BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.4 Tanggung Jawab Sosial 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.4 Tanggung Jawab Sosial
2.1.1. Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Tanggung Jawab Sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR)
merupakan salah
satu
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suatu
perusahaan yang sesuai dengan isi Pasal 74 Undang-Undang Perseroan
Terbatas No. 40 Tahun 2007. Undang-undang tersebut mewajibkan
perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang/berkaitan dengan
sumber daya alam melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam
Pasal 66 ayat 2c Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007
juga dinyatakan bahwa semua perusahaan wajib untuk melaporkan
pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan.
Program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan
keberlanjutan (sustainability) perusahaan dan bukan lagi dilihat sebagai
sarana biaya melainkan sebagai sarana meraih keuntungan. Program CSR
merupakan
komitmen
perusahaan
untuk
mendukung
terciptanya
pembangunan berkelanjutan. Menurut konsep CSR sebuah perusahaan
dalam melaksanakan aktivitas dan pengambilan keputusannya tidak hanya
berdasarkan faktor keuangan semata melainkan juga harus berdasarkan
37
repository.unisba.ac.id
konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun masa yang akan
datang.
Tanggung jawab sosial perusahaan adalah bentuk kepedulian
perusahaan terhadap lingkungan eksternal perusahaan melalui berbagai
kegiatan yang dilakukan dalam rangka penjagaan lingkungan, norma
masyarakat, partisipasi pembangunan, serta berbagai bentuk tanggung jawab
sosial lainnya. CSR berhubungan dengan "pembangunan berkelanjutan", di
mana terdapat argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan
aktivitasnya harus berdasarkan keputusannya, tidak semata berdasarkan
faktor keuangan, misalnya keuntungan atau dividen melainkan juga harus
berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk
jangka panjang.
CSR merupakan gagasan yang menjadikan perusahaan tidak lagi
dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line,
yaitu nilai perusahaan yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya
saja.
Kesadaran atas pentingnya CSR
dilandasi pemikiran bahwa
perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomi dan legal kepada
pemegang saham (shareholder), tetapi juga kewajiban terhadap pihak-pihak
lain yang berkepentingan (stakeholder). CSR menunjukkan tanggung jawab
perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines yaitu tanggung jawab
perusahaan pada aspek sosial, lingkungan, dan keuangan.
38
repository.unisba.ac.id
Menurut
Global
Compact
Initiative
(2002)
menyebutkan
pemahaman CSR dengan 3P yaitu profit, people, planet. Konsep ini memuat
pengertian bahwa bisnis tidak hanya sekedar mencari keuntungan (profit)
melainkan juga memberikan kesejahteraan kepada orang lain (people) dan
menjamin keberlangsungan hidup bumi (planet) (Nugroho, 2007). Dewasa
ini konsep Tanggung Jawab Sosial berkaitan erat dengan keberlangsungan
suatu perusahaan. Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan
bertujuan untuk memperlihatkan aktivitas sosial yang dilakukan oleh
perusahaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Menurut Deegan (2004), triple bottom line reporting merupakan
laporan yang memberikan informasi mengenai pelaksanaan kegiatan
ekonomi, sosial, dan lingkungan dari sebuah entitas. Apabila prinsip triple
bottom line reporting dapat diimplementasikan dengan baik, maka akan
menunjukkan
bahwa
akuntabilitas
perusahaan
tidak
hanya
untuk
pelaksanaan kegiatan ekonomi saja, tetapi juga untuk pelaksanaan kegiatan
sosial dan lingkungan.Teori legitimasi dan teori stakeholder merupakan
perspektif teori yang berada dalam kerangka teori ekonomi politik. Karena
pengaruh masyarakat luas dapat menentukan alokasi sumber keuangan dan
sumber ekonomi lainnya, perusahaan cenderung menggunakan kinerja
berbasis lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan untuk
membenarkan atau melegitimasi aktivitas perusahaan di mata masyarakat.
Darwin (2004) dalam Anggraini (2006) mendefinisikan CSR sebagai
mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan
39
repository.unisba.ac.id
perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan
interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi
di bidang hukum. Tanggung jawab sosial secara lebih sederhana dapat
dikatakan sebagai timbal balik perusahaan kepada masyarakat dan
lingkungan sekitarnya karena perusahaan telah mengambil keuntungan atas
masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Proses pengambilan keuntungan
tersebut perusahaan seringkali menimbulkan kerusakan lingkungan dan
dampak sosial lainnya.
Hartman dan DesJardins (2008, p. 155) mengemukakan pendapat
bahwa tanggung jawab sosial perusahaan mencakup berbagai tanggung
jawab dan kewajiban yang dimiliki oleh perusahaan di mana perusahaan
harus mengambil keputusan untuk memberikan kontribusi kepada
masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lebih baik,
serta menciptakan lingkungan yang lebih bersih.
2.1.2. Beberapa teori yang menjelaskan mengenai adanya tanggung
jawab sosial perusahaan yang terdiri dari:
a.
Teori Legitimasi
Teori legitimasi didasarkan pada pengertian kontrak sosial
yang diimplikasikan antara institusi sosial dan masyarakat. Teori
tersebut dibutuhkan oleh institusi-institusi untuk mencapai tujuan
agar kongruen dengan masyarakat luas. Dasar pemikiran teori ini
adalah
organisasi
atau
perusahaan
akan
terus
berlanjut
40
repository.unisba.ac.id
keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa organisasi
beroperasi untuk sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai
masyarakat itu sendiri. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan
untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya sesuai dengan
batasan dan norma-norma di mana perusahaan itu berada sehingga
dapat diterima oleh masyarakat. Perusahaan menggunakan laporan
tahunan mereka untuk menggambarkan kesan tanggung jawab
lingkungan, sehingga mereka diterima oleh masyarakat. Dengan
adanya penerimaan dari masyarakat tersebut diharapkan dapat
meningkatkan nilai perusahaan sehingga dapat meningkatkan laba
perusahaan. Hal tersebut dapat mendorong atau membantu investor
dalam melakukan pengambilan keputusan investasi.
b. Teori Agency
Teori Agency menjelaskan ada konflik kepentingan antara
manajer (agen) dan principal (pemilik). Pemilik ingin mengetahui
semua informasi di perusahaan termasuk aktifitas manajemen dan
sesuatu yang terkait investasi/dananya dalam perusahaan. Hal ini
dilakukan untuk meminta pertanggung jawaban atas kinerja
manajer. Untuk menghindari hal tersebut diperlukan akuntan publik
yang mengevaluasi kinerja manajer.
41
repository.unisba.ac.id
c.
Teori Stakeholders
Stakeholder didefinisikan seperti sebuah kelompok atau
individual yang dapat memberi dampak atau terkena dampak oleh
hasil
tujuan
perusahaan
termasuk dalam
stakeholder
yaitu
stockholders, creditors, employees, customers, suppliers, public
interest groups, dan govermental bodies. Perkembangan konsep
stakeholder dibagi menjadi tiga yaitu model perencanaan perusahaan
dan kebijakan bisnis dan corporate social responsibility. Model
perencanaan
perusahaan
dan
kebijakan
bisnis
fokus
pada
perkembangan dan penentuan nilai startegi perusahaan yang dibuat
oleh kelompok yang mendukung serta menghendaki perusahaan
terus berlangsung. Model CSR dari analisis stakeholder melanjutkan
model perencanaan perusahaan yang meliputi pengaruh eksternal
dalam
perusahaan
yang
diasumsikan
sebagai
posisi
lawan. Kelompok lawan dicirikan seperti peraturan atau kelompok
khusus yang fokus pada isu-isu sosial. CSR model mengikuti
perubahan permintaan sosial dari kelompok non tradisional. Teori
stakeholder menyediakan aturan yang tidak sah dalam pembuatan
keputusan stategi perusahaan yang dipelajari dari aktivitas
CSR. Teori stakeholder terdiri atas stakeholder power, stategic
posture, dan kinerja ekonomi berhubungan dengan corporate social
disclosure. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkah laku investor
sebagai salah satu pengguna laporan keuangan dapat mempengaruhi
42
repository.unisba.ac.id
corporate social disclosure. Sebaliknya, dimana investor dalam
melakukan investasi dapat menggunakan corporate social disclosure
sebagai pertimbangan selain menggunakan laba.
2.1.3. Model-model dari Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Hartman dan DesJardins (2008, p. 156) mengungkapkan bahwa
tanggung jawab sosial perusahaan mempunyai 3 (tiga) macam model yang
menjelaskannya. Model-model tanggung jawab sosial perusahaan terdiri
atas:
1. Model kewarganegaraan perusahaan dari CSR yang menjelaskan
mengenai seorang pemimpin perusahaan memiliki rasa tanggung jawab
dan relasi di dalam komunitasnya sebagai anggota dari perusahaan tersebut
untuk mengimplementasikan tanggung jawab sosial perusahaan tersebut.
2. Model kontrak sosial dari CSR yang menjelaskan bahwa perusahaan
perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak moral
stakeholders.
3. Model kepentingan pribadi yang tercerahkan dari CSR yang menjelaskan
bahwa tanggung jawab sosial perusahaan ke dalam budaya perusahaan
akan menghasilkan keunggulan pasar kompetitif bagi perusahaan yang
bersangkutan.
43
repository.unisba.ac.id
2.1.4. Strategi Pengelolaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Ada beberapa macam strategi yang digunakan oleh suatu perusahaan
dalam pengelolaan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu terdiri atas:
1. Strategi reaktif, yaitu strategi di mana kegiatan bisnis yang melakukan
strategi reaktif dalam tanggung jawab sosial cenderung menolak dan
menghindarkan diri dari tanggung jawab sosialnya.
2. Strategi defensif, yaitu strategi yang dilakukan oleh perusahaan yang
berkaitan dengaan penggunaan jalur hukum untuk mengindarkan diri atau
menolak tanggung jawab sosial.
3. Strategi akomodatif, yaitu tanggung jawab sosial yang dijalankan oleh
perusahaan karena adanya tuntutan dari masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.
4. Strategi proaktif, yaitu strategi di mana perusahaan memandang bahwa
tanggung jawab sosial merupakan bagian dari tanggung jawab untuk
memuaskan stakeholders, serta membangun citra positif perusahaan bila
stakholders terpuaskan.
5. Pertimbangan Pertanggung jawaban Sosial
2.1.5. Tingkat atau Lingkup Keterlibatan CSR
Walaupun sudah banyak perusahaan yang menyadari pentingnya
untuk menjalan CSR, namun masih da juga yang berkeberatan untuk
44
repository.unisba.ac.id
menjalankannya. Bahkan diantar mereka yang setuju agar perusahaan
menjalankan CSR, masih terdapat perbedaan dalam memaknai tingkat
keterlibatan perusahaan dalam menjalankan program CSR. Pada akhirnya,
keberhasilan CSR dan cakupan program CSR yang dijalankan akan
ditentukkan oleh tingkat kesadaran para pelaku bisnis dan para pemangku
kepentingan terkait lainnya. Program CSR akan berjalan efektif bila para
pihakyang terkit dalam bisnis (oknum pengelola, pemerintah, dan
masyarakat) sudah mempunyai timgkat kesadaran manusiawi atau
transendental serta menganut teori-teori etika dalam koridor utilitarianism,
deantologi, keutamaan, dan teonom.
2.5 Keunggulan Bersaing
Kebanyakan kegiatan dan tanggung jawab perusahaan hanya sampai pada
keluarnya produk dari gudang. Inilah prinsip yang sangat keliru. Perusahaan
haruslah bertanggung jawab terhadap seluruh rangkaian proses mulai dari
perancangan produk, peramalan kebutuhan, pengadaan material, produksi,
pengendalian persediaan, penyimpanan, distribusi/transportasi ke distributor
center, wholesaler, pedagang kecil, retailer, pelayanan pada pelanggan, proses
pembayaran, dan sampai pada konsumen akhir. Untuk mengatur / memanage
aliran material/produk, informasi dari seluruh aktivitas perusahaan diperlukannya
suatu konsep yang disebut dengan Supply Chain Management melewati beberapa
tahapan fisik maupun non fisik. Sebuah produk akan sampai ke tangan pemakai
45
repository.unisba.ac.id
akhir setelah setidaknya melalui beberapa proses dari pencarian bahan baku,
proses produksi, dan proses distribusi atau transportasi. Proses-proses ini
melibatkan berbagai pihak yang berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Penyedia bahan baku (pemasok) mensuplai kebutuhan produksi para perusahaan
manufaktur yang akan mengolah bahan baku tersebut menjadi produk jadi.
Produk jadi disampaikan ke pemakai akhir lewat pusat-pusat distribusi, ritel,
pedagang kecil, dan sebagainya. Rangkaian pihak-pihak yang menangani aliran
produk inilah yang dinamakan dengan istilah Supply Chain (SC).
Untuk
pelanggan,tentu
menciptakan
saja
nilai
menuntut
perusahaan
yang
profesionalisme
bermanfaat
manajemen,
bagi
sistem
informasi,corporate culture yang tepat, dan pemanfaatan teknologi. Salah satu
strategi untuk meraih keunggulan bersaing seperti itu, Michael Porter (1991) yang
terkenal dengan teori Competitive Strategy-nya mengemukakan bahwa perusahaan
harus menciptakan daya saing khusus agar memiliki posisi tawar menawar yang
kuat (bargaining power) dalam persaingan. Menurut Porter, bahwa perusahaan
dapat mencapai keberhasilan apabila tiga faktor utama terpenuhi, yaitu:
4. Adanya tujuan perusahaan dan fungsi-fungsi manajemen, seperti fungsi
produksi dan pemasaran harus memperlihatkan posisi yang terkuat di pasar.
5. Tujuan dan kebijakan tersebut ditumbuhkan berdasarkan kekuatan, serta
diperbaharui terus secara dinamis sesuai dengan peluang-peluang dan ancaman
eksternal.
46
repository.unisba.ac.id
6. Perusahaan harus memiliki dan menggali kompetensi khusus (distinctive
competencies) sebagai pendorong untuk menjalankan perusahaan, misalnya
dengan “brand image reputation”, dan biaya produksi yang rendah (low cost)
Kompetensi khusus diatas harus dikembangkan terus secara dinamis. Bila
kompetensi khusus ini tidak diubah, maka tingkat keuntungan perusahaan bisa
menurun. Pada intinya, perusahaan harus menciptakan daya saing khusus untuk
memperkuat posisi tawar menawar dalam persaingan, dan untuk menampung
tuntutan persaingan di pasar yang berasal dari para pemasok, pembeli, ancaman
pendatang baru, produk pengganti, dan tantangan yang gencar dari parapesaing.
Oleh sebabitu, menurut Mintzberg (1990) dalam teorinya “Design
School”, perusahaan harus mendesain strategy yang cocok antar peluang dan
ancaman eksternal dengan kemampuan internal yang memadai dan berpedoman
kepada pilihan alternative dari grand strategy, kemudian didukung dengan
menumbuhkan kapabilitas inti yang merupakan kompetensi khusus (distinctive
competency) dari pengelolaan sumberdaya perusahaan. Kompetensi khusus itu
diciptakan melalui strategy generic milik Porter, seperti strategi biaya rendah,
differensiasi, dan fokus, serta didukung oleh nilai-nilai budaya perusahaan yang
relevan.
Inti dari teori kompetensi inti sering dikemukakan oleh para ahli, misalnya
Gary Hamel dan CK. Prahalad dalam karyanya “Competeting for The Future”
(1994) mengemukakan definisi sebagai berikut:
47
repository.unisba.ac.id
5. Menggambarkan kemampuan kepemimpinan dalam menyusun produk barang
dan jasa, yang intinya inovasi yang terus menerus.
6. Kompetensi adalah keterampilan yang memungkinkan memberikan manfaat
fundamental kepada pelanggan.
7. Kompetensi adalah sekumpulan keterampilan dan teknologi yang dimiliki
perusahaan untuk bersaing.
8. Sumber kompetensi ini adalah keunikan untuk dapat bersaing yang
memberikan kontribusi terhadap nilai palanggan dan biaya.
Bharadwaj et al.,(1993,p83-84) menjelaskan bahwa keunggulan bersaing
merupakan hasil dari implementasi strategi yang memanfaatkan berbagai
sumberdaya yang dimiliki perusahaan. Keahlian dan asset yang unik dipandang
sebagai sumber dari keunggulan bersaing. Keahlian unik merupakan kemampuan
perusahaan untuk menjadikan para karyawannya sebagai bagain penting dalam
mencapai keunggulan bersaing. Kemampuan perusahaan dalam mengembangkan
keahlian para karyawannya dengan baik akan menjadikan perusahaan tersebut
unggul dan penerapan strategi yang berbasis sumber daya manusia akan sulit
untuk diiru oleh para pesaingnya.
Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Porter (1990, p.3) yang
menjelaskan bahwa keunggulan bersaing adalah jantung kinerja pemasaran untuk
menghadapi persaingan. Keunggulan bersaing diartikan sebagai strategi benefit
dari perusahaan yang melakukan kerjasama untuk menciptakan keunggulan
48
repository.unisba.ac.id
bersaing yang lebih efektif. Keunggulan bersaing pada dasarnya tumbuh dari
nilai–nilai atau manfaat yang diciptakan oleh perusahaan bagai para pembelinya.
Pelanggan umumnya lebih memilih membeli produk yang memiliki nilai lebih
dari yang diinginkan atau diharapkannya. Namun demikian nilai tersebut juga
akan dibandingkan dengan harga yang ditawarkan. Pembelian produk akan terjadi
jika
pelanggan
menganggap
harga
produk
sesuai
dengan
nilai
yang
ditawarkannya. Hal ini didukung oleh pendapat Styagraha ( 1994, p.14 ) yang
menyatakan bahwa keunggulan bersaing adalah kemampuan suatu badan usaha
untuk memberikan nilai lebih terhadap produknya dibandingkan para pesaingnya
dan nilai tersebut memang mendatangkan manfaat bagi pelanggan.
Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan bersaing
adalah keunikan, jarang dijumpai, tidak mudah ditiru, tidak mudah diganti, dan
harga bersaing. Keunikan produk adalah keunikan produk perusahaan yang
memadukan nilai seni dengan selera pelanggan. Harga bersaing adalah
kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan harga produknya dengan harga
umum di pasaran. Tidak mudah dijumpai berarti keberadaannya langka dalam
persaingan yang saat ini dilakukan. Tidak mudah ditiru berarti dapat ditiru dengan
tidak sempurna. Sulit digantikan berarti tidak memiliki pengganti yang sama.
2.2.1. Strategi Pesaing
Menciptakan sinkronisasi aktivitas-aktivitas yang beragam membutuhkan
pendekatan holisitk, tidak ubahnya seperti mensinkronkan alat-alat musik
dalam sebuah konser dimana alat yang bunyinya berbeda-beda bisa
49
repository.unisba.ac.id
dimainkan bersama sehingga terdengar merdu. Prinsip utama yang harus
dipegang dalam sinkronisasi aktivitas-aktivitas sebuah supply chain adalah
untuk menciptakan resultan yang lebih besar, bukan hanya bagi tiap anggota
rantai, tetapi bagi keseluruhan sistem. Kesuksesan implementasi prinsip ini
biasanya membutuhkan perubahanperubahan pada tingkatan strategis
maupun
taktis.
Sebaliknya,
kegagalan
biasanya
ditandai
oleh
ketidakmampuan manajemen mendefinisikan langkahlangkah yang harus
ditempuh dalam menggiring komponen-komponen supply chain yang
komplek ke arah yang sama.
Anderson, Britt, dan Favre (1997) memberikan 7 prinsip dalam SCM
yang diperuntukkan bagi manajer dalam merumuskan keputusan strategis,
yaitu :
1.
Segmentasi pelanggan berdasarkan kebutuhannya.
2.
Sesuaikan jaringan logistik untuk melayani kebutuhan pelanggan yang
berbeda.
3.
Dengarkan signal pasar dan jadikan signal tersebut sebagai dasar dalam
perencanaan kebutuhan (demandplanning) sehingga bisa menghasilkan
ramalan yang konsisten dan alokasi sumber daya yang optimal.
4.
Deferensiasi produk pada titik yang lebih dekat dengan konsumen dan
percepat konversinyadisepanjang rantai supply cahin .
50
repository.unisba.ac.id
5.
Kelola sumber-sumber suplai secara strategis untuk mengurangi ongkos
kepemilikan dari material maupun jasa.
6.
Kembangkan strategi teknologi untuk keseluruhan rantai supplay chain
yang mendukung pengambilan keputusan berhirarki serta berikan
gambaran yang jelas dari aliran produk, jasa, maupun informasi.
7.
Adopsi pengukuran kinerja untuk sebuah supply chain secara
keseluruhan dengan maksud untuk meningkatkan pelayanan kepada
konsumen akhir.
Strategi yang paling mendasar dari sebah SCM berkaitan dengan
perancangan konfigurasi fisik maupun manajemennya. Rancangan struktur
supply chain , mulai dari konfigurasi jaringan antar channel sampai pada
konfigurasi fasilitas di dalam sebuah channel, adalah pertanyaan yang sangat
mendasar yang harus dijawab dalam SCM. Konfigurasi-konfigurasi tersebut
ternyata tidak bisa dilepaskan dari karakteristik produk maupun jasa yang
dihasilkan oleh sebuah supply chain. Karakteristik produk dalam konteks ini
dicirikan oleh berbagai aspek antara lian siklus hidupnya, jumlah variasinya,
stabilitas permintaannya, dan sebagainya.
1. Produk-produk fungsional dicirikan oleh siklus hidupnya yang panjang,
variasinya sedikit, dan permintaannya yang relatif stabil serta bisa diprediksi
dengan cukup baik. Produk-produk fungsional biasanya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.
51
repository.unisba.ac.id
2. Produk-produk inovatif, permintaan yang tidak stabil dan sulit diramalkan,
siklus hidupnya pendek. Produk inovatif biasanya muncul sebagai respon atas
perubahan pasar yang cepat berubah atas sebagai akibat dari kemampuan
teknologi dan inovasi yang bagus. Pembagian kedua produk berdasarkan
karakteristik-karakteristik di atas dengan jelas mengidentifikasikan kebutuhan
akan perlakuan yang berbeda dalam aktivitas-aktivitas fisik maupun dalam
mediasi pasar sebuah supply chain.
Pada produk-produk fungsional, fungsi mediasi pasar lebih jarang dan
lebih mudah dilakukan karena siklus hidup produknya panjang akibat selera
konsumen yang tidak banyak berubah. Dengan demikian, ongkos ongkos
mediasi pasar tidak perlu dijadikan fokus. Strategi yang tepat untuk produkproduk fungsional adalah efisiensi. Efisiensi membutuhkan dukungan
struktural supplay chain yang ramping dan terintegrasi dengan baik. Struktur
suppply chain yang seperti ini, oleh Christoper (1999) dinamakan Lean
Supply Chain.
Fokus utama dalam mengelola Lean Supply chain adalah menekan
ongkos-ongkos fisik yang terjadi disepanjang supply chain. Ongkos ongkos
tersebut berupa ongkos material, produksi, distribusi, penyimpanan, dan
sebagainya. Untuk itu dibutuhkan koordinasi yang baik antar channel dalam
sebuah supply chain, termasuk di dalamnya koordinasi untuk mengurangi
dampak variabelitas dan ketidakpastian permintaan maupun suplai.
Distributor misalnya, hendaknya memberikan rencana kebutuhan dalam
jangka yang agak panjang sedemikian sehingga tidak terjadi perubahan52
repository.unisba.ac.id
perubahan mendadak yang mengakibatkan seluruh rantai, terutama yang
berada di sebelah hulu, menjadi “nervous”. Berbeda halnya dengan
produkproduk fungsional, lean supply chain bukanlah strategi yang tepat
untuk produk-produk inovatif. Keunggulan kompetitif produk inovatif
terletak pada kemampuan supply chain untuk merespon kebutuhan pasar yang
cepat berubah. Kunci keberhasilan disini adalah apa yang dinamakan agility .
Agility untuk suatu supply chain memiliki implikasi kecepatan merespon
kebutuhan pasar secara bersama-sama sebagai suatu tim. Tentu saja,
kecepatan ini harus dimiliki semua pihak yang berada pada rantai supply
chain ini. Distributor yang handal tidak bisa menjamin keunggulan bersaing
apabila perusahaan yang mensuplai produkproduk yang didistribusikannya
tidak mampu secara tepat merespon perubahan yang disyaratkan oleh pasar.
Hubungan antar perusahaan menjadi faktor kritis dalam menciptakan agility
sebuah supply chain. Strategi supply chain yang menekankan pada agility
membutuhkan pola pikir yang cukup berbeda dengan pola pikir untuk strategi
supply chain yang mendasarkan pada efisiensi. Untuk persediaan misalnya,
orientasinya bukan untuk meminimasi ongkos-ongkos persediaan, tetapi lebih
pada keputusan dimana persediaan harus disimpan. Seleksi pemasok tidak
didasarkan pada harga yang ditawarkan, tetapi pada kecepatan dan
fleksibilitasnya.
2.2.2.
Menyeimbangkan Orientasi Pelanggan dan Pesaing
Mengelola rantai supply chain tidak semudah mengelola aktivitas-aktivitas
dalam satu perusahaan. Kompleksitas permasalahan meningkat dengan cepat
53
repository.unisba.ac.id
begitu pertimbangan-pertimbangan aliran produk dan informasi dilihat dalam
lingkup keseluruhan supply chain dari ujung hulu ke ujung hilir. Karena
kompleksnya permasalahan pengelolaan tersebut, banyak sekali jebakanjebakan yang bisa mengakibatkan kegagalan pengelolaan sebuah supply
chain.
Perkembangan-perkembangan terbaru dalam SCM akan bermunculan,
Supply Chain Management, yang baru saja mencapai masa keemasannya,
akan cepat terdengar usang, “Saat ini menjadi competitive advantage , nanti
akan menjadi competitive imperative” , Demikian Nichale Hammer, profesor
di MIT Menggambarkannya. SCM akan segera menjadi keharusan bagi setiap
perusahaan yang ingin bertahan, bukan bagi perusahaan yang ingin
memimpin kompetisi di pasaran. Seiring dengan menyebarnya konsep-konsep
SCM di dunia industri, baik jasa maupun manufaktur, konsepkonsep yang
lebih canggih yang merupakan pengembangan dari SCM akan bermunculan,
yaitu:
1. Fourth Party Logistics (4PL), dikembangkan oleh Anderson consultant.
Konsep : Memanfaatkan pihak ketiga untuk mengatur/memanaje
hubungan antara sebuah perusahaan manufaktur dengan perusahaan
shipment.
2. JIT II, dikembangkan oleh Bose corporation Prinsip JIT II : Adanya
kemitraan yang erat antara perusahaan dengan pemasoknya. Pemasok,
pada konsep JIT II ini, akan memiliki wakil di perusahaan yang
54
repository.unisba.ac.id
disuplainya. Wakil tersebut nantinya akan punya otoritas untuk membuat
order bahan baku atau komponen yang disuplai oleh perusahaannya,
menggantikan peran bagian pembelian yang ada pada praktek yang lumrah
dewasa ini.
3. Vendor Managed Inventory (VMI), yang merupakan salah satu variasi dari
JIT II. Konsep ini banyak digunakan oleh para pemasok yang mensuplai
ritel. Selama ini ritel berkewajiban untuk membuat order pembelian untuk
menjaga kelangsungan ketersediaan setiap item yang dijual. Pada VMI,
pemasoklah yang nantinya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
menentukan kapan suatu item harus dikirim ke ritelnya, berdasarkan
informasi tingkat penjualan dan ketersediaan stok yang ada di ritel
tersebut.
4. Global Pipeline Management (GPM). Hewitt (1999) menuliskan bahwa
kelemahan utama dari SCM adalah kebutuhan untuk melakukan koordinasi
rencana-rencana kerja antar pihak-pihak yang berbeda organisasi. Banyak
organisasi
yang
gagal
mengimplementasikan
SCM
karena
ketidakmampuannya melakukan koordniasi antar organisasi. Konsep GPM
didasarkan pada teori kontrol, dimana aliran material/produk akan optimal
bila dikontrol dari satu titik. Sejalan dengan konsep ini, GPM
merekomendasikan bahwa aliran material/produk hendaknya dikendalikan
oleh satu pihak atau channel dalam supply chain dan semua channel yang
lain mengikuti dan mendukung dengan memberikan informasi yang
diperlukan.
55
repository.unisba.ac.id
2.6 Pengaruh Tanggung Jawab Sosial Terhadap Keunggulan Bersaing
Tanggung Jawab Sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR)
merupakan gagasan yang menjadikan perusahaan tidak lagi dihadapkan pada
tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan
yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya saja. Kesadaran atas pentingnya
CSR dilandasi pemikiran bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban
ekonomi dan legal kepada pemegang saham (shareholder), tetapi juga kewajiban
terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholder). CSR menunjukkan
tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines yaitu tanggung
jawab perusahaan pada aspek sosial, lingkungan, dan keuangan.
Pada dasarnya setiap perusahaan yang bersaing dalam suatu lingkungan
industri mempunyai keinginan untuk dapat lebih unggul dibandingkan
pesaingnya. Umumnya perusahaan menerapkan strategi bersaing ini secara
eksplisit melalui kegiatan–kegiatan dari berbagai departemen fungsional
perusahaan yang ada. Pemikiran dasar dari penciptaan strategi bersaing berawal
dari
pengembangan
formula
umum
mengenai
bagaimana
bisnis
akan
dikembangkan, apakah sebenarnya yang menjadi tujuannya dan kebijakan apa
yang akan diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
56
repository.unisba.ac.id
Download