BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kenakalan Remaja 2.1.1 Definisi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kenakalan Remaja
2.1.1
Definisi Kenakalan Remaja
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kenakalan dengan kata dasar
nakal adalah suka berbuat tidak baik, suka mengganggu, dan suka tidak menurut.
Sedangkan kenakalan adalah perbuatan nakal, perbuatan tidak baik dan bersifat
mengganggu ketenangan orang lain atau tingkah laku yang melanggar norma
kehidupan masyarakat. Definisi kenakalan remaja menurut para ahli, salah
satunya adalah Kartono (2003) seorang ilmuan sosiologi mengemukakan
pendapatnya bahwa kenakalan remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan
istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang
disebabkan
oleh
satu
bentuk
pengabaian
sosial.
Akibatnya,
mereka
mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Kenakalan remaja
merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima
secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal.
Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari normanorma hukum pidana yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersebut akan
merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Pada dasarnya
kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai
dengan norma-norma yang hidup di dalam masyarakatnya. Kartini Kartono (2003
: 17-19) mengatakan remaja yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat sosial.
10 Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada
ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai
suatu kelainan dan disebut “kenakalan”.
Singgih D. Gunarso (2003), mengatakan dari segi hukum kenakalan
remaja digolongkandalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma
hukum yaitu : (1) kenakalan yangbersifat amoral dan sosial serta tidak diantar
dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai
pelanggaran hukum ; (2) kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan
penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama
dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa.
Menurut pandangan atau teori Durkheim (2002) dapat dikatakan
kenakalan remaja disebabkan oleh ketidak berfungsian salah satu organisasi social
yang dalam masalah ini adalah organisasi keluarga. Istilah keberfungsian sosial
mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh individu akan kolektivitas seperti
keluarga
dalam
bertingkah
laku
agar
dapat
melaksanakan
tugas-tugas
kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya. Juga dapat diartikan sebagai
kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok bagi penampilan beberapa
peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap individu sebagai
konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat.
Menurut Hurlock (2000: 307), masa remaja awal, dengan usia 13 sampai
16 tahun adalah masa transisi yang tidak menyenangkan di mana terjadi juga
perubahan sosial. Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan
masa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku
11 menyimpang. Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang
kurang kondusif dan sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu
timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang
melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut
dengan kenakalan remaja. Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remajaremaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik
pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan
masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan
emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud
dari konflik- konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak
maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam
masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya,
maupun trauma terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang
membuatnya merasa rendah diri, dan sebagainya.
2.1.2
Aspek-Aspek Kenakalan Remaja
Menurut kartono (2003) aspek-aspekkenakalan remaja dibagi menjadi empat,
yaitu:
a. Kenakalan terisolir (Delinkuensi terisolir) Kelompok ini merupakan jumlah
terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan
psikologis. Perbuatan nakal mereka didorong oleh faktor-faktor berikut:
1) Keinginan meniru dan ingin bersama dengan gangnya, jadi tidak ada motivasi,
kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.
12 2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya yang
memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya gang-gang
kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja merasa diterima,
mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestasi tertentu.
3) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan
mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan
semua kebutuhan dasarnya ditengah lingkungan kriminal. Gang remaja nakal
memberikan alternatif hidup yang menyenangkan.
4) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan
supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak
sanggup menginternalisasikan norma hidup normal.
Ringkasnya delinkuen terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari
lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan rasa aman dari kelompok
gangnya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal ini meninggalkan
perilaku kriminalnya, paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perilakunya
pada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan dirinya
sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang dewasa yang
memulai memasuki peran sosial yang baru.
b. Kenakalan neurotik (Delinkuensi neurotik) Pada umunya, remaja nakal tipe ini
menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa kecemasan,
merasa selalu tidak aman, merasa bersalah dan berdosa dan lain sebagainya.
Menurut Kartono (2003), Ciri-ciri perilakunya adalah:
13 1) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat
dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai
subkultur gang yang kriminal itu saja.
2) perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang
belum terselesaiakan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat pelepas
ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya.
3) Biasanya
remaja
ini
melakukan
kejahatan
seorang
diri,
dan
mempraktekkan jenis kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa
kemudian membunuh korbanya, kriminal sekaligus neurotik.
4) Remaja nakal ini banyak berasal dari kalangan menengah, namun pada
umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang
parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau psikotik.
5) Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari
lingkungan orang dewasa atau anak-anak remaja lainya.
6) Motif kejahatannya berbeda-beda.
7) Perilakunya menunjukan kualitas kompulsif (paksaan)
Tingkah laku kenakalan neurotik berlangsung atas dasar konflik jiwani yang
serius atau mendalam sekali, maka mereka akan terus melanjutkan tingkah laku
kejahatanya sampai usia dewasa bahkan sampai umur tua.
c. Kenakalan psikotik (Delinkuensi psikopatik)Delinkuensi psikopatik ini sedikit
jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka
merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka
adalah:
14 1) Hampir seluruh remaja Delinkuensi psikopatik ini berasala dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga,
berdisiplin keras namun tidak konsisten dan orangtuanya selalu menyia-nyiakan
mereka, sehingga mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan efeksi
dan tidak mampu menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan
orang lain.
2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan
pelanggaran.
3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau dan
tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya
mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali
diperbaiki.
4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma
sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli terhadap norma subkultur gangnya
sendiri.
5) Kebanyakan
dari
mereka
juga
menderita
gangguan
neurologis,
sehingga menggurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri.
Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik sebagai
berikut: tidak memiliki peengorganisasian dan integrasi diri, orangnya tidak
pernah bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai konflik dengan norma
sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis, anti sosial dan selalu menentang apa
dan siapapun. Sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis terhadap siapapun tanpa
sebab.
15 d. Kenakalan defek moral (Delinkuensi defek moral) Defek (defect, defectus) artinya
rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral
mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan tindakan anti sosial, walaupun pada dirinya
tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada inteligensinya.
Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal
dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan
mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan
dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin
tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional. Terdapat
kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan super
egonya sangat lemah. Implusnya tetap pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol
dan dikendalikan.
2.1.3
Karakteristik Remaja Nakal
Menurut Kartono (2003), remaja nakal itu mempunyai karakteristik umum
yang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal.Perbedaan itu mencakup:
a. Perbedaan struktur intelektual
Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan inteligensi remaja yang
normal, namun jelas terdapat fungsi-fungsi kognitif khusus yang berbeda biasanya
remaja nakal ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi dari
pada nilai untuk keterampilan verbal (tes Wechsler). Mereka kurang toleran
terrhadap
hal-hal
yang
ambisius
biasanya
mereka
kurang
mampu
16 memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak menghargai pribadi lain
dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri.
b. Perubahan fisik dan psikis
Remaja yang nakal ini memiliki perbedaan ciri karakteristik yang jasmaniah sejak
lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar,
berotot kuat, dan pada umumnya bersikap lebih agresif.
c. Ciri karakteristik individual
Menurut Kartono (2003), Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian
khusus yang menyimpang seperti:
1) Rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenangsenang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan.
2) Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.
3) Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu
mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab secara sosial.
4) Mereka senang ikut serta dalam kegiatan tanpa berpikir yang merangsang rasa
kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya resiko dan bahaya yang
terkandung di dalamnya.
5) Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya.
6) Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.
7) Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka menjadi liar dan
jahat. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja nakal biasanya berbeda
dengan remaja yang tidak nakal. Remaja nakal biasanya lebih ambivalen terhadap
17 otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai kontrol diri yang kurang, tidak
mempunyai orientasi pada masa depan dan kurangnya kemasakan sosial, sehingga
sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
2.1.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja
Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock (2007) lebih rinci dijelaskan
sebagai berikut:
a. Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Santrock (2007) masa
remaja ada pada tahap dimana krisis identitas versus difusi identitas harus di atasi.
Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi
terjadi pada kepribadian remaja, terbentuknya perasaan dan konsistensi dalam
kehidupanya dan tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara
menggabungkan motivasi, nilai-nilai, keemampuan dan gaya yang dimiliki remaja
dengan peran yang di tuntut dari remaja. Erikson (dalam Feist & Feist,
2008)dalam santrock (2007) percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama
ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang
melibatkan aspek-aspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang
memiliki masa balita, masa anak-anak atau masa remaja yang membatasi mereka
dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka
merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibedakan pada mereka, mungkin
akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini
mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan, oleh karena itu bagi
18 Erikson (dalam Feist & Feist, 2008) dalam Santrock (2007) kenakalan adalah
suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.
b. Kontrol diri
Kenakalan
remaja
juga
dapat
digambarkan
sebagai
kegagalan
untuk
mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku.Beberapa anak
gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki
orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari
perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak
dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini.
Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang
tidak dapat diterima, atau mungkin merasa sebenarnya sudah mengetahui
perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai
dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka.
c.
Usia
Munculnya tingkah laku anti sosial diusia dini berhubungan dengan penyerangan
serius nantinya dimasa remaja, namun demikian tidak semua anak yang
bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan. Kartono
(2003) menunjukan bahwa pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal tipe terisolir
meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60% dari mereka
menghentikan perbuatanya pada usia 21 sampai 23 tahun.
19 d. Jenis kelamin
Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada
perempuan. Menurut cacatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya jumlah
remaja laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50
kali lipat dari pada gang remaja perempuan.
e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah
terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu
bermanfaat untuk kehidupanya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap
sekolah cenderung rendah dan mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah.
f. Proses keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja.
Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap
aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang
orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja.
g. Pengaruh teman sebaya
Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko
remaja untuk menjadi nakal.
h. Kelas sosial ekonomi
Ada kencenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas
sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di
20 antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki
banyak perlakuan khusus diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2003). Hal ini disebabkan
kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan
keterampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa
mereka akan mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan
anti sosial. Menjadi tangguh adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari
kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh
keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri
setelah melakukan kenakalan.
i.
Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja.
Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati
berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau
penghargaan atas aktivitas kriminal mereka.
2.2
Kontrol Diri
2.2.1 Pengertian Kontrol Diri
Banyak teori yang menganggap bahwa perilaku menyimpang terutama
kejahatan adalah hasil belajar individu dari lingkungan atau akibat tekanan suatu
keadaan tertentu. Thomas F. Denson (2012) dalam jurnal nya yang berjudul “ Self
Control and Agression “ menyatakan bahwa kebanyakan teori dan jurnal
berkaitan dengan agresi atau perilaku delinkuen mengabaikan faktor eksternal dari
dalam diri. Ketika dorongan untuk berbuat menyimpang maupun agresi sedang
21 mencapai puncaknya, kontrol diri dapat membantu individu menurunkan agresi
dengan mempertimbangkan aspek aturan dan normal sosial yang berlaku.
Kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk menentukan
perilakunya berdasarkan standar tertentu seperti moral, nilai, dan aturan
dimasyarakat agar mengarah pada perilaku positif (Tangney, 2004). Sedangkan
kenakalan remaja ialah remajamelakukan tindakan melanggar aturan yang dapat
mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya maupun orang lain.
Snyder dan Gangestad (dalam Roosianti,2009) mengatakan bahwa konsep
mengenai kontrol diri secara langsung sangat relevan untuk melihat hubungan
antara pribadi dengan lingkungan masyarakat dalam mengatur kesan masyarakat
yang sesuai dengan isyarat situasional dalam bersikap dan berpendirian yang
efektif. Individu dengan kontrol diri tinggi sangat memperhatikan cara-cara yang
tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi.
Kontrol diri merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan
digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan, termasuk dalam
menghadapi kondisi yang terdapat di lingkungan tempat tinggalnya. Para ahli
berpendapat bahwa selain dapat mereduksi efek-efek psikologis yang negatif dari
stressor-stessor lingkungan, kontrol diri juga dapat digunakan sebagai suatu
intervensi yang bersifat pencegahan (Gustinawati, dalam Zulkarnain, 2002).
Schuster dan Ashburn (dalam Indriana, 2004) kontrol diri merupakan salah
satu komponen krusial dari perkembangan psiko-sosial pada masa kanak-kanak
dan masa sebelum masuk sekolah. Pada masa ini, anak akan belajar dari orang
22 tuanya bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan apa yang baik untuk
dilakukan dan perilaku apa yang harus dihindari. Bila orang tua menerapkan
kepada anaknya sikap disiplin secara intens sejak dini dan konsisten terhadap
semua konsekuensi yang dilakukan anak bila menyimpang dari yang sudah
diterapkan, maka sikap konsisten ini akan diinternalisasikan oleh anak. Orangtua
bukanlah satu-satunya faktor penentu bagi perkembangan moral anak, namun
orangtua
memiliki
peranan
yang
paling
penting
untuk
mengarahkan
perkembangan moral anak (Gunarsa, 2010).
2.2.2
Aspek-aspek kontrol diri
Block dan Block (dalam Melnick & Hinshaw, 2000) menjelaskan ada tiga
jenis kualitas kontrol diri, yaitu over control, under control, dan appropriate
control. Over control merupakan kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara
berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam beraksi
terhadap stimulus. Under control merupakan suatu kecenderungan individu untuk
melepaskan impuls dengan bebas tanpa perhitungan yang masak. Appropriate
control merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan impuls secara
tepat.Berdasarkan Konsep Averill (dalam Herlina Siwi, 2000), terdapat 3 jenis
kemampuan mengontrol diri yang meliputi 5 aspek. Averill menyebut kontrol diri
dengan sebutan kontrol personal, yaitu kontrol perilaku (behavior control),
Kontrol kognitif (cognitive control), dan mengontrol keputusan (decisional
control).
23 a. Behavioral Control
Merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung
mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.
Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu
mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi
stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan
kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau
keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Individu yang kemampuan
mengontrol dirinya baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan
kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber
eksternal. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk
mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki
dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau
menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus
yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir,
dan membatasi intensitasnya.
b. Cognitive Control
Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak
diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu
kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk
mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh
informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan
informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak
24 menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai
pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan dan
menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi
positif secara subjektif.
c. Decisional Control
Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan
berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam
menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan,
kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai
kemungkinan tindakan. Dari uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur
kontrol diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut :
1) Kemampuan mengontrol perilaku
2) Kemampuan mengontrol stimulus
3) Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian
4) Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian
5) Kemampuan mengambil keputusan
2.2.3
Fungsi Kontrol Diri
Self control mempunyai peran besar untuk pembentukan perilaku yang baik dan
kontruktif, Gul dan Pesendofer (2000) menyatakan fungsi pengendalian diri
adalah untuk menyelaraskan antara keinginan pribadi self interest dengan godaan
(temptation). Kemampuan seseorang mengendalikan keinginan-keinginan diri dan
menghindari godaan ini sangat berperan dalam pembentukan perilaku yang baik.
25 Ada kecenderungan manusiawi dalam diri remaja untuk berperilaku semaunya,
ada kecenderungan remaja untuk menentang aturan, tidak patuh pada orang tua.
Messina dan Messina (2003) mengemukakan fungsi dari self control sebagaimana
tertuang di bawah ini :
a. membatasi perhatian individu pada orang lain
b. membatasi keinginan untuk mengendalikan orang lain di lingkungannya
c. membatasi untuk bertingkah laku negatif
d. membantu memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang
Surya (2009) menambahkan fungsi self control adalah mengatur kekuatan
dorongan yang menjadi inti tingkat kesanggupan, keinginan, keyakinan,
keberanian dan emosi yang ada dalam diri seseorang. Self control sangat
diperlukan agar seseorang tidak terlibat dalam pelanggaran norma keluarga,
sekolah dan masyarakat. Santrock (dalamSobur, 2003) menyebut beberapa
perilaku yang melanggar norma yang memerlukan self control kuat meliputi dua
jenis pelanggaran, yaitu tipe tindakan pelanggaran ringan (status-offenses) dan
pelanggara berat (index-offenses). Pelanggaran norma tersebut secara rinci
meliputi :
a. tindakan yang tidak diterima masyarakat sekitar karena bertentangan dengan nilai
dan norma yang berlaku masyarakat, seperti bicara kasar dengan orang tua dan
guru
26 b. pelanggaran ringan yaitu; melarikan diri dari rumah dan membolos
c. pelanggaran berat merupakan tindakan kriminal seperti merampok, menodong,
membunuh, menggunakan obat terlarang.
2.3
Religiusitas
2.3.1 Pengertian Religiusitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata religius berarti hal yang
bersifat religi, yaitu hal-hal yang bersifat keagamaan. Sedangkan Menurut Wilcox
(2012) mengatakan bahwa kata “religion” berasal dari bahasa Latin religare yang
berarti kembali (re) dan mengikat bersama (ligare). Kamus sendiri memberikan
banyak definisi yang berbeda-beda, diantaranya: kepercayaan terhadap kekuatan
yang bersifat ketuhanan, ekspresi dari kepercayaan ini, sistem kepercayaan yang
khusus (baik yang bersifat suci maupun profan), jalan hidup dalam menyatakan
rasa cinta dan kepercayaan terhadap Tuhan.
Menurut James Martineau (dalam Rakhmat, 2005) agama adalah
kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak
Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat
manusia.
Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2008) agama adalah sistem
simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan,
yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang
paling maknawi (ultimate meaning). Religiusitas berkaitan erat dengan agama
(religion). Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia.
Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku
27 ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivias lain yang didorong oleh
kekuatan supranatural.
Sedangkan menurut Dister (dalam Andisti, 2008) religiusitas adalah sikap
batin pribadi (personal) setiap manusia di hadapan Tuhan yang sedikit banyak
merupakan misteri bagi orang lain, yang mencakup totalitas kedalam pribadi
manusia. Sebagai sikap batin, religiusitas tidak dapat dilihat secara langsung
namun bisa tampak dari pengungkapan sikap tersebut.
Selanjutnya
mendefinisikan
menurut
bahwa
Abdul
religiusitas
Mujib
adalah
(dalam
Jauharuddin,
kemampuan
individu
2012)
untuk
menjalankan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan
ketakwaan.
Religiusitas yang dimaksud dalam penelitian ini suatu sikap keagamaan
dalam diri seseorang yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap ajaran-ajaran
kemudian diwujudkan dalam perbuatan dan tingkah laku sehari-hari dengan
berlandaskan keimanan dan ketakwaan.
2.2.4
Dimensi-dimensi Religiusitas
Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2008), ada lima macam
dimensi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan (religious belief), dimensi
peribadatan atau praktek agama (religious practice), dimensi penghayatan
(religious feeling), dimensi pengetahuan agama (religious knowledge), dimensi
konsekuensi (religious effect).
28 a. Dimensi keyakinan
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran
doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan
di mana para penganut diharapkan akan taat.
b. Dimensi peribadatan atau praktek agama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan
orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktekpraktek keagamaan ini terdiri dari ritual, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan
individu untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
c. Dimensi penghayatan
Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan,
persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami oleh seseorang atau suatu
kelompok keagamaan.
d. Dimensi pengetahuan agama
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling
tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan,
kitab suci dan tradisi-tradisi.
e. Dimensi Konsekuensi
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan , praktik,
pengalaman, dan pengetahuan seseorang. Dengan kata lain, sejauh mana implikasi
ajaran agama mempengaruhi perilakunya.
29 2.3.3
Fungsi Religiusitas
Fungsi religiusitas bagi manusia erat kaitannya dengan fungsi agama. Ramayulis
(2011) mengemukakan fungsi dari agama, yaitu:
1. Berfungsi Edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut
memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama berfungsi menyuruh
dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang
mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa
dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.
2. Berfungsi Penyelamat
Dimanapun
manusia berada
dia selalu
menginginkan dirinya selamat.
Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan
dunia dan akhirat.
3. Berfungsi Sebagai Perdamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian
batin melalui tuntutan agama.
4. Berfungsi Sebagai Social Control
Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma-norma dalam
kehidupan, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawas baik
secara individu maupun kelompok.
5. Berfungsi Sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas
30 Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki
kesamaan dalam satu kesatuan dalam iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini
akan menimbulkan rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan.
6. Berfungsi Transformatif
Ajaran agama dapat merubah kehidupan seseorang atau kelompok menjadi
kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru
yang diterimanya berdasarkan ajaran agama kadangkala mampu mengubah
kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianut sebelumnya.
2.4
Remaja
2.4.1
Pengertian Remaja
Masa remaja (adolescence) adalah peralihan masa perkembangan yang
berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11 tahun yang melibatkan perubahan besar
dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan (Papalia, Olds &
Feldman, 2009). Selaras dengan Santrock (2007) masa remaja sebagai periode
transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang
melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.
Thornburg (Dariyo, 2004) menggolongkan remaja menjadi 3 tahap, yaitu
remaja awal (13-14 tahun), remaja tengah (15-17 tahun), dan remaja akhir (18-21
tahun). Masa remaja awal, umumnya individu telah memasuki pendidikan di
bangku sekolah menengah tingkat pertama (SLTP), remaja tengah yaitu individu
sudah duduk di sekolah menengah atas (SMA), dan remaja akhir, umumnya sudah
memasuki dunia perguruan tinggi dan mungkin sudah kerja.
31 Dari dua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah
masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang melibatkan
perubahan-perubahan pada aspek fisik, aspek kognitif dan aspek psikososial.
2.5
Kerangka Berpikir
Berdasarkan pemaparan teori mengenai kontrol diri, religiusitas, dan kenakalan
remaja seperti yang telah dikemukakan oleh para peneliti atau para ahli
sebelumnya, maka dapat dibuatkan kerangka pemikiran dalam penelitian ini
sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Kemampuan mengontrol
tingkah laku
Kontrol Diri
Kemampuan mengontrol
kognisi
Kemampuan mengontrol
keputusan
Kenakalan Remaja
Keyakinan
Praktek Agama
Religiusitas
Penghayatan
Pengetahuan Agama
Konsekuensi
32 2.6
Hipotesis
Berdasarkan kerangka teori yang dibuat dengan landasan teoritis, maka hipotesis
dalam penelitian ini dapat dibuat sebagai berikut:
1. Ho : Terdapat hubungan positif antara kontrol diri dengan kenakalan remaja
pada siswa SMA PGRI 117 Karang Tengah.
2. Ho : Terdapat hubungan positif antara religiusitas dengan kenakalan remaja
pada siswa SMA PGRI 117 Karang Tengah.
3. Ho : Terdapat hubungan positif antara kontrol diri dan religiusitas dengan
kenakalan remaja pada siswa SMA PGRI 117 Karang Tengah.
33 
Download