasan utama gerakan kebangkitan nasional.Sekaligus perekat yang mempersatukan anak bangsa dari berbagai suku dan agama.Itu adalah sedikit mengenai Sejarah Sumpah Pemuda. Belajar dari Sumpah Pemuda, ada catatan sejarah yang sangat berharga di dalamnya.Butir-butir dalam Sumpah Pemuda itu tidak hanya semata-mata disusun untuk menjadi hasil yang membantu kaum muda menjawab kebutuhan kemerdekaan dari penjajahan saat itu.Melainkan lebih dari itu, Sumpah Pemuda telah menjadi spirit yang terus terpatri dalam hati sanubari para pemuda itu.Suatu spirit yang dibangun atas dasar kesamaan nasib dan cita-cita. Yang kemudian dibungkus dengan komitmen untuk senasib sepenanggungan sebagai satu bangsa, satu tanah air yang pertama-tama ditandai dengan disepakatinya bahasa universal antar bangsa, bahasa Indonesia. Semangat Sumpah Pemuda mencapai klimaksnya pada 17 Agustus 1945 ketika SoekarnoHatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sejak itu, Indonesia yang terdiri atas berbagai etnis, agama, dan golongan menjadi bangsa yang merdeka dan bersatu. Kini, bagaimana setelah 68 tahun Indonesia merdeka dan 85 tahun Sumpah Pemuda diikrarkan?Ternyata kita belum sepenuhnya merdeka dari pertikaian internal antarsesama anak bangsa.Semangat Sumpah Pemuda belum sepenuhnya merasuk ke dalam jiwa setiap pemuda Indonesia. Semoga kita bisa memahami makna arti sumpah pemuda ini dengan baik dan memahami bahwasannya perjuangan pemuda kala merebutkan dan memperjuangkan kemerdekaan tak bisa dipandang sebelah mata. Hari ini hari sumpah pemuda ke 84 dan semoga para pemuda bisa belajar akan sejarah sumpah pemuda dengan baik dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Pemuda dan Konflik sosial Kita memang harus selalu mengingat konflik-konflik kekerasan yang sering kita saksikan di media-media. Ketika nyawa begitu mudah dipaksa lepas dari tubuh yang masih menginginkan kehidupan dan bahkan kebanyakan tubuh-tubuh yang tergolek kaku tersebut, atau terkapar lukaluka di jalanan, rumah sakit, adalah orang-orang yang masih berusia muda membuat kita menahan nafas kecewa, alangkah sayangnya kematian yang muda dengan cara yang sama sekali tak memberi kebaikan pada kehidupan diri sendiri dan orang lain. Pemuda setelah melewati masa alienation treshold (ambang bahaya) menurut Tamrin Amal Tomagola berarti telah melewati masa bahaya baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat. Kata “Pemudaan” digunakan tidak saja menunjuk pada pemuda sebagai subjek yang berperan dalam perdamaian maupun pertarungan, akan tetapi perdamaian. Perdamaian harus terus direvitalisasi, dimudakan, agar konflik tidak berakhir dengan penyerangan apalagi pembunuhan. Karsidi megatakan bahwa konflik yang terjadi secara horizontal sejak tahun 1997 hingga 2007, menurut sudut pandang UNDP yang disampaikan oleh Melina Nathan, ahli dalam unit Prevention and Recovery Conflict, di Indonesia konflik etnis, agama sebenarnya hanya merupakan lapisan permukaan dari konflik yang lebih dalam lagi. Etnis dan agama dijadikan sasaran dari persoalan-persoalan negara seperti; pendapatan per kapita negara yang rendah, stagnasi ekonomi, ketergantungan terhadap ekspor industri primer, poor governance, land locke, atau daerah yang tidak mempunyai akses ke laut. Etnis dan agama juga bukan persoalan utama yang biasanya melatarbelakangi konflik.Di Indonesia dari 246 insiden kekerasan, atau terhitung 2 kekerasan terjadi per hari, yang terbanyak adalah kekerasan yang disebabkan oleh penghakiman massal. Perubahan dan Pemuda ke Depan Jadi pemuda identik dengan sebagai sosok individu yang berusia produktif, pra produktif dan mempunyai karakter khas yang spesifik yaitu revolusioner, optimis, berpikiran maju, memiliki moralitas, berani, kritis, peduli. Kelemahan mecolok dari seorang pemuda adalah kontrol diri dalam artian mudah emosional, sedangkan kelebihan pemuda yang paling menonjol adalah mau menghadapi perubahan, baik berupa perubahan sosial maupun kultural dengan menjadi pelopor perubahan (the pionir of change) itu sendiri. Peran penting dari seorang pemuda adalah pada kemampuannya melakukan perubahan.Perubahan menjadi indikator suatu keberhasilan terhadap sebuah gerakan pemuda.Perubahan menjadi sebuah kata yang memiliki daya magis yang sangat kuat sehingga membuat gentar orang yang mendengarnya, terutama mereka yang telah merasakan kenikmatan dalam iklim status quo.Kekuatannya begitu besar hingga dapat menggerakkan kinerja seseorang menjadi lebih produktif. Keinginan akan suatu perubahan melahir sosok pribadi yang berjiwa optimis. Optimis bahwa hari depan pasti lebih baik. Harapan perubahan itulah yang amat sangat dirindukan oleh bangsa Indonesia. Saya mungkin salah satu anak bangsa, yang ketika pemilu 2004 ini digulir baik legislatif maupun presiden, menjadi optimis bahwa angin perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik akan merebak. Hal itu dapat terlihat proporsi fraksi anggota parlemen dari perwakilan partai yang hampir merata, baik tingkat nasional maupun daerah.Sekarang yang kita tunggu adalah bagaimana mereka menggebrak dan masih layak disebut pemuda.Mereka butuh momentum.Momemntum unutk merubah tatanan pragmatisme yang kadung menjadi sebuah permisivitas dalam kacamata sosial. Upaya yang di lakukan untuk mengatasi konflik sara 1. Mengendalikan emosi Ketika kita mendengar orang menghina kita atau sesuatu yang berhubungan erat dengan kita, seringkali kita merasa tersinggung.Oleh sebab itu, kita harus berusaha mengendalikan emosi.Jangan pernah membalas kejahatan dengan kejahatan, namun dengan kebaikan.Pada waktu diejek, jangan mengutuk, memukul, menampar, menonjok, mengeluarkan kata-kata kotor, dan sebagainya.Hal pertama yang harus dilakukan ketika perasaan kita dicampur aduk oleh orang yang menyebalkan adalah menenangkan hati. Setelah itu berdoa mohon kesabaran dari Tuhan, menasihati orang kejam itu secara sopan, dan mendoakan orang tersebut agar ia dapat bertobat. Menasihati orang secara sopan dan terbuka itu lebih baik daripada hanya membiarkannya, membalasnya, memukulnya, atau menggosipkannya di belakang karena nasihat bisa membuat orang lain memperbaiki dirinya. Bayangkan saja kalau kejahatan dibalas dengan kejahatan itu tidak akan pernah berujung, selalu ada kelanjutan dari perseteruan itu dan balas dendam. Selain itu, cap negatif dari orang jahat itu terhadap kita akan semakin buruk. Hal ini tidak akan menyelesaikan masalah, malah cuma menambah dan memperbesar konflik saja. Orang yang disakiti juga akan menyakiti orang-orang lain yang tak bersalah akibat emosi yang meluap-luap dari hatinya. 2. Jangan memanggil orang lain dengan julukan berdasarkan SARA Hal ini mungkin tidak bermasalah bagi beberapa orang karena kedekatan atau canda gurau saja. Namun, julukan dapat pula menyinggung perasaan orang lain. Misalnya, orang tertawa sambil memanggil seseorang yang belum terlalu dekat dengannya dan berkata “orang kaya baru” atau “orang China bermata sipit”. Orang yang dipanggil sembarangan itu dapat tersinggung perasaannya jika orang tersebut memiliki perasaan yang sensitif. Bahkan ada kemungkinan ia langsung mengungkapkan perasaan marahnya dan bertengkar dengan orang yang memanggilnya dengan julukan itu. Sedekat apapun hubungan kita dengan seseorang, sebisa mungkin jangan menyinggung atau memberi julukan berkaitan dengan masalah SARA ini agar tidak melukai hatinya. 3. Jangan berpikiran negatif tentang suku, agama, ras, dan golongan yang berbeda Saat menjumpai beberapa orang dari golongan tertentu yang memiliki sifat buruk sama, jangan pernah menghakimi atau menghina golongan tersebut. Sebagai contoh, orang kaya di sekitar rumah Anda semuanya suka membuang sampah sembarangan.Lalu Anda langsung menyimpulkan bahwa orang kaya itu tidak bertanggung jawab.Hal ini tidak boleh dilakukan karena tidak semua orang seperti itu.Kesimpulan yang didapat tidak menyeluruh, tapi hanya dari sudut pandang Anda saja.Masih ada banyak orang kaya yang bertanggung jawab dan membuang tempat sampah pada tempatnya. Itu adalah pandangan subjektif yang tidak adil dan sangat picik dengan menyamaratakan orang lain berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan tertentu. Dengan menghakimi orang lain, berarti merasa lebih baik darinya padahal semua orang sama-sama pernah berbuat dosa dan memiliki kelemahan. Orang yang suka menghakimi orang lain adalah orang yang sombong dan tidak menghormati Tuhan. Menghakimi itu hak khusus Tuhan saja, bukan manusia. Dengan memandang rendah dan menghakimi orang lain berarti sama dengan mengambil alih kekuasaan Tuhan. Padahal bagaimanapun juga, hak Sang Pencipta Yang Kudus dan Sempurna tidak bisa diminta oleh manusia yang penuh noda. Jangan suka mencaricari kesalahan orang lain dan membesar-besarkan nya, tetapi introspeksi diri sendiri terlebih dulu. Apakah ada tindakan kita yang salah sehingga membuat orang lain membenci kita. Jika ada, perbaiki karakter pribadi dan jadi orang yang lebih bijaksana. Ketika ada orang dari suku, agama, ras, dan golongan yang berbeda, bertemanlah dengan orang tersebut.Jangan pernah menjauhi dan membeda-bedakan orang.Jangan pula membanding-bandingkan antara suku, agama, ras, dan golongan satu dengan yang lainnya.Tiap suku, agama, ras, dan golongan memiliki keunikan, kelebihan, dan kekurangan masing-masing. 4. Tidak boleh memaksakan kehendak pada orang lain Pemaksaan yang saya maksud di sini, khususnya berkaitan dengan agama. Ada orang yang berpikir bahwa ia memeluk agama yang terbaik. Mungkin memang benar demikian.Jika ingin bersaksi tentang iman di agama tertentu boleh-boleh saja.Hal ini sering saya dan temanteman saya lakukan. Namun yang salah adalah jika seseorang memaksakan kehendak pada orang lain untuk memeluk agamanya dengan menjelek-jelekkan agama lain. Jika orang lain mau percaya, itu bagus. Namun bila tidak percaya pun juga tidak menjadi masalah.Bersaksi bukan keberhasilan mengajak orang masuk agama tertentu tapi bersandar pada Tuhan yang mampu mengubahkan hati.Selain itu, kita juga menceritakan tentang kebenaran firman Tuhan baik dari Kitab Suci maupun pengalaman rohani. Jangan pernah memaksakan kehendak pada orang lain, apalagi dengan melakukan pengancaman, pengeboman, penyogokan, teror, kekerasan, dan lainlain. Semua itu hanya akan memperkeruh suasana. Tuhan tidak ingin umat-Nya saling menghancurkan sebab kejahatan dan pemaksaan itu juga pasti meremukkan hati Tuhan yang sangat memperhatikan umat Nya. 5. Menghormati dan mengasihi orang lain Apakah Anda ingin dihina oleh orang lain? Saya percaya tidak ada orang yang ingin dihina dan disepelekan. Oleh sebab itu, kita harus menyadari akan hal ini. Jangan menghina dan menjauhi orang lain bila Anda tidak mau dihina dan dijauhi. Jangan menyuruh-nyuruh orang lain jika Anda tidak ingin disuruh-suruh. Jangan memukul orang kalau tidak mau dipukul.Jangan pamer dan menyombongkan kelebihan diri jika Anda tidak suka orang yang suka pamer. Seorang pelukis yang lukisannya diinjak-injak akan sedih karena hasil karyanya diremehkan, padahal ia telah berjuang keras untuk membuat karya terbaik. Jangan memperlakukan orang lain secara kasar karena itu bukan hanya menyakiti hati sesamamu, melainkan juga hati Tuhan yang telah menciptakan manusia. Hormati dan kasihi orang lain seperti menghormati dan mengasihi diri sendiri dan juga Sang Pencipta kita. Maafkan dan ampuni orang yang bersalah pada kita walaupun mereka tidak minta maaf.Ini memang sulit.Tetapi tetaplah beriman bahwa bersama Tuhan, tidak ada yang tak mungkin asal hati kita benar-benar mau tulus mengasihi sesama dan menyenangkan hati Nya.Tiap ada kemauan untuk damai, salalu ada jalan. 6. Melakukan dan memikirkan hal-hal positif secara bersama-sama Satu hal penting yang wajib diingat oleh setiap warga Indonesia adalah: keanekaragaman suku, agama, ras, dan antar golongan itu memperlengkapi kesatuan Indonesia. Jika tubuh hanya terdiri dari mata saja, tubuh tidak dapat melakukan aktivitas lain selain melihat. Demikian pula dengan bangsa ini.Jika hanya terdiri dari satu suku saja, maka terasa kurang lengkap dan miskin budaya.SARA seharusnya semakin memperkaya budaya negeri kita tercinta dan jangan sampai memecahkan persatuan yang telah terbina selama ini. Berpikirlah positif terhadap suku, agama, ras ,dan golongan lain. Mari kita lakukan hal-hal positif seperti ramah tamah dengan banyak orang, diskusi kenegaraan, bakti sosial, dan gotong royong bersama-sama dengan orang-orang dari suku, agama, ras, dan golongan yang sama maupun berbeda. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat memupuk semangat nasionalisme, rasa kekeluargaan, dan kebersamaan antar masyarakat Indonesia. Demikianlah upaya mengatasi konflik SARA di Indonesia menurut opini saya. Perubahan besar dimulai bukan dari orang lain tapi dari diri sendiri, namun dapat berpengaruh pada orangorang di sekitar kita. Mari kita berjuang bersama untuk Indonesia yang penuh damai dan sukacita di dalam Tuhan.