Menyusun Serpihan Ḥikmah: Bayt al-Ḥikmah

advertisement
Menyusun Serpihan Ḥikmah:
Bayt al-Ḥikmah, Penerjemahan, Universalitas*1
Oleh Ismail Fajrie Alatas**2
I
Shekhinah adalah hikmah dan barakah dari Ilahi yang menghampar di
muka bumi. Setelah anak cucu Yaʿqūb menyebar ke penjuru kaki langit,
shekhinah turut terbawa bersama mereka. Setelah sebelumnya
menyatu, shekhinah terpecah dan terserak di antara debu gurun pasir
dan deru ombak lautan menjaga para penerus nubuat dalam
perjalanan mereka. Namun dalam keadaan terasing, shekhinah tetap
mendamba saat kembali. Waktu di mana seserakan terbangun lagi dan
membentuk keutuhan. Seperti halnya shekhinah yang berserakan, jiwa
anak cucu Yaʿqūb mengalami keterasingan dari kebersatuan.
Shekhinah terus menunggu saat penebusan dan penyelamatan.
Ternyata Tuhan masih tersenyum pada mereka. Di tengah
keterasingannya, Tuhan membuka kemungkinan penebusan. Tikkun
akan datang. Sebuah masa penyelamatan dan pembangunan kembali
yang berserakan. Saat pemungutan kembali serpihan-serpihan
shekhinah yang hilang di baik perbukitan, di kedalaman semudera, dan
di tengah badai gurun pasir. Tikkun akan tiba. Bukan karena
kemunculan sang juru selamat, namun justru karena aktifitas anak
cucu Yaʿqūb yang menyusun kembali serpihan demi serpihan hingga
membentuk kebersatuan. Sang juru selamat hanyalah bubuhan tanda
*1 Makalah ditulis untuk diskusi terbatas Ciputat School, Selasa, 27 Agustus 2013. Draft –
dilarang mengutip tanpa izin penulis.
**2Kandidat doktor dalam bidang antropologi dan sejarah di University of Michigan, Ann Arbor |
[email protected] | twitter: @ifalatas
tangan, tulis Rabbi Isaac Luria, pada dokumen yang kita tulis dan
formulasi (Scholem [1965] 1996: 117). Ia hanya menunggu saat yang
tepat tuk perlihatkan wujudnya. Tikkun adalah saat sang juru selamat
membuka tabirnya.
Tetapi shekhinah juga berarti persemayaman. Tempat tinggal dan
bersemayan di mana cahaya dan kehadiran Tuhan dapat dirasa. Suatu
hari Musa tak dapat memasuki kemah tempat diadakannya sebuah
pertemuan, “karena awan bersemayam (sakhan) di atasnya” (Exodus
40: 35). Karena itu pula selama pengasingan, anak cucu Yaʿqūb
membangun mishkan, bangunan tak permanen untuk bersemayamnya
shekhinah di saat pengembaraan tak kunjung henti. Mereka mendamba
saat tuk kembali, ketika mishkan tak dibutuhkan lagi. Pembanguan
kembali kuil Sulaymān kan menjadi situs permanen shekhinah yang
tak lagi berserakan.
II
Seusai memugar bangunan tua itu, sang Nabi tersenyum pada anaknya
yang telah lama terasing darinya. Bangunan yang pondasinya
dicanangkan oleh leluhurnya, telah tegak kembali. Memandang hasil
jerih payahnya, sang Nabi berdoa:
Wahai Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan ḥikmah serta menyucikan
mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S.
2:129).
Sang Nabi memohon pada Tuhannya keberadaan seorang rasul yang
dapat menyampaikan ilmu dan ḥikmah Ilahi. Bukankah ḥikmah adalah
pemberian yang dianugerahkan dari sisi-Nya bagi mereka yang layak
menerima?
III
Ḥikmah adalah pemberian Tuhan pada siapa-pun yang dikehendakiNya. Ia membuahkan ilmu yang mengajarkan posisi yang benar bagi
segala sesuatu di alam semesta. Seorang yang ilmunya terdorong oleh
ḥikmah akan dapat memposisikan segala sesuatu pada tempatnya yang
benar (al-Attas 2001: 68). Tanpa ḥikmah, seseorang kan tenggelam
dalam lautan ilmunya karena tak memahami cara menempatkan data
Ciputat School | 2
dan informasi yang telah dikumpulkan. Kata ḥikmah muncul dari kata
ḥakamah yang berarti tali ikatan yang digunakan untuk mengatur
binatang tunggangan (Lane 1863: Book I, 617). Tali kendali yang
menjinakkan kuda sehingga dapat berlari menuju tempat yang dituju si
penunggang. Ḥikmah adalah ilmu yang memberikan tali pada
seseorang tuk mengendalikan ilmunya sehingga membuahkan
kebaikan dan manfaat. Mungkin ḥikmah adalah aturan dan disiplin
yang membentuk sistematika ilmu sehingga relasi antar sebuah ilmu
dengan lainnya menjadi jelas.
Dengan demikian, ḥikmah dapat dipahami melalui dua perspektif.
Secara obyektif, ia adalah jenis ilmu tentang hakikat alam semesta yang
pada akhirnya adalah sebuah pemberian Ilahi. Secara subyektif,
ḥikmah adalah kekuatan intelektual manusia tuk menghubungkan dan
membentuk struktur pengetahuan dalam diri sehingga tercipta
keteraturan (al-Jurjānī 1991: 103). Seorang yang memiliki ḥikmah
akan mampu mengendalikan ilmu yang telah didapati sehingga
memungkinkan upaya memahami hakikat semesta di luar sana. Maka
beruntunglah seseorang yang memiliki ḥikmah karena “ia telah
dianugerahi karunia yang banyak” (Q.S. 269).
IV
Seorang bijak yang dipercaya hidup di zaman bertahtanya Dawūd
dianugerahi ḥikmah. Tubuhnya telah menjadi ruang penyimpanan
rahasia Ilahi. Tuhan memperkenalkan sang bijak:
Dan sesungguhnya telah Kami berikan ḥikmah kepada Luqmān... (Q.S. 31:12)
Beberapa ajaran dan kata mutiara Luqmān masih tersimpan dalam alQurʿān. Melalui dialog Luqmān dengan puteranya, tersirat kedalaman
ḥikmah dan pemahaman tentang hakikat kehidupan.
Para sejarawan Arab abad pertengahan percaya bahwa Luqmān
memiliki banyak murid dari pelbagai kalangan. Muḥammad b. ʿAlī alZawzanī misalnya, dalam Taʾrikh al-ḥukamāʾ menulis bahwasannya
Empedocles—salah seorang filsuf Yunani pre-Socrates—adalah murid
Luqmān. Oleh karena itu mereka percaya bahwasannya ḥikmah dan
filsafat Yunani bersumber dari Ilahi melalui figur Luqmān (Ibn Khaldūn
1958: vol. 3, 114-5). Dari Luqmān dan Empedocles, ḥikmah terus di
turunkan hingga Socrates, Plato, dan Aristoteles. Pada saat peradaban
Yunani hancur, ilmu ḥikmah diteruskan oleh para filsuf Romawi. Hanya
Ciputat School | 3
setelah imperium Romawi mengadopsi agama Kristiani,
perkembangan ilmu tersebut terhenti. Namun demikian, wilayah
jajahan Romawi di tepi pantai timur Mediterania masih menyimpan
banyak perbendaharaan ḥikmah kaum terdahulu. Karya-karya tersebut
disimpan oleh para rahib dan ahli ḥikmah dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Ibrani, Koptik, Syriac, dan Aramaic. Khazanah yang terserak di
pelbagai bahasa dan konteks kultur itulah, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
V
Seperti halnya banyak tokoh dari dunia kuno, identitas Luqmān
menjadi perdebatan di kalangan para ahli sejarah dan tafsir. AlThaʿlabī dan al-Bayḍawī misalnya, berpendapat bahwa Luqmān adalah
padanan dari tokoh Balʿam dalam injil. Menurut kedua ʿulamāʾ ini,
nasab Luqmān adalah: Luqmān b. Bāʿūr b. Nāḥūr b. Tārikh. Mungkin
padanan ini berdasar pada akar kata b-l-ʿ yang membentuk kata Balʿam
berarti “menelan”, persis seperti makna akar kata l-q-m yang
membentuk Luqmān. Pandangan ini juga diperkuat oleh Midrash
Yahudi yang menyatakan bahwa Balʿam adalah salah seorang Nabi
non-Yahudi yang mengabarkan wahyu ke seantero alam. Dari sejumlah
pemahaman dalam tradisi Islam yang menyepadankan Luqmān dengan
Balʿam inilah, para sarjana Yahudi yang datang kemudian mengadopsi
identitas Balʿam sebagai Luqmān. Dalam Disciplina Clericalis, Petrus
Alphonsi (m. 1110) menulis, Balaam qui lingua arabica vocatur
Lucaman (Alfonsi 1919: 3).
Seorang sejarawan abad ke-19 dan 20, James Rendel Harris (m. 1941)
misalnya, berpendapat bahwa Luqmān tidak lain adalah Ahiqar (dalam
bahasa Arab Ḥakyār), seorang bijak cendekia Assyria yang kumpulan
hikmahnya ditemukan dalam sebuah papirus di reruntuhan
Elephantine, sebuah pulau di sungai nil. Papirus dalam bahasa Aramaic
tersebut ditulis sekitar lima ratus tahun sebelum masehi. Ḥikmah
Ahiqar dikenal di seantero Timur Tengah di kala itu. Harris
menunjukkan kemiripan antara beberapa ḥikmah Ahiqar dan ḥikmah
Luqmān. Mirip dengan Luqmān, hampir setiap awal kalimat ḥikmah
Ahiqar bermula dengan kalimat “duhai anakku.” Contoh lain yang
ditunjukan Harris:
Luqmān : Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai. (Q.S. 31: 19)
Ciputat School | 4
Ahiqar
: Tundukkan kepalamu, lunakkan suaramu, dan beradablah
dengan baik...karena jika rumah dapat dibangun dengan
suara tinggi, keledai akan membangun banyak rumah
setiap hari. (Harris 1898: lxxvi)
Namun proses ini tidak hanya berjalan satu arah. Para sarjana Muslim
yang di kemudian hari menulis kisah Luqmān juga membentuk citra
Luqmān yang sepadan dengan Ahiqar. Karena keduanya dikenal di
Timur Tengah sebagai ahli ḥikmah, maka keduanya disajikan sebagai
dua pribadi dengan pemikiran yang mirip dan sepadan. Sebagai contoh,
al-Thaʿlabī dalam Qiṣāṣ al-anbiyāʾ menambah rentetan ajaran ḥikmah
Luqmān yang tak terdapat dalam al-Qurʿān, tapi justru mirip dengan
ajaran Ahiqar (al-Thaʾlabī 1869: 275-7). Sebagai contoh:
Luqmān : Seorang ayah yang memukul anaknya adalah seperti air
untuk tanaman.
Ahiqar
: Jangan berpaling dari memukul anak, karena sambuk
untuk anak seperti pupuk untuk tanaman.
Luqmān : Saat engkau melihat orang-orang yang mengingat Tuhan,
bergabunglah. Jika engkau memiliki ilmu, bergabung
dengan mereka akan menambah ilmumu. Jika kau tak
memilikinya, mereka akan mengajarkanmu. Namun jika
engkau melihat orang-orang yang tak mengingat Tuhan,
hindarilah. Jika engkau memiliki ilmu, tidak akan
bermanfaat untuk mereka. Jika engkau tak memiliki ilmu,
mereka akan menambah kebodohanmu.
Ahiqar
: Berkumpullah dengan orang bijak, maka engkau kan
menjadi bijak sepertinya. Janganlah berkumpul dengan
orang yang berisik dan suka beromong kosong, karena
engkau akan menjadi sepertinya.
Dinamika serupa terus terjadi dalam kesusasteraan Islam.
VI
Di abad pertengahan, Luqmān dibentuk sebagai seorang yang
mengajarkan pelbagai kisah bermuatan ḥikmah. Setelah terjadi proyek
penerjemahan besar-besaran dari khazanah Yunani ke bahasa Arab,
cukup banyak cerita dan hikayat yang turut masuk ke dalam dunia
Ciputat School | 5
Islam, misalnya hikayat dan fabel karya sang pencerita Yunani kuno
Aesop (m. 564 sebelum masehi). Yang unik, hikayat-hikayat Aesop
tersebut setelah diterjemahkan tak lagi menjadi milik Aesop, tetapi
justru menjadi milik Luqmān. Sebagai contoh, al-Thaʾlabī bercerita
bahwa dahulu Luqmān diperintahkan oleh majikannya untuk
memotong seekor kambing dan memberikan padanya bagian daging
yang paling baik. Luqmān memberi sang majikan lidah dan hati. Sang
majikan kembali memerintahkan Luqmān tuk memotong seekor
kambing dan memberinya bagian yang paling buruk. Luqmān kembali
memberi sang majikan lidah dan hati. Menurut Luqmān tak ada bagian
yang paling baik dari lidah dan hati baik, dan tak ada yang paling buruk
dari lidah dan hati yang buruk. Cerita ini ternyata juga ada dalam Vita
Aesopi yang dikumpulkan oleh Maximus Planudes (m. 1330), hanya
saja dalam versi Aesop, hanya lidah yang dihaturkan (Eberhardt [1872]
2009: 259). Satu contoh lagi adalah kisah dimana suatu ketika, majikan
Luqmān sedang mabuk dan dalam keadaan demikian ia bertaruh
bahwa ia mampu meminum seluruh air laut. Saat sang majikan sadar
kembali, ia menyesali taruhannya dan meminta nasehat pada Luqmān.
Luqmān memberikan solusi: Orang-orang yang ikut bertaruh harus
terlebih dahulu membendung seluruh air sungai di dunia, karena sang
majikan hanya bertaruh untuk meminum air laut, dan bukan aliranaliran sungainya. Cerita ini juga muncul dalam biografi Aesop yang
ditulis oleh Planudes. Cerita yang sama juga muncul dalam Dinner of
the Seven Wise Men karya Plutarch (m. 120)3 dan di tradisi Yahudi
dalam Midrash Leviticus Rabbah yang ditulis sekitar abad ke-7.
Dalam Cerita ini Plutarch menulis bahwa Bias, sang cerdik pandai mendapatkan surat dari
Raja Mesir:
"Amasis, king of the Egyptians, to Bias, wisest of the Greeks. The king of the Ethiopians is
engaged in a contest in wisdom against me. Repeatedly vanquished in all else, he has
crowned his efforts by framing an extraordinary and awful demand, bidding me to drink
up the ocean. My reward, if I find a solution, is to have many villages and cities of his, and
if I do not, I am to withdraw from the towns lying about Elephantine. I beg therefore that
you will consider the question, and send back Neiloxenus without delay. And whatever is
right for your friends or citizens to receive from us shall meet with no let or hindrance
on my part." After this had been read Bias did not wait long, but, after a few minutes of
abstraction and a few words with Cleobulus, whose place was near his, he said, "What is
this, my friend from Naucratis? Do you mean to say that Amasis, who is king of so many
people and possessed of such an excellent great country, will be willing, for the
consideration of some insignificant and miserable villages, to drink up the ocean?"
Neiloxenus answered with a laugh, "Assume that he is willing, and consider what is
possible for him to do." "Well, then," said Bias, "let him tell the Ethiopian to stop the
rivers which are now emptying into the ocean depths, while he himself is engaged in
drinking up the ocean that now is; for this is the ocean with which the demand is
concerned, and not the one which is to be. (Plutarch 1922: vol. II, 377-8)
3
Ciputat School | 6
VII
Dalam pandangan moderen ketiga dinamika ini (Luqmān-Balʿam,
Luqmān-Ahiqar, dan Luqmān-Aesop) mungkin sulit untuk dipahami.
Hal ini dapat dilihat dari pendekatan para sejarawan dan filolog
moderen yang mencoba untuk memahami turunan dan genealogi
sebuah kisah, anekdot, dan identitas figur. Tak sedikit dari sejarawan
yang kemudian berpendapat bahwa kisah Luqmān dalam al-Qurʿān
hanya mungkin karena kisah dan ḥikmah tersebut telah tersebar di
Timur Tengah. Pendapat demikian kemudian membukan jalan untuk
mereduksi al-Qurʿān sebagai sebuah produk sejarah dan bukan wahyu
trans-historis seperti dipercayai kaum Muslimin. Tetapi, jika kita
mencoba keluar dari paradigma moderen, justru dinamika tersebut
akan dapat lebih dipahami.
Sepertinya yang terjadi adalah proses penerjemahan yang juga
merupakan tranformasi. Hikayat ḥikmah Aesop, misalnya, dinilai oleh
para sarjana Muslim seperti al-Thaʾlabī sebagai instansiasi dari ḥikmah
itu sendiri yang kebetulan masih tersimpan dalam kultur Yunani kuno.
Namun ḥikmah bukan hanya miliki orang Yunani. Ḥikmah adalah
kepunyaan manusia pada umumnya karena ia bersumber dari Tuhan.
Maka sebagai seorang yang diperkenalkan al-Qurʿān sebagai ahli
ḥikmah, Luqmān juga diasumsikan memilikinya. Dari sini kita dapat
memahami bahwasannya ḥikmah menjadi ruang epistemik dimana
apa-apa yang ada di Yunani bersinggungan dengan apa-apa yang ada
dalam tradisi Islam. Ruang epistemik tersebut menjadi ranah
penyatuan kembali ḥikmah yang telah tercecer dan kembali
membentuk sebuah kesatuan. Hikayat Aesop memperkaya
representasi Luqmān di kemudian hari seperti halnya kata-kata
mutiara Luqmān memperkaya representasi Aesop pada abad-abad
kemudian. Faktualitas tidak penting disini karena baik al-Thaʿlabī,
Planudes, dan para rahib yang menulis Midrash tidak sedang menulis
sejarah. Yang mereka lakukan adalah memungut serpihan ḥikmah yang
tercecer di pelbagai belahan bumi, tersangkut di antara pilar-pilar
peradaban dan kebudayaan yang berbeda.
Dalam keberbedaan, ḥikmah memainkan peran epistemik penting
membuka jalur penerjemahan. Dalam prosesnya, ḥikmah yang didapati
di dalam kebudayaan yang liyan tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang
asing. Ia adalah milik bersama dan milik kebudayaan tersebut. Hikayat
Aesop adalah miliki Luqmān dan hikayat Luqmān adalah milik Aesop.
Ini adalah persinggungan dan penerjemahan yang saling membangun
Ciputat School | 7
dan memperkaya tanpa mereduksi masing-masing partikularitas
ḥikmah. Misalnya, Ahiqar hanya menasehati kita tuk duduk dengan
orang bijak, sedang saat hikayat tersebut diterjemahkan dan diadopsi
ke dalam lisan Luqmān, nasehatnya juga ikut berubah: duduklah
dengan orang-orang yang mengingat Tuhan atau ahl al-dhikr.
Bukankah duduk dengan ahl al-dhikr adalah perintah Tuhan dalam alQurʿān?
VIII
Dahulu Nabi bersabda, “ḥikmah adalah barang yang hilang milik orang
beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah”. Ḥikmah
hilang dan berserakan di sudut-sudut peradaban manusia. Ia
tersimpan dalam kalimat dan tuturan para cerdik pandai yang
terkadang tercecer dan hilang, dikhianati ingatan manusia. Luqmān,
Ahiqar, Aesop, dan Balʿam adalah sosok-sosok penggenggam ḥikmah.
Mereka adalah manifestasi ḥikmah pada kultur dan peradaban yang
berbeda. Maka dalam proses penemuan dan penyatuan kembali
ḥikmah, transformasi juga terjadi. Partikularitas Yunani Aesop
ditinggalkan saat ia diterjemahkan menjadi Luqmān. Sebagai Luqmān,
Aesop menemukan partikularitas lain yang sesuai dengan konteks
epistemik Islam. Begitu juga saat hikayat Luqmān dan Aesop menjadi
bagian dari Midrash, partikularitas Islam dan Yunani digantikan
partikularitas Yahudi. Kendati terjadi penanggalan dan pergantian
partikularitas, namun yang universal tetap terjaga. Universalitas itulah
ḥikmah.
Dengan demikian, dalam pemungutan kembali serakan ḥikmah yang
terjadi bukanlah apropriasi. Apropriasi hanya terjadi saat sebuah
kultur atau sistem ilmu pengetahuan mengadopsi sesuatu yang asing.
Tetapi ḥikmah yang tersimpan di Yunani dan di Assyria bukanlah milik
mereka. Mereka hanya menyimpan bagian yang dimiliki manusia pada
umumnya. Oleh karena itu, setiap peradaban mencoba memungut
kembali ḥikmah yang hilang dan membangunnya kembali. Guna
membangun kembali khazanah ḥikmah, mereka membutuhkan rumah.
Seperti halnya anak cucu Yaʿqūb yang membangun mishkan dalam
pengasingan mereka sebelum shekhinah dapat bersemayam kembali di
kuil Sulaymān, para sarjana Muslim di masa Imperium ʿAbbasiyyah
membangun situs suci sebagai tempat penyimpanan, pengumpulan,
penyatuan, dan pembangunan kembali ḥikmah yang berceceran.
Ciputat School | 8
IX
Penerjemahan sebagai upaya menyusun dan membangun kembali
seserakan sepertinya adalah logika yang bekerja di balik proyek
pendirian Bayt al-Ḥikmah. Menurut Ibn Khaldūn, para sarjana Muslim
tidak pernah memandang ḥikmah sebagai bagian dari sebuah kultur
atau peradaban. Ḥikmah adalah fenomena natural bagi seluruh
manusia terlepas dari latar belakangnya. Ia bukan milik sebuah agama,
tradisi, atau peradaban. Ḥikmah telah ada sejak awal mula kehidupan
manusia (Ibn Khaldūn 1958: vol. 3, 111).
Tetapi, seperti telah dijelaskan, ḥikmah bukan hanya sebuah ilmu yang
bersifat obyektif. Ḥikmah juga sebuah fenomena subyektif berupa
kemampuan manusia untuk menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya. Kata-kata yang menduduki tempat yang tepat akan
membentuk untaian keindahan bahasa, sebagai kesusasteraan. Letak
pilar dan bangunan yang baik, akan membentuk keindahan seni
bangunan. Begitu juga dengan ilmu. Tanpa ḥikmah seseorang akan
tenggelam dalam semudera ilmu tanpa mengetahui cara
menggunakannya. Dari sini kita dapat memahami bahwa pentingnya
peran Bayt al-Ḥikmah tidak hanya dalam menerjemahkan kearifan
kuno, tetapi juga para sarjana yang turut serta dalam proyek tersebut
turut membangun kembali struktur ilmu pengetahuan. Melalui
struktur tersebut, ḥikmah yang tercecer memiliki rumah tempat
kembalinya dan membentuk sebuah sistem yang konkrit, saling
berkelindan, dan bermanfaat. Melalui bangunan espitemik tersebut,
ḥikmah yang tersebar di pelbagai kultur yang berbeda mampu kembali
pulang dan menyatu.
X
Para sarjana Muslim membagi struktur ilmu ḥikmah menjadi empat
bagian besar: Ilmu logika, ilmu fisika, ilmu matematika, dan ilmu
metafisika. Ilmu logika adalah dasar ḥikmah, karena melaluinya,
manusia mampu memilah kebenaran dari kesalahan. Melalui logika
manusia mampu memahami yang tak tercerap panca indera, melalui
keberadaan yang tercerap panca indera. Ilmu logika membangun daya
nalar dan kritik manusia yang diperlukan sebagai pondasi ilmu-ilmu
yang lain. Ilmu fisika mencoba memahami realitas substansi yang ada
dalam semesta, baik mineral (geologi), tumbuh-tumbuhan (botani),
binatang (zoologi), perbintangan dan angkasa ruang (astronomi),
Ciputat School | 9
kedokteran dan anatomi. Ilmu Matematika meliputi geometri,
aritmatika, dan musik, dan juga astronomi. Metafisika meliputi ilmuilmu yang berkenaan dengan fenomena yang tak terlihat seperti
teologi, ilmu dunia malaikat (angelology), ilmu jiwa (psikologi),
kosmologi, ontologi, dan epistemologi. Bagi para sarjana Muslim,
ragam cabang ilmu tersebut tidak dipahami sebagai disiplin yang
terpisah-pisah. Namun, seluruhnya membentuk kesatuan yang disebut
ilmu ḥikmah (Ibid: 111-2).
Kendati keberadaan ilmu ḥikmah bersifat universal, namun
kemampuan seorang sarjana Muslim mengarungi samudera ḥikmah
dapat membantunya dalam memperkuat teologi Islam. Ibn Khaldūn
misalnya, memuji Saʿd al-Dīn al-Taftazānī yang menurutnya telah
berhasil menggunakan keragaman ilmu ḥikmah guna memperkuat
akidah Islam dan uṣūl al-fiqḥ (Ibid: 117). Sebaliknya seseorang yang
kurang cermat justru dapat mengadopsi teologi asing yang
bertentangan dengan aqidah Islam dan membawanya ke ranah teologi
Islam. Abū Ḥāmid al-Ghazālī misalnya, mengkritik Ibn Sinnā dan alFarabī karena keduanya dinilai telah mengadopsi paham-paham
Yunani kuno yang bertentangan dengan pondasi Islam. Menurut alGhazālī, “keberadaan ilmu matematika dan logika mereka [Yunani
kuno], dijadikan bukti bahwa ilmu metafisika mereka juga benar (wa
yastadillūn ʿalā ṣidq ʿulūmihim al-ilahiyyah bi-ẓuhūr al-ʿilm alḥisābiyyah wa al-manṭuqiyyah) (al-Ghazālī 2000: 4). Mereka
menganggap bahwa karena kesahihan ilmu matematika Yunani kuno
tak terbantahkan, maka ilmu metafisika mereka juga demikian.
Sepertinya keberatan al-Ghazālī terletak pada proses penerjemahan
sebagai importasi bebas, sehingga anasir yang bertentangan dengan
pondasi Islam turut masuk. Mungkin bagi al-Ghazālī proses
penerjemahan semestinya berkelindan dengan transformasi dan
pengendapan. Menjadikan apa yang diterjemahkan menjadi bagian dan
kepunyaan kultur dan tradisi penerimanya. Yang demikian baru dapat
disebut penyatuan ḥikmah.
XI
Kendati proyek penerjemahan dan pembentukan kembali ḥikmah
mencapai puncaknya pada institusi Bayt al-Ḥikmah, namun proyek
tersebut telah berlangsung sebelum dan sesudah keberadaan institusi
tersebut. Ketimbang memandang Bayt al-Ḥikmah sebagai sebuah
institusi baku, saya justru ingin memandangnya sebagai metafora dari
proyek besar pengumpulan dan pembangunan kembali ḥikmah yang
Ciputat School | 10
melibatkan pelbagai aktor baik mereka yang terafiliasi dengan institusi
tersebut maupun yang tidak. Proyek ini adalah aktivisme yang
berlangsung cukup lama meliputi beberapa tradisi keagamaan yang
tersebar di Timur Tengah. Bangsa Yahudi misalnya, memainkan peran
penting dalam upaya penerjemahan teks-teks Yunani ke dalam bahasa
Ibrani dan Syriac. Mereka pula yang kemudian banyak menerjemahkan
teks-teks tersebut ke dalam bahasa Arab. Masarjawayh, seorang
penerjemah Yahudi pernah diperintahkan oleh Marwān b. Ḥakam,
penguasa imperium Umayyah untuk menerjemahkan teks ilmu
kedokteran di tahun 681 (Ferre 2012: 553). Di masa awal keberadaan
Bayt al-Ḥikmah, seorang ahli astronomi Yahudi, Mashaallah (m. 813)
turut serta menerjemahkan banyak teks Persia ke dalam bahasa Arab.
Begitu juga Rabban Altabari yang menerjemahkan karya monumental
Ptolemy, Almagest kedalam bahasa Arab.
Posisi bangsa Yahudi, sebagai komunitas tanpa tanah air
memungkinkan mereka untuk hidup di formasi peradaban yang
berbeda-beda. Dengan demikian, mereka dapat memainkan peran
perantara yang membangun jembatan linguistik dan kultural antar
peradaban. Pada gilirannya, bangsa Yahudi yang tetap tinggal di
Andalusia setelah terusirnya Islam juga turut aktif dalam
menerjemahkan teks-teks Arab ke dalam bahasa Latin. Selain
menerjemahkan teks-teks Arab ke bahasa Latin, mereka juga
menerjemahkan teks-teks tersebut ke dalam bahasa Ibrani. Ketika
dinasti al-Muwaḥḥidūn yang berkuasa di Maroko dan Andalusia
melarang dan membakar hampir seluruh buku Ibn Rushd yang ada,
bangsa Yahudi-lah yang menyelamatkan teks-teks tersebut dalam
terjemahan Ibrani yang mereka simpan. Melalui terjemahan teks Arab
dalam bahasa Ibrani, mereka mampu mentransmisikan teks-teks
tersebut ke dunia Latin. Dengan demikian, mereka turut membidani
zaman keemasan intelektual Arab dan pada gilirannya, Eropa. Selain
bangsa Yahudi, para penganut Kristen Timur juga turut berperan aktif.
Hunayn b. Isḥāq pernah menjabat sebagai direktur Bayt al-Ḥikmah dan
menggariskan metode penerjemahan untuk institusi tersebut. Begitu
juga al-Bitriq dan anaknya Yaḥyā, penerjemah andalan Bayt al-Ḥikmah
yang keduanya adalah penganut gereja Melkite. Rahib Zoroaster
Bahram b. Mardan Shah juga turut serta menerjemahkan karya-karya
Pahlavi ke dalam bahasa Arab (Ibn al-Nadīm 1970: 589). Sepertinya
keberbedaan tersebut tidak menimbulkan masalah. Bukankah pada
akhirnya ḥikmah adalah milik semua anak manusia?
Ciputat School | 11
XII
Mungkin lebih tepat melihat institusi Bayt al-Ḥikmah sebagai
kontinuitas dari proses penerjemahan yang telah lama berkembang di
Timur Tengah. Seperti hubungan antara kisah Luqmān, Ahiqar, Balʿam,
dan Aesop, proyek penyatuan kembali ḥikmah yang tercecer telah
dilakukan oleh aktor-aktor dari kultur dan peradaban yang berbeda.
Sebelum keberadaan Bayt al-Ḥikmah, penerjemahan karya-karya lintas
budaya, agama dan peradaban telah terjadi dalam pelbagai bahasa:
Syriac dan Aramaic di semenanjung Arabia bagian barat, Pahlavi di
Persia dan kawasan Imperium Sassania, Koptik di Mesir, Berber di
Afrika Utara, Ḥimyar di Yaman, Yunani di kawasan imperium
Byzantium, dan Ibrani di kalangan bangsa Yahudi.
Yang baru di masa kejayaan imperium Islam adalah justru keberadaan
bahasa Arab sebagai lingua franca yang meliputi pelbagai kawasan
tersebut. Sebelum Islam, tentu sudah ada beberapa bangsa Arab yang
mahir dalam bahasa ibu mereka dan bahasa Aramaic, seperti Banū
Ghassān, sebuah suku Arab yang mengadopsi agama Kristiani dan
menjadi ponggawa Imperium Byzantium. Oleh karena itu, di awal
kekuasaan imperium Umayyah, mereka menjadi penerjemah kerajaan
(Osman 2011: 109). Di Ḥijāz-pun sudah ada beberapa individu yang
menguasai bahasa lain, seperti Syriac. Ibn Saʿd misalnya menulis
bahwa salah satu sahabat Nabi, ʿAbdallāh b. ʿAmr mahir berbahasa
Syriac (Ibn Saʿd 1978: vol. 4, 266). Tetapi yang membawa perubahan
besar di tingkat linguistik di kawasan Timur Tengah adalah perluasan
wilayah imperium Islam, reformasi birokrasi, dan adopsi bahasa Arab
sebagai bahasa wajib yang dicanangkan oleh penguasa imperium
Umayyah, ʿAbd al-Malik b. Marwān. Meluasnya imperium Islam dari
Afghanistan, dan Persia di timur ke Andalusia di barat membawa serta
perluasan ranah linguistik bahasa Arab. Bahasa-bahasa yang
sebelumnya mendominasi pelbagai wilayah tersebut kemudia menjadi
bahasa substratum. Tidak heran jika kemudian muncul terminologi
mustaʿribah yang menunjuk kepada orang-orang non-Arab yang telah
mengadopsi bahasa dan kultur Arab.
Keberadaan bahasa Arab sebagai lingua franca membuka ruang
epistemik yang luas, mencakup bahasa-bahasa dan peradaban yang
berbeda. Kontribusi Bayt al-Ḥikmah justru terletak pada upaya
penerjemahan dan pengumpulan ḥikmah yang terserak di pelbagai
kultur tersebut dalam sebuah kesatuan besar. Keberadaan sebuah
bahasa yang digunakan oleh pelbagai ragam peradaban
Ciputat School | 12
memungkinkan percepatan dan intensifikasi pengumpulan dan
pembangunan kembali ḥikmah, serta penjagaannya. Tanpa
menghancurkan keberadaan peradaban-peradaban tersebut, bahasa
Arab justru menjadi ranah penyimpanan kearifan-kearifan milik
peradaban berbeda. Penyatuan ḥikmah yang terjadi dalam proyek Bayt
al-Ḥikmah sepertinya tidak kemudian meleburkan dan menghilangkan
keragaman yang tersimpan dalam konteks dan peradaban partikulir.
Bahkan, Bayt al-Ḥikmah juga mengundang ahli-ahli ḥikmah dari
pelbagai peradaban untuk datang dan berdiskusi di Baghdad. Misalnya,
pada paruh kedua abad ke-8, sebuah delegasi ahli Astronomi India
datang dan tinggal beberapa lama di Baghdad. Leon, guru dari Kaisar
Byzantium Theopilos juga pernah diundang oleh al-Maʿmūn.
Sekembalinya ke Konstantinopel, Leon menceritakan pengalamannya
pada sang Kaisar yang kemudian memutuskan untuk membuka sebuah
sekolah filsafat di ibu kota kekaisaran (Abattouy, Renn & Weinig 2001:
2).
XIII
Penyatuan ḥikmah tidak hanya berkisar pada upaya penyelamatan
dan penerjemahan yang telah ada. Bagian integral ḥikmah adalah
membangun kembali struktur ilmu pengetahuan sehingga tampak jelas
relasi antar ilmu dan manfaatnya. Para sarjana yang terlibat secara
langsung di Bayt al-Ḥikmah ataupun yang tidak, turut serta dalam
upaya penyusunan ulang ḥikmah. Al-Fārābī misalnya, menulis sebuah
buku bertajuk iḥsāʾ al-ʿulūm yang berisi klasifikasi ilmu pengetahuan.
Melalui karya tersebut dan karya-karya sejenis, kita dapat mempelajari
klasifikasi ḥikmah dan ilmu-ilmu yang diliputinya. Karya al-Fārābī
tersebut di kemudian hari di terjemahkan oleh Gerard of Cremona di
Toledo dan menjadi basis dari karya klasifikasi ilmu Dominicus
Gundissalinus yang berjudul De Divisione Philosophiae. Karya yang
ditulis pada abad ke-12 itu kemudian menjadi dasar pencanangan
kurikulum Quadrivium yang digunakan di akademi di seluruh Eropa
pada zaman Renaissance (Burnett 2001).
Selain upaya pembangunan rumah untuk memposisikan ragam ilmu
dalam konstelasi yang bermanfaat, para sarjana yang terlibat di Bayt
al-Ḥikmah juga turut serta membidani lahirnya disiplin ilmu baru. Para
cendikia Yunani kuno dahulu hanya memiliki sebatas ilmu mekanik.
Namun ketika karya-karya mekanik diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, misalnya karya Archimides, para sarjana kemudian membangun
dari serpihan-serpihan tersebut sebuah disiplin ilmu baru yang mereka
Ciputat School | 13
sebut ilmu berat (ʿilm al-athqāl). Saat teks-teks ilmu berat-- misalnya
Kitāb fī al-qarastūn, yang ditulis oleh Thābit ibn Qurra-- di terjemahkan
ke bahasa Latin, muncullah disiplin ilmu serupa di Barat yang disebut
scientia de ponderibus. Di tangan para sarjana Eropa, ilmu yang
sebelumnya hanya berkaitan dengan hal-hal praktis kemudian menjadi
lebih teoritis dan terus dikembangkan hingga melahirkan konsep
grafitasi posisional (gravitas secundum situm) yang berdampak besar
pada perkembangan ilmu tehnik di Eropa moderen (Abattouy 2008:
105-6).
Contoh ini menunjukkan bahwa penerjemahan yang baik juga
merupakan proses transformasi. Serpihan-serpihan ḥikmah yang
sebelumnya tercecer dikumpulkan dan dikembangkan dalam sebuah
rumah yang telah disiapkan. Setelah melalui proses pengendapan dan
sintesa dengan serpihan-serpihan yang lain, akhirnya terbentuklah
sebuah bangunan ilmiah baru milik sendiri. ʿIlm al-athqāl memang
berdasar pada ḥikmah Yunani kuno. Namun ilmu tersebut tidak lagi
miliki peradaban Yunani. Ia adalah sebuah sintesa yang muncul dalam
ranah interkultural, diantara pilar-pilar peradaban yang berbeda.
Tanpa menafikan keragaman sumber, penerjemahan membentuk
sesuatu yang baru. Penerjemahan yang berhasil tidak hanya melepas
gema pada ruang-ruang bahasa dan peradaban yang menerima.
Bukankah gema (echo) hanyalah refleksi suara dengan amplituda
melemah? Penerjemahan yang baik mungkin lebih mirip dengan gaung
(reverberation). Berbeda dengan gema, gaung adalah fenomena
akustik dimana refleksi suara yang banyak sampai kepada telinga
pendengar, hingga ia tidak lagi bisa membedakan antar suara.
Ketimbang melemah, terkadang gelombang gaung dapat menguat jika
berada dalam ruangan yang secara akustik kondusif. Sepertinya, Bayt
al-Ḥikmah dipersiapkan sebagai ruang akustik yang baik. Salah satu
cara mempersiapkan ruang akustik adalah dengan mempersiapkan
bahasa tujuan penerjemahan guna mampu menampung terminologi
dan makna yang diterjemahkan. Tak heran jika salah seorang penggiat
Bayt al-Ḥikmah, Abū Yūsuf al-Kindī (m. 873) dan kelompoknya menulis
sebuah glossarium sistematik yang mendefinisikan kata-kata kunci
ilmu ḥikmah dalam bahasa Arab (Osman 2011: 120). Ia mencoba
mempersiapkan bahasa Arab sebagai ruang akustik yang kondusif
sehingga karya-karya yang diterjemahkan dapat menghasilkan gaung.
Ciputat School | 14
XIV
Dalam paralipomena Theses on the Philsophy of History, Walter
Benjamin menulis sebagai berikut:
The messianic world is the world of universal and integral actuality.
Only in the messianic realm does a universal history exist. Not as
written history, but as festively enacted history. This festival is
purified of all celebration. There are no festive songs. Its language is
liberated prose-- prose which has burst the fetters of script. The
multiplicity of “histories” is closely related, to the multiplicity of
languages. (Benjamin [1940] 2004: vol. 4, 404)
Apa sesungguhnya yang dimaksudkan Benjamin dalam tulisan
tersebut? Tentu dapat dipahami bahwasannya Benjamin menulis
Theses on the Philosophy of History guna menunjukkan kekesalannya
terhadap struktur temporalitas modernitas yang berambisi
menyatukan keragaman dalam sebuah kesatuan mutlak dan seragam.
Waktu tak lagi majemuk. Waktu hanyalah sebuah garus lurus yang
menghubungkan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Waktu
tak lagi dipenuhi dinamikanya sendiri, tetapi harus puas dengan
menjadi ruang kosong di mana drama sejarah manusia digelar. Waktu
yang hampa dan homogen. Sebagai ruang, waktu modernitas hanya
mengenal satu tujuan yang kemudian dinarasikan oleh para filsuf
moderen baik penganut Liberalisme, Marxisme, dll. Tetapi mereka
serupa dalam mengasumsikan keberadaan waktu yang tunggal dan
berjalan lurus, hingga seluruh umat manusia tampaknya harus
mengikuti alur yang sudah ditetapkan. Bangsa Eropa telah berjalan
lebih dulu, dan bangsa lain harus mengikuti alur tersebut walau
terlunta-lunta. Inilah historisisme, pandangan yang menganggap
ummat manusia berkembang mengikuti jalur yang tunggal. Sehingga
masa lalu dengan mudah dibuang dan dianggap sebagai hambatan
kemajuan.
Benjamin menolak continuum perkembangan dan kemajuan tersebut.
Menurutnya modernitas menutup kemungkinan-kemungkinan
alternatif, impian akan masa depan yang berbeda, dan perkembangan
intelektual yang beragam. Jika semua bergerak menuju satu titik
tertentu, maka kemungkinan perkembangan ke arah yang lain dengan
sendirinya terbengkalai. Tugas kita, menurut Benjamin adalah
meluluh-lantahkan continuum waktu tunggal dengan memperlihatkan
kehadiran masa lalu di sekarangnya masa kini. (now of the present).
Ciputat School | 15
Proyek demikian hanya mampu dilakukan jika kita dapat mengenali
kehadiran masa lalu di masa kini, karena kehadiran kembali yang telah
terbuang dan tersisihkan justru menunjukkan kegagalan proyek
modernitas. Maka segala bentuk pendakuan universalitas modernitas
dengan sendirinya tidak dapat diterima. Bukankah yang universal
dalam modernitas hanyalah sebuah partikularitas yang diangkat
sebagai universalitas? Dan kemudian segala partikularitas yang
berbeda dipaksakan untuk berubah dan masuk ke dalam universalitas
palsu tersebut.
Dalam kutipan dari paralipomena di atas, Benjamin sepertinya
memposisikan universalitas sebagai sebuah ide yang hanya mungkin
tercapai dan terbentuk pada saat mesianik. Artinya, universalitas
adalah hasil dari tikkun, saat dimana yang berserakan telah kembali
menyatu dan membentuk keutuhan. Universalitas tak dapat ditemukan
dalam sejarah, karena sejarah adalah ruang multiplisitas, seiring
dengan keberadaan multiplisitas bahasa.
Dalam pandangan Kabalah, yang sangat mempengaruhi pemikiran
Benjamin, pada awalnya hanya ada satu bahasa. Bahasa asli yang
murni. Namun, bahasa tersebut tak dapat menyebutkan Nama Tuhan.
Ketidakmampuan tersebut akhirnya melahirkan banyak diskursus dan
deskripsi tentang Nama Tuhan, tanpa dapat menyebutnya. Dari
kegagalan inilah muncul multiplisitas bahasa. Bahasa mengalami
ketegangan dan tiap-tiap bahasa berkembang secara internal dalam
upaya tuk menyebut Nama-Nya (Agamben 1999: 52-4). Namun bahasa
justru akan mampu menyebut Nama-Nya ketika ia terbebaskan dari
partikularitasnya. Ketika bahasa tak lagi berkata-kata, Ia menjadi saksi
keagungan-Nya. Sebuah festival tanpa nada, nyanyian tanpa melodi,
bahasa tanpa komunikasi dan prosa. Yang tinggal hanya kesaksian bisu
atas kesucian-Nya.
XV
Sepertinya ada kemiripan antara pandangan Benjamin dengan proyek
Bayt al-Ḥikmah. Ḥikmah adalah anugerah yang Maha Suci, namun tak
dapat dilukiskan bahasa secara keseluruhan. Setiap bahasa menerima
ceceran ḥikmah yang dengan sendirinya terimplikasi oleh
partikularitas kultur dan peradaban tersebut. Penerjemahan adalah
upaya mengumpulkan kembali puing-puing ḥikmah yang berserakan,
memisahkan yang partikulir dari yang universal dalam upaya
membangun kembali ḥikmah. Namun dalam proses menyusun kembali
Ciputat School | 16
ḥikmah, setiap pecahan harus mampu merekat. Sisi-sisi setiap pecahan
yang akan direkatkan harus memiliki kemiripan dan kesamaan,
padahal ḥikmah telah tercecer dalam keragaman partikularitas. Disini
letak pentingnya upaya penerjemah untuk merekatkan pecahan demi
pecahan secara detil. Bukankah penerjemahan yang baik juga
memerlukan ḥikmah? Penerjemahan yang baik, seperti ditulis
Benjamin dalam The Task of the Translator, adalah penerjemahan yang
tidak mereproduksi aslinya, tetapi justru mencari keharmonisan.
Penerjemahan adalah upaya mencari suplemen yang saling
memperkaya:
A real translation is transparent; it does not cover the original, does
not block its light, but allows the pure language, as though reinforced
by its own medium, to shine upon the original all the more fully
(Benjamin [1921] 2004: vol. 1, 260).
Penerjemahan adalah gaung yang bergemuruh baik di dalam bahasa
asli dan bahasa terjemahannya dan memperkaya keduanya. Dalam
proses tersebut, pecahan ḥikmah yang sebelumnya tersimpan dalam
sebuah peradaban, dibentuk ulang sehingga sesuai dengan sisi-sisi lain
yang telah tersimpan dalam peradabaan penerima, sehingga
memungkinkan proses perekatan. Toh tidak ada yang salah dari upaya
pengubahan serpihan tersebut, karena pada akhirnya ia milik semua
peradaban. Di saat yang sama, pecahan ḥikmah yang telah
diterjemahkan dan beralih peradaban justru dapat memperkaya
aslinya.
Pada akhirnya, segala upaya penyusunan kembali ḥikmah yang benarbenar universal tidak akan mungkin berhasil. Mereka yang berafilias
dengan Bayt al-Ḥikmah juga tampaknya tidak pernah mencoba tuk
memaksakkan bangunan ḥikmah yang mereka susun pada peradaban
lain. Justru kultur lain mendapatkan manfaat dari bangunan tersebut
dalam upaya membangun bangunan mereka sendiri. Setiap upaya
penyusunan bangunan ḥikmah hanya bersifat provisional/sementara.
Bahasa manusia akan selalu terbelenggu pada partikularitas peradaban
dan kebudayaan. Setiap universalitas yang dibangun manusia akan
selalu tercermahr(tainted) dengan partikularitas (Butler, Laclau, Zizek
2000). Bukankah universalitas ḥikmah pada akhirnya adalah milik
Yang Maha Bijaksana?
Ciputat School | 17
XVI
Proses penyatuan dan pembangunan kembali ḥikmah berlangsung di
beberapa peradaban yang berbeda. Sebelum era moderen, tampaknya
tak ada ambisi menyeragamkan bentuk bangunan. Setiap bangunan
ḥikmah adalah mishkan sementara, sebelum kelak bentuk universal
ḥikmah dapat terbentuk dalam masa yang terbebas dari waktu dan
tempat yang tak membentuk ruang. Sementara yang ada hanya
keragaman yang membuka kemungkinan masa depan yang berbeda.
Waktu yang majemuk mengarus perjalanan sejarah dan perkembangan
peradaban tanpa ketunggalan.
XVII
Musim Panas, 1864. W.A.P. Martin akhirnya menyelesaikan
penerjemahan buku induk hukum internasional ke dalam bahasa Cina.
Setelah sekian lama, akhirnya para diplomat Cina dapat turut
menikmati Elements of International Law dengan harapan mereka
dapat memahami politik internasional. Martin membawa terjemahan
yang dalam bahasa Cina berjudul Wanguo Gongfa kepada Pangeran
Gong. Sang pangeran adalah motor utama di balik pemerintahan
kekaisaran dan mendapatkan stempelnya sangat penting untuk
keberadaan karya terjemahan tersebut. Setelah selesai membacanya,
sang Pangeran bergumam:
Membaca buku ini, Aku mengetahui bahwa isinya secara garis besar
berkaitan dengan persekutuan, hukum peperangan, dll. Buku ini membahas
hukum pecah perang dan check and balance antar negara. Kata-kata dan
kalimatnya sangat membingungkan dan tak terstruktur; Kami tidak bisa
memahaminya kecuali jika dijelaskan secara langsung (dikutip dalam Liu
2004: 125).
Sebenarnya permasalahan komprehensi yang dihadapi Pangeran Gong
bukan hanya soal bentuk dan gaya penerjemahan. Kesulitan Pangeran
Gong memahami buku tersebut karena bentuk penerjemahan Martin
sudah dari awalnya mengandaikan keberadaan hukum internasional
yang universal, padahal hukum tersebut tidak lain adalah hukum yang
berkembang dalam tradisi Eropa. Sedangkan kekaisaran Cina telah
terbiasa dengan tradisi hukumnya sendiri. Pada saat konstruk
globalisme tersebut disuguhkan kepada Sang Pangeran, tentu ia
merasa sulit tuk memahaminya. Martin harus memperkenalkan
sederetan kata dan konsep baru dalam bahasa Cina untuk
Ciputat School | 18
menerjemahkan konsep yang sebelumnya tidak ada di dalam imajinasi
hukum kekaisaran. Bentuk terjemahan demikian hanyalah
mereproduksi karya aslinya dan berharap orang-orang dalam kultur
dan peradaban yang berbeda secara radikal dapat mengadopsinya.
Penerjemahan satu arah bak gema yang mengharuskan suara asli
terdengar di tujuan penerjemahan. Baru setelah beberapa generasi,
para intelektual dan diplomat Cina mampu memahami terjemahan
Martin secara baik. Mungkin karena mereka telah masuk ke dalam
jalur universalitas moderen, sehingga dibutuhkan sebuah hukum
internasional yang seragam. Buku terjemahan Martin menandai babak
penting dalam perkembangan modernitas, pembentukan imaji
globalisme berdasarkan keseragaman hukum. Yang enggan
mengadopsinya dipersilahkan mengambil tempat dalam tong sampah
sejarah.
XVIII
Modernitas mengasumsikan keberadaan sebuah waktu yang tunggal
dan hampa. Waktu bagaikan ruang dimana segala yang berwujud
dalam semesta menempati posisinya masing-masing. Tak ada lagi imaji
waktu yang majemuk seperti yang ditorehkan oleh Aristotles (time=
matter : motion) dan disaksikan oleh al-Qurʿān (wa kullun fī falakin
yasbaḥūn, Q.S. 36:40). Mungkin saja dalam struktur modernitas
sesuatu berjalan lebih cepat atau lebih lambat dari lainnya, tetapi itu
hanya masalah kecepatan. Sejarah, sebagai disiplin ilmu menjadi
sahabat fisika Newtonian dalam menyeragamkan waktu. Semua drama
kehidupan manusia terjadi dalam sebuah ruang waktu yang sepertinya
terbebas dari segala sesuatu. Waktu yang natural. Waktu yang
mempengaruhi semesta tanpa dapat dipengaruhi. Keberadaan waktu
yang demikian inilah yang memungkinkan imaji universalitas. Kita
semua secara natural berada dalam ruang waktu yang sama. Tak peduli
jika beberapa suku atau peradaban tidak memiliki pemahaman waktu
yang kronologis tersebut. Mereka akhirnya hanya disebut sebagai
kaum yang tak memiliki sejarah. Waktu, dengan demikian, menjadi
sebuah kategori universal yang memungkinkan kebersamaan dan
kesatuan perjalanan (Chakrabarty 2000: 74). Kita semua berkembang
dan maju ke satu arah yang titik akhirnya belum jelas. Bangsa-bangsa
bekas jajahan harus merayap mengejar ketertinggalan mereka.
Tentu teori fisika Einstein sudah menolak keberadaan waktu universal
yang demikian. Tetapi sayangnya, di luar dunia fisika, kita masih saja
membela keberadaan universalitas tersebut. Konstruk universal yang
Ciputat School | 19
sesungguhnya berasal dari sebuah partikularitas namun dipaksakan
tuk memediasi kehidupan seluruh manusia. Pandangan universalitas
tersebut tampaknya beroperasi pada logika penerjemahan moderen,
sesuatu yang tidak kita dapati dalam sejarah Bayt al-Ḥikmah. Dalam
penerjemahan moderen misalnya, kata ‘air’ dalam bahasa Indonesia
dapat diterjemahkan ‘water’ dalam bahasa Inggris, atau ‘pani‘ dalam
bahasa Hindi. Yang memungkinkan kesamaan makna ketiga kata
tersebut adalah karena keberadaan bahasa/konsep yang lebih tinggi:
H2O. Dalam hal ini, H2O menjadi mediasi universal dan struktur
generalisasi (tentu juga aspirasi dan pretensi sebagai science) yang
memfasilitasi dialog dan komunikasi antar partikular berbeda.
Hasilnya, segala partikularitas simbol, sejarah, dan makna ‘pani‘ dan
‘air‘ harus hilang terlebih dahulu sebelum keduanya dapat
diterjemahkan. Pani dan air harus terlebih dahulu tercerabut dari akar
budayanya dan menjadi H2O untuk melangsungkan komunikasi dan
penerjemahan.
Salah satu kontribusi besar Karl Marx sepertinya adalah menarik
perhatian kita pada masalah mediasi universal dalam modernitas. Saat
Marx berbicara tentang komoditas, sesungguhnya dia sedang berbicara
problem ini. Dalam German Ideology Marx membahas komoditas
sebagai mediasi yang memungkinkan sejarah global. Sebelum masa
moderen, tebu, cengkeh, gandum, dan kopra misalnya adalah empat hal
yang partikulir dan berbeda. Namun dengan keberadaan sistem
kapitalisme, keempat tanaman yang berbeda itu tercerabut dari akar
partikularitasnya dan menjadi komoditas. Keberadaan mediasi
universal tersebut memungkinkan hubungan keterkaitan dan
penerjemahan (melalui mediasi uang) (Marx 1998: 57-9, 81, 95-6).
Keterkaitan inilah yang kemudian melahirkan sejarah global.
XIX
Penerjemahan moderen serupa dengan relasi ekonomi kapitalisme
yang memerlukan mediasi uang untuk menerjemahkan kopra menjadi
tebu. Proyek penerjemahan Bayt al-Ḥikmah sepertinya cenderung
lebih menyerupai barter.
XX
Bayt al-Ḥikmah mengingatkan kita pada sebuah mode penerjemahan
yang telah terlupakan dalam konteks modernitas. Ia mengingatkan
Ciputat School | 20
pentingnya kreatifitas dalam proses penerjemahan tanpa
mengasumsikan mediasi universal. Ḥikmah tercecer di mana-mana. Ia
terserak di balik peradaban dan kebudayaan berbeda. Jika saja Martin
mendengarkan ceramah Pangeran Gong tentang hukum internasional
dan menginkorporasi filsafat hukum Cina ke dalam bukunya, mungkin
Wanguo Gongfa akan lebih berkualitas dan mudah dipahami. Ḥikmah
yang berserakan tak akan dapat dikenali jika kita telah terlebih dahulu
memiliki asumsi universalitas. Ḥikmah justru terlihat pada saat mata
memandang secara awas hamparan semesta, mencoba menyaksikan
peradaban dan kultur yang berbeda secara radikal dengan kita apa
adanya. Saat mencari, tampaknya kacamata kultur diri harus
ditanggalkan terlebih dahulu. Tetapi ini bukan berarti importasi besarbesaran tanpa penyaring. Justru momen penerjemahan adalah saat
pembentukan ulang serpihan ḥikmah agar mampu bersinergi dan
merekat dengan serpihan yang telah ada dalam kultur diri sehingga
mampu membangun mishkan yang kokoh. Bangunan tersebut adalah
instansiasi dari universalitas ḥikmah. Namun, sebagai instansiasi ia
akan selamanya tercemar dengan partikularitas. Biarkan saja ragam
bangunan ḥikmah muncul dan meninggi di pelbagai tempat. Bukankah
pada akhirnya ḥikmah adalah miliki bersama? Namun, seperti Luqmān
yang mampu melintas batas formasi linguistik dan kultur,
bermetamorfosa menjadi Ahiqar, Balʿam dan Aesop, ḥikmah adalah
univeralitas yang selamanya terperangkap dalam partikularitas.
Saat anak cucu Yaʿqūb masih mengembara di tengah gurun pasir,
mengarungi deru ombak, mendaki perbukitan dan merayap di balik
ngarai, Tuhan mengabulkan doa sang Nabi yang dahulu menangis di
hadapan bangunan kuno itu. Tangis bayi menandakan lahirnya seorang
yang akan memulai proyek penyusunan ḥikmah. Ia lahir di sebuah kota
padang pasir yang tanahnya dahulu pernah dibasahi oleh tangis
kehausan leluhurnya ketika bayi.
---------------
Ciputat School | 21
Bibliography
Abattouy, Mohammed, Renn, Jurgen, Weinig, Paul. “Transmission as
Transformation: The Translation Movements in the Medieval East and West in a
Comparative Perspective.” Science in Context, 14, 1-2 (2001): 1-12.
Abbatouy, Mohammed. “The Arabic Science of Weights (ʿilm al-athqāl): Textual
Tradition and Significance in the History of Mechanics.” In A Shared legacy: Islamic
Science East and West. Barcelona: Universitat de Barcelona, 2008.
Agamben, Giorgio. Potentialities: Collected Essays in Philosophy. Stanford: Stanford
University Press, 1999.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib al-Attas. Prolegomena to the Metaphysics of Islam:
An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur:
ISTAC, 2001.
al-Ghazālī, Abū Ḥāmid Muḥammad. Tahāfut al-Falāsifah, edited by Michael E.
Marmura. Provo, Brigham Young University Press, 1997.
al-Jurjānī, ʿAlī b. Muḥammad. Kitāb al-Taʿrifāt. Cairo: Dār al-Irshād, 1991.
al-Thaʿlabī, Aḥmad b. Muḥammad. Kitāb Qiṣaṣ al-Anbiyāʾ, al-Musammā bi-l-ʿArāʾis.
Būlāq: al-Maṭbaʿah al-Miṣrīyyah, 1869.
Alfonsi, Petrus. Disciplina Cleracallis, translated byWilliam Henry Hulme. Cleveland:
Western Reserve University, 1919.
Benjamin, Walter. Selected Writings, vol 1: 1913-1926, edited by Marcus Bullock &
Michael W. Jennings. Cambridge, Mass: Belknap Press of Harvard University Press,
2004.
Benjamin, Walter. Selected Writings, vol 4: 1938-1940, edited by Eiland Howard &
Michael W. Jennings. Cambridge, Mass: Belknap Press of Harvard University Press,
2006.
Burnett, Charles. “The Coherence of the Arabic-Latin Translation Program in Toledo
in the Twelfth Century.” Science in Context, 14, 1-2 (2001): 249-288.
Butler, Judith, Laclau, Ernest and Zizek, Slavoj. Contingency, Hegemony, Universality:
Contemporary Dialogues on the Left. London: Verso, 2000.
Chakrabarty, Dipesh. Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical
Difference. Princeton: Princeton University Press, 2000.
Eberhard, Alfredi. Fabulae Romanenses Graece Conscriptae. Charleston:
BiblioBazaar, [1872] 2009.
Ciputat School | 22
Ferre, Lola. “The Jewish Contribution to the Transmission of the Classical Legacy.”
European Review, 20, 4 (2012): 552-526.
Harris, J. Rendel. The Story of Aḥikar from the Syriac, Arabic, Armenian, Ethiopian,
Greek, and Slavonic Versions. London: C.J. Clay and Sons, 1898.
Ibn al-Nadīm, Muḥammad b. Isḥāq. The Fihrist of al-Nadīm: A Tenth Century Survey of
Muslim Culture, translated by Bayard Dodge. New York: Columbia University Press,
1970.
Ibn Khaldūn, ʿAbd al-Raḥmān. The Muqaddimah: An Introduction to History,
translated by Franz Rosenthal. Princeton: Princeton University Press, 1967.
Ibn Saʿd, Muḥammad. Kitāb al-Ṭabaqāt al-Kubrā. Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah,
1978.
Lane, Edward William. An Arabic-English Lexicon. London: Williams and Norgate,
1863.
Liu, Lydia. The Clash of Empire: The Invention of China in Modern World Making.
Cambridge, Mass: Harvard University Press, 2004.
Marx, Karl & Engels, Friedrich. The German Ideology. Amherst: Prometheus Books,
1998.
Osman, Ghada. “Translation and Interpreting in the Arabic of the Middle Ages:
Lessons in Contextualization.” The International Journal of the Sociology of
Language, 207 (2011): 107-125,
Plutarch. Moralia, vol. II, translated by Frank Cole Babbitt. London: William
Heinemann, 1922.
Scholem, Gershom. On the Kabbalah and Its Symbolism. New York: Knopf Doubleday,
[1965] 1996.
Ciputat School | 23
Download