Tantangan Pendidikan Islam. Dimensi Anak Didik dalam Pendidikan Oleh Muhammad Idrus Dosen Fakiiltas Tarbiyah UII dan Mahasiszva Program Pascasarjana IKIP Yogyakarta Anak didik, merupakan salah nusia-Tuhan sebagaimana yang sesatu bagian yang terpenting harusnya. Dengan kalimat lain dapat didalam proses pendidikan. Hal katakan, bahwa ter tersebut mengingat minal akhir dari fokus utama proses proses perididikan pendidikan adalah terminal akhir adalah menjadikan pembentukan anak dari proses peserta didik seba didik menjadi mapendidikan gai manusia yang nusia-manusia bam. adalah memiliki bekal ilMenjadikannya memu, iman, dan amal. menjadikan nyadari tentang poDengan ilmu, akan tensi-potensi kemapeserta didik memudahkan kenuslaan yang dimisebagai manusia hidupan yang akan liki, dan menggunayang memiliki dilaluinya di dunia kan potensinya itu bekal ilmu, ini. Selain itu, dia sesuai dengan norma iman, dan amal juga akan mampu budaya dan agama secara bijak memiyang dianutnya. lih tindakan yang Pada tahap lanjut, sesuai dengan norma-norma yang anak diharapkan menyadari pula posisi kemanusiaan yang melekat berlaku di lingkungan masyarakat. Berkaitan dengan amal, maka pada dirinya melalui proses pen anak akan terdorong untuk berkredidikan yang dijalani. Yaitu, anak dapat lebih mengenal diri dan pen- asi menerapkan ilmu pengetahuan ciptanya, sekaligus mengerti posisi yang dimilikinya. Dalam konteks di antara keduanya serta mela- yang demikian, bekal normatif kukan hubungan-hubungan ma- yang dimilikinya harus terlebih 74 JPI Fakultas Tarbiyah UII, Voi3 TH.IIMei 1997 Muhammad Idrus, Dimensi Anak. dahulu dikuatkan. Artinya, anak harus memiliki keteguhan diri untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan agama yang diyakininya. sal, bukah kebenaran subyektif semata. Dengan begitu, harus disadari bahwa sebenarnya proses pendidikah bukan sekadar meninggikan dimensi kognisi dan dimensi psikomotor yang dimiliki anak. Namun, ada dimensi yang juga perlu mendapat perhatian lebih, yaitu Dengan begitu, acuan kreasi da lam mengaplikasikan ilmu yang dimiliki, bukan lagi sekadar berorientasi kepada materi semata, tapi dimensi afeksi. Dimensi terakhir ini lebih sebagai kewajiban manusiawi terkadang sering terabaikan, dan dalam kerangka pengabdian. Pada alasan yang biasa dikemukakan fokus ini, anak didik dibentuk agar adalah kesulitan tolok ukur yangsenantiasa berperilaku yang selalu akan dipergunakan. Selain itu, seringnya terjadi kekeliruan dengan merujuk pada kaidah-kaldah aga ma, budaya, serta norma-norma • mengukur dimensi ini atas dasar angka statistik seyang berlaku di mamata. syarakat. Dalam bahaDemikian stratesa agama dikatakan Demikian. gisnya posisi anak sebagai anak yang strategisnya posisi dalam proses penmemiliki akhlaq yang anak dalam proses didikan, sehingga pendidik£ui> sehin^a mulia (akhlaqul karisegala sesuatu yang segala sesuatu yang mah). berkaitan dengan berkaitan dengan Adapun untuk mekebijakan ataupun kebijakan ataupun nunjang kreasi dan pengembangan pengembangan aksi tersebut sesuai proses pendidikan proses pendidikan dengan format yang haruslah melihat haruslah melihat diinginkan, maka penposisi anak secara posisi anak secara didikan diharapkan keseluruhan keseluruhan. Jaakan mampu mengungan sampai ter atkan nilai-nilai iman jadi, pembaharuan yang telah dimiliki anak. Fitrah anak sebagai pianusia ataupun modemisasi pendidikan, justru meletakkan anak pada posisi yang memiliki kecenderungan un tuk menuju hal-hal positif, (hanif), sub-ordinatnya dalam konteks siharus selalu ditumbuh-kembang- tuasi proses belajar mengajarnya. kan. Dalam konteks ini, pendidikan bertugas untuk merangsang Karakteristik Anak didik Jika dicermati secara mendalam anak agar selalu menegakkan nor kondisi anak didik, setidaknya ada ma-norma kebenaran yang univer JPlFakultas Tarbiyah VII. Vol.3 TH.IIMei 1997 75 Muhammad Idrus, Dimensi Anak. beberapa hal yang menghambat perkembangan potensi yang dimilikinya. Namun, dalam proses pendidikan yang berlangsung terkadang pendidik melupakan hal tersebut. Kesengajaan untuk tidak me- Jika dalam pendekatan nativisme, selama ini kita mengenal teori lakukan ataupun alasan ketidak- anak laksana kertas putih bersih tabiilarasa, sebagai teori yang menyatakan bahwa seorang anak memiliki hereditas bawaan yang putih bersih. Perlambang yang diajukan, sempatan mengidentifikasinya, yang tanpa noda sedikitpun. pada gilirannya akan membawa Dalam proses kehidupan selananak didik pada posisi yang selalu ' jutnya anak siap untuk menerima dikalahkan. berbagai macam coretan yang akan Terhadap hal tersebut, setidak- dilakukan orangtuanya atau orang- nya ada erripat identifikasi karak- orang di sekitar dirinya. Keyakinan teristik khusus yang dimiliki anak dldik. Pada tulisan bagian beri- para penganut teori ini, memposisikan lingkungan sebagai satu-sa- kuthya ak^ dipaparkan pula kon-' tunya faktor yang mendeterminasi sepnya secara berurutan. Karakteristik pertama, adalah anak se bagai subyek didik yang memiliki muatan positif. Jlka merujuk pada salah satu hadits Nabl Muhammad Saw yang diriwayatkan Thabrani dan Baihaqi dan dikenal luas dalam pendidikan Islam, dinyatakan bahwa sesungguhnya seorang an^ kondisi anak. Dan sesimgguhnya seorang anak (bayi) ketika dilahlrkan dalam keadaan fitrah. Orangorang yang terdekat dengan dirinyalah (orangtua) yang bertanggungjawab, seandatnya fitrah yang dibawanya itu suatu saat menyimpang dari yang seharusnya anak, hanya cende rung pasrah pada kondisi yang ada dilingkungannya. Teori ini bersebe- rangan vis a vis de ngan konsep yang ada dalam hadits di atas. Konsep ha dits menampakkan bahwa anak telah membawa suatu potensi positif yang siap untuk dikembangkan. Namun (bayi) ketika dilahlrkan dalam konsep nativisme, anak dilukiskan keadaan/itrfl/i. Orang-orang yang terdekat dengan dirinyalah (orangtua)yangbertanggungjawab, seandainya fitrah yang dibawanya itu suatu saat menyimpang dari yang seharusnya (bersih atau cenderung sebagai kertas putih yang tanpa potensi apapun. Bahkan Schumacher (1985), secara tragis melukiskannya sebagai zaman jahiliah, yang hanya siap menerima warisan apapun yang diberikan kepada- pada kebaikan). nya. 76 JPI Fakultas Tarbiyah UII, Vol.3 TH.IIMei 1997 Muhammad Idrus, Dimensi Andk. Dengan berpegang pada yang lebih benar menurut ukuran nor- matif, maka jelas menurijukkan bahwa sebenamya anak telah membawa kecenderimgan tauhid, kecenderungan imtuk berlaku baik. Sehingga pada proses kehidupan selanjutnya, anak akan mengenal penciptanya atau tidak, dan itulah tugas lingkungan yang bertanggungjawab membentuk dan menimtun potensinya. Peran itu hams melakukan pengkondisian situasi yang dapat membawa anak mengembangkan potensi diri yang dimilikinya. Oleh karena itu, sudah selayaknya pula jika dalam pendidikan juga dituntut untuk mampu mengembangkan poten si hanif seperti yang disinggung di atas. Dengan begitu, maka segala aktivitas pendidikan haruslah dia- rahkan untuk dapat membentuk kepribadian anak ke arah pe- tu dengan yang lain, bahkan kaum ningrat dengan kelas bawah dan la in sebagainya. Posisi manusia-manusia adalah sama (equal) di hadapan Allah dan satu-satunya pembeda hanya terletak pada kualitas taqwa seseorang. Dalam konsep ini pendidikan haruslah diwujudkan sebagai salah satu strategi untuk menyamakan derajat manusia. Semua anak memiliki peluang yangsama untuk memperoleh pendidikan (education for all) misalnya, sebagaimana yang ditegaskan UUD 1945. Dengan be gitu, dalam proses belajar mengajarpun, haruslah diarahkan pada kond isiyang dapatmemsegala aktivitas bebaskan anak dapendidikan haruslah diarahkan untuk dapat membentuk kepribadian anak ke arah penguatan tauhid yang dimilikinya^ sebagai ultimate goals yang harus dicapai nguatan tauhid yang dimilikinya, sebagai ultimate goals yang hams dicapai. Karakteristik kedua adalah, anak sebagai manusia bebas yang memiliki kesamaan harkat. Alquran sudah jauh hari memunculkan fenomena kesamaan derajat, tidak ada perbedaan antara orang Arab atau non Arab atau bangsa yang saJVlFakultas Tarbiyak UII, Vol.3 TH.lIMei 1997 ri posisihya yang ti dak sama menjadi sama dan sedera- jat. Karakteristik ke- tiga, adalah bahwa anak sebagai generasi penjelajah yang perlu tantangan. Maksudnya ada lah, anak adalah generasi yang lahir kemudian setelcih generasi kedua (orangtuanya). Untuk itu, dalam hal perlakuan jangan selalu disamakan seperti yang pernah dialami oleh kedua orangtuanya. Secara arif, Nabi Muhammad SAW menggarisbawahi agar dididik sesuai perkembangan zamannya sendiri. T7 Mtihammad Idrus, Dimensi Anak. Isyarat yang diberikan Rasulullah tersebut, seharusnya ditangkap seba- ristik yang ada pada diri anak ter sebut. Tapi pada kenyataannya kita gai satu pesan, bahwa biarkanlah masih melihat bahwa proses pen- anak berkembang sesuai dengan tuntutan curiosity yang dimilikinya. didikanyangberlangsung, tampak belum sepenuhnya mampu untuk mengoptimalkan pengembangan potensi anak didik kita. Bahkan ti Selama hal tersebut tidak menyim- pang dari norma-norma yang berlaku, maka hendaklah hal tersebut didukung secara arif dan bijaksana. Dengan begitu proses pendidikan harus dapat memberikan perlakuan yang berbeda pada zaman yang berbeda. Sehingga, anak akan selalu dirangsang untuk melakukan sesuatu yang relatif baru untuk dirinya. Berikan peluang untuk terus mengembangkan dirinya sesuai dengan naluri kebaikan yang dimiliki, dengan potensi kemerdekaan yang menjadi watak dasarnya. Karakteristik yang terakhir adalah, anak sebagai individu yang unik. Harus disadari bahwa setiap anak memiliki kepribadian dan perkembangan kemampuan yang berbeda dengan yang dak jarang ditemukan, proses pendidikan justru menggiring cinak un tuk bersikap tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Bagaimana pula persoalan ini dalam lingkungan pendidikan Is lam? Apakah dalam proses belajar- mengajar yang dijalankannya telah terjadi upaya atau optimalisasi pe ngembangan poten si anak didik ? proses pendidikan yang beriangsimg, tampak belum sepenuhnya mampu untuk mengoptimalkan pengembangan potensi anak didik kita. Bahkan tidak jarang ditemukan, proses pendidikan justru men^ring anak imtuk bersikap tidak sesuai dengan apa yang dipikiikani^ Model Proses Bela- jar Mengajar Noeng Muhadjir dalam sebuah tuli- sannya menguraikan tiga fungsi yang diemban oleh pen didikan. Pertama, pendidikan berfungsi untuk menumbuhkan kre- ativitas subyek di- dimiliki orang lain. Dengan begitu, t^ik. Kedua, pendidikan berfungsi perlakuan yang diterapkan kepada untuk mewariskannilai-nilaikepada mereka dalamproses pembelajaran- subyek didik. Danketiga, pendidikan nya, juga semestinya diarahkan pa- berfungsi untuk meningkatkan keda keunikan yang dimiikinya. mampuan keija produktif (1987: 20Pada akhirnya, proses pendidik- an yang berlangsung seyogyanya dapat mengoptimalkan karakte78 25). Fungsi pertama merujuk pada keharusan untuk terus mengemJPI Fakultas Tarbiyah UII, Vol.3 TH.IIMei 1997 Muhammad Idrus, Dimensi Anak. bangkan peradaban yang dimiliki manusia. Dalam konteks ini keyakinan utama adalah bahwa pendidikan merupakan cara yang tepat untuk proses penyiapan tersebut. Seperti juga Muhadjir, Shane (1984: 39) juga sangat meyakini bahwa pendidikanlah yang dapat memberi kontribusi pada kebudayaan jadikan anak didik lebih baik dari posisi semula, menjadi tidak terhindarkan. Jika merujuk pada fungsi pendi dikan yang diajukan di atas, ter nyata penekanannya lebih banyak terfokus pada sisi anak didik. Hal ini menunjukkan bahwa, posisi anak didik dalam kajiah pendi dikan menduduki tempat yang di hari esok. strategis, sekalipun dalam kenyataFungsi kedua dari pendidikan, annya, anak didik seringkali terpolebih melihat pada posisi manusia sisikan sebagai sub-ordinat. sebagai makhluk terpilih (KhaliJika melihat praktek pendidikan fah). Dengan kesadaran bahwa mayang ada sekarang ini, maka ada nusialah makhluk terbaik (Q.S Atbeberapa kecendemngan yang seTiin: 4) yang pernah dikit banyak akan ada di dunia, dan de mempersulit posisi ngan sendirinya hapendidikan ternyata pendidikan dalam rus pula dapat mememang tidak mampu upayanya mengemnempatkan dirinya ban amanah terse untuk berlepas diri sesuai dengan posisi but. Disadari atau dari lingkungan yang digariskan. Da tidak, model pro ma^arakatnya, lam konteks mi, pen ses belajar mengasehingga amanah yang didikan diharapkan jar yang dikemdipikulnya berupa mampu untuk menbangkan oleh kekeharusan menjadikan derivasi nilai-nilai inbanyakan,pendianak didik lebi^ baik sani dannilai-nilai Dahi dik saat ini adalah dari posisi semula, pada subyek didikmodel pendidikan menjadi tidak nya. yang berdimensi terhindarkan. Fungsi ketiga yang satu arah. diajukan Muhadjir Pola seperti ini, adalah pendidikan secara empirik dengan sendirinya menyebabkan hams dapat meningkatkan kemam- setiap pendidik akan bemsaha un puan kerja secara lebih produktif. tuk mengeluarkan seluruh kemamDari sisi ini, pendidikan ternyata puannya. Sedangkan anak didik, memang tidak mampu untuk berle- memiliki kewajiban untuk meneripas diri dari lingkungan masya- ma informasi yang diterimanya rakatnya, sehingga amanah yang secara apa adanya. Dalam proses diplkulnya bempa keharusan men- transformasinya, strategi tersebut JPlFakuItas Tariiyak UII, Vol.3 TH.IIMei 1997 79 Muhammad Idrus, Dimensi Anak. cenderung menghilangkan ruh dia log. Istilah yang dikembangkan oleh Freire untuk konsep pendidikan seperti yang tersebut di atas, adalah pendidikan dengan model banking approach (1977:49). Pendidikan mo del ini lebih memposisikan pendidik sebagai yang memiliki kewenangan penuh atas anak didiknya. Apapun yang diberikannya, lanjutnya selama proses interaksi tersebut siswa tidak diperkenankan untuk mengajukan sanggahan, apalagi kritik. . Dalam konteks ini, guru sepertinya tidak pemah melakukan satu kekeliruan. Kesalahan atau keke- liruan hanyalah milik siswa, sedangkan pendidik steril dari semua itu. Pada saat seperti inilah mxmcul arogansi intelektual, karena menganggap peserta didik mengalami harus diterima oleh anak didik seperti apa adanya. Tidak ada dialog, impotensi akademik. Dalam format yang demikian, sebenarnya pen tidak ada komunikasi timbal balik. Adapun anak didik, karena po- didik telah mengabaikan prinsip sisinya tidak diperkenankan untuk ilmiah sebagai dasar utama dalam melakukan sanggahproses pembelaja ran, dan sekaligus an tentang segala "membodohi" anak bentuk informasi Dalam format yang didik dengan doyang diberikan. Berdemikian, sebenarnya minasi keinginanguna atau tidak apa pendidik telah keinginannya. yang disampaikan mengabaikan prinsip Selanjutnya da pendidik bagi siswa, ilmiah sebagai dasar lam kaitannya de tidaklah penting ba utama dalam proses ngan upaya pemgi sang pendidik. pembelajaran, dan bentukan kualifiDalam terminosekaligus kasi manusia yang logi yang berbeda, "membodohi" anak diharapkan bagi Satre (Dalam Freire, didik dengan dominasi pengembangan ser1977: 49) menyekeinginanta kelanjutan berbutnya dengan isti keinginannya bangsa dan bemelah pendidikan yang mengiiyah (digestive) gara, maka model atau memberi makan (nutritive), dan pendidikan ini hanya akan menjaproses pembelajaran yang terjadi dikan lulusannya memiliki kemamadalah proses "penyuapan" penge- puan intelektual sebatas yang tahuan dari guru kepada murid un dimiliki oleh pendidiknya. Bahkan tuk "mengenyangkan mereka". mungkin yang terjadi adalah, kePendidik (guru) akan memberikan mampuan lulusan tersebut jauh dainformasi yang dianggapnya benar ri standar yang ditetapkan oleh untuk diberikan kepada siswa, se- pendidik itu sendiri, belum lagi 80 JPI Fakultas Tarbiyah UII, Vol.3 TH.IIMei 1997 Muhammad Idrus, Dimensi Anak. yang disepakati olehnegara, dalam arti individu-individu, masyarakat, dan pemerintah. Jika demikian kenyataannya, maka tidaklah mungkin dari pendidikan yang demikian dapat diharapkan manusia berkualifikasi Proses pendidikan yang demi kian banyak mengalami kritik, setidaknya Ivan Illich dengan konsep DeschooUng Society-nya. yang menuntut dilakukannya deformalisasi dalam pendidikan, ataupun oleh Edgar Faure dengan model Learning prima. Justru yang muncul adalah to be-nya yang mengharap proses manusia yang selalu menimpakan pendidikan lebih mendekatkan de beban kepada negara. Sehingga da ngan kehidupan nyata. Dan yang lam upaya menciptakan kualitas juga tidak dapat diabaikan adalah manusia yang diharapkan, maka kritik yang dilontarkan oleh Paulo sudah seharusnya dilakukan de- Freire, bahwa pendidikan itu harus konstruksi model pembelajaran dapat membebaskan manusia dari yang demikian. segala macam bentuk penindasan Gejala yang tampak setelah fe- (ketergantungan). nomena pertama mun Jika ingin secara cul adalah, upaya pejujur dicermati tenndidik untuk men tang penyebab terGejala yang tampak ciptakan siswa berfijadinya masalah setel^ fenomena kir konvergen. Pola ini, mungkin harus pertama mtmcul ini sebenamya merudiakui bahwa penadalah, upaya pendidik pakan dampak langdidik menjadi teruntuk menciptakan sung dari model pemtuduh utama da siswa berfildr belajaran yang disilam kasus ini. Lokonvergen. Pola ini nyalir tidak dialogis gika yang diajukan sebenamya merupakan di atas. adalah, mengingat dampak langsimg dari Dalam kaitannya keterbatasan wamodel pembelajaran dengan hal tersebut, wasan (informasi) yang disinyalir tidak Muhadjir mencurigai yang dimilikinya dialogis proses mengajar yang tentang satu obyek dilakukan para penkajian, maka pen- didik adalah, sebagai upaya penji- didik berusaha untuk membatasi nakan dan domestikasi subyek didik serta sebagai proses pengharamanberfikir divergen (1987:148). perkembangan pemikiran siswa agar sesuai dengan dirinya. Dengan begitu, sebelum proses Pendidik lebih senang jika peserta didiknya tidak bersikap kontradiktif, karena dinilai hanya akan pembelajaran berlangsung dipasanglah rambu-rambu yang dapat digunakan sebagai emergency door mempersulit pendidik. bagi dirinya. Hal tersebut dilaku- JTlFakuUas Tarbiyah UII, Vol.3 THJIMei 1997 81 Muhammad Idrus, Dimensi Anak. kannya mengingat pelbagai hal kan pemindahan pengetahuan yang pada intinya sebagai represen- yang dimilikinya kepada peserta didik, tanpa memperhitimgkan kontasi ketidaksiapan semata. Bagi gu ru mungkin hal tersebut dapat me- disi peserta didik itu sendiri. Jika proses tersebut berlangsimg legakan sesaat, namun untuk tujuan institusional mungkinkah sis- tanpa ada sentuhan yang lainnya, wa dibentuk hanya sebatas memi- maka peluang terjadinya praktekliki kemampuan yang sama dengan praktek pendidikan seperti yang digurunya. Dilihat dari esensi dasar singgung di muka akan semakinbependidikan, jelas ditengarai teija- sar. Dengan begitu, yang mungkin dinya stagnasi dalam dunia pendi- perlu disepakati adalah bahwa dikan. Bahkan dalam kajian sistem transfer pengetahuan hanya seba yang lebih luas, maka model pen- gai bagian dari proses pendidikan. didikan yang seperti ini sulit untuk menciptakan manusia yang ber^ Siswa Dalam Lembaga Pendidik an Islam orientasi masa depan. Dalam lingkup Walaupun tidak pendidikan Islam, seluruhnya keliru, penyelenggara namun konsep yang Dilihat dari esensi pendidikannya damenyatakan pendidasar pendidikan, jelas pat diklasifikasidikan sebagai trans ditengarai teijadinya kan menjadi dua, fer pengetahuan hastagnasi dalam dunia yaitu model pe rus segera diubah. pendidikan. Bahkan ndidikan tradisionPada dasarnya fungdalam kajian sistem al dan pendidikan si pendidikan tidak yang lebih luas, maka moderen. Secara musekadar melakukan model pendidikan yang satu transfer penge dah orang mengarseperti ini sulit imtuk tikan pendidikan tahuan dari guru menciptakan manusia yang tradisional kepada siswa saja, yang berorientasi masa adalah proses belamelainkan melamdepan paui dari hal itu. Jika jar mengajar yang ada di pondok-ponpemaknaan pendi dikan hanya sebatas transfer penge dok pesantren. Dan yang termasuk tahuan, maka yang terjadi adalah dalam klasifikasi terakhir adalah model-model pembelajaran seperti pendidikan yang berlangsung di yang disinyalir di muka. madrasah atau perguruan tinggi Is Pemaknaan pendidikan sebagai lam. satu transfer pengetahuan (transPada kenyataannya, tesis di atas misi pengetahuan), menyebabkan runtuh dengan sendirinya berpendidik berusaha untuk ipelaku- samaan munculnya Taman Pendi- 82 JPI Fakultas Tarbiyah VII, Vol.3 TH.IlMei 1997 Muhammad Idrus, Dimensi Anak. dikan Alquran (TPA), pondok pesantren moderen, atau kegiatan pesantren kilat di sekolah-sekolah umum. Pada posisi ini kita dihadapkan pada keharusan menatap realita bahwa pembagian tradisional-moderen, untuk konteks saat ini tidak lagi relevan. Terlepas dari perdebatan permasalahan di atas, satu hal yang ha ms dikaji adalah model pembela- berikan peluang kepada anak un tuk berkreasi sesuai dengan yang diinginkannya. Proses pembelajaran sudah sejak awal dirancang se suai dengan kesepakatan tujuan yang telah ditetapkan. Pada proses yang demikian, maka perlakuan yang diberikan giiru mempakan perlakuan yang umum sebagaimana yang diterapkan kepada semua siswa, tanpa ada pengecualiannya. Gum tidak lagi memper- jaranyangadadimasing-masingjenis lembaga tersebut. Apakah se- hatikan karakteristik individual muanya telah memberikan peluang yang dimiliki siswa. Pendekatan se kepada siswa untuk berperilaku perti ini dikenal sebagai model sesuai dengan karakteristik yang pembelajaran klasikal. dimilikinya? Atau maHarus diakui lah justru mengikat bahwa model pemkita belum dapat dan menekan semakbelajaran secara memberikan satu simal mungkin. Kon klasikal memang model pembelajaran teks diskursus mamemudcihkan dasesuai dengan kalah ini difokuskan lam pengadminiskarakteristik.anak. pada. lembaga pentrasian. Akan tetaSeperti juga yang didikan formal yang pi untuk ketercadiberlakukan sekolahdikelola lembaga Is paian tujuan pro sekolah umum, model lam. gram secara menpembelajaran yang Jika melihat kondidalam, temyata buberlangsung di lembaga si realita saat ini, ma kan satu cara yang pendidikan Islam ka akan terasa bahwa dapat dikatakan formal juga cendenmg kitabelum dapatmemefektif. behavioristik berikan satu model .Model sorogan pembelajaran sesuai yang dikembangdengan karakteristik anak. Seperti kan di pondok-pondok pesantren juga yang diberlakukan sekolah- sebenarnya lebih sesuai dengan sekolah umum, model pembela prinsip individual seperti yang dijaran yang berlangsung di lembaga inginkan pendidikan Islam modependidikan Islam formal juga cen- ren saat ini. Pada model ini, siswa demng behavioristik. secara intensif berhadapan face to Tentunya hal tersebut menye- yizce dengan sang guru. Kekurangan babkan guru tidak mungkin mem- atau kelemahan siswa akan segera JPlFakultas Tarbiyah Ull, Vol.3 THJIMei 1997 83 Muhammad Idrus, Dimensi Anak. diteiriukan, sehingga terapi atau perbaikan juga secara cepat akan diterima siswa. Jika Madrasah ingin mencoba memberlakukan prinsip individual, maka dengan sendirinya proses belajar mengajar di kelas harus dirancang ke arah perlakuan individu. Dengan model yang demikian, gu ru akan dapat lebih mudah menyesuaikan materi pengajaran dengan karakteristik yang dimiliki anak. Terlepas dari sisi kuatnya, model pengajaran individual memiliki beberapa hal yang menyebabkannya sulit diaplikasikan dalam agar tetap terjadi proses pembelajaran, maka Madrasah tetap memilih model yang selama ini dijalankan dalam pendidikan di Indone sia. Bagi Madrasah, model klasikal sampai saat ini masih menjadi pilihan terbaik. Namun begitu, se- baiknya tidak dicoba kontraskan dengan semangat penghargaan individual. Sebab keduanya ma- sing-masing memiliki resiko yang harus dipersiapkan jawabannya. Pada akhimya dapat dipahami, bahwa hingga saat ini karakteristik individual belum dapat dijadikan satu pilihan kebijakan proses belajar proses belajar me ngajar di sekolah for mal. Pertama, berka- itan dengan permasalahan administra- sinya. Kedua, model pengakuan indivi dual ini memerlukan sarana yang me- madai. Ketiga, diperlukan sumber daya yang mapan. Dan keempat, desain kurikulumnya harus pula diarahkan pencapaian kematangan Bagi Madrasah, model klasikal sampai saat ini masih menjadi pilihan terbaik. Namim begitu, kita. Beberapa hal yang melatarbelakanginya, misalnya sebaiknya tidak dicoba dari sisi siswa, sam kontraskan dengan semangat penghargaan pai saat ini kita be individual. Sebab keduanya masing-masing memiliki resiko yang harus dipersiapkan jawabannya individual. Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki institusi formal termasuk Madrasah yang dinilai telah mempunyai kesetaraan pula de ngan sekolah umum, maka model pengajaran individual tidak dija dikan pilihan utama. Selanjutnya 84 di kelas Madrasah lum bisa menerapkan model belajar yang memberi peluang kepada siswa dalam merancang materi. Selain itu, latar- belakang budaya kita belum memungkinkan hadirnya siswa dalam kelompok elitbagi lingkungan tersebut. Jangankan untuk itu, mempertanyakan materi yang diajarkan saja, bagi siswa kita saat ini sudah menjadi persoalan yang pelik. Bukan hanya sekadar mengajukan pertanyaan, untuk JPI FakuUas Tarbiyah UIl, VoU TH.IIMei 1997 Muhammad Idrus, DitTtensi Anak. merumuskan pertanyaan yang baik saja, siswa kita beliim secara baik melakukannya. . Untuk itu, dalam memberda- yakan siswa kita, maka salah satu faktor yang harus dikuatkan adalah, aktualisasi potensi yang dimiliki siswa. Dalam konteks ini, siswa hams mampu melepaskan diri dari belenggu tradisi negatif yang selama ini.mengukungnya. Budaya bahwa diam itu emas, hams segera. mampuan terbatas. Bahkan sebagian diantaranya, adalah mereka yang terbuang dari persaingan memperebutkan kursi di sekolah umum. Input yang kurang layak (secara intelektual), jelas akan mempersulit siswa dalam proses transformasi pengetahuan. Ini mengingat posisi siswa sefeenamya bukan sekadar sebagai penerima informasi yang pasif, tetapi semestinya juga memidimntuhkan. . , liki kemampuan analisis. Dari perSisi lainnya adalah permasalah- soalcin di lapangan masih sering dian input, dan ini memang menjadi jumpai siswa yang kesulitan untuk salah satu aspek yang menarik un mengemukakan ide, apalagi untuktuk dikaji secara menmelakukan dialog. dalam. Secara jujur, Persoalan lain yang sangat tidak mun^dn mungkin persentase mengikat proses untuk mengharapkan mereka yang memipemberdayaan ini lulusan dengan hasil yang lih lembaga pendiadalah bahwa sis optimal, karena yang •dikan Islam lebih sewa bukan saja memasuk Halam lembaga ini dikit dibanding penngalami hambatan hanya mereka yang didikan umum, dan akademik, tetapi memiliki kemampuan di antara yang me(yang lebih mengi terbatas. Bahkan sebagian milih Madrasah, terkat) juga hambatan diantaranya, adalah nyata pula hanya mekultural. mereka yang terbuang dari millki kemampuan Selain itu, kita persaingan di bawahrata-ratasekomelihat dari sisi pimemperebu&an kursi di lah umum. Kalaupun ranti yang dimiliki. sekolah umum ada yang baik, diperProses belajar yang kirakan jumlah sangat memanjakan siswa sedikit. memang memerlukan piranti yang Pada kondisi ini, istilah garbage rn, garbage out akan lebih mungkin terjadi. Artinya, sangat tidak mimgkin untuk mengharapkan lulusan dengan hasil yang optimal, karena yang masuk dalam lembaga ini hanya mereka yang memiliki keJPI Fakultas Tarbiyah UII, Vol.3 TH.II Mei 1997 memadai. Salah satu kendala pe ngembangan yang dihadapi Madrasah yang kita miliki saat ini, ma^ sihberkutat pada persoalan klalsik, yang SDM dan pendanaan. Persoalan ini dengan sendirinya menimbulkan berbagai masalah lain 85 Muhammad Idrus, Dimensi Anak. dan salah satu yang jelas tampak Suatu proses pembelajaran, wa- adalah kurangnya sarana yang di- laupun bersifat behavioristik, tetap milikiMadrasah. ' perlu diupayakan imtuk optimal- Pada akhirnya, kekurangarx pi- isasi penggalian poteirsi yang dim- ranti yang dibutuhkan akan me- siswa Dalam hal ini perlu dila- nyebabkangurumelakukanpilihan ^ukan dekonstruksi termmologi dalammelaksanakanprosesbelajar T.1 pilihan .iM_ i. u i. mengajamya. Jika tersebut anfmwgurusebagaiguniflnsicrtdan disemangah oleh suatu cara untuk ^ f ^ menyiasati keterbatasan dana yang terlaksananya proses belajar dimilikinya, maka mungkin ini yang dialogis yang sangat jarang menjadi pilihan terbaik. Dengan terjadi dalam proses pembelajaran begitu, terhadap dampak pilihan dalam dimia pendidikan kita. tersebut ternyata menyudutkan , . . , j. ^ siswa pada posisi sub-ordmatnya, tentimya hal ini men jadi satu konsekwensi Suatu proses yang tidak terelakkan. Namunbegitu, ada cara yang mungkin dapat ditempuh dan relatif sederhana sifat- nya, yaitu pemberdayaan siswa, pada situasi yang telah ditentukan guru, dalam proses belajar rnengajar. Pada konteks ini, cukup ada kerelaan guru untuk melaku- pembelajaran, w^aupun bersifat behavioristik, tetap perlu diupayakan untuk optimalisasi penggalian potensi yang dimiliki siswa. Dalam hal ini perlu dilakukan dekonstruksi terminologi gurumurid, murid-guru kan dialog atas materi yang diajarkannya, sehingga siswa dapat melakukan satu refleksi-aksi atas ma teri yang diberikan guru. 86 , Kepustakaan Freire, Paulo, 1977., Pedagogy ofThe Oppresed. Harmondsworth, Middle sex, England: Pe nguin. Muhadjir, Noeng, 1987., ilmu Pendidik an dan Perubahan so- sial, suatu Teori Pen didikan. Yogyakarta: Rake Sarasin Schumacher, E.F., 1985.,iCedi itu indah: Ilmu ekonomi yang mementingkan rakyat kecil. Jakarta: LP3ES. Shane , Harlod G., 1984., Arti Pen didikan Bagi Masa Depan. Jakar ta: CV. Rajawali JPl Fakultas Tarbiyah UII, Vol.3 TH.II Mei 1997