5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Hipertensi 1.1. Definisi Hipertensi secara umum dapat didefinisikan sebagai tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah manusia secara alami berfluktuasi sepanjang hari. Tekanan darah tinggi menjadi masalah hanya bila tekanan darah tersebut persisten. Tekanan darah tersebut membuat sistem sirkulasi dan organ yang mendapat suplai darah (termasuk jantung dan otak) menjadi tegang (Palmer, 2005). Menurut WHO batas normal tekanan darah adalah 120–140 mmHg tekanan sistolik dan 80 – 90 mmHg tekanan diastolik. Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda (Corwin, 2009). Tekanan darah normal bervariasi sesuai usia, sehingga setiap diagnosis hipertensi harus bersifat spesifik usia (Corwin, 2009). Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure yang ke 7 (dalam Corwin, 2009) telah mempublikasikan revisi panduan nilai tekanan darah sistolik dan diastolik yang optimal dan hipertensif. Pada umumnya, tekanan yang dianggap optimal adalah kurang dari 120 mmHg untuk tekanan sistolik dan 80 mmHg untuk tekanan diastolik, sementara tekanan yang dianggap hipertensif adalah lebih dari 140 mmHg untuk sistolik dan lebih dari 90 mmHg untuk dastolik. Istilah “prahipertensi” adalh tekanan darah antara 120 mmHg dan 139 mmHg untuk sistolik dan 80 dan 89 mmHg untuk diastolik. Untuk individu 5 Universitas Sumatera Utara 6 terutama yang memiliki faktor risiko kardiovaskuler bermakna, termasuk riwayat yang kuat dalam keluarga untuk infark miokard atau stroke, atau riwayat diabetes pada individu, bahkan pada nilai prahipertensif dianggap terlalu tinggi (Corwin, 2009). 1.2. Etiologi Pada lebih dari 95% penderita hipertensi tidak dapat ditemukan penyebabnya yang khusus. Para pasien ini didiagnosis sebagai pasien hipertensi primer. Sebagian kecil dari pasien yang penyebab khususnya dapat diidentifikasi telah didiagnosis sebagai pasien hipertensi sekunder ( Corwin, 2009). Ada beberapa penyebab hipertensi yaitu: Usia, insidens hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur. Kelamin, pada umumnya insidens pada pria lebih tinggi daripada wanita, namun pada usia pertengahan dan lebih tua, insidens pada wanita mulai meningkat, sehingga pada usia di atas 65 tahun, insidens pada wanita lebih tinggi. Ras, hipertensi pada orang yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada orang yang berkulit putih. Akibat penyakit ini umumnya lebih berat pada ras ulit hitam. Misalnya mortalitas pasien pria hitam dengan diastole 115 atau lebih, 3,3 kali lebih tinggi daripada pria berkulit putih, dan 5,6 kali bagi wanita putih. Pola Hidup, faktor seperti pendidikan, penghasilan, dan faktor pola hidup lain telah diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan yang rendah, tingkat Universitas Sumatera Utara 7 pendidikan rendah, dan kehidupan atau pekerjaan yang penuh stres agaknya berhubungan dengan insidens hipertensi yang lebih tinggi. 1.3. Faktor Risiko Pada sebagian besar kasus, penyebab tekanan darah tinggi tidak diketahui. Hal ini terutama terjadi pada hipertensi esensial. Walaupun demikian, terdapat beberapa faktor risiko yang dapat membuat anda lebih mudah terkena tekanan darah tinggi (Palmer, 2007). Faktor risiko tersebut meliputi: Kelebihan berat badan, didefenisikan sebagai indeks masa tubuh (BMI) lebih besar dari 30KG/m². Hal tersebut sangat terkait erat dengan tekanan darah tinggi. Kurang berolahraga dan aktivitas fisik, sebuah gaya hidup tak berpindahpindah kontribusi untuk pengembangan kegemukan dan tekanan darah tinggi. Mengonsumsi makanan berkadar garam tinggi, beberapa orag memiliki kepekaan tinggi untuk sodium (garam), dan tekanan darah mereka akan meningkat jika mereka menggunakan garam. Mengurangi konsumsi sodium cenderung menurunkan tekanan darah. Makanan cepat saji merupakan makanan yang terutama mengandung jumlah sodium yang tinggi. Banyak obat-obatan seperti analgesik juga mengandung sodium dalam kadar yang lebih. Usia tua, tekanan darah cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, terutama sistolik. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh arteriosklerosis. Riwayat tekanan darah tinggi dalam keluarga, kita cenderung menyandang tekanan darah tinggi bila kedua orang tua kita juga menyandangnya. Universitas Sumatera Utara 8 Etnis, orang kulit hitam lebih besar risiko terkena darah tinggi daripada orang kulit putih. Hal tersebut juga dapat muncul dengan kemungkinan lebih besar pada usia muda dan berkembang menjadi komplikasi yang lebih cepat. Gender, tekanan darah tinggi sedikit lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Kemungkinan ini bervariasi dengan usia dan diantara kelompok etnis. Obat, beberapa obat seperti amphetamine (stimulan), diet pil, dan beberapa pil yang digunakan untuk keadaan dingin dan gejala alergi, cenderung untuk meningkatkan tekanan darah. Walaupun merokok hanya menyebabkan peningkatan tekanan darah sesaat, namun merokok secara dramatis meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke. Meskipun makan terlalu banyak lemak (terutama lemak jenuh yang ditemukan pada daging dan produk susu) tidak secara langsung dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah, namun tetap merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular karena hal tersebut terkait dengan tingginya kadar kolesterol dalam darah (Palmer, 2007). 1.4. Klasifikasi Hipertensi sering diklasifikasi menjadi hipertensi primer atau sekunder, berdasarkan ada tidaknya penyebab yang dapat diidentifikasi. Kebanyakan besar kasus hipertensi primer atau esensial. Apabila penyebab hipertensi dapat diketahui dengan jelas, disebut hipertensi sekunder (Corwin, 2009). Universitas Sumatera Utara 9 Hipertensi Esensial (primer) Tipe ini terjadi pada sebagian besar kasus tekanan darah tinggi sebesar 95%. Penyebabnya tidak diketahui, walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan (Corwin, 2009). Hipertensi Sekunder Salah satu contoh hipertensi sekunder adalah hipertensi vaskuler renal, yang terjadi akibat stenosis arteri renalis. Kelainan ini dapat bersifat kongenital atau akibat aterosklerosis. Stenosis arteri renalis menurunkan aliran darah ke ginjal sehingga terjadi pengaktifan baroreseptor ginjal, perangsangan pelepasan renin, dan pembentukanangiotensin II. Angiotensin II secara langsung meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan TPR, dan secara tidak langsung dengan meningkatkan sintesis aldosteron dan reabsorpsi natrium. Apabila dapat dilakukan perbaikan pada stenosis, atau apabila ginjal yang terkena diangkat, tekanan darah akan kembali ke normal (Corwin, 2009). 1.5. Patofisiologi Dimulai dengan atherosclerosis, gangguan struktur anatomi pembuluh darah perifer yang berlanjut dengan kekakuan pembuluh darah. Kekakuan pembuluh darah disertai dengan penyempitan dan kemungkinan pembesaran plaque yang mennghambat gangguan peredaran darah perifer. Kekakuan dan kelambanan aliran darah menyebabkan beban jantung bertambah berat yang akhirnya dikompensasi dengan peningkatan upaya pemompaan jantung yang memberikan gambaran peningkatan tekanan darah dalam sistem sirkulasi (Bustan, 2007). Universitas Sumatera Utara 10 1.6. Komplikasi Stroke merupakan salah satu komplikasi dari tekanan darah tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Komplikasi akibat hipertensi yang lain adalah terjadinya infark miokard. Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan (Corwin, 2009). Gagal ginjal juga dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, dan glomerolus. Rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik. Ensefalopati dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Selain itu, hipertensi Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya kejantung sehingga menyebabkan bengkak atau sering dikatakan edema (Corwin, 2009). Universitas Sumatera Utara 11 2. Konsep Tidur 2.1. Definisi Tidur Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua orang. Untuk dapat berfungsi secara normal, maka setiap orang memerlukan istirahat dan tidur yang cukup. Pada kondisi istirahat dan tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal. Setiap individu mempunyai kebutuhan istirahat dan tidur yang berbeda. Pola istirahat dan tidur yang baik dan teratur memberikan efek yang bagus terhadap kesehatan (Asmadi, 2008). Tidur adalah suatu proses perubahan kesadaran yang terjadi berulangulang selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005). Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar di mana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang, dan adapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup. Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya (Guyton & Hall, 1997). 2.2. Fisiologi Tidur Tidur dimulai dengan aktifitas fisik minimal, tingkatan kesadaran yang bervariasi, perubahan-perubahan proses fisiologi tubuh dan penurunan respon terhadap rangsangan dari luar. Tidur merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, sama halnya seperti kesehatan yang baik secara umum (Guyton & Hall,1997). Tiap individu membutuhkan jumlah yang berbeda untuk tidur. Tanpa jumlah tidur yang cukup, kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan, Universitas Sumatera Utara 12 dan berpartisipasi dalam aktivitas harian akan menurun, dan meningkatkan iritabilitas (Potter & Perry, 2005). Sebagian besar organisme hidup menunjukkan adanya fluktuasi fungsi tubuh yang berirama sepanjang kurang lebih 24 jam, yaitu berirama sirkadian. Umumnya, organisme –organisme tersebut menjadi terlatih seirama dengan siklus cahaya siang-malam yang terjadi di lingkungannya (Ganong, 1998). Irama sirkadian mempengaruhi pola fungsi biologis utama dan fungsi perilaku. Fluktuasi dan prakiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekresi hormon, kemampuan sensorik, dan suasana hati tergantung pada pemeliharaan siklus sirkadian 24 jam (Potter & Perry, 2005). Zona tidur otak depan basal meliputi bagian-bagian dari hipotalamus. Dari hipotalamus, jalur endokrin dan saraf yang menuju ke berbagai bagian tubuh, mengatur irama ini, termasuk pelepasan melatonin di malam hari, yang berfungsi sebagai sinyal waktu sistemik (Ganong, 1998). Irama biologis tidur sering menjadi sinkron dengan fungsi tubuh yang lain. Jika siklus tidur bangun menjadi terganggu (misalnya perputaran dinas kerja), maka fungsifisiologis lain dapat berubah juga. Kegagalan untuk mempertahankan siklus tidur-bangun individual yang biasanya dapat secara berlawanan mempengaruhi kesehatan keseluruhan seseorang (Potter & Perry, 2005). Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi fungsi aktivitas sistem saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam sistem saraf peripheral, endokrin, kardiovaskuler, pernapasan dan muskular. Tiap rangkaian didefinisikan dengan respon fisik tertentu dan pola Universitas Sumatera Utara 13 aktivitas otak. Peralatan seperti elektroensefalogram (EEG), yang mengukur aktivitas listrik dalam korteks serebral, elektromiogram (EMG), yang mengukur tonus otot dan elektrookulogram (EOG) yang mengukur gerakan mata, memberikan informasi struktur aspek fisiologis tidur (Potter & Perry, 2005). Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada hubungan natara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermiten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan terjaga dan yang lain menyebabkan tertidur. Siklus tidur-bangun mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan respon prilaku. Jika siklus tidur-bangun seseorang terganggun, maka fungsi fisiologis tubuh yang lain juga dapat terganggu atau berubah. Kegagalan untuk mempertahankan siklus tidur-bangun individual yang normal dapat mempengaruhi kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2005). Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tetentu dalam sistem tidur Raphe pada puas dan otak depan bagian tengah. Zat agonis serotonin berguna untuk menekan tidur dan antagonis serotonin meningkatkan tidur gelombang lambat pada manusia. Seseorang tetap tertidur atau terbangun tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi, reseptor sensori perifer dan sistem limbik. Ketika seseorang mencoba untuk tidur mereka akan menutup mata dan berada pada posisi rileks. Jika stimulus ke SAR menurun maka aktivitas SAR juga akan menurun. Pada beberapa bagian lain, BSR mengambil alih dan menyebabkan seseorang tidur (Ganong, 1998). Jumlah tidur total tidak berubah sesuai pertambahan usia. Akan tetapi, pola tidur kelihatan Universitas Sumatera Utara 14 menjadi berubah pada kebanyakan orang dewasa. Keluhan tentang kesulitan tidur waktu malam seringkali terjadi di antara orang dewasa, seringkali akibat penyakit yang diderita individu tersebut. 2.3. Fungsi Tidur Fungsi secara jelas tidak diketahui, akan tetapi diyakini bahwa tidur dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan mental, emosional, kesehatan, mengurangi stress pada paru, kardiovaskuler, endokrin, dan lain-lain. Secara umum terdapat dua efek fisiologis dari tidur : pertama, efek pada sistem saraf yang diperkirakan dapat memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan di antara berbagai susunan saraf, dan kedua, efek pada struktur tubuh dengan memulihkan kesegaran dan fungsi dalam organ tubuh karena selama tidur terjadi penurunan (Hidayat, 2006). Menurut hodgson, 1991 (di kutip dari Potter & Perry, 2005) kegunaan tidur masih belum jelas, namun di yakini tidur diperlukan untuk menjaga keseimbangan mental, emosional dan kesehatan. Menurut Anch dkk, 1988 (di kutip dari Potter & Perry 2005) Teori Lain tentang kegunaan tidur adalah tubuh menyimpan energi selama tidur. Otot skelet berelaksasi secara progresif, dan tidak adanya kontraksi otot menyimpan energi kimia untuk proses seluler. Penurunan laju metabolik basal lebih jauh menyimpan persediaan energi tubuh. Tidur diperlukan untuk memperbaiki proses biologis secara rutin, selama tidur gelombang rendah yang dalam NREM (nonrapid eye movement tahap IV), tubuh melepaskan hormon pertumbuhan manusia untuk memperbaiki dan Universitas Sumatera Utara 15 memperbaharui sel epitel dan sel khusus seperti sel otak. Sintesa protein dan pembagian sel untuk pembaharuan jaringan seperti pada kulit, sumsum tulang, mukosa lambung terjadi juga selama tidur dan istirahat (Potter & Perry, 2005). Pada tidur REM (rapid eye movement) terjadi perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen dan pelepasan epinefrin, sehingga membantu penyimpanan memori dan pembelajaran maka tidur REM penting untuk pemulihan koqnitif. Tanpa kebutuhan tidur dan istirahat yang cukup, konsentrasi dan pengambilan keputusan akan menurun (Potter & Perry, 2005). Menurut Oswold, 1984 (dikutip dari Potter & Perry, 2005) kegunaan tidur yang lain adalah selama tidur tubuh akan menyimpan energi. 2.4. Tahapan Tidur Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau Rapid Eye Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur stadium empat; lalu diikuti oleh fase REM (Patlak, 2005). Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam semalam (Potter & Perry, 2005). a. Tidur stadium satu Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain. Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan, dan aktivitas otot melambat (Patlak, 2005). Universitas Sumatera Utara 16 b. Tidur stadium dua Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung melambat dan suhu tubuh menurun. Pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005). c. Tidur stadium tiga Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998). Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun, individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa menit. d. Tidur stadium empat Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk memulihkan energi fisik (Guyton & Hall, 1997). Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan sangat restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup istirahat dan energik di siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun. Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005). Universitas Sumatera Utara 17 Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi tetapi mimpi dari tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang (Potter & Perry, 2005). Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan NREM terjadi berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup mengalami REM, maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang gesit. Gambar 2.1. Tahap-tahap tidur (Potter & Perry, 2005) Tahap pratidur NREM tahap I NREM tahap II NREM tahap III NREM tahap IV Tidur REM NREM tahap IV NREM tahap III Tahap ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologis dan psikologis dapat terganggu (Potter & Perry, 2005). Universitas Sumatera Utara 18 2.5. Pola Tidur Pola Tidur adalah ritme jadwal tidur dan bangun seseorang dalam jangka waktu tertentu pada malam hari dan meliputi waktu untuk memulai tidur, frekuensi terbangun malam, kepuasan tidur, kedalaman tidur, dan konsentrasi beraktivitas (Potter & Perry, 2005) serta total jam tidur dan rasa segar bangun pagi (Guyton & Hall, 1997). Usia merupakan salah satu faktor penentu lamanya tidur yang dibutuhkan seseorang. Semakin tua usia, maka semakin sedikit pula lama tidur yang dibutuhkan (Asmadi, 2008). Pola tidur normal berdasarkan tingkat perkembangan/usia, yaitu: Bayi baru lahir Tidur 14-18 jam sehari, pernapasan teratur, gerak tubuh sedikit, 50% tidur NREM. Setiap siklus sekitar 45-60 menit (Asmadi, 2008). Bayi yang lahir dari ibu tanpa medikasi lahir dalam keadaan terjaga. Mata terbuka lebar dan mengisap kencang. Setelah sekitar satu jam bayi baru lahir menjadi diam dan kurang responsif terhadap stimulus internal dan eksternal. Periode tidur berakhir beberapa menit, 2 sampai 4 jam setelahnya. Kemudian bayi terbangun lagi dan seringkali menjadi terlalu responsif terhadap stimulus. Stimulus lapar, nyeri, dingin, atau yang lain seringkali menyebabkan tangisan. Pada minggu pertama, bayi baru lahir tidur dengan konstan. Kira-kira 50% dari tidur ini adalah tidur REM, yang menstimulasi pusat otak tertinggi. Hal ini dianggap esensial bagi perkembangan karena neonatus tidak terjaga cukup lamauntuk stimulasi eksternal yang bermakna (Potter & Perry, 2005) Universitas Sumatera Utara 19 Bayi, tidur 12-14 jam sehari, 20-30% tidur REM, tidur lebih lama pada malam hari dan memiliki pola terbangun sebentar (Asmadi, 2008). Bayi tertidur beberapa kali pada siang hari tetapi biasanya tidur rata-rata 8 sampai 10 jam pada malam hari. Sekitar 30% dari waktu tidur dihabiskan dalam siklus REM. Bangun biasanya pada pagi hari, meskipun tidak umum bagi bayi untuk terjaga selama malam hari. Jika bangun selama malam hari menjadi rutin, masalahnya pada diet karena lapar seringkali membangunkan anak. Bayi yang minum ASI biasanya tidur selama periode yang lebih pendek, dengan lebih sering terbangun, daripada bayi yang minum susu botol ( Wong, 1995). Bayi yang lebih besar tidur lebih lama daripada bayi yang lebih kecil karena kapasitas lambungnya yang lebih besar. Seorang bayi antara usia 1 bulan dan 1 tahun tidur rata-rata 14 jam sehari. Dibandingkan dengan anak-anak yang lebih besar, tidur aktif (REM) membentuk proporsi tidur yang lebih besar. Sebaliknya pada bayi baru lahir yang tidur dan bangun bergantian sepanjang periode 24 jam, setelah usia 3 bulan periode tidur terpanjang terlihat pada malam hari (Potter & Perry, 2005). Todler, tidur sekitar 10-12 jam sehari, 25% tidur REM, banyak tidur pada malam hari, terbangun dini hari berkurang, siklus bangun tidur normal sudah menetap pada umur 2-3 tahun (Asmadi, 2008). Sedangkan menurut Potter & Perry (2005), pada usia 2 tahun, anak-anak biasanya tidur sepanjang malam dan tidur siang setiap hari. Total tidur rata-rata 12 jam sehari. Tidur siang dapat hilang pada usia 3 tahun. Hal yang umum bagi todler terbangun pada malam hari. Persentase tidur REM berlanjut menurun. Selama periode ini todler tidak ingin tidur pada malam hari. Ketidakinginan ini dapat berhubungan dengan kebutuhan untuk Universitas Sumatera Utara 20 otonomi, atau takut perpisahan. Todler mempunyai kebutuhan untuk mengeksplorasi dan memuaskan keingintahuannya, yang dapat menjelaskan mengapa beberapa dari mereka mencoba untuk menunda waktu tidur. Pra sekolah, tidur sekitar 11 jam sehari, 20% tidur REM, periode terbangun kedua hilang pada umur 3 tahun. Pada umur 5 tahun, anak pra sekolah jarang tidur siang. Kecuali pada kebudayaan yaitu siesta adalah kebiasaan. Anak usia pra sekolah biasanya mengalami kesulitan untuk relaks atau diam setelah hari-hari yang aktif, panjang. Anak usia pra sekolah juga mempunyai masalah dengan ketakutan waktu tidur, terjaga malam hari, atau mimpi buruk. Orang tua paling berhasil untuk membawa anak pra sekolah untuk tidur dengan membina ritual yang konsisten yang mencakup aktivitas waktu tenang sebelum waktu tidur. Biasanya, para ahli tidak merekomendasi seorang anak diperbolehkan tidur dengan orang tua. Akan tetapi, di beberapa kebudayaan, berbagi tempat tidur atau ruangan dengan orang tua telah diterima sebagai praktik tidur (Potter & Perry, 2005). Usia Sekolah, tidur sekitar 10 jam sehari, 18,5% tidur REM. Sisa waktu tidur relatif konstan. Biasanya anak usia ini menolak untuk tidur siang karena aktivitas yang menurutnya menyenangkan (Asmadi, 2008). Menurut Potter & Perry (2005), jumlah tidur yang diperlukan pada usia sekolah bersifat individual dikarenakan status aktivitas dan tingkat kesehatan yang bervariasi. Anak usia sekolah biasanya tidak membutuhkan tidur siang. Pada usia 6 tahun akan tidur malam rata-rata 11 sampai 12 jam; sementara anak usia 11 tahun tidursekitar 9 sampai 10 jam. Anak usia 6 atau 7 tahun biasanya dapat dibujuk untuk tidur Universitas Sumatera Utara 21 dengan mendorong melakukan aktivitas yang tenang. Anak yang lebih tua seringkali menolak tidur karena ketidaksadaran terhadap kelelahan atau kebutuhan mandiri. Anak usia sekolah akan menjadi lelah pada hari berikutnya jika diizinkan untuk tinggal lebih lama dari biasanya. Anak yang lebih tua meminta waktu tidur yang lebih larut sebagai suatu simbol dominan dari anak yang lebih muda. Orang tua biasanya berhasil membuat anak yang lebih tua untuk tidur dengan menggunakan pendekatan tegas dan konsisten. Anak usia sekolah yang lebih tua diperbolehkan tidur lebih larut, tetapi hak istimewa ini tergantung pada anak untuk tidur segera tanpa keluhan. Remaja, tidur sekitar 8,5 jam sehari, dan 20% tidur REM. Hari-hari remaja biasanya diisi oleh banyak kegiatan. Sehingga cenderung tidur larut malam dan bangun terlambat (Asmadi, 2008). Tuntutan sekolah, kegiatan sosial setelah sekolah, dan pekerjaan paruh waktu menekan waktu yang tersedia untuk tidur. Remaja pergi tidur lebih larut dan bangun lebih cepat pada waktu sekolah menengah atas. Harapan sosial yang umum adalah remaja membutuhkan tidur yang sedikit daripada praremaja. Akan tetapi, data laboratorium menunjukkan bahwa remaja mempunyai kebutuhan fisiologis untuk tidur lebih banyak bila dibandingkan dengan praremaja. Karena tuntutangaya hidup yang memperpendek waktu yang tersedia untuk tidur dan kemungkinan kebutuhan fisiologis, maka remaja seringkali mengantuk berlebihan pada siang hari (excessive daytime sleepness, EDS). Penampilan di sekolah, kerentanan terhadap kecelakaan, dan masalah perilaku dan suasana hati karena EDS yang berhubungan dengan tidur yang tidak cukup. Orang tua, guru, dan remaja itu sendiri seringkali kekurangan Universitas Sumatera Utara 22 pengetahuan tentang apa itu tidur yang tepat. Mereka memerlukan pendidikan untuk meningkatkan apa yang menjadi masalah kesehatan yang penting bagi remaja (Potter & Perry, 2005). Dewasa muda, tidur sekitar 7-9 jam sehari, 20-25% tidur REM, 5-10% Tidur tahap I, 50% tidur tahap II, dan 10-20% tidur tahap II dan IV. Dewasa muda yang sehat membutuhkan cukup tidur untuk berpartisipasi dalam kesibukan aktivitas yang mengisi hari-hari mereka. Akan tetapi, adalah hal yang umum untuk tuntutan gaya hidup yang mengganggu pola tidur yang umum. Stres pekerjaan, hubungan keluarga, dan aktivitas sosial dapat mengarah pada insomnia (mis. kesulitan memulai dan/atau mempertahankan tidur) dan penggunaan medikasi untuk tidur. Penggunaan jangka panjang medikasi tersebut dapat mengganggu pola tidur dan memperburuk masalah insomnia (Potter & Perry, 2005). Dewasa pertengahan, tidur sekitar 7 jam sehari, 20% tidur REM. Selama masa dewasa tengah total waktu yang digunakan untuk tidur malam hari mulai menurun. Jumlah tidur tahap 4 mulai menurun, suatu penurunan yang berlanjut dengan bertambahnya usia. Gangguan tidur seringkali mulai didiagnosa di antara orang-orang pada rentang usia ini bahkan ketika gejala dari gangguan yang telah ada untuk beberapa tahun. Insomnia terutama lazim terjadi, mungkin disebabkan oleh perubahan dan stres usia menengah. Gangguan tidur dapat disebabkan oleh kecemasan, depresi, atau penyakit fisik ringan tertentu. Wanita yang mengalami gejala menopause dapat mengalami insomnia. Anggota kelompok usia ini dapat tergantung pada obat tidur (Potter & Perry, 2005). Universitas Sumatera Utara 23 Dewasa tua, Tidur sekitar 6 jam sehari, 20-25% tidur REM, tidur tahap IV nyata berkurang kadang-kadang tidak ada. Pada dewasa tua kualitas tidur kelihatan menjadi berubah. Episode tidur REM cenderung memendek. Terdapat penurunan yang progresif pada tahap tidur NREM 3 dan 4; beberapa dewasa tua hampir tidak memiliki tahap 4, atau tidur yang dalam. Seorang dewasa tua yang terbangun lebih sering di malam hari, dan membutuhkan banyak waktu untuk jatuh tidur. Akan tetapi, pada dewasa tua yang berhasil beradaptasi terhadap perubahan fisiologis dan psikologis dalam penuaan lebih mudah memelihara tidur REM dan keberlangsungan dalam siklus tidur yang mirip dengan dewasa muda, Reynolds dkk (1993, dalam Potter & Perry 2005). Keragaman dalam perilaku tidur dewasa tua adalah umum. Keluhan tentang kesulitan tidur waktu malam seringkali terjadi di antara dewasa tua, seringkali akibat keberadaan penyakit kronik yang lain. Sebagai contoh, seorang dewasa tua yang mengalami artritis mempunyai kesulitan tidur akibat nyeri sendi. Kecenderungan untuk tidur siang kelihatannya meningkat secara progresif dengan bertambahnya usia. Peningkatan waktu siang hari yang dipakai untuk tidur dapat terjadi karena seringnya terbangun pada malam hari. Dibandingkan dengan jumlah waktu yang dihabiskan di tempat tidur, waktu yang dipakai tidur menurun 1 jam atau lebih, Evans dan Rogers (1994 dalam Potter & Perry, 2005). Perubahan pola tidur pada dewasa tua disebabkan perubahan SSP yang mempengaruhi pengaturan tidur. Kerusakan sensorik, umum dengan penuaan, dapat mengurangi sensitivitas terhadap waktu yang mempertahankan irama sirkadian ( Potter & Perry, 2005). Universitas Sumatera Utara 24 2.6. Pengkajian Pola tidur menyangkut pengkajian subjektif yaitu menyegarkan dan tenangnya tidur mereka dan pengkajian objektif yang dapat diketahui dari rekaman poligrafi, gerakan pergelangan tangan, gerakan kepala dan mata. 2.6.1. Data Subjektif Data subjektif tidur yang baik atau buruk dapat dievaluasi dengan persepsi para penderita penyakit tentang parameter tidur diantaranya adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memulai tidur, frekuensi terbangun pada malam hari, total waktu tidur di malam, kepuasan tidur, rasa segar bangun tidur, kedalaman tidur, dan konsentrasi beraktivitas. Hanya para penderita penyakit saja yang dapat melaporkan apakah mereka mendapatkan tidur yang baik atau buruk. Jika para penderita penyakit puas dengan kualitas dan kuantitas tidurnya maka mereka mempunyai tidur yang baik (Potter & Perry, 2005). Parameter tersebut dapat dilihat sebagai berikut: Total jam tidur malam, kebanyakan orang dewasa tidur malam hari ratarata 6 sampai 8 jam/hari. Orang dewasa yang sehat membutuhkan tidur yang cukup untuk berpartisipasi dalam kesibukan aktivitas yang mengisi hari-hari mereka. Namun pada individu yang sakit, misalnya pusing akan mengganggu tidurnya. Sehingga menyebabkan individu tersebut memiliki kualitas tidur yang buruk. Waktu untuk memulai tidur, secara normal pada orang dewasa dimulai dengan periode sebelum tidur. Selama seseorang terjaga hanya pada rasa kantuk Universitas Sumatera Utara 25 yang bertahap dan berkembang secara teratur. Periode ini secara normal berakhir 10 hingga 30 menit, tetapi untuk seseorang yang memiliki kesulitan untuk tertidur, akan berlangsung satu jam atau lebih (Potter & Perry, 2005). Frekuensi terbangun malam, pada klien hipertensi sering terbangun di malam hari karena BAK, pusing, stres, nyeri dan lain-lain sehingga akan mengganggu tidurnya (Potter & Perry, 2005). Hal ini akan menyebabkan ketidaknyaman klien untuk dapat tidur kembali. Kedalaman tidur, pada klien hipertensi dapat terjadi pola tidur yang kurang baik karena gangguan-gangguan tidur yang dapat saja terjadi pada mereka. Semua itu dapat mempengaruhi kesehatan klien itu sendiri. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tidur klien tersebut baik yang mereka sadari maupun tidak. Jika faktor-faktor tersebut tidak segera dihilangkan atau dikurangi maka ini akan memperburuk kondisi klien. Kepuasan tidur, kepuasan terhadap tidur seseorang dapat dilihat dari kemampuan individu dalam mempertahankan tidur dan mendapat kebutuhan tidur yang cukup dari tidur REM dan NREM. Kepuasan tidur dapat diketahui dengan melakukan pengkajian yang meliputi data subjektif dan objektif (Craven dan Hirnle, 2000). Contohnya ada seseorang yang tidur selama 4 jam namun sudah merasa puas dengan tidurnya, sementara yang lain membutuhkan tidur selama 8 sampai 10 jam ataupun lebih untuk merasa puas akan tidurnya. Rasa segar bangun tidur, secara normal, orang yang tidurnya cukup akan merasa segar setelah terbangun dari tidurnya karena tidur berfungsi sebagai penyimpanan energi untuk digunakan pada hari berikutnya. Namun pada orang Universitas Sumatera Utara 26 yang tidak mendapatkan tidur yang cukup dan sering terjaga di malam hari akan menyebabkan rasa tidak segar dan juga kelemahan pada keesokan harinya (Potter & Perry, 2005). Konsentrasi dalam melakukan aktivitas, ketika kurang tidur seseorang akan berpikir dan bekerja lebih lambat, membuat banyak kesalahan, dan sulit untuk mengingat sesuatu. Hal ini mengakibatkan penurunan produktivitas kerja dan dapat menyebabkan kecelakaan. Selanjutnya, di Amerika kerugian akibat hal di atas diperkirakan mencapai 18 milyar dollar per tahun. Efek lainnya pada pekerja yaitu pekerja menjadi lebih cepat marah, tidak sabar, gelisah, dan depresi. Masalah ini dapat mengganggu pekerjaan dan hubungan keluarga, serta mengurangi aktivitas sosial (Nurmianto, 2004). 2.6.2. Data Objektif Data objektif bisa kita dapakan melalui pengkajian fisik dan diagnostik penderita penyakit yaitu dengan mengobservasi penampilan wajah seperti adanya lingkaran hitam disekitar mata, mata sayu dan konjungtiva merah, dapat juga dilihat dari perilaku dan tingkat energi individu seperti perilaku iritabel, kurang perhatian, respon lambat, sering menguap, menarik diri dan bingung, postur tubuh tidak stabil, tangan tremor dan kurang koordinasi (Tarwoto & Wartonah, 2006). Selain itu, data objektif kualitas tidur penderita penyakit juga bisa dianalisa melalui pemeriksaan laboratorium yaitu EEG, EMG, dan EOG sinyal listrik menunjukkan perbedaan tingkat aktivitas yang berbeda dari otak, otot, dan mata yang berhubungan dengan tahap tidur yang berbeda (Sleep Research Society, 1993; dikutip dari (Potter & Perry, 2005). Melalui pemeriksaan laboratorium yaitu Universitas Sumatera Utara 27 Electroencephalogram (EEG) yang merupakan rekaman arus listrik pada otak. Perekaman listrik pada permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus-menerus timbul dalam otak dapat menganalisa pola tidur klien. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitensi otak sebagai akibat dari keadaan tidur, keadaan siaga/karena penyakit lain (Guyton & Hall, 1997). 2.6.3. Hubungan antara Data Subjektif dan Data Objektif Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara kualitas tidur berdasarkan data subjektif dan data objektif. Dari data objektif yang diperoleh maka dapat diketahui bagaimana kualitas tidur seseorang. Menurut beberapa penelitian, semakin banyak gelombang kecil perdetiknya pada EEG maka semakin lelap dan tenang tidur seseorang. Beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan yang signifikan antara data subjektif dan data objektif berupa evaluasi polisomnografi seperti EEG, EOG, dan EMG (Guyton & Hall, 1997). 2.7. Dampak Kurang Tidur Kondisi klien yang mengalami gangguan tidur akan menyebabkan kelemahan, keletihan, dan merasa tidak nyaman pada keesokan harinya lebih rentan terhadap efek stress, baik fisik maupun mental (Guyton & Hall, 1997). Hal ini tentunya akan menghambat seseorang dalam melakukan kegiatan bahkan jika dibiarkan terlalu lama akan memperburuk keadaan dan menimbulkan penyakit baru pada penderitanya (Potter & Perry, 2005). Universitas Sumatera Utara 28 Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa gangguan tidur dapat menimbulkan beberapa efek pada manusia. Ketika kurang tidur seseorang akan berpikir dan bekerja lebih lambat, membuat banyak kesalahan, dan sulit untuk mengingat sesuatu. Hal ini mengakibatkan penurunan produktivitas kerja dan dapat menyebabkan kecelakaan. Selanjutnya, di Amerika kerugian akibat hal di atas diperkirakan mencapai 18 milyar dollar per tahun. Efek lainnya pada pekerja yaitu pekerja menjadi lebih cepat marah, tidak sabar, gelisah, dan depresi. Masalah ini dapat mengganggu pekerjaan dan hubungan keluarga, serta mengurangi aktivitas sosial (Nurmianto, 2004). 3. Faktor –faktor Gangguan Tidur Sejumlah faktor mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur. Seringkali faktor tunggal tidak hanya menjadi penyebab masalah tidur (Nurmianto, 2004). Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan rendah, orang muda serta yang paling sering ditemukan pada usia lanjut. Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologisnya, menurun daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau orang lain (Potter & Perry, 2009). Gangguan tidur merupakan masalah yang sangat umum. Di Negara-negara industri khususnya, banyak orang menderita dari beberapa bentuk gangguan tidur. Data tentang frekuensi bervariasi antara 25-50% dari populasi (Nurmianto, 2004). Universitas Sumatera Utara 29 Faktor fisiologis, faktor psikologis, obat-obatan dan substansi, dan lingkungan dapat mengubah kualitas dan kuantitas tidur (Potter & Perry, 2005). 3.1. Faktor Fisik Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, rasa tidak nyaman (mis. Kesulitan bernafas), atau masalah suasana hati, seperti kecemasan atau depresi, dapat menyebabkan masalah tidur. Seseorang dengan perubahan seperti itu mempunyai masalah kesulitan tertidur atau tetap tertidur. Penyakit juga dapat memaksa klien untuk tidur dalam posisi yang aneh saat tangan atau lengan diimobilisasi pada traksi dapat mengganggu tidur. Berdasarkan penelitian, rasa tidak nyaman merupakan salah satu faktor terjadinya gangguan tidur dimana seseorang akan merasa gelisah dan sulit untuk mendapatkan tidur yang nyenyak (Potter & Perry, 2005). Hipertensi seringkali menyebabkan terbangun pada pagi hari dan kelelahan. Hipotiroidisme menurunkan tidur tahap 4, sebaliknya hipertiroidisme menyebabkan seorang perlu waktu yang banyak untuk tertidur. Kelelahan, dapat menyebabkan gangguan tidur, dimana biasanya seseorang yang kelelahan akan merasa seolah-olah mereka bangun ketika tidur dan biasanya tidak mendapatkan tidur yang dalam, (Potter & Perry, 2005). Seseorang yang kelelahan menengah biasanya memperoleh tidur yang mengistirahatkan, khususnya jika kelelahan adalah hasil kerja atau latihan yang menyenangkan. Latihan 2 jam atau lebih sebelum waktu tidur membuat tubuh mendingin dan mempertahankan suatu keadaan kelelahan yang meningkatkan relaksasi. Akan tetapi, kelelahan yang berlebihan yang dihasilkan dari kerja yang meletihkan atau penuh stres membuat Universitas Sumatera Utara 30 sulit tidur. Hal ini dapat menjadi masalah yang umum bagi sebagian orang (Potter & Perry, 2005). Pusing sering terjadi pada siapa saja, dan akan menyebabkan gangguan tidur serta apabila pusing semakin parah maka akan semakin parah juga tingkat gangguan tidurnya. Pusing dapat menyebabkan seseorang terbangun dari tidurnya sehingga total jam tidur menjadi berkurang (Potter & Perry, 2005). Nokturia, atau berkemih pada malam hari, mengganggu tidur dan siklus tidur. Kondisi ini yang paling umum pada lansia dengan penurunan tonus kandung kemih atau orang yang berpenyakit jantung, diabetes,uretritis, atau penyakit prostat. Setelah seseorang berulang kali terbangun untuk berkemih, menyebabkan kembali untuk tertidur lagi menjadi sulit (Potter & Perry, 2005). 3.2. Faktor Lingkungan Lingkungan tempat seseorang tidur berpengaruh penting pada kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur. Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang tenang. Ukuran, kekerasan, dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur. Jika seseorang biasanya tidur dengan individu lain, maka tidur sendiri menyebabkan ia terjaga. Sebaliknya, tidur tanpa ketenangan atau teman tidur yang mengorok juga mengganggu tidur (Potter & Perry, 2005). Suara bising juga mempengaruhi tidur. Tingkat suara yang diperlukan untuk membangunkan orang tergantung pada tahap tidur (Webster dan Thompson, 1986). Suara yang rendah lebih sering membangunkan seorang dari tidur tahap 1, sementara suara yang keras membangunkan orang pada tahap tidur 3 dan 4. Beberapa orang membutuhkan ketenangan untuk tidur, sementara yang lain lebih Universitas Sumatera Utara 31 menyukai suara sebagai latar belakang seperti musik lembut atau televisi. WHO (2004) juga menyatakan hal yang sama namun WHO menambahkan bahwa sebagian besar orang tidak mengeluhkan kurang tidur karena kebisingan tetapi memiliki tidur yang non-restoratif, mengalami kelelahan dan atau sakit kepala pada saat bangun pagi dan kantuk yang berlebihan di siang hari (Potter & Perry, 2005). Tingkat cahaya dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Beberapa klien menyukai sorot lampu ruangan gelap, sementara yang lain menyukai cahaya remang yang tetap menyala selama tidur (Potter & Perry, 2005). Menurut Guyton & Hall (1997), penerangan dapat menyebabkan gangguan tidur dan dapat menghambat sekresi melatonin pada tubuh. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pergeseran sistem sirkadian, dimana jadwal tidur maju secara bertahap (Asmadi, 2008). Klien juga mungkin bermasalah tidur karena suhu ruangan. Suhu ruangan panas dan dingin. Ruangan terlalu panas atau terlalu dingin seringkali menyebabkan klien gelisah keadaan ini akan mengganggu tidur seseorang (Potter & Perry, 2005). 3.3. Obat-obatan dan Substansi Dari daftar obat di PDR 1990, dengan 584 obat resep atau obat bebas menuliskan mengantuk sebagai salah satu efek samping, 486 menulis insomnia, dan 281 menyebabkan kelelahan (Buysse, 1991). Mengantuk dan deprivasi tidur adalah efek samping medikasi yang umum. Medikasi yang diresepkan untuk tidur seringkali memberi banyak masalah daripada keuntungan. Orang dewasa muda Universitas Sumatera Utara 32 dan dewasa tengah dapat tergangtung pada obat tidur untuk mengatasi stresor gaya hidupnya (Potter & Perry, 2005). Hipnotik berpengaruh pada tidur, yaitu mengganggu dengan mencapai tahap tidur yang lebih dalam, memberikan hanya peningkatan kualitas tidur sementara, seringkali menyebabkan rasa mengambang sepanjang siang hari, perasaan mengantuk yang berlebihan, bingung, penurunan energi, dan memperburuk apnea tidur pada lansia (Potter & Perry, 2005). Diuretik menyebabkan nokturia sehingga tidur menjadi terganggu karena sering berkemih. Setelah seseorang beberapa kali berkemih di selang tidurnya maka orang tersebut akan sulit tidur kembali (Potter & Perry, 2005). Antidepresan dan stimulan menekan tidur REM dan menurunkan total waktu tidur sehingga menyebabkan gangguan tidur ringan maupun gangguan tidur berat (Potter & Perry, 2005). Alkohol juga berpengaruh pada tidur seseorang, seperti mempercepat mulanya tidur, mengganggu tidur REM, membangunkan seseorang pada malam hari dan menyebabkan kesulitan untuk kembali tdur (Potter & Perry, 2005). Kafein dapat menyebabkan seseorang terbangun di malam hari, mencegah seseorang tertidur. Seseorang tersebut akan terus terjaga dengan mengkonsumsi seperti kopi (Potter & Perry, 2005). Penyekat-Beta menyebabkan mimpi buruk, menyebabkan insomnia, menyebabkan terbangun dari tidurnya dan individu pun akan mengalami gangguan pada tidurnya (Potter & Perry, 2005). Universitas Sumatera Utara 33 Benzodiazepin meningkatkan waktu tidur dan meningkatkan kantuk di siang hari sehingga aktivitas di siang hari menjadi terganggu (Potter & Perry, 2005). Narkotika (Morfin/Demerol) menyebabkan peningkatan perasaan kantuk pada siang hari dan menekan tidur REM (Potter & Perry, 2005). 3.4. Faktor Psikologis Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu tidur. Stres emosional juga dapatmenyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk (Potter & Perry, 2005). Seringkali klien dewasa sampai lansia mengalami kehilangan yang mengarah pada stres emosional. Pensiun, gangguan fisik, kematian orang yang dicintai, dan kehilangan keamanan ekonomi merupakan contoh situasi yang memprediposisi untuk cemas dan depresi. Individu yang mengalami masalah perasaan depresi, sering juga mengalami perlambatan untuk jatuh tertidur,, munculnya tidur REM secara dini, seringkali terjaga, peningkatan total waktu tidur, perasaan tidur yang kurang, dan terbangun cepat (Bliwise, 1993) 4. Pola Tidur Klien Hipertensi Pola istirahat/tidur juga sangat erat kaitanya dengan masalah yang memicu terjadinya hipertensi dimana hubungan antara pola tidur dengan hipertensi diduga Universitas Sumatera Utara 34 melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Pola tidur yang kurang teratur dan sering tidur terlalu malam dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh pola istirahat/tidur yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota. Para peneliti di Pusat Gangguan Tidur Henry Ford, Detroit, menemukan bahwa prevalensi hipertensi lebih besar pada penderita tak bisa tidur jika dibandingkan dengan mereka yg tidur dengan normal. Penyebab hipertensi pada penderita tak bisa tidur sebab seringnya terbangun di malam hari serta latensi tidur mereka yaitu rentang waktu yang diperlukan untuk mencapai transisi dari terjaga penuh untuk tidur semakin lama waktu yg dibutuhkan seseorang untuk tertidur dan beberapa kali terbangun di malam hari, tingkat hipertensi mereka akan lebih parah. Universitas Sumatera Utara