ANALISIS PENGARUH MISALIGNMENT NILAI TUKAR TERHADAP SAFEGUARD MEASURES DI ASEAN-5 DILA VINDAYANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh Misalignment Nilai Tukar terhadap Safeguard Measures di ASEAN-5 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Dila Vindayani NRP H151120421 ii RINGKASAN DILA VINDAYANI. Analisis Pengaruh Misalignment Nilai Tukar terhadap Safeguard Measures di ASEAN-5. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan ALLA ASMARA. Penetapan rezim nilai tukar selama kurun waktu tertentu dapat mempengaruhi terjadinya misalignment nilai tukar. Definisi misalignment nilai tukar tersebut yakni kondisi aktual dari nilai tukar riil yang berada diluar tingkat keseimbangannya dalam jangka panjang. Hasil penelitian menetapkan misalignment nilai tukar melalui terjadinya over- atau undervaluation mata uang yang dicerminkan sebagai Real Effective Exchange Rate (REER) aktual, terhadap tingkat ekuilibriumnya. Kondisi overvalued currency terjadi ketika nilai tukar menyebabkan harga domestik lebih mahal dari harga di luar negeri sehingga meningkatkan tekanan industri import-competing terhadap perusahaan asing. Kondisi undervalued currency terjadi saat nilai tukar menyebabkan harga domestik lebih murah dari harga di luar negeri sehingga mendorong peningkatan produksi domestik. Kebijakan perdagangan restriksi berupa NTM telah meningkat relatif terhadap tarif. Sejak tahun 2008, kebijakan NTM yang baru terus mendominasi hingga melampaui kebijakan liberalisasi tarif. Penerapan NTM yang mengalami peningkatan pesat di ASEAN dari tahun 2003 hingga 2012 adalah safeguards, yakni dari 3 kasus menjadi 10 kasus. Tindakan safeguards diterapkan akibat meningkatnya impor produk-produk tertentu sehingga mengancam kelangsungan industri domestik di negara pengimpor. Penelitian ini menyajikan gambaran mengenai kondisi misalignment nilai tukar di negara-negara ASEAN-5 dan pengaruh misalignment nilai tukar terhadap pengenaan tindakan safeguards. Tujuan utama penelitian yaitu untuk menganalisis terjadinya misalignment nilai tukar dan dampaknya terhadap pemberlakuan tindakan safeguards di negara-negara ASEAN-5. Analisis misalignment nilai tukar riil dilakukan dengan menentukan tingkat nilai tukar ekuilibrium melalui regresi real effective exchange rate (REER) terhadap faktorfaktor fundamental ekonominya menggunakan metode Panel Dynamic OLS (Panel DOLS). Selanjutnya, tingkat REER ekuilibrium yang diperoleh dihitung perbedaannya dengan tingkat REER aktual untuk mendapat besaran misalignment nilai tukar. Pengaruh besarnya misalignment nilai tukar terhadap pengenaan tindakan safeguards dianalisis dengan conditional fixed-effects logistic regression. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data panel berupa data tahunan pada periode 1994 hingga 2013 di lima negara anggota ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, dan Thailand. Hasil penelitian mengenai kondisi misalignment di ASEAN-5 menunjukkan bahwa misalignment nilai tukar mata uang rupiah mengalami undervalue atau overvalue yang cukup tinggi ketika terjadi gejolak di dalam negeri. Untuk mata uang ringgit, nilai tukar mengalami undervalue saat terjadi krisis keuangan Asia pada Juli 1997. Kemudian pemerintah Malaysia segera merubah arah kebijakan moneternya sehingga pada periode selanjutnya mata uang berfluktuasi di sekitar tingkat ekuilibrium dengan persentase misalignment nilai tukar riil yang kecil. Mata uang peso pada awalnya mengalami undervalue akibat program liberalisasi iii untuk mendorong impor barang modal. Sejalan dengan meningkatnya investasi, nilai tukar semakin menguat sehingga peso perlahan mengalami overvalue. Pergerakan nilai tukar dollar Singapore cenderung stabil disekitar tingkat ekuilibrium karena pemerintahnya menetapkan nilai tukar berdasarkan mata uang negara mitra dagang utama. Nilai tukar baht sempat mengalami overvalue dengan persentase misalignment yang cukup besar hingga tahun 1996. Kondisi ini dikarenakan mata uang baht dipatok terhadap dollar US, sehingga ketika nilai tukar dollar US terapresiasi maka nilai tukar baht juga mengalami apresiasi, begitu pula sebaliknya. Analisis mengenai pengaruh misalignment nilai tukar terhadap pengenaan tindakan safeguard menunjukkan bahwa peluang pengenaan tindakan safeguards terhadap negara fokus i lebih tinggi terjadi saat mata uang negara tersebut mengalami misalignment nilai tukar yang undervalue. Misalignment nilai tukar yang undervalue ditunjukkan dengan besaran misalignment nilai tukar yang negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa mata uang negara fokus i dinilai terlalu lemah sehingga mengalami undervalue atau kondisi nilai tukar riil aktual berada dibawah tingkat ekuilibriumnya. Kondisi tersebut menyebabkan harga domestik lebih murah sehingga mendorong negara fokus i untuk melakukan ekspor. Akibat dari meningkatnya ekspor yang dilakukan, akan mendorong peluang mitra dagang untuk memberlakukan tindakan safeguards terhadap negara fokus i. Analisis mengenai pengaruh ekspor terhadap pengenaan tindakan safeguard menunjukkan bahwa peningkatan ekspor yang dilakukan negara fokus i akan meningkatkan peluang dikenakannya tindakan safeguards ke negara tersebut. Kata Kunci : misalignment nilai tukar, overvalue, undervalue, non-tariff measures (NTMs), safeguards iv SUMMARY DILA VINDAYANI. Analysis of Exchange Rate Misalignment Effect on Safeguard Measures in ASEAN-5. Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM and ALLA ASMARA. Implementation of exchange rate regime for certain period may influence exchange rate misalignment. Definition of exchange rate misalignment is actual condition of real exchange rate which is beyond its equilibrium level in the long term. Results of some researches claim exchange rate misalignment through overor undervaluation of currency which is reflected as the actual Real Effective Exchange Rate (REER) against its equilibrium level. Condition of overvalued currency occurs when exchange rates cause the domestic price more expensive than abroad thereby increasing the pressure of import-competing industries to foreign companies. Condition of undervalued currency occurs when the exchange rate led to domestic price cheaper than abroad that encourage increased domestic production. Non-tariff measures (NTMs) have increased relative to tariffs. Since 2008, the new NTMs continue to dominate beyond tariff liberalization policy. Implementation of NTMs that increased rapidly in ASEAN from 2003 to 2012, are safeguards which were risen from 3 cases to 10 cases. Safeguards measures are applied due to increasing imports of certain products that threaten the survival of domestic industry in importing country. This study presents an overview of exchange rate misalignment condition in ASEAN-5 and the effect of exchange rate misalignment against the imposition of safeguard measures. The main purposes of research are analyzing the occurrence of exchange rate misalignment and its impact on safeguards measures impplementation in ASEAN-5. Analysis of real exchange rate misalignment is conducted by determining equilibrium exchange rate level through regression of real effective exchange rate (REER) and its fundamental economic factors using Panel Dynamic OLS (Panel DOLS). Furthermore, equilibrium REER level is reduced by actual REER level to get the magnitude of exchange rate misalignment. Afterwards, the influence of exchange rate misalignment magnitude against the imposition of safeguard measures were analyzed by conditional fixed-effects logistic regression. Secondary data that used in this research, is panel data which consists of annual data between 1994 and 2013 in five ASEAN member countries, namely Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, and Thailand. Results of research on exchange rate misalignment condition in ASEAN-5 shows that exchange rate misalignment of rupiah currency was undervalued or overvalued in high magnitude when domestic turmoil happened. For ringgit currency, exchange rate was undervalue when the Asian financial crisis occured in July 1997. Then, Malaysian government changed monetary policy in order to maintain ringgit fluctuates around its equilibrium level with low magnitude of real exchange rate misalignment. Peso was undervalue because of liberalization v program to encourage the import of capital goods. In line with investment increased, the exchange rate became stronger so peso became overvalue. Singapore dollar currency movements tend to be stable around equilibrium level since the government set its exchange rate based on currency's main trading partner countries. Baht currency was overvalued with high magnitude of misalignment until 1996 because the currency pegged to US dollar. Therefore, if US dollar exchange rate appreciated so baht also appreciated, and vice versa. Analysis on the effect of exchange rate misalignment against the imposition of safeguard measures indicate that the imposition of safeguard measures have higher opportunities when currency of exporting country was undervalued. It is indicated by negative magnitude of exchange rate misalignment. This condition shows that currency in exporting country is considered too weak because actual real exchange rate level is below its equilibrium level. It makes domestic price cheaper than abroad so that the country driven to export. As a result, trade partner as importing country will be compelled to impose safeguard measures. Analysis on the effect of exports to the imposition of safeguard measures showed that increasing exports will raise the opportunities of safeguard measures imposed. Keywords: exchange rate misalignment, overvalue, undervalue, non-tariff measures (NTMs), safeguards vi © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB vii ANALISIS PENGARUH MISALIGNMENT NILAI TUKAR TERHADAP SAFEGUARD MEASURES DI ASEAN-5 DILA VINDAYANI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 viii Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.Si ix Judul Tesis : Analisis Pengaruh Misalignment Safeguard Measures di ASEAN-5 Nama : Dila Vindayani NIM : H151120421 Nilai Tukar terhadap Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian: 1 Juli 2015 Tanggal Lulus: x xi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kebijakan perdagangan internasional dengan judul Analisis Pengaruh Misalignment Nilai Tukar terhadap Safeguard Measures di ASEAN-5, dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih penulis sampaikan secara khusus kepada: 1. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku anggota komisi pembimbing, yang telah meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. 2. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.Si sebagai penguji utama dan Dr. Syamsul Hidayat Pasaribu, SE, M.Si sebagai penguji dari Komisi Akademik yang telah memberikan masukan untuk kesempurnaan tesis ini. 3. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si selaku Ketua Program Studi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis. 4. Biro Organisasi dan Kepegawaian (Roganpeg) Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB. 5. Rekan-rekan di Sekretariat Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan dukungan bagi penulis untuk menyelesaikan penyusunan tesis ini. 6. Teman-teman kuliah kelas khusus IPB-Kemendag atas segala bantuannya selama penulis menyelesaikan pendidikan di IPB. 7. Orang tua dan keluarga besar penulis yang senantiasa mendoakan sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan ini. Kepada suami tercinta Eko Andryanto atas segala doa, kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang telah diberikan. Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di masa mendatang. Bogor, September 2015 Dila Vindayani xii xiii DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar belakang Perumusan masalah Tujuan penelitian Manfaat penelitian Ruang lingkup penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan teori Tinjauan ekonometrika Tinjauan penelitian terdahulu Kerangka penelitian Hipotesis penelitian 3 METODE Jenis dan sumber data Metode analisis Spesifikasi model Definisi operasional 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Estimasi model persamaan nilai tukar ekuilibrium Kondisi misalignment nilai tukar di lima negara ASEAN Analisis model pengenaan tindakan safeguards 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP xiii xiv xiv xiv 1 1 6 8 8 8 9 9 19 20 21 22 22 22 22 23 23 24 24 27 31 32 32 33 33 37 50 xiv DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 Tabel total ekspor – impor dan persentase perubahannya di ASEAN dan Dunia pada tahun 2009 - 2013 Tabel rezim nilai tukar di negara-negara ASEAN periode 2012-2013 Perbandingan jumlah kasus NTM di ASEAN tahun 1994 dan 2005 Jenis dan sumber data yang digunakan Hasil uji akar unit Hasil uji kointegrasi Hasil estimasi nilai tukar riil ekuilibrium Hasil regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pengenaan safeguards 1 3 7 22 25 25 26 31 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 Komposisi new restrictive trade measures periode 2008-2011 Pergerakan nilai tukar nominal di ASEAN pada tahun 2007-2012 Kurva internal balance, external balance, dan long-run equilibrium real exchange rate 4 New UNCTAD classification of non-tariff measures 5 Kurva hubungan antara tingkat nilai tukar dan output 6 Kerangka pemikiran 7 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Indonesia 8 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Malaysia 9 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Philippines 10 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Singapore 11 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Thailand 5 6 12 16 18 21 27 28 29 29 30 DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 Hasil uji akar unit pada level Hasil uji akar unit pada first difference Hasil uji kointegrasi Hasil estimasi nilai tukar ekuilibrium Hasil estimasi pengaruh misalignment nilai tukar dan total ekspor terhadap kebijakan safeguard 38 41 44 48 49 xv 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan merupakan salah satu bagian penting dari sektor riil yang menjadi pemicu aktivitas perekonomian. Dalam hal ini, perdagangan internasional akan mendorong terciptanya suatu hubungan ekonomi yang saling mempengaruhi antar negara serta lalu lintas barang dan jasa. Oleh karena itu, perdagangan internasional dapat dianggap sebagai fokus utama guna menghadapi era liberalisasi. Proses liberalisasi dalam perdagangan tersebut ditandai dengan mulai terbentuknya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947 yang perannya sekarang telah digantikan oleh World Trade Organization (WTO). Tujuannya adalah untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Setiap negara berupaya memperkuat posisinya di bidang perdagangan melalui keterlibatan di beragam forum bilateral, regional maupun multilateral. Negara-negara yang terlibat dalam perdagangan akan mendapat keuntungan karena negara tersebut akan berspesialisasi untuk menghasilkan komoditi secara efisien (Salvatore 1997). Kesepakatan negara-negara yang terjalin di kawasan Asia Tenggara melalui ASEAN, merupakan salah satu contoh kerjasama secara regional yang diantaranya membahas upaya meningkatkan perdagangan pada intra- maupun extra-ASEAN. Jumlah negara anggota ASEAN saat ini mencapai sepuluh negara, yaitu Indonesia, Singapore, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Masing-masing negara memiliki kondisi perekonomian yang beragam dimana terdapat potensi besar untuk ditingkatkan. Tabel 1. Total ekspor - impor dan persentase perubahannya di ASEAN dan Dunia pada tahun 2009-2013 ASEAN Ekspor Impor US$ Juta (%) US$ Juta (%) 2009 813 787 726 951 2010 1 050 050 (22.5) 953 113 (23.7) 2011 1 236 787 (15.1) 1 153 020 (17.3) 2012 1 252 276 (1.27) 1 221 838 (5.6) 2013 1 270 336 (1.42) 1 245 308 (1.8) Sumber: WTO, 2014 Tahun Dunia Ekspor Impor US$ Juta (%) US$ Juta (%) 12 554 000 12 781 000 15 300 000 (17.9) 15 509 000 (17.6) 18 327 000 (16.5) 18 503 000 (16.2) 18 404 000 (0.4) 18 608 000 (0.5) 18 784 000 (2.0) 18 874 000 (1.4) Tabel 1 menjelaskan total ekspor dan impor (dalam juta US Dollar) yang dilakukan oleh ASEAN dan dunia antara tahun 2009 hingga 2013 dengan menampilkan nilai perubahan dari periode sebelumnya (dalam persen). Selama rentang waktu tersebut, total ekspor ASEAN terus meningkat setiap tahun, yakni dari US$ 813.787 juta pada tahun 2009 menjadi US$ 1.270.336 juta pada tahun 2013. Kenaikan ekspor yang cukup besar dibandingkan periode sebelumnya terjadi pada tahun 2010 dan 2011, yakni sekitar 22 dan 15 persen. Sedangkan ekspor pada tahun 2012 dan 2013 hanya mengalami peningkatan sekitar 1 persen. Total impor ASEAN juga mengalami kenaikan dalam lima tahun terakhir, dimana impor pada tahun 2009 yang sebesar US$ 726.951 juta meningkat pada tahun 2 2013 menjadi US$ 1.245.308 juta. Kenaikan impor ASEAN yang tinggi terjadi pada tahun 2010 dan 2011 yakni sekitar 23 dan 17 persen dari periode terdahulu. Persentase ini lebih besar dibandingkan kenaikan selama tahun 2012 dan 2013 yang hanya sekitar 1 hingga 6 persen. Secara umum, pertumbuhan perdagangan yang terjadi di ASEAN lebih cepat dibandingkan total ekspor dan impor secara keseluruhan di dunia. Perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh sektor moneter, yakni melalui nilai tukar mata uang. Secara teori, nilai tukar mata uang suatu negara yang terdepresiasi akan menjadikan harga domestik lebih murah dibandingkan negara lain sehingga mendorong ekspor, hal yang sebaliknya dengan apresiasi nilai tukar (Krugman et al. 2012). Namun fluktuasi dalam tingkat nilai tukar mata uang tersebut juga ditentukan rezim moneter yang berlaku dalam suatu negara. Penelitian Liang (1998) mengenai hubungan volatilitas nilai tukar dengan rezim yang berlaku di negara-negara Eropa sebelum diberlakukannya mata uang euro, menemukan bahwa periode flexible exchange rate terkait dengan tingginya volatilitas real exchange rate (RER) dibandingkan periode fixed exchange rate. Selain itu, pergeseran rezim juga berpengaruh penting dalam menentukan guncangan RER yang persisten. Sistem klasifikasi rezim nilai tukar berdasarkan IMF (2013) ditentukan dari sejauh mana basis of degree atau nilai tukar suatu mata uang ditentukan oleh pasar, bukan oleh intervensi pemerintah. Semakin tinggi pengaruh pasar dalam penentuan nilai tukar, maka rezim akan semakin fleksibel. Dalam hal ini, klasifikasi rezim nilai tukar dibagi menjadi empat kategori utama, yaitu: (1) hard pegs (seperti exchange arrangements with no separate legal tender dan currency board arrangements); (2) soft pegs (seperti conventional pegged arrangements, pegged exchange rates within horizontal bands, crawling pegs, stabilized arrangements, dan crawl-like arrangements); (3) floating regimes (seperti floating dan free floating); serta (4) a residual category (seperti other managed arrangements). Kategori hard pegs cenderung memiliki nilai tukar tetap dalam waktu lama, sehingga tingkat kepastian untuk transaksi internasional lebih tinggi. Sedangkan soft pegs cenderung menjaga nilai tukar yang stabil terhadap anchor currency dengan fluktuasi sebesar 1 hingga 30 persen tergantung dengan tingkat inflasi. Untuk floating regimes, nilai tukar secara dominan ditentukan oleh pasar dengan intervensi pemerintah yang hampir tidak ada. Rezim nilai tukar yang tidak termasuk dalam tiga kategori pertama umumnya dianggap sebagai other managed arrangements. Mayoritas negara-negara ASEAN saat ini menganut rezim nilai tukar dalam klasifikasi soft pegs seperti yang terlihat pada Tabel 2. Kamboja, Laos, dan Vietnam menganut stabilized arrangement, yang mengindikasikan fluktuasi nilai tukar sekitar 1 persen dari central rate atau memiliki margin 2 persen dalam jangka waktu minimal enam bulan. Indonesia dan Singapura sama-sama menetapkan crawl-like arrangement dalam rezim nilai tukarnya. Hal ini mengindikasikan nilai tukar berfluktuasi dalam tren margin minimal enam bulan dengan perubahan keseluruhan lebih besar dari 2 persen, atau dalam batas terkait proyeksi perbedaan inflasi terhadap mitra dagang utama. 3 Tabel 2. Rezim nilai tukar di negara-negara ASEAN periode 2012-2013 Negara Periode Rezim Nilai Tukar Brunei Darussalam 2012-2013 Currency board Filipina Indonesia Kamboja Laos 2012-2013 2012 2013 2012-2013 2012-2013 Floating Floating Crawl-like arrangement Stabilized arrangement Stabilized arrangement Malaysia 2012-2013 Other managed arrangement Myanmar Singapura 2012-2013 Other managed arrangement 2012 Other managed arrangement 2013 Crawl-like arrangement Thailand 2012-2013 Floating 2012-2013 Stabilized arrangement Vietnam Sumber: IMF Annual Report on Exchange Arrangements and Exchange Restrictions, 2012-2013 Kategori lain yang juga dominan adalah floating regimes, dimana negara Filipina dan Thailand menerapkan rezim ini selama tahun 2012-2013. Tingkat nilai tukar pada rezim floating ditentukan oleh pasar dengan kondisi tidak ada lebih dari tiga intervensi selama enam bulan sebelumnya dimana masing-masing intervensi berlangsung kurang dari tiga hari kerja. Dalam periode yang sama, hanya Brunei Darussalam yang menganut kategori hard pegs yakni currency board. Rezim ini dianut ketika negara memiliki beberapa partner negara lain yang penting dalam hubungan dagang sehingga volatilitas nilai tukar mata uang yang terlalu tinggi selama waktu tertentu akan berdampak buruk. Oleh karena itu, negara tersebut dapat mematok nilai tukar mata uangnya ke weighted average dari beberapa mata uang negara partner. Malaysia dan Myanmar dikategorikan sebagai residual category dimana rezim yang dianut termasuk dalam other managed arrangement. Hal tersebut umumnya dikarenakan oleh pergeseran kebijakan yang terlalu sering selama jangka waktu tertentu akibat perubahan beberapa indikator seperti posisi neraca pembayaran dan cadangan devisa. Rezim nilai tukar yang dianut masing-masing negara ASEAN bersifat dinamis mengikuti kondisi perekonomian terkini. Hal ini senada dengan hasil penelitian Klein dan Shambaugh (2008) bahwa peningkatan atas peluang diberlakukannya suatu rezim nilai tukar pada periode mendatang, bergantung kondisi yang terjadi dalam periode selama satu atau dua tahun sebelumnya. Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa periode nilai tukar fixed menghasilkan kondisi bilateral exchange rate yang lebih stabil dibandingkan periode nilai tukar flexible dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, tingkat volatilitas pada periode nilai tukar fixed cenderung lebih tinggi dibandingkan periode nilai tukar flexible. Penetapan rezim nilai tukar selama kurun waktu tertentu dapat mempengaruhi terjadinya misalignment nilai tukar. Definisi misalignment nilai tukar tersebut yakni deviasi yang terjadi akibat adanya perbedaan antara nilai tukar riil pada kondisi aktual dengan nilai tukar riil saat ekuilibrium (Aguirre and 4 Calderon 2005). Tingkat ekuilibrium nilai tukar riil adalah salah satu konsep penting dalam ekonomi makro, dimana merupakan tingkat nilai tukar riil yang konsisten dengan pencapaian simultan keseimbangan internal dan eksternal (Hyder and Mahboob 2005). Estimasi nilai tukar ekuilibrium dapat dilakukan melalui beragam pendekatan. Namun, penelitian ini menggunakan pendekatan Fundamental Equilibrium Exchange Rate (FEER) karena pendekatan tersebut lebih tepat untuk menilai apakah pergerakan nilai tukar riil merupakan misalignment atau apakah nilai tukar riil ekuilibrium telah bergeser akibat perubahan variable fundamental ekonomi. FEER merupakan pendekatan multiple equation untuk mengestimasi nilai tukar ekuilibrium. Keseimbangan internal direpresentasikan oleh keadaan negara dimana produksi ekonomi domestik dan luar negeri berada pada tingkat potensialnya (sesuai dengan non-accelerating inflation rate of unemployment NAIRU). Hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian menggunakan semua alokasi sumber daya sehingga tidak menyebabkan inflasi yang berlebihan. Keseimbangan eksternal didefinisikan sebagai nilai target normatif untuk current account dari neraca pembayaran. Pengaruh capital account dan financial account pada keseimbangan eksternal dapat dipertimbangkan ketika menetapkan nilai target untuk neraca transaksi berjalan (Gylanik 2012). Hasil penelitian yang dilakukan Holtemöller dan Mallick (2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi fleksibilitas rezim nilai tukar, maka akan semakin rendah peluang terjadinya misalignment. Penelitian mereka menetapkan misalignment nilai tukar melalui terjadinya over- atau undervaluation mata uang yang dicerminkan sebagai Real Effective Exchange Rate (REER) aktual, terhadap tingkat ekuilibriumnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Coudert dan Couharde (2008) memperlihatkan perbedaan kondisi misalignment nilai tukar pada berbagai rezim mata uang dimana pegged currencies cenderung menyebabkan overvalued, dan floating exchange rates menyebabkan terjadinya undervalued. Sedangkan intermediate regimes berada diantaranya, dengan kecenderungan undervalued tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Kondisi misalignment nilai tukar berdasarkan penelitian terdahulu dapat dilihat dari dua aspek, yaitu saat terjadi overvalued currency dan undervalued currency. Dalam teori The Law of One Price (Krugman et al. 2012), kondisi overvalued currency terjadi ketika mata uang suatu negara memiliki tingkat nilai tukar aktual lebih kecil dari tingkat ekuilibrium selama periode tertentu. Hal ini menyebabkan harga domestik menjadi lebih mahal dari harga di luar negeri. Sedangkan undervalued currency terjadi saat tingkat nilai tukar aktual lebih besar dari tingkat ekuilibrium selama periode tertentu. Hal ini menyebabkan harga domestik menjadi lebih murah dari harga di luar negeri. IMF menjaga nilai tukar riil berada disekitar ekuilibriumnya. Alasannya yakni nilai tukar riil yang overvalue dapat melemahkan daya saing ekspor dan melemahkan posisi eksternal, sementara nilai tukar undervalue dapat membuat tekanan inflasi. Selain itu, pemeliharaan nilai tukar riil dekat dengan tingkat ekuilibrium juga mencegah negara dari krisis mata uang dan perbankan krisis, serta biaya yang timbul akibat efek neraca perdagangan. Mata uang yang mengalami overvalue maka akan meningkatkan tekanan industri import-competing terhadap perusahaan asing, sehingga turut meningkatkan permintaan akan proteksi impor (Shatz and Tarr, 2000). Sedangkan 5 mata uang yang undervalue akan mendorong peningkatan produksi domestik, namun proteksi yang diterapkan di luar negeri juga turut meningkat (Irwin 2011). Berdasarkan hal tersebut, misalignment nilai tukar terbukti memiliki pengaruh dalam penentuan kebijakan perdagangan. Efek misalignment nilai tukar terkait mata uang yang over- atau undervalue, akan mempengaruhi arah kebijakan perdagangan yang diterapkan suatu negara. Kebijakan perdagangan tersebut umumnya bersifat menghambat dimana dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tarif dan non tarif (Salvatore 1997). Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Sedangkan non tarif merupakan hambatan perdagangan yang terjadi di era modern dan merupakan bentuk proteksi perdagangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan hambatan tarif. Dalam hal ini, WTO kemudian mendefinisikan kebijakan-kebijakan perdagangan non tarif dengan istilah non tariff measures (NTM). Laporan monitoring WTO pada Gambar 1 menunjukkan bahwa penggunaan kebijakan perdagangan restriksi berupa non-tarif telah meningkat relatif terhadap tarif. Sejak tahun 2008, kebijakan restriksi non-tarif yang baru terus mendominasi hingga melampaui kebijakan liberalisasi tarif. Sementara itu, jumlah kebijakan liberalisasi tarif telah melebihi jumlah kebijakan restriksi tarif dalam setiap periode kecuali tahun 2009. Hal ini sejalan dengan semakin berkembangnya kerjasama regional, seperti ASEAN, yang berupaya meminimalisir hambatan demi memperlancar arus perdagangan. Sumber: World Bank, 2013 Gambar 1. Komposisi new restrictive trade measures periode 2008-2011 (persentase) 6 Gambar 1 menunjukkan kebijakan perdagangan restriksi yang paling sering digunakan yaitu bail out atau state aid sebesar 25 persen. Porsi terbesar kedua yaitu trade defence berupa anti-dumping, countervailing duties, dan safeguards, sebesar 22 persen. Sedangkan tariffs hanya menyumbang sebesar 13 persen dari seluruh hambatan. Bail out merupakan program penalangan yang dilakukan pemerintah. Trade defence merupakan tindakan yang diterapkan ketika terjadi perdagangan yang tidak adil, subsidi impor, dan lonjakan drastis dalam aliran perdagangan. Perumusan Masalah Perbedaan dalam rezim moneter dan mata uang yang berlaku di masingmasing negara ASEAN, mengakibatkan arah pergerakan nilai tukar yang berbeda sehingga mempengaruhi perdagangan internasional. Gambar 2 menunjukkan pergerakan nilai tukar nominal dalam basis rata-rata tahunan antara periode 2007 hingga 2012 di negara-negara ASEAN dengan penghitungan mengacu pada nilai tukar rata-rata bulanan. Nilai tukar Dong Vietnam mengalami tren depresiasi selama lima tahun terakhir. Sedangkan nilai tukar Peso Philippines, Baht Thailand, dan Kip Laos cenderung mengalami apresiasi dalam periode yang sama. Untuk nilai tukar Rupiah Indonesia, pergerakan selama lima tahun cenderung berfluktuasi. Apresiasi nilai tukar dapat menyebabkan mata uang mengalami overvalued, sedangkan depresiasi nilai tukar kemungkinan akan menyebabkan mata uang mengalami undervalued. Kondisi over- atau undervalued dalam jangka waktu lama dapat mengindikasikan terjadinya misalignment nilai tukar (Holtemöller and Mallick 2009). Sumber: World Bank, 2013 Gambar 2. Pergerakan nilai tukar nominal di ASEAN pada tahun 2007 - 2012 (local currency unit per US$, period average) 7 Pengaruh misalignment nilai tukar penting untuk ditelaah lebih lanjut dalam konteks perdagangan internasional. Hal ini dikarenakan dampaknya yang nyata terhadap perkembangan ekspor dan impor. Penelitian dengan menggunakan data panel di 42 negara berkembang antara tahun 1975 hingga 2004, memperlihatkan adanya dampak negatif REER misalignment terhadap ekspor (Diallo 2011). Terkait ASEAN, negara-negara yang bersepakat dalam kerjasama regional ini memiliki berbagai produk unggulan yang diperdagangkan di pasar internasional. Tingkat harga yang berlaku untuk masing-masing produk dipengaruhi oleh nilai tukar. Apabila nilai tukar menyebabkan mata uang mengalami overvalued, maka harga barang domestik menjadi lebih mahal di pasar internasional. Sedangkan nilai tukar yang menyebabkan undervalued pada mata uang akan membuat harga barang domestik lebih murah sehingga industri dalam negeri terdorong melakukan ekspor. Kaitan nilai tukar dengan perdagangan internasional juga menyinggung hubungan misalignment nilai tukar terhadap kebijakan perdagangan. Alasannya dikarenakan pergerakan nilai tukar secara tidak langsung akan mempengaruhi keputusan pemerintah dalam menetapkan kebijakan terkait perdagangan internasional. Matto dan Subramanian (2008) menyatakan bahwa IMF sebagai lembaga yang berwenang menangani undervalued currency akibat nilai tukar, belum berperan efektif secara mandiri. Sebaliknya, WTO dianggap lebih kredibel dan efektif dalam menyelesaikan sengketa perdagangan karena telah ada aturan tentang mata uang undervalue akibat kondisi nilai tukar, yang menjadi pelengkap diberlakukannya tarif dan subsidi ekspor. Disisi lain, penelitian Nicita (2013) menunjukkan adanya penggunaan kebijakan perdagangan untuk mengkompensasi efek nilai tukar yang dapat menyebabkan overvalued currency. Perusahaan domestik yang kehilangan daya saing akibat apresiasi nilai tukar akan melobi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan perdagangan yang bersifat menghambat. Tabel 3 memperlihatkan perbandingan atas jumlah kasus NTM yang dikeluarkan oleh negara-negara ASEAN pada tahun 2003 dan 2012. Hasilnya menunjukkan bahwa secara umum kasus pengenaan NTM pada tahun 2012 lebih tinggi dibandingkan tahun 2003. Hal ini senada dengan data yang dikeluarkan world bank pada gambar 1 dimana persentase penerapan NTM dalam perdagangan dunia menempati porsi yang semakin besar dibandingkan tarif. Tabel 3. Perbandingan jumlah kasus NTM di ASEAN tahun 2003 dan 2012 Klasifikasi Technical Measures Non-Technical Measures Sanitary and Phytosanitary Technical Barriers to Trade Anti dumping Safeguards Quantitative Restrictions Tahun 2003 27 42 6 3 1 2012 43 45 6 10 4 Sumber: WTO, 2014 Technical measures mengacu pada sifat khusus produk seperti karakteristik, spesifikasi teknis, dan proses produksi suatu produk. Sedangkan non-technical measures mengacu pada persyaratan perdagangan, seperti syarat pengiriman, 8 custom formalities, peraturan perdagangan, dan kebijakan perpajakan. Terkait nilai tukar, maka NTM yang akan terpengaruh dengan pergerakan mata uang berasal dari klasifikasi non-technical measures. Untuk klasifikasi tersebut, penerapan NTM yang mengalami peningkatan pesat di ASEAN adalah safeguards yakni dari 3 kasus pada tahun 2003 menjadi 10 kasus pada tahun 2012. Tindakan safeguards diterapkan akibat meningkatnya impor produk-produk tertentu sehingga mengancam kelangsungan industri domestik di negara pengimpor. Dalam hal ini, perkembangan nilai tukar dapat mempengaruhi harga produk ekspor maupun impor (Thorstensen et al. 2011). Berdasarkan uraian sebelumnya, terlihat bahwa hubungan antara misalignment nilai tukar terhadap perdagangan negara-negara ASEAN perlu diteliti. Hal ini selanjutnya memberikan ruang bagi peneliti untuk mengkaji lebih jauh mengenai permasalahan-permasalahan berikut: 1. Bagaimana kondisi misalignment nilai tukar yang terjadi pada mata uang negara- negara ASEAN-5? 2. Bagaimana pengaruh misalignment nilai tukar terhadap kebijakan non-tarif pada masing-masing negara ASEAN-5? Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini yaitu: 1. Menganalisis terjadinya misalignment nilai tukar pada mata uang negaranegara ASEAN-5. 2. Menganalisis pengaruh misalignment nilai tukar terhadap kebijakan non-tarif pada masing-masing negara ASEAN-5. Manfaat Penelitian 1. 2. 3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan untuk bisa menyelaraskan kondisi antara sektor moneter dan sektor perdagangan. Para pelaku ekonomi dapat semakin mempersiapkan diri untuk menyongsong integrasi ekonomi terutama dalam kerangka ASEAN Economic Community (AEC). Wawasan masyarakat secara umum dapat bertambah mengenai hubungan nilai tukar terhadap perdagangan internasional. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian hanya mencakup lima negara anggota ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Hal ini dikarenakan perbedaan masing-masing negara dalam keterbukaannya menyampaikan data perekonomian. Selain itu, kelima negara yang diteliti memiliki perekonomian yang beragam sehingga dapat mewakili kondisi ekonomi ASEAN secara umum. Untuk kebijakan non tarif, penelitian ini hanya mencakup tindakan safeguards karena terkait dengan harga. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini berkisar pada tahun 1994 hingga 2013. 9 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Definisi Nilai Tukar Nilai tukar merupakan harga mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain (Krugman et al. 2012). Definisi ini disebut juga nilai tukar nominal, dimana nilai tukar diekspresikan sebagai harga domestik atas mata uang asing. Perubahan pada nilai tukar dibedakan menjadi dua, yaitu apresiasi dan depresiasi. Apresiasi adalah penguatan nilai tukar mata uang suatu negara dimana harga yang harus dibayarkan untuk ditukarkan dengan mata uang negara lain menjadi lebih murah. Sedangkan depresiasi adalah pelemahan nilai tukar mata uang dimana harga yang harus dibayarkan untuk menukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain menjadi lebih mahal. Pelaku ekonomi cenderung tertarik pada apa yang bisa mereka dapatkan dengan mata uang yang diukur melalui tingkat nilai tukarnya di pasar. Oleh karena itu, berkembanglah konsep nilai tukar riil atau real exchange rate (RER), yang mengukur nilai barang di suatu negara terhadap negara lain pada tingkat nilai tukar nominal yang berlaku. Nilai tukar riil berperan penting dalam perdagangan internasional karena memungkinkan kita untuk membandingkan harga suatu barang yang diproduksi di berbagai negara. Ketika harga barang yang sama, baik yang diproduksi domestik maupun luar negeri, telah dikonversi dalam suatu mata uang maka harga relatif yang mempengaruhi perdagangan internasional dapat diketahui (Krugman et al. 2012). Apresiasi pada mata uang suatu negara meningkatkan harga relatif barang yang diekspor dan menurunkan harga relatif barang yang diimpor. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan impor karena harga yang lebih murah. Sebaliknya, depresiasi pada mata uang suatu negara akan menurunkan harga relatif barang yang diekspor dan meningkatkan harga relatif barang yang diimpor. Kondisi tersebut mendorong terjadinya ekspor karena harga impor yang lebih mahal. Hubungan antara nilai tukar riil suatu mata uang dengan nilai tukar nominal, harga barang domestik, serta harga barang luar negeri dapat dirumuskan sebagai berikut: (2.1) dimana e adalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah harga barang domestik, dan P* adalah harga barang luar negeri. Konsep Equlibrium Real Exchange Rate Konsep keseimbangan pada nilai tukar riil merupakan kondisi seimbang yang terjadi apabila tidak ada kecenderungan untuk mengalami perubahan. Nilai tukar riil sebagai bagian penting dari mekanisme penyesuaian ekonomi makro, akan cenderung berubah setiap kali ekonomi terkena guncangan baru. Hal ini dapat menyebabkan perubahan nilai secara kontinu sehingga sulit dijadikan acuan dalam menetapkan ekuilibrium nilai tukar riil. Oleh karenanya, konsep keseimbangan akan tetap mengacu pada kondisi tanpa guncangan. Disisi lain, perekonomian diasumsikan memiliki beberapa kondisi keseimbangan pada saat tertentu sehingga perbedaaan antara aktual dan ekuilibrium harus lebih nyata. Kondisi keseimbangan tersebut bergantung pada current dan expected future 10 values yang ditetapkan atas variabel-variabel makroekonomi tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa keseimbangan tidak bersifat statis, namun akan berubah dari waktu ke waktu seperti perubahan yang terjadi pada nilai variabel. Oleh karenanya, keseimbangan perlu dibedakan antara short-run dan long-run equilibrium. Perbedaan antara keduanya seringkali disebut juga sebagai nilai tukar misalignment (Montiel 2002). Contoh konkret dapat dilihat dalam persamaan berikut. Asumsikan nilai tukar riil pada setiap waktu ditentukan oleh hubungan reduced-form: (2.2) dimana X1 merepresentasikan sustainable values of a set of real exogenous dan policy variables, sedangkan X2 merepresentasikan current values of a set of predetermined variables. Variabel terakhir merupakan variabel-variabel makroekonomi seperti upah nominal, economy's net international creditor position, dan capital stocks dalam sektor traded dan nontraded goods, yang nilainya tetap setiap saat tetapi berubah secara bertahap dari waktu ke waktu: ̇ (2.3) Dalam hal ini, nilai e pada persamaan (2.2) adalah nilai short-run equilibrium karena current values atas X2 pada persamaan (2.3) akan berubah sendiri dari waktu ke waktu. Ketika variabel-variabel makroekonomi pada X2 berhenti berubah, maka kondisi tersebut dianggap telah mencapai long-run equilibrium, sehingga: 0 (2.3‟) Dengan demikian, persamaan untuk nilai long-run atas X2 menjadi: (2.4) Kemudian disubstitusi dengan persamaan (2.2) menjadi: (2.5) dimana e* adalah long-run equilibrium real exchange rate (LRER). Persamaan tersebut hanya bergantung pada sustainable values of a the exogenous dan policy variables, yang mempengaruhi e secara langsung maupun tidak langsung (melalui X2). Kondisi Long-run Equlibrium Real Exchange Rate Istilah "jangka panjang" pada kondisi nyata jauh lebih kompleks. Kesulitannya terletak pada predetermined variables seperti upah nominal, economy's net international creditor position, dan capital stocks secara sektoral, yang memiliki kecepatan berbeda dalam mendekati nilai-nilai kondisi jangka panjang. Oleh karena itu, kita perlu mengacu kembali pada konsep LRER sebagai nilai tukar riil yang secara simultan konsisten dengan keseimbangan internal dan eksternal, dengan pengaruh dari sustainable values of a the exogenous dan policy variables. Keseimbangan internal mengacu pada situasi pasar untuk nontraded goods dan tenaga kerja berada dalam ekuilibrium. Hal ini sesuai dengan kondisi keseimbangan makroekonomi pada jangka pendek, yakni full employment. Sedangkan keseimbangan eksternal mengacu pada situasi di mana defisit current account sama dengan nilai capital inflow yang berkelanjutan. Keseimbangan internal mensyaratkan bahwa siklus mekanisme penyesuaian melalui pasar tenaga kerja berhenti beroperasi. Pada saat yang sama, hal ini mencerminkan pandangan bahwa membiarkan penyesuaian penuh untuk capital stock adalah berlebihan, karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 11 penyesuaian penuh akan berlangsung lama bergantung pada kebijakan yang berlaku. Disisi lain, keseimbangan eksternal membutuhkan tingkat spesifik dari capital inflow yang berkelanjutan. Suatu kerangka yang dinamis menjelaskan bahwa capital inflow atau outflow adalah berkelanjutan ketika economy's net international creditor position (dalam predetermined variable) tidak mengalami perubahan. Berdasarkan hal tersebut, tingkat berkelanjutan atas arus modal akan diperlukan untuk mempertahankan rasio utang dengan GDP. Kondisi ini mengindikasikan bahwa penyesuaian yang berkelanjutan pada jangka panjang untuk pasar tenaga kerja dan economy's net creditor position akan berlangsung lama, sedangkan untuk capital stock belum tentu membutuhkan waktu selama itu. Pendapat lainnya menyatakan bahwa terlalu lama menunggu kondisi jangka panjang bagi net creditor position, sehingga mereka mengkondisikan jangka panjang hanya pada tingkat stabil dari arus modal. Asumsi implisit atas kondisi ini adalah bahwa arus modal hanya memiliki pengaruh kecil pada net creditor position (Montiel 2002). Teori Long-run Equlibrium Real Exchange Rate Kondisi ekuilibrium yang berkelanjutan dalam pasar tenaga kerja dan nontraded goods dapat digambarkan sebagai berikut: yN (e , ɸ) = (1 - θ) c/e + gN (2.6) + Persamaan ini mencerminkan bahwa penawaran nontraded goods yN, pada sisi kiri, harus sama dengan permintaan barang dari sektor privat [(1 - θ) c/e] dan publik (gN), pada sisi kanan. Tanda dibawah persamaan sisi kiri menunjukkan partial derivatives terhadap argumen persamaan diatasnya. Penawaran nontraded goods berhubungan positif dengan fungsi nilai tukar riil e, dan berhubungan negatif dengan fungsi terms of trade ɸ. Hal tersebut berimplikasi pada keseimbangan pasar tenaga kerja, dimana ketika depresiasi menyebabkan tenaga kerja berpindah dari sektor nontraded goods ke sektor ekspor dan impor, maka perbaikan dalam terms of trade akan mendorong tenaga kerja berpindah dari sektor nontraded goods dan impor ke sektor ekspor. Spesifikasi permintaan privat untuk nontraded goods mencerminkan asumsi constant expenditure shares (Cobb-Douglas utility) untuk impor dan nontraded goods (penduduk domestik diasumsikan tidak mengkonsumsi barang ekspor); dengan θ menunjukkan share of spending khususnya impor, dan c menunjukkan level of total private expenditure dengan satuan unit yang diimpor. Kenaikan private spending menyebabkan excess demand untuk nontraded goods, dimana nilai tukar riil harus terapresiasi agar posisi kembali ke ekuilibrium pada Gambar 3. Kondisi keseimbangan eksternal digambarkan sebagai berikut: (2.7) π* f* = ɸ yx (e , ɸ) + yz (e , ɸ) + (r* + π*) f* - [τ (ε + π*) + θ] c - gz - + - + Persamaan ini menggambarkan ekuilibrium jangka panjang dimana current account balance, pada sisi kanan, sama dengan sustainable capital inflow, pada sisi kiri. Sustainable capital inflow sama dengan inflationary erosion of the real value of the country’s net debt terhadap dunia; dengan country’s real net international creditor position (f*), world inflation rate (π*), dan sustainable capital inflow (-π* f*). Sisi kanan persamaan terdiri dari trade balance ditambah 12 net interest receipts dari dunia. Trade balance merupakan jumlah produksi domestik yang diekspor yx (dihitung dalam terms of importables dari perkalian yz, dikurangi oleh permintaan privat dan + θ] c dan gz). Net interest receipts dari dengan terms of trade ɸ) dan diimpor publik atas impor (diberikan oleh [τ (pembayaran terhadap) dunia diberikan oleh (r* + π*) f*, dengan r* adalah external real interest rate yang dihadapi perekonomian domestik, sehingga r* + π* merupakan external nominal interest rate. 6 e IB 5 4 A 3e* 2 1 EB 0 1 2 c* 3 c 4 5 Sumber: Montiel, 2002 Gambar 3. Kurva internal balance, external balance, dan long-run equilibrium real exchange rate Permintaan privat untuk impor memiliki dua komponen. Pertama, komponen θc yang menggambarkan asumsi bahwa share θ dari total private spending dikhususkan untuk barang impor, sehingga cz = θc. Kedua, komponen τc yang merupakan asumsi atas biaya transaksi terkait the act of spending (terdiri dari τ barang per unit konsumsi) yang muncul dalam bentuk traded goods. Biaya tersebut dapat dikurangi melalui kepemilikan money balances, namun hal ini tidak disarankan ketika inflasi domestik sedang tinggi. Apabila ε menunjukkan tingkat depresiasi dari nilai tukar nominal, maka tingkat inflasi domestik dalam jangka panjang harus sama dengan ε + π*, sehingga τ akan meningkatkan ε + π*. Country’s net international creditor position (f*) bergantung hanya kepada external real interest rate, sehingga tidak terpengaruh guncangan lain pada model. Alasannya adalah suku bunga riil domestik dalam kondisi steady state harus sama dengan the rate of time preference, yang merupakan variabel eksogen. Dengan external real interest rate merupakan variabel eksogen, yang sama dengan the rate of time preference; maka yang dapat menyeimbangkan keduanya adalah risk premium on lending to the domestic economy, yang dijelaskan fungsi f*. Dalam hal ini, f* tidak akan berubah jika r* tidak mengalami perubahan. Ketika produksi traded goods (ɸ yx + yz) mengalami penurunan pada nilai tukar riil e, dan kenaikan pengeluaran konsumsi mengurangi surplus perdagangan, maka kombinasi e dan c yang menggambarkan kondisi 13 keseimbangan eksternal diplotkan dalam kurva EB dengan slope negatif pada gambar 3. Perpotongan di titik A dengan kurva IB yang berslope positif menjelaskan tingkat nilai tukar riil dan pengeluaran privat pada kondisi ekuilibrium jangka panjang. Fundamental Equilibrium Exchange Rate (FEER) Metodologi Fundamental Equilibrium Exchange Rate (FEER) menggunakan indikator keseimbangan internal dan eksternal untuk mendapatkan tingkat nilai tukar yang optimal. Oleh karena itu, FEER sesuai untuk menilai apakah gerakan REER merupakan misalignment atau apakah EREER telah bergeser sebagai akibat dari perubahan fundamental ekonomi (Roudet et al. 2007). Sedangkan penelitian Driver dan Westaway (2003) menyatakan bahwa FEER adalah model kesetimbangan yang mendefinisikan tingkat nilai tukar riil yang kompatibel dengan keseimbangan internal dan eksternal. Variabel yang digunakan untuk menilai keseimbangan internal dan eksternal adalah variabel yang mempengaruhi keseimbangan saving-investment suatu negara. Dalam hal ini, FEER mencerminkan nilai tukar riil yang berkelanjutan. Nilai tukar ini diharapkan dapat menghasilkan current account surplus atau defisit yang dapat menyesuaikan aliran modal suatu negara selama siklus tertentu. Asumsinya adalah bahwa negara sedang mengejar keseimbangan internal dan tidak membatasi perdagangan untuk alasan balance-of-payments (Cline dan Williamson 2011). Beberapa variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis nilai tukar ekuilibrium antara lain openness, GDP perkapita, konsumsi pemerintah per GDP, dan konsumsi swasta per GDP. Keterbukaan perdagangan atau openness biasanya berhubungan dengan ketidakseimbangan eksternal dan internal yang membutuhkan depresiasi REER untuk mengkoreksi balance-of-payments. Produktivitas diukur dengan GDP perkapita karena beberapa literatur menyatakan bahwa variabel tersebut merupakan pendekatan yang terbaik. Berdasarkan efek Balassa-Samuelson, peningkatan produktivitas barang tradable vs non-tradable dari satu negara, relatif terhadap negara asing, meningkatkan upah relatif. Hal ini meningkatkan harga relatif non-tradable untuk diperdagangkan dan menyebabkan apresiasi REER (Rochester 2013). Hubungan konsumsi pemerintah per GDP terhadap REER adalah ambigu karena hal ini bergantung pada apakah pengeluaran diarahkan untuk barang yang tradable atau non-tradable. Apabila pengeluaran diarahkan ke barang non-tradable maka diharapkan terjadi apresiasi REER. Penelitian Candelon et al. (2007) memasukkan variabel konsumsi swasta per GDP dalam analisis untuk menyelidiki kekokohan indikator permintaan karena adanya peralihan dari ekonomi terpusat ke ekonomi pasar. Keunggulan dari metodologi ini adalah kesederhanaan dan kejelasan, karena menyediakan hubungan langsung antara FEER dan fundamental ekonomi. Dengan demikian, penyebab nilai tukar mengalami overvalue atau undervalue dapat lebih mudah diidentifikasi. Selain itu, analisis dapat dilakukan dalam penelitian dengan banyak negara, dimana FEER digunakan untuk mengtahui nilai tukar ekuilibrium bilateral melalui kondisi arbitrase yang standar. 14 Misalignment Nilai Tukar Riil Penghitungan keseimbangan nilai tukar dan isu-isu terkait telah menjadi topik yang berkembang untuk berbagai alasan. Pertama, sejumlah negara - seperti kelompok negara-negara yang bersepakat, Inggris, dan Swedia - memiliki kepentingan dalam mengetahui nilai tukar yang tepat untuk masuk ke area Euro (baik dalam hal partisipasi pada kesepakatan ERM II atau tingkat nilai tukar yang tepat untuk menetapkan mata uang secara permanen terhadap Euro). Kedua, perilaku mata uang tertentu, seperti penurunan tajam di awal dan berkelanjutan dalam nilai eksternal Euro setelah didirikan pada tahun 1999, apresiasi berkelanjutan pada sterling di akhir 1990-an, dan perilaku Renminbi China terhadap Dolar AS setelah 2005; telah menghasilkan perdebatan tentang sumber pergerakan nilai tukar. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mengenai terjadinya nilai tukar misalignment. Balance of payment didapat dari jumlah current account (ca) dan capital account (cap), dengan nilai tukar fleksibel sama dengan nol. Current balance dapat ditulis sebagai: (2.10) Dengan variabel independen mencerminkan nilai tukar riil, pendapatan domestik pada net ekspor, pendapatan luar negeri pada net ekspor, dan net interest payments pada net foreign assets. Sedangkan capital account diasumsikan sebagai fungsi dari penyesuaian net interest yields terhadap perubahan yang diharapkan pada nilai tukar, yang ditulis sebagai berikut: (2.11) Berdasarkan persamaan diatas, untuk menggambarkan konsep nilai tukar misalignment, maka diformulasikanlah persamaan balance of payment exchange rate relationship sebagai berikut: = (2.12) dimana definisi variabel seperti sebelumnya dengan variabel dependen sebagai nilai tukar riil. Persamaan (2.12) tidak mewakili keseimbangan steady state seutuhnya, karena tidak ada stock-flow yang konsisten namun berguna dalam menggambarkan konsep yang akan dibahas. Clark dan MacDonald (1998) mendefinisikan sebagai seperangkat fundamental yang diharapkan memiliki efek persisten pada nilai tukar riil jangka panjang, dan sebagai seperangkat fundamental yang memiliki efek persisten pada jangka menengah, yaitu selama siklus bisnis. Dalam persamaan (2.12), akan berisi relative output terms dan net foreign assets, sementara akan berisi interest rate yields. Oleh karenanya, nilai tukar riil aktual dapat ditulis sebagai berikut: (2.13) dengan T adalah a set of transitory, atau jangka pendek, variabel-variabel dan adalah random error. Berdasarkan penelitian Clark dan MacDonald (1998), penting untuk membedakan antara nilai tukar riil secara aktual dan nilai tukar ekuilibrium saat ini ( ). Oleh sebab itu, dikembangkanlah persamaan nilai tukar ekuilibrium saat ini dimana transitory dan random terms adalah nol: (2.14) Selanjutnya related current misalignment (cm) didefinisikan menjadi: (2.15) 15 dengan cm dapat pula diartikan sebagai jumlah transitory dan random errors. Nilai saat ini dari fundamental ekonomi dapat menyimpang dari tingkat yang berkelanjutan atau diharapkan, maka Clark dan MacDonald (1998) juga mendefinisikan total misalignment (tm) sebagai selisih antara tingkat aktual dan riil dalam periode berkelanjutan atau jangka panjang. Definisi tersebut dapat ditulis: ̅ ̅ (2.16) Kalibrasi fundamental di tingkat yang diinginkan akan dapat dicapai dengan menempatkan beberapa penilaian pada nilai yang harus dimiliki variabel aktual selama periode sampel, atau menggunakan beberapa jenis filter statistik, seperti filter Hodrick-Prescott. Dengan menambahkan dan mengurangkan dari sisi kanan persamaan (2.16), maka total misalignment dapat didekomposisi menjadi dua komponen: ̅ ̅ (2.17) dan karena = , total misalignment dalam persamaan (2.17) dapat ditulis kembali menjadi: ̅ ̅ (2.18) Persamaan (2.18) menunjukkan bahwa total misalignment pada setiap titik waktu dapat didekomposisi menjadi efek transitory factors, random disturbances, dan sejauh mana fundamental ekonomi menyimpang dari nilai-nilai yang berkelanjutan. Kebijakan Non-Tarif Untuk memperlancar aliran output dan memaksimalkan keuntungan antar negara, maka dibentuklah berbagai kesepakatan perdagangan seperti free trade area. Namun dalam pelaksanaannya, tidak semua barang dapat dengan mudah diperdagangkan antar negara yang telah menjalin kesepakatan. Masih terdapat banyak negara yang menerapkan kebijakan perdagangan yang bersifat menghambat dalam rangka melindungi kepentingan domestik. Definisi non-tariff measures (NTMs) adalah semua langkah-langkah kebijakan selain tarif, yang mengubah kondisi perdagangan internasional terkait jumlah yang diperdagangkan, harga, atau keduanya (Pasadilla 2013). Tidak semua NTMs adalah hambatan perdagangan (NTBs). NTMs adalah seperangkat aturan yang lebih luas, sedangkan NTBs bersifat diskriminatif dan dimaksudkan untuk melindungi atau mendukung produsen domestik. Namun dalam praktiknya, tidak mudah untuk membedakan keduanya karena beberapa NTMs meskipun terlihat sah, dapat diterapkan sedemikian rupa sehingga menjadi kendala bagi perdagangan. Secara umum, NTM merupakan semua biaya perdagangan yang berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan dari produksi hingga ke konsumen akhir, selain tarif (Pasadilla 2013). Dalam hal ini, sebuah kolaborasi antar-lembaga internasional yang dipelopori oleh UNCTAD, ITC dan World Bank merevisi klasifikasi NTMs menjadi pengenaan impor dan ekspor, dengan pengenaan impor dibagi menjadi technical measures dan non-technical measures (Gambar 4). 16 Sumber: Pasadilla, 2013 Gambar 4. New UNCTAD classification of non-tariff measures Sanitary and phytosanitary (SPS) merupakan kebijakan pembatasan substansi untuk food safety yang termasuk aturan sertifikasi, testing, dan karantina. Technical barrier to trade (TBT) berkaitan dengan labelling, standar spesifikasi dan kualitas, serta kebijakan lainnya dalam melindungi lingkungan. Pre-shipment clearence merupakan pengenaan NTM yang diterapkan di perbatasan negara asal. Price control adalah kebijakan guna melindungi pasar domestik dari tindakan perdagangan yang tidak adil, seperti antidumping, countervailing, dan safeguard measures. Pengenaan licences, quotas, larangan, dan kebijakan quantity control lainnya diterapkan at-the-border. Charges, taxes, dan para-tariff measures merupakan kebijakan untuk mengendalikan harga barang impor. Finance terkait dengan pembiayaan. Anti-competitive merupakan kebijakan yang mempengaruhi persaingan. Trade-related investment berkaitan syarat investasi dengan local content atau permintaan investasi terhadap ekspor guna menyeimbangkan impor. Distribution restrictions dan post-sales service terkait dengan pemasaran dan pelayanan produk setelah diimpor. Pengenaan subsidies, government procurement, dan rules diterapkan behind-the-border. Intellectual property adalah kebijakan pembatasan mengenai tindakan dan hak kekayaan intelektual. Export-related measures merupakan kebijakan terkait ekspor meliputi pajak ekspor, kuota ekspor, dan larangan ekspor. Berdasarkan klasifikasi NTM dari UNCTAD, maka kebijakan non-tarif yang terkait perubahan nilai tukar adalah kebijakan yang diterapkan untuk mengendalikan atau mempengaruhi harga barang impor yaitu price control. Tindakan ini dilakukan guna mendukung harga domestik produk tertentu ketika harga impornya lebih rendah, menetapkan harga domestik produk tertentu karena 17 fluktuasi harga di pasar domestik atau ketidakstabilan harga di pasar luar negeri, serta meningkatkan atau mempertahankan penerimaan pajak. Tindakan Safeguard The Agreement on Safeguards (“SG Agreement”) menetapkan aturan untuk penerapan tindakan pengamanan berdasarkan Article XIX GATT 1994. Tindakan safeguard didefinisikan sebagai tindakan "darurat" terkait meningkatnya impor produk-produk tertentu, dimana impor tersebut telah menyebabkan atau mengancam munculnya cedera serius bagi industri dalam negeri di negara pengimpor (Article 2). Penerapan tindakan berbentuk penangguhan konsesi atau kewajiban, yang dapat terdiri dari pembatasan impor kuantitatif atau pajak yang lebih tinggi. Berbagai perjanjian ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) memiliki pandangan aturan yang bersifat pro-pembangunan. Para anggota dari AustraliaNew Zealand Closer Economic Relations Trade Agreement (AFTA-CER), kerjasama ekonomi ASEAN-India, ASEAN-Jepang, ASEAN and Tthe Government of The Russian Federation, dan ASEAN-Korea Free Trade Area bersepakat perbedaan tingkat pembangunan ekonomi pada negara anggota ASEAN akan dilihat dan dipertimbangkan. ASEAN-China FTA, ASEANAustralia Australia New Zealand FTA dan ASEAN-Korea FTA memungkinkan perlakuan khusus untuk negara-negara berkembang dengan tidak menerapkan kebijakan perdagangan jika pangsa produk impor atau total impor dari negara anggota pengimpor tidak melebihi 3 persen. Hal ini serupa dengan ketentuan dalam The Agreement on Safeguards. Indonesia mengungkapkan adanya resiko lonjakan impor dari China setelah penandatanganan ASEAN-China FTA (ACFTA) yang dapat menyebabkan mempengaruhi produsen dalam negeri untuk produk sejenis. Bea impor pada lebih dari 6.000 jenis barang-barang dari China dibebaskan pada tanggal 1 Januari 2010 sesuai dengan kesepakatan. Ekspor seperti kelapa, karet, dan kopi mungkin meningkat berdasarkan kesepakatan. Namun barang elektronik, baja, dan industri makanan diprediksi akan menurun. Alasannya adalah kurangnya daya saing produsen dalam negeri yang menjual produk mereka di pasar domestik, dimana mereka harus bersaing dengan barang-barang sejenis tapi lebih murah dari China. Sebelum perjanjian mulai diberlakukan, impor dari China untuk mesin dan mekanik peralatan serta mesin listrik dan peralatan sendiri telah meningkat lebih dari 50 persen antara tahun 2004 dan 2008. Oleh karena itu, salah satu alat untuk mencegah cedera serius bagi industri domestik untuk kasus ini adalah tindakan safeguard yang sesuai klausul perlindungan dalam kesepakatan. Filipina telah mengambil beberapa langkah tindakan pengamanan yang impor dari negara-negara tertentu. Semua perselisihan yang timbul dari pelaksanaan tindakan safeguard harus dirujuk ke WTO Dispute Settlement Unit. Selain itu, Filipina juga memiliki undang-undang nasional yang mengatur pelaksanaan tindakan pengamanan, yaitu Safeguard Measures Act (juga dikenal sebagai R.A. 8800) yang mulai berlaku pada tanggal 9 Agustus 2000. Berdasarkan penelitian Kruger et al. (2009), Filipina telah menerapkan langkah-langkah pengamanan definitif ceramic wall and floor tiles, glass mirrors, figured and float glass, dan technical grade sodium tripolyphosphates (STPP). 18 Hubungan Nilai Tukar, Output, dan Tindakan Safeguard Rea l 6 excha nge ra te, RS RD 5 4 3 1 2 1 0 1 2 3 4 5 Ra tio of US to European rea l output, Sumber: Krugman et al., 2002 Gambar 5. Kurva hubungan antara tingkat nilai tukar dan output Gambar 5 menunjukkan hubungan antara nilai tukar dengan output yang terkait penawaran dan permintaan. Penawaran output AS relatif terhadap output Eropa digambarkan oleh variabel yang diplotkan terhadap variabel nilai tukar riil dollar US terhadap euro . Kurs riil ekuilibrium ditentukan oleh dua kurva yang berpotongan. Kurva RD menunjukkan bahwa permintaan relatif untuk produk AS secara umum terhadap produk Eropa yang meningkat saat naik karena produk AS menjadi relatif lebih murah. Dalam jangka panjang, tingkat output nasional relatif ditentukan oleh pasokan faktor dan produktivitas, dengan sedikit, jika ada, efek pada nilai tukar riil. Kurva RS menunjukkan penawaran relatif sehingga vertikal dalam jangka panjang (asumsi full-employment) dengan output rasio relatif. Dalam nilai tukar riil ekuilibrium jangka panjang, permintaan relatif sama dengan penawaran relatif. Hubungan antara nilai tukar ekuilibrium dan output yang terjadi dipengaruhi oleh berbagai faktor fundamental dalam negara. Ketika kondisi perekonomian suatu negara mengalami gejolak domestik maka output yang dihasilkan dapat menurun, sehingga kegiatan perdagangan terkena imbas penurunan. Penurunan ini berdampak pula pada penggunaan mata uang sebagai alat transaksi, dimana ketika negara terkena gejolak maka mata uang cenderung terdepresiasi. Berdasarkan situasi tersebut, pemerintah akan melakukan berbagai stimulus untuk mendongkrak industri berorientasi ekspor karena depresiasi nilai tukar membuat harga barang domestik lebih murah. Disisi lain, negara pengimpor akan melihat kondisi tersebut sebagai sinyal adanya lonjakan impor sehingga mereka akan berusaha melindungi industri domestik. Salah satu bentuk perlindungan pemerintah di negara pengimpor yaitu dengan penerapan kebijakan non-tarif berupa tindakan safeguard, terhadap mitra dagangnya. 19 Tinjauan Ekonometrika Panel Dynamic Ordinary Least Square (Panel DOLS) Dalam konteks penentuan nilai tukar jangka panjang, kita harus memperhitungkan bahwa nilai tukar riil serta variabel dependen umumnya tidak stasioner. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel tidak memiliki nilai rata-rata tetap terkait waktu, sehingga analisis kointegrasi diperlukan. Pada analisis lintas negara, penelitian akan mengarah ke metode panel-kointegrasi. Penggunaan teknik OLS yang normal akan menyebabkan regresi palsu sehingga teknik panelkointegrasi spesifik perlu digunakan. Kao dan Chiang (2000) telah menunjukkan bahwa OLS dalam model panel-kointegrasi adalah asimtotik normal tetapi bias. Bahkan estimator OLS bias yang dikoreksi tidak meningkatkan estimator OLS secara umum (Chen et al. 1999). Phillips dan Moon (2000) menunjukkan bahwa dalam kasus panel homogen dan mendekati-homogen, koefisien jangka panjang dapat diperoleh dengan menggunakan pooled fully modified (FM) estimator. Metode ini merupakan nonparametrik karena menggunakan kernel estimators dari parameter gangguan yang mempengaruhi distribusi asimtotik estimator OLS. Hal tersebut mengatasi kemungkinan masalah endogenitas dari regressor serta residu autokorelasi. Namun dalam sampel yang terbatas, Kao dan Chiang (2000) menemukan bahwa estimator FM tidak mengkoreksi OLS secara umum. Oleh karena itu, digunakanlah panel dynamic OLS yang memiliki keuntungan untuk kenyamanan komputasi. Kao dan Chiang (2000) menunjukkan bahwa panel DOLS mengungguli metode lain pada sampel yang sama, terutama jika menyertakan fixed effects. Panel DOLS adalah metode parametrik selain alternatif yang diperkenalkan oleh Pedroni (1997), serta Phillips dan Moon (1999) yaitu estimasi data panel dengan fully modified OLS. Sifat Panel DOLS yakni adanya fixed effect dalam regresi kointegrasi (Kao and Chiang 2000) .Umumnya, vektor kointegrasi adalah homogen untuk setiap individu namun metode ini memungkinkan adanya heterogenitas individu dalam jangka pendek, individual-specific fixed effects, dan individual-specific time trends. Selain itu, metode ini juga memungkinkan limited degree of cross-sectional dependence (CSD) akibat adanya time-specific effects. Hasil estimasi panel DOLS adalah seperangkat koefisien jangka panjang yang berhubungan secara fundamental dengan nilai tukar riil. Conditional Fixed-Effects Logistic Regression Metode Conditional Fixed-Effects Logistic Regression digunakan untuk menganalisis pengaruh misalignment nilai tukar dan total ekspor terhadap pengenaan tindakan safeguard. Analisis dengan metode tersebut dilakukan karena yang menjadi variabel independen merupakan dummy pengenaan tindakan safeguard. Dengan penggunaan data panel, maka kontrol atas kestabilan karakteristik dari masing-masing individu dapat dilakukan. Dalam hal ini, karakteristik setiap individu tidak berubah untuk setiap waktu walaupun variabel dapat dihitung atau tidak. 20 Tinjauan Penelitian Terdahulu Survei mengenai hubungan antara mata uang dan perdagangan oleh Auboin dan Ruta (2011), meneliti dua isu utama, yaitu dampak volatilitas nilai tukar terhadap perdagangan, dan misalignments mata uang. Secara umum, volatilitas nilai tukar berdampak negatif (walaupun tidak besar) terhadap arus perdagangan. Besarnya dampak bergantung pada sejumlah faktor seperti eksistensi instrumen hedging, struktur produksi, dan tingkat integrasi antar negara. Misalignments nilai tukar diperkirakan memiliki dampak jangka pendek pada model kekakuan harga. Namun hal ini bergantung pada sejumlah faktor-faktor, seperti strategi penetapan harga oleh perusahaan yang terlibat perdagangan internasional dan pentingnya jaringan produksi global. Dampak ini diperkirakan akan menghilang dalam jangka panjang, kecuali terjadi beberapa distorsi dalam karakteristik perekonomian. Penelitian Raji (2013) berfokus pada dampak dari misalignment nilai tukar riil terhadap kinerja ekonomi West African Monetary Zone (WAMZ). Metode yang digunakan adalah Generalised Method of Moment of Dynamic Panel Estimation Method dengan didukung pendekatan cross country correlation yang terdiri dari Gambia, Ghana, Guinea, Liberia, Nigeria dan Sierra Leone antara tahun 2000 hingga 2010. Studi ini menemukan bahwa zona mengalami korelasi asimetris antara misalignment nilai tukar riil dan kinerja ekonomi, dimana masuknya nilai tukar riil ekuilibrium mengungkapkan hubungan simetris dengan kinerja ekonomi. Lebih lanjut, penelitian terkait cross country correlation menunjukkan bahwa dua negara (Ghana dan Nigeria) memiliki tingkat moderat dalam hubungan simetris dengan menggunakan variabel makroekonomi seperti suku bunga, nilai tukar riil, dan misalignment nilai tukar riil. Berdasarkan klasifikasi NTM, Gourdon dan Nicita (2012) menganalisis data 24 negara berkembang ditambah Uni Eropa dan Jepang, dengan temuan: Cakupan ratio dari NTM bervariasi lintas sektor dengan besar setara antara 10% sampai 90% dari pos tarif. Kedua negara maju dan berkembang memiliki rasio cakupan yang signifikan; Technical measures, khususnya TBT dan SPS, adalah yang paling umum diterapkan dari semua NTM. TBT mempengaruhi 30 persen dari perdagangan internasional, sedangkan SPS sebesar 15 persen. SPS sebagian besar diterapkan pada produk pertanian dan makanan, yakni sekitar 60 persen. Seringkali, tindakan TBT dan SPS tidak bermaksud proteksionis tetapi keduanya sama-sama merugikan negara berkembang karena tingginya biaya kepatuhan; Diantara non-technical measures, penggunaan kuota telah menurun tetapi penggunaan non-automatic licenses meningkat. Penurunan penggunaan kuota sebagian besar disebabkan oleh aturan WTO terkait instrumen kebijakan perdagangan. Tindakan price control jarang digunakan dan hanya berpengaruh kurang dari 5 persen terhadap perdagangan. Nicita (2013) melakukan penelitian mengenai dampak misalignment nilai tukar terhadap perdagangan internasional, serta hubungannya dalam mempengaruhi keputusan pemerintah menetapkan kebijakan perdagangan. Hasil penelitian menunjukkan misalignment nilai tukar mempengaruhi arus perdagangan secara substansial, dimana undervalued currency mendorong ekspor dan membatasi impor, sedangkan overvalued currency sebaliknya. Terkait 21 hubungan misalignment nilai tukar dengan keputusan pemerintah, hasil penelitian mendukung argumen mengenai pemanfaatan kebijakan perdagangan untuk mengkompensasi overvalued currency, khususnya terkait anti-dumping. Kondisi tersebut dibuktikan melalui respon atas melambatnya kecepatan dalam mendukung liberalisasi tarif. Dalam hal ini, persistensi misalignment nilai tukar akan meningkatkan insentif untuk memberlakukan kebijakan proteksi yang nontradisional. Kerangka Penelitian Negara anggota ASEAN masih memberlakukan mata uang masing-masing walaupun sudah terjalin lama dalam kerjasama ekonomi secara regional. Masingmasing mata uang memiliki besaran dan arah pergerakan nilai tukar yang berbeda. Nilai tukar tersebut diamati melalui dua kondisi, yaitu aktual dan ekuilibrium. Kondisi aktual menunjukkan posisi nilai tukar yang terjadi di lapangan. Sedangkan kondisi ekuilibrium menunjukkan posisi nilai tukar yang dipengaruhi faktor-faktor yang terjadi saat itu, yaitu openness, GDP per kapita, konsumsi pemerintah per GDP, dan konsumsi swasta per GDP. Perbedaan antara kondisi aktual dan ekuilibrium dapat menimbulkan misalignment nilai tukar yang diukur melalui terjadinya undervalue atau overvalue. Disisi lain, aktivitas dalam perdagangan internasional dibedakan menjadi dua, yaitu ekspor dan impor. Tingkat ekspor dan impor yang dilakukan suatu negara serta besaran pada misalignment nilai tukar akan berpengaruh bagi penentuan kebijakan perdagangan yang diambil pemerintah. Seiring dengan meningkatnya kesepakatan untuk mengurangi tarif dalam kerjasama perdagangan regional, maka kebijakan perdagangan akan difokuskan pada non-tarif. Hasil penelitian ini selanjutnya menghasilkan implikasi kebijakan yang diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengembangan perdagangan luar negeri. Perdagangan Internasional Nilai Tukar Mata Uang Long-run equilibrium Ekspor lag Impor Aktual Misalignment Nilai Tukar Faktor-faktor yang mempengaruhi: openness, GDP per kapita, konsumsi pemerintah per GDP, konsumsi swasta per GDP Kebijakan Perdagangan Non-tarif Tarif Implikasi Kebijakan Keterangan : variabel yang dianalisis Gambar 6. Kerangka Pemikiran 22 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini adalah: 1. Ekspor suatu negara yang semakin meningkat akan berhubungan positif dengan diberlakukannya kebijakan non-tarif oleh negara mitra dagang. 2. Misalignment nilai tukar riil dimana mata uang mengalami undervalue akan berhubungan positif dengan dikeluarkannya kebijakan non-tarif oleh negara mitra dagang. 3. Misalignment nilai tukar riil dimana mata uang mengalami overvalue akan berhubungan negatif dengan dikeluarkannya kebijakan non-tarif oleh negara mitra dagang. 3 METODE Jenis dan Sumber Data dalam Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder dari berbagai sumber. Data tersebut merupakan data panel yang berasal dari data tahunan pada periode 1994 hingga 2013 di lima negara anggota ASEAN. Rincian data yang digunakan dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Jenis dan sumber data yang digunakan Jenis Data Real Effective Exchange Rate Total Value Export Total Value Import GDP GDP per Capita Government Consumption Private Consumption Non Tariff Measures Sumber BIS UN Comtrade UN Comtrade WDI WDI WDI WDI WITS Satuan Indeks US$ US$ US$ US$ US$ US$ - Metode Analisis Estimasi Misalignment Nilai Tukar Riil Penentuan misalignment nilai tukar riil dilakukan melalui tiga tahap. Pertama, real effective exchange rate (REER) diregresi terhadap faktor-faktor fundamental ekonominya. Berdasarkan penelitian Candelon et.al (2007), estimasi persamaan ekuilibrium untuk REER dengan menggunakan metode Panel DOLS adalah : dimana, : log natural real effective exchange rate negara fokus i pada waktu t; : log natural keterbukaan negara fokus i pada waktu t; : log natural GDP per kapita negara fokus i pada waktu t; : log natural konsumsi pemerintah per GDP negara fokus i pada waktu t; : log natural konsumsi swasta per GDP negara fokus i pada waktu t. 23 Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan jangka panjang antara variabel dependen dan variabel fundamentalnya, maka sebelum estimasi dilakukanlah uji akar unit dan uji kointegrasi. Apabila variabel-variabel stationer pada tingkat yang sama dan terkointegrasi, maka estimasi persamaan REER ekuilibrium bisa dilakukan. Kedua, setelah melakukan regresi, maka persamaan dikalkulasi berdasarkan variabel fundamental dengan koefisien hasil estimasi. Hasil yang didapat nantinya merupakan REER ekuilibrium ( ). Pada tahap ketiga, misalignment nilai tukar selanjutnya dikalkulasi menggunakan formula sebagai berikut: dimana, : persentase besarnya misalignment nilai tukar yang terjadi pada negara fokus i di waktu t. Nilai yang positif menunjukkan mata uang overvalue, sedangkan undervalue sebaliknya. Estimasi Model Pengaruh Misalignment terhadap Non Tariff Measures Dalam kaitan dengan kebijakan perdagangan, penelitian ini mengikuti estimasi yang dilakukan Jouanjean et al. (2012) untuk menangkap perubahan kebijakan perdagangan. Variabel untuk menangkap perubahan kebijakan perdagangan tersebut difokuskan kepada non tariff measures. Hipotesisnya adalah bahwa industri domestik akan melobi pemerintah untuk melakukan investigasi dan menerapkan kebijakan non-tarif, dalam rangka meminimalisir efek mata uang negara mitra yang mengalami undervalue. Dalam kasus tersebut, dapat pula diasumsikan bahwa penerapan kebijakan non-tarif akan meningkat ketika misalignment nilai tukar meningkat. Hubungan antara misalignment nilai tukar dengan non tariff measures berupa safeguards, diestimasi menggunakan conditional fixed-effects logistic regression. Estimasi persamaannya adalah sebagai berikut: dimana, : dummy tindakan safeguards yang dikenakan kepada negara fokus i pada tahun t, dimana nilai 1=dikenakan safeguards dan nilai 0=tidak dikenakan safeguards; : log natural total nilai ekspor negara fokus i pada tahun t. Dalam persamaan tersebut, dan merupakan seperangkat fixed effects yang mengontrol karakteristik individu dan waktu. Definisi Operasional Definisi operasional variabel yang digunakan dalam model penelitian ini antara lain: atau real effective exchange rate adalah indeks rata-rata tertimbang nilai 1. tukar bilateral yang disesuaikan beberapa ukuran harga relatif atau biaya, sehingga perhitungannya mempertimbangkan perkembangan nilai tukar nominal dan inflasi di negara mitra dagang. 2. atau openness adalah tingkat keterbukaan suatu negara dalam perdagangan internasional yang didapat dari perbandingan jumlah nilai ekspor dan nilai impor terhadap GDP. 24 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. atau GDP per kapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara yang didapatkan dari hasil pembagian antara pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. atau konsumsi pemerintah per GDP adalah perbandingan nilai seluruh barang dan jasa yang dikonsumsi pemerintah terhadap GDP negara tersebut. atau konsumsi swasta per GDP adalah perbandingan nilai seluruh barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga terhadap GDP negara tersebut. atau equilibrium real effective exchange rate adalah indeks REER yang diasumsikan berada saat kondisi ekuilibrium berdasarkan hasil estimasi faktor-faktor fundamentalnya. atau misalignment exchange rate adalah persentase perbedaan antara nilai tukar efektif riil aktual (REER) dengan nilai tukar efektif riil ekuilibrium (EREER). atau total nilai ekspor adalah besarnya nilai hasil memperdagangkan atau menjual barang dari dalam negeri ke luar negeri. atau dummy tindakan safeguards adalah ada atau tidak ada kebijakan non-tarif berupa safeguards, yang dikenakan pada negara pengekspor akibat tingginya impor yang dilakukan negara mitra dagang sehingga berdampak pada industri domestiknya. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis pengaruh misalignment nilai tukar terhadap kebijakan non-tarif berupa safeguards di lima negara ASEAN dimulai dengan menentukan tingkat nilai tukar mata uang pada kondisi ekuilibrium. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan regresi Panel DOLS terhadap variabel-variabel fundamentalnya. Selanjutnya dilakukan penentuan besaran misalignment nilai tukar yang terjadi berdasarkan perbedaan antara nilai tukar tingkat ekuilibrium dari hasil regresi dengan nilai tukar aktual yang diamati. Terakhir, pengaruh misalignment nilai tukar dan ekspor dianalisis terhadap variabel dependen berupa dummy ada atau tidak tindakan safeguard menggunakan model logit. Estimasi Model Persamaan Nilai Tukar Ekuilibrium Regresi Panel DOLS dilakukan untuk mengestimasi persamaan nilai tukar ekuilibrium. Untuk itu dilakukan beberapa langkah seperti uji akar unit dan uji kointegrasi sebelum mengestimasi persamaan nilai tukar ekuilibrium. Uji Akar Unit Uji akar unit dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel stationer atau tidak. Variabel yang tidak stationer akan menghasilkan estimasi yang palsu atau regresi lancung, yakni kondisi dimana hasil estimasi menunjukan koefisien regresi yang signifikan dan nilai koefisien determinasi yang tinggi namun hubungan antara variabel independen dan variabel dependen tidak saling berhubungan. Penelitian ini menggunakan Im, Pesaran and Shin (IPS), ADF Fisher Chi-Square, dan PP– Fisher Chi-Square. 25 Tabel 5. Hasil uji akar unit Variabel IPS -0.183 0.124 4.417 -0.749 0.675 LNREER LNOPEN LNGDPCAP LNGOVGDP LNPRIGDP Variabel LNREER LNOPEN LNGDPCAP LNGOVGDP LNPRIGDP IPS -4.281* -7.523* -5.239* -4.487* -3.939* Nilai Statistik Level ADF-Fisher 8.708 13.064 0.714 15.783 10.289 First Difference ADF-Fisher 35.947* 63.158* 44.535* 41.763* 33.311* PP-Fisher 9.791 14.927 0.498 7.056 4.138 PP-Fisher 47.422* 69.040* 75.560* 48.743* 32.962* Keterangan: *) signifikan pada taraf α = 1% Hipotesis nol (H0) dari uji akar unit menyatakan variabel memiliki akar unit atau tidak stationer. Berdasarkan tabel 5, hasil pengujian menunjukkan bahwa seluruh variabel tidak stationer pada level seperti yang tercantum pada hasil pengolahan di Lampiran 1. Selanjutnya, dilakukanlah pengujian akar unit pada first difference seperti pada Lampiran 2 yang menunjukkan bahwa seluruh variabel telah stationer atau menolak H0. Hal ini terlihat dari probabilitas masingmasing variabel yang lebih kecil dari taraf nyata satu persen. Setelah terbukti variabel tidak memiliki akar unit, maka langkah berikutnya adalah melakukan uji kointegrasi. Uji Kointegrasi Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui apakah akan terjadi keseimbangan dalam jangka panjang, yakni terdapat kesamaan pergerakan dan stabilitas hubungan diantara variabel-variabel di dalam penelitian ini atau tidak. Asumsi yang digunakan yaitu H0 menyatakan tidak ada kointegrasi sedangkan H1 menyatakan ada kointegrasi. Kriteria statistika untuk menolak H0 yakni jika trace statistic > Critical value atau nilai p-value lebih kecil dari taraf nyata yang ditetapkan. Tabel 6. Hasil uji kointegrasi Pedroni Kao Panel v-Statistic Panel PP-Statistic Panel ADF-Statistic Group PP-Statistic Group ADF-Statistic ADF Model 1 1.467*** -5.137* -3.811* -4.340* -4.398* Model 2 1.926** -4.716* -3.683* -4.475* -2.434* -2.746* Keterangan: * signifikan pada taraf α = 1% ; ** signifikan pada taraf α = 5% ; dan *** signifikan pada taraf α = 10% Model 3 1.476*** -4.081* -3.329* -3.950* -3.338* 26 Penelitian ini menggunakan metode Pedroni dan Kao untuk melihat ada atau tidaknya kointegrasi antar variabel. Uji kointegrasi dilakukan dengan memberlakukan tiga asumsi tren yaitu No deterministic trend (Model 1), Deterministic intercept and trend (Model 2), dan No deterministic intercept or trend (Model 3). Dari hasil pengolahan pada Lampiran 3, terbukti bahwa seluruh variabel terkointegrasi atau menolak H0. Hal ini mengindikasikan terdapat hubungan jangka panjang dan keseimbangan antar variabel ketika terjadi kointegrasi. Estimasi Kondisi Ekuilibrium Nilai Tukar Riil Persamaan nilai tukar riil ekuilibrium diestimasi dengan metode Panel DOLS menggunakan software EVIEWS 8. Variabel-variabel fundamental yang digunakan untuk mengestimasi nilai tukar riil ekuilibrium antara lain derajat keterbukaan suatu negara, pendapatan per kapita, konsumsi pemerintah per GDP, dan konsumsi swasta per GDP. Derajat keterbukaan suatu negara akan meningkatkan integrasi internasional sehingga meminimalisir terjadinya hambatan perdagangan. Pendapatan per kapita merupakan pendekatan yang sering digunakan untuk melihat produktivitas suatu negara. Sedangkan konsumsi pemerintah dan konsumsi swasta merupakan variabel yang digunakan untuk melihat permintaan suatu negara. Tabel 7. Hasil estimasi nilai tukar riil ekuilibrium Variabel LNOPEN LNGDPCAP LNGOVGDP LNPRIGDP R-squared Koefisien t-statistic 0.217** -0.425** 0.492** -0.305*** 0.964 2.111 -2.040 2.432 -1.720 Keterangan: ** signifikan pada taraf α = 5% ; dan *** signifikan pada taraf α = 10% Hasil estimasi sesuai dengan Lampiran 4 yang menunjukkan bahwa semua variabel fundamental memiliki pengaruh atau signifikan terhadap nilai tukar riil efektif , dimana nilai probabilitas lebih kecil daripada taraf nyata. Derajat keterbukaan berpengaruh positif terhadap nilai tukar riil efektif. Hal tersebut mengindikasikan semakin tinggi tingkat integrasi perekonomian maka nilai tukar riil akan terapresiasi karena meningkatnya penggunaan mata uang domestik untuk transaksi. Konsumsi pemerintah juga memiliki pengaruh positif terhadap nilai tukar riil efektif. Kondisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pemerintah lebih banyak digunakan untuk belanja domestik sehingga nilai tukar riil terapresiasi. Disisi lain, pendapatan per kapita dan konsumsi swasta berpengaruh negatif terhadap nilai tukar riil efektif. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan barang konsumsi ketika masyarakat mengalami peningkatan pendapatan, dimana barang impor lebih disukai sehingga menurunkan permintaan mata uang domestik yang menyebabkan nilai tukar terdepresiasi. 27 Model pada persamaan (4.1) memiliki nilai R-squared sebesar 0.964. Hal ini menunjukkan bahwa model estimasi nilai tukar ekuilibrium dapat dijelaskan oleh variabel derajat keterbukaan, pendapatan per kapita, konsumsi pemerintah, dan konsumsi swasta sebesar 96.4 persen. Sedangkan sisanya yakni sebesar 3.6 persen dijelaskan variabel lain diluar model. Berdasarkan koefisien yang didapat dari hasil estimasi, maka persamaan (4.1) dikalkulasi kembali dengan variabel-variabel fundamentalnya untuk mendapatkan nilai tukar riil ekuilibrium. Kondisi Misalignment Nilai Tukar di Lima Negara ASEAN Misalignment nilai tukar riil efektif didapat dari persentase perbedaan antara nilai tukar riil efektif yang diobservasi dengan nilai tukar riil ekuilibrium yang diestimasi. Tanda negatif dalam perhitungan menunjukkan terjadinya undervalue dimana nilai tukar riil efektif berada dibawah tingkat ekuilibrium sehingga mata uang mengalami depresiasi. Sedangkan tanda positif mengindikasikan terjadinya overvalue yakni kondisi dimana nilai tukar riil efektif berada diatas tingkat ekuilibrium sehingga mata uang mengalami apresiasi. INDONESIA 120 100 80 60 40 20 REERit 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 0 EREERit Sumber: data terolah Gambar 7. Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Indonesia Mata uang rupiah mengalami overvalue jauh diatas tingkat ekuilibrium sebelum tahun 1998 karena rezim yang dianut masih menggunakan fixed exchange rate. Namun kondisi nilai tukar riil efektif tersebut berubah drastis menjadi dibawah tingkat ekuilibrium dari tahun 1998 hingga 2002 seperti yang terlihat dalam Gambar 7. Misalignment nilai tukar riil efektif pada tahun 1998 memiliki besaran -31.05, dimana indeks nilai tukar riil efektif berada pada kisaran 50.99 sedangkan tingkat ekuilibrium berada pada kisaran 73.96. Hal ini menunjukkan bahwa mata uang rupiah mulai mengalami undervalue saat terjadi krisis di tahun 1998 akibat adanya ketidakstabilan politik di dalam negeri pada masa tersebut yang turut mempengaruhi perekonomian. Investasi domestik 28 menjadi tidak menarik sehingga modal mengalir keluar negeri, dan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi. Keadaan ekonomi semakin membaik pada tahun 2002 dimana mata uang rupiah mulai mengalami overvalue namun berfluktuasi dekat dengan tingkat ekuilibriumnya. Berdasarkan Gambar 7, misalignment nilai tukar mata uang rupiah mengalami undervalue atau overvalue yang cukup tinggi ketika terjadi gejolak di dalam negeri. MALAYSIA 140 120 100 80 60 40 20 REERit 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 0 EREERit Sumber: data terolah Gambar 8. Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Malaysia Pada Gambar 8 terlihat bahwa mata uang ringgit terus mengalami overvalue sampai dengan pertengahan tahun 1997. Kemudian nilai tukar ringgit menjadi terdepresiasi saat terjadi krisis keuangan Asia pada Juli 1997. Misalignment nilai tukar efektif yang terjadi pada tahun 1997 yakni sebesar 32.48. Namun nilai tukar ringgit saat krisis dinilai masih terlalu tinggi sehingga pemerintah Malaysia melakukan peralihan kebijakan moneter dari managed floating regimes menjadi pegged regimes pada pertengahan tahun 1998. Kebijakan tersebut dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif dari kondisi ekonomi regional yang menurun. Akibatnya mata uang ringgit mengalami undervalue pada tahun 1999, dimana misalignment nilai tukar efektif yang terjadi sebesar -0.46. Dalam hal ini, pemerintah Malaysia cukup peka mempertimbangkan mata uang ringgit sebagai salah satu faktor penentu kebijakan dalam menjaga kestabilan ekonomi. Berdasarkan Gambar 8, nilai tukar ringgit untuk periode selanjutnya berfluktuasi di sekitar tingkat ekuilibrium dengan persentase misalignment nilai tukar riil yang kecil. 29 PHILIPPINES REERit 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 140 120 100 80 60 40 20 0 EREERit Sumber: data terolah Gambar 9. Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Philippines Negara Philippines mengalami nilai tukar yang undervalue dengan persentase misalignment yang cukup besar hingga tahun 2007, yakni pada kisaran -25.98 hingga -5.95. Hal ini merupakan dampak diberlakukannya liberalisasi perdagangan yang dimulai tahun 1981, dan berjalan dalam tiga fase. Kebijakan tersebut disertai adanya Import Liberalization Program (ILP) yang berusaha mengeliminasi hambatan impor (Yap 2008). Fase ketiga dimulai pada tahun 1994 dimana tarif dikenakan sebesar 3 persen untuk bahan baku dan peralatan modal yang tidak tersedia di dalam negeri. Selanjutnya, pemerintah Philippines berkomitmen untuk menyeragamkan tarif sebesar 0 hingga 5 persen untuk sebagian besar produk pada tahun 2002. Situasi ini mendorong Philippines untuk melakukan impor barang modal sehingga mata uang peso mengalami depresiasi. Pada tahun 2008, nilai tukar peso perlahan terus mengalami overvalue yang dicerminkan melalui besaran misalignment nilai tukar yang positif yakni 0.50. Kondisi ini disebabkan terjadinya krisis keuangan global sehingga menurunkan permintaan mata uang dollar. Selain itu, aliran investasi ke dalam negeri semakin tinggi yang turut meningkatkan permintaan mata uang peso. SINGAPORE REERit 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 120 100 80 60 40 20 0 EREERit Sumber: data terolah Gambar 10. Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Singapore 30 Tingkat nilai tukar untuk mata uang dollar Singapore terus bergerak diatas kondisi ekuilibriumnya hingga tahun 1998. Situasi ini menunjukkan perekonomian Singapore yang cenderung stabil meskipun terjadi krisis keuangan di Asia pada tahun 1997. Namun pasca krisis, nilai tukar dollar Singapore mengalami undervalue sebagai dampak terjadinya penurunan ekonomi regional. Hal ini terlihat dari besaran misalignment nilai tukar riil efektif yang terus menurun yakni dari 2.38 pada tahun 1998 menjadi -1.85 pada tahun 1999. Depresiasi mata uang dollar Singapore terus berlanjut hingga terjadi krisis global di tahun 2008. Berdasarkan Gambar 10, persentase misalignment nilai tukar riil di Singapore relatif kecil hingga tahun 2010. Hal tersebut dipengaruhi kebijakan moneter yang diambil pemerintah Singapore, dimana penetapan nilai tukar didasarkan pada mata uang negara mitra dagang utama. Disisi lain, nilai tukar dollar Singapore terus mengalami overvalue sejak tahun 2010. Kondisi ini dikarenakan meningkatnya aliran modal ke dalam negeri akibat adanya prospek positif di kawasan Asia, serta melemahnya nilai tukar dollar US. THAILAND 120 100 80 60 40 20 REERit 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 0 EREERit Sumber: data terolah Gambar 11. Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Thailand Nilai tukar baht terus mengalami overvalue dengan persentase misalignment yang cukup besar hingga tahun 1996. Kondisi ini dikarenakan mata uang baht dipatok terhadap dollar US, sehingga ketika nilai tukar dollar US terapresiasi maka nilai tukar baht juga mengalami apresiasi, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut menarik banyak investor asing untuk menanamkan modalnya di Thailand. Mata uang baht yang terapresiasi menjadikan Thailand kurang kompetitif dalam melakukan ekspor. Selain itu, tingkat nilai tukar baht juga dirasa terlalu tinggi. Akibatnya investor mulai menjual mata uang baht pada tahun 1997 sehingga nilai tukar mengalami undervalue. Hal ini terlihat dari besaran misalignment nilai tukar riil efektif yang negatif sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2005, dengan kisaran antara -7.99 hingga -4.31. Keadaan perekonomian Thailand kembali stabil sejak tahun 2006, dimana nilai tukar baht berfluktuasi di sekitar kondisi ekuilibriumnya dengan persentase misalignment yang rendah. 31 Analisis Model Pengenaan Tindakan Safeguards Semakin terintegrasinya pasar ASEAN meminimalisir pengenaan hambatan tarif akibat adanya kesepakatan kerjasama antar negara. Disisi lain, mata uang negara-negara di ASEAN belum terintegrasi sehingga tingkat nilai tukar mata uang ditentukan pula dengan kondisi perekonomian dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mendorong perekonomian domestik dengan semakin terintegrasinya pasar, maka diterapkan hambatan non-tarif. Terkait hal ini, penelitian hanya menyertakan tindakan safeguards sebagai variabel dependen yang mencerminkan hambatan non-tarif. Variabel dependen tersebut merupakan dummy berupa pengenaan tindakan safeguards kepada negara i. Apabila negara i mendapat pengenaan safeguards dari negara-negara mitra, maka variabel dummy bernilai 1. Namun jika negara i tidak mendapat pengenaan safeguards dari negara-negara mitra, maka variabel dummy bernilai 0. Secara teori, suatu negara mendapat pengenaan safeguards dari negara-negara mitra apabila terdapat lonjakan impor barang dari negara tersebut ke negara-negara mitra, yang selanjutnya dapat berdampak buruk terhadap kelangsungan industri domestik di negara-negara mitra. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah besaran misalignment nilai tukar riil efektif yang terjadi pada mata uang negara i, dan total nilai ekspor negara i. Metode yang digunakan untuk menganalisis pengaruh misalignment nilai tukar terhadap safeguards adalah Conditional Fixed-Effects Logistic Regression dengan menggunakan software STATA 11. Besaran misalignment nilai tukar riil efektif mempengaruhi tingkat mata uang negara i yang turut mempengaruhi tingkat harga barang yang diproduksi negara i. Hal ini selanjutnya turut mempengaruhi permintaan barang dari negara i ke negara-negara mitra. Pemerintah di negara-negara mitra tentunya akan mengatur impor barang dari negara i supaya tetap dapat melindungi industri domestik di masing-masing negara mitra. Bentuk perlindungan pemerintah di negara-negara mitra tersebut agar tidak terjadi lonjakan impor dari negara i yakni dengan memberlakukan tindakan safeguards terhadap negara i. Ekspor yang dilakukan negara i ke negara-negara mitra dapat dikondisikan menjadi impor yang dilakukan negara-negara mitra dari negara i. Apabila terjadi peningkatan total nilai ekspor yang dilakukan negara i, maka hal ini mengindikasikan adanya lonjakan impor yang terjadi di negara-negara mitra akibat adanya peningkatan barang masuk yang berasal dari negara i. Pemerintah di negara-negara mitra melihat kondisi tersebut sebagai signal untuk bersiap melakukan kebijakan sebagai upaya perlindungan industri domestiknya. Bentuk kebijakan yang akan dilakukan pemerintah di negara-negara mitra tersebut yakni dengan memberlakukan tindakan safeguards terhadap negara i. Tabel 8. Hasil regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pengenaan safeguards Variabel Koefisien Standar Eror Probabilitas Odds Ratio (95% CI) -0.018 0. 011 0.091 0.981 (0.96 , 1.00) 0.114 0. 022 0.000 1.120 (1.07 , 1.17) 32 Tabel 8 merupakan hasil estimasi model logit dengan dummy safeguards sebagai variabel dependennya yang sesuai dengan hasil pengolahan pada Lampiran 5. Variabel – variabel independen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata satu persen untuk variabel total nilai ekspor. Sedangkan untuk variabel misalignment nilai tukar, nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata sepuluh persen. Estimasi koefisien yang negatif menunjukkan bahwa misalignment nilai tukar positif pada negara fokus i akan menurunkan peluang mitra dagang mengenakan tindakan safeguards terhadap negara tersebut. Misalignment nilai tukar yang positif tersebut mengindikasikan bahwa mata uang negara fokus i dinilai terlalu kuat sehingga mengalami overvalue atau kondisi nilai tukar riil aktual berada diatas tingkat ekuilibriumnya. Hal ini menyebabkan harga domestik lebih mahal sehingga mendorong negara fokus i untuk melakukan impor. Oleh karena itu, peluang negara fokus i dikenakan tindakan safeguards oleh mitra dagangnya menjadi berkurang. Nilai OR atau odds ratio menunjukkan peluang yang mungkin terjadi dimana penghitungannya berasal dari koefisien yang dieksponensialkan. Berdasarkan hal tersebut, terjadinya misalignment nilai tukar yang overvalue sebesar satu persen akan meningkatkan peluang dikenakan safeguards sebesar 0.98 kali lipat dari kondisi awal. Sedangkan bila misalignment nilai tukar mengalami undervalue dengan besaran yang sama yakni satu persen, maka peluang dikenakannya safeguards = = atau meningkat sebesar 1.02 kali dari kondisi sebelumnya. Dengan demikian, peluang pengenaan tindakan safeguards terhadap negara fokus i lebih tinggi terjadi saat mata uang negara tersebut mengalami misalignment nilai tukar yang undervalue. Misalignment nilai tukar yang undervalue ditunjukkan dengan besaran misalignment nilai tukar yang negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa mata uang negara fokus i dinilai terlalu lemah sehingga mengalami undervalue atau kondisi nilai tukar riil aktual berada dibawah tingkat ekuilibriumnya. Kondisi tersebut menyebabkan harga domestik lebih murah sehingga mendorong negara fokus i untuk melakukan ekspor. Akibat dari meningkatnya ekspor yang dilakukan, akan mendorong peluang mitra dagang untuk memberlakukan tindakan safeguards terhadap negara fokus i. Oleh karena itu, resiko pengenaan tindakan safeguards terhadap suatu negara lebih rentan terjadi saat mata uang negara tersebut melemah. Total nilai ekspor memiliki estimasi koefisien yang positif mengindikasikan bahwa peningkatan ekspor yang dilakukan negara fokus i akan meningkatkan peluang dikenakannya tindakan safeguards ke negara tersebut. Berdasarkan nilai OR, peningkatan total nilai ekspor sebesar satu persen yang dilakukan negara fokus i akan meningkatkan peluang dikenakannya tindakan safeguards oleh mitra dagang sebesar 1.12 persen. 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Persentase misalignment nilai tukar yang terjadi di 5 negara ASEAN, baik saat mata uang overvalue maupun undervalue, umumnya cukup besar ketika 33 disebabkan oleh gejolak perekonomian di dalam negeri. Situasi seperti krisis global di tahun 2008 tidak berpengaruh besar terhadap fluktuasi nilai tukar riil efektif di sekitar tingkat ekuilibriumnya. 2. Peluang negara pengekspor mendapat tindakan safeguards dari negara mitra, akan lebih besar ketika tingkat nilai tukar riil negara pengekspor mengalami undervalue dimana hal tersebut menyebabkan harga barang negara pengekspor lebih murah dibandingkan harga barang luar negeri. Saran 1. 2. 3. 4. Saran yang dapat disampaikan melalui penelitian ini adalah: Misalignment nilai tukar yang terjadi di ASEAN umumnya telah diminimalisir oleh pemerintah di masing-masing negara melalui penyesuaian arah kebijakan moneter dengan kondisi terkini. Untuk lebih mempercepat dampak negatif yang mungkin dirasakan, maka sebaiknya negara-negara ASEAN melakukan kerjasama dalam penerapan kebijakan moneter. Tindakan safeguards yang diberlakukan negara-negara ASEAN diharapkan dapat diminimalisir apabila terdapat kestabilan nilai tukar. Hal ini mungkin dapat dicontoh dari Singapore yang melakukan pembobotan nilai tukar dengan beberapa negara mitra dagangnya sehingga mata uang bergerak disekitar ekuilibrium. Dengan demikian, integrasi ekonomi terutama ASEAN Economic Community (AEC) diharapkan dapat berjalan baik. Penerapan kebijakan non-tarif untuk melindungi perekonomian domestik, diprediksi akan semakin meningkat seiring meningkatnya kerjasama perdagangan internasional. Dalam penelitian ini, kebijakan non-tarif yang dibahas hanya tindakan safeguards karena adanya keterbatasan data. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai berbagai kebijakan non-tarif lain seperti subsidi, SPS, dan TBT. Penelitian lanjutan mengenai pengaruh misalignment nilai tukar masih perlu dilakukan, terutama untuk melihat keterkaitannya dengan sektor riil. DAFTAR PUSTAKA Alvaro A, Cesar C. 2005. Real exchange rate misalignments and economic performance. Central Bank of Chile Working Papers. No. 315. Auboin M, Ruta M. 2011. The relationship between exchange rates and international trade: a literature review.WTO Working Paper.ERSD-2011-17. [BIS] Bank for International Settlements. 2014. Real Effective Exchange Rates Data. http://www.bis.org/statistics/eer/. [terhubung berkala]. Candelon B, Kool C, Raabe K, Veen TV. 2007. Long-run exchange rate determinants: evidence from eight new EU member states, 1993-2003. Elsevier Journal of Comparative Economics. 35(1): 87-107. Chen B, McCoskey SK, Kao C. 1999. Estimation and inference of a cointegrated regression in panel data: a Monte Carlo study. American Journal of Mathematical and Management Sciences. 19(1-2): 75–114. Clark PB, MacDonald R. 1998. Exchange rates and economic fundamentals: a methodological comparison of BEERs and FEERs. IMF Working Paper. WP/98/67. 34 Cline WR, Williamson J. 2011. Estimates of fundamental equilibrium exchange rates. Peterson Institute for International Economics. Number PB11-5. Coudert V, Couharde C. 2008. Currency misalignments and exchange rate regimes in emerging and developing countries. The Centre d'Etudes Prospectives et d'Informations Internationales (CEPII) Working Paper. No. 2008-07, April. Diallo IA. 2011. The effects of real exchange rate misalignment and real exchange volatility on exports. MPRA Paper. No. 32387. Driver RL, Westaway PF. 2003. Concepts of equilibrium exchange rates. Bank of England. Working Paper No.248. Gourdon J, Nicita A. 2012. NTMs: interpreting the new data. Non-tariff Measures: a Fresh Look at Trade Policy’s New Frontier. Washington DC (US): Center for Economic Policy Research and World Bank. Gylanik M. 2012. Equilibrium real effective exchange rate estimation for the Slovak economy. Journal of Central Banking Theory and Practice. 1(2): 97-132. Hausman J, Hall BH and Griliches Z. 1984. Econometric models for count data with an application to the patents-R&D relationship. Econometrica. 52(4): 909-938. Hinkle LE, Montiel PJ. 1999. Exchange rate misalignment: concepts and measurement for developing countries. New York (US): Oxford Univ Pr. Holtemoller O, Mallick S. 2009. Does the choice of a currency regime explain real exchange rate misalignment?. The AIEFS session at ASSA Annual meeting 3-5 January, 2009. Hyder Z, Mahboob A. 2005. Equilibrium Real Effective Exchange Rate and Exchange Rate Misalignment in Pakistan. Paper for SBP conference 2005, State Bank of Pakistan. [IMF] International Monetary Fund. October 2013. Annual Report on Exchange Arrangements and Exchange Restrictions 2013. Irwin D. 2011. Trade policy and exchange rates. IMF/World Bank/WTO Workshop on International Trade. The World Bank, 2 December 2011. Jouanjean MA, Maur JC, Shepherd B. 2012. Reputation matters: spillover effects in the enforcement of US SPS measures. The World Bank: Policy Research Working Paper Series. WPS5935. Kao C, Chiang MH. 2000. „On the estimation and inference of a cointegrated regression in panel data‟, in Baltagi B. H. (ed.). Advances in Econometrics: Nonstationary Panels, Panel Cointegration and Dynamic Panels. 15: 179–222. Klein MW, Shambaugh JC. 2008. The dynamics of exchange rate regimes: fixes, floats, and flips. Elsevier Journal of International Economics. 75(1): 70–92. Kruger P, Denner W, Cronje JB. 2009. Comparing Safeguard Measures in Regional and Bilateral Agreements. International Centre for Trade and Sustainable Development (ICTSD). Issue Paper No. 22. Krugman PR, Obstfeld M, Melitz MJ. 2012. International Economics : Theory & Policy. Boston (US): Pearson. Liang H. 1998. Real exchange rate volatility: does the nominal exchange rate regime matter?. IMF Working Paper. WP/98/147. 35 MacDonald R. 2007. Exchange Rate Economics: Theories and Evidence. New York (US): Routledge. Mattoo A, Subramanian A. 2008. Currency undervaluation and sovereign wealth funds: a new role for the world trade organization. The World Bank Policy Research Working Paper. WP4668. Montiel PJ. 2002. The long-run equilibrium real exchange rate: theory and measurement. Macroeconomic Management: Programs and Policies. Washington DC (US): IMF. Nicita A. 2013. Exchange rates, international trade and trade policies. UNCTAD. Study series no. 56. Park HM. 2005. Regression models for event count data using SAS, STATA, and LIMDEP. Indiana: The Trustees of Indiana University. Pasadilla GO. 2013. Addressing non-tariff measures in ASEAN. Asia-Pacific Research and Training Network on Trade. No. 130. Pedroni P. 1997. Fully modified OLS for heterogeneous cointegrated panels and the case of purchasing power parity. Department of Economics, Indiana University. Phillips PCB, Moon HR. 1999. Linear regression limit theory for nonstationary panel data. Econometrica. 67(5): 1057–1111. Phillips PCB, Moon HR. 2000. Nonstationary panel data analysis: an overview of some recent developments. Econometric Reviews. 19(3): 263–286. Raji RO. 2013. Impact of Misaligned Real Exchange Rate on Economic Performance: A case study of West African Monetary Zone. IOSR Journal of Economic and Finance. 1(6):56-67. Rochester L. 2013. Estimating Jamaica‟s fundamental equilibrium exchange rate. Bank of Jamaica Working Paper. September 2013. Roudet S, Saxegaard M, Tsangarides CG. 2007. Estimation of equilibrium exchange rates in the Waemu: a robustness approach. IMF Working Paper. WP/07/194. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga. Shatz HJ, Tarr DG. 2000. Exchange rate overvaluation and trade protection: lessons from experience. The World Bank Policy Research Working Papers. http://dx.doi.org/10.1596/1813-9450-2289 Thorstensen V, Marcal E, Ferraz L. 2011. Exchange rate misalignments and international trade policy: impacts on tariffs. Policy Dialogue: Redefining the Role of the Government in Tomorrow’s International Trade at UNCTAD XIII Pre-Conference Event 26 – 27 March 2012. [UN COMTRADE] United Nations Comtrade. 2014. http://comtrade.un.org/data/. [terhubung berkala]. Yap JT. 2008. Policy Coherence Initiative on Growth, Investment and Employment: The Case of the Philippines (Policy Coherence and Critical Development Constraints in the Philippines). Paper prepared for the International Labour Organization (ILO). [WB] World Bank. 2014. Official Exchange Rate (LCU per US$, period average) Data. http://data.worldbank.org/indicator/PA.NUS.FCRF. [terhubung berkala]. [WDI] World Development Indicators. 2014. http://data.worldbank.org/indicator. [terhubung berkala]. 36 [WITS] World Integrated Trade Solution. 2014. Non-tariff Measures Data. http://wits.worldbank.org/. [terhubung berkala]. [WTO] World Trade Report. 2012. An Inventory of Non-Tariff Measures and Services Measures. [WTO] World Trade Organization. 2014. Total Merchandise Trade Data. http://stat.wto.org/StatisticalProgram/WSDBViewData.aspx?Language=E. [terhubung berkala]. [WTO] World Trade Organization. 2014. Non-Tariff Measures Data. http://itip.wto.org/goods/Forms/TableView.aspx. [terhubung berkala]. 37 LAMPIRAN 38 Lampiran 1 Hasil Uji Akar Unit pada Level dengan EVIEWS 8 Panel unit root test: Summary Series: LNREERIT Date: 12/19/14 Time: 20:21 Sample: 1994 2013 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 1 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -0.45464 0.3247 Crosssections Obs 5 93 5 5 5 93 93 95 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -0.18339 0.4272 ADF - Fisher Chi-square 8.70886 0.5599 PP - Fisher Chi-square 9.79167 0.4590 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Panel unit root test: Summary Series: LNOPENIT Date: 12/19/14 Time: 20:21 Sample: 1994 2013 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic lag length selection based on SIC: 0 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Balanced observations for each test Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -0.95215 0.1705 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 0.12439 0.5495 ADF - Fisher Chi-square 13.0648 0.2201 PP - Fisher Chi-square 14.9271 0.1347 Crosssections Obs 5 95 5 5 5 95 95 95 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 39 Panel unit root test: Summary Series: LNGDPCAPIT Date: 12/19/14 Time: 20:22 Sample: 1994 2013 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 3 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* 2.22312 0.9869 Crosssections Obs 5 92 5 5 5 92 92 95 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 4.41792 1.0000 ADF - Fisher Chi-square 0.71425 1.0000 PP - Fisher Chi-square 0.49889 1.0000 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Panel unit root test: Summary Series: LNGOVGDPIT Date: 12/19/14 Time: 20:23 Sample: 1994 2013 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 4 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -2.30740 0.0105 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -0.74990 0.2267 ADF - Fisher Chi-square 15.7832 0.1060 PP - Fisher Chi-square 7.05644 0.7201 Crosssections Obs 5 89 5 5 5 89 89 95 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 40 Panel unit root test: Summary Series: LNPRIGDPIT Date: 12/19/14 Time: 20:24 Sample: 1994 2013 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 3 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* 0.61713 0.7314 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 0.67535 0.7503 ADF - Fisher Chi-square 10.2894 0.4155 PP - Fisher Chi-square 4.13860 0.9409 Crosssections Obs 5 90 5 5 5 90 90 95 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 41 Lampiran 2 Hasil Uji Akar Unit pada First Difference dengan EVIEWS 8 Panel unit root test: Summary Series: D(LNREERIT) Date: 12/19/14 Time: 19:43 Sample: 1994 2013 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 2 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -5.33110 0.0000 Crosssections Obs 5 87 5 5 5 87 87 90 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -4.28193 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 35.9471 0.0001 PP - Fisher Chi-square 47.4222 0.0000 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Panel unit root test: Summary Series: D(LNOPENIT) Date: 12/19/14 Time: 19:44 Sample: 1994 2013 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 1 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -9.62909 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -7.52378 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 63.1585 0.0000 PP - Fisher Chi-square 69.0400 0.0000 Crosssections Obs 5 89 5 5 5 89 89 90 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 42 Panel unit root test: Summary Series: D(LNGDPCAPIT) Date: 12/19/14 Time: 19:45 Sample: 1994 2013 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 2 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -6.21427 0.0000 Crosssections Obs 5 86 5 5 5 86 86 90 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -5.23940 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 44.5358 0.0000 PP - Fisher Chi-square 75.5602 0.0000 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Panel unit root test: Summary Series: D(LNGOVGDPIT) Date: 12/19/14 Time: 19:45 Sample: 1994 2013 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 2 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -4.19892 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -4.48752 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 41.7639 0.0000 PP - Fisher Chi-square 48.7438 0.0000 Crosssections Obs 5 88 5 5 5 88 88 90 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 43 Panel unit root test: Summary Series: D(LNPRIGDPIT) Date: 12/19/14 Time: 19:46 Sample: 1994 2013 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic lag length selection based on SIC: 0 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Balanced observations for each test Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -5.42397 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -3.93902 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 33.3112 0.0002 PP - Fisher Chi-square 32.9623 0.0003 Crosssections Obs 5 90 5 5 5 90 90 90 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 44 Lampiran 3 Hasil Uji Kointegrasi dengan EVIEWS 8 a. Pedroni (No Deterministic Trend) Pedroni Residual Cointegration Test Series: LNREERIT LNOPENIT LNGDPCAPIT LNGOVGDPIT LNPRIGDPIT Date: 01/25/15 Time: 17:40 Sample: 1994 2013 Included observations: 100 Cross-sections included: 5 Null Hypothesis: No cointegration Trend assumption: No deterministic trend Automatic lag length selection based on SIC with a max lag of 3 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Alternative hypothesis: common AR coefs. (within-dimension) Weighted Statistic Prob. Statistic Panel v-Statistic 1.467264 0.0712 -1.206537 Panel rho-Statistic 0.438460 0.6695 1.197007 Panel PP-Statistic -5.137962 0.0000 -2.049108 Panel ADF-Statistic -3.811624 0.0001 -2.508767 Prob. 0.8862 0.8843 0.0202 0.0061 Alternative hypothesis: individual AR coefs. (between-dimension) Statistic 1.919423 -4.340659 -4.398410 Group rho-Statistic Group PP-Statistic Group ADF-Statistic Prob. 0.9725 0.0000 0.0000 Cross section specific results Phillips-Peron results (non-parametric) Cross ID 1 2 3 4 5 AR(1) -0.295 0.145 0.049 0.590 0.343 Variance 0.010006 0.002990 0.001316 0.001462 0.002776 HAC 0.002105 0.002014 0.000271 0.001804 0.002653 Bandwidth 18.00 3.00 7.00 1.00 1.00 Obs 19 19 19 19 19 Max lag 3 3 3 3 3 Obs 18 16 16 18 19 Augmented Dickey-Fuller results (parametric) Cross ID 1 2 3 4 5 AR(1) -0.969 -1.200 -1.133 0.312 0.343 Variance 0.008035 0.001375 0.000643 0.001236 0.002776 Lag 1 3 3 1 0 45 b. Pedroni (Deterministic Intercept and Trend) Pedroni Residual Cointegration Test Series: LNREERIT LNOPENIT LNGDPCAPIT LNGOVGDPIT LNPRIGDPIT Date: 01/25/15 Time: 17:41 Sample: 1994 2013 Included observations: 100 Cross-sections included: 5 Null Hypothesis: No cointegration Trend assumption: Deterministic intercept and trend Automatic lag length selection based on SIC with a max lag of 2 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Alternative hypothesis: common AR coefs. (within-dimension) Weighted Statistic Prob. Statistic Panel v-Statistic 1.926316 0.0270 -1.652080 Panel rho-Statistic 1.307592 0.9045 1.976976 Panel PP-Statistic -4.716388 0.0000 -3.451688 Panel ADF-Statistic -3.683514 0.0001 -2.532256 Prob. 0.9507 0.9760 0.0003 0.0057 Alternative hypothesis: individual AR coefs. (between-dimension) Statistic 2.155144 -4.475516 -2.434466 Group rho-Statistic Group PP-Statistic Group ADF-Statistic Prob. 0.9844 0.0000 0.0075 Cross section specific results Phillips-Peron results (non-parametric) Cross ID 1 2 3 4 5 AR(1) -0.156 0.389 0.006 0.461 -0.275 Variance 0.009318 0.000932 0.001272 0.001327 0.000468 HAC 0.003020 0.000952 0.000156 0.001543 0.000471 Bandwidth 9.00 2.00 12.00 1.00 1.00 Obs 19 19 19 19 19 Max lag 2 2 2 2 2 Obs 19 19 18 19 19 Augmented Dickey-Fuller results (parametric) Cross ID 1 2 3 4 5 AR(1) -0.156 0.389 -0.385 0.461 -0.275 Variance 0.009318 0.000932 0.001115 0.001327 0.000468 Lag 0 0 1 0 0 46 c. Pedroni (No Deterministic Intercept or Trend) Pedroni Residual Cointegration Test Series: LNREERIT LNOPENIT LNGDPCAPIT LNGOVGDPIT LNPRIGDPIT Date: 01/25/15 Time: 17:42 Sample: 1994 2013 Included observations: 100 Cross-sections included: 5 Null Hypothesis: No cointegration Trend assumption: No deterministic intercept or trend Automatic lag length selection based on SIC with a max lag of 3 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel Alternative hypothesis: common AR coefs. (within-dimension) Weighted Statistic Prob. Statistic Panel v-Statistic 1.476314 0.0699 -1.007450 Panel rho-Statistic -0.118868 0.4527 0.499545 Panel PP-Statistic -4.081367 0.0000 -0.404202 Panel ADF-Statistic -3.329542 0.0004 -0.514348 Prob. 0.8431 0.6913 0.3430 0.3035 Alternative hypothesis: individual AR coefs. (between-dimension) Statistic 1.129196 -3.950028 -3.338441 Group rho-Statistic Group PP-Statistic Group ADF-Statistic Prob. 0.8706 0.0000 0.0004 Cross section specific results Phillips-Peron results (non-parametric) Cross ID 1 2 3 4 5 AR(1) -0.292 0.399 0.417 0.268 0.343 Variance 0.010064 0.003762 0.002403 0.002203 0.002777 HAC 0.002132 0.003762 0.002168 0.002203 0.002654 Bandwidth 18.00 0.00 2.00 0.00 1.00 Obs 19 19 19 19 19 Max lag 3 3 3 3 3 Obs 18 16 19 19 19 Augmented Dickey-Fuller results (parametric) Cross ID 1 2 3 4 5 AR(1) -0.966 -0.637 0.417 0.268 0.343 Variance 0.008099 0.002279 0.002403 0.002203 0.002777 Lag 1 3 0 0 0 47 d. Kao (No Deterministic Trend) Kao Residual Cointegration Test Series: LNREERIT LNOPENIT LNGDPCAPIT LNGOVGDPIT LNPRIGDPIT Date: 01/25/15 Time: 17:43 Sample: 1994 2013 Included observations: 100 Null Hypothesis: No cointegration Trend assumption: No deterministic trend Automatic lag length selection based on SIC with a max lag of 4 Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel t-Statistic -2.746367 ADF Residual variance HAC variance Prob. 0.0030 0.007842 0.006102 Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RESID) Method: Least Squares Date: 01/25/15 Time: 17:43 Sample (adjusted): 1996 2013 Included observations: 90 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. RESID(-1) D(RESID(-1)) -0.526962 -0.012225 0.102889 0.102490 -5.121659 -0.119281 0.0000 0.9053 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.280557 0.272382 0.084950 0.635052 95.21918 2.089463 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. -0.003327 0.099589 -2.071537 -2.015986 -2.049136 48 Lampiran 4 Hasil Estimasi Nilai Tukar Ekuilibrium menggunakan model Panel DOLS dengan EVIEWS 8 Dependent Variable: LNREERIT Method: Panel Dynamic Least Squares (DOLS) Date: 01/22/15 Time: 08:27 Sample (adjusted): 1996 2012 Periods included: 17 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 85 Panel method: Pooled estimation Cointegrating equation deterministics: C Fixed leads and lags specification (lead=1, lag=1) Coefficient covariance computed using default method Long-run variance (Bartlett kernel, Newey-West fixed bandwidth) used for coefficient covariances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNOPENIT LNGDPCAPIT LNGOVGDPIT LNPRIGDPIT 0.217278 -0.425114 0.492626 -0.305341 0.102878 0.208343 0.202535 0.177493 2.111993 -2.040452 2.432294 -1.720296 0.0410 0.0479 0.0196 0.0931 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Long-run variance 0.964521 0.912190 0.036957 0.000660 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid 4.557401 0.124716 0.054632 Estimation Command: ========================= COINTREG(METHOD=DOLS,LAG=1,LEAD=1) LNREERIT LNOPENIT LNGDPCAPIT LNGOVGDPIT LNPRIGDPIT Estimation Equation: ========================= LNREERIT = C(1)*LNOPENIT + C(2)*LNGDPCAPIT + C(3)*LNGOVGDPIT + C(4)*LNPRIGDPIT + [CX=INDIVID] Substituted Coefficients: ========================= LNREERIT = 0.217277749338*LNOPENIT - 0.425114465858*LNGDPCAPIT + 0.492625649735*LNGOVGDPIT - 0.305340652319*LNPRIGDPIT + [CX=INDIVID] 49 Lampiran 5 Hasil Estimasi Pengaruh Misalignment Nilai Tukar dan Total Ekspor terhadap Kebijakan Safeguard menggunakan model Conditional Fixed-Effects Logistic Regression dengan STATA 11 . . xtlogit dum_sgit MISER_it LNTOTXit, fe note: multiple positive outcomes within groups encountered. Iteration Iteration Iteration Iteration Iteration 0: 1: 2: 3: 4: log log log log log likelihood likelihood likelihood likelihood likelihood = = = = = -37.581319 -31.601318 -31.518816 -31.518691 -31.518691 Conditional fixed-effects logistic regression Group variable: NEGARAi Log likelihood Coef. MISER_it LNTOTXit -.0189411 .11406 = = 100 5 Obs per group: min = avg = max = 20 20.0 20 LR chi2(2) Prob > chi2 = -31.518691 dum_sgit Number of obs Number of groups Std. Err. .0112149 .0222261 z -1.69 5.13 P>|z| 0.091 0.000 = = 55.73 0.0000 [95% Conf. Interval] -.0409219 .0704978 .0030396 .1576223 . xtlogit, or Conditional fixed-effects logistic regression Group variable: NEGARAi Log likelihood OR MISER_it LNTOTXit .9812371 1.120819 = = 100 5 Obs per group: min = avg = max = 20 20.0 20 LR chi2(2) Prob > chi2 = -31.518691 dum_sgit Number of obs Number of groups Std. Err. .0110044 .0249114 z -1.69 5.13 = = 55.73 0.0000 P>|z| [95% Conf. Interval] 0.091 0.000 .9599041 1.073042 1.003044 1.170724 50 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Dila Vindayani lahir pada tanggal 5 Januari 1987 di Jakarta. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Yustianto Anwar dan Sri Teguh Handayani. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDI PB Sudirman Jakarta, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 20 Jakarta dan lulus tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 62 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi di Institut Pertanian Bogor jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai CPNS di Kementerian Perdagangan RI dan resmi menjadi PNS pada tahun 2010. Tahun 2012, penulis memperoleh beasiswa S2 kerjasama antara Kementerian Perdagangan RI dan IPB pada program Pascasarjana Ilmu Ekonomi FEM IPB.