Menyusun Serpihan Ḥikmah: Bayt al-Ḥikmah, Penerjemahan, Universalitas*1 Oleh Ismail Fajrie Alatas**2 I Shekhinah adalah hikmah dan barakah dari Ilahi yang menghampar di muka bumi. Setelah anak cucu Yaʿqūb menyebar ke penjuru kaki langit, shekhinah turut terbawa bersama mereka. Setelah sebelumnya menyatu, shekhinah terpecah dan terserak di antara debu gurun pasir dan deru ombak lautan menjaga para penerus nubuat dalam perjalanan mereka. Namun dalam keadaan terasing, shekhinah tetap mendamba saat kembali. Waktu di mana seserakan terbangun lagi dan membentuk keutuhan. Seperti halnya shekhinah yang berserakan, jiwa anak cucu Yaʿqūb mengalami keterasingan dari kebersatuan. Shekhinah terus menunggu saat penebusan dan penyelamatan. Ternyata Tuhan masih tersenyum pada mereka. Di tengah keterasingannya, Tuhan membuka kemungkinan penebusan. Tikkun akan datang. Sebuah masa penyelamatan dan pembangunan kembali yang berserakan. Saat pemungutan kembali serpihan-serpihan shekhinah yang hilang di baik perbukitan, di kedalaman semudera, dan di tengah badai gurun pasir. Tikkun akan tiba. Bukan karena kemunculan sang juru selamat, namun justru karena aktifitas anak cucu Yaʿqūb yang menyusun kembali serpihan demi serpihan hingga membentuk kebersatuan. Sang juru selamat hanyalah bubuhan tanda *1 Makalah ditulis untuk diskusi terbatas Ciputat School, Selasa, 27 Agustus 2013. Draft – dilarang mengutip tanpa izin penulis. **2Kandidat doktor dalam bidang antropologi dan sejarah di University of Michigan, Ann Arbor | [email protected] | twitter: @ifalatas tangan, tulis Rabbi Isaac Luria, pada dokumen yang kita tulis dan formulasi (Scholem [1965] 1996: 117). Ia hanya menunggu saat yang tepat tuk perlihatkan wujudnya. Tikkun adalah saat sang juru selamat membuka tabirnya. Tetapi shekhinah juga berarti persemayaman. Tempat tinggal dan bersemayan di mana cahaya dan kehadiran Tuhan dapat dirasa. Suatu hari Musa tak dapat memasuki kemah tempat diadakannya sebuah pertemuan, “karena awan bersemayam (sakhan) di atasnya” (Exodus 40: 35). Karena itu pula selama pengasingan, anak cucu Yaʿqūb membangun mishkan, bangunan tak permanen untuk bersemayamnya shekhinah di saat pengembaraan tak kunjung henti. Mereka mendamba saat tuk kembali, ketika mishkan tak dibutuhkan lagi. Pembanguan kembali kuil Sulaymān kan menjadi situs permanen shekhinah yang tak lagi berserakan. II Seusai memugar bangunan tua itu, sang Nabi tersenyum pada anaknya yang telah lama terasing darinya. Bangunan yang pondasinya dicanangkan oleh leluhurnya, telah tegak kembali. Memandang hasil jerih payahnya, sang Nabi berdoa: Wahai Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan ḥikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. 2:129). Sang Nabi memohon pada Tuhannya keberadaan seorang rasul yang dapat menyampaikan ilmu dan ḥikmah Ilahi. Bukankah ḥikmah adalah pemberian yang dianugerahkan dari sisi-Nya bagi mereka yang layak menerima? III Ḥikmah adalah pemberian Tuhan pada siapa-pun yang dikehendakiNya. Ia membuahkan ilmu yang mengajarkan posisi yang benar bagi segala sesuatu di alam semesta. Seorang yang ilmunya terdorong oleh ḥikmah akan dapat memposisikan segala sesuatu pada tempatnya yang benar (al-Attas 2001: 68). Tanpa ḥikmah, seseorang kan tenggelam dalam lautan ilmunya karena tak memahami cara menempatkan data Ciputat School | 2 dan informasi yang telah dikumpulkan. Kata ḥikmah muncul dari kata ḥakamah yang berarti tali ikatan yang digunakan untuk mengatur binatang tunggangan (Lane 1863: Book I, 617). Tali kendali yang menjinakkan kuda sehingga dapat berlari menuju tempat yang dituju si penunggang. Ḥikmah adalah ilmu yang memberikan tali pada seseorang tuk mengendalikan ilmunya sehingga membuahkan kebaikan dan manfaat. Mungkin ḥikmah adalah aturan dan disiplin yang membentuk sistematika ilmu sehingga relasi antar sebuah ilmu dengan lainnya menjadi jelas. Dengan demikian, ḥikmah dapat dipahami melalui dua perspektif. Secara obyektif, ia adalah jenis ilmu tentang hakikat alam semesta yang pada akhirnya adalah sebuah pemberian Ilahi. Secara subyektif, ḥikmah adalah kekuatan intelektual manusia tuk menghubungkan dan membentuk struktur pengetahuan dalam diri sehingga tercipta keteraturan (al-Jurjānī 1991: 103). Seorang yang memiliki ḥikmah akan mampu mengendalikan ilmu yang telah didapati sehingga memungkinkan upaya memahami hakikat semesta di luar sana. Maka beruntunglah seseorang yang memiliki ḥikmah karena “ia telah dianugerahi karunia yang banyak” (Q.S. 269). IV Seorang bijak yang dipercaya hidup di zaman bertahtanya Dawūd dianugerahi ḥikmah. Tubuhnya telah menjadi ruang penyimpanan rahasia Ilahi. Tuhan memperkenalkan sang bijak: Dan sesungguhnya telah Kami berikan ḥikmah kepada Luqmān... (Q.S. 31:12) Beberapa ajaran dan kata mutiara Luqmān masih tersimpan dalam alQurʿān. Melalui dialog Luqmān dengan puteranya, tersirat kedalaman ḥikmah dan pemahaman tentang hakikat kehidupan. Para sejarawan Arab abad pertengahan percaya bahwa Luqmān memiliki banyak murid dari pelbagai kalangan. Muḥammad b. ʿAlī alZawzanī misalnya, dalam Taʾrikh al-ḥukamāʾ menulis bahwasannya Empedocles—salah seorang filsuf Yunani pre-Socrates—adalah murid Luqmān. Oleh karena itu mereka percaya bahwasannya ḥikmah dan filsafat Yunani bersumber dari Ilahi melalui figur Luqmān (Ibn Khaldūn 1958: vol. 3, 114-5). Dari Luqmān dan Empedocles, ḥikmah terus di turunkan hingga Socrates, Plato, dan Aristoteles. Pada saat peradaban Yunani hancur, ilmu ḥikmah diteruskan oleh para filsuf Romawi. Hanya Ciputat School | 3 setelah imperium Romawi mengadopsi agama Kristiani, perkembangan ilmu tersebut terhenti. Namun demikian, wilayah jajahan Romawi di tepi pantai timur Mediterania masih menyimpan banyak perbendaharaan ḥikmah kaum terdahulu. Karya-karya tersebut disimpan oleh para rahib dan ahli ḥikmah dan diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani, Koptik, Syriac, dan Aramaic. Khazanah yang terserak di pelbagai bahasa dan konteks kultur itulah, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. V Seperti halnya banyak tokoh dari dunia kuno, identitas Luqmān menjadi perdebatan di kalangan para ahli sejarah dan tafsir. AlThaʿlabī dan al-Bayḍawī misalnya, berpendapat bahwa Luqmān adalah padanan dari tokoh Balʿam dalam injil. Menurut kedua ʿulamāʾ ini, nasab Luqmān adalah: Luqmān b. Bāʿūr b. Nāḥūr b. Tārikh. Mungkin padanan ini berdasar pada akar kata b-l-ʿ yang membentuk kata Balʿam berarti “menelan”, persis seperti makna akar kata l-q-m yang membentuk Luqmān. Pandangan ini juga diperkuat oleh Midrash Yahudi yang menyatakan bahwa Balʿam adalah salah seorang Nabi non-Yahudi yang mengabarkan wahyu ke seantero alam. Dari sejumlah pemahaman dalam tradisi Islam yang menyepadankan Luqmān dengan Balʿam inilah, para sarjana Yahudi yang datang kemudian mengadopsi identitas Balʿam sebagai Luqmān. Dalam Disciplina Clericalis, Petrus Alphonsi (m. 1110) menulis, Balaam qui lingua arabica vocatur Lucaman (Alfonsi 1919: 3). Seorang sejarawan abad ke-19 dan 20, James Rendel Harris (m. 1941) misalnya, berpendapat bahwa Luqmān tidak lain adalah Ahiqar (dalam bahasa Arab Ḥakyār), seorang bijak cendekia Assyria yang kumpulan hikmahnya ditemukan dalam sebuah papirus di reruntuhan Elephantine, sebuah pulau di sungai nil. Papirus dalam bahasa Aramaic tersebut ditulis sekitar lima ratus tahun sebelum masehi. Ḥikmah Ahiqar dikenal di seantero Timur Tengah di kala itu. Harris menunjukkan kemiripan antara beberapa ḥikmah Ahiqar dan ḥikmah Luqmān. Mirip dengan Luqmān, hampir setiap awal kalimat ḥikmah Ahiqar bermula dengan kalimat “duhai anakku.” Contoh lain yang ditunjukan Harris: Luqmān : Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Q.S. 31: 19) Ciputat School | 4 Ahiqar : Tundukkan kepalamu, lunakkan suaramu, dan beradablah dengan baik...karena jika rumah dapat dibangun dengan suara tinggi, keledai akan membangun banyak rumah setiap hari. (Harris 1898: lxxvi) Namun proses ini tidak hanya berjalan satu arah. Para sarjana Muslim yang di kemudian hari menulis kisah Luqmān juga membentuk citra Luqmān yang sepadan dengan Ahiqar. Karena keduanya dikenal di Timur Tengah sebagai ahli ḥikmah, maka keduanya disajikan sebagai dua pribadi dengan pemikiran yang mirip dan sepadan. Sebagai contoh, al-Thaʿlabī dalam Qiṣāṣ al-anbiyāʾ menambah rentetan ajaran ḥikmah Luqmān yang tak terdapat dalam al-Qurʿān, tapi justru mirip dengan ajaran Ahiqar (al-Thaʾlabī 1869: 275-7). Sebagai contoh: Luqmān : Seorang ayah yang memukul anaknya adalah seperti air untuk tanaman. Ahiqar : Jangan berpaling dari memukul anak, karena sambuk untuk anak seperti pupuk untuk tanaman. Luqmān : Saat engkau melihat orang-orang yang mengingat Tuhan, bergabunglah. Jika engkau memiliki ilmu, bergabung dengan mereka akan menambah ilmumu. Jika kau tak memilikinya, mereka akan mengajarkanmu. Namun jika engkau melihat orang-orang yang tak mengingat Tuhan, hindarilah. Jika engkau memiliki ilmu, tidak akan bermanfaat untuk mereka. Jika engkau tak memiliki ilmu, mereka akan menambah kebodohanmu. Ahiqar : Berkumpullah dengan orang bijak, maka engkau kan menjadi bijak sepertinya. Janganlah berkumpul dengan orang yang berisik dan suka beromong kosong, karena engkau akan menjadi sepertinya. Dinamika serupa terus terjadi dalam kesusasteraan Islam. VI Di abad pertengahan, Luqmān dibentuk sebagai seorang yang mengajarkan pelbagai kisah bermuatan ḥikmah. Setelah terjadi proyek penerjemahan besar-besaran dari khazanah Yunani ke bahasa Arab, cukup banyak cerita dan hikayat yang turut masuk ke dalam dunia Ciputat School | 5 Islam, misalnya hikayat dan fabel karya sang pencerita Yunani kuno Aesop (m. 564 sebelum masehi). Yang unik, hikayat-hikayat Aesop tersebut setelah diterjemahkan tak lagi menjadi milik Aesop, tetapi justru menjadi milik Luqmān. Sebagai contoh, al-Thaʾlabī bercerita bahwa dahulu Luqmān diperintahkan oleh majikannya untuk memotong seekor kambing dan memberikan padanya bagian daging yang paling baik. Luqmān memberi sang majikan lidah dan hati. Sang majikan kembali memerintahkan Luqmān tuk memotong seekor kambing dan memberinya bagian yang paling buruk. Luqmān kembali memberi sang majikan lidah dan hati. Menurut Luqmān tak ada bagian yang paling baik dari lidah dan hati baik, dan tak ada yang paling buruk dari lidah dan hati yang buruk. Cerita ini ternyata juga ada dalam Vita Aesopi yang dikumpulkan oleh Maximus Planudes (m. 1330), hanya saja dalam versi Aesop, hanya lidah yang dihaturkan (Eberhardt [1872] 2009: 259). Satu contoh lagi adalah kisah dimana suatu ketika, majikan Luqmān sedang mabuk dan dalam keadaan demikian ia bertaruh bahwa ia mampu meminum seluruh air laut. Saat sang majikan sadar kembali, ia menyesali taruhannya dan meminta nasehat pada Luqmān. Luqmān memberikan solusi: Orang-orang yang ikut bertaruh harus terlebih dahulu membendung seluruh air sungai di dunia, karena sang majikan hanya bertaruh untuk meminum air laut, dan bukan aliranaliran sungainya. Cerita ini juga muncul dalam biografi Aesop yang ditulis oleh Planudes. Cerita yang sama juga muncul dalam Dinner of the Seven Wise Men karya Plutarch (m. 120)3 dan di tradisi Yahudi dalam Midrash Leviticus Rabbah yang ditulis sekitar abad ke-7. Dalam Cerita ini Plutarch menulis bahwa Bias, sang cerdik pandai mendapatkan surat dari Raja Mesir: "Amasis, king of the Egyptians, to Bias, wisest of the Greeks. The king of the Ethiopians is engaged in a contest in wisdom against me. Repeatedly vanquished in all else, he has crowned his efforts by framing an extraordinary and awful demand, bidding me to drink up the ocean. My reward, if I find a solution, is to have many villages and cities of his, and if I do not, I am to withdraw from the towns lying about Elephantine. I beg therefore that you will consider the question, and send back Neiloxenus without delay. And whatever is right for your friends or citizens to receive from us shall meet with no let or hindrance on my part." After this had been read Bias did not wait long, but, after a few minutes of abstraction and a few words with Cleobulus, whose place was near his, he said, "What is this, my friend from Naucratis? Do you mean to say that Amasis, who is king of so many people and possessed of such an excellent great country, will be willing, for the consideration of some insignificant and miserable villages, to drink up the ocean?" Neiloxenus answered with a laugh, "Assume that he is willing, and consider what is possible for him to do." "Well, then," said Bias, "let him tell the Ethiopian to stop the rivers which are now emptying into the ocean depths, while he himself is engaged in drinking up the ocean that now is; for this is the ocean with which the demand is concerned, and not the one which is to be. (Plutarch 1922: vol. II, 377-8) 3 Ciputat School | 6 VII Dalam pandangan moderen ketiga dinamika ini (Luqmān-Balʿam, Luqmān-Ahiqar, dan Luqmān-Aesop) mungkin sulit untuk dipahami. Hal ini dapat dilihat dari pendekatan para sejarawan dan filolog moderen yang mencoba untuk memahami turunan dan genealogi sebuah kisah, anekdot, dan identitas figur. Tak sedikit dari sejarawan yang kemudian berpendapat bahwa kisah Luqmān dalam al-Qurʿān hanya mungkin karena kisah dan ḥikmah tersebut telah tersebar di Timur Tengah. Pendapat demikian kemudian membukan jalan untuk mereduksi al-Qurʿān sebagai sebuah produk sejarah dan bukan wahyu trans-historis seperti dipercayai kaum Muslimin. Tetapi, jika kita mencoba keluar dari paradigma moderen, justru dinamika tersebut akan dapat lebih dipahami. Sepertinya yang terjadi adalah proses penerjemahan yang juga merupakan tranformasi. Hikayat ḥikmah Aesop, misalnya, dinilai oleh para sarjana Muslim seperti al-Thaʾlabī sebagai instansiasi dari ḥikmah itu sendiri yang kebetulan masih tersimpan dalam kultur Yunani kuno. Namun ḥikmah bukan hanya miliki orang Yunani. Ḥikmah adalah kepunyaan manusia pada umumnya karena ia bersumber dari Tuhan. Maka sebagai seorang yang diperkenalkan al-Qurʿān sebagai ahli ḥikmah, Luqmān juga diasumsikan memilikinya. Dari sini kita dapat memahami bahwasannya ḥikmah menjadi ruang epistemik dimana apa-apa yang ada di Yunani bersinggungan dengan apa-apa yang ada dalam tradisi Islam. Ruang epistemik tersebut menjadi ranah penyatuan kembali ḥikmah yang telah tercecer dan kembali membentuk sebuah kesatuan. Hikayat Aesop memperkaya representasi Luqmān di kemudian hari seperti halnya kata-kata mutiara Luqmān memperkaya representasi Aesop pada abad-abad kemudian. Faktualitas tidak penting disini karena baik al-Thaʿlabī, Planudes, dan para rahib yang menulis Midrash tidak sedang menulis sejarah. Yang mereka lakukan adalah memungut serpihan ḥikmah yang tercecer di pelbagai belahan bumi, tersangkut di antara pilar-pilar peradaban dan kebudayaan yang berbeda. Dalam keberbedaan, ḥikmah memainkan peran epistemik penting membuka jalur penerjemahan. Dalam prosesnya, ḥikmah yang didapati di dalam kebudayaan yang liyan tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang asing. Ia adalah milik bersama dan milik kebudayaan tersebut. Hikayat Aesop adalah miliki Luqmān dan hikayat Luqmān adalah milik Aesop. Ini adalah persinggungan dan penerjemahan yang saling membangun Ciputat School | 7 dan memperkaya tanpa mereduksi masing-masing partikularitas ḥikmah. Misalnya, Ahiqar hanya menasehati kita tuk duduk dengan orang bijak, sedang saat hikayat tersebut diterjemahkan dan diadopsi ke dalam lisan Luqmān, nasehatnya juga ikut berubah: duduklah dengan orang-orang yang mengingat Tuhan atau ahl al-dhikr. Bukankah duduk dengan ahl al-dhikr adalah perintah Tuhan dalam alQurʿān? VIII Dahulu Nabi bersabda, “ḥikmah adalah barang yang hilang milik orang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah”. Ḥikmah hilang dan berserakan di sudut-sudut peradaban manusia. Ia tersimpan dalam kalimat dan tuturan para cerdik pandai yang terkadang tercecer dan hilang, dikhianati ingatan manusia. Luqmān, Ahiqar, Aesop, dan Balʿam adalah sosok-sosok penggenggam ḥikmah. Mereka adalah manifestasi ḥikmah pada kultur dan peradaban yang berbeda. Maka dalam proses penemuan dan penyatuan kembali ḥikmah, transformasi juga terjadi. Partikularitas Yunani Aesop ditinggalkan saat ia diterjemahkan menjadi Luqmān. Sebagai Luqmān, Aesop menemukan partikularitas lain yang sesuai dengan konteks epistemik Islam. Begitu juga saat hikayat Luqmān dan Aesop menjadi bagian dari Midrash, partikularitas Islam dan Yunani digantikan partikularitas Yahudi. Kendati terjadi penanggalan dan pergantian partikularitas, namun yang universal tetap terjaga. Universalitas itulah ḥikmah. Dengan demikian, dalam pemungutan kembali serakan ḥikmah yang terjadi bukanlah apropriasi. Apropriasi hanya terjadi saat sebuah kultur atau sistem ilmu pengetahuan mengadopsi sesuatu yang asing. Tetapi ḥikmah yang tersimpan di Yunani dan di Assyria bukanlah milik mereka. Mereka hanya menyimpan bagian yang dimiliki manusia pada umumnya. Oleh karena itu, setiap peradaban mencoba memungut kembali ḥikmah yang hilang dan membangunnya kembali. Guna membangun kembali khazanah ḥikmah, mereka membutuhkan rumah. Seperti halnya anak cucu Yaʿqūb yang membangun mishkan dalam pengasingan mereka sebelum shekhinah dapat bersemayam kembali di kuil Sulaymān, para sarjana Muslim di masa Imperium ʿAbbasiyyah membangun situs suci sebagai tempat penyimpanan, pengumpulan, penyatuan, dan pembangunan kembali ḥikmah yang berceceran. Ciputat School | 8 IX Penerjemahan sebagai upaya menyusun dan membangun kembali seserakan sepertinya adalah logika yang bekerja di balik proyek pendirian Bayt al-Ḥikmah. Menurut Ibn Khaldūn, para sarjana Muslim tidak pernah memandang ḥikmah sebagai bagian dari sebuah kultur atau peradaban. Ḥikmah adalah fenomena natural bagi seluruh manusia terlepas dari latar belakangnya. Ia bukan milik sebuah agama, tradisi, atau peradaban. Ḥikmah telah ada sejak awal mula kehidupan manusia (Ibn Khaldūn 1958: vol. 3, 111). Tetapi, seperti telah dijelaskan, ḥikmah bukan hanya sebuah ilmu yang bersifat obyektif. Ḥikmah juga sebuah fenomena subyektif berupa kemampuan manusia untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Kata-kata yang menduduki tempat yang tepat akan membentuk untaian keindahan bahasa, sebagai kesusasteraan. Letak pilar dan bangunan yang baik, akan membentuk keindahan seni bangunan. Begitu juga dengan ilmu. Tanpa ḥikmah seseorang akan tenggelam dalam semudera ilmu tanpa mengetahui cara menggunakannya. Dari sini kita dapat memahami bahwa pentingnya peran Bayt al-Ḥikmah tidak hanya dalam menerjemahkan kearifan kuno, tetapi juga para sarjana yang turut serta dalam proyek tersebut turut membangun kembali struktur ilmu pengetahuan. Melalui struktur tersebut, ḥikmah yang tercecer memiliki rumah tempat kembalinya dan membentuk sebuah sistem yang konkrit, saling berkelindan, dan bermanfaat. Melalui bangunan espitemik tersebut, ḥikmah yang tersebar di pelbagai kultur yang berbeda mampu kembali pulang dan menyatu. X Para sarjana Muslim membagi struktur ilmu ḥikmah menjadi empat bagian besar: Ilmu logika, ilmu fisika, ilmu matematika, dan ilmu metafisika. Ilmu logika adalah dasar ḥikmah, karena melaluinya, manusia mampu memilah kebenaran dari kesalahan. Melalui logika manusia mampu memahami yang tak tercerap panca indera, melalui keberadaan yang tercerap panca indera. Ilmu logika membangun daya nalar dan kritik manusia yang diperlukan sebagai pondasi ilmu-ilmu yang lain. Ilmu fisika mencoba memahami realitas substansi yang ada dalam semesta, baik mineral (geologi), tumbuh-tumbuhan (botani), binatang (zoologi), perbintangan dan angkasa ruang (astronomi), Ciputat School | 9 kedokteran dan anatomi. Ilmu Matematika meliputi geometri, aritmatika, dan musik, dan juga astronomi. Metafisika meliputi ilmuilmu yang berkenaan dengan fenomena yang tak terlihat seperti teologi, ilmu dunia malaikat (angelology), ilmu jiwa (psikologi), kosmologi, ontologi, dan epistemologi. Bagi para sarjana Muslim, ragam cabang ilmu tersebut tidak dipahami sebagai disiplin yang terpisah-pisah. Namun, seluruhnya membentuk kesatuan yang disebut ilmu ḥikmah (Ibid: 111-2). Kendati keberadaan ilmu ḥikmah bersifat universal, namun kemampuan seorang sarjana Muslim mengarungi samudera ḥikmah dapat membantunya dalam memperkuat teologi Islam. Ibn Khaldūn misalnya, memuji Saʿd al-Dīn al-Taftazānī yang menurutnya telah berhasil menggunakan keragaman ilmu ḥikmah guna memperkuat akidah Islam dan uṣūl al-fiqḥ (Ibid: 117). Sebaliknya seseorang yang kurang cermat justru dapat mengadopsi teologi asing yang bertentangan dengan aqidah Islam dan membawanya ke ranah teologi Islam. Abū Ḥāmid al-Ghazālī misalnya, mengkritik Ibn Sinnā dan alFarabī karena keduanya dinilai telah mengadopsi paham-paham Yunani kuno yang bertentangan dengan pondasi Islam. Menurut alGhazālī, “keberadaan ilmu matematika dan logika mereka [Yunani kuno], dijadikan bukti bahwa ilmu metafisika mereka juga benar (wa yastadillūn ʿalā ṣidq ʿulūmihim al-ilahiyyah bi-ẓuhūr al-ʿilm alḥisābiyyah wa al-manṭuqiyyah) (al-Ghazālī 2000: 4). Mereka menganggap bahwa karena kesahihan ilmu matematika Yunani kuno tak terbantahkan, maka ilmu metafisika mereka juga demikian. Sepertinya keberatan al-Ghazālī terletak pada proses penerjemahan sebagai importasi bebas, sehingga anasir yang bertentangan dengan pondasi Islam turut masuk. Mungkin bagi al-Ghazālī proses penerjemahan semestinya berkelindan dengan transformasi dan pengendapan. Menjadikan apa yang diterjemahkan menjadi bagian dan kepunyaan kultur dan tradisi penerimanya. Yang demikian baru dapat disebut penyatuan ḥikmah. XI Kendati proyek penerjemahan dan pembentukan kembali ḥikmah mencapai puncaknya pada institusi Bayt al-Ḥikmah, namun proyek tersebut telah berlangsung sebelum dan sesudah keberadaan institusi tersebut. Ketimbang memandang Bayt al-Ḥikmah sebagai sebuah institusi baku, saya justru ingin memandangnya sebagai metafora dari proyek besar pengumpulan dan pembangunan kembali ḥikmah yang Ciputat School | 10 melibatkan pelbagai aktor baik mereka yang terafiliasi dengan institusi tersebut maupun yang tidak. Proyek ini adalah aktivisme yang berlangsung cukup lama meliputi beberapa tradisi keagamaan yang tersebar di Timur Tengah. Bangsa Yahudi misalnya, memainkan peran penting dalam upaya penerjemahan teks-teks Yunani ke dalam bahasa Ibrani dan Syriac. Mereka pula yang kemudian banyak menerjemahkan teks-teks tersebut ke dalam bahasa Arab. Masarjawayh, seorang penerjemah Yahudi pernah diperintahkan oleh Marwān b. Ḥakam, penguasa imperium Umayyah untuk menerjemahkan teks ilmu kedokteran di tahun 681 (Ferre 2012: 553). Di masa awal keberadaan Bayt al-Ḥikmah, seorang ahli astronomi Yahudi, Mashaallah (m. 813) turut serta menerjemahkan banyak teks Persia ke dalam bahasa Arab. Begitu juga Rabban Altabari yang menerjemahkan karya monumental Ptolemy, Almagest kedalam bahasa Arab. Posisi bangsa Yahudi, sebagai komunitas tanpa tanah air memungkinkan mereka untuk hidup di formasi peradaban yang berbeda-beda. Dengan demikian, mereka dapat memainkan peran perantara yang membangun jembatan linguistik dan kultural antar peradaban. Pada gilirannya, bangsa Yahudi yang tetap tinggal di Andalusia setelah terusirnya Islam juga turut aktif dalam menerjemahkan teks-teks Arab ke dalam bahasa Latin. Selain menerjemahkan teks-teks Arab ke bahasa Latin, mereka juga menerjemahkan teks-teks tersebut ke dalam bahasa Ibrani. Ketika dinasti al-Muwaḥḥidūn yang berkuasa di Maroko dan Andalusia melarang dan membakar hampir seluruh buku Ibn Rushd yang ada, bangsa Yahudi-lah yang menyelamatkan teks-teks tersebut dalam terjemahan Ibrani yang mereka simpan. Melalui terjemahan teks Arab dalam bahasa Ibrani, mereka mampu mentransmisikan teks-teks tersebut ke dunia Latin. Dengan demikian, mereka turut membidani zaman keemasan intelektual Arab dan pada gilirannya, Eropa. Selain bangsa Yahudi, para penganut Kristen Timur juga turut berperan aktif. Hunayn b. Isḥāq pernah menjabat sebagai direktur Bayt al-Ḥikmah dan menggariskan metode penerjemahan untuk institusi tersebut. Begitu juga al-Bitriq dan anaknya Yaḥyā, penerjemah andalan Bayt al-Ḥikmah yang keduanya adalah penganut gereja Melkite. Rahib Zoroaster Bahram b. Mardan Shah juga turut serta menerjemahkan karya-karya Pahlavi ke dalam bahasa Arab (Ibn al-Nadīm 1970: 589). Sepertinya keberbedaan tersebut tidak menimbulkan masalah. Bukankah pada akhirnya ḥikmah adalah milik semua anak manusia? Ciputat School | 11 XII Mungkin lebih tepat melihat institusi Bayt al-Ḥikmah sebagai kontinuitas dari proses penerjemahan yang telah lama berkembang di Timur Tengah. Seperti hubungan antara kisah Luqmān, Ahiqar, Balʿam, dan Aesop, proyek penyatuan kembali ḥikmah yang tercecer telah dilakukan oleh aktor-aktor dari kultur dan peradaban yang berbeda. Sebelum keberadaan Bayt al-Ḥikmah, penerjemahan karya-karya lintas budaya, agama dan peradaban telah terjadi dalam pelbagai bahasa: Syriac dan Aramaic di semenanjung Arabia bagian barat, Pahlavi di Persia dan kawasan Imperium Sassania, Koptik di Mesir, Berber di Afrika Utara, Ḥimyar di Yaman, Yunani di kawasan imperium Byzantium, dan Ibrani di kalangan bangsa Yahudi. Yang baru di masa kejayaan imperium Islam adalah justru keberadaan bahasa Arab sebagai lingua franca yang meliputi pelbagai kawasan tersebut. Sebelum Islam, tentu sudah ada beberapa bangsa Arab yang mahir dalam bahasa ibu mereka dan bahasa Aramaic, seperti Banū Ghassān, sebuah suku Arab yang mengadopsi agama Kristiani dan menjadi ponggawa Imperium Byzantium. Oleh karena itu, di awal kekuasaan imperium Umayyah, mereka menjadi penerjemah kerajaan (Osman 2011: 109). Di Ḥijāz-pun sudah ada beberapa individu yang menguasai bahasa lain, seperti Syriac. Ibn Saʿd misalnya menulis bahwa salah satu sahabat Nabi, ʿAbdallāh b. ʿAmr mahir berbahasa Syriac (Ibn Saʿd 1978: vol. 4, 266). Tetapi yang membawa perubahan besar di tingkat linguistik di kawasan Timur Tengah adalah perluasan wilayah imperium Islam, reformasi birokrasi, dan adopsi bahasa Arab sebagai bahasa wajib yang dicanangkan oleh penguasa imperium Umayyah, ʿAbd al-Malik b. Marwān. Meluasnya imperium Islam dari Afghanistan, dan Persia di timur ke Andalusia di barat membawa serta perluasan ranah linguistik bahasa Arab. Bahasa-bahasa yang sebelumnya mendominasi pelbagai wilayah tersebut kemudia menjadi bahasa substratum. Tidak heran jika kemudian muncul terminologi mustaʿribah yang menunjuk kepada orang-orang non-Arab yang telah mengadopsi bahasa dan kultur Arab. Keberadaan bahasa Arab sebagai lingua franca membuka ruang epistemik yang luas, mencakup bahasa-bahasa dan peradaban yang berbeda. Kontribusi Bayt al-Ḥikmah justru terletak pada upaya penerjemahan dan pengumpulan ḥikmah yang terserak di pelbagai kultur tersebut dalam sebuah kesatuan besar. Keberadaan sebuah bahasa yang digunakan oleh pelbagai ragam peradaban Ciputat School | 12 memungkinkan percepatan dan intensifikasi pengumpulan dan pembangunan kembali ḥikmah, serta penjagaannya. Tanpa menghancurkan keberadaan peradaban-peradaban tersebut, bahasa Arab justru menjadi ranah penyimpanan kearifan-kearifan milik peradaban berbeda. Penyatuan ḥikmah yang terjadi dalam proyek Bayt al-Ḥikmah sepertinya tidak kemudian meleburkan dan menghilangkan keragaman yang tersimpan dalam konteks dan peradaban partikulir. Bahkan, Bayt al-Ḥikmah juga mengundang ahli-ahli ḥikmah dari pelbagai peradaban untuk datang dan berdiskusi di Baghdad. Misalnya, pada paruh kedua abad ke-8, sebuah delegasi ahli Astronomi India datang dan tinggal beberapa lama di Baghdad. Leon, guru dari Kaisar Byzantium Theopilos juga pernah diundang oleh al-Maʿmūn. Sekembalinya ke Konstantinopel, Leon menceritakan pengalamannya pada sang Kaisar yang kemudian memutuskan untuk membuka sebuah sekolah filsafat di ibu kota kekaisaran (Abattouy, Renn & Weinig 2001: 2). XIII Penyatuan ḥikmah tidak hanya berkisar pada upaya penyelamatan dan penerjemahan yang telah ada. Bagian integral ḥikmah adalah membangun kembali struktur ilmu pengetahuan sehingga tampak jelas relasi antar ilmu dan manfaatnya. Para sarjana yang terlibat secara langsung di Bayt al-Ḥikmah ataupun yang tidak, turut serta dalam upaya penyusunan ulang ḥikmah. Al-Fārābī misalnya, menulis sebuah buku bertajuk iḥsāʾ al-ʿulūm yang berisi klasifikasi ilmu pengetahuan. Melalui karya tersebut dan karya-karya sejenis, kita dapat mempelajari klasifikasi ḥikmah dan ilmu-ilmu yang diliputinya. Karya al-Fārābī tersebut di kemudian hari di terjemahkan oleh Gerard of Cremona di Toledo dan menjadi basis dari karya klasifikasi ilmu Dominicus Gundissalinus yang berjudul De Divisione Philosophiae. Karya yang ditulis pada abad ke-12 itu kemudian menjadi dasar pencanangan kurikulum Quadrivium yang digunakan di akademi di seluruh Eropa pada zaman Renaissance (Burnett 2001). Selain upaya pembangunan rumah untuk memposisikan ragam ilmu dalam konstelasi yang bermanfaat, para sarjana yang terlibat di Bayt al-Ḥikmah juga turut serta membidani lahirnya disiplin ilmu baru. Para cendikia Yunani kuno dahulu hanya memiliki sebatas ilmu mekanik. Namun ketika karya-karya mekanik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, misalnya karya Archimides, para sarjana kemudian membangun dari serpihan-serpihan tersebut sebuah disiplin ilmu baru yang mereka Ciputat School | 13 sebut ilmu berat (ʿilm al-athqāl). Saat teks-teks ilmu berat-- misalnya Kitāb fī al-qarastūn, yang ditulis oleh Thābit ibn Qurra-- di terjemahkan ke bahasa Latin, muncullah disiplin ilmu serupa di Barat yang disebut scientia de ponderibus. Di tangan para sarjana Eropa, ilmu yang sebelumnya hanya berkaitan dengan hal-hal praktis kemudian menjadi lebih teoritis dan terus dikembangkan hingga melahirkan konsep grafitasi posisional (gravitas secundum situm) yang berdampak besar pada perkembangan ilmu tehnik di Eropa moderen (Abattouy 2008: 105-6). Contoh ini menunjukkan bahwa penerjemahan yang baik juga merupakan proses transformasi. Serpihan-serpihan ḥikmah yang sebelumnya tercecer dikumpulkan dan dikembangkan dalam sebuah rumah yang telah disiapkan. Setelah melalui proses pengendapan dan sintesa dengan serpihan-serpihan yang lain, akhirnya terbentuklah sebuah bangunan ilmiah baru milik sendiri. ʿIlm al-athqāl memang berdasar pada ḥikmah Yunani kuno. Namun ilmu tersebut tidak lagi miliki peradaban Yunani. Ia adalah sebuah sintesa yang muncul dalam ranah interkultural, diantara pilar-pilar peradaban yang berbeda. Tanpa menafikan keragaman sumber, penerjemahan membentuk sesuatu yang baru. Penerjemahan yang berhasil tidak hanya melepas gema pada ruang-ruang bahasa dan peradaban yang menerima. Bukankah gema (echo) hanyalah refleksi suara dengan amplituda melemah? Penerjemahan yang baik mungkin lebih mirip dengan gaung (reverberation). Berbeda dengan gema, gaung adalah fenomena akustik dimana refleksi suara yang banyak sampai kepada telinga pendengar, hingga ia tidak lagi bisa membedakan antar suara. Ketimbang melemah, terkadang gelombang gaung dapat menguat jika berada dalam ruangan yang secara akustik kondusif. Sepertinya, Bayt al-Ḥikmah dipersiapkan sebagai ruang akustik yang baik. Salah satu cara mempersiapkan ruang akustik adalah dengan mempersiapkan bahasa tujuan penerjemahan guna mampu menampung terminologi dan makna yang diterjemahkan. Tak heran jika salah seorang penggiat Bayt al-Ḥikmah, Abū Yūsuf al-Kindī (m. 873) dan kelompoknya menulis sebuah glossarium sistematik yang mendefinisikan kata-kata kunci ilmu ḥikmah dalam bahasa Arab (Osman 2011: 120). Ia mencoba mempersiapkan bahasa Arab sebagai ruang akustik yang kondusif sehingga karya-karya yang diterjemahkan dapat menghasilkan gaung. Ciputat School | 14 XIV Dalam paralipomena Theses on the Philsophy of History, Walter Benjamin menulis sebagai berikut: The messianic world is the world of universal and integral actuality. Only in the messianic realm does a universal history exist. Not as written history, but as festively enacted history. This festival is purified of all celebration. There are no festive songs. Its language is liberated prose-- prose which has burst the fetters of script. The multiplicity of “histories” is closely related, to the multiplicity of languages. (Benjamin [1940] 2004: vol. 4, 404) Apa sesungguhnya yang dimaksudkan Benjamin dalam tulisan tersebut? Tentu dapat dipahami bahwasannya Benjamin menulis Theses on the Philosophy of History guna menunjukkan kekesalannya terhadap struktur temporalitas modernitas yang berambisi menyatukan keragaman dalam sebuah kesatuan mutlak dan seragam. Waktu tak lagi majemuk. Waktu hanyalah sebuah garus lurus yang menghubungkan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Waktu tak lagi dipenuhi dinamikanya sendiri, tetapi harus puas dengan menjadi ruang kosong di mana drama sejarah manusia digelar. Waktu yang hampa dan homogen. Sebagai ruang, waktu modernitas hanya mengenal satu tujuan yang kemudian dinarasikan oleh para filsuf moderen baik penganut Liberalisme, Marxisme, dll. Tetapi mereka serupa dalam mengasumsikan keberadaan waktu yang tunggal dan berjalan lurus, hingga seluruh umat manusia tampaknya harus mengikuti alur yang sudah ditetapkan. Bangsa Eropa telah berjalan lebih dulu, dan bangsa lain harus mengikuti alur tersebut walau terlunta-lunta. Inilah historisisme, pandangan yang menganggap ummat manusia berkembang mengikuti jalur yang tunggal. Sehingga masa lalu dengan mudah dibuang dan dianggap sebagai hambatan kemajuan. Benjamin menolak continuum perkembangan dan kemajuan tersebut. Menurutnya modernitas menutup kemungkinan-kemungkinan alternatif, impian akan masa depan yang berbeda, dan perkembangan intelektual yang beragam. Jika semua bergerak menuju satu titik tertentu, maka kemungkinan perkembangan ke arah yang lain dengan sendirinya terbengkalai. Tugas kita, menurut Benjamin adalah meluluh-lantahkan continuum waktu tunggal dengan memperlihatkan kehadiran masa lalu di sekarangnya masa kini. (now of the present). Ciputat School | 15 Proyek demikian hanya mampu dilakukan jika kita dapat mengenali kehadiran masa lalu di masa kini, karena kehadiran kembali yang telah terbuang dan tersisihkan justru menunjukkan kegagalan proyek modernitas. Maka segala bentuk pendakuan universalitas modernitas dengan sendirinya tidak dapat diterima. Bukankah yang universal dalam modernitas hanyalah sebuah partikularitas yang diangkat sebagai universalitas? Dan kemudian segala partikularitas yang berbeda dipaksakan untuk berubah dan masuk ke dalam universalitas palsu tersebut. Dalam kutipan dari paralipomena di atas, Benjamin sepertinya memposisikan universalitas sebagai sebuah ide yang hanya mungkin tercapai dan terbentuk pada saat mesianik. Artinya, universalitas adalah hasil dari tikkun, saat dimana yang berserakan telah kembali menyatu dan membentuk keutuhan. Universalitas tak dapat ditemukan dalam sejarah, karena sejarah adalah ruang multiplisitas, seiring dengan keberadaan multiplisitas bahasa. Dalam pandangan Kabalah, yang sangat mempengaruhi pemikiran Benjamin, pada awalnya hanya ada satu bahasa. Bahasa asli yang murni. Namun, bahasa tersebut tak dapat menyebutkan Nama Tuhan. Ketidakmampuan tersebut akhirnya melahirkan banyak diskursus dan deskripsi tentang Nama Tuhan, tanpa dapat menyebutnya. Dari kegagalan inilah muncul multiplisitas bahasa. Bahasa mengalami ketegangan dan tiap-tiap bahasa berkembang secara internal dalam upaya tuk menyebut Nama-Nya (Agamben 1999: 52-4). Namun bahasa justru akan mampu menyebut Nama-Nya ketika ia terbebaskan dari partikularitasnya. Ketika bahasa tak lagi berkata-kata, Ia menjadi saksi keagungan-Nya. Sebuah festival tanpa nada, nyanyian tanpa melodi, bahasa tanpa komunikasi dan prosa. Yang tinggal hanya kesaksian bisu atas kesucian-Nya. XV Sepertinya ada kemiripan antara pandangan Benjamin dengan proyek Bayt al-Ḥikmah. Ḥikmah adalah anugerah yang Maha Suci, namun tak dapat dilukiskan bahasa secara keseluruhan. Setiap bahasa menerima ceceran ḥikmah yang dengan sendirinya terimplikasi oleh partikularitas kultur dan peradaban tersebut. Penerjemahan adalah upaya mengumpulkan kembali puing-puing ḥikmah yang berserakan, memisahkan yang partikulir dari yang universal dalam upaya membangun kembali ḥikmah. Namun dalam proses menyusun kembali Ciputat School | 16 ḥikmah, setiap pecahan harus mampu merekat. Sisi-sisi setiap pecahan yang akan direkatkan harus memiliki kemiripan dan kesamaan, padahal ḥikmah telah tercecer dalam keragaman partikularitas. Disini letak pentingnya upaya penerjemah untuk merekatkan pecahan demi pecahan secara detil. Bukankah penerjemahan yang baik juga memerlukan ḥikmah? Penerjemahan yang baik, seperti ditulis Benjamin dalam The Task of the Translator, adalah penerjemahan yang tidak mereproduksi aslinya, tetapi justru mencari keharmonisan. Penerjemahan adalah upaya mencari suplemen yang saling memperkaya: A real translation is transparent; it does not cover the original, does not block its light, but allows the pure language, as though reinforced by its own medium, to shine upon the original all the more fully (Benjamin [1921] 2004: vol. 1, 260). Penerjemahan adalah gaung yang bergemuruh baik di dalam bahasa asli dan bahasa terjemahannya dan memperkaya keduanya. Dalam proses tersebut, pecahan ḥikmah yang sebelumnya tersimpan dalam sebuah peradaban, dibentuk ulang sehingga sesuai dengan sisi-sisi lain yang telah tersimpan dalam peradabaan penerima, sehingga memungkinkan proses perekatan. Toh tidak ada yang salah dari upaya pengubahan serpihan tersebut, karena pada akhirnya ia milik semua peradaban. Di saat yang sama, pecahan ḥikmah yang telah diterjemahkan dan beralih peradaban justru dapat memperkaya aslinya. Pada akhirnya, segala upaya penyusunan kembali ḥikmah yang benarbenar universal tidak akan mungkin berhasil. Mereka yang berafilias dengan Bayt al-Ḥikmah juga tampaknya tidak pernah mencoba tuk memaksakkan bangunan ḥikmah yang mereka susun pada peradaban lain. Justru kultur lain mendapatkan manfaat dari bangunan tersebut dalam upaya membangun bangunan mereka sendiri. Setiap upaya penyusunan bangunan ḥikmah hanya bersifat provisional/sementara. Bahasa manusia akan selalu terbelenggu pada partikularitas peradaban dan kebudayaan. Setiap universalitas yang dibangun manusia akan selalu tercermahr(tainted) dengan partikularitas (Butler, Laclau, Zizek 2000). Bukankah universalitas ḥikmah pada akhirnya adalah milik Yang Maha Bijaksana? Ciputat School | 17 XVI Proses penyatuan dan pembangunan kembali ḥikmah berlangsung di beberapa peradaban yang berbeda. Sebelum era moderen, tampaknya tak ada ambisi menyeragamkan bentuk bangunan. Setiap bangunan ḥikmah adalah mishkan sementara, sebelum kelak bentuk universal ḥikmah dapat terbentuk dalam masa yang terbebas dari waktu dan tempat yang tak membentuk ruang. Sementara yang ada hanya keragaman yang membuka kemungkinan masa depan yang berbeda. Waktu yang majemuk mengarus perjalanan sejarah dan perkembangan peradaban tanpa ketunggalan. XVII Musim Panas, 1864. W.A.P. Martin akhirnya menyelesaikan penerjemahan buku induk hukum internasional ke dalam bahasa Cina. Setelah sekian lama, akhirnya para diplomat Cina dapat turut menikmati Elements of International Law dengan harapan mereka dapat memahami politik internasional. Martin membawa terjemahan yang dalam bahasa Cina berjudul Wanguo Gongfa kepada Pangeran Gong. Sang pangeran adalah motor utama di balik pemerintahan kekaisaran dan mendapatkan stempelnya sangat penting untuk keberadaan karya terjemahan tersebut. Setelah selesai membacanya, sang Pangeran bergumam: Membaca buku ini, Aku mengetahui bahwa isinya secara garis besar berkaitan dengan persekutuan, hukum peperangan, dll. Buku ini membahas hukum pecah perang dan check and balance antar negara. Kata-kata dan kalimatnya sangat membingungkan dan tak terstruktur; Kami tidak bisa memahaminya kecuali jika dijelaskan secara langsung (dikutip dalam Liu 2004: 125). Sebenarnya permasalahan komprehensi yang dihadapi Pangeran Gong bukan hanya soal bentuk dan gaya penerjemahan. Kesulitan Pangeran Gong memahami buku tersebut karena bentuk penerjemahan Martin sudah dari awalnya mengandaikan keberadaan hukum internasional yang universal, padahal hukum tersebut tidak lain adalah hukum yang berkembang dalam tradisi Eropa. Sedangkan kekaisaran Cina telah terbiasa dengan tradisi hukumnya sendiri. Pada saat konstruk globalisme tersebut disuguhkan kepada Sang Pangeran, tentu ia merasa sulit tuk memahaminya. Martin harus memperkenalkan sederetan kata dan konsep baru dalam bahasa Cina untuk Ciputat School | 18 menerjemahkan konsep yang sebelumnya tidak ada di dalam imajinasi hukum kekaisaran. Bentuk terjemahan demikian hanyalah mereproduksi karya aslinya dan berharap orang-orang dalam kultur dan peradaban yang berbeda secara radikal dapat mengadopsinya. Penerjemahan satu arah bak gema yang mengharuskan suara asli terdengar di tujuan penerjemahan. Baru setelah beberapa generasi, para intelektual dan diplomat Cina mampu memahami terjemahan Martin secara baik. Mungkin karena mereka telah masuk ke dalam jalur universalitas moderen, sehingga dibutuhkan sebuah hukum internasional yang seragam. Buku terjemahan Martin menandai babak penting dalam perkembangan modernitas, pembentukan imaji globalisme berdasarkan keseragaman hukum. Yang enggan mengadopsinya dipersilahkan mengambil tempat dalam tong sampah sejarah. XVIII Modernitas mengasumsikan keberadaan sebuah waktu yang tunggal dan hampa. Waktu bagaikan ruang dimana segala yang berwujud dalam semesta menempati posisinya masing-masing. Tak ada lagi imaji waktu yang majemuk seperti yang ditorehkan oleh Aristotles (time= matter : motion) dan disaksikan oleh al-Qurʿān (wa kullun fī falakin yasbaḥūn, Q.S. 36:40). Mungkin saja dalam struktur modernitas sesuatu berjalan lebih cepat atau lebih lambat dari lainnya, tetapi itu hanya masalah kecepatan. Sejarah, sebagai disiplin ilmu menjadi sahabat fisika Newtonian dalam menyeragamkan waktu. Semua drama kehidupan manusia terjadi dalam sebuah ruang waktu yang sepertinya terbebas dari segala sesuatu. Waktu yang natural. Waktu yang mempengaruhi semesta tanpa dapat dipengaruhi. Keberadaan waktu yang demikian inilah yang memungkinkan imaji universalitas. Kita semua secara natural berada dalam ruang waktu yang sama. Tak peduli jika beberapa suku atau peradaban tidak memiliki pemahaman waktu yang kronologis tersebut. Mereka akhirnya hanya disebut sebagai kaum yang tak memiliki sejarah. Waktu, dengan demikian, menjadi sebuah kategori universal yang memungkinkan kebersamaan dan kesatuan perjalanan (Chakrabarty 2000: 74). Kita semua berkembang dan maju ke satu arah yang titik akhirnya belum jelas. Bangsa-bangsa bekas jajahan harus merayap mengejar ketertinggalan mereka. Tentu teori fisika Einstein sudah menolak keberadaan waktu universal yang demikian. Tetapi sayangnya, di luar dunia fisika, kita masih saja membela keberadaan universalitas tersebut. Konstruk universal yang Ciputat School | 19 sesungguhnya berasal dari sebuah partikularitas namun dipaksakan tuk memediasi kehidupan seluruh manusia. Pandangan universalitas tersebut tampaknya beroperasi pada logika penerjemahan moderen, sesuatu yang tidak kita dapati dalam sejarah Bayt al-Ḥikmah. Dalam penerjemahan moderen misalnya, kata ‘air’ dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan ‘water’ dalam bahasa Inggris, atau ‘pani‘ dalam bahasa Hindi. Yang memungkinkan kesamaan makna ketiga kata tersebut adalah karena keberadaan bahasa/konsep yang lebih tinggi: H2O. Dalam hal ini, H2O menjadi mediasi universal dan struktur generalisasi (tentu juga aspirasi dan pretensi sebagai science) yang memfasilitasi dialog dan komunikasi antar partikular berbeda. Hasilnya, segala partikularitas simbol, sejarah, dan makna ‘pani‘ dan ‘air‘ harus hilang terlebih dahulu sebelum keduanya dapat diterjemahkan. Pani dan air harus terlebih dahulu tercerabut dari akar budayanya dan menjadi H2O untuk melangsungkan komunikasi dan penerjemahan. Salah satu kontribusi besar Karl Marx sepertinya adalah menarik perhatian kita pada masalah mediasi universal dalam modernitas. Saat Marx berbicara tentang komoditas, sesungguhnya dia sedang berbicara problem ini. Dalam German Ideology Marx membahas komoditas sebagai mediasi yang memungkinkan sejarah global. Sebelum masa moderen, tebu, cengkeh, gandum, dan kopra misalnya adalah empat hal yang partikulir dan berbeda. Namun dengan keberadaan sistem kapitalisme, keempat tanaman yang berbeda itu tercerabut dari akar partikularitasnya dan menjadi komoditas. Keberadaan mediasi universal tersebut memungkinkan hubungan keterkaitan dan penerjemahan (melalui mediasi uang) (Marx 1998: 57-9, 81, 95-6). Keterkaitan inilah yang kemudian melahirkan sejarah global. XIX Penerjemahan moderen serupa dengan relasi ekonomi kapitalisme yang memerlukan mediasi uang untuk menerjemahkan kopra menjadi tebu. Proyek penerjemahan Bayt al-Ḥikmah sepertinya cenderung lebih menyerupai barter. XX Bayt al-Ḥikmah mengingatkan kita pada sebuah mode penerjemahan yang telah terlupakan dalam konteks modernitas. Ia mengingatkan Ciputat School | 20 pentingnya kreatifitas dalam proses penerjemahan tanpa mengasumsikan mediasi universal. Ḥikmah tercecer di mana-mana. Ia terserak di balik peradaban dan kebudayaan berbeda. Jika saja Martin mendengarkan ceramah Pangeran Gong tentang hukum internasional dan menginkorporasi filsafat hukum Cina ke dalam bukunya, mungkin Wanguo Gongfa akan lebih berkualitas dan mudah dipahami. Ḥikmah yang berserakan tak akan dapat dikenali jika kita telah terlebih dahulu memiliki asumsi universalitas. Ḥikmah justru terlihat pada saat mata memandang secara awas hamparan semesta, mencoba menyaksikan peradaban dan kultur yang berbeda secara radikal dengan kita apa adanya. Saat mencari, tampaknya kacamata kultur diri harus ditanggalkan terlebih dahulu. Tetapi ini bukan berarti importasi besarbesaran tanpa penyaring. Justru momen penerjemahan adalah saat pembentukan ulang serpihan ḥikmah agar mampu bersinergi dan merekat dengan serpihan yang telah ada dalam kultur diri sehingga mampu membangun mishkan yang kokoh. Bangunan tersebut adalah instansiasi dari universalitas ḥikmah. Namun, sebagai instansiasi ia akan selamanya tercemar dengan partikularitas. Biarkan saja ragam bangunan ḥikmah muncul dan meninggi di pelbagai tempat. Bukankah pada akhirnya ḥikmah adalah miliki bersama? Namun, seperti Luqmān yang mampu melintas batas formasi linguistik dan kultur, bermetamorfosa menjadi Ahiqar, Balʿam dan Aesop, ḥikmah adalah univeralitas yang selamanya terperangkap dalam partikularitas. Saat anak cucu Yaʿqūb masih mengembara di tengah gurun pasir, mengarungi deru ombak, mendaki perbukitan dan merayap di balik ngarai, Tuhan mengabulkan doa sang Nabi yang dahulu menangis di hadapan bangunan kuno itu. Tangis bayi menandakan lahirnya seorang yang akan memulai proyek penyusunan ḥikmah. Ia lahir di sebuah kota padang pasir yang tanahnya dahulu pernah dibasahi oleh tangis kehausan leluhurnya ketika bayi. --------------- Ciputat School | 21 Bibliography Abattouy, Mohammed, Renn, Jurgen, Weinig, Paul. “Transmission as Transformation: The Translation Movements in the Medieval East and West in a Comparative Perspective.” Science in Context, 14, 1-2 (2001): 1-12. Abbatouy, Mohammed. “The Arabic Science of Weights (ʿilm al-athqāl): Textual Tradition and Significance in the History of Mechanics.” In A Shared legacy: Islamic Science East and West. Barcelona: Universitat de Barcelona, 2008. Agamben, Giorgio. Potentialities: Collected Essays in Philosophy. Stanford: Stanford University Press, 1999. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib al-Attas. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 2001. al-Ghazālī, Abū Ḥāmid Muḥammad. Tahāfut al-Falāsifah, edited by Michael E. Marmura. Provo, Brigham Young University Press, 1997. al-Jurjānī, ʿAlī b. Muḥammad. Kitāb al-Taʿrifāt. Cairo: Dār al-Irshād, 1991. al-Thaʿlabī, Aḥmad b. Muḥammad. Kitāb Qiṣaṣ al-Anbiyāʾ, al-Musammā bi-l-ʿArāʾis. Būlāq: al-Maṭbaʿah al-Miṣrīyyah, 1869. Alfonsi, Petrus. Disciplina Cleracallis, translated byWilliam Henry Hulme. Cleveland: Western Reserve University, 1919. Benjamin, Walter. Selected Writings, vol 1: 1913-1926, edited by Marcus Bullock & Michael W. Jennings. Cambridge, Mass: Belknap Press of Harvard University Press, 2004. Benjamin, Walter. Selected Writings, vol 4: 1938-1940, edited by Eiland Howard & Michael W. Jennings. Cambridge, Mass: Belknap Press of Harvard University Press, 2006. Burnett, Charles. “The Coherence of the Arabic-Latin Translation Program in Toledo in the Twelfth Century.” Science in Context, 14, 1-2 (2001): 249-288. Butler, Judith, Laclau, Ernest and Zizek, Slavoj. Contingency, Hegemony, Universality: Contemporary Dialogues on the Left. London: Verso, 2000. Chakrabarty, Dipesh. Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference. Princeton: Princeton University Press, 2000. Eberhard, Alfredi. Fabulae Romanenses Graece Conscriptae. Charleston: BiblioBazaar, [1872] 2009. Ciputat School | 22 Ferre, Lola. “The Jewish Contribution to the Transmission of the Classical Legacy.” European Review, 20, 4 (2012): 552-526. Harris, J. Rendel. The Story of Aḥikar from the Syriac, Arabic, Armenian, Ethiopian, Greek, and Slavonic Versions. London: C.J. Clay and Sons, 1898. Ibn al-Nadīm, Muḥammad b. Isḥāq. The Fihrist of al-Nadīm: A Tenth Century Survey of Muslim Culture, translated by Bayard Dodge. New York: Columbia University Press, 1970. Ibn Khaldūn, ʿAbd al-Raḥmān. The Muqaddimah: An Introduction to History, translated by Franz Rosenthal. Princeton: Princeton University Press, 1967. Ibn Saʿd, Muḥammad. Kitāb al-Ṭabaqāt al-Kubrā. Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1978. Lane, Edward William. An Arabic-English Lexicon. London: Williams and Norgate, 1863. Liu, Lydia. The Clash of Empire: The Invention of China in Modern World Making. Cambridge, Mass: Harvard University Press, 2004. Marx, Karl & Engels, Friedrich. The German Ideology. Amherst: Prometheus Books, 1998. Osman, Ghada. “Translation and Interpreting in the Arabic of the Middle Ages: Lessons in Contextualization.” The International Journal of the Sociology of Language, 207 (2011): 107-125, Plutarch. Moralia, vol. II, translated by Frank Cole Babbitt. London: William Heinemann, 1922. Scholem, Gershom. On the Kabbalah and Its Symbolism. New York: Knopf Doubleday, [1965] 1996. Ciputat School | 23