ISLAM DI ANTARA DUA MODEL DEMOKRASI

advertisement
D
ig
ital
ct
ISLAM DI ANTARA
Pro
je
DUA
MODEL
DEMOKRASI
kaa
n
Arskal Salim
1
Kolom | Edisi 002, Agustus 2011
P
c
Dem
o
Islam di Antara Dua
Model Demokrasi
cy
a
r
Pe
erubahan setting politik pasca
Orde Baru tanpa diduga
memberi ruang bagi berkembangnya
wacana penegakan syariat Islam di
Indonesia. Pro dan kontra tentu saja
r
bermunculan. Tiap-tiap kelompok p
us
mengajukan argumentasi untuk
ta
meneguhkan pendirian mereka.
Sayangnya, argumentasi yang
dibangun tidak lagi ditujukan untuk
berusaha meyakinkan pihak lain,
tetapi malah melakukan stigmatisasi
satu sama lain. Di mata kelompok
pro pelaksanaan syariat, mereka
yang menolak syariat dianggap
Islamophobia. Sementara kelompok
2
Pro
anti pelaksanaan syariat memandang
sebagian kelompok pro pelaksanaan
syariat sebagai orang-orang yang
hendak melakukan politisasi agama.
Tulisan ini mencoba mengamati
wacana pro-kontra penerapan
syariat dari sudut pandang proses
demokratisasi.
je
Dua Model Demokrasi
D
ig
ital
ct
Penjelasan yang diberikan Robert
Pinkney (1994) tentang model-model
demokrasi barangkali berguna untuk
mengamati pro-kontra penerapan
syariat di Indonesia. Setidaknya
ada dua model demokrasi yang
relevan untuk dikemukakan di
sini, yaitu demokrasi berwawasan
radikal (radical democracy), dan
demokrasi berwawasan liberal (liberal
democracy).
kaa
n
Menurut Pinkney, demokrasi radikal
ditandai dengan kuatnya pandangan
bahwa hak-hak setiap warga
negara dilindungi dengan prinsip
persamaan di depan hukum, tetapi
perhatian yang diberikan tidaklah
sama besar dengan perlindungan
3
Dem
o
hak individu di bawah demokrasi
liberal berhadapan dengan negara.
Hal itu karena kehendak mayoritas
dalam demokrasi radikal adalah yang
terpenting, sedangkan negara tak
lebih dalam posisi melaksanakan
kehendak mayoritas itu. Wawasan
demokrasi semacam ini, bagi Douglas
cy
a
M. Brown (1988), terlihat cenderung r
c
lebih menekankan makna formal
demokrasi (the radicalization of
formal democracy).
Pe
Adapun demokrasi liberal lebih
menekankan pada pengakuan
terhadap hak-hak warga negara,
baik sebagai individu maupun
anggota masyarakat. Dan karenanya
lebih bertujuan menjaga tingkat r
p
representasi warga negara dan
us
melindunginya dari tindakan
ta
kelompok lain ataupun dari
negara. Negara dalam hal ini tidak
berposisi sebagai operator kehendak
mayoritas, karena mungkin saja akan
bertabrakan dengan kepentingan
minoritas. Negara lebih berfungsi
sebagai wasit untuk menjamin
terpeliharanya tingkat representasi
4
dan perlindungan bagi segenap warga
negara.
Pro
je
D
ig
ital
ct
Kelompok yang berwawasan
demokrasi radikal adalah mereka
yang pro syariat. Dengan argumen
utama bahwa karena mayoritas warga
negara beragama Islam maka sudah
sewajarnya pula jika hukum yang
diimplementasikan bersumber dari
syariat. Namun karena menyadari
bahwa implementasi syariat hanya
bisa dilakukan melalui mekanisme
konstitusional, maka mereka
percaya bahwa usaha tersebut baru
dapat tercapai jika mereka mampu
mendominasi panggung politik.
kaa
n
Titik tolak upaya kelompok ini
adalah negara, karena negara dengan
otoritas yang dimilikinya dipercayai
akan mampu mengimplementasikan
syariat secara efektif di kalangan
umat Islam. Kata kunci demokrasi
bagi kelompok ini jelas sekali,
yaitu kehendak mayoritas yang
diimplementasikan oleh negara.
Demokrasi semacam ini, di mata
Judith Miller (1993), tampaknya
5
merupakan tren umum di hampir
semua kalangan Islam politik di
dunia Muslim.
Dem
o
Berhadapan dengan kelompok di
atas, kelompok yang berwawasan
demokrasi liberal kurang berminat
mendukung perjuangan penerapan
cy
hukum Islam. Hal itu karena mereka r a
c
melihat perjuangan semacam itu akan
melanggar prinsip kesetaraan semua
warga negara di depan hukum sebagai
salah satu pilar demokratisasi.
Karena itu, negara tidak boleh
mengabulkan tuntutan penegakan
syariat dalam sebuah negara yang
multi-varian seperti Indonesia. Sebab
jika tidak, pemberlakuan syariat
akan berakibat uniformisasi dan r
hal itu akan melanggar kebebasan p u
sta
beragama sebagai bagian dari hakhak asasi setiap manusia. Bagi
kelompok ini, dalam sebuah negara
dengan kewarganegaraan yang
plural, hak-hak harus didistribusikan
secara setara dan universal atas
basis keanggotaan teritorial politik
dan bukan atas dasar keanggotaan
dalam suatu komunitas keagamaan.
Pe
6
Pandangan kelompok ini jelas lebih
mengutamakan makna substantif
demokrasi ketimbang pengertian
formalnya yang cenderung bersifat
prosedural.
Pro
je
D
ig
ital
ct
Prosedur atau Substansi.
Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah bagaimana sebetulnya
demokrasi berlangsung; apakah
lebih mengutamakan prosedur
atau substansi? Apakah tuntutan
penerapan hukum Islam oleh negara,
walaupun disuarakan mayoritas,
merupakan langkah tidak demokratis?
Apakah memang ada “elemen”
hukum Islam yang anti-demokrasi?
Dan, betulkah jika hukum Islam
diimplementasikan oleh negara akan
membawa implikasi non-demokratis,
terutama di negara yang berpenduduk
majemuk seperti Indonesia?
kaa
n
Sungguhpun dalam ajaran Islam
terkandung sangat banyak nilai yang
mendukung prinsip demokrasi, ada
suatu kondisi yang oleh sementara
pengamat dianggap bertentangan
dengan demokrasi jika kehendak
7
penerapan syariat Islam akan
diakomodasi. Kondisi yang dimaksud
itu adalah kedudukan syariat yang
amat signifikan dalam Islam;
yang tentu saja lebih penting dari
kehidupan demokrasi itu sendiri.
Dem
o
Daniel E. Price (1999)
cy
mengungkapkan bahwa banyak
a
kelompok Islam politik di negara- c r
negara Muslim mengklaim bahwa
keberadaan negara adalah tak lebih
sebagai sarana untuk menerapkan
syariat Islam. Karena itu, walaupun
suatu negara diperintah oleh
rezim otoriter, asalkan mempunyai
kebijakan penerapan syariat
Islam, akan tetap didukung
dan dipertahankan. Pandangan r
semacam ini tentu saja akan dapat p
us
melanggengkan rezim otoriter dan
ta
menyulitkan bagi munculnya rezim
demokratis.
Pe
Memang benar bahwa umat Islam
merupakan populasi mayoritas
bangsa ini. Tapi hal itu tidaklah
meniscayakan bahwa hukum yang
berlaku di Indonesia haruslah berasal
dari hukum Islam, karena logika
8
dan prosedur demokrasi bukanlah
berdasarkan mayoritas populasi tetapi
lebih berdasarkan mayoritas politik
(vote).
Pro
je
D
ig
ital
ct
Begitu juga, prinsip dan substansi
demokrasi mensyaratkan keharusan
adanya persamaan, non-diskriminasi
dan kebebasan individu; suatu
kondisi yang cukup sulit diciptakan
jika penerapan syariat ingin
direalisasikan, walaupun khusus
diperuntukkan bagi umat Islam
Indonesia. Sebab, dalam demokrasi,
sungguhpun setiap warga negara
berhak dan diperbolehkan untuk
mempengaruhi kondisi politik
dengan menggunakan persepsi,
ideologi dan keyakinan agama
yang dianutnya, tidak seorang pun
boleh menggunakan negara untuk
menjadi instrumen atau aparatus
ajaran agama tertentu saja. Hal ini
karena melanggar prinsip netralitas
negara dalam hal keharusan memberi
perlakuan yang sama, tidak hanya
kepada kemajemukan agama, tetapi
juga terhadap berbagai macam
interpretasi yang terdapat dalam
kaa
n
9
© 2011
Kolom ini diterbitkan oleh
Democracy Project,
Yayasan Abad Demokrasi.
10
Pe
Untuk berlangganan, kunjungi
www.abad-demokrasi.com
Kode kolom: 002K-ARS001
c
cy
a
r
Dem
o
satu agama, serta kebebasan individu
untuk mengikuti pilihan interpretasi
yang dikehendakinya.
rp
us
ta
Download