Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi

advertisement
44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Perekonomian Indonesia
Menurut Laporan Perekonomian Indonesia dari Bank Indonesia (20032007) perekonomian ekonomi Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 mengalami
pasang surut. Di tinjau dari PDB per kapita, selalu terjadi kenaikan pada kurun
waktu tersebut. Pada tahun 2003 pertumbuhan ekonomi yang mencapai 4,7 persen
masih belum memadai untuk menyerap tambahan tenaga kerja sehingga
pengangguran malah mengalami peningkatan yang semula di tahun 2002 sebesar
9,1 persen, pada tahun 2003 meningkat menjadi 9,5 persen. Kondisi ini antara lain
disebabkan oleh masih banyaknya permasalahan struktural yang belum
terselesaikan, dampak negatif tragedi bom di Bali, dan perekonomian dunia yang
masih lesu, terutama pada tengah tahun pertama.
Kinerja perekonomian pada tahun 2004 secara umum menunjukkan
perbaikan dari tahun 2003. Pertumbuhan ekonomi meningkat hingga mencapai 5
persen, inflasi IHK terkendali, nilai tukar rupiah relatif stabil, dan suku bunga
masih
cenderung
menurun.
perbaikan
ini didukung
oleh
kondusifnya
perekonomian global, optimisme pelaku usaha terhadap membaiknya kondisi
perekonomian secara fundamental dan stabilnya kondisi makroekonomi.
Walaupun demikian, jika dilihat dari sisi ketenagakerjaan, pertumbuhan ekonomi
yang terjadi belum juga memadai untuk meningkatkan penyerapan angkatan kerja
tambahan sehingga tingkat pengangguran relatif tidak berubah.
45
Perekonomian Indonesia pada tahun 2005 tumbuh sebesar 5,7 persen,
lebih tinggi dibandingkan tahun 2004 sebesar 5 persen. Penyebab utama
peningkatan ini karena ditopang oleh pertumbuhan permintaan domestik yang
relatif tinggi. Dari sisi permintaan, kegiatan ekonomi didukung oleh peningkatan
pertumbuhan permintaan domestik yang dibarengi dengan penurunan impor yang
tajam. Dilihat secara sektoral, pertumbuhan disumbang oleh sektor perdagangan
dan sektor industri pengolahan. Meskipun secara keseluruhan meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya, realisasi pertumbuhan tersebut masih di bawah
perkiraan semula dan cenderung melambat seiring dengan meningkatnya tekanan
terhadap kestabilan makroekonomi. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
akibat tingginya harga minyak dunia dan berlanjutnya siklus pengetatan moneter
global menimbulkan tekanan yang kuat terhadap kondisi fiskal dan neraca
pembayaran akibat pola ekspansi perekonomian yang relatif masih rentan. Seiring
dengan kondisi tersebut, tambahan angkatan kerja baru tidak sepenuhnya mampu
terserap bahkan tingkat pengangguran meningkat dan distribusi pendapatan
semakin timpang (LPI, 2004-2005).
Di tengah berlangsungnya penyesuaian ketidakseimbangan perekonomian
global dan menurunnya daya beli masyarakat pasca kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) bulan Oktober 2005, pertumbuhan PDB pada tahun 2006
mengalami penurunan sebesar 0,2 persen dari 5,7 persen pada tahun 2005 menjadi
5,5 persen di tahun 2006. Walaupun demikian, perekonomian Indonesia tahun
2006 secara gradual mengalami perbaikan. Tingkat inflasi yang pada awal 2006
sangat tinggi berangsur menurun mencapai 6,7 persen, atau berada di bawah
46
sasaran, dan nilai tukar rupiah bergerak stabil dengan kecenderungan menguat.
Terjaganya kestabilan makroekonomi pada gilirannya memberikan ruang bagi
perekonomian untuk tumbuh dengan tren membaik sehingga untuk keseluruhan
tahun 2006 mencapai 5,5 persen. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari peran
kebijakan moneter dan fiskal yang konsisten dan berhati- hati sehingga mampu
menyeimbangkan upaya menjaga kestabilan makro dan mendorong pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan yang dicapai terutama bertumpu pada peningkatan
konsumsi dan ekspor, sedangkan investasi masih tumbuh melambat mengingat
penyelesaian beberapa persoalan struktural belum sesuai harapan. Kondisi
demikian menyebabkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 belum dibarengi
perbaikan yang berarti dari sisi penyerapan angkatan kerja dan peningkatan
kualitas kesejahteraan masyarakat (LPI, 2005-2006).
Pada tahun 2007 untuk pertama kali sejak krisis, pertumbuhan ekonomi
Indonesia berada di atas angka 6 persen dengan stabilitas yang tetap terjaga
dengan baik. Tingginya harga komoditas internasional, terutama harga minyak
mentah, dan merambatnya krisis subprime mortgage adalah beberapa faktor yang
menorehkan tantangan dan ujian pada perekonomian Indonesia pada tahun 2007.
Dalam menghadapi deretan ujian tersebut, perekonomian Indonesia menunjukkan
ketahanan yang lebih baik dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Daya tahan
perekonomian Indonesia yang lebih baik tersebut antara lain disumbang oleh
kombinasi kebijakan makroekonomi dan sektoral yang ditempuh. Koordinasi
kebijakan antara kebijakan moneter dan fiskal berjalan semakin baik. Pemerintah
dan Bank Indonesia senantiasa bekerja sama dalam memberikan stimulus dan
47
menjaga stabilitas perekonomian. Di sisi moneter, respon kebijakan dilakukan
secara berhati- hati dan konsisten pada upaya pengendalian inflasi pada tingkat
yang semakin rendah dalam jangka
menengah-panjang. Di sisi fiskal,
kesinambungan keuangan pemerintah tetap dijaga dengan baik di tengah upaya
untuk mengendalikan harga komoditas strategis. Adapun di sisi sektoral,
pemerintah terus berupaya mendorong dan meningkatkan kualitas pertumbuhan
ekonomi
melalui
perbaikan
iklim
investasi,
percepatan
pembangunan
infrastruktur, pemberdayaan UMKM, serta penguatan dan reformasi sektor
keuangan.
Tabel 4.1 Kondisi Pe rekonomian Indonesia tahun 2003-2007
Rincian
2003
2004
2005
2006
2007
Pertumbuhan PDB (%)
Inflasi IHK (%)
Inflasi Inti (%)
Nilai Tukar (Rp/$) Rata-rata
Suku Bunga S BI (1 bulan)/BI Rate sejak juli 2005 (%)
4,7
5,1
6,9
8.572
8,31
5,0
6,4
6,7
8.940
7,43
5,7
17,11
9,75
9.713
12,75
5,5
6,60
6,03
9.167
9,75
6,3
6,59
6,39
9.140
8,00
3,9
0,6
5,9
1,6
5,0
14,7
13,5
26,7
4,0
10,9
16,6
17,8
3,2
2,5
9,4
8,6
5,0
9,2
8,0
8,9
3,8
-1,4
5,3
4,9
6,1
5,4
12,2
6,7
4,4
2,8
-4,5
6,4
5,3
7,5
5,7
13,4
7,7
5,4
2,7
3,2
4,6
6,3
7,5
8,3
12,8
6,7
5,2
3,4
1,7
4,6
5,8
8,3
6,4
14,4
5,5
6,2
3,5
2,0
4,7
10,4
8,6
8,5
14,4
8,0
6,6
9,5
17,4
9.574
1.116
9,4
16,7
10.506
1.167
10,8
16,0
12.700
1.321
10,3
17,7
15.000
1.663
9,1
16,6
17.600
1.947
PDB Menurut Pengeluaran (%)
Konsumsi
Pembentukan modal tetap domestik bruto
Ekspor barang dan jasa
Impor barang dan jasa
PDB Menurut Lapangan Usaha (%)
Pertanian
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
Bangunan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
Jasa-jasa
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
Tingkat Kemiskinan (%)
PDB per Kapita (ribu Rp)
PDB per Kapita (dolar AS )
Sumber: Badan Pusat Statistika dan Bank Indonesia
48
4.2. Gambaran Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia
Sebagian besar sektor usaha di Indonesia masih didominasi oleh sektor
usaha padat karya, sehingga perubahan tingkat pertumbuhan pada sektor-sektor
usaha tersebut akan mempengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja. Tingkat
penyerapan tenaga kerja Indonesia kurun waktu 2003 hingga 2007 mengalami
fluktuasi. Keadaan penyerapan tenaga kerja Indonesia untuk 20 propinsi pada
kurun waktu tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Penyerapan Tenaga Kerja di 20 Propinsi di Indonesia (dalam
jiwa)
Propinsi
2003
2004
2005
2006
2007
Sumatera Utara
1.465.593
1.773.927
1.751.030
1.882.016
2.050.513
Sumatera Barat
497.056
565.612
589.985
623.324
640.329
1.029.793
854.693
1.059.880
726.650
805.992
Jambi
232.935
307.492
315.526
301.593
381.440
Sumatera Selatan
521.829
656.790
752.303
801.770
989.847
Lampung
650.389
653.442
679.114
847.142
997.254
DKI Jakarta
2.283.554
2.380.620
2.375.381
2.560.650
2.415.567
Jawa B arat
6.201.653
6.645.128
6.577.337
7.328.658
7.311.318
Jawa Teng ah
5.509.490
5.775.428
6.046.565
5.883.113
6.253.794
563.095
622.557
667.576
721.780
778.359
Jawa Ti mur
6.094.301
6.324.730
6.900.973
7.081.787
6.935.697
Banten
1.458.120
1.504.268
1.416.737
1.728.347
1.646.802
Bali
660.446
706.130
804.424
787.012
794.562
Nusa Tenggara B arat
467.629
535.716
485.227
575.461
631.814
Kali mantan Barat
374.512
451.370
468.079
493.169
514.817
Kali mantan Tengah
126.253
157.653
145.758
243.445
279.307
Kali mantan Selatan
317.722
473.488
424.465
424.518
509.351
Kali mantan Ti mur
466.663
502.670
537.902
528.388
518.368
Sulawesi Utara
251.253
276.110
299.445
297.414
359.830
Papua
159.366
175.180
224.740
114.949
157.162
29.331.652
31.343.004
32.522.447
33.951.186
34.972.123
Riau
DI. Yog yakarta
Total
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) (2003-2007)
49
Berdasarkan data BPS (2003-2007), dari 20 propinsi yang diamati, secara
umum pada tahun 2003 hingga 2007 ada 13 propinsi yang sebagian besar
mengalami kenaikan penyerapan tenaga kerja yang stabil, yaitu Kalimantan
Tengah, Papua, Sulawesi Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, DI Yogyakarta,
Sumatera Selatan, Bali, dan Lampung. Walaupun pada tahun 2005 terjadi
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dapat berimplikasi pada
peningkatan biaya produksi tiap perusahaan sehingga memaksa beberapa
perusahaan melakukan PHK besar-besaran terhadap para pekerjanya, namun pada
beberapa propinsi yang telah disebutkan di atas justru terjadi peningkatan
penyerapan tenaga kerja. Hal ini bisa terjadi karena pada periode ini secara umum
sebagian besar sektor yang merupakan sektor unggulan di propinsi-propinsi
tersebut mengalami pertumbuhan positif.
Beberapa propinsi memang sempat terpengaruh oleh kenaikan harga BBM
sehingga berimplikasi pada penurunan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2005
dan sebagian kecil tahun 2006, namun segera mengalami recovery dan kembali
meningkat pada tahun 2007. Propinsi yang mengalami hal ini adalah Jawa Tengah
dan Papua.
Tingkat penyerapan tenaga kerja Riau berada sedikit di atas 13 propinsi
yang telah disebutkan di atas namun kenaikannya bersifat fluktuatif. Selanjutnya
berturut-turut diikuti Banten, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta. Sedangkan Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat tercatat merupakan propinsi yang paling
tinggi tingkat penyerapan tenaga kerjanya selama tahun 2003 hingga 2007.
50
Pada kurun waktu 2003-2007, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah mengalami fluktuasi penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi.
Riau mengalami penurunan pada tahun 2004 dan 2006. Walaupun pada tahun
2007 penyerapan tenaga kerja di Riau meningkat, namun tidak mampu melebihi
tingkat penyerapan tenaga kerja pada tahun 2003 dan 2005. Penurunan
penyerapan tenaga kerja Riau pada tahun 2004 disebabkan adanya perlambatan
pertumbuhan di sejumlah sektor sektor pertanian, sektor industri pengolahan, serta
sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan sehingga mengakibatkan menurunnya
jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor tersebut. Sedangkan penurunan
yang terjadi pada tahun 2006 disebabkan terjadi penurunan penyerapan tenaga
kerja hampir di seluruh sektor ekonomi. Hanya ada dua sektor yang penyerapan
tenaga kerjanya meningkat yaitu sektor pertanian dan sektor jasa-jasa.
Sumatera Utara secara umum mengalami kenaikan penyerapan tenaga
kerja yang relatif stabil dalam kurun waktu 2003 hingga 2007. Namun pada tahun
2005 penyerapan tenaga kerja sedikit menurun. Hal ini disebabkan menurunnya
pertumbuhan di sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor
industri pengolahan dan sektor jasa-jasa. Sementara pertumbuhan negatif terjadi
pada sektor listrik, gas dan air bersih.
Penyerapan tenaga kerja di Banten, dan DKI Jakarta pada tahun 2005 dan
2007 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan penyerapan tenaga
kerja di Banten pada tahun 2005 diperkirakan disebabkan oleh adanya
perlambatan pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan kenaikan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM) dan masih fluktuatifnya nilai tukar rupiah. Keduanya telah
51
menyebabkan biaya meningkat dan menurunnya daya beli. Sektor yang
penyerapan tenaga kerjanya mengalami penurunan pada saat itu adalah sektor
pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor bangunan,
sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa.
Pada tahun 2007 penurunan penyerapan tenaga kerja disebabkan oleh
perlambatan pertumbuhan di sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air, dan
sektor jasa-jasa. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah kenaikan
permintaan domestik
yang masih terbatas dan dapat dipenuhi dengan
meningkatkan penggunakan kapasitas yang sudah ada. Faktor lain adalah relatif
sedikitnya industri baru yang masuk, bahkan terdapat beberapa industri yang tutup
atau relokasi. Selain itu, pertumbuhan kinerja sektor listrik yang negatif diduga
juga menjadi penyebabnya. Hal ini disebabkan karena adanya bencana alam angin
putting beliung yang terjadi di Bulan Juli-Agustus sehingga mengakibatkan
kerusakan pada Gardu Induk (GI) Serang, GI Rangkas Bitung dan GI Menes yang
berperan sebagai penghantar listrik 70.000 volt sehingga aliran listrik di beberapa
wilayah di Banten terganggu (LPI, 2007).
Penurunan penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta pada tahun 2005
diperkirakan disebabkan oleh adanya kebijakan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) dan nilai tukar rupiah yang masih bersifat fluktuatif. Hal ini
mengakibatkan meningkatnya biaya dan menurunnya kemampuan daya beli
sehingga mengakibatkan lambatnya pertumbuhan investasi, dan pertumbuhan
hampir di seluruh sektor ekonomi kecuali sektor listrik. Sedangkan penurunan
yang terjadi pada tahun 2007 disebabkan oleh pertumbuhan sebagian besar sektor
52
terutama sektor industri yang relatif masih rendah, peningkatan permintaan
domestik dan pasar ekspor yang relatif terbatas. Di sisi lain, masalah ini juga
dipicu oleh masih lambatnya pertumbuhan di bidang investasi.
Di Jawa Barat, penurunan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2005 terjadi
di sektor pertanian, sektor listrik, air, gas, dan sektor keuangan, sewa dan jasa
perusahaan. Namun pada tahun 2006 terjadi lonjakan penyerapan tenaga kerja
yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar sektor ekonomi di Jawa
Barat pada tahun tersebut mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi antara lain
sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, air, dan gas,
sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor dan sektor jasajasa. Namun pada sektor perdagangan, hotel, restoran, sektor industri pengolahan,
sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan dan mengalami sedikit penurunan
penyerapan tenaga kerja.
Penyerapan tenaga kerja di Jawa Tengah selalu mengalami kenaikan yang
cukup tinggi, kecuali pada tahun 2006. Pada tahun tersebut penurunan penyerapan
tenaga kerja cukup tajam karena sebagian besar sektor memiliki pertumbuhan
yang rendah. Sektor-sektor yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja
adalah
sektor
pertanian,
sektor
pertambangan
dan
penggalian,
sektor
pengangkutan komunikasi, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan, sektor
perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor jasa-jasa.
Jawa Timur selalu mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja dari
tahun 2003 hingga 2006. Tahun 2006 sempat mengalami penurunan pertumbuhan
dari tahun sebelumnya akibat efek dari kenaikan harga BBM di akhir 2005.
53
Sedangkan pada tahun 2007 penyerapan tenaga kerja lebih rendah dibanding
2006. Hal ini diduga disebabkan oleh peristiwa luapan Lumpur Porong akibat
aktivitas PT Lapindo Brantas Inc pada pertengahan 2006 yang dampak negatifnya
dirasakan pada tahun 2007. Dampak ini terutama dirasakan pada sektor pertanian,
sektor industri, dan sektor pengangkutan di beberapa daerah di Jawa Timur.
8000000
Propinsi
Sumatera Utara
7000000
Sumatera Barat
Riau
Jambi
6000000
Sumatera Selatan
Jumlah Tenaga Kerja
Lampung
DKI Jakarta
5000000
Jawa Barat
Jawa Tengah
4000000
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
3000000
Bali
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Barat
2000000
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
1000000
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Papua
0
2003
Gambar 4.1
2004
2005
2006
2007
Grafik Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja di 20 Propinsi di
Indonesia
54
4.3. Hasil Analisis Model Regresi
4.3.1. Uji Statistik
Pengujian faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat penyerapan tenaga
kerja secara bersama-sama dapat dilakukan dengan uji F-statistik dan uji tstatistik. Hasil estimasi dari fungsi regresi dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan
Tenaga Kerja di Indonesia Tahun 2003-2007
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDRB riil
UMP riil
0,2119730
16,759620
0,037009
3,412397
5,727588
4,911391
0,0000
0,0000
IN riil
1,7888230
0,439707
4,068220
0,0001
C
1363677,0
28730,51
Effects Specification
47,46441
0,0000
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared
Weighted Statistics
0,9945370
Mean dependent var
1697311,0
Adjusted R-squared
0,9929760
S.D. dependent var
1132762,0
S.E. of regression
F-statistic
133069,40
637,15510
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
1.36E+12
1,622343
Prob(F-statistic)
0,0000000
R-squared
Unweighted Statistics
0,996518
Mean dependent var
1621204,0
Sum squared resid
1,56E+12
1,6484190
Durbin-Watson stat
Hasil analisis menunjukkan koefisien determinasi (R2 ) atau R-squared
bernilai 0,9945370 (99,45 persen). Artinya seluruh variabel bebas pada model
secara bersamaan memberi pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan
tenaga kerja di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa uji ketepatan perkiraan
(goodness of fit) model adalah baik. Artinya model tersebut mampu dijelaskan
oleh variabel-variabel bebas di dalamnya sebesar 99,45 persen dan sisanya 0,55
persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
55
Uji F-statistik untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel
terikat secara keseluruhan dan untuk mengetahui apakah model penduga yang
diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam persamaaan. Uji
ini dilakukan dengan melihat F-statistik sebesar 637,1551 dengan probabilitas Fstatistik sebesar 0,000000 yang nyata pada taraf 5 persen. Berdasarkan pengujian
di atas dapat disimpulkan bahwa minimal ada salah satu variabel bebas
berpengaruh nyata terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Uji t-statistik bertujuan untuk menguji tingkat signifikasi hubungan tiap
variabel bebas. Uji ini dilakukan dengan melihat nilai probabilitas masing- masing
variabel bebas tersebut. Pada Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa PDRB, UMP dan
investasi berpengaruh nyata terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja di Indonesia
pada taraf 5 persen (α = 5 %). Berdasarkan hasil estimasi model, dapat ditentukan
nilai elastisitas masing- masing variabel bebas melalui nilai masing- masing
koefisiennya dengan metode perhitungan elastisitas sebagai berikut :
Ej = ηj =
/
=
≌
βj
…………………………….......(4.1)
Ej adalah elastisitas variabel bebas terhadap Y dan βj koefisien variabel
bebas. X dan Y masing- masing adalah nilai variabel terikat dan variabel bebas.
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai elastisitas variabel PDRB sebesar
0,11, nilai elastisitas variabel UMP sebesar 0,04 dan nilai elastisitas variabel
investasi sebesar 0,01.
56
4.3.2. Uji Pelanggaran Asumsi
Uji pelanggaran asumsi dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan
pelanggaran asumsi normalitas, yaitu heteroskedastisitas, autokorelasi, dan
multikolinearitas. uji heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode fixed
effect dengan pembobotan (General Least Square/Cross Section Weights), yaitu
membandingkan antara sum square resid pada weighted statistic dan sum square
resid pada unweighted statistic. Jika nilai sum square resid pada weighted statistic
lebih kecil dari nilai sum square resid pada unweighted statistic, maka
diindikasikan terjadi heteroskedastisitas. Nilai sum square resid pada weighted
statistic pada persamaan tenaga kerja lebih kecil dari nilai sum square resid pada
unweighted statistic, sehingga disimpulkan bahwa model memiliki gejala
heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan dengan cara uji
white dengan mengestimasi model menggunakan pembobotan (GLS) kemudian
dilakukan white heteroscadasticity covariance (Widarjono, 2007).
Setelah menguji masalah heteroskedastisitas, asumsi lain yang harus
dipenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model. Hal ini dapat dilihat dari
nilai Durbin Watson. Jika nilai Durbin Watson mendekati 2, maka diasumsikan
tidak terjadi autokorelasi Hasil estimasi dengan menggunakan metode fixed effect
GLS secara teori tidak ditemukan adanya masalah autokorelasi.
Masalah multikolinearitas dapat dilihat dengan menggunakan nilai
korelasi. Berikut ditampilkan tabel hasil uji Multikolinearitas.
57
Tabel 4.4 Hasil Uji Multikolinearitas
PDRB
1,000000
0,172455
0,670887
PDRB
UMP
IN
UMP
0,172455
1,000000
0,226589
IN
0,670887
0,226589
1,000000
Jika nilai korelasi antar variabel < 0.8, maka tidak ada multikolinearitas dalam
persamaan. Pada Tabel 4.4 terlihat bahwa seluruh variabel memiliki nilai korelasi
< 0,8 sehingga pada model tidak terdapat masalah multikolinearitas.
4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja
Berdasarkan hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi
penyerapan tenaga kerja di Indonesia pada Tabel 4.3, maka secara matematis
dapat diperoleh model persamaan tingkat penyerapan tenaga kerja di Indonesia
sebagai berikut :
TK = 1363677 + 0,11 PDRBriil + 0,04 UMPriil + 0,01 INriil
(28730,51)
(0,037009)
(3,412397)
(0,439707)
Variabel PDRB berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di
Indonesia dan berhubungan positif. Nilai koefisien regresi dari variabel PDRB
sebesar 0,11. Artinya jika terjadi kenaikan PDRB sebesar 1 persen, maka akan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,11 persen. Semakin tinggi
PDRB maka akan semakin banyak tenaga kerja yang diserap, asums i cateris
paribus.
Kenaikan
Meningkatnya
PDRB
pertumbuhan
akan
meningkatkan
ekonomi
berimplikasi
pertumbuhan
terhadap
ekonomi.
peningkatan
kemampuan daya beli masyarakat. Hal ini tentunya akan semakin memicu
lapangan
usaha
untuk
meningkatkan produktivitasnya
untuk
memenuhi
peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa akibat peningkatan kemampuan
daya beli masyarakat.
58
Mengingat bahwa sektor-sektor ekonomi di Indonesia mayoritas masih di
dominasi oleh sektor padat karya maka salah satu upaya perusahaan da lam
meningkatkan produktivitasnya adalah dengan menambah jumlah tenaga kerja.
Hal ini tentunya akan mendapat respon positif dari pasar tenaga kerja sehingga
meningkatkan jumlah angkatan kerja yang terserap pada lapangan pekerjaan yang
tersedia. Kondisi ini akhirnya dapat mengurangi tingkat pengangguran. Hasil
penelitian sejalan dengan teori yang menunjukkan kenaikan PDRB akan memicu
peningkatan penyerapan tenaga kerja.
Variabel upah minimum propinsi berpengaruh signifikan terhadap
penyerapan tenaga kerja di Indonesia dan berhubungan positif. Nilai koefisien
regresi variabel upah minimum propinsi sebesar 0,04. Artinya jika terjadi
kenaikan upah minimum propinsi sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan
penyerapan tenaga kerja sebesar 0,04 persen. Semakin tinggi PDRB maka akan
semakin banyak tenaga kerja yang diserap, asumsi cateris paribus.
Hasil penelitian tampak bahwa koefisien regresi variabel UMP bersifat
positif yang artinya kenaikan UMP akan meningkatkan jumlah tenaga kerja. Fakta
ini bertolak belakang dengan teori dan hipotesis penelitian. Teori hubungan upah
minimum dengan penyerapan tenaga kerja menjelaskan bahwa pemberlakuan
upah minimum dapat menyebabkan pengangguran, namun dalam beberapa kasus
pergeseran
ini pada kenyataanya dapat menyebabkan perusahaan yang
bersangkutan meningkatkan masukan tenaga kerja yang memaksimumkan laba 2).
2)
Menurut Nicholson (1999) dalam bu kunya yang berjudul Teori Mikro Ekonomi : Prinsip Dasar
dan Perluasan.
59
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan hubungan positif antara
UMP dengan penyerapan tenaga kerja, diduga kenaikan UMP di Indonesia pada
tahun 2003 hingga 2007 satu sisi akan mengurangi penyerapan tenaga kerja untuk
kelompok pekerja yang rentan seperti pekerja yang berada di bawah usia kerja,
kelompok pekerja yang kurang terdidik dan kurang memiliki keterampilan. Di sisi
lain, kenaikan UMP akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang terdidik,
memiliki ketrampilan, keahlian dan pengalaman. Hal ini dapat dilihat pada
gambar 4.2 di mana selama kurun waktu 2003-2007 secara umum terjadi
peningkatan penyerapan tenaga kerja lulusan SLTA, diploma dan universitas.
Sedangkan penyerapan tenaga kerja yang tidak/belum tamat SD mengalami
penurunan selama 2004-2006. Begitu juga penyerapan tenaga kerja lulusan SLTP
mengalami penurunan sepanjang 2003-2007, kecuali tahun 2005 yang sempat
mengalami sedikit kenaikan.
60
Sumber : LPI (2003-2007)
Gambar 4.2 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas, Bekerja Berdasarkan Tingkat
Pendidikan
Selain itu, berdasarkan teori permintaan tenaga kerja, hubungan positif
antara upah minimum dengan penyerapan tenaga kerja di mana kenaikan upah
minimum akan diikuti dengan kenaikan penyerapan tenaga kerja dapat terjadi jika
permintaan terhadap tenaga kerja secara agregat mengalami kenaikan. Data BPS 3)
menunjukkan bahwa pada tahun 2003 hingga 2007 terjadi penyerapan tenaga
kerja yang cukup tinggi di sektor jasa-jasa, industri pengolahan, dan pertanian.
Berdasarkan fakta ini dapat diduga bahwa meningkatnya penyerapan tenaga kerja
akibat kenaikan upah minimum disebabkan oleh besarnya peningkatan permintaan
tenaga kerja di ketiga sektor tersebut.
3)
Lihat Tabel 1.1
61
Variabel investasi berpengaruh siginifikan terhadap penyerapan tenaga
kerja di Indonesia dan berhubungan positif. Nilai koefisien regresi variabel
investasi sebesar 0,01. Artinya jika terjadi kenaikan investasi sebesar 1 persen
maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,01 persen. Semakin
besar investasi semakin banyak jumlah tenaga kerja yang diserap, ceteris paribus.
Investasi diartikan sebagai pengeluaran atau pembelanjaan penanaman modal atau
membeli berbagai barang modal dan perlengkapan produksi untuk menambah
kemampuan dalam memproduksi barang dan jasa yang tersedia dalam
perekonomian. Barang dan perlengkapan tersebut dikelola dan digerakkan oleh
tenaga manusia sehingga secara teoritis semakin besar nilai investasi pada suatu
lapangan usaha khususnya investasi yang bersifat padat karya, maka kesempatan
kerja yang diciptakan semakin tinggi (Sukirno, 1997 dalam Subekti, 2007).
Hasil penelitian sesuai dengan teori, yaitu menunjukan adanya hubungan
positif antara investasi dengan penyerapan tenaga kerja. Semakin meningkatnya
jumlah investasi maka akan semakin meningkatkan jumlah tenaga kerja yang
diserap lapangan usaha.
Download