( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net BAB II KERAJAAN LUWU A. Asal Usul nya Sudah menjadi aksioma bagi histografi Sulawesi Selatan bahwa Luwu adalah kerajaan tertua di antara sekitar lima puluh kerajaan besar dan kecil di semenanjung ini. Tradisi ini tersebar luas di Sulawesi Selatan, dan sudah berlangsung sejak, paling tidak abad XVIII M. Dalam sumber-sumber Eropa hal ini dapat ditelusuri hingga ke tulisan Blok, yang mencatat pada halaman awal tulisannya, Sejarah Pulau Sulawesi (History of the Island of Celebes), Sebelum Makassar, atau Bone, terkenal Lohoo (Luwu) sebagai kerajaan terkuat dan terbesar di Sulawesi. Luwu adalah Kerajaan Bugis pertama yang melancarkan hegemoni di luar wilayah tradisionalnya. Bukti-bukti yang dikumpulkan dari tempat lain mendukung anggapan umum bahwa Luwu adalah kerajaan Bugis paling awal yang menjalankan kekuasaan di luar wilayah tradisionalnya. Keberadaan ”Luwuk” dalam Dasawarna (Nagarakartagama) yang rampung ditulis tahun 1365, telah luas dikenal. Tradisi tentang keunggulan Luwu terus berlanjut hingga kini dalam histografi Eropa dan Indonesia, tanpa bantahan yang berarti. Catatan mutakhir tentang hal ini tertulis dalam buku terbaru Perlas tentang orang Bugis yang komprehensif, di mana Luwu ditampilkan sebagai kerajaan tertua yang masih hidup di Sulawesi Selatan. Masa berdirinya oleh sumber belanda disebutkan dalam abad IX M, sejaman dengan Kerajaan Mataram (Hindu/Budha) di Jawa. Sumber lain menyebutkan masa pemerintahan Batara Guru, raja pertama di Kerajaan Luwu diperkirakan dalam abad X M. Hampir seluruh raja di Sulawesi Selatan mempercayai bahwa Kerajaan Luwu ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net yang juga populer dengan sebutan Kedatuan Luwu adalah turunan raja pertama di Sulawesi Selatan, termasuk di Kerajaan Gowa. Dalam sejarah Kerajaan Gowa disebutkan, sebelum Gowa diperintah oleh seorang raja putri yang dinamai Tumanurunga (yang turun dari kayangan) ada empat orang raja yang pernah memerintah Kerajaan Gowa purba, keempat orang itu ialah Batara Guru, saudara Batara Guru yang tidak disebutkan namanya, Ratu Sapu atau Merancat dan Karaeng Katangka yang juga tidak disebut nama aslinya. sedangkan Batara Guru adalah raja pertama di Luwu. Kata “Luwu” sendiri menurut anggapan masyarakatnya berarti ”ulo” atau dalam bahasa Indonesia berarti “diulurkan”, maksudnya adalah pajung atau raja beserta permaisurinya asal mulanya diulurkan atau diturukan dari Botting Langi’ (Khayangan). Bagi orang Wotu , kata “Luwu” berasal dari kata ”Lu”, yang berarti sangat luas, makna kata ini dapat dikaitkan dengan wilayah Luwu yang dulunya sangat luas. Informasi mengenai asal usul sejarah dan budaya Luwu dapat diungkap melalui sumber-sumber tertulis yang baru ditemukan sekitar abad XIV. Sumber-sumber tersebut terdiri atas: pertama, Sure Galigo (Kitab La Galigo). Sumber kedua adalah lontara sebagai sumber sejarah yang telah umum diketahui keutamaanya. Bahkan menurut Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin dalam bukunya Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan kebanyakan isi daripada lontara ini dapat dipercaya. Sumber ketiga adalah buku atau kitab Nagarakertagama. Dalam buku Nagarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca pada zaman Gajah Mada (1364) menyebut nama Luwu ketika ia menyinggung wilayah kekuasaan Majapahit. Sumber ini dianggap keterangan tertua yang memuat nama Luwu, tersebut dalam sarga XIII dan XIV berikut: ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net Muwah tanah; Bantayan pramuka Bantayan len Luwuk tentang Udamakarkartayadhi nikanang sanuasaspupul Ikangsaksakasanu-sanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Craliyao mwangi (ng) Selaya Soto Muar. Artinya: Seluruh Sulawesi Selatan menjadi daerah ke VI kerajaan Majapahit, yaitu Bantayan (Bantaeng), Luwuk (Luwu), Udamakartraya (Talaud), Makasar (Makassar), Butun, Banggawai (Banggai), Kunir (P.Kunyit), Selaya (Selayar), Solo (solor), dan seterusnya. Sumber tertua yang menjelaskan asal usul Kerajaan Luwu adalah Sure Galigo atau Kitab La Galigo, sebuah kitab yang bersifat mitos yang bagi sebagian orang Bugis dianggap sebagai peristiwa sejarah yang benar-benar pernah terjadi. Kisah ini menceritakan tentang kehidupan para dewa-dewi dari langit dan peretiwi sampai tujuh generasi, berawal dari munculnya Batara Guru yang dianggap sebagai peletak dasar pembentukan negeri yang kemudian menjelma menjadi sebuah kerajaan besar yang disebut Kerajaan Luwu. Batara Guru adalah anak lelaki tertua dari mahadewa langit To Palanroe (sang pencipta) yang juga dinamai To Patotoe (sang pengatur takdir manusia), dan dari Datu Palinge (wanita sang pencipta). Hasil musyawarah dewa-dewa di langit memutuskan agar Batara Guru di kirim ke bumi sebab bumi sedang kacau. Tugas Batara Guru supaya mendirikan lagi bumi yang dapat didiami manusia. Batara Guru inilah yang disebut “Tomanurung” yang berarti orang yang turun, atau diturunkan ke bumi. Setelah batara Guru tinggal di bumi, ia banyak mengalami kesulitan. Karena sendirian, maka kepada Patotoe ia meminta agar secara berangsur-angsur diturunkan lagi manusia untuk meramaikan dunia, dan permintaan itupun dikabulkan. Batara Guru dikawinkan dengan sepupu sekalinya We Nyili Timo, putri dari sepasang dewa yang memerintah di dunia bawah (Peretiwi) Guru Riselleng dan Sinau Toja. Mereka dipertemukan di Luwu pada sebuah tempat namanya Wara (Ware’). Dari sinilah ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net peradaban menyebar selanjutnya ke seluruh Sulawesi dan bahkan ke luar. Dari perkawinannya dengan We Nyilitimo lahir Batara Lattu. Kemudian Batara Guru kawin lagi dengan We Saungriu. Dari perkawinan itu lahir Sangiang Sari. Anak ini meninggal tujuh hari setelah lahir, akan tetapi dari perabuannya bangkit suatu yang bagi manusia sangat dibutuhkan, yaitu padi. Ketika Kerajaan Luwu yang berpusat di Ware’ kembali menjadi bumi yang dapat dihuni manusia, Batara Guru kembali ke langit bersama istri-istrinya. Kekuasaannya di Luwu yang telah damai diserahkan ke Batara Lattu. Dari uraian tersebut di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dari berbagai sumber sejarah yang ada, baik itu Sure’ Galigo, Lontara, maupun sumber tertulis lainnya, pada umumnya menyebutkan bahwa Kerajaan Luwu adalah kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Raja pertamanya adalah Batara Guru, putra dari Mahadewa di Boting Langi, yang diturunkan ke bumi oleh orang tuanya untuk mendiami bumi yang sedang kacau, sehingga ia juga dikenal sebagai Tomanurung. Batara Guru inilah yang menjadi turunan pertama cikal bakal raja-raja di Sulawesi Selatan. B. Perkembangan Kerajaan Luwu Sebelum Datangnya Islam Setelah Batara Guru selesai menjalankan misinya di Luwu dan kembali ke langit, maka kekusaan di Luwu dilanjutka oleh putranya Batara Lattu. Sekitar 20 tahun Batara Lattu berkuasa, ia memperisterikan We Opu Sengngeng. Istana yang dibangun Batara Guru di bukit Finsemouni tetap dijadikan kediaman. Tetapi dibangun lagi sebuah tempat di kampung Ussu untuk kegiatan pemerintahan dan pengaturan kesejahteraan penduduk. Pusat kerokhanian dibangun di Cerekang, kediaman para ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net bissu. Kepala bissu disebut puwa. Wilayah segitiga Finsemouni-Ussu-Cerekang dijadikan pusat kekuasaan meliputi Sulawesi yakni Ware’. Di dalam sejarah Gowa-pun tertulis raja pertama bernama Batara Guru. Maka dari Ware’- lah kebudayaan Bugis-Makassar menyebar ke kerajaaa-kerajaan lainnya di Sulawesi. Dari perkawinan Batara Lattu dengan We Opu Sengngeng melahirkan anak kembar dua (kembar emas), seorang laki-laki yang bernama Sawerigading dan Seorang perempuan bernama We Tenriabeng. Setelah empat puluh hari disusukan oleh ibu kandungnya, kedua anak kembar itu kemudian diserahkan kepada ibu susu dan merekapun dipisahkan. Pada usia remaja menjelang dewasa mereka dipertemukan. Sawerigading langsung jatuh cinta. Perasaan hatinya disampaikan kepada sang ayah, Batara Lattu. Sang ayah berusaha menjelaskan duduk persoalannya, namun Sawerigaing tetap berkeras. Pada akhirnya sang adik sendiri yang menyampaikan bahwa dirinya adalah adik kembarnya. Oleh karena itu, disarankan agar mencari perempuan lain, yang memiliki kemiripan dengannya. Tempatnya amat jauh, asal mau berperang sebanyak tujuh kali dan lawan yang harus ditaklukan ialah para pendekar silat, jagoan di laut dan ulung di darat. Emosi cinta berapi-api di dalam dada Sawerigading. Ia bersumpah di hadapan ayahnya, Batara Lattu, bahwa ia tidak akan lagi menginjak Tana Luwu. Ia akan berkelana ke mana saja. Batara Lattu memberi izin kepada Sawerigading menebang kayu raksasa pusaka kerajaan, namanya Walenrengnge, kemudian kayu tersebut dibuat perahu, dan perahu itulah yang digunakan Sawerigading untuk mengembara dan pada akhirnya menemukan gadis cantik We Cuddai. Batara Lattu raja kedua wafat di Ware. Berhubung putera mahkota Sawerigading tidak bisa diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya, maka pada ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net waktu itu kembali terjadi kekacauan karena kekosongan pemerintahan. Setelah Kerajaan Luwu di Ware mengalami kekosongan selama tiga abad sepeninggalan Batara Lattu, kondisi kehidupan masyarakat kembali kacau balau, hukum rimba berlaku, menjadi masyarakat Barbar (sianre bale), psikologi sosial masyarakat berada pada titik jenuh yang rindu akan ketenangan dan kedamaian. Pada situasi demikian muncul seorang wanita yang datang dari arah misteri. Diduga masih ada pertalian darah dengan tokoh Sawerigading. Tokoh wanita yang kharisma ini bernama Simpurusiang. Langkah awal kepemimpinannya dimulai dengan penataan kembali batas-batas wilayah inti kerajaan dengan penerapan aturan-aturan kerajaan. Pada masa pemerintahan Simpurusiang (1268-1293) Kerajaan Luwu benar-benar berdiri sendiri dengan bebas dan jelas. Selanjutnya Kerajaan Luwu diperluas sampai batas Sungai Walanae pada bagian wilayah selatan. Wilayah utara hingga danau Poso. Negeri Mengkoka (Mekongga) atau Kolaka dipersatuan dengan Luwu. Bagian sebelah barat berbatas dengan puncak pegunungan tertinggi Latimojong. Dibawa kepemimpinan Raja Simpurusiang yang dibantu oleh suaminya Patianjala Kerajaan Luwu kembali damai, tenang penuh kemakmuran. Kondisi tersebut berlanjut hingga Simpurusiang digantikan oleh putranya Anakaji yang memerintah pada tahun 1293-1330. Antara tahun 1930 sampai dengan tahun 1426 dinasti Kerajaan Luwu dibawah pemerintahan masing-masing: Anakaji (1293-1330), Tampa Balusu (1330-1365), Tanra Balusu (1365-1402), Tompanange (1402-1426). Kondisi Kerajaan Luwu pada masa itu mengalami kemajuan pesat. Kemajuan tidak tersaingi dengan kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan, baik Bone maupun Gowa. Pada masa pemerintahan Anakaji wilayah pemerintahan diperluas sampai di ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net tanjung Towari, pemerintahan pusat dibantu pemerintahan ”Palili” dengan hak otonomi, sekalipun diberi hak yang luas akan tetapi mereka merasa bangga menyetor upeti demi kejayaan pusat di Ware’. Salah satu sarana transportasi pada waktu itu adalah perahu sebagai sarana transportasi dan perhubungan. Sampai tahun 1880, Pemerintah Belanda menemui sekitar 60 buah sungai yang dapat di layari sungai terbesar ketika itu menjadi jalur protokol adalah sungai cerekang dan sungai Ussu di sebelah selatan Danau Towuti. Akhir masa pemerintahan Anakaji pusat kerajaan Ware’ dipindahkan dari Ussu ke sebelah selatan danau Towuti yakni di Mancapai kata Mancapai sendiri ada kesamaan penanaman di Jawa khususnya zaman kerajaan Majapahit di bawah pengaruh Hindu-Budha, selain dari itu sang raja Anakaji beristri seorang putri dari Majapahit namanya Tappacina mungkin berwajah mirip suku Tionghoa. Pasangan ini dikaruniai seorang putra yang berhak melanjutkan tahta kerajaan di Luwu bernama Tampabalusu. Dari Anakaji-Tampabalusu-Tanrabalusu hingga masa Tompanage, Kerajaan Luwu mengalami masa kemakmuran dengan jalur perdagangan yang semakin ramai dikunjungi. Raja Tompanange termasuk raja yang gemar berlayar mengunjungi Kerajaan Bone dan Gowa yang mulai berkembang. Sementara Kerajaan Majapahit ketika itu di bawah pemerintahan Hayam Wuruk menguasai hampi seluruh wilayah nusantara, begitu pula pada masa tersebut, masyarakat di Kerajaan Luwu menganut kepercayaan yang sudah bercampur baur antara kepercayaan leluhur dengan pengaruh Hindu-Budha sebagaimana kepercayaan di Jawa. Selanjutnya Kerajaan Luwu diperintah oleh Raja Batara Guru, putra dari Tompanange, ayahnya memberi nama sebagai pengulangan dari raja pertama di Ware’, kakek Sawerigading. Sudah dibiasakan di Luwu mengambil ulang nama leluhur yang ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net dikagumi. Batara Guru berkuasa pada tahun 1426-1458. Di bawah pemerintahan Batara Guru, Luwu semakin diperkuat. Untuk menghindari gangguan dari luar kerajaan dibentuk pasukan khusus dari orang Rongkong, anak-anak bangsawan Luwu sejak dini diberi latihan ketahanan diri. Khawatir akan adanya gangguang dari selatan, pusat kerajaan dipindahkan ke Kamanre. Setelah Batara Guru mangkat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Luwu dipegang oleh Lamariawa (1458-1465) kemudian digantikan oleh Datu Risaung Lebbi (1465-1507). Puncak kejayaan Kerajaan Luwu kembali terjadi pada masa pemerintahan Raja Dewa (1507-1541). Raja inilah yang paling dikenal pada semua kerajaan utama di Sulawesi Selatan. Raja Dewa menjalankan politik persekutuan dengan Wajo. Untuk memperkuat kedudukan Wajo, wilayah Larompong, Malluse dan Selo diserahkan kepada Kerajaan Wajo. Dalam persekutuan itu, Luwu sebagai saudara tua dan Wajo sebagai saudara muda. Hal ini membuahkan hasil dengan direbutnya Sidenreng. Raja Dewa kembali mengadakan ekspansi ke Kerajaan Bone lantaran timbulnya perselisihan antara Raja Dewa dengan Arung Pone. Meletuslah perang yang disebut dengan “Perang Cenrana”. Dalam perang tersebut Kerajaan Luwu mengalami kekalahan, akhirnya Raja Dewa terpaksa menandatangani suatu perjanjian yang disebut “Polo Malelae ri Unnyi” (penghentian perang di Unyyi). Akibat dari perjanjian perdamaian ini, Luwu tergeser kedudukannya di bagian timur jazirah dan digantikan oleh Kerajaan Bone.Hal itu menandai akhir supremasi Luwu atas kerajaan-kerajaan Bugis lain di Sulawesi Selatan. Pengganti Dewaraja adalah Tosangkawana (1541-1556). Pada masa pemerintahannya pusat kerajaan dipindahkan ke Pattimang (Malangke). Sesudah itu ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net naik tahta Datu Maoge (1550-1571), ia berusaha menata kembali kehidupan Luwu yang pernah terliba perang melawan Bone. Pengganti Datu Maoge ialah Etenrirawe (1571-1587), raja perempuan ini memerintah Luwu dengan sikap tegas. Pada masa pemerintahannya Etenrirawe memanfaatkan cerdik pandai, seorang yang dikenal amat pandai (bijaksana) bernama To Ciung. Setelah Etenrirawe mangkat, ia digantikan oleh putranya bernama La Patiware Daeng Parabbung yang memerintah tahun 1587-1615. Pada masa pemerintahan La Patiware inilah Islam masuk di Luwu. La Patiware Daeng Parabbung adalah Raja Luwu yang pertama memeluk Islam pada tahun 1603, dan pada tahun 1605 dua tahun setelah ia memeluk Islam Lapatiware diberi gelar Sultan Muhammad. Di dalam Lontara Luwu dijelaskan Raja Luwu bernama Patiware Matinroe ri Pattimang bersama anaknya memeluk agama Isalam. Dia juga dinamakan Matinroe ri Ware, dan memiliki nama Arab Sultan Muhammad Walid. Sedangkan menurut Suriadi Mappangara, gelar Arabnya adalah Sultan Muhammad Mudharuddin, dan ketika mangkat diberi gelar Matinroe ri Ware’. Setelah Raja La Patiware memeluk Islam bersama keluarga dan anggota adatnya, maka rakyat Luwu-pun ikut memeluk agama Islam. Sejak saat itulah pengaruh Islam mulai berakar dan menjadi agama resmi kerajaan. Ajaran agama Islam-pun berkembang di Kerajaan Luwu, dan hingga saat ini menjadi agama yang dominan dianut oleh masyarakat di tana Luwu. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, jauh sebelum Islam memegang peranan penting di pusat kekuasaan politik dan ekonomi Luwu, Kerajaan Luwu telah melakukan hubungan ekonomi dan sosial politik dengan dunia luar, tentu termasuk dengan pedagang muslim. Hubungan ekonomi eksternal itu diperkuat pula oleh gerakan pedagang Luwu yang pada masa itu diperkirakan telah mengunjungi negeri Islam seperti Ternate, sehingga diperkirakan masyarakat Luwu telah bersentuhan dan ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net berkenalan dengan Islam jauh sebelum Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan. C. Kepercayaan di Luwu Sebelum Masuknya Islam Sebelum Islam masuk ke Kerajaan Luwu telah tumbuh dan hidup dengan subur berbagai kepercayaan di masyarakat. Kepercayaan-kepercayaan tersebut antara lain : 1. Kepercayaan Animisme dan Dinamisme Sebelum datangnya agama Islam di Sulawesi Selatan pada sekitar awal abad XVII, penduduk Sulawesi Selatan termasuk di Luwu telah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme nenek moyangnya yang mereka warisi secara turun temurun. Terkadang memang sulit membedakan antara kepercayaan animisme dan kepercayaan dinamisme, yang mana lebih tua atau lebih dahulu dianut oleh masyarakat, di sini hanya dapat dibedakan dalam pernyataannya dan sifat-sifatnya. Kepercayaan animisme yaitu kepercayaan bahwa tiap-tiap benda mempunyai roh, atau dalam pengertian lain disebutkan bahwa, animisme adalah kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dsb.). Roh-roh nenek moyang itulah yang dianggap memelihara dan memberikan perlindungan kepada manusia, dan kadang-kadang bisa menjadi marah jika tidak diperhatikan dengan memberikan persembahan atau sesajen-sesajen. Selain itu adapula roh-roh jahat yang dapat mendatangkan malapetaka atau penyakit dan mengganggu kehidupan manusia. Karena itu pada setiap kejadian penting dalam kehidupan manusia perlu diadakan ritus-ritus dengan memberikan persembahan berupa sesajen-sesajen, dan menyampaikan harapan-harapan pada roh-roh tersebut agar mereka tidak marah dan tetap memberikan perlindungan pada manusia, atau kadangkala disertai dengan “pengusiran“ roh-roh jahat yang akan menggangu. Berbagai simbol yang digunakan pada setiap ritus merupakan aturan-aturan yang timbul karena kepercayaan tersebut. ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net Selain kepercayaan animisme, masyarakat Luwu pra Islam juga menganut kepercayaan dinamisme. Kepercayaan dinamisme itu memandang bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Kepercayaan dinamisme ini didasari atas keyakinan atau rasa kagum akan hal seperti peristiwa gaib yang tak dapat diterangkan dengan akal pikiran, misalnya sifat luar biasa dari manusia, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya. 2. Kepercayaan kepada Dewa-Dewa dan Dewata Seuwae Di samping kepercayaan pada roh-roh nenek moyang, orang Luwu pra Islam juga mempunyai kepercayaan kepada dewa-dewa, Dianggapnya dewa mempunyai susunan menurut derajat dan fungsinya. Dalam kosmologi masyarakat Luwu dunia tersusun dari tiga tingkatan, yaitu dunia atas disebut boting langi, dunia tengah disebut lino atau ale kawa dan dunia bawah disebut peretiwi atau uri liyu. Di masing-masing tingkatan dinia ini dalam anggapan masyarakat Luwu Pra Islam dihuni oleh dewa-dewa. Di boting langi terdapat dewa yang berfungsi menurunkan hujan, memancarkan petir, membunyikan guntur dan peristiwa-peristiwa alam lainnya. Di ale kawa terdapat dewa yang bermukim di pohon-pohon rindang, batu sakti, hutan belukar dan tempat-tempat tertentu lainnya. Sedangkan di peretiwi yang dianggap berada di bawah laut dihuni oleh berbagai dewa yang berfungsi mengatur jalannya ombak, arus dan pasang - surut. Namun di antara sekian banyak dewa itu, ada suatu dewa yang dianggap sebagai dewa tertinggi yang disebut dengan nama Dewata Seuwae (Dewa Yang Esa), dewa ini juga biasa disebut dengan beberapa nama seperti To Palanroe (Sang Pencipta), Patotoe (Penentu Nasib), seperti tergambar dalam kitab I La Galigo. Kepercayaan kepada Dewata Seuwae merupakan gerak kerohanian yang bertujuan mencari hubungan batin antara manusi deangan Tuhan. Mayarakat Luwu ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net percaya bahwa Dewata Seuwae sebagai dewa tunggal, tidak berwujud, tidak makan, tidak minum, tidak diketahui tempatnya, tidak berayah dan beribu, tetapi mempunyai banyak pembantu. Konsep Dewata Seuwae ini mengisyaratkan bahwa sebelum agama Islam masuk di Kerajaan Luwu, konsep pemikiran tentang ketuhanan telah mapan. 3. Kepercayaan kepada Mahluk Halus Masyarakat Luwu juga mempunyai kepercayaan terhadap adanya mahluk halus. Mahluk halus yang dianggap suka mengganggu dan menimbulkan mala petaka bagi manusia adalah parakan, poppo dan pattiro kanja. Parakang sebenarnya berwujud manusia akan tetapi kalau hendak mencari mangsanya ia berubah wujud menjadi binatang seperti anjing. Orang yang menjadi parakang biasanya tidak mengetahui bahwa dirinya parakang, sebab yang berubah wujud adalah rohnya. Parakang mengganggu mangsanya dengan memakan dan menyedot organ tubuh bagian dalam seperti hati jantung dan usus. Orang yang dimakan parakang ujung jari dan anusnya berubah menjadi biru. Sering kali jiwa orang yang dimakan parakang ini tidak dapat ditolong lagi, kebanyakan diantaranya terus meninggal. Akibat kepercayaan pada parakang orang menjadi takut berjalan di malam hari. Apabila ada anjing melonglong histeris di tengah malam dianggap masyarakat sebagai pertanda bahwa parakang sedang berkeliaran mencari mangsanya. Ibu-ibu yang habis melahirkan sering kali menyediakan pohon khusus atau sapu lidi di dekat tempat tidurnya agar si bayi dan ibunya tidak diganggu parakang. Ibu yang baru habis melahirkan dianggap sebagai mangsa yang paling disukai oleh parakang. Begitu juga dengan poppo, sejenis mahluk halus jelmaan manusia yang bisa terbang terutama dimalam hari mencari mangsanya. Sedangkan pattiro kanja adalah mahluk halus sejenis tuyul yang sering mengganggu ketentraman hidup masyarakat. 4. Kepercayaan terhadap Hari Baik, Hari Buruk dan Pemali ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net Orang Luwu juga percaya dengan apa yang disebut dengan hari baik dan hari buruk. Diyakininya bahwa tiap hari mengandung kualitas tersendiri, maka semua urusan dan pekerjaan, demikian pula peristiwa yang terjadi pada diri, kampung dan masyarakat senantiasa dihubungkan dengan hari kejadian tersebut. Dengan demikian, tiap hari berpengaruh dengan hasil pekerjaan, dan tidak semata-mata oleh karya dan kemampuan orang. Semua urusan dan pekerjaan yang akan dilakukan selalu kembali menghitung-hitung hari yang tepat dan sesuai dengan urusan dan pekerjaan yang akan dilakukan. Tiap pekerjaan berhubungan dengan sifat sesuatu hari, terutama yang berhubungan dengan kesejahteraan hidup manusia, maka pemilihan hari selalu behati-hati dan biasanya meminta bantuan kepada orang ahli kutika untuk menetapkan hari yang baik untuk pekerjaan itu. Oleh karena itu, sesuatu hari secara kualitatif berpengaruh pada diri manusia sebagai tata tertib, mengandung nilai dalam hidup dan penghidupan. Selain hari, terdapat pula anggapan tentang adanya bulan yang baik dan buruk di mana seseorang tidak boleh melakukan pekerjaan tertentu dalam bulan tersebut. Bahkan sampai ke masalah penentuan waktu (jam) tertentu yang dianggap baik ataupun buruk. Itulah sebabnya dalam kehidupan masyarakat di Luwu masih terdapat anggapan, jika hendak melakukan suatu kegiatan atau tindakan terutama yang menentukan dalam hidup manusia seperti menikah, memulai usaha, merantau dan melakukan upacara-uapacara ritual serta beberapa aktifitas penting lainnya, terlebih dahulu harus melihat waktu, hari dan bulan yang baik dan menghindari waktu, hari dan bulan yang buruk, agar kegiatan yang dilaksanakan dapat sukses dan berhasil serta terhindar dari kesialan-kesialan, murka dan bencana. Disamping itu, masyarakat Luwu juga memiliki kepercayaan yang disebut ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net dengan pemali, yaitu larangan atau pantangan untuk berbuat atau mengatakan sesuatu, biasanya tiap pemali itu mempunyai sifat sakral dan berfungsi melindungi. Seseorang tidak boleh melakukan perbuatan tertentu yang dianggap pemali karena akan menimbulkan bencana, baik terhadap diri orang yang melakukan perbuatan tersebut maupun terhadap orang di sekitarnya dan lingkungannya. 5. Kepercayaan terhadap Magic Magic dalam pandangan masyarakat Luwu dapat dibedakan antara magic putih dan magic hitam. Dikatakan magic putih karena maksud dan tujuannya baik, sebaliknya jika maksud dan tujuannya buruk disebut magic hitam. Kesaktian atau magic yang dimiliki seseorang, erat hubungannya dengan benda berkekuatan gaib yang dimilikinya, salah satu diantaranya adalah sima atau jima. Sima adalah benda yang dianggap sakti untuk menangkal malapetaka si pemiliknya. Selain sebagai penangkal petaka sima juga digunakan sebagai alat untuk mendatangkan kekebalan, serta ada yang dapat berfungsi memberi sugesti agar yang menggunakannya memiliki daya tarik untuk memikat lawan jenisya. Halilintar Latif dalam disertasinya yang berjudul Kepercayaan Orang Bugis di Sulawesi Selatan mengklasifikasikan magic berdasarkan tujuannya ke dalam tiga tipe yaitu: a. Magic produktif (pake-pake), yaitu magic yang dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan atau keuntungan dirinya sendiri, atau tindakan itu dilakukan oleh seorang dukun untuk kepentingan orang lain. Selain paddissengeng, masih dikenal beberapa istilah lain untuk menamakan magic semacam ini, misalnya, syara-syara, pattiro kanja, naga sikoi, panimbolo, dan kulawu. b. Magic Protektif/ Pelindung (pallawa-lawa), yaitu tindakan-tindakan yang ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net diambil oleh seseorang agar dirinya aman dan terlindungi terhadap usaha-usaha orang yang menginginkan sesuatu dari dirinya secara gaib. Istilah-istilah yang dikenal dalam magic jenis ini adalah uragi, jima atau sima, pabbukka parekkuseng, jappi-jappi, pattula bala dan baca-baca. c. Magic Destruktif/ Penyebab Mala Petaka (doti), yaitu segala tindakan magis yang diadakan untuk merugikan seseorang atau mendatangkan bencana bagi seseorang, misalnya menyebabkan orang sakit, mati ataupun suatu kerugian lainnya. Magic semacam ini dipelajari untuk membalas dendam jika harga diri mereka dihina orang lain. Namun tidak jarang magic seperti ini disalahgunakan untuk kepentingan kejahatan kepada orang lain. Magic seperti ini biasa juga disebut paddissengeng sala, atau beberapa istilah lainnya yaitu doti, paremma dan guna-guna. Demikian antara lain kepercayaan-kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Luwu sebelum datangnya Islam. Bahkan hingga saat ini, sebagian dari kepercayaan itu masih dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat di wilayah Luwu dan bugis lainnya, terutama di daerah pedesaan. D. Kontak Pertama dengan Islam Kedatangan dan penyebaran Islam di Kerajaan Luwu senantiasa dihubungkan dengan nama tiga orang datuk. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan abad XVII dari Koto Tengah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama datuk tellue (Bugis) dan datuk tallua (Makassar) yaitu: 1. Abdul Makmur Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang. 2. Sulaiman Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Pattimang ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net atau Datuk Sulaiman. 3. Abdul Jawad Khatib Bungsu, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Tiro. Menurut Cristian Perlas, sekitar tahun 1575 Abdul Makmur, tiba di Sulawesi Selatan untuk pertama kalinya. Dalam upaya menyebarkan ajaran Islam, dia terhambat oleh berbagai hal seperti kegemaran masyarakat memakan dendeng babi, hati rusa mentah yang dicincang dan disajikan dengan bumbu dan darah (lawa’ dara), serta kebiasaan minum tuak. Dia kemudian pindah ke Kutai di mana dia lebih berhasil. Kemudian Abdul Makmur kembali ke Makassar, ditemani dua rekannya, Sulaiman Datuk Pattimang dan Abdul Jawad Datuk ri Tiro. Ketika dakwah mereka di Makassar menghadapi tantangan besar, merekapun meninggalkan Makassar menuju Luwu. Berdasarkan data dari beberapa lontara mengenai islamisasi di Kerajaan Luwu, maupun data yang diungkapkan oleh beberapa peneliti seperti Ahmad M. Sewang, Andi Zainal Abidin Farid, Cristian Perlas, mereka menyatakan bahwa ketiga ulama itu meninggalkan Makassar menuju Luwu setelah mereka mengetahui bahwa “meskipun kekuasaan ada di Gowa namun kemuliaan sebenarnya berada di Luwu (awatangengng-e ri Goa, alebbrirengng-e ri Luwu)’. Juga yang termulia adalah Datu Luwu, karena disitulah asal semua arung atau raja di Sulawesi Selatan. Dengan kata lain, jika ingin menyebarkan agama Islam, maka penguasa Luwu harus diislamkan terlebih dahulu. Bukan semata karena prestise politik yang pernah dipegang oleh bekas penguasa Sulawesi Selatan tersebut, akan tetapi juga karena Luwu merupakan pusat mitos Sulawesi Selatan. Pengislaman di Tana Luwu memiliki karasteristik tersendiri yakni proses masuknya Islam di Luwu melalui suatu dialog yang panjang antara Datu Luwu dengan ketiga ulama tersebut, yang berakhir dengan pemahaman yang baik terhadap ajaran ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net Islam yang membuat Datu Luwu akhirnya mengucapkan Syahadatain. Dari ketiga ulama tersebut, Datuk Sulaiman-lah yang dikenal sebagai orang yang paling berjasa dan mempunyai peranan yang paling dominan dalam penyebaran Agama Islam di Kerajaan Luwu, dibanding kedua rekannya Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro. Cristian Perlas dalam bukunya Manusia Bugis menjelaskan pengislaman penguasa Luwu tidak lepas dari kepiawaian Datuk Sulaiman yang mampu menghubungkan dogma teologis - ajaran Tauhid atau Keesaan Tuhan - dengan kepercayaan Bugis tentang Saweigading. Adapun pembahasan tentang proses penerimaan dan penyebaran Islam di Kerajaan Luwu akan diuraikan lebih lanjut pada bab berikutnya. ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net