LA P O RA N K H USUS • Selain edukasi dan modifikasi teknik radioterapi, salah satu obat yang berperan dalam menangani mukositis ialah benzydamine, untuk mencegah mukositis yang diinduksi radioterapi pada pasien kanker kepala dan leher yang mendapat radioterapi dosis menengah. Selain itu, palifermin direkomendasikan untuk mencegah mukositis oral pada pasien dengan keganasan hematologi yang mendapat kemoterapi dosis tinggi. Strategi lainnya yang direkomendasikan adalah krioterapi oral dan terapi laser dosis rendah. Sementara itu, pemberian chlorhexidine, acyclovir, atau analognya tidak dianjurkan. • Untuk menangani mukositis pada saluran cerna bagian atas, dapat digunakan ranitidine, omeprazole, dan amifostine. Untuk penanganan mukositis pada saluran cerna bagian bawah atau pelvis, dapat digunakan sulphasalazine atau enema sucralfat. Jika pasien mengalami diare, dapat diberikan loperamide bersama rehidrasi dan, jika tidak ada respons, dapat diberikan ocreotide dan dipertimbangkan pemberian antibiotik, seperti golongan fluoroquinolone oral. C DK 1 8 5 / Vo l. 38 no. 4/M ei -Juni 2011 Anorexia Cachexia Syndrome – Declan Walsh (The Harry R. Horvitz Center for Palliative Medicine, Cleveland Clinic) • Kaheksia merupakan penyebab mortalitas utama pada pasien kanker. Semakin berkurang persentase massa bebas lemak (fatfree mass), semakin menurun kemampuan fisik dan kualitas hidup yang pada akhirnya menyebabkan mortalitas. • Perbedaan patofisiologi kaheksia dengan kelaparan terletak pada mobilisasi jaringan, laju metabolisme basal, ukuran hati, abnormalitas siklus energi dan glukosa, serta pemecahan protein. Pada kaheksia, juga terjadi perubahan pengecapan, yaitu kepekaan terhadap rasa manis, asam, dan asin meningkat, sementara kepekaan terhadap rasa pahit menurun. • Pada kondisi kaheksia akibat kanker, terjadi kondisi inflamasi sistemik, perubahan metabolisme akibat sitokin, katabolisme jaringan otot dan lemak, serta penurunan asupan kalori (perannya sedikit). Diagnosis sindrom anoreksia kaheksia ditegakkan bila terdapat penurunan berat badan 10% bersamaan dengan asupan makanan yang menurun dan kadar CRP 10 mg/dL. • Terapi kondisi kaheksia pada pasien kanker meliputi: edukasi diet, intervensi nutrisi, terapi obat, dan psikis. Stimulan nafsu makan meliputi prokinetik (metoclopramide), hormon (megestrol acetate, dexamethasone), psikotropika, dan anti-sitokin. Pemberian omega-3 dalam dosis 2-18 g/hari dapat menurunkan kadar interleukin-6 dan PIF (proteolysisinducing factor) di samping menstabilkan dan meningkatkan berat badan. (LHS) 311 LA PO R A N K H USUS Kongres ini merupakan kongres (tahunan) yang ke-46, dilaksanakan di International Congress Centrum Berlin - Jerman sejak 30 Maret hingga 3 April 2011, diikuti oleh lebih dari 8000 peserta. Acara diawali dengan workshop di hari pertama, dilanjutkan simposium untuk empat hari berikutnya. Secara umum, topik yang diangkat mencakup hepatitis virus, ASH/NASH, komplikasi penyakit hati, dan keganasan. ASH (Alcoholic Steatohepatitis)/ NASH (Non Alcoholic Steatohepatitis) • NASH secara independen berkaitan dengan peningkatan plasminogen activator inhibitor-1 (PA-1). PA-1 berhubungan dengan penumpukan lemak viseral dan inflamasi sehingga dapat meningkatkan kejadian tromboemboli pada obesitas. • Peranan pioglitazone dalam manajemen NASH (non alcoholic steato hepatitis) adalah dalam pengaturan gen yang terlibat dalam oksidasi lemak dan meningkatkan jalur antiinflamasi serta mengurangi proliferasi sel. • Studi in vitro pioglitazone menunjukkan efek hambatan terhadap proliferasi kultur sel stellate dan aktivasi PDGFBB (platelet derived growth factor BB). • Data preliminary menunjukkan bahwa kombinasi terapi rosiglitazone dan metformin atau rosiglitazone dan losartan selama 48 minggu tidak menunukkan manfaat yang berarti dibandingkan terapi rosiglitazone tunggal jika dinilai melalui parameter histopatologi . • Data epidemiologi di Amerika menunjukkan bahwa meskipun prevalensi penyebab mayoritas dan penyakit hati kronik tetap stabil atau menurun, prevalensi NASH terus meningkat. Suplementasi omega 3 (3000 mg/hari selama 1 tahun) dibandingkan dengan plasebo mampu menurunkan rasio omega-6 dan omega-3 eritrosit serta menurunkan kadar lemak hati tanpa tergantung olahraga atau penurunan berat badan, akan tetapi tidak memperbaiki kerusakan sel dan metabolisme insulin. • Terapi kombinasi silymarin-fosfatidilkolinvitamin E memperlihatkan perbaikan yang nyata pada studi multisenter, acak, tersamar ganda dengan pembanding plasebo di Italia atas 179 pasien steatosis/steatohepatitis. • Suplemen vitamin E 700 IU plus asam lipoat alfa memberikan perbaikan nyata dalam skor inflamasi dan steatosis pada pasien NAFLD (non alcoholic fatty liver disease) dan NASH. 312 • Studi nasional skala besar, berbasis populasi • positif berhasil mencapai serokonversi dengan menyatakan bahwa konsumsi kopi dapat menurunkan kejadian sindrom metabolik. Selain itu konsumsi kopi juga memiliki efek hepatoprotektif pada pasien NAFLD dengan cara meningkatkan ekspresi dari sitokrom P450S serta memiliki efek anti fibrosis. Kombinasi fosfatidilkolin 300 mg-4 kali/hari dan metformin 850 mg-2 kali sehari selama 60 hari memiliki kemaknaan klinis yang nyata dalam penurunan kadar ALT dan trigliserida pada pasien NASH. Melalui pemeriksaan proton magnetic resonance spectroscopy, pemberian probiotik strain Lactobacillus dan Bifidobacterium selama 6 bulan menurunkan kadar trigliserida sel hati. Olah raga dengan tingkat aktivitas sedang (tanpa penurunan berat badan) memperbaiki kerusakan sel hati secara histologis, sedangkan penurunan sedikit berat badan selain memperbaiki kerusakan sel juga memperbaiki aktivitas insulin. Studi imunohistokimia memperlihatkan peningkatan ekspresi protein p90RSK, fosforilasi dan translokasi nukleus pada sel hati pasien hepatitis alkoholik, sehingga p90RSK mungkin dapat menjadi target terapi hepatitis alkoholik. Sel induk untuk sel hati terkait erat dengan kondisi penyakit hati alkoholik, pada kondisi tersebut kemampuan regenerasi menjadi tidak efisien. Kombinasi losartan dengan simvastatin memperbaiki derajat perlemakan hati dan diameter VAT (visceral adipose tissue). Controlled Attenuation Parameter (CAP) merupakan metode yang efisien untuk mendeteksi steatosis minimalis; metode ini dapat diimplementasikan pada alat Fibroscan®. terapi peginterferon alfa-2a 180 µg selama 48 minggu. Kadar HbsAg<100 IU/mL dapat memprediksi serokonversi hingga tahun ke 3. Efek modulasi sistem imun dari terapi peginterferon alfa adalah melalui peningkatan jumlah sel NK CD56, ekspresi TRAIL (TNFrelated apoptosis inducing ligand) dan produksi interferon g. Terapi analog nukleosida seperti telbivudine memiliki efek samping miopati dan neuropati. Penambahan vitamin D pada terapi telbivudine pasien hepatitis B kronik dengan genotype D dapat memperbaiki nyeri otot dan mencegah perburukan stadium penyakitnya. Dari penelitian di Beijing, perpanjangan durasi terapi peginterferon alfa-2a/adefovir pada pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg negatif dapat meningkatkan klirens HbsAg/serokonversi. Antara 1/5-1/10 pasien hepatitis B memperlihatkan gangguan fungsi ginjal, baik pada pasien yang mendapat terapi maupun tidak. Khusus pasien yang diterapi dengan adevofir dan memiliki gangguan fungsi ginjal, harus dipertimbangkan untuk mencari jenis regimen lainnya. Penelitian lain dengan terapi yang sama pada pasien hepatitis B kronik dengan HbeAg positif menunjukkan bahwa perpanjangan terapi (72 minggu) lebih menurunkan rasio HbsAg, rasio serokonversi HbeAg, rasio HBV DNA negatif serta lebih rendahnya kejadian relaps. Studi meta-analisis menunjukkan bahwa terapi jangka panjang analog nukleosida pada hepatitis B kronik dapat menurunkan risiko komplikasi termasuk kejadian sirosis dekompensasi, hepatokarsinoma dan kematian. Terapi antivirus harus diberikan sesegera mungkin pada pasien yang membutuhkan. Pemberian lamivudine pada kehamilan trimester terakhir meskipun relatif aman untuk bayi, harus terus dipantau ketat karena dapat memperpanjang peningkatan kadar ALT ibu. • • • • • • • Hepatitis B • Serokonversi HBV DNA adalah faktor prediksi paling penting penurunan risiko kanker hepatoseluler. • NEPTUNE Study: 37,6% dari 114 pasien HbeAg • • • • • • • • C D K 1 8 5 / V o l . 3 8 n o . 4 / Me i- J u n i 2 0 1 1 LA P O RA N K H USUS • Terapi ajuvan thalidomide 200 mg/hari selama 12 bulan memperpanjang survival pasien karsinoma hepatoseluler rekuren (stadium II-III) dan memiliki profil tolerabilitas dan kemanan yang baik. • • Obat Baru untuk Hepatitis B • Synthetic anti-lipopolysaccharide petides (SALP) merupakan salah satu jenis obat hepatitis B yang sedang dikembangkan, obat ini bekerja menghambat perlekatan awal HBV pada permukaan sel, hambatan pada tahap awal ini juga dapat mencegah transmisi vertikal, infeksi ulangan pasca transplantasi hati atau sebagai profilaksis pasca paparan HBV. • Obat baru kombinasi lamivudine/adefovir memiliki efikasi yang baik sebagai terapi hepatitis B kronik, tetapi perlu diperhatikan dampaknya pada tulang karena dapat menurunkan kadar fosfat serum. • GS-9620 sediaan oral agonis TLR7; pada studi fase 1 obat ini mampu meningkatkan biomarker imunologis seperti sitokin, chemokines, ISGs dan meningkatkan persentase aktivasi sel limfosit T dan sel NK. • DV-601 merupakan vaksin kombinasi rekombinan HbsAg dan HbcAg, digunakan pada kasus hepatitis B kronik. Cara kerjanya melalui stimulasi limfosit T sitotoksik dan antibodi sel B yang memiliki respon dominan terhadap antigen HBV. Hepatitis virus C • Data klinis dan data virologi menunjukkan bahwa pada kasus infeksi Hepatitis C, telaprevir dapat diberikan selama 12 minggu pada pasien yang sebelumnya belum pernah diterapi maupun pada pasien yang telah menjalani terapi infeksinya. Sedangkan untuk kombinasi peginterferon/ribavirin, lama durasi terapinya adalah 24 minggu. • Konsentrasi ribavirin plasma pada awal terapi pegintereron/ribavirin tidak berbeda pada berbagai stadium penyakit, tetapi mempengaruhi terapi anemia yang terjadi dan hasil pengobatan. • Pada pasien infeksi HCV kronik, selain genotype HCV, polimorfisme IL-28B dan jumlah virus, ternyata defisiensi vitamin A dapat menghambat pencapaian sustained viral response (SVR) pasca terapi antivirus. • Studi prospektif di Jerman memperlihatkan bahwa pengurangan dosis peginterferon pada C DK 1 8 5 / Vo l. 38 no. 4/M ei -Juni 2011 • • • • • • • • LA PO R A N K H USUS baik untuk mencapai SVR pada saat diterapi dengan peginterferon/ribavirin. Keberhasilan eradikasi HCV dapat memperbaiki abnormalitas kadar gula darah pada pasien hepatitis kronik pre-diabetik. Pada studi di Korea, pasien hepatitis C dengan hemofilia memberikan respon terapi antivirus yang lebih superior. Mengontrol kadar ALT<50 pada pasien hepatitis C kronik secara nyata dapat mengurangi penurunan kadar trombosit dan albumin serta potensi menghambat proses hepatogenesis. Pengontrolan kadar ALT dapat dengan glycyrrhizin, yang saat ini telah direkomendasikan di Jepang. Pasien hepatitis C kronik berrisiko tinggi mengalami defisiensi berat vitamin D, sehingga suplementasi vitamin D aktif direkomendasikan pada pasien-pasien ini. Vitamin D merupakan modulator sistem imun dan data preliminary mengindikasikan adanya hubungan antara defisiensi vitamin D dengan pencapaian SVR. pasien rawat jalan menyebabkan sedikit lebih lamanya durasi terapi, akan tetapi yang mengejutkan adalah tidak banyak mempengaruhi SVR. Berat badan dapat mempengaruhi konsentrasi interferon serum. Profil metabolik mempengaruhi hasil terapi hepatitis C kronik, akan tetapi terapi peginterferon pada berbagai stadium steatosis hati efikasinya tidak berbeda. Karsinoma hepatoseluler masih tetap mungkin terjadi pada pasien yang telah diterapi antivirus dan telah mencapai SVR; faktor risikonya : usia lanjut, laki-laki, adanya fibrosis hati dan rendahnya kadar trombosit. Kondisi fibrosis secara kuat mempengaruhi respon terapi peginterferon/ribavirin terutama pada serotype G1. Terapi deferasirox pada pasien hepatitis C dengan fibrosis dengan penumpukan kadar Fe, dapat memperbaiki/menstabilkan fibrosis dan memperbaiki skor nekroinflamasi. Pasien hepatitis C dengan anemia (sering pada wanita) cenderung memiliki respons lebih rendah terhadap terapi antivirus. Dibutuhkan terapi erythropietin untuk mengkoreksi kondisi anemia agar mencapai SVR. Studi restropektif PROGRESS mengungkapkan bahwa pasien hepatitis C dengan kadar LDL tinggi memiliki kemampuan yang lebih • Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko trombositopenia pada pasien yang mendapat terapi peginterferon/ribavirin adalah: rendahnya prothrombine time dan kolestrerol, tingginya kadar AST dan GGT. Risiko ini juga berlaku bahkan pada pasien tanpa sirosis. • Mekanisme antivirus ribavirin hingga saat ini belum diketahui pasti, suatu studi yang mengevaluasi sisi kinetis virus pada saat pemberian pemberian monoterapi ribavirin, memperlihatkan penurunan HCV RNA secara lambat tetapi konstan, sehingga diasumsikan adanya efek tidak langsung ribavirin pada produksi HCV (evolusi populasi HCV dengan penurunan infeksisitas). • Menurut IDEAL study, penurunan hitung limfosit dan jenis kelamin wanita pada saat menjalani terapi peginterferon/ribavirin adalah faktor independen terkait dengan kejadian infeksi berat. 313 314 Obat Baru untuk Hepatitis C Beberapa jenis obat yang saat ini sedang dikembangkan di antaranya adalah: 1. B1201335, merupakan penghambat protease NS3/A4 dari HCV yang bersifat spesifik, dengan aktivitas antivirus yang kuat pada infeksi HCV-genotye-1 (GT1). Dosis sekali sehari mencapai nilai efikasi yang tinggi dengan tolerabilitas dan keamanan yang baik pada dua dosis (120 mg atau 240 mg per hari). Saat ini sedang dalam persiapan studi fase 3. 2. PS-7977, analog nukleotida uridine dengan potensi pada tipe HCV GT2 dan GT3, tanpa efek samping serius atau pembatasan dosis karena kejadian toksisitas. Saat ini telah melewati studi fase 2b. 3. CTS-1027, menghambat aktivitas matrix metalloproteinases (MMPs) virus pada sel hati. Kombinasi dengan ribavirin menghasilkan penurunan ringan kadar HCV RNA pada minggu ke 4, 12 dan 24. Pemberian CTS1027 tunggal tidak memberikan dampak nyata terhadap kondisi viremia. 4. ACH-1625, penghambat HCV NS3, telah menyelesaikan studi fase 1, saat ini sedang memasuki studi fase 2, dosis yang digunakan adalah 200 mg, 400 mg dan 800 mg. 5. Danoprevir 100 mg, 2 kali/hari dikombinasi dengan PegIFN-2a/ribavirin memberikan respon virologis maupun toleransi yang baik pada kasus infeksi HCV GT1b yang sebelumnya tidak memberikan respon dengan terapi interferon. 6. Vaksin sel T berbasis vektor adenovirus dari serotipe yang memiliki ekspresi pada protein NS dari HCV. Saat ini telah selesai menjalani studi fase 1 yang menunjukkan hasil keamanan dan imunogenisitas yang tinggi pada pasien infeksi kronis HCV. (DHS) C D K 1 8 5 / V o l . 3 8 n o . 4 / Me i- J u n i 2 0 1 1 LA P O RA N K H USUS • Terapi ajuvan thalidomide 200 mg/hari selama 12 bulan memperpanjang survival pasien karsinoma hepatoseluler rekuren (stadium II-III) dan memiliki profil tolerabilitas dan kemanan yang baik. • • Obat Baru untuk Hepatitis B • Synthetic anti-lipopolysaccharide petides (SALP) merupakan salah satu jenis obat hepatitis B yang sedang dikembangkan, obat ini bekerja menghambat perlekatan awal HBV pada permukaan sel, hambatan pada tahap awal ini juga dapat mencegah transmisi vertikal, infeksi ulangan pasca transplantasi hati atau sebagai profilaksis pasca paparan HBV. • Obat baru kombinasi lamivudine/adefovir memiliki efikasi yang baik sebagai terapi hepatitis B kronik, tetapi perlu diperhatikan dampaknya pada tulang karena dapat menurunkan kadar fosfat serum. • GS-9620 sediaan oral agonis TLR7; pada studi fase 1 obat ini mampu meningkatkan biomarker imunologis seperti sitokin, chemokines, ISGs dan meningkatkan persentase aktivasi sel limfosit T dan sel NK. • DV-601 merupakan vaksin kombinasi rekombinan HbsAg dan HbcAg, digunakan pada kasus hepatitis B kronik. Cara kerjanya melalui stimulasi limfosit T sitotoksik dan antibodi sel B yang memiliki respon dominan terhadap antigen HBV. Hepatitis virus C • Data klinis dan data virologi menunjukkan bahwa pada kasus infeksi Hepatitis C, telaprevir dapat diberikan selama 12 minggu pada pasien yang sebelumnya belum pernah diterapi maupun pada pasien yang telah menjalani terapi infeksinya. Sedangkan untuk kombinasi peginterferon/ribavirin, lama durasi terapinya adalah 24 minggu. • Konsentrasi ribavirin plasma pada awal terapi pegintereron/ribavirin tidak berbeda pada berbagai stadium penyakit, tetapi mempengaruhi terapi anemia yang terjadi dan hasil pengobatan. • Pada pasien infeksi HCV kronik, selain genotype HCV, polimorfisme IL-28B dan jumlah virus, ternyata defisiensi vitamin A dapat menghambat pencapaian sustained viral response (SVR) pasca terapi antivirus. • Studi prospektif di Jerman memperlihatkan bahwa pengurangan dosis peginterferon pada C DK 1 8 5 / Vo l. 38 no. 4/M ei -Juni 2011 • • • • • • • • LA PO R A N K H USUS baik untuk mencapai SVR pada saat diterapi dengan peginterferon/ribavirin. Keberhasilan eradikasi HCV dapat memperbaiki abnormalitas kadar gula darah pada pasien hepatitis kronik pre-diabetik. Pada studi di Korea, pasien hepatitis C dengan hemofilia memberikan respon terapi antivirus yang lebih superior. Mengontrol kadar ALT<50 pada pasien hepatitis C kronik secara nyata dapat mengurangi penurunan kadar trombosit dan albumin serta potensi menghambat proses hepatogenesis. Pengontrolan kadar ALT dapat dengan glycyrrhizin, yang saat ini telah direkomendasikan di Jepang. Pasien hepatitis C kronik berrisiko tinggi mengalami defisiensi berat vitamin D, sehingga suplementasi vitamin D aktif direkomendasikan pada pasien-pasien ini. Vitamin D merupakan modulator sistem imun dan data preliminary mengindikasikan adanya hubungan antara defisiensi vitamin D dengan pencapaian SVR. pasien rawat jalan menyebabkan sedikit lebih lamanya durasi terapi, akan tetapi yang mengejutkan adalah tidak banyak mempengaruhi SVR. Berat badan dapat mempengaruhi konsentrasi interferon serum. Profil metabolik mempengaruhi hasil terapi hepatitis C kronik, akan tetapi terapi peginterferon pada berbagai stadium steatosis hati efikasinya tidak berbeda. Karsinoma hepatoseluler masih tetap mungkin terjadi pada pasien yang telah diterapi antivirus dan telah mencapai SVR; faktor risikonya : usia lanjut, laki-laki, adanya fibrosis hati dan rendahnya kadar trombosit. Kondisi fibrosis secara kuat mempengaruhi respon terapi peginterferon/ribavirin terutama pada serotype G1. Terapi deferasirox pada pasien hepatitis C dengan fibrosis dengan penumpukan kadar Fe, dapat memperbaiki/menstabilkan fibrosis dan memperbaiki skor nekroinflamasi. Pasien hepatitis C dengan anemia (sering pada wanita) cenderung memiliki respons lebih rendah terhadap terapi antivirus. Dibutuhkan terapi erythropietin untuk mengkoreksi kondisi anemia agar mencapai SVR. Studi restropektif PROGRESS mengungkapkan bahwa pasien hepatitis C dengan kadar LDL tinggi memiliki kemampuan yang lebih • Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko trombositopenia pada pasien yang mendapat terapi peginterferon/ribavirin adalah: rendahnya prothrombine time dan kolestrerol, tingginya kadar AST dan GGT. Risiko ini juga berlaku bahkan pada pasien tanpa sirosis. • Mekanisme antivirus ribavirin hingga saat ini belum diketahui pasti, suatu studi yang mengevaluasi sisi kinetis virus pada saat pemberian pemberian monoterapi ribavirin, memperlihatkan penurunan HCV RNA secara lambat tetapi konstan, sehingga diasumsikan adanya efek tidak langsung ribavirin pada produksi HCV (evolusi populasi HCV dengan penurunan infeksisitas). • Menurut IDEAL study, penurunan hitung limfosit dan jenis kelamin wanita pada saat menjalani terapi peginterferon/ribavirin adalah faktor independen terkait dengan kejadian infeksi berat. 313 314 Obat Baru untuk Hepatitis C Beberapa jenis obat yang saat ini sedang dikembangkan di antaranya adalah: 1. B1201335, merupakan penghambat protease NS3/A4 dari HCV yang bersifat spesifik, dengan aktivitas antivirus yang kuat pada infeksi HCV-genotye-1 (GT1). Dosis sekali sehari mencapai nilai efikasi yang tinggi dengan tolerabilitas dan keamanan yang baik pada dua dosis (120 mg atau 240 mg per hari). Saat ini sedang dalam persiapan studi fase 3. 2. PS-7977, analog nukleotida uridine dengan potensi pada tipe HCV GT2 dan GT3, tanpa efek samping serius atau pembatasan dosis karena kejadian toksisitas. Saat ini telah melewati studi fase 2b. 3. CTS-1027, menghambat aktivitas matrix metalloproteinases (MMPs) virus pada sel hati. Kombinasi dengan ribavirin menghasilkan penurunan ringan kadar HCV RNA pada minggu ke 4, 12 dan 24. Pemberian CTS1027 tunggal tidak memberikan dampak nyata terhadap kondisi viremia. 4. ACH-1625, penghambat HCV NS3, telah menyelesaikan studi fase 1, saat ini sedang memasuki studi fase 2, dosis yang digunakan adalah 200 mg, 400 mg dan 800 mg. 5. Danoprevir 100 mg, 2 kali/hari dikombinasi dengan PegIFN-2a/ribavirin memberikan respon virologis maupun toleransi yang baik pada kasus infeksi HCV GT1b yang sebelumnya tidak memberikan respon dengan terapi interferon. 6. Vaksin sel T berbasis vektor adenovirus dari serotipe yang memiliki ekspresi pada protein NS dari HCV. Saat ini telah selesai menjalani studi fase 1 yang menunjukkan hasil keamanan dan imunogenisitas yang tinggi pada pasien infeksi kronis HCV. (DHS) C D K 1 8 5 / V o l . 3 8 n o . 4 / Me i- J u n i 2 0 1 1