tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Rakyat
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas
minimal 0,25 Ha dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan
(lebih dari 50 %), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang
(Keputusan Menhut Nomor. 49/ Kpts II/ 97 tanggal 20 Januari 1997;
Awang, 2001). Hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat
yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut
hutan milik (Supriadi, 2002).
Pengertian hutan rakyat di luar Jawa adalah lahan yang dimiliki rakyat dan
di luar konsesi tersebut dan dibebani hak milik dan atau hak lainnya termasuk
hutan produksi yang dapat dikonversi dengan dikelola secara intensif dan
didominasi oleh tanaman kayu-kayuan yang dikerjakan secara perorangan,
kelompok, atau badan hukum (Dirjen RRL Departemen Kehutanan, 1996).
Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya,
merupakan salah satu butir kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai
kebutuhan hidupnya. Dengan semakin terbatasnya kepemilikan tanah, peran hutan
rakyat bagi kesejahteraan masyarakat semakin penting. Pengetahuan tentang
kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan
pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang
diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan
pembangunan hutan rakyat (Sumarna, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Bentuk Hutan Rakyat
Berdasarkan Balai Informasi Pertanian (1982), bentuk hutan rakyat yang
terdapat di Indonesia terdiri dari tiga bentuk hutan rakyat adalah sebagai berikut:
1. Hutan rakyat murni (monokultur) yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari
satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam dan diusahakan secara
homogen atau monokultur.
2. Hutan rakyat campuran yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis
pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.
3. Hutan rakyat agroforestry merupakan hutan yang mempunyai bentuk usaha
kombinasi kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti perkebunan,
pertanian tanaman pangan, peternakan dan lain-lain secara terpadu.
Pola Pengembangan Hutan Rakyat
Berdasarkan Kementrian Lingkungan hidup (2007) pola pengembangan
hutan rakyat yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pola swadaya adalah hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau
pereorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau
perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mampu
untuk melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan
bimbingan teknis kehutanan.
2. Pola subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan
sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan
diberikan oleh pemerintah (melalui inpres penghijauan, padat karya dan dana
bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan
rakyat.
Universitas Sumatera Utara
3. Pola kemitraan (kredit usaha hutan rakyat) adalah hutan rakyat dibangun atas
kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan
berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan
kerjasama itu adalah pihak perusahaan perlu bahan baku dan masyarakat butuh
bantuan modal kerja. Pola kemitraan ini dilakukan dengan memberikan
bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil
usaha secara bijaksana, sesuai kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat.
Karakteristik Hutan Rakyat
Menurut Purwanto et al. (2004), secara umum beberapa karakteristik hutan
rakyat antara lain :
1. Luas lahan rata-rata yang dikuasai sempit.
2. Pada umumnya petani berlahan sempit menanam kayu-kayuan dengan tanaman
lainnya dengan pola tumpangsari, campuran agroforestry, sedangkan petani
berlahan luas yang komersil memungkinkan pengembangan hutan rakyat
dengan sistem monokultur.
3. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari dalam keluarga.
4. Skala usaha kecil.
5. Keberlanjutan dan mutu kayu kurang terjamin.
6. Beragamnya jenis tanaman dengan daur yang tidak menentu atau beragam.
7. Kayu dalam hutan rakyat tidak diposisikan sebagai andalan pendapatan rumah
tangga petani tetapi dilihat sebagai tabungan yang segera dapat dijual pada saat
dibutuhkan.
Universitas Sumatera Utara
8. Teknik silvikultur sederhana dan memungkinkan pengembangan dengan biaya
rendah, meskipun hasilnya kurang optimal. Namun kontinyuitas hasil dalam
jangka waktu dan penyebaran resiko menjadi pilihan bagi petani kecil.
9. Keputusan pemanfaatan lahan untuk hutan rakyat seringkali merupakan pilihan
terakhir apabila pilihan lainnya tidak memungkinkan.
10. Kayu tidak memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi
sehari-hari, membutuhkan waktu lama sehingga pendapatan dari kayu rakyat
merupakan pendapatan sampingan dalam pendapatan rumah tangga petani.
11. Usaha hutan rakyat merupakan usaha yang tidak pernah besar tetapi tidak
pernah mati.
Budidaya Hutan Rakyat
Menurut Sumarna (2001) umumnya tanaman yang dikembangkan di hutan
rakyat seperti Gmelina arborea, mahoni (Swietenia mahagoni), sentang
(Melia
exelca),
sengon
(Paraserianthes
falcataria),
kayu
putih
(Melaleuca leucadendron), aren (Arenga pinata), sungkai (Peronema canescens),
akasia (Acacia sp), johar (Cassia siamea), kemiri (Aleurites moluccana), kapuk
randu (Ceiba petandra), jabon (Anthocepallus cadamba), bambu (Bambusa),
mimba (Azadirachta indica), cemara pantai (Casuarina equisetifolia), dan
Aquilaria malaccensis.
Hasil utama hutan rakyat berupa kayu-kayuan baik kayu pertukangan,
kayu industri, kayu serat, maupun kayu energi. Selain hasil utama, juga dikenal
hasil sampingan, seperti getah, nira, bunga, buah. Tanaman campuran/tanaman
sela sebagai tumpangsari yang terdiri dari tanaman pertanian semusim (padi dan
jagung) dan tanaman obat-obatan sebagai sumber penghasilan musiman dan
Universitas Sumatera Utara
limbahnya berupa daun dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak
(Sumarna, 2001).
Pengelolaan hutan rakyat merupakan bagian dari seluruh aktivitas pemilik
usaha di lahannya. Teknik budidaya yang banyak diterapkan masyarakat pada
umumnya masih tradisional dan kegiatannya bervariasi pada tiap periode
perkembangannnya. Kegiatan budidaya hutan rakyat terdiri dari pemilihan jenis,
persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan pemanenan
(Windawati, 2005).
1. Pemilihan jenis
Menurut Windawati (2005), terdapat 4 faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam mengembangkan suatu jenis tanaman di hutan rakyat, yaitu :
a. Jenis tanaman harus disukai dan sudah dikenal masyarakat serta sudah
diketahui teknologi penanamannya.
b. Jenis harus cocok dan sesuai dengan kondisi lingkungan/biofisik yang akan
ditanam agak produktivitas maksimal.
c. Jenis yang dikembangkan harus jelas jaringan pemasaran yang akan
menampungnya.
d. Aksesbilitas harus mudah hubungannya dengan pemasaran hasil.
2. Persiapan lahan
Persiapan lahan sebelum penanaman untuk jenis-jenis tanaman kehutanan
tidak terlalu rumit, biasanya mereka membuat teras-teras bangku yang sederhana
untuk areal yang miring dengan bahan seadanya, setelah itu membuat lubang
tanam (± 10 cm - 15 cm), sedangkan untuk tanaman pertanian, persiapan lahan
Universitas Sumatera Utara
lebih intensif lagi dengan mencangkul, membuat gundukan dan larikan sebelum
membuat lubang tanam dan menanamnya (Windawati, 2005).
3. Penanaman
Masyarakat hanya menanam jenis tertentu di lahan milik mereka dengan
jarak yang tidak beraturan. Bibit berasal dari biji, ada juga cabutan dari tempat
lain, dengan ukuran bibit setinggi ± 15 cm - 20 cm. Kondisi saat ini petani sudah
menerapkan jarak tanam sesuai tujuan penanaman untuk daerah-daerah tertentu
(Windawati, 2005).
4. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman masih dilakukan dengan cara sederhana, namun
beberapa petani sudah menggunakan pupuk (urea, pupuk kandang dan obatobatan untuk hama). Penjarangan juga dilakukan oleh petani, namun caranya
bukan menebang pohon yang pertumbuhannya kurang baik untuk memberi
kesempatan tumbuh lebih cepat pada pohon sekitarnya, tetapi menebang pohon
yang pertumbuhannya baik dan cepat yang dapat dijual segera atau dijadikan
papan (Windawati, 2005).
5. Pemanenan
Penebangan pohon yang dilakukan oleh petani umumnya bervariasi dari
umur tegakan 10-15 tahun atau lebih sesuai dengan kebutuhan dan pasar.
Tanaman kayu-kayuan ditanam sebagai investasi atau tabungan masa depan
kecuali untuk perabaikan rumah sendiri atau dijual antar tetangga yang
membutuhkan (Windawati, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Hutan Rakyat Murni (Monokultur)
Hutan rakat murni (Monokultur) adalah hutan rakyat yang terdiri dari satu
jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen (monokultur),
seperti di Jawa untuk jenis sengon, jati dan di Lampung untuk jenis damar mata
kucing. Jenis silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan yaitu lebih mudah
dalam pembuatan, pengelolaan dan pengawasannya, namun kekurangannya yaitu
kurang tahan terhadap serangan hama penyakit dan angin, juga kurang fleksibel
karena tidak ada diversifikasi komoditi sehingga ketahanan ekonominya kurang
dan penyerapan tenaga kerja bersifat musiman (Windawati, 2005).
Hutan Rakyat Campuran
Hutan rakyat campuran (Polyculture) dengan 2-5 jenis tanaman kehutanan
yang dikembangkan dan diusahakan, seperti sengon, mahoni, dan suren, yang
kombinasinya berbeda pada setiap daerah. Dari segi silvikultur cara ini lebih baik
dari pada hutan rakyat murni, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih
tinggi, perakaran lebih berlapis dan dari segi ekonomi lebih fleksibel, hasil yang
diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun
pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan dan pengawasan yang
lebih baik (Windawati, 2005).
Jenis Tanaman di Hutan Rakyat
1. Hevea braziliensis
Menurut
Cahyono
(2010)
dalam
ilmu
tumbuhan,
tanaman
H. braziliensis diklasifikasikan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledone
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Hevea
Spesies
: Hevea braziliensis
Tanaman H. braziliensis adalah tanaman daerah tropis. Daerah yang cocok
untuk tanaman H. braziliensis adalah pada zona antara 150 LS dan 150 LU. Bila di
tanam di luar zone tersebut akan memulai pertumbuhannya lebih lambat, sehingga
memulai produksinya pun lebih lambat (Setyamidjaja, 1993).
Tanaman H. braziliensis termasuk dalam famili euphorbiaceae, disebut
dengan nama lain rambung, karet, getah, gota, kejai atau hapea. Tanaman
H. b braziliensis merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting
sebagai sumber devisa non migas bagi Indonesia, sehingga memiliki prospek yang
baik. Upaya peningkatan produktivitas tanaman tersebut terus dilakukan terutama
dalam bidang teknologi budidaya dan pasca panen. Agar tanaman H. braziliensis
dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan getah yang banyak maka perlu
diperhatikan syarat-syarat tumbuh dan lingkungan yang diinginkan tanaman ini.
Apabila tanaman H. braziliensis ditanam pada lahan yang tidak sesuai dengan
habitatnya maka pertumbuhan tanaman akan terhambat. Lingkungan yang kurang
baik juga sering mengakibatkan produksi getah menjadi rendah. Sesuai habitat
aslinya di Amerika Selatan, terutama Brazil yang beriklim tropis, maka tanaman
Universitas Sumatera Utara
H. braziliensis juga cocok ditanam di Indonesia, yang sebagian besar ditanam di
Sumatera Utara dan Kalimantan (Damanik et al., 2010).
Tanaman H. braziliensis merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan
berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman
biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Beberapa
kebun H. braziliensis ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring
kearah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal lateks
(Damanik et al., 2010).
2. Aquilaria malaccensis
Tanaman A. malaccensis memiliki ciri yaitu batang tanaman dapat
mencapai tinggi 35-40 m, diameter sekitar 60 cm, dan berkayu keras. Kulit
batangnya licin berwarna putih atau keputih-putihan. Daun lonjong memanjang
dengan panjang 5-8 cm, lebar 3-4 cm, berujung runcing dan berwarna mengkilat.
Bunga berada di ujung ranting, atau ketiak atas dan bawah daun. Buah berada
dalam polong berbentuk bulat telur atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm,
dan lebar 3 cm. (Iriansyah et al., 2007). Menurut Iriansyah et al., (2007) Berikut
ini adalah taksonomi A. malaccensis :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Termathophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Myrtales
Famili
: Thymelaeacae
Genus
: Aquilaria
Spesies
: Aquilaria malaccensis
Universitas Sumatera Utara
Gaharu merupakan endapan resin yang terakumulasi pada jaringan kayu
sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau infeksi patogen. Gaharu terbentuk
sebagai reaksi pertahanan terhadap infeksi patogen melalui pelukaan pada batang,
cabang, atau ranting, atau pengaruh fisik lain. Infeksi patogen menyebabkan
keluarnya resin yang terdeposit pada jaringan kayu, lama-kelamaan jaringan kayu
mengeras dan menjadi cokelat (Santoso et al., 2007).
Tiga hipotesis utama yang melandasi pembentukan gubal gaharu yaitu
hipotesis patologi, hipotesis pelukaan dan patologi, dan hipotesis non patologi.
Pada hipotesis pertama, gaharu diduga terbentuk sebagai respon pohon penghasil
gaharu terhadap infeksi cendawan yang menghasilkan keluarnya “resin”. Pada
hipotesis kedua, beberapa peneliti menduga bahwa pelukaan memegang peran
utama dalam pembentukan gaharu diikuti oleh infeksi cendawan sebagai faktor
pendukung. Sedangkan pada hipotesis ketiga (hipotesis non patologi) diyakini
bahwa pembentukan gaharu adalah sebagai respon pertahanan pohon terhadap
pelukaan saja (Isnaini, 2008).
Selama proses pembentukan gaharu akan terjadi perubahan beberapa sifat
secara bertahap yaitu: a). warna dari putih menjadi coklat, kehitaman dan akhirnya
hitam kehijauan; b). Serat kayu diganti resin sehingga pada akhir proses serat
kayu tidak nampak lagi; c). Berat jenis makin berat hingga bisa tenggelam dalam
air. Juga menyatakan daya tumbuh pohon akan berkurang disebabkan bagian kayu
menjadi diisi resin sehingga pohon menjadi mati. Terbentuknya gaharu selain
pada batang juga dapat terjadi pada dahan dan akar (Suwardi et al., 2005).
Kebanyakan fungi adalah parasit bagi tanaman. Sebagian besar fungi yang
menjadi patogen adalah Phytopthora dan Fusarium yang dapat menginfeksi jenis
Universitas Sumatera Utara
Aquilaria sp. Fungi biasanya mendapatkan makanan dengan mengeluarkan enzim
ekstra seluler untuk mencerna bahan organik. Sebagai parasit, mereka
mendapatkan makanan dengan cara mengambil nutrisi pada sel hidup dari
tanaman (Madigan et al., 2009).
3. Mahoni (Swietenia mahagoni)
Mahoni dalam klasifikasinya termasuk famili Meliaceae. Ada dua spesies
yang
cukup
dikenal
yaitu
Swietenia
macrophyla
dan
S.
mahagoni
(Khaeruddin, 1999). Menurut Khaeruddin (1999), tanaman mahoni tersusun
dalam taksonomi sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledone
Ordo
: Rotales
Famili
: Meliaceae
Genus
: Swietenia
Spesies
: Swietenia mahagoni
Mahoni yang berasal dari Benua Amerika yang beriklim tropis sudah lama
dibudidayakan di Indonesia dan sudah beradaptasi dengan iklim tropis di
Indonesia. Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahagony. Tanaman
mahoni banyak ditanam di pinggir jalan atau di lingkungan rumah dan halaman
perkantoran sebagai tanaman peneduh. Tanaman ini tumbuh secara liar di hutanhutan atau di antara semak-semak belukar (Khaeruddin, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Buah tanaman mahoni terlihat muncul diujung-ujung ranting berwarna
coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi sekitar 10-30 m, percabangannya
banyak, daun majemuk menyirip genap, duduk daun tersebar. Helaian anak daun
bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan pangkal daun runcing panjangnya
sekitar 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur memanjang berwarna coklat
panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni dapat tumbuh dengan baik di
tempat yang terbuka dan terkena cahaya matahari secara langsung, baik di dataran
rendah maupun dataran tinggi, yaitu dengan ketinggian 1000 m diatas permukaan
laut (Khaeruddin, 1999).
4. Sentang (Melia exelca)
Tanaman sentang merupakan tanaman dari suku Meliaceae yang dikenali
sebagai M. excelsa. Sentang adalah jenis tanaman yang tumbuh di hutan tropika
selatan Thailand, Malaysia, Burma, India, Pakistan, Borneo, Filipina dan
Indonesia (Joker, 2000). Joker (2000) mengemukakan taksonomi dari tanaman
sentang sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotiledone
Ordo
: Rutales
Family
: Meliaceae
Genus
: Melia
Spesies
: Melia excelsa
Tanaman sentang merupakan jenis di hutan lembab dataran rendah di Asia
Tenggara-Pasifik. Sentang tumbuh di hutan sekunder tua atau hutan yang telah
Universitas Sumatera Utara
ditebang lama, juga ditemukan di hutan dipterokarpa primer. Sentang merupakan
jenis asli Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Filipina
kepulauan Aru dan Papua. Sentang dapat dijumpai di Jawa Barat, yaitu di Kebun
Percobaan Dramaga, Carita, Pasirhantap, dan Pasirawi. Sentang ditemukan
sampai ketinggian 200-300 m dpl. Tumbuh paling baik di daerah bercurah hujan
5 tahunan lebih 2.000 mm, suhu rata-rata tahunan 22-27°C, dan musim kering
tidak lebih 2-3 bulan. Selain itu, sentang membutuhkan tanah subur, menyukai
tanah geluh berpasir, drainase dan aerasi baik serta merupakan spesies dataran
rendah dengan pH tanah 5,0-6,5 (Joker, 2000).
Sentang merupakan pohon merangas dan tidak berbanir. Tinggi pohon
mencapai 50 m dengan diameter sampai 125 cm (Joker, 2000). Kulitnya sedikit
beralur dangkal dan mengelupas kecil-kecil tipis. Kulitnya berbau bawang
(Prawira dan Oetja, 1978).
Kayu sentang mempunyai berat jenis 0,60 dan tergolong dalam kelas awet
III-IV. Kayu sentang banyak dipergunakan untuk bangunan rumah dan perahu.
Kayu sentang tergolong kuat, awet dan mudah dikerjakan (Prawira et al., 1978).
Kayu sentang sangat berguna untuk konstruksi ringan, mebel, panel dan vinir.
Tunas muda dan bunganya dikonsumsi sebagai sayuran. Biasanya ditanam di
sepanjang jalan, batas peternakan atau batas kebun karet. Bijinya mengandung
azadirachtin yang digunakan sebagai insektisida. Pada agroforestry, pertanaman
sentang muda ditanam tumpangsari dengan padi, kacang tanah, buncis, kedelai
dan sayuran (Joker, 2000).
Universitas Sumatera Utara
5. Gmelina arborea
Berdasarkan klasifikasi tumbuhan, G. arborea termasuk dalam famili
Verbenaceae. Nama perdagangan yang umum dikenal adalah Gmelina
(Martawijaya, 1995). Menurut Martawijaya (1995) klasifikasi taksonomi
G. arborea adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Lamiales
Famili
: Verbenaceae
Genus
: Gmelina
Spesies
: Gmelina arborea
Tanaman G. arborea merupakan pohon dengan ukuran sedang, tinggi
dapat mencapai lebih dari 30-40 m, batang silindris, diameter rata-rata 50 cm
kadang-kadang mencapai 140 cm. Kayu G. arborea termasuk dalam kategori
kelas kuat III-IV (Martawijaya, 1995).
Tanaman G. arborea memiliki kulit halus atau bersisik, warna coklat
muda sampai abu-abu. Ranting halus licin atau berbulu halus. Bunga kuning
terang, mengelompok dalam tandan besar (30-350 bunga per tandan). Daun
bersilang, bergerigi, atau bercuping, berbentuk jantung, ukuran 10-25 cm x 5-18
cm. Bunga sempurna, panjang mencapai lebih dari 25 mm, berbentuk tabung
dengan 5 helai mahkota. Bunga mekar malam hari, penyerbukan umumnya
dilakukan dengan bantuan lebah. Buah G. arborea berupa buah berdaging dengan
Universitas Sumatera Utara
panjang 20-35 mm, kulit mengkilat, bijinya keras seperti batu, panjang 16-25
mm, permukaan licin, satu ujung bulat, ujung yang lain runcing. Buah terdiri dati
4 ruang, jarang dijumpai 5 ruang, sedikitnya satu ruang berisi benih, jarang dalam
satu buah terdiri dari biji batu. Ukuran benih meningkat menurut ukuran biji, yaitu
panjang 6-9 mm. Berat 1.000 butir biji batu sekitar 400 gr (Martawijaya, 1995).
Tanaman G. arborea tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dengan
dataran tinggi (0-1.000m dpl) dengan curah hujan 1.000 mm per tahun dengan
jumlah bulan kering maksimum 6-7 bulan per tahun. Tanaman G. arborea tidak
cocok pada tanah pasir, gambut dengan pengaruh pasang surut, begitu pula pada
tanah yang kedap dari lapisan olah yang sangat tipis. Untuk tanah yang kurang
subur, masih dapat tumbuh tetapi produksinya rendah. G. arborea relatif tahan
dengan kondisi lahan yang kering. Tanaman G. arborea dapat diproduksi dengan
biji, stump, dan stek. Bahan untuk keperluan biji ini dikumpulkan dari tegakan
yang baik agar diperoleh tegakan yang baik (Alrasyid dan Widiarti, 1992).
Kayu G. arborea ringan dan memiliki berat jenis 0,42-0,64. Pada mulanya
pohon ini dikenal sebagai penghasil kayu energi, karena kayunya menghasilkan
arang berkualitas terbaik, kurang berasap, dan cepat terbakar. Pohon ini juga dapat
digunakan untuk keperluan pembuatan papan partikel, kayu lapis, korek api, peti
kemas, dan bahan kerajinan kayu (Alrasyid, 1991). Kayu G. arborea bisa juga
untuk bahan venir dan kayu lapis, papan partikel dan moulding. Kayu G. arborea
menghasilkan pulp yang berkualitas baik. Pulp semi campuran sesuai digunakan
sebagai papan karton atau kertas tulis kualitas rendah, namun pulp sesuai
digunakan sebagai kertas tulis yang berkualitas tinggi (Martawijaya, 1995).
Universitas Sumatera Utara
6. Melinjo (Gnetum gnemon)
Di Indonesia, melinjo merupakan tanaman yang tumbuh tersebar dimanamana, banyak ditemukan di tanah-tanah pekarangan rumah penduduk pedesaan
dan halaman-halaman penduduk di kota. Tanaman melinjo termasuk tumbuhan
berbiji terbuka (Gymnospermae), tidak terbungkus daging tetapi terbungkus kulit
luar. Bila tidak dipangkas, tanaman melinjo bisa mencapai ketinggian 25 m dari
permukaan tanah. Tanaman melinjo dapat tumbuh pada tanah-tanah liat atau
lempung, berpasir dan berkapur, tetapi tidak tahan terhadap tanah yang tergenang
air atau yang berkadar asam tinggi dan dapat tumbuh dari ketinggian
0-1.200 mdpl. Lahan yang akan ditanami melinjo harus terbuka atau terkena sinar
matahari (Haryoto, 1998). Menurut Haryoto (1998) taksonomi tanaman melinjo
adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotiledoneae
Ordo
: Gnetales
Famili
: Gnetaceae
Genus
: Gnetum
Spesies
: Gnetum gnemon
Melinjo sebagai tanaman serba guna dan hampir seluruh bagian tanaman
ini dapat dimanfaatkan. Bijinya dapat diolah menjadi emping dan sangat digemari
oleh masyarakat luas. Tanaman ini sangat ekonomis, karena apabila sudah dewasa
setiap pohon dapat menghasilkan 20-25 Kg buah melinjo. Mengingat prospeknya
yang cukup cerah, maka usaha pengembangan tanaman melinjo banyak dilakukan
Universitas Sumatera Utara
baik secara vegetatif maupun generatif. Pengembangan tanaman secara vegetatif
antara lain dapat dilakukan dengan cara cangkok, stek, dan sambung pucuk.
Sedangkan untuk pengembangan secara generatif dapat dilakukan melalui biji
yang dihasilkan (Soekarman, 2002).
Buah melinjo berbentuk oval, pada saat masih muda kulit buah berwarna
hijau, dan seiring dengan pertambahan usia kulit buah melinjo berubah menjadi
kuning, oranye, dan merah setelah tua. Kulit biji buah melinjo yang sudah tua
berwarna cokelat kehitam-hitaman, sedangkan bijinya berwarna kuning gading.
Panjang biji melinjo berkisar antara 1 cm - 2,5 cm tergantung dari varietas melinjo
(Haryoto, 1998).
Analisis Finansial
Analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut
pandang petani sebagai pemilik. Analisis finansial diperhatikan di dalam adalah
dari segi cash-flow yaitu perbandingan antara hasil penerimaan atau penjualan
kotor dengan jumlah biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai
sekarang untuk mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan suatu proyek.
Beberapa hal lain yang harus diperhatikan dalam analisis finansial adalah waktu
didapatkannya returns sebelum pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pembangunan proyek kehabisan modal. Analisis finansial pada dasarnya
dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang
dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan
pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Melalui cara
berpikir seperti itu maka harus ada ukuran-ukuran terhadap kinerjanya
(Lahjie, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Analisis finansial bertujuan untuk menghitung kebutuhan dana baik
kebutuhan dana aktiva tetap, maupun dana untuk modal kerja. Studi aspek
finansial bertujuan untuk mengetahui perkiraan pendanaan dan aliran kas usaha
sehingga dapat diketahui layak atau tidaknya usaha yang dimaksud (Lahjie, 2004).
Pada umumnya ada beberapa metode yang biasa dipertimbangkan untuk
dipakai dalam penelitian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode Net Present
Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR).
1. Nilai bersih sekarang (net present value)
Net Present Value (NPV) yaitu nilai saat ini yang mencerminkan nilai
keuntungan yang diperoleh selama jangka waktu pengusahaan dengan
memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money. Disebabkan
jangka waktu kegiatan suatu usaha hutan rakyat cukup panjang, maka tidak
seluruh biaya bisa dikeluarkan pada saat yang sama, demikian pula hasil yang
diperoleh dari suatu usaha hutan rakyat dapat berbeda waktunya. Untuk
mengetahui nilai uang di masa yang akan datang dihitung pada saat ini, maka baik
biaya maupun pendapatan usaha hutan rakyat di masa yang akan datang harus
dikalikan dengan faktor diskonto yang besarnya tergantung kepada tingkat suku
bunga bank yang berlaku di pasaran. Kriteria apabila NPV > 0 berarti usaha
tersebut menguntungkan, sebaliknya jika NPV < 0 berarti usaha tersebut tidak
layak diusahakan (Suharjito et al., 2003).
2. Rasio manfaat/biaya (benefit cost ratio)
Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan perbandingan antara present value
dari manfaat bersih yang positif dengan present value dari biaya pada tahun yang
sama. Proyek akan dipilih jika nilai BCR > 1. Jika nilai BCR < 1 maka proyek
Universitas Sumatera Utara
tidak layak untuk diusahakan. Jika nilai BCR = 1, berarti usaha tersebut belum
mendapatkan
keuntungan
sehingga
perlu
dilakukan
pembenahan
(Suharjito et al., 2003).
3. Tingkat pengembalian internal (internal rate of return)
Internal Rate of Returns (IRR) menunjukkan tingkat suku bunga
maksimum yang dapat dibayar oleh suatu proyek/usaha atau dengan kata lain
merupakan kemampuan memperoleh pendapatan dari uang yang diinvestasikan.
Dalam perhitungan, IRR adalah tingkat suku bunga apabila BCR yang terdiskonto
sama dengan nol. Usaha hutan rakyat akan dikatakan layak apabila nilai IRR lebih
besar dari tingkat suku bunga yang berlaku di pasar pada saat tersebut.
(Suharjito et al., 2003).
Analisis Komparatif
Analisis komparatif adalah teknik analisis yang dilakukan dengan cara
membuat perbandingan antar usaha yang sama untuk beberapa periode yang
berurutan. Tujuan analisis komparatif adalah untuk memperoleh gambaran tentang
arah dan kecenderungan (tendensi) tentang perubahan yang mungkin akan terjadi
pada setiap usaha di masa yang akan datang. Informasi hasil analisis komparatif
bermanfaat untuk memperediksi tentang kemungkinan yang akan terjadi di masa
yang akan datang. Analisis komparatif ditujukan untuk menentukan pilihan
berdasarkan
nilai
finansial
terbesar
melalui
besaran
NPV
dan
BCR
(Nugroho, 1997).
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas (sensitivity analysis) adalah suatu teknik untuk
menguji sejauh mana hasil analisis yang telah dilakukan peka terhadap perubahan
Universitas Sumatera Utara
faktor-faktor yang berpengaruh. Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat
pengaruh yang akan dialami usaha hutan rakyat apabila terjadi perubahan biaya
dan manfaat baik internal maupun eksternal dari pelaksanaan usaha hutan rakyat
tersebut. Hal ini penting dilakukan mengingat bahwa perencanaan usaha banyak
menggunakan proyeksi-proyeksi yang pada umumnya menghadapi masalah
ketidakpastian terutama usaha jangka panjang. Oleh sebab itu analisis sensitivitas
digunakan untuk menghindari kegagalan dari usaha hutan rakyat sebagai bahan
evaluasi. Pada umumnya usaha hutan rakyat sensitif pada perubahan beberapa
variabel berikut antara lain adalah kenaikan biaya produksi dan harga produk
(Nugroho, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Download