laporan khusus s

advertisement
LA P O RA N K H USUS
• Selain edukasi dan modifikasi teknik radioterapi, salah satu obat yang berperan dalam
menangani mukositis ialah benzydamine,
untuk mencegah mukositis yang diinduksi
radioterapi pada pasien kanker kepala dan
leher yang mendapat radioterapi dosis menengah. Selain itu, palifermin direkomendasikan untuk mencegah mukositis oral pada
pasien dengan keganasan hematologi yang
mendapat kemoterapi dosis tinggi. Strategi
lainnya yang direkomendasikan adalah krioterapi oral dan terapi laser dosis rendah.
Sementara itu, pemberian chlorhexidine,
acyclovir, atau analognya tidak dianjurkan.
• Untuk menangani mukositis pada saluran
cerna bagian atas, dapat digunakan ranitidine, omeprazole, dan amifostine. Untuk penanganan mukositis pada saluran cerna bagian
bawah atau pelvis, dapat digunakan sulphasalazine atau enema sucralfat. Jika pasien
mengalami diare, dapat diberikan loperamide bersama rehidrasi dan, jika tidak ada
respons, dapat diberikan ocreotide dan dipertimbangkan pemberian antibiotik, seperti
golongan fluoroquinolone oral.
C DK 1 8 5 / Vo l. 38 no. 4/M ei -Juni 2011
Anorexia Cachexia Syndrome – Declan Walsh
(The Harry R. Horvitz Center for Palliative
Medicine, Cleveland Clinic)
• Kaheksia merupakan penyebab mortalitas
utama pada pasien kanker. Semakin berkurang persentase massa bebas lemak (fatfree mass), semakin menurun kemampuan
fisik dan kualitas hidup yang pada akhirnya
menyebabkan mortalitas.
• Perbedaan patofisiologi kaheksia dengan
kelaparan terletak pada mobilisasi jaringan,
laju metabolisme basal, ukuran hati, abnormalitas siklus energi dan glukosa, serta pemecahan protein. Pada kaheksia, juga terjadi
perubahan pengecapan, yaitu kepekaan terhadap rasa manis, asam, dan asin meningkat,
sementara kepekaan terhadap rasa pahit
menurun.
• Pada kondisi kaheksia akibat kanker, terjadi
kondisi inflamasi sistemik, perubahan metabolisme akibat sitokin, katabolisme jaringan
otot dan lemak, serta penurunan asupan kalori
(perannya sedikit). Diagnosis sindrom anoreksia
kaheksia ditegakkan bila terdapat penurunan
berat badan 10% bersamaan dengan asupan
makanan yang menurun dan kadar CRP 10
mg/dL.
• Terapi kondisi kaheksia pada pasien kanker
meliputi: edukasi diet, intervensi nutrisi, terapi
obat, dan psikis. Stimulan nafsu makan meliputi prokinetik (metoclopramide), hormon
(megestrol acetate, dexamethasone), psikotropika, dan anti-sitokin. Pemberian omega-3
dalam dosis 2-18 g/hari dapat menurunkan
kadar interleukin-6 dan PIF (proteolysisinducing factor) di samping menstabilkan dan
meningkatkan berat badan. (LHS)
311
LA PO R A N K H USUS
Kongres ini merupakan kongres (tahunan) yang ke-46, dilaksanakan di International Congress Centrum Berlin - Jerman sejak 30 Maret
hingga 3 April 2011, diikuti oleh lebih dari 8000 peserta. Acara diawali dengan workshop di hari pertama, dilanjutkan simposium untuk
empat hari berikutnya. Secara umum, topik yang diangkat mencakup hepatitis virus, ASH/NASH, komplikasi penyakit hati, dan keganasan.
ASH (Alcoholic Steatohepatitis)/ NASH (Non
Alcoholic Steatohepatitis)
• NASH secara independen berkaitan dengan
peningkatan plasminogen activator inhibitor-1
(PA-1). PA-1 berhubungan dengan penumpukan lemak viseral dan inflamasi sehingga
dapat meningkatkan kejadian tromboemboli
pada obesitas.
• Peranan pioglitazone dalam manajemen NASH
(non alcoholic steato hepatitis) adalah dalam
pengaturan gen yang terlibat dalam oksidasi
lemak dan meningkatkan jalur antiinflamasi
serta mengurangi proliferasi sel.
• Studi in vitro pioglitazone menunjukkan efek
hambatan terhadap proliferasi kultur sel stellate
dan aktivasi PDGFBB (platelet derived growth
factor BB).
• Data preliminary menunjukkan bahwa kombinasi terapi rosiglitazone dan metformin atau
rosiglitazone dan losartan selama 48 minggu
tidak menunukkan manfaat yang berarti dibandingkan terapi rosiglitazone tunggal jika
dinilai melalui parameter histopatologi .
• Data epidemiologi di Amerika menunjukkan
bahwa meskipun prevalensi penyebab mayoritas dan penyakit hati kronik tetap stabil atau
menurun, prevalensi NASH terus meningkat.
Suplementasi omega 3 (3000 mg/hari selama
1 tahun) dibandingkan dengan plasebo
mampu menurunkan rasio omega-6 dan
omega-3 eritrosit serta menurunkan kadar
lemak hati tanpa tergantung olahraga atau
penurunan berat badan, akan tetapi tidak memperbaiki kerusakan sel dan metabolisme
insulin.
• Terapi kombinasi silymarin-fosfatidilkolinvitamin E memperlihatkan perbaikan yang
nyata pada studi multisenter, acak, tersamar
ganda dengan pembanding plasebo di Italia
atas 179 pasien steatosis/steatohepatitis.
• Suplemen vitamin E 700 IU plus asam lipoat
alfa memberikan perbaikan nyata dalam skor
inflamasi dan steatosis pada pasien NAFLD
(non alcoholic fatty liver disease) dan NASH.
312
• Studi nasional skala besar, berbasis populasi
• positif berhasil mencapai serokonversi dengan
menyatakan bahwa konsumsi kopi dapat
menurunkan kejadian sindrom metabolik.
Selain itu konsumsi kopi juga memiliki efek
hepatoprotektif pada pasien NAFLD dengan
cara meningkatkan ekspresi dari sitokrom
P450S serta memiliki efek anti fibrosis.
Kombinasi fosfatidilkolin 300 mg-4 kali/hari
dan metformin 850 mg-2 kali sehari selama 60
hari memiliki kemaknaan klinis yang nyata
dalam penurunan kadar ALT dan trigliserida
pada pasien NASH.
Melalui pemeriksaan proton magnetic resonance spectroscopy, pemberian probiotik strain
Lactobacillus dan Bifidobacterium selama 6
bulan menurunkan kadar trigliserida sel hati.
Olah raga dengan tingkat aktivitas sedang
(tanpa penurunan berat badan) memperbaiki
kerusakan sel hati secara histologis, sedangkan penurunan sedikit berat badan selain memperbaiki kerusakan sel juga memperbaiki
aktivitas insulin.
Studi imunohistokimia memperlihatkan peningkatan ekspresi protein p90RSK, fosforilasi dan
translokasi nukleus pada sel hati pasien hepatitis alkoholik, sehingga p90RSK mungkin dapat
menjadi target terapi hepatitis alkoholik.
Sel induk untuk sel hati terkait erat dengan
kondisi penyakit hati alkoholik, pada kondisi
tersebut kemampuan regenerasi menjadi
tidak efisien.
Kombinasi losartan dengan simvastatin memperbaiki derajat perlemakan hati dan diameter VAT (visceral adipose tissue).
Controlled Attenuation Parameter (CAP)
merupakan metode yang efisien untuk mendeteksi steatosis minimalis; metode ini dapat
diimplementasikan pada alat Fibroscan®.
terapi peginterferon alfa-2a 180 µg selama 48
minggu.
Kadar HbsAg<100 IU/mL dapat memprediksi
serokonversi hingga tahun ke 3.
Efek modulasi sistem imun dari terapi
peginterferon alfa adalah melalui peningkatan
jumlah sel NK CD56, ekspresi TRAIL (TNFrelated apoptosis inducing ligand) dan produksi interferon g.
Terapi analog nukleosida seperti telbivudine
memiliki efek samping miopati dan neuropati. Penambahan vitamin D pada terapi
telbivudine pasien hepatitis B kronik dengan
genotype D dapat memperbaiki nyeri otot dan
mencegah perburukan stadium penyakitnya.
Dari penelitian di Beijing, perpanjangan durasi
terapi peginterferon alfa-2a/adefovir pada pasien
hepatitis B kronik dengan HBeAg negatif dapat
meningkatkan klirens HbsAg/serokonversi.
Antara 1/5-1/10 pasien hepatitis B memperlihatkan gangguan fungsi ginjal, baik pada
pasien yang mendapat terapi maupun tidak.
Khusus pasien yang diterapi dengan adevofir
dan memiliki gangguan fungsi ginjal, harus
dipertimbangkan untuk mencari jenis regimen
lainnya.
Penelitian lain dengan terapi yang sama pada
pasien hepatitis B kronik dengan HbeAg positif menunjukkan bahwa perpanjangan terapi
(72 minggu) lebih menurunkan rasio HbsAg,
rasio serokonversi HbeAg, rasio HBV DNA
negatif serta lebih rendahnya kejadian relaps.
Studi meta-analisis menunjukkan bahwa terapi
jangka panjang analog nukleosida pada hepatitis B kronik dapat menurunkan risiko komplikasi termasuk kejadian sirosis dekompensasi, hepatokarsinoma dan kematian. Terapi
antivirus harus diberikan sesegera mungkin
pada pasien yang membutuhkan.
Pemberian lamivudine pada kehamilan trimester terakhir meskipun relatif aman untuk
bayi, harus terus dipantau ketat karena dapat
memperpanjang peningkatan kadar ALT ibu.
•
•
•
•
•
•
•
Hepatitis B
• Serokonversi HBV DNA adalah faktor prediksi
paling penting penurunan risiko kanker hepatoseluler.
• NEPTUNE Study: 37,6% dari 114 pasien HbeAg
•
•
•
•
•
•
•
•
C D K 1 8 5 / V o l . 3 8 n o . 4 / Me i- J u n i 2 0 1 1
LA P O RA N K H USUS
• Terapi ajuvan thalidomide 200 mg/hari selama
12 bulan memperpanjang survival pasien
karsinoma hepatoseluler rekuren (stadium
II-III) dan memiliki profil tolerabilitas dan
kemanan yang baik.
•
•
Obat Baru untuk Hepatitis B
• Synthetic anti-lipopolysaccharide petides (SALP)
merupakan salah satu jenis obat hepatitis B
yang sedang dikembangkan, obat ini bekerja
menghambat perlekatan awal HBV pada permukaan sel, hambatan pada tahap awal ini
juga dapat mencegah transmisi vertikal,
infeksi ulangan pasca transplantasi hati atau
sebagai profilaksis pasca paparan HBV.
• Obat baru kombinasi lamivudine/adefovir
memiliki efikasi yang baik sebagai terapi
hepatitis B kronik, tetapi perlu diperhatikan
dampaknya pada tulang karena dapat menurunkan kadar fosfat serum.
• GS-9620 sediaan oral agonis TLR7; pada studi
fase 1 obat ini mampu meningkatkan biomarker imunologis seperti sitokin, chemokines, ISGs dan meningkatkan persentase
aktivasi sel limfosit T dan sel NK.
• DV-601 merupakan vaksin kombinasi rekombinan HbsAg dan HbcAg, digunakan pada
kasus hepatitis B kronik. Cara kerjanya melalui
stimulasi limfosit T sitotoksik dan antibodi sel
B yang memiliki respon dominan terhadap
antigen HBV.
Hepatitis virus C
• Data klinis dan data virologi menunjukkan
bahwa pada kasus infeksi Hepatitis C, telaprevir dapat diberikan selama 12 minggu
pada pasien yang sebelumnya belum pernah
diterapi maupun pada pasien yang telah menjalani terapi infeksinya. Sedangkan untuk
kombinasi peginterferon/ribavirin, lama durasi
terapinya adalah 24 minggu.
• Konsentrasi ribavirin plasma pada awal terapi
pegintereron/ribavirin tidak berbeda pada berbagai stadium penyakit, tetapi mempengaruhi
terapi anemia yang terjadi dan hasil pengobatan.
• Pada pasien infeksi HCV kronik, selain genotype HCV, polimorfisme IL-28B dan jumlah
virus, ternyata defisiensi vitamin A dapat
menghambat pencapaian sustained viral
response (SVR) pasca terapi antivirus.
• Studi prospektif di Jerman memperlihatkan
bahwa pengurangan dosis peginterferon pada
C DK 1 8 5 / Vo l. 38 no. 4/M ei -Juni 2011
•
•
•
•
•
•
•
•
LA PO R A N K H USUS
baik untuk mencapai SVR pada saat diterapi
dengan peginterferon/ribavirin.
Keberhasilan eradikasi HCV dapat memperbaiki abnormalitas kadar gula darah pada
pasien hepatitis kronik pre-diabetik.
Pada studi di Korea, pasien hepatitis C dengan
hemofilia memberikan respon terapi antivirus
yang lebih superior.
Mengontrol kadar ALT<50 pada pasien hepatitis C kronik secara nyata dapat mengurangi
penurunan kadar trombosit dan albumin serta
potensi menghambat proses hepatogenesis.
Pengontrolan kadar ALT dapat dengan
glycyrrhizin, yang saat ini telah direkomendasikan di Jepang.
Pasien hepatitis C kronik berrisiko tinggi
mengalami defisiensi berat vitamin D, sehingga suplementasi vitamin D aktif direkomendasikan pada pasien-pasien ini. Vitamin
D merupakan modulator sistem imun dan
data preliminary mengindikasikan adanya
hubungan antara defisiensi vitamin D dengan
pencapaian SVR.
pasien rawat jalan menyebabkan sedikit lebih
lamanya durasi terapi, akan tetapi yang mengejutkan adalah tidak banyak mempengaruhi SVR.
Berat badan dapat mempengaruhi konsentrasi interferon serum.
Profil metabolik mempengaruhi hasil terapi
hepatitis C kronik, akan tetapi terapi peginterferon pada berbagai stadium steatosis hati
efikasinya tidak berbeda.
Karsinoma hepatoseluler masih tetap mungkin
terjadi pada pasien yang telah diterapi antivirus dan telah mencapai SVR; faktor risikonya
: usia lanjut, laki-laki, adanya fibrosis hati dan
rendahnya kadar trombosit. Kondisi fibrosis
secara kuat mempengaruhi respon terapi peginterferon/ribavirin terutama pada serotype G1.
Terapi deferasirox pada pasien hepatitis C
dengan fibrosis dengan penumpukan kadar
Fe, dapat memperbaiki/menstabilkan fibrosis
dan memperbaiki skor nekroinflamasi.
Pasien hepatitis C dengan anemia (sering pada
wanita) cenderung memiliki respons lebih
rendah terhadap terapi antivirus. Dibutuhkan
terapi erythropietin untuk mengkoreksi kondisi anemia agar mencapai SVR.
Studi restropektif PROGRESS mengungkapkan bahwa pasien hepatitis C dengan kadar
LDL tinggi memiliki kemampuan yang lebih
• Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko
trombositopenia pada pasien yang mendapat
terapi peginterferon/ribavirin adalah: rendahnya
prothrombine time dan kolestrerol, tingginya
kadar AST dan GGT. Risiko ini juga berlaku
bahkan pada pasien tanpa sirosis.
• Mekanisme antivirus ribavirin hingga saat ini
belum diketahui pasti, suatu studi yang
mengevaluasi sisi kinetis virus pada saat
pemberian pemberian monoterapi ribavirin,
memperlihatkan penurunan HCV RNA secara
lambat tetapi konstan, sehingga diasumsikan
adanya efek tidak langsung ribavirin pada
produksi HCV (evolusi populasi HCV dengan
penurunan infeksisitas).
• Menurut IDEAL study, penurunan hitung
limfosit dan jenis kelamin wanita pada saat
menjalani terapi peginterferon/ribavirin adalah
faktor independen terkait dengan kejadian
infeksi berat.
313
314
Obat Baru untuk Hepatitis C
Beberapa jenis obat yang saat ini sedang
dikembangkan di antaranya adalah:
1. B1201335, merupakan penghambat protease NS3/A4 dari HCV yang bersifat spesifik,
dengan aktivitas antivirus yang kuat pada
infeksi HCV-genotye-1 (GT1). Dosis sekali
sehari mencapai nilai efikasi yang tinggi
dengan tolerabilitas dan keamanan yang
baik pada dua dosis (120 mg atau 240 mg
per hari). Saat ini sedang dalam persiapan
studi fase 3.
2. PS-7977, analog nukleotida uridine dengan
potensi pada tipe HCV GT2 dan GT3, tanpa
efek samping serius atau pembatasan dosis
karena kejadian toksisitas. Saat ini telah
melewati studi fase 2b.
3. CTS-1027, menghambat aktivitas matrix
metalloproteinases (MMPs) virus pada sel hati.
Kombinasi dengan ribavirin menghasilkan
penurunan ringan kadar HCV RNA pada
minggu ke 4, 12 dan 24. Pemberian CTS1027 tunggal tidak memberikan dampak
nyata terhadap kondisi viremia.
4. ACH-1625, penghambat HCV NS3, telah
menyelesaikan studi fase 1, saat ini sedang
memasuki studi fase 2, dosis yang digunakan adalah 200 mg, 400 mg dan 800 mg.
5. Danoprevir 100 mg, 2 kali/hari dikombinasi
dengan PegIFN-2a/ribavirin memberikan respon
virologis maupun toleransi yang baik pada
kasus infeksi HCV GT1b yang sebelumnya
tidak memberikan respon dengan terapi
interferon.
6. Vaksin sel T berbasis vektor adenovirus dari
serotipe yang memiliki ekspresi pada protein
NS dari HCV. Saat ini telah selesai menjalani
studi fase 1 yang menunjukkan hasil keamanan dan imunogenisitas yang tinggi
pada pasien infeksi kronis HCV. (DHS)
C D K 1 8 5 / V o l . 3 8 n o . 4 / Me i- J u n i 2 0 1 1
LA P O RA N K H USUS
• Terapi ajuvan thalidomide 200 mg/hari selama
12 bulan memperpanjang survival pasien
karsinoma hepatoseluler rekuren (stadium
II-III) dan memiliki profil tolerabilitas dan
kemanan yang baik.
•
•
Obat Baru untuk Hepatitis B
• Synthetic anti-lipopolysaccharide petides (SALP)
merupakan salah satu jenis obat hepatitis B
yang sedang dikembangkan, obat ini bekerja
menghambat perlekatan awal HBV pada permukaan sel, hambatan pada tahap awal ini
juga dapat mencegah transmisi vertikal,
infeksi ulangan pasca transplantasi hati atau
sebagai profilaksis pasca paparan HBV.
• Obat baru kombinasi lamivudine/adefovir
memiliki efikasi yang baik sebagai terapi
hepatitis B kronik, tetapi perlu diperhatikan
dampaknya pada tulang karena dapat menurunkan kadar fosfat serum.
• GS-9620 sediaan oral agonis TLR7; pada studi
fase 1 obat ini mampu meningkatkan biomarker imunologis seperti sitokin, chemokines, ISGs dan meningkatkan persentase
aktivasi sel limfosit T dan sel NK.
• DV-601 merupakan vaksin kombinasi rekombinan HbsAg dan HbcAg, digunakan pada
kasus hepatitis B kronik. Cara kerjanya melalui
stimulasi limfosit T sitotoksik dan antibodi sel
B yang memiliki respon dominan terhadap
antigen HBV.
Hepatitis virus C
• Data klinis dan data virologi menunjukkan
bahwa pada kasus infeksi Hepatitis C, telaprevir dapat diberikan selama 12 minggu
pada pasien yang sebelumnya belum pernah
diterapi maupun pada pasien yang telah menjalani terapi infeksinya. Sedangkan untuk
kombinasi peginterferon/ribavirin, lama durasi
terapinya adalah 24 minggu.
• Konsentrasi ribavirin plasma pada awal terapi
pegintereron/ribavirin tidak berbeda pada berbagai stadium penyakit, tetapi mempengaruhi
terapi anemia yang terjadi dan hasil pengobatan.
• Pada pasien infeksi HCV kronik, selain genotype HCV, polimorfisme IL-28B dan jumlah
virus, ternyata defisiensi vitamin A dapat
menghambat pencapaian sustained viral
response (SVR) pasca terapi antivirus.
• Studi prospektif di Jerman memperlihatkan
bahwa pengurangan dosis peginterferon pada
C DK 1 8 5 / Vo l. 38 no. 4/M ei -Juni 2011
•
•
•
•
•
•
•
•
LA PO R A N K H USUS
baik untuk mencapai SVR pada saat diterapi
dengan peginterferon/ribavirin.
Keberhasilan eradikasi HCV dapat memperbaiki abnormalitas kadar gula darah pada
pasien hepatitis kronik pre-diabetik.
Pada studi di Korea, pasien hepatitis C dengan
hemofilia memberikan respon terapi antivirus
yang lebih superior.
Mengontrol kadar ALT<50 pada pasien hepatitis C kronik secara nyata dapat mengurangi
penurunan kadar trombosit dan albumin serta
potensi menghambat proses hepatogenesis.
Pengontrolan kadar ALT dapat dengan
glycyrrhizin, yang saat ini telah direkomendasikan di Jepang.
Pasien hepatitis C kronik berrisiko tinggi
mengalami defisiensi berat vitamin D, sehingga suplementasi vitamin D aktif direkomendasikan pada pasien-pasien ini. Vitamin
D merupakan modulator sistem imun dan
data preliminary mengindikasikan adanya
hubungan antara defisiensi vitamin D dengan
pencapaian SVR.
pasien rawat jalan menyebabkan sedikit lebih
lamanya durasi terapi, akan tetapi yang mengejutkan adalah tidak banyak mempengaruhi SVR.
Berat badan dapat mempengaruhi konsentrasi interferon serum.
Profil metabolik mempengaruhi hasil terapi
hepatitis C kronik, akan tetapi terapi peginterferon pada berbagai stadium steatosis hati
efikasinya tidak berbeda.
Karsinoma hepatoseluler masih tetap mungkin
terjadi pada pasien yang telah diterapi antivirus dan telah mencapai SVR; faktor risikonya
: usia lanjut, laki-laki, adanya fibrosis hati dan
rendahnya kadar trombosit. Kondisi fibrosis
secara kuat mempengaruhi respon terapi peginterferon/ribavirin terutama pada serotype G1.
Terapi deferasirox pada pasien hepatitis C
dengan fibrosis dengan penumpukan kadar
Fe, dapat memperbaiki/menstabilkan fibrosis
dan memperbaiki skor nekroinflamasi.
Pasien hepatitis C dengan anemia (sering pada
wanita) cenderung memiliki respons lebih
rendah terhadap terapi antivirus. Dibutuhkan
terapi erythropietin untuk mengkoreksi kondisi anemia agar mencapai SVR.
Studi restropektif PROGRESS mengungkapkan bahwa pasien hepatitis C dengan kadar
LDL tinggi memiliki kemampuan yang lebih
• Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko
trombositopenia pada pasien yang mendapat
terapi peginterferon/ribavirin adalah: rendahnya
prothrombine time dan kolestrerol, tingginya
kadar AST dan GGT. Risiko ini juga berlaku
bahkan pada pasien tanpa sirosis.
• Mekanisme antivirus ribavirin hingga saat ini
belum diketahui pasti, suatu studi yang
mengevaluasi sisi kinetis virus pada saat
pemberian pemberian monoterapi ribavirin,
memperlihatkan penurunan HCV RNA secara
lambat tetapi konstan, sehingga diasumsikan
adanya efek tidak langsung ribavirin pada
produksi HCV (evolusi populasi HCV dengan
penurunan infeksisitas).
• Menurut IDEAL study, penurunan hitung
limfosit dan jenis kelamin wanita pada saat
menjalani terapi peginterferon/ribavirin adalah
faktor independen terkait dengan kejadian
infeksi berat.
313
314
Obat Baru untuk Hepatitis C
Beberapa jenis obat yang saat ini sedang
dikembangkan di antaranya adalah:
1. B1201335, merupakan penghambat protease NS3/A4 dari HCV yang bersifat spesifik,
dengan aktivitas antivirus yang kuat pada
infeksi HCV-genotye-1 (GT1). Dosis sekali
sehari mencapai nilai efikasi yang tinggi
dengan tolerabilitas dan keamanan yang
baik pada dua dosis (120 mg atau 240 mg
per hari). Saat ini sedang dalam persiapan
studi fase 3.
2. PS-7977, analog nukleotida uridine dengan
potensi pada tipe HCV GT2 dan GT3, tanpa
efek samping serius atau pembatasan dosis
karena kejadian toksisitas. Saat ini telah
melewati studi fase 2b.
3. CTS-1027, menghambat aktivitas matrix
metalloproteinases (MMPs) virus pada sel hati.
Kombinasi dengan ribavirin menghasilkan
penurunan ringan kadar HCV RNA pada
minggu ke 4, 12 dan 24. Pemberian CTS1027 tunggal tidak memberikan dampak
nyata terhadap kondisi viremia.
4. ACH-1625, penghambat HCV NS3, telah
menyelesaikan studi fase 1, saat ini sedang
memasuki studi fase 2, dosis yang digunakan adalah 200 mg, 400 mg dan 800 mg.
5. Danoprevir 100 mg, 2 kali/hari dikombinasi
dengan PegIFN-2a/ribavirin memberikan respon
virologis maupun toleransi yang baik pada
kasus infeksi HCV GT1b yang sebelumnya
tidak memberikan respon dengan terapi
interferon.
6. Vaksin sel T berbasis vektor adenovirus dari
serotipe yang memiliki ekspresi pada protein
NS dari HCV. Saat ini telah selesai menjalani
studi fase 1 yang menunjukkan hasil keamanan dan imunogenisitas yang tinggi
pada pasien infeksi kronis HCV. (DHS)
C D K 1 8 5 / V o l . 3 8 n o . 4 / Me i- J u n i 2 0 1 1
Download