MENENGOK HUBUNGAN ”KRATON DAN MASJID” DI DUNIA KERAJAAN MELAYU DAN JAWA: MENJADI PUSAT PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN LOKAL NUSANTARA YANG HARMONIS DAN TOLERAN Oleh: Djoko Suryo 1. Pendahuluan Tidak dapat disangkal bahwa sejak awal Kraton Islam di Nusantara memegang peran penting dalam proses Islamisasi di wilayah Kepulauan Nusantara. Kraton islam bukanlah satu-satunya pemegang peran tunggal dalam proses tersebut, selain kraton, masih ada pemegang peran penting lainnya, yaitu para Mubalig, Ulama, dan para Wali, pemegang lembaga Pesantren, Surau, Dayah, Madrasah dan yang sejenis. Hubungan erat antara kraton dan masjid bukanlah unik dalam Sejarah Islam Indonesia. Pertalian hubungan antar keduanya pada hakekatnya merupakan hubungan interaktif antara dua kekuatan kekuasaan politik (political power) dan kekuasaan keagamaan (religious power), yang keduanya memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan umat pendukungnya. Hubungan antara kedua kelompok tersebut cukup mewarnai dinamika perjalanan sejarah kerajaan Islam baik di Jawa maupun di dunia Melayu, baik dalam bentuk hubungannya yang harmonis maupun yang disharmonis. Simbolisasi hubungan interaktif dan dimamis antara kedua pemegang peran dalam masyarakat kerajaan Islam tersebut pada hakekatnya dapat digambarkan sebagai hubungan interaktif dan dinamis atara “Kraton dan Masjid”, “Kraton dan Pesantren” atau “Kraton, Raja atau Sultan dan Ulama”. Patut dicatat, bahwa bahwa dalam proses Islamisasi yang berlangsung secara harmonis, sesuai dengan kedudukan dan fungsi masing-masing, keduanya, sesungguhnya, memainkan peran strategisnya baik dalam proses penyebaran dan pengembangan (modes of transfer) maupun dalam proses pembumian Islam 1 (modes of translation and transmission) di wilayah Nusantara. Yang pertama menyangkut masalah tentang bagaimana Islam disebar-luaskan dari satu tempat dengan tempat lainnya, sementara yang kedua menyangkut tentang bagaimana proses pembelajaran (learning process) ajaran Islam bisa disemaikan, ditanam, dibuahkan dan diaktualisasikan (domestication process) dalam jiwa para pemeluknya, sesuai dengan latar sejarah dan lingkungan sosial-budaya masyarakat pendukungnya. Dinamika peran “Kraton dan Masjid” dalam pengembangan politik, masyarakat dan kebudayaan Islam dalam perjalanan sejarah Indonesia sesungguhnya dapat disimak dalam tiga lingkungan kerajaan Islam di Dunia Melayu, Dunia Pesisir Jawa dan Dunia Pedalaman Agraris Jawa. 2. Hubungan “Kraton dan Masjid” di Kerajaan Maritim Dunia Melayu Dinamika interaktif “Kraton-Masjid” dalam sejarah kerajaan Islam di Dunia Melayu dapat dijumpai, misalnya, di lingkungan tipe kerajaan maritim Kesultanan Aceh pada abad ke16-17, terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), dan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641). Kesultanan Aceh-Darussalam, yang merupakan pewaris dari tradisi kerajaan Islam Samudra-Pasai ini, sejak abad ke-16 berkembang dan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17. Kejayaan Kesultanan Aceh pada masa itu pada hakekatnya dapat terwujud berkat adanya keterkaitan tiga faktor pendukung kuat yaitu faktor politik, perdagangan dan agama (Taufik Abdullah, dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, 1986). Kraton tidak hanya menjalin hubungan politik dan perdagangan dengan dunia luar, tetapi juga hubungan erat dengan para ulama dari luar dan juga yang ada di kerajaan, sehingga memungkinkan kraton dapat memegang peran terkemuka dalam pengembangan Islam di Dunia Melayu. Sebaliknya kejayaan Kesultanan Aceh mengalami kemerosotan diduga juga karena adanya kemerosotan dalam ikatan hubungannya dengan para ulama, selain hadirnya pesaing baru yang datang yaitu VOC. 2 Keeratan hubungan interaktif antara Kraton Aceh dan para Ulama tercermin dalam keeratan hubungan interaktif Sultan Aceh pada waktu itu dengan para tokoh ulama terkemuka, seperti Nuru’d-din ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin As-Samatrani (meninggal 1630) dan Syekh Abdurrauf dari Singkel (1693). Dinamika hubungan tersebut pada hakekatnya dapat disimak antara lain dalam Bustanu’s -Slatin, karya Nuru’d-din ar-Raniri (Iskandar, 1966). 2. Hubungan ”Kraton dan Masjid” pada masa Kerajaan Islam Demak di Dunia Pesisir Utara Jawa Keeratan pertalian hubungan antara Sultan dan Ulama di Kesultanan Aceh, juga tampak secara jelas di Dunia Pesisir Utara Jawa yaitu di Kesultanan Demak pada abad ke-16. Sejak awal kelahirannnya, kerajaan Islam Demak dibangun dan dikembangkan atas dukungan para wali, yang lebih dikenal yaitu Wali Sanga, yang tidak lain mereka itu adalah para Mubalig atau Ulama Islam terkemuka, dihormati dan dianggap sebagai orang Suci atau Keramat. Kesembilan wali tersebut, seperti yang disebut-sebut dalam Babad Tanah Jawi dan Babad Demak serta tradisi lokal lainnya, antara lain adalah Sunan Ampel, Sunan Malik Ibrahim atau Maulana Magribi, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Murya, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Sedemikian terkemukanya kekudukan dan hubungan para Wali dengan kraton, tokoh Sunan Giri dalam laporan Belanda disebut-sebut sebagai priestervorstendom atau ”priestly state”, atau ”Paus di Jawa” (”Pope of Java”). Demikian halnya tokoh Sunan Kalijaga, secara legendaris terkenal pengaruhnya tidak hanya di kerajaan Demak tetapi juga di Mataram, sekalipun telah melampaui kehidupan historisnya. Selain tokoh-tokoh tersebut di atas, sesungguhnya masih banyak tokoh lain yang mendapat sebutan wali, yang secara legendaris juga terkenal di Jawa, terutama dari sisi ajaran heterodox-nya, antara lain, yaitu Seh Siti Jenar, Sunan Geseng, dan Pangeran Panggung (Lihat D.A Rinkes, 1996; Munir Mulkhan, 2002). Kesembilan 3 tokoh Wali Sanga tersebut di atas pada hakekatnya berfungsi sebagai penasehat Sultan dan Kerajaan, yang sangat besar pengaruhnya dalam memberikan dukungan dan pengarahan dalam kebijakan politik pemerintahan, hubungan perdagangan, dan kehidupan keagamaan, serta politik perluasan dan pengembangan Islam. Secara jelas pengaruh hubungan kerjasama kraton dan para wali telah mampu menggerakkan kebijakan hubungan politik kerajaan Demak berwawasan internasional (outward oriented), seperti tercermin dalam kemampuannya membangun jaringan perdagangan dengan Malaka dan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Selain itu Demak juga mendorong pertumbuhan bandar-bandar emporium, (seperti Gresik, Tuban, Sedayu dan Ampel Surabaya), melancarkan ekspansi wilayah pengaruhnya di berbagai wilayah di jawa timur, mensponsori pertubuhan Cirebon dan Banten dan juga menggalang solidaritas kerajaan Islam di Nusantara untuk ikut melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka pada 1551 dan 1574 (Ricklefs, 2008). Kraton Demak juga mampu membangun dunia kehidupan budaya Islam kosmopolitan di Pesisir Utara Jawa, dengan segala dimensinya, baik dimensi politik, kemasyarakatan, bahasa, seni, sastra dan filsafat keagamaannya, yang terekam dalam berbagai karya-karya tulis yang cukup penting. Namun, seperti halnya yang terjadi di dunia Melayu, karena adanya berbagai faktor internal dan eskternal dan mengendornya kekuatan hubungan ”Kraton dan para Ulama”, telah menyebabkan Demak mengalami kemunduran, dan berakhir dengan berpindahnya pusat politik ke daerah pedalaman Jawa Tengah yang jauh dari pantai, yaitu Pajang, pada sekitar pertengahan abad ke-16. 3. Hubungan ”Kraton dan Masjid” di Kerajaan Mataram Islam di Dunia Pedalaman Agraris Jawa Berakhirnya kerajaan Pajang pada akhir abad ke-16 telah menyebabkan pusat kerajaan berpindah lagi ke daerah pedalaman yang lebih jauh lagi dari Pesisir Utara Jawa, yaitu di wilayah Jawa Tengah bagian selatan, yang disebut Mataram. Di tempat inilah Panembahan Senapati Ingalaga (1584-1601), putra Ki Ageng 4 Pemanahan, pendukung Kesultanan Demak dan Pajang, mendirikan Kerajaan Mataram Islam dengan pusat kratonnya di Kota Gede. Menurut tradisi lokal, dan seperti disebutkan juga oleh Rijklof van Goens, utusan VOC yang datang ke Mataram di Kota Gede, menyebutkan bahwa Senapatilah yang menaklukkan penguasa lokal wilayah Mataram yang semula tidak mau masuk Islam, dan kemudian ia mendirikan istana dan dinasti kerajaan Mataram Islam di Kota Gede (Ricklfes, 2001). Selama lebih dari setengah abad lamanya kerajaan Mataram Islam tumbuh dan berkembang hingga mencapai puncak kebesarannya, terutama di bawah Sultan Agung (1613-1646), putra Panembahan Seda ing Krapyak (1601-1613) dan cucu Panembahan Senapati, yang terkenal sebagai seorang raja Mataram yang terbesar. Di bawah Sultan Agung, Mataram berhasil memperluas wilayah pengaruh kekuasaannya hampir di seluruh Jawa dengan melancarkan ekspansi ke berbagai wilayah, seperti ke daerah Pesisir Utara Jawa, wilayah Surabaya (1614) dan daerah Jawa Timur lainnya, serta upaya penghalauan kehadiran VOC di Batavia (1628 dan 1629). Apa yang dilakukan Sultan Agung dalam membangun hegemoni kerajaan Mataram Islam tersebut di atas adalah usahanya untuk meneruskan strategi politik harmoni ”Kraton dan Wali” yang berlaku di Demak, dengan strategi yang berbeda. Apabila dalam pola hubungan harmoni ”Kraton dan Masjid” di Dunia Pesisir Utara Jawa para Wali atau Ulama memiliki kedudukan tertinggi, maka kedudukan para ulama dalam pola hubungan harmoni kraton dan ulama di kerajaan Mataram, berada di bawah hegemoni kraton. Pergeseran kerajaan dari daerah pesisir ke pedalaman ini tidak hanya telah membawa pergeseran orientasi politik hubungan harmoni kraton dan ulama tersebut, tetapi juga diikuti dengan pergeseran-pergeseran orientasi strategi politik dalam bidang lainnya. Orientasi politik yang kosmopolitan dan berorientasi keluar (outward oriented) bergeser lebih ke orientasi ke dalam (inward oriented). Para penguasa dan ulama di pesisir banyak yang menentang hegemoni kraton Mataram 5 di pedalaman, sehingga harus ditundukkan dengan kekuasaan. Bandar-bandar emporium di pantai utara banyak ditutup. Aktivitas dunia maritim merosot, dan beregeser ke aktivitas dunia agraris. Sekalipun demikian, melalui hegemoni kekuasaan kraton, Sultan Agung berhasil melancarkan politik pengembangan Islam yang strategis. Islamisasi di daerah pedalaman mulai dikembangkan. Kehidupan keagamaan di kraton dibangun menjadi salah satu prioritas. Simbol dan ikon keislaman dibangun, seperti ditandai dengan pembangunan masjid kraton, mengikuti tata lingkungan kraton Demak, gaya pakaian, tradisi upacara keagamaan, termasuk upacara Sekaten. Pengangkatan ulama dan penghulu agama yang bertanggung jawab dalam pengadilan agama di kraton mulai dilakukan. Sultan Agung sendiri meligitimasi dirinya sebagai raja Islam dengan menggunakan gelar Sultan, yang diterimanya dari Mekah. Lebih penting lagi Sultan Agung melakukan perubahan Sistem Kalender Jawa dari kalender tahun Saka ke Kalender Lunar Islam-Jawa. Ia juga melakukan penciptaan karya-karya sastra-keagamaan, Sastra Gending, serta mengembangkan karya-karya sastra yang berwawasan Islami, seperti Carita Sultan Iskandar, Serat Yusuf, Usulbiyah dan Iskandar (Ricklefs, 1998; 2008;). Tampak jelas simbol harmoni ”Kraton dan Masjid” pada masa Sultan Agung diciptakan dengan menempatkan kraton menjadi ikon Kraton-Islam di Jawa. 4. Hubungam ”Kraton dan Masjid” pada masa Kerajaan Mataram: Usaha Memelihara Semangat Pengembangan Islam dari Masa Mataram Sepeninggal Sultan Agung (1646) kerajaan Mataram mengalami kemerosotan, sebagai akibat tidak adanya kontinuitas kaliber kepemimpinan seperti Sultan Agung bagi para penerusnya. Faktor-faktor internal kraton dan faktor eksternal, terutama dalam menghadapi tekanan pengaruh kekuasaan Barat, telah menjadikan pewaris kerajaan Mataram harus menyusun strategi dan siasat politik kraton sesuai dengan tantangan zamannya. 6 Pergeseran kraton Mataram dari Kota Gede, Kerta, Plered, ke Kartasura (1680) dan ke Surakarta (1746) telah membawa pergeseran kebijakan politik dalam pengembangan Islam. Dinamika pergeseran pusat politik kraton di Jawa secara dinamis terjadi dari semenjak kraton Kartasura harus pindah ke Surakarta, dan mencapai puncaknya ketika kraton di Jawa harus terpecah menjadi dua kraton, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada 1755, berdasarkan Perjanjian Giyanti. Perpecahan kraton terus bergulir pada masa berikutnya dengan berdirinya, Kadipaten Mangkunegaran (1756) dan Kadipaten Paku Alaman (1812), telah menjadikan pusat politik dan kebudayaan Jawa-Islam menjadi semakin terbagi. Persoalan yang menarik dalam hubungan ini adalah bagaimanakah masingmasing kraton di Jawa itu meneruskan semangat pengembangan Islam yang pernah dilakukan oleh kerajaan Mataram atau kerajaan Islam sebelumnya. Dalam hubungan ini menarik untuk disimak adalah bagaimanakah kedua kraton Jawa penerus Kerajaan Mataram, yaitu Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta meneruskan siasat politik harmoni ”Kraton dan Masjid” dari semenjak awal hingga masa berakhirnya kekuasaan kolonial di Indonesia? Mengenai hal tersebut di atas beberapa segi yang menarik untuk dicatat adalah sebagai berikut. Ada petunjuk bahwa Kraton Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta dalam perjalanan sejarahnya tampak berusaha tetap menjaga kebijakan pewarisan nilai-nilai Kerajaan Mataram Islam. Sebagai pewaris kerajaan Mataram Islam, Kraton Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta berusaha mempertahankan ciri-ciri, simbol-simbol Islam yang disesuaikan dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat Jawa di daerah pedalaman agraris, baik secara fisik maupun non-fisik dengan melakukan siasat inklusif sesuai dengan kedudukannya yang berada dalam tekanan kekuasaan kolonial Belanda. Hal ini dilakukan dari semenjak awal berdirinya kraton sampai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia. 7 Selain itu, citra Kraton Islam-Jawa atau Jawa-Islam secara simbolis dipertahankan antara lain dalam segi Gelar, Struktur Birokrasi (Abdi Dalem Penghulu, Peradilan, Pendidikan di kraton dan Pesantren, Kapujanggan), tata ruang dan bangunan keagamaan (Masjid Agung), upacara tradisi keagamaan (Grebeg Sekaten, Pakaian,) pembelajaran keagamaan (pengajian, madrasah di sekitar kraton), dan membangun kelembagaan intelektual dan literati kaum kapujangga kraton, yang berhasil menciptakan karya-karya literer-keagamaan terkemuka dalam Sastra Jawa. Kraton juga berhasil melahirkan tokoh pujangga kraton terkemuka, antara lain ialah Yasadipura dan Ranggawarsito. Dalam beberapa segi, Kraton Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, pada abad ke 19 dan awal abad ke-20, tampak menjaga hubungan erat dengan pusat-pusat Pesantren yang ada di luar Kraton, sebagai perwujudan pelestarian politik harmoni “Kraton dan Masjid”. Sebagai contoh, kraton Kasunanan Surakarta berhubungan erat dengan beberapa pesantren di Ponorogo, dan pesantren di daerah Banyumas. Demikian juga Kraton Kesultanan Yogyakarta, menjalin hubungan erat dengan Pesantren yang ada di wilayah Masjid Pathok Negara, seperti Pesantren Melangi dan Pesantren Krapyak, serta pesantren lainnya. Karena itu, tidak mengherankan apabila pada awal abad ke-20 wilayah Kraton Surakata ikut membidani kelahiran Sarekat Islam (1911), dan wilayah Kraton Yogyakarta ikut membidani kelahiran Muhammadiyah (1912). Malahan, kedua wilayah tersebut kemudian juga menjadi pusat kegiatan pergerakan nasional yang cukup penting. Sekalipun telah mengalami perubahan-perubahan besar sebagai akibat proses pergeseran dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan dan proses modernisasi serta globalisasi, kedua kraton Jawa tersebut masih tampak berusaha untuk mempertahankan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa atau kebudayaan Nusantara, sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing. 8 5. Penutup Pada hakekatnya kraton di Dunia Melayu dan Dunia Jawa memiliki peran strategis dalam pembangunan kebudayaan Islam di Nusantara yang harmonis, karena beberapa hal. Pertama, kedudukan sentral raja dalam sistem politik kerajaan, yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakatnya. Kedua, dalam perspektif kebudayaan Nusantara, kraton dipandang sebagai ibukota pemerintahan kerajaan. Di kraton Jawa disebut Nagari, atau wilayah Negara Pusat (Negara Agung, di Kraton Jawa) yang membawahi wilayah kekuasaan kerajaan beserta warga kerajaannya, yang berada di luar istana. Ketiga, istana memiliki perangkat birokrasi yang bertugas dalam pemeliharaan kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan serta kebudayaan. Keempat, istana menjadi pusat lahirnya para intelektual, pujangga dan ulama yang mendukung perkembangan Islam dan kebudayaan Nusantara. Kelima, istana, karena posisi sentralnya, memungkinkan menjadi jembatan dan sumber pengembangan Islam dan dimensi kebudayaan Nusantara di wilayah kerajaannya. Kraton Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta pada masa kini, dan juga kraton-kraton lain di Indonesia, memungkinkan sekali untuk menjadi pusat pengembangan kebudayaan lokal Nusantara yang harmonis dan toleran, yang dapat memperkuat pilar kebudayaan Indonesia modern di masa depan. Yogyakarta, 15 Maret 2010 9 DAFTAR BACAAN Abdul Munir Mulkhan. Syeh Siti Jenar, Pergumulan Islam-Jawa. Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002. Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yamin Hussain (comp.). Readings on Islam in Southeast Asia. Singapore: ISAS, 1985. Azyumardi Azra. The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern “Ulama” in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Honolulu: Allen & Unwin and University of Hawaii Press, 2004. Drewes, G.W.J. (ed. Trans.). The Admonition of Seh Bari. The Hague: Martinus Nijhoff, 1969. _________ An Early Javanese code of Muslim Ethics. The Hague: Martinus Nijhoff, 1978. _________ “Herkomst van Nuruddin ar-Raniri”, BKI, 111 (1955). __________. “Nur al-Din al-Raniri’s charge of Heresy against Hamzah and Shamsuddin froman International point of view”, pp 54-59 in Grijns and Robson (ed.) Cultural Contact and Textual Interpretation Papers from the FourthEuropean Colloquium on Malay and Indponesian studies, held in Leiden in 1983. VKI, vol. 115. Dordrecht and Cinnaminson: Foris: 1986. Olthof., W.L. (ed & peny). Babad Tanah Djawi in proza: Javaansche geschiedies. 2 jld. ‘s-Gravenhage: M. Martinus Nijhoff, 1941. Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia, since c. 1200. Edisi Ketiga. Houndmills, etc., Palgrave, 2008.. __________. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Terj. Tim Pen. Serambi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008. ________. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749-1792: A History of the Division of Java. London, etc.: Oxford University Press, 1974. __________. The Seen and Unseen Worlds in Java,History, Literatur and Islam in the Court of Pakubuwa II. St. Leonards, NSW: Asian Association of Australia in association with Unwin, 1998. 10 _________. Mystic Synthesis in Java. A History of Islamization from the Fourteenth to the Nineteenth Century. Norwalk: EastBridge, 2006. Riddell, Peter G. Islam and the Malay-Indonesian World. Transmission and Responces Singapore: Hoizon Books, 2001.. Rinkes, D.A. Nine Saints of Java. Terj. H.M. Froger. Kuala Lumpur: Malaysian Sociological Research Institute, 1996. Taufik Abdullah, ”The Peantren in Historical Perspective” dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (eds.), Islam and Society in Soutrheast Asia. Singapore: ISEAS, 1986. T. Iskandar. Nuru’d-din ar-Raniri Bustanu’s-Salatin Bab II, Fasal 13. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966. _________ .De Hikayat Atjeh. The Hague: M. Nijhoff, 1958. Woordward, Mark R. Islam in Java. Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta. Tucson: The University of Arizona Press, 1989 11