PERSEPSI PADA STRUKTUR ORGANISASI, KEPUASAN KERJA, DAN KOMITMEN PERAWAT PADA RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA NAOMI VEMBRIATI 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Globalisasi yang terjadi dalam satu dekade terakhir ini memiliki dampak yang begitu luas dalam kehidupan umat manusia. Shiraev dan Levy (2004) mengungkapkan bahwa globalisasi yang terjadi pada abad ke-21 membawa pengaruh dalam bidang politik-ekonomi, seperti berkembangnya paham demokrasi dan terciptanya sistem pasar bebas. Bidang budaya-psikologis pun tak luput dari pengaruh globalisasi, yaitu diakuinya kebebasan dalam menentukan pilihan, adanya sikap toleransi, dan keterbukaan akan pengalaman-pengalaman baru. Selain itu, globalisasi juga membawa dampak dalam kehidupan sosial manusia, termasuk dalam kehidupan berorganisasi. Globalisasi oleh Cummings dan Worley (1997) dipandang sebagai salah satu penyebab adanya perubahan dalam organisasi. Globalisasi mengubah pasar dan lingkungan tempat organisasi beraktivitas serta cara organisasi menjalankan aktivitasnya tersebut. Cummings dan Worley juga menyatakan bahwa bersamaan dengan adanya perkembangan teknologi informasi, globalisasi akan mendorong munculnya inovasi dalam sistem manajerial organisasi, yaitu terciptanya tren dalam bentuk organisasi yang akan banyak digunakan pada abad 21 dan dipandang lebih efektif dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat. Bentuk organisasi yang mendominasi pada abad 19 dan 20, yang mengutamakan produksi massal dan bentuk organisasi yang besar, akan segera menghilang. Kiechel (Cascio, 1998) menyebutkan beberapa perubahan yang akan terjadi pada organisasi di abad 21, yaitu: (a) perusahaan menjadi lebih kecil dan mempekerjakan lebih sedikit orang, (b) perubahan pada hirarki, dari bentuk vertikal menjadi bentuk jaringan atau terdiri atas spesialis, (c) teknisi, mulai dari tenaga perbaikan komputer sampai dengan terapis radiasi, akan berubah dari posisi sebagai operator manufaktur menjadi karyawan yang elit, (d) kompensasi 2 diberikan bukan lagi berdasar pada posisi yang dijabat atau lamanya masa kerja, namun lebih diserahkan pada mekanisme pasar untuk menilai kemampuannya, (e) perubahan paradigma dalam menjalankan bisnis, dari sekedar menghasilkan suatu produk menjadi penyediaan jasa atau pelayanan, dan (f) adanya redefinisi kata “bekerja”, yaitu memudarnya pengertian “pekerjaan” sebagai setumpuk tugas-tugas yang pasti, mengarah pada definisi pekerjaan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas yang kontinyu demi memenuhi tuntutan konsumen yang terus berkembang. Sebagaimana perang mendominasi kancah geopolitik dunia pada abad 20, maka ekonomi akan memegang kontrol kehidupan manusia pada abad 21 (Cascio, 1998). Kompetisi antarnegara menjadi suatu hal yang normal dan tak terelakkan seiring memudarnya batas-batas kenegaraan dalam era global. Nelan (Cascio, 1998) menyatakan bahwa kompetisi ini akan ditunjukkan dengan adanya usaha meraih dominasi di bidang ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan yang tinggi, investasi, embargo perdagangan, serta import dan eksport. Seiring meluasnya dampak globalisasi dalam kehidupan kita dewasa ini, kompetisi datang tak hanya dari organisasi lain yang bertaraf nasional, namun juga organisasi bertaraf internasional. Untuk itu, organisasi dituntut untuk mampu menunjukkan kinerja yang tinggi baik dalam hal proses kerja, produk yang dihasilkan, maupun layanan yang diberikan. Peningkatan kinerja dalam suatu organisasi bukanlah satu hal yang mudah untuk dilakukan. Wood, dkk (1994) menyatakan ada tiga hal yang dapat digunakan organisasi dalam meningkatkan kinerja organisasinya, yaitu atribut individu (individual attributes), dukungan organisasi (organisational support), dan motivasi kerja (work effort). Atribut individu dalam hal ini adalah berbagai karakteristik individu, seperti karakteristik demografis atau biografis (jenis kelamin, usia, etnis), karakteristik kompetensi (bakat dan kemampuan), karakteristik kepribadian, nilai-nilai yang dianutnya, serta sikap dan persepsi dari individu. Sedangkan yang disebut sebagai dukungan organisasi adalah 3 berbagai usaha untuk meminimalkan adanya hambatan-hambatan situasional dalam mewujudkan kinerja organisasi yang tinggi. Beberapa hambatan yang disebutkan Wood, dkk. terkait dengan penerapan struktur organisasi, yaitu kurangnya otoritas yang dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai bagian dari bentuk sentralisasi dimana terdapat hirarki otoritas dalam organisasi. Selain itu, disebutkan pula bahwa prosedur yang tidak fleksibel akan menjadi hambatan bagi organisasi. Hal ini menunjukkan pengaruh tingkat formalisasi dalam organisasi terhadap kinerjanya. Motivasi kerja menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dalam komitmen organisasi, dimana terdapat identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, kemauan untuk bekerja keras demi organisasi yang disebut juga sebagai motivasi kerja, dan yang terakhir adalah kemauan untuk mempertahankan keanggotannya dalam organisasi tersebut (loyalitas). Komitmen menjadi kunci penting dalam mewujudkan kinerja organisasi yang tinggi. Karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi pada organisasinya akan memberikan usaha yang maksimal demi mencapai tujuan organisasi dimana ia tergabung. Dengan kata lain, karyawan dengan komitmen yang tinggi akan menunjukkan kinerja individu yang maksimal. Pada gilirannya, bila semua karyawan memiliki komitmen yang tinggi, akan terwujud kinerja organisasi yang membuat organisasi tersebut dapat bertahan di tengah iklim kompetisi dewasa ini. Arti penting komitmen karyawan ini juga diungkapkan oleh Mowday, dkk. (Meyer, 2004) yang menyebutkan bahwa komitmen dapat digunakan sebagai prediktor yang baik bagi turnover pada karyawan, yaitu keputusan untuk berhenti atau keluar dari organisasi secara sukarela. Keluarnya karyawan ini menjadi hal yang patut untuk mendapatkan perhatian khusus dari pihak manajer organisasi karena besarnya kerugian yang diakibatkannya. Pinkovitz, dkk. (www.uwex.edu) menyatakan terdapat 5 biaya utama yang harus dikeluarkan organisasi bagi tiap karyawannya yang memutuskan untuk berhenti atau keluar. Biaya perpisahan adalah biaya yang pertama harus ditanggung organisasi, yaitu segala biaya yang 4 harus ditanggung organisasi selama proses pemutusan hubungan kerja, seperti biaya administrasi dan pesangon. Kedua, biaya lowongan, yaitu biaya yang harus diberikan pada pekerja yang bekerja lembur untuk menggantikan tenaga karyawan yang berhenti demi memenuhi target yang telah ditetapkan. Biaya yang ketiga, biaya penggantian, meliputi biaya iklan untuk menarik perhatian pelamar, biaya wawancara dan tes, biaya transportasi, biaya administrasi, biaya pemeriksaan kesehatan, serta biaya pengumpulan dan penyebaran informasi. Keempat, biaya pelatihan yang harus dikeluarkan organisasi, baik dalam pelatihan formal maupun pelatihan non-formal. Terakhir adalah biaya yang disebut sebagai biaya perbedaan kinerja, yaitu biaya yang muncul akibat adanya perbedaan tingkat produktivitas antara karyawan yang berhenti dengan karyawan penggantinya. Biaya-biaya yang disebutkan di atas adalah biaya nyata yang harus dikeluarkan oleh organisasi jika ada karyawannya yang memutuskan untuk berhenti secara sukarela. Di luar biaya-biaya tersebut, masih terdapat biaya yang menjadi tanggungan organisasi yang sifatnya tidak dapat dilihat secara langsung, seperti timbulnya stres dan ketegangan yang diakibatkan adanya karyawan yang memutuskan untuk berhenti, menurunnya semangat juang karyawan yang masih tinggal, menurunnya produktivitas yang diakibatkan hilangnya sinergi kerja kelompok pekerja, serta peningkatan beban kerja yang tak tergantikan oleh karyawan lain yang timbul sealama lowongan dibuka. Tingginya tingkat kerugian yang harus ditanggung dari adanya turnover ini mendorong organisasi untuk terus berusaha meminimalkan kemungkinan munculnya keinginan karyawan untuk berhenti atau keluar dari organisasi tersebut. Komitmen organisasi ini terutama dipengaruhi oleh 4 faktor. Pertama, adalah karakteristik individu, seperti usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, dan kebutuhan akan prestasi,atau yang dikenal sebagai need of achievement (N-ach). Kedua, karakteristik pekerjaan, seperti stres kerja, tantangan dalam pekerjaan, umpan balik, identifikasi tugas, kejelasan peran, serta perkembangan diri, karir, dan tanggung jawab. 5 Ketiga, karakteristik organisasi, yaitu struktur organisasi (sentralisasi, formalitas, dan kompleksitas), gaya kepemimpinan dalam organisasi, dan dukungan sosial yang diciptakan dalam organisasi. Terakhir, sifat dan kualitas pengalaman kerja. Penjelasan atas hubungan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi memunculkan perdebatan dalam menentukan manakah diantara keduanya yang muncul terlebih dahulu dan kemudian memicu munculnya variabel yang lain. Beberapa penelitian seperti Price dan Mueler; Bateman dan Strasser; serta Vandenburg dan Lance (Chen, 2004) menemukan bahwa kepuasan secara umum terhadap pekerjaan muncul dengan didahului oleh adanya komitmen dalam diri karyawan pada organisasinya. Sedangkan komitmen tersebut muncul dari adanya kepuasan pada aspek-aspek dalam pekerjaan, seperti sifat-sifat pekerjaannya, atasan, teman kerja, kebijakan atas kompensasi serta kesempatan promosi yang ada. Sebaliknya, penelitian lain menemukan bukti bahwa kepuasan atas kebijakan organisasi, kompensasi, kondisi kerja, dan promosi berkorelasi positif secara signifikan dengan komitmen terhadap organisasi (Feinstein dan Vondrassek, 2000). Mereka juga menyebutkan penelitian yang dilakukan oleh Yousef pada tahun 2000 yang menemukan bahwa perilaku pemimpin dipengaruhi oleh komitmen, dimana komitmen organisasi dipengaruhi oleh kepuasan kerja dan kinerja. Dalam penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa kepuasan kerja akan memicu munculnya komitmen pada diri karyawan terhadap organisasi. Pemikiran ini didasarkan pada pendapat Mowday, dkk. (Miner, 1992) bahwa komitmen organisasi merupakan suatu konsep yang lebih luas daripada kepuasan kerja. Komitmen organisasi adalah suatu bentuk respon umum yang berupa kecintaan terhadap organisasi secara keseluruhan, sedangkan kepuasan kerja merupakan respon yang lebih khusus terhadap suatu pekerjaan atau jabatan tertentu dan aspek-aspek yang terkait dengannya. Selain itu, komitmen organisasi sifatnya lebih konsisten dan permanen dalam diri seseorang karena kejadian-kejadian sehari-hari dalam 6 organisasi tidak akan membawa dampak serius terhadap tingkat komitmen karyawan terhadap organisasi yang diikutinya. Berbeda dengan kepuasan kerja yang dapat berubah sesuai pengalaman sehari-hari yang dihadapi karyawan dalam organisasi. Kepuasan kerja ini sendiri menurut Okpara (2004) dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan yang ada dan juga tingkat keterlibatan karyawan terhadap proses pengambilan keputusan dalam organisasi. Goh (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa atribut yang menempel pada suatu organisasi pembelajaran (learning organization), yaitu rendahnya tingkat formalisasi, akan meningkatkan kepuasan kerja. Dari berbagai macam organisasi yang ada, peneliti memilih rumah sakit sebagai suatu organisasi atau lembaga usaha tempat penelitian diadakan. Bila dibandingkan dengan lembaga usaha yang lain, rumah sakit memiliki beberapa sifat khusus, antara lain jenis jasa yang diberikan merupakan jasa di bidang kesehatan; keluhuran profesi pemberi jasa yang bekerja di dalamnya, dimana segenap jajaran rumah sakit pada prinsipnya merupakan pelayan bagi para konsumennya; sifat konsumen yang dilayani, yang membutuhkan penanganan yang bukan hanya cepat namun terutama pula tepat; serta muatan tanggung jawab moral, kemanusiaan, dan sosial yang diembannya. Rumah sakit memiliki tugas membantu masyarakat dalam menjaga dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat, menyelamatkan nyawa seseorang melalui tindakan medis, dan juga tak jarang dituntut memberikan pelayanan tanpa memungut biaya dari pasien sebagai konsumennya. Dalam era globalisasi yang kompetitif ini, rumah sakit dituntut untuk dapat memberikan pelayanan secara profesional dengan harga yang terjangkau. Hal ini pula yang mendasari adanya pergeseran orientasi pengembangan rumah sakit, dari suatu lembaga sosial dengan sifat kemanusiaan yang menonjol menuju lembaga usaha yang berorientasi bisnis dan mencari keuntungan. Dalam memberikan pelayanan kepada pasien sebagai konsumen utama, rumah sakit mengandalkan tenaga perawat, baik dalam memberikan pelayanan medis yang sifatnya 7 ringan dan darurat maupun pelayanan non-medis, seperti memandikan da menyuapi pasien selama ia dirawat di rumah sakit. Pelayanan yang diberikan perawat juga tidak mengenal waktu. Mereka dituntut untuk siaga 24 jam dalam memberikan pelayanan bagi pasien. Tak jarang perawat dihadapkan pada situasi dimana ia harus melayani pasien, atau keluarga pasien, yang memiliki banyak permintaan dan tuntutan, adanya gangguan/ interupsi terusmenerus dalam bekerja, keterbatasan waktu yang dimiliki untuk mempersiapkan pekerjaan, serta adanya tanggung jawab dalam pekerjaan tanpa disertai kekuasaan dalam mengambil keputusan (Demerouti, dkk. , 2000). Selain menghadapi situasi yang memicu stres tersebut, perawat juga dituntut untuk memiliki kemampuan berhubungan dan berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya maupun dengan tim kesehatan lainnya, mapu mengkaji kondisi kesehatan pasien – melalui wawancara, pemeriksaan fisik, maupun interpretasi hasil pemeriksaan penunjang, mampu menetapkan diagnosis keperawatan dan memberikan tindakan yang dibutuhkan pasien, serta mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan dan menyesuaikan kembali perencanaan yang telah dibuat (Nurachmach dalam Fatdina, 2005). Berdasar uraian di atas, muncul beberapa pertanyaan yang akan berusaha dijawab oleh penelitian ini, yaitu: 1. Apakah persepsi perawat pada struktur organisasi yang meliputi tingkat formalisasi, sentralisasi, dan kompleksitas akan mempengaruhi tingkat kepuasan kerja dan komitmen perawat terhadap rumah sakit tempat ia bekerja? 2. Apakah tingkat kepuasan kerja akan dapat mempengaruhi tingkat komitmen perawat terhadap rumah sakit tempat ia bekerja? 3. Apakah persepsi perawar pada struktur organisasi akan dapat mempengaruhi komitmen pada rumah sakit secara langsung tanpa mediasi kepuasan kerja? Maka penelitian ini diberi judul “Persepsi pada struktur organisasi, kepuasan kerja, dan komitmen perawat pada Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.” 8 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) meneliti hubungan antara persepsi perawat pada struktur organisasi dengan kepuasan kerja, (2) meneliti hubungan antara kepuasan kerja dengan komitmen pada organisasi, dan (3) meneliti hubungan antara persepsi perawat pada sruktur organisasi dengan komitmen pada organisasi. C. Manfaat Penelitian Temuan penelitian ini secara teoritis diharapkan mampu menambah khasanah dan wacana dalam dinamika munculnya kemoitmen karyawan terhadap organisasi, terutama terkait dengan persepsi yang mereka miliki atas struktur organisasi serta kepuasan kerja yang mereka rasakan selama bergabung dalam organisasi tersebut. Sedangkan manfaat secara praktis dari temuan penelitian ini adalah mampu memberikan alternatif dalam melakukan pertimbangan bagi organisasi yang memberikan pelayanan bagi masyarakat, khususnya rumah sakit dalam usahanya untuk meningkatkan komitmen karyawan dengan menitikberatkan pada perubahan struktur organisasi serta intervensi pada kepuasan kerja sehingga diharapkan dapat meningkatkan performansi kerja organisasinya serta dapat bertahan dalam iklim persaingan yang ketat sekarang ini. Hal ini terkait pula dengan pendapat Dr. Sjahrir, seorang pengamat ekonomi dalam situs www.kompas.com pada tahun 2002 bahwa kebanyakan rumah sakit di Indonesia belum siap menghadapi persaingan di era globalisasi. D. Keaslian Penelitian Berbagai penelitian yang telah dilakukan meliputi berbagai faktor yang diprediksi mempengaruhi tingkat komitmen anggota terhadap organisasinya, seperti gaya kepemimpinan (Purwanto, 2000; Chen, 2004), efikasi-diri, masa kerja, dan hirarki status upah 9 (Kharis, 2001), persepsi terhadap dukungan organisasi (Eisenberger, dkk., 1990), dan kepuasan kerja (Feinstein & Vondrasek, 2000; Okpara, 2004). Sedangkan dari sudut pandang struktur organisasi, penelitian yang dilakukan terkait dengan pengaruhnya terhadap kepuasan kerja (Goh, 2001) dan persepsi terhadap keadilan prosedural dalam organisasi (Schminke, dkk., 2000). Peneliti belum menemukan adanya penelitian yang mengungkap hubungan persepsi karyawan terhadap struktur organisasi dengan komitmen karyawan kepada organisasi, dengan memperhitungkan aspek kepuasan kerja sebagai mediasi dari hubungan tersebut. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Meyer dan Allen (Kharis, 2001) menyebutkan bahwa secara umum, komitmen organisasi adalah suatu kondisi psikologis yang ditandai dengan adanya hubungan antara karyawan dengan organisasinya dan adanya implikasi untuk memutuskan apakah ia akan terus menjadi anggota organisasi tersebut ataukah akan berhenti. Miner dalam bukunya (1992) menggunakan definisi yang dikemukakan oleh Mowday, dkk bahwa komitmen organisasi adalah suatu kekuatan relatif dari indentifikasi terhadap dan keterlibatan dalam organisasi tertentu. Irving, dkk. (1997) mengungkapkan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu wujud kebutuhan bawahan untuk tetap bergabung dengan organisasi kerja karena didasarkan pada keinginan. Mustika (2000) menggunakan rangkuman definisi yang diungkapkan Mowday, dkk dimana komitmen organisasi dibedakan menjadi dua macam, komitmen sebagai perilaku dan komitmen sebagai suatu sikap. Komitmen sebagai suatu perilaku dimiliki oleh individu yang mempunyai keterikatan terhadap aktivitas-aktivitas yang telah dijalaninya dalam organisasi dan perasaan telah berkorban banyak bagi organisasi sehingga sulit atau tidak mau meninggalkan organisasi tersebut. Komitmen sebagai suatu sikap didefinisikan sebagai suatu kekuatan relatif yang dimiliki masing-masing individu dalam mengidentifikasi nilai-nilai yang dimilikinya dengan nilai-nilai dan tujuan yang ada pada organisasi sehingga individu tersebut terus berkeinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. 11 Sedangkan Steers dan Porter (Purwanto, 2000) mendefinisikan komitmen sebagai suatu sikap merupakan usaha individu untuk mengidentifikasikan diri pada organisasi beserta tujuannya, serta keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi agar dapat mencapai tujuan yang tidak dapat dicapainya sendirian. Miner juga mengungkapakan bahwa konsep komitmen sebagai suatu sikap ini sifatnya lebih luas daripada kepuasan kerja karena berlaku secara utuh atau keseluruhan, bukan hanya terhadap pekerjaan tertentu saja, dan lebih stabil bila dibandingkan dengan kepuasan kerja karena sifatnya lebih permanen dan kejadian-kejadian sehari-hari dalam organisasi tidak akan mengubah komitmen karyawan terhadap organisasinya secara signifikan. Berbagai pengertian tersebut menggiring peneliti untuk mengambil kesimpulan yang menjadi definisi konseptual bagi penelitian ini, yaitu komitmen organisasi dipandang sebagai suatu sikap individu terhadap hubungan yang terjalin antara dirinya dengan organisasinya sebagai hasil dari proses identifikasi atas nilai dan tujuan dari organisasi, disertai dengan kemauan untuk terlibat dengan kegiatan organisasi dan keinginan yang kuat untuk tetap dapat menjadi bagian dari organisasi tersebut. Dari definisi di atas, tampak bahwa peneliti lebih memfokuskan pembahasan atas komitmen organisasi yang bersifat afektif, dibanding komitmen organisasi normatif maupun kalkulatif. Pemilihan ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang menyatakan bahwa di antara ketiga tipe komitmen tersebut, komitmen afektifkah yang memiliki hubungan positif paling kuat dengan kinerja, organization citizenship behavior (OCB), dan tingkat kehadiran karyawan (Keller, 1997; Meyer, dkk., 2004). Oleh karena itu, komitmen organisasi afektif dipandang sebagai prediktor terbaik dan sangat berguna dalam usaha peningkatan kinerja karyawan dan organisasi secara umum, bila dibandingkan dengan komitmen normatif atau komitmen kalkulatif. 12 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi Secara umum, komitmen organisasi dipengaruhi oleh empat kelompok faktor yang diungkapkan oleh Mowday (Purwanto, 2000; Kharis, 2001), yaitu: a. Karakteristik personal yang meliputi usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, tingkat efikasi diri dan kebutuhan akan prestasi. Dari segi usia, karyawan yang lebih tua akan cenderung lebih berkomitmen. Kharis (2001) mengungkapkan bahwa tingkat efikasi diri dan masa kerja dalam organisasi memiliki hubungan positif dengan komitmen organisasi. b. Karakteristik pekerjaan, seperti stres kerja, tantangan dalam pekerjaan, umpan balik, identifikasi tugas, kejelasan peran, dan perkembangan diri, karir, dan tanggung jawab. Steers dan Porter dalam penelitiannya pada tahun 1983 menemukan bahwa karakteristik perkerjaan tersebut, selain stres kerja berkorelasi positif dengan komitmen organisasi. c. Karakteristik organisasi, yaitu struktur organisasi (sentralisasi, formalitas, dan kompleksitas), gaya kepemimpinan dalam organisasi, dan dukungan sosial yang diciptakan dalam organisasi. Purwanto (2000) dan Chen (2004) menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan transakasional secara bersama-sama akan meningkatkan komitmen organisasi. Cordery (Niehoff, dkk., 2001) mengungkapkan job enrichment berkorelasi positif dengan komitmen organisasi. d. Sifat dan kualitas pengalaman kerja yaitu pemenuhan kebutuhan dasar dan harapan karyawan, yang termasuk di dalamnya adalah merasakan kepuasan kerja. Beberapa penelitian menunjukkan hasil dimana karyawan yang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan menunjukkan komitmen yang tinggi juga terhadap organisasinya (Feinstein & Vondrasek, 2000; Okpara, 2004). 13 3. Aspek-aspek dalam Komitmen Organisasi Berbagai penelitian (Purwanto, 2000; Mustika, 2000; Kharis, 2001) menggunakan aspek-aspek komitmen organisasi yang diungkapkan oleh Mowday, yaitu: a. Menunjukkan adanya keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai organisasi b. Punya keinginan untuk bisa memberikan yang terbaik bagi organisasi dalam bekerja c. Memperlihatkan keinginan kuat untuk pertahankan keanggotaan dalam organisasi Aspek-aspek ini dalam laporan penelitian LaMastro disebut sebagai karakteristik dari komitmen afektif, yaitu komitmen yang muncul dalam diri karyawan terhadap organisasi karena karyawan memiliki ketertarikan secara emosional terhadap organisasi. Tipe komitmen yang lain adalah komitmen normatif, yaitu komitmen yang muncul karena karyawan merasa memiliki kewajiban utnuk tetap tinggal dalam organisasi, dan komitmen kalkulatif (continuance) yang muncul berdasarkan perhitungan untung-rugi seandainya karyawan meninggalkan organisasi. Ketiga tipe komitmen ini secara luas dipergunakan dalam berbagai penelitian (Meyer & Allen, 1991; Dunham, 1994; Keller, 1997; Irving, 1997; Meyer, 2004). B. Kepuasan Kerja Norris & Niebuhr mendefinisikan kepuasan kerja sebagai respon afektif terhadap lingkungan kerja (Reed, dkk., 1994). Selain itu, Okpara (2004) mengungkapkan beberapa pengertian tentang kepuasan kerja. Salah satunya adalah milik Locke, dimana kepuasan kerja merupakan suatu emosi menyenangkan atau positif yang dihasilkan daari penilaian terhadap pekerjaan yang dimliki dengan pengalaman yang diadapat keryawan selama bekerja. Kepuasan kerja menurut penelitian yang dilakukan oleh Okpara (2004) dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan dan juga tingkat keterlibatan karyawan terhadap proses pengambilan 14 keputusan dalam organisasi. Kepuasan kerja yang rendah dipengaruhi oleh karakteristik kerja yang tidak menantang, membosankan, simpel, dan monoton, serta tidak dilibatkannya karyawan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan penting dalam manajemen organisasi. Goh (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa atribut yang menempel pada suatu organisasi pembelajaran (learning organization), yaitu rendahnya tingkat formalisasi, akan meningkatkan kepuasan kerja. Dipboye, dkk. (1994) menyatakan kepuasan kerja dipengaruhi oleh karakteristik personal dan perilaku yang terkait dengan pekerjaan. Dari segi karakteristik personal ada faktor usia dan kepribadian yang mempengaruhi kepuasan kerja seorang karyawan. Semakin tua aeorang karyawan, maka ia akan menunjukkan kecenderungan untuk lebih puas bila dibandingkan dengan karyawan yang lebih muda. Hal ini mungkin terjadi karena adanya perhitungan yang dilakukan oleh karyawan tersebut atas alternatif pekerjaan lain yang tersedia baginya. Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan adanya tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi pada karyawan dengan n-Ach yang tinggi. Selain itu, sifat tidak sabar dan mudah tersinggung memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan kerja karyawan. Selain itu, Aamodt (2004) mengungkapkan 4 kepribadian yang menentukan kepuasan kerja, yaitu stabilitas emosional, locus of control internal, efikasi-diri, dan penghargaan-diri. Kepuasan kerja oleh banyak ahli dibagi menjadi 2 aspek secara umum, yaitu kepuasan intrinsik dan kepuasan ekstrinsik. Kepuasan yang pertama merupakan suatu perasaan positif dalam diri karyawan yang muncul terhadap pekerjaan yang dilakukannya, seperti tantangan dalam pekerjaan, aktivitas yang dilakukan, wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki. Sedangkan kepuasan ekstrinsik lebih mengacu pada kondisi atau situasi yang ada selama karyawan bekerja, seperti hubungan dengan teman kerja, pengawasan, kompensasi, kebijakan perusahaan, dan pengembangan karir. 15 C. Persepsi terhadap Struktur Organisasi Organisasi didefinisikan sebagai suatu kesatuan sosial yang terkoordinir dengan batasan-batasan yang jelas dalam membedakan individu mana yang menjadi anggota dan mana yang bukan, serta berfungsi mencapai suatu tujuan yang tidak dapat diraih sendirian (Robbin, 1990). Struktur organisasi merupakan suatu mekanisme tentang alokasi tugas dalam organisasi, termasuk juga rantai tanggung jawab, serta koordinasi pola interaksi formal yang harus ditaati oleh anggota organisasi. Struktur ini memiliki 3 unsur, yaitu a. Kompleksitas yang merupakan tingkat perbedaan dalam organisasi yang tampak pada tingkat spesialisasi, jumlah level hirarkis, serta penyebaran geografis dari unit-unit yang ada dalam organisasi. b. Formalisasi menggambarkan tingkat organisasi dalam mengandalkan aturan dan prosedur yang berlaku dalam organisasi untuk mengarahkan dan mengendalikan perilaku karyawan organisasi. c. Sentralisasi menunjukkan dimana kekuasaan unutk mengambil keputusan berada, apakah pada tingkat top-manajer ataukah disebarkan secara merata ke tingkat karyawan yang lebih rendah. Teori klasik tentang organisasi mengidentifikasi adanya 2 tipe organisasi secara umum, yaitu organisasi mekanistik yang menggunakan manajemen ilmiah dan mengutamakan adanya efisiensi dalam setiap kegiatan organisasi. Organisasi ini memiliki karakteristik tingkat formalisasi, sentralisasi, dan kompleksitas yang tinggi. Sedangkan yang kedua adalah organisasi yang organik yang memandang organisasi serupa dengan makhluk hidup yang bertumbuh dan selalu berusaha untuk bertahan hidup. Karakteristik struktur dari organisasi ini adalah tingkat formalisasi yang rendah dan jalur komunikasi yang terbuka ke segala arah dalam organisasi. 16 D. Organisasi yang Bergerak dalam Bidang Pelayanan Masyarakat (Public Services) Fitzsimmons dan Fitzsimmons (2004) mengelompokkan organisasi-organisasi yang bergerak dalam hal pelayanan publik ke dalam 4 kelompok yang dikenal dengan Matriks Proses Pelayanan. Pelayanan dibagi berdasarkan dua dimensi yang akan memperngaruhi karakter dari proses penyampaian pelayanan. Dimensi horisontal mengukur tingkat interaksi dan penyesuaian terhadap selera konsumen (customization) yaitu sejauh mana konsumen mampu mempengaruhi secara personal wujud pelayanan yang diberikan. Sedangkan dimensi vertikal mengukur tingkat intensitas tenaga kerja, yaitu perbandingan antara biaya tenaga kerja dengan biaya modal. Tabel 1 The Service Process Matrix Degree of labor intensity Degree of interaction and customization Low High Low Service factory: Airlines Trucking Hotels Resorts and recreation Mass service: Retailing Wholesaling Schools Retail aspects of commercial banking High Service shop: Hospitals Auto repair Other repair services Professional service: Phyicians Lawyers Accountants Architecs Sumber: Fitzsimmons, J. A. dan Fitzsimmons, M. J. 2004 Kelompok yang pertama adalah service factory, yaitu kelompok dengan tingkat interakasi dengan dan penyesuaian terhadap konsumen rendah serta membutuhkan banyak modal (intensitas rendah). Termasuk dalam kelompok ini adalah perusahaan penerbangan, perusahaan truk, perhotelan, dan tempat-tempat wisata. Kedua adalah kelompok service shop yang memiliki tingkat interaksi dan penyesuaian yang tinggi serta memiliki tuntutan atas 17 modal yang besar. Contoh dari organisasi yang termasuk dalam kelompok ini adalah rumah sakit, bengkel, dan berbagai pelayanan perbaikan lainnya. Kelompok yang ketiga memiliki tingkat interaksi dan penyesuaian yang rendah begitu pula tuntutan atas modal. Kelompok ini disebut sebagai mass service dengan contoh sekolah-sekolah, bank komersial, serta perusahaan grosir maupun eceran. Kelompok yang terakhir, professional service memiliki karakteristik interaksi dan penyesuaian terhadap konsumen yang tinggi namun tidak menuntut modal yang besar, seperti akuntan, pengacara, arsitek, dan dokter atau tabib. Tantangan yang dihadapi oleh organisasi pelayanan ini ditentukan oleh karakteristik dimensi yang dimilikinya. Pada kelompok dengan interaksi dan penyesuaian yang rendah akan menghadapi tantangan dalam hal pemasaran, membuat layanan tetap “hangat” mengingat standardisasi sangat penting dalam pelaksanaan pelayanan, perhatian pada lingkungan fisik, serta mengelola hirarki cenderung kaku dengan kebutuhan prosedur operasional yang standard (Standard Operational Procedure/ SOP). Sedangkan interkasi dan penyesuaian terhadap konsumen akan memunculkan tantangan bagi organisasi untuk berjuang menghadapi kenaikan harga dan pengeluaran, mempertahankan kualitas, bereaksi terhadap intervensi konsumen dalam proses, mengelola hirarki yang datar dengan hubungan atasan-bawahan yang longgar, serta memperoleh loyalitas dari para karyawannya. Bagi organisasi yang berada dalam kelompok dengan rasio modal yang besar akan dihadapkan pada tuntutan keputusan modal, perkembangan teknologi, mengelola permintaan untuk menghindari puncak kesibukan (peaks) dan membuat jadwal pemberian pelayanan. Sedangkan organisasi dengan rasio modal yang rendah akan menghadapi tantangan saat mempekerjakan seseorang, mengadakan pelatihan, menentukan metode pengembangan dan pengontrolan, kesejahteraan karyawan, membuat jadwal bagi tenaga kerja, melakukan kontrol terhadap lokasi geografis yang sangat luas, memulai adanya unit-unit baru, serta mengelola pertumbuhan organisasi. 18 Terkait dengan topik komitmen organisasi, peneliti akan memfokuskan penelitian ini pada kelompok service shop, khususnya rumah sakit. Selain membutuhkan tingkat loyalitas yang tinggi dari karyawan serta adanya hirarki organisasi rumah sakit yang sifatnya datar, rumah sakit juga dihadapkan pada tantangan perkembangan teknologi yang sangat cepet seiring dengan mudahnya perpindahan barang antarnegara dalam era globalisasi ini. Pemilihan rumah sakit sebagai organisasi tempat penelitian dilakukan didukung pula oleh pernyataan Jamalul Insan, seorang penilik kesehatan dalam tulisannya yang dimuat dalam situs surat kabar harian nasional, www.kompas.com pada tahun 2005, bahwa dibanding lembaga usaha yang lain, rumah sakit memiliki kekhasan yaitu pada sejarah kehadiran dan perkembangannya, perannya dalam masyarakat, jenis jasa yang diberikan, keluhuran profesi pemberi jasa yang bekerja di dalamnya, sifat konsumen yang dilayani, serta muatan tanggung jawab moral, kemanusiaan, dan sosial yang diembannya. E. Hubungan antara Persepsi terhadap Struktur Organisasi, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasi Dari berbagai faktor yang mempengaruhi komitmen seorang karyawan terhadap organisasinya, peneliti tertarik pada dua faktor umum, yaitu karakteristik organisasi serta sifat dan kualitas pengalaman kerja. Karakteristik organisasi meliputi berbagai atribut yang ada pada suatu organisasi, seperti struktur, desain, dan budaya atau iklim organisasi, serta gaya kepemimpinan yang diterapkan. Dalam hal budaya organisasi, Eisenberger (1990) menemukan adanya korelasi yang positif antara dukungan dari organisasi yang dipersepsi karyawan dengan tingkat komitmennya terhadap organisasi. Sedangkan gaya kepemimpinan diteliti oleh Purwanto (2000) dan Chen (2004) dengan menunjukkan adanya pengaruh penerapan suatu gaya kepemimpinan terhadap komitmen organisasi. Budaya organisasi sebagaiman dijelaskan oleh Smither, dkk. (1996) merupakan kepercayaan dan nilai yang dimiliki bersama yang diteruskan 19 oleh organisasi pada setiap anggota barunya tentang cara berperilaku yang diterima, peran, dan norma. Hal ini berkaitan erat dengan struktur organisasi yang diterapkan dalam organisasi karena menggambarkan posisi dan peran yang harus dijalankan setiap anggota organisasi. Oleh karena itu, peneliti berasumsi bahwa bila budaya organisasi, seperti pemberian dukungan bagi anggota, dapat mempengaruhi tingkat komitmen karyawan terhadap organisasi, maka begitu pula dengan persepsi karyawan terhadap struktur yang dianut oleh organisasi. Persepsi karyawan terhadap struktur organisasi, khususnya tingkat formalisasi telah diteliti pengaruhnya terhadap kepuasan kerja oleh Goh pada tahun 2001. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa tingkat formalisasi memiliki hubungan negatif dengan tingkat kepuasan kerja. Peneliti pun berasumsi bahwa kedua unsur struktur organisasi yang lain, yaitu sentralisasi dan kompleksitas, juga memiliki hubungan yang negatif pula dengan tingkat kepuasan kerja. Sedangkan tingkat kepuasan kerja itu sendiri juga memiliki korelasi positif yang kuat terhadap tingkat komitmen organisasi (Feinstein & Vondrasek, 2000; Okpara, 2004). Berdasarkan hubungan yang ada, diasumsikan bahwa persepsi karyawan terhadap struktur organisasi memiliki pengaruh secara tidak langsung pada tingkat komitmen karyawan pada organisasi yang diikutinya melalui hubungan kepuasan kerja. Kepuasan kerja telah banyak dikupas dalam penelitian di berbagai negara (Okpara, 2004). Dalam penelitian ini, kepuasan kerja akan ditempatkan sebagai variabel yang dipengaruhi oleh persepsi terhadap struktur organisasi sekaligus sebagai variabel yang mempengaruhi komitmen organisasi. 20 F. Hipotesis Penelitian Peneliti mengajukan tiga hipotesis yang akan dicoba untuk dibuktikan oleh penelitian ini, yaitu: 1. Adanya hubungan persepsi perawat pada struktur organisasi dan kepuasan kerja dengan komitmen pada rumah sakit, 2. Adanya hubungan positif antara persepsi perawat pada struktur organisasi dengan kepuasan kerja, 3. Adanya hubungan positif persepsi perawat pada struktur organisasi dengan komitmen pada rumah sakit, 4. Adanya hubungan positif antara kepuasan kerja dengan komitmen pada rumah sakit, 5. Kepuasan kerja memediasi hubungan antara persepsi perawat pada struktur organisasi dengan komitmen pada rumah sakit. BAB III METODOLOGI A. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel Bebas : Persepsi pada struktur organisasi Variabel Mediator : Kepuasan kerja Variabel Tergantung : Komitmen organisasi B. Definisi Operasional 1. Persepsi pada Struktur Organisasi Dalam penelitian ini persepsi perawat pada struktur organisasi didefinisikan secara operasional sebagai proses kognisi perawat dalam menilai, mengevaluasi, dan menafsirkan struktur yang berlaku dalam organisasi yang meliputi tiga unsur, yaitu: a. Formalisasi yang didefinisikan sebagai adanya peraturan dan prosedur tertulis dalam organisasi dan tingkat kepatuhan organisasi dalam melaksanakannya. b. Sentralisasi yang dilihat dari dua aspek, yaitu partisipasi dalam pengambilan keputusan serta adanya hirarki otoritas dalam organisasi. c. Kompleksitas dalam penelitian ini dilihat dari ukuran organisasi. Pengukuran terhadap persepsi perawat pada struktur organisasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan adaptasi dari kuesioner yang digunakan oleh Schminke, dkk. (2000), yang dikembangkan dari konsep sentralisasi Hage dan Aiken (1969) dan konsep formalisasi milik Pugh, dkk. (1968). Skor yang tinggi pada angket sentralisasi menunjukkan tingkat sentralisasi yang rendah. Sedangkan pada angket formalisasi, skor yang tinggi menunjukkan tingginya pula tingkat formalisasi. 22 Pengukuran tingkat kompleksitas akan dilakukan dengan mengukur besarnya organisasi, yaitu dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat jumlah perawat tetap yang bekerja di rumah sakti ini. Data ini diperoleh dari pihak pengelola rumah sakit. 2. Kepuasan kerja Definisi operasional dari kepuasan kerja yang digunakan dalam penelitian ini yaitu suatu sikap positif yang muncul sebagai hasil dari penilaian perawat secara keseluruhan terhadap rumah sakit dimana ia bekerja, baik mengenai pekerjaan itu sendiri maupun tentang pengalaman yang didapat perawat selama bekerja di rumah sakit tersebut. Pengukuran terhadap kepuasan kerja dilakukan dengan menggunakan skala adaptasi dari Minnesota Satisfaction Questionnaire yang dikembangkan oleh Weiss, Dawis, England, dan Lofquise (1967). Semakin tinggi nilai yang diperoleh berarti semakin tinggi pula tingkat kepuasan kerja yang dirasakan oleh perawat, dan semakin rendah nilai yang diperoleh menunjukkan semakin rendah pula tingkat kepuasan kerjanya. 3. Komitmen pada Organisasi Definisi operasional dari komitmen pada organisasi dalam penelitian ini mengacu pada pengertian komitmen organisasi yang sifatnya afektif, yaitu suatu kekuatan relatif yang dimiliki perawat terhadap rumah sakit tempat ia bekerja. Berdasar pada definisi ini, perawat yang memiliki komitmen akan menunjukkan: a. Adanya keyakinan dan penerimaan penuh terhadap nilai-nilai dan tujuan rumah sakit (identifikasi) b. Adanya dorongan untuk berusaha maksimal demi kepentingan rumah sakit (motivasi) c. Adanya keinginan yang kuat untuk menjadi bagian dari rumah sakit dan mempertahankan keanggotaannya tersebut (loyalitas) Pengukuran atas tingkat komitmen pada organisasi dilakukan dengan menggunakan angket yang disusun oleh peneliti berdasar pada teori yang dikemukakan oleh Steers dan Porter (1993). Nilai yang tinggi pada angket ini menunjukkan tingginya tingkat komitmen 23 perawat pada rumah sakit tempat ia bekerja, dan semakin rendah nilainya maka semakin rendah pula tingkat komitmen yang dimilikinya. C. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah para perawat Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Perawat yang dipilih adalah perawat yang telah bekerja pada rumah sakit tersebut minimal enam bulan karena diasumsikan telah memiliki pengalaman kerja lapangan yang cukup untuk memahami proses-proses terkait dengan tugas sehari-hari dan telah mampu mempersepsi tingkat komitmen pada rumah sakit tempat ia bekerja. Selain itu, masa enam bulan diperkirakan cukup lama untuk memahami dan melakukan penilaian terhadap struktur organisasi yang diterapkan dalam rumah sakit yang bersangkutan. D. Alat Ukur 1. Persepsi terhadap Struktur Organisasi Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari konsep yang dikemukakan oleh Robbin (1990) dimana struktur organisasi memiliki tiga unsur, yaitu: a. Formalisasi diukur dengan melihat banyaknya aturan dan prosedur yang dibuat secara tertulis dalam organisasi dan tingkat ketaatan organisasi dalam menjalankannya. b. Sentralisasi yang dilihat dari dua aspek, yaitu partisipasi dalam pengambilan keputusan — keikutsertaan karyawan dalam proses pengambilan keputusan — serta adanya hirarki otoritas dalam organisasi — yang dilihat dari kemampuan karyawan untuk dapat mengambil keputusan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan atasannya. c. Kompleksitas dalam penelitian ini dilihat dari ukuran organisasi yang diukur dengan menghitung jumlah perawat tetap yang bekerja di rumah sakit. 24 Pengukuran terhadap persepsi karyawan pada struktur organisasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan adaptasi dari angket yang dikembangkan oleh Hage dan Aiken (1969) dan Pugh, dkk. (1968). Skala terdiri atas 14 aitem dengan 5 poin (5=sangat sesuai; 1=sangat tidak sesuai). Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek menunjukkan bahwa organisasi tersebut dipersepsi sebagai organisasi yang formal, sentralistis, dan kompleks oleh karyawannya. Sedangkan pengukuran tingkat kompleksitas organisasi akan dilakukan dengan melihat ukuran organisasi 2. Kepuasan Kerja Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja adalah skala yang merupakan adaptasi dari Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Skala ini dikembangkan oleh Weiss, Dawis, England, dan Lofquise pada tahun 1967, terdiri atas 100 item yang mengungkap 20 aspek kepuasan kerja. Namun dengan alasan kepraktisan, banyak peneliti memilih untuk menggunakan MSQ bentuk pendek yang terdiri atas 20 item yang mengungkap kepuasan kerja secara umum, meliputi kepuasan intrinsik, kepuasan ekstrinsik, kondisi kerja, dan teman kerja. Dipboye, dkk. (1994) menyatakan bahwa MSQ bentuk pendek ini memiliki reliabilitas dan validitas yang tinggi. Peneliti menggunakan MSQ model pendek yang terdiri atas 20 item dengan pilihan lima pilihan jawaban yang menunjukkan tingkat kepuasan yang dirasakan subjek terhadap aspek-aspek dari pekerjaan yang disebutkan sebagai item-item skala. Jawaban bergerak dari sangat puas, puas, ragu-ragu, tidak puas, dan sangat tidak puas. Pada item favorable jawaban sangat puas akan mendapat skor maksimal 5, dan jawaban sangat tidak puas akan mendapat skor minimal 1. Sedangkan untuk item-item unfavorable, jawaban sangat puas akan mendapatkan skor minimal dan jawaban sangat tidak puas akan mendapat skor maksimal. Skor total yang tinggi akan menunjukkan tingginya tingkat kepuasan kerja 25 yang dirasakan subjek, sebaliknya, skor total yang rendah menunjukkan rendahnya tingkat kepuasan kerja yang dirasakannya. 3. Komitmen Organisasi Skala yang digunakan untuk mengukur komitmen organisasi dikembangkan dari definisi komitmen yang disampaikan oleh Steers & Porter (1983), yaitu komitmen afektif yang memiliki 3 aspek: a. Adanya keyakinan dan penerimaan penuh terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi (identifikasi) b. Adanya dorongan untuk berusaha maksimal demi kepentingan organisasi (motivasi) c. Adanya keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi dan mempertahankan keanggotaannya tersebut (loyalitas). Tabel 2 Blue Print Skala Komitmen Organisasi Distribusi Aitem Favorable Unfavorable 5 5 4 6 6 4 15 15 Aspek / Indikator Identifikasi Motivasi Loyalitas Jumlah: Jumlah 10 10 10 30 Skor total keseluruhan akan menunjukkan tingkat komitmen seorang karyawan terhadap organisasinya. Semakin tinggi skor yang diperoleh, semakin tinggi pula tingkat komitmen yang dimiliki karyawan tersebut. E. Rancangan Analisis Data Untuk memunculkan mediasi, ada beberapa syarat yang diajukan oleh Baron dan Kenny (Sheffield, dkk., 2005), yaitu: 1. Variabel bebas harus secara signifikan mempengaruhi variabel mediator 2. Variabel bebas harus mempengaruhi variabel tergantung 26 3. Variabel mediator harus mempengaruhi variabel tergantung 4. Pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung haruslah menjadi lebih rendah saat variabel mediator masuk dalam perhitungan. Oleh karena itu, untuk melihat peran mediasi dari tingkat kepuasan kerja dalam hubungan antara persepsi pada struktur organisasi dilakukan analisa dalam 4 tahap, yaitu: 1. Pengujian pengaruh langsung dari persepsi pada struktur organisasi sebagai varibael bebas terhadap variabel mediator, tingkat kepuasan kerja dengan melakukan uji signifikansi kemudian adanya hubungan dibuktikan dengan teknik analisis korelasi parsial serta melihat besarnya pengaruh ini digunakan koefisien determinasi. 2. Pengujian pengaruh langsung persepsi pada struktur organisasi terhadap variabel tergantung, komitmen pada organisasi dengan melakukan uji signifikansi atas hubungan yang ada, kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis korelasi parsial untuk melihat hubungan yang ada dan koefisien determinasi yang menunjukkan besarnya pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel tergantung. 3. Pengujian pengaruh tingkat kepuasan kerja sebagai varibel mediator terhadap komitmen pada organisasi sebagai varibel tergantung dengan menguji tingkat signifikansi hubungan dan dilanjutkan dengan analisis korelasi parsial untuk menentukan hubungan yang ada serta mencari koefisien determinasi yang dapat menunjukkan besarnya pengaruh variabel mediator terhadap variabel bebas. 4. Melakukan analisis regresi stepwise untuk dapat membuktikan ada atau tidaknya penurunan pengaruh persepsi pada struktur organisasi sebagai variabel bebas terhadap komitmen karyawan pada organisasi saat tingkat kepuasan kerja sebagai variabel mediator disertakan dalam perhitungan. 27 DAFTAR PUSTAKA Aamodt, M.G. 2004. Applied Industrial/Organizational Psychology. 4th ed. California: Thomson Learning, Inc. Cable, D.M., & DeRue, D.S. 2002. Convergent and Discriminant Validity of Subjective Fit Perceptions. Journal of Applied Psychology, 87(5), 875-884. Cascio, W.F. 1998. Applied Psychology in Human Resource Management. 5th ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Chen, Li Yueh. 2004. Examining the Effect of Organization Culture and Leadership Behaviors on Organizational Commitment, Job Satisfaction, and Job Performance at Small and Middle-sized Firms in Taiwan. The Journal of American Academy of Business, September, 432-438. Cummings, T.G.& Worley, C.G. 1993. Organization Development and Change, 6th ed. Ohio: South-Western College Publishing Demerouti, E., Bakker, AB., Nachreiner, F. & Schaufeli, WB. 2000. A Mdel of Burnout and Life Satisfaction Among Nurses. Journal of Advanced Nursing. 32 (2), 454-464 Dipboye, R.L., Smith, C.S., & Howell, W.C. 1994. Understanding Industrial & Organizational Psychology: An Integrated Approach. Florida: Harcourt Brace & Company. Eisenberger, R., Faloso, P., & LaMastro, V.D. 1990. Perceived Organizational Support and Employee Diligence, Commitment, and Innovation. Journal of Applied Psychology, 75, 51-59. Fatdina. 2005. Peranan Sifat-sifat dalam Core-Self Evaluation Terhadap Kepuasan Kerja Pada Perawat. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Feinstein, A.H. & Vondrasek, D. 2000. A Study of Relationship Between Job Satisfaction and Organizational Commitment among Restaurant Employees. Laporan Penelitian. (tidak diterbitkan) Las Vegas: Departement of Food and Beverage Management William F. Harrah College of Hotel Administration University of Nevada. Fitzsimmons, J. A. dan Fitzsimmons, M. J. 2004. Service Management: Operations, Strategy, and Informational Management. 4th ed. New York: McGraw-Hill Co, Inc. 28 Goh, Swee C. 2001. The Learning Organization: An Empirical Test of A Normative Framework. International Journal of Organization Theory & Behavior, 4, 329-355. Irving, P., Coleman, D., & Cooper, C. 1997. Further Assessments of A Three-Component Model of Occupational Commitment: generalizability and differences across occupations. Journal of Applied Psychology, 82(3), 444-452. Keller, T.B. 1997. Job Involvement and Organizational Commitment as Longitudinal Predictors of a Job Performance: A study of scientists and engineers. Journal of Applied Psychlogy, 82, 539-545. Kharis, Abdul. 2001. Komitmen Organisasional Ditinjau dari Efikasi-diri, Masa Kerja, dan Hirarki Status Upah. Tesis. (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Mustika, Mawar. 2000. Komitmen Organisasi Ditinjau dari persepsi Bawahan terhadap Kepemimpinan Atasan di SMK Negeri 4 Palembang. Skripsi. (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Meyer, J.P., Allen, N.J., & Smith, C.A. 2004. Employee Commitment and Satisfaction. Journal of Applied Psychology, 89, 991-1007. Miner, J.B. 1992. Industrial-Organizational Psychology. Singapore: McGraw-Hill, Inc. Niehoff, B.P., Moorman, R.H., Blakely, G., & Fuller, J. 2001. The Influence of Empowerment and Job Enrichment on Employee Loyalty in a Downsizing Environment. Group & Organization Mangement, 26, 93-113. Okpara, J.O. 2004. Job Satisfaction and organizational Commitment: Are there differences between American and Nigerian Managers Employed in the US MNCs in Nigeria? Presentasi pada 2004 X International Conference Montreux. (tidak diterbitkan) Switzerland. Purwanto, Budi. 2000. Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional dengan Komitmen terhadap Organisasi. Tesis. (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Reed, S.A., Kratchman, S.H., & Strawser, R.H. 1994. Job Satisfaction, Organizational Commitment, and Turnover Intentions of United States Accountants: The Impact of Locus of Control and Gender. Accounting, Auditing, & Accountability Journal, 7, 31-58. 29 Robbin, S.P. 1990. Organization Theory: Structure, design, and application (3rd ed.) New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Schminke, M., Ambrose, M.L., & Cropanzano, R.S. 2000. The Effect of Organizational Sructure on Perceptions of Procedural Fairness. Journal of Applied Psychology, 85, 294-304. Sheffield, J.K., Tse, K.H., & Sofronoff, K. 2005. A Comparison of Body-Image Dissatisfaction and Eating Disturbance among Australian and Hongkong Women. European Eating Disorders Review. 13. 112-124 Shiraev, E.B. and Levy, D.A. (2004). Cross-cultural psychology: critical thinking and contemporary applications. Boston, MA: Pearson Education Inc. Smither, R.D., Houston, J.M., & McIntire, S.A. 1996. Organisation Development, Strategies for Changing Environments. New York: HarperCollins College Publishers, Inc. Wood, J., Wallace, J., Zeffane R., Schermerhorn, J.R., Hunt, J.G., Osborn, R.N. 1994. Organisational Behavior: An Asia-Pacific Perspective. New York: John Wiley & Sons, Inc. STRUKTUR ORGANISASI FORMALISASI SENTRALISASI KOMPLEKSITAS - partisipasi dalam pengambilan keputusan - hirarki otoritas IDENTIFIKASI MOTIVASI/ JOB INVOLVEMENT KOMITMEN ORGANISASI LOYALITAS IINTRINSIK (MOTIVATOR) - Aktivitas kerja Wewenang Tanggung jawab EKSTRINSIK (HYGIENE) - Hubungan dengan taman kerja Hubungan dengan pengawas (supervisor) Kompensasi Kebijakan organisasi Pengembangan karir KETERANGAN: Hubungan aspek Hubungan yang akan diteliti KEPUASAN KERJA Gambar 1 Bagan Kerangka Berpikir 31 KEPUASAN KERJA Intrinsik/ Motivators Ekstrinsik / Hygiene Factor STRUKTUR ORGANISASI Kompleksitas Formalisasi Sentralisasi DUKUNGAN ORGANISASI KOMITMEN ORGANISASI Identifikasi Motivasi Loyalitas