analisis pengaruh misalignment nilai tukar

advertisement
ANALISIS PENGARUH MISALIGNMENT NILAI TUKAR
TERHADAP SAFEGUARD MEASURES DI ASEAN-5
DILA VINDAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh
Misalignment Nilai Tukar terhadap Safeguard Measures di ASEAN-5 adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Dila Vindayani
NRP H151120421
ii
RINGKASAN
DILA VINDAYANI. Analisis Pengaruh Misalignment Nilai Tukar terhadap
Safeguard Measures di ASEAN-5. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM
dan ALLA ASMARA.
Penetapan rezim nilai tukar selama kurun waktu tertentu dapat
mempengaruhi terjadinya misalignment nilai tukar. Definisi misalignment nilai
tukar tersebut yakni kondisi aktual dari nilai tukar riil yang berada diluar tingkat
keseimbangannya dalam jangka panjang. Hasil penelitian menetapkan
misalignment nilai tukar melalui terjadinya over- atau undervaluation mata uang
yang dicerminkan sebagai Real Effective Exchange Rate (REER) aktual, terhadap
tingkat ekuilibriumnya. Kondisi overvalued currency terjadi ketika nilai tukar
menyebabkan harga domestik lebih mahal dari harga di luar negeri sehingga
meningkatkan tekanan industri import-competing terhadap perusahaan asing.
Kondisi undervalued currency terjadi saat nilai tukar menyebabkan harga
domestik lebih murah dari harga di luar negeri sehingga mendorong peningkatan
produksi domestik.
Kebijakan perdagangan restriksi berupa NTM telah meningkat relatif
terhadap tarif. Sejak tahun 2008, kebijakan NTM yang baru terus mendominasi
hingga melampaui kebijakan liberalisasi tarif. Penerapan NTM yang mengalami
peningkatan pesat di ASEAN dari tahun 2003 hingga 2012 adalah safeguards,
yakni dari 3 kasus menjadi 10 kasus. Tindakan safeguards diterapkan akibat
meningkatnya impor produk-produk tertentu sehingga mengancam kelangsungan
industri domestik di negara pengimpor.
Penelitian ini menyajikan gambaran mengenai kondisi misalignment nilai
tukar di negara-negara ASEAN-5 dan pengaruh misalignment nilai tukar
terhadap pengenaan tindakan safeguards. Tujuan utama penelitian yaitu untuk
menganalisis terjadinya misalignment nilai tukar dan dampaknya terhadap
pemberlakuan tindakan safeguards di negara-negara ASEAN-5. Analisis
misalignment nilai tukar riil dilakukan dengan menentukan tingkat nilai tukar
ekuilibrium melalui regresi real effective exchange rate (REER) terhadap faktorfaktor fundamental ekonominya menggunakan metode Panel Dynamic OLS
(Panel DOLS). Selanjutnya, tingkat REER ekuilibrium yang diperoleh dihitung
perbedaannya dengan tingkat REER aktual untuk mendapat besaran misalignment
nilai tukar. Pengaruh besarnya misalignment nilai tukar terhadap pengenaan
tindakan safeguards dianalisis dengan conditional fixed-effects logistic regression.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data panel berupa
data tahunan pada periode 1994 hingga 2013 di lima negara anggota ASEAN,
yaitu Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, dan Thailand.
Hasil penelitian mengenai kondisi misalignment di ASEAN-5 menunjukkan
bahwa misalignment nilai tukar mata uang rupiah mengalami undervalue atau
overvalue yang cukup tinggi ketika terjadi gejolak di dalam negeri. Untuk mata
uang ringgit, nilai tukar mengalami undervalue saat terjadi krisis keuangan Asia
pada Juli 1997. Kemudian pemerintah Malaysia segera merubah arah kebijakan
moneternya sehingga pada periode selanjutnya mata uang berfluktuasi di sekitar
tingkat ekuilibrium dengan persentase misalignment nilai tukar riil yang kecil.
Mata uang peso pada awalnya mengalami undervalue akibat program liberalisasi
iii
untuk mendorong impor barang modal. Sejalan dengan meningkatnya investasi,
nilai tukar semakin menguat sehingga peso perlahan mengalami overvalue.
Pergerakan nilai tukar dollar Singapore cenderung stabil disekitar tingkat
ekuilibrium karena pemerintahnya menetapkan nilai tukar berdasarkan mata uang
negara mitra dagang utama. Nilai tukar baht sempat mengalami overvalue dengan
persentase misalignment yang cukup besar hingga tahun 1996. Kondisi ini
dikarenakan mata uang baht dipatok terhadap dollar US, sehingga ketika nilai
tukar dollar US terapresiasi maka nilai tukar baht juga mengalami apresiasi,
begitu pula sebaliknya.
Analisis mengenai pengaruh misalignment nilai tukar terhadap pengenaan
tindakan safeguard menunjukkan bahwa peluang pengenaan tindakan safeguards
terhadap negara fokus i lebih tinggi terjadi saat mata uang negara tersebut
mengalami misalignment nilai tukar yang undervalue. Misalignment nilai tukar
yang undervalue ditunjukkan dengan besaran misalignment nilai tukar yang
negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa mata uang negara fokus i dinilai terlalu
lemah sehingga mengalami undervalue atau kondisi nilai tukar riil aktual berada
dibawah tingkat ekuilibriumnya. Kondisi tersebut menyebabkan harga domestik
lebih murah sehingga mendorong negara fokus i untuk melakukan ekspor. Akibat
dari meningkatnya ekspor yang dilakukan, akan mendorong peluang mitra dagang
untuk memberlakukan tindakan safeguards terhadap negara fokus i. Analisis
mengenai pengaruh ekspor terhadap pengenaan tindakan safeguard menunjukkan
bahwa peningkatan ekspor yang dilakukan negara fokus i akan meningkatkan
peluang dikenakannya tindakan safeguards ke negara tersebut.
Kata Kunci : misalignment nilai tukar, overvalue, undervalue, non-tariff measures
(NTMs), safeguards
iv
SUMMARY
DILA VINDAYANI. Analysis of Exchange Rate Misalignment Effect on
Safeguard Measures in ASEAN-5. Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM and
ALLA ASMARA.
Implementation of exchange rate regime for certain period may influence
exchange rate misalignment. Definition of exchange rate misalignment is actual
condition of real exchange rate which is beyond its equilibrium level in the long
term. Results of some researches claim exchange rate misalignment through overor undervaluation of currency which is reflected as the actual Real Effective
Exchange Rate (REER) against its equilibrium level. Condition of overvalued
currency occurs when exchange rates cause the domestic price more expensive
than abroad thereby increasing the pressure of import-competing industries to
foreign companies. Condition of undervalued currency occurs when the exchange
rate led to domestic price cheaper than abroad that encourage increased domestic
production.
Non-tariff measures (NTMs) have increased relative to tariffs. Since 2008,
the new NTMs continue to dominate beyond tariff liberalization policy.
Implementation of NTMs that increased rapidly in ASEAN from 2003 to 2012,
are safeguards which were risen from 3 cases to 10 cases. Safeguards measures
are applied due to increasing imports of certain products that threaten the survival
of domestic industry in importing country.
This study presents an overview of exchange rate misalignment condition in
ASEAN-5 and the effect of exchange rate misalignment against the imposition of
safeguard measures. The main purposes of research are analyzing the occurrence
of exchange rate misalignment and its impact on safeguards measures
impplementation in ASEAN-5. Analysis of real exchange rate misalignment is
conducted by determining equilibrium exchange rate level through regression of
real effective exchange rate (REER) and its fundamental economic factors using
Panel Dynamic OLS (Panel DOLS). Furthermore, equilibrium REER level is
reduced by actual REER level to get the magnitude of exchange rate
misalignment. Afterwards, the influence of exchange rate misalignment
magnitude against the imposition of safeguard measures were analyzed by
conditional fixed-effects logistic regression. Secondary data that used in this
research, is panel data which consists of annual data between 1994 and 2013 in
five ASEAN member countries, namely Indonesia, Malaysia, Philippines,
Singapore, and Thailand.
Results of research on exchange rate misalignment condition in ASEAN-5
shows that exchange rate misalignment of rupiah currency was undervalued or
overvalued in high magnitude when domestic turmoil happened. For ringgit
currency, exchange rate was undervalue when the Asian financial crisis occured in
July 1997. Then, Malaysian government changed monetary policy in order to
maintain ringgit fluctuates around its equilibrium level with low magnitude of real
exchange rate misalignment. Peso was undervalue because of liberalization
v
program to encourage the import of capital goods. In line with investment
increased, the exchange rate became stronger so peso became overvalue.
Singapore dollar currency movements tend to be stable around equilibrium level
since the government set its exchange rate based on currency's main trading
partner countries. Baht currency was overvalued with high magnitude of
misalignment until 1996 because the currency pegged to US dollar. Therefore, if
US dollar exchange rate appreciated so baht also appreciated, and vice versa.
Analysis on the effect of exchange rate misalignment against the imposition
of safeguard measures indicate that the imposition of safeguard measures have
higher opportunities when currency of exporting country was undervalued. It is
indicated by negative magnitude of exchange rate misalignment. This condition
shows that currency in exporting country is considered too weak because actual
real exchange rate level is below its equilibrium level. It makes domestic price
cheaper than abroad so that the country driven to export. As a result, trade partner
as importing country will be compelled to impose safeguard measures. Analysis
on the effect of exports to the imposition of safeguard measures showed that
increasing exports will raise the opportunities of safeguard measures imposed.
Keywords: exchange rate misalignment, overvalue, undervalue, non-tariff
measures (NTMs), safeguards
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
ANALISIS PENGARUH MISALIGNMENT NILAI TUKAR
TERHADAP SAFEGUARD MEASURES DI ASEAN-5
DILA VINDAYANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.Si
ix
Judul Tesis : Analisis Pengaruh Misalignment
Safeguard Measures di ASEAN-5
Nama
: Dila Vindayani
NIM
: H151120421
Nilai
Tukar
terhadap
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Ketua
Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 1 Juli 2015
Tanggal Lulus:
x
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah kebijakan perdagangan internasional dengan
judul Analisis Pengaruh Misalignment Nilai Tukar terhadap Safeguard Measures
di ASEAN-5, dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu pelaksanaan penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih penulis
sampaikan secara khusus kepada:
1. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan
Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku anggota komisi pembimbing, yang telah
meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan
masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.
2. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.Si sebagai penguji utama dan Dr. Syamsul
Hidayat Pasaribu, SE, M.Si sebagai penguji dari Komisi Akademik yang telah
memberikan masukan untuk kesempurnaan tesis ini.
3. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si
selaku Ketua Program Studi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi
Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis.
4. Biro Organisasi dan Kepegawaian (Roganpeg) Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi
di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB.
5. Rekan-rekan di Sekretariat Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan
dukungan bagi penulis untuk menyelesaikan penyusunan tesis ini.
6. Teman-teman kuliah kelas khusus IPB-Kemendag atas segala bantuannya
selama penulis menyelesaikan pendidikan di IPB.
7. Orang tua dan keluarga besar penulis yang senantiasa mendoakan sehingga
penulis mampu menyelesaikan pendidikan ini. Kepada suami tercinta Eko
Andryanto atas segala doa, kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang telah
diberikan.
Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam
proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di masa
mendatang.
Bogor, September 2015
Dila Vindayani
xii
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan masalah
Tujuan penelitian
Manfaat penelitian
Ruang lingkup penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan teori
Tinjauan ekonometrika
Tinjauan penelitian terdahulu
Kerangka penelitian
Hipotesis penelitian
3 METODE
Jenis dan sumber data
Metode analisis
Spesifikasi model
Definisi operasional
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Estimasi model persamaan nilai tukar ekuilibrium
Kondisi misalignment nilai tukar di lima negara ASEAN
Analisis model pengenaan tindakan safeguards
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xiii
xiv
xiv
xiv
1
1
6
8
8
8
9
9
19
20
21
22
22
22
22
23
23
24
24
27
31
32
32
33
33
37
50
xiv
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Tabel total ekspor – impor dan persentase perubahannya di
ASEAN dan Dunia pada tahun 2009 - 2013
Tabel rezim nilai tukar di negara-negara ASEAN periode
2012-2013
Perbandingan jumlah kasus NTM di ASEAN tahun 1994
dan 2005
Jenis dan sumber data yang digunakan
Hasil uji akar unit
Hasil uji kointegrasi
Hasil estimasi nilai tukar riil ekuilibrium
Hasil regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pengenaan
safeguards
1
3
7
22
25
25
26
31
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
Komposisi new restrictive trade measures periode 2008-2011
Pergerakan nilai tukar nominal di ASEAN pada tahun 2007-2012
Kurva internal balance, external balance, dan long-run equilibrium
real exchange rate
4 New UNCTAD classification of non-tariff measures
5 Kurva hubungan antara tingkat nilai tukar dan output
6 Kerangka pemikiran
7 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Indonesia
8 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Malaysia
9 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Philippines
10 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Singapore
11 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Thailand
5
6
12
16
18
21
27
28
29
29
30
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Hasil uji akar unit pada level
Hasil uji akar unit pada first difference
Hasil uji kointegrasi
Hasil estimasi nilai tukar ekuilibrium
Hasil estimasi pengaruh misalignment nilai tukar dan total ekspor
terhadap kebijakan safeguard
38
41
44
48
49
xv
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perdagangan merupakan salah satu bagian penting dari sektor riil yang
menjadi pemicu aktivitas perekonomian. Dalam hal ini, perdagangan
internasional akan mendorong terciptanya suatu hubungan ekonomi yang saling
mempengaruhi antar negara serta lalu lintas barang dan jasa. Oleh karena itu,
perdagangan internasional dapat dianggap sebagai fokus utama guna menghadapi
era liberalisasi. Proses liberalisasi dalam perdagangan tersebut ditandai dengan
mulai terbentuknya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun
1947 yang perannya sekarang telah digantikan oleh World Trade Organization
(WTO). Tujuannya adalah untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan
yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.
Setiap negara berupaya memperkuat posisinya di bidang perdagangan
melalui keterlibatan di beragam forum bilateral, regional maupun multilateral.
Negara-negara yang terlibat dalam perdagangan akan mendapat keuntungan
karena negara tersebut akan berspesialisasi untuk menghasilkan komoditi secara
efisien (Salvatore 1997). Kesepakatan negara-negara yang terjalin di kawasan
Asia Tenggara melalui ASEAN, merupakan salah satu contoh kerjasama secara
regional yang diantaranya membahas upaya meningkatkan perdagangan pada
intra- maupun extra-ASEAN. Jumlah negara anggota ASEAN saat ini mencapai
sepuluh negara, yaitu Indonesia, Singapore, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei
Darussalam, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Masing-masing negara
memiliki kondisi perekonomian yang beragam dimana terdapat potensi besar
untuk ditingkatkan.
Tabel 1. Total ekspor - impor dan persentase perubahannya di ASEAN dan Dunia
pada tahun 2009-2013
ASEAN
Ekspor
Impor
US$ Juta (%)
US$ Juta
(%)
2009
813 787
726 951
2010
1 050 050 (22.5)
953 113 (23.7)
2011
1 236 787 (15.1)
1 153 020 (17.3)
2012
1 252 276 (1.27)
1 221 838 (5.6)
2013
1 270 336 (1.42)
1 245 308 (1.8)
Sumber: WTO, 2014
Tahun
Dunia
Ekspor
Impor
US$ Juta
(%)
US$ Juta (%)
12 554 000
12 781 000
15 300 000 (17.9) 15 509 000 (17.6)
18 327 000 (16.5) 18 503 000 (16.2)
18 404 000 (0.4) 18 608 000 (0.5)
18 784 000 (2.0) 18 874 000 (1.4)
Tabel 1 menjelaskan total ekspor dan impor (dalam juta US Dollar) yang
dilakukan oleh ASEAN dan dunia antara tahun 2009 hingga 2013 dengan
menampilkan nilai perubahan dari periode sebelumnya (dalam persen). Selama
rentang waktu tersebut, total ekspor ASEAN terus meningkat setiap tahun, yakni
dari US$ 813.787 juta pada tahun 2009 menjadi US$ 1.270.336 juta pada tahun
2013. Kenaikan ekspor yang cukup besar dibandingkan periode sebelumnya
terjadi pada tahun 2010 dan 2011, yakni sekitar 22 dan 15 persen. Sedangkan
ekspor pada tahun 2012 dan 2013 hanya mengalami peningkatan sekitar 1 persen.
Total impor ASEAN juga mengalami kenaikan dalam lima tahun terakhir, dimana
impor pada tahun 2009 yang sebesar US$ 726.951 juta meningkat pada tahun
2
2013 menjadi US$ 1.245.308 juta. Kenaikan impor ASEAN yang tinggi terjadi
pada tahun 2010 dan 2011 yakni sekitar 23 dan 17 persen dari periode terdahulu.
Persentase ini lebih besar dibandingkan kenaikan selama tahun 2012 dan 2013
yang hanya sekitar 1 hingga 6 persen. Secara umum, pertumbuhan perdagangan
yang terjadi di ASEAN lebih cepat dibandingkan total ekspor dan impor secara
keseluruhan di dunia.
Perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh sektor moneter, yakni
melalui nilai tukar mata uang. Secara teori, nilai tukar mata uang suatu negara
yang terdepresiasi akan menjadikan harga domestik lebih murah dibandingkan
negara lain sehingga mendorong ekspor, hal yang sebaliknya dengan apresiasi
nilai tukar (Krugman et al. 2012). Namun fluktuasi dalam tingkat nilai tukar mata
uang tersebut juga ditentukan rezim moneter yang berlaku dalam suatu negara.
Penelitian Liang (1998) mengenai hubungan volatilitas nilai tukar dengan rezim
yang berlaku di negara-negara Eropa sebelum diberlakukannya mata uang euro,
menemukan bahwa periode flexible exchange rate terkait dengan tingginya
volatilitas real exchange rate (RER) dibandingkan periode fixed exchange rate.
Selain itu, pergeseran rezim juga berpengaruh penting dalam menentukan
guncangan RER yang persisten.
Sistem klasifikasi rezim nilai tukar berdasarkan IMF (2013) ditentukan dari
sejauh mana basis of degree atau nilai tukar suatu mata uang ditentukan oleh
pasar, bukan oleh intervensi pemerintah. Semakin tinggi pengaruh pasar dalam
penentuan nilai tukar, maka rezim akan semakin fleksibel. Dalam hal ini,
klasifikasi rezim nilai tukar dibagi menjadi empat kategori utama, yaitu: (1) hard
pegs (seperti exchange arrangements with no separate legal tender dan currency
board arrangements); (2) soft pegs (seperti conventional pegged arrangements,
pegged exchange rates within horizontal bands, crawling pegs, stabilized
arrangements, dan crawl-like arrangements); (3) floating regimes (seperti floating
dan free floating); serta (4) a residual category (seperti other managed
arrangements). Kategori hard pegs cenderung memiliki nilai tukar tetap dalam
waktu lama, sehingga tingkat kepastian untuk transaksi internasional lebih tinggi.
Sedangkan soft pegs cenderung menjaga nilai tukar yang stabil terhadap anchor
currency dengan fluktuasi sebesar 1 hingga 30 persen tergantung dengan tingkat
inflasi. Untuk floating regimes, nilai tukar secara dominan ditentukan oleh pasar
dengan intervensi pemerintah yang hampir tidak ada. Rezim nilai tukar yang tidak
termasuk dalam tiga kategori pertama umumnya dianggap sebagai other managed
arrangements.
Mayoritas negara-negara ASEAN saat ini menganut rezim nilai tukar dalam
klasifikasi soft pegs seperti yang terlihat pada Tabel 2. Kamboja, Laos, dan
Vietnam menganut stabilized arrangement, yang mengindikasikan fluktuasi nilai
tukar sekitar 1 persen dari central rate atau memiliki margin 2 persen dalam
jangka waktu minimal enam bulan. Indonesia dan Singapura sama-sama
menetapkan crawl-like arrangement dalam rezim nilai tukarnya. Hal ini
mengindikasikan nilai tukar berfluktuasi dalam tren margin minimal enam bulan
dengan perubahan keseluruhan lebih besar dari 2 persen, atau dalam batas terkait
proyeksi perbedaan inflasi terhadap mitra dagang utama.
3
Tabel 2. Rezim nilai tukar di negara-negara ASEAN periode 2012-2013
Negara
Periode
Rezim Nilai Tukar
Brunei Darussalam
2012-2013
Currency board
Filipina
Indonesia
Kamboja
Laos
2012-2013
2012
2013
2012-2013
2012-2013
Floating
Floating
Crawl-like arrangement
Stabilized arrangement
Stabilized arrangement
Malaysia
2012-2013
Other managed arrangement
Myanmar
Singapura
2012-2013
Other managed arrangement
2012
Other managed arrangement
2013
Crawl-like arrangement
Thailand
2012-2013
Floating
2012-2013
Stabilized arrangement
Vietnam
Sumber: IMF Annual Report on Exchange Arrangements and Exchange Restrictions,
2012-2013
Kategori lain yang juga dominan adalah floating regimes, dimana negara
Filipina dan Thailand menerapkan rezim ini selama tahun 2012-2013. Tingkat
nilai tukar pada rezim floating ditentukan oleh pasar dengan kondisi tidak ada
lebih dari tiga intervensi selama enam bulan sebelumnya dimana masing-masing
intervensi berlangsung kurang dari tiga hari kerja. Dalam periode yang sama,
hanya Brunei Darussalam yang menganut kategori hard pegs yakni currency
board. Rezim ini dianut ketika negara memiliki beberapa partner negara lain yang
penting dalam hubungan dagang sehingga volatilitas nilai tukar mata uang yang
terlalu tinggi selama waktu tertentu akan berdampak buruk. Oleh karena itu,
negara tersebut dapat mematok nilai tukar mata uangnya ke weighted average dari
beberapa mata uang negara partner. Malaysia dan Myanmar dikategorikan sebagai
residual category dimana rezim yang dianut termasuk dalam other managed
arrangement. Hal tersebut umumnya dikarenakan oleh pergeseran kebijakan yang
terlalu sering selama jangka waktu tertentu akibat perubahan beberapa indikator
seperti posisi neraca pembayaran dan cadangan devisa.
Rezim nilai tukar yang dianut masing-masing negara ASEAN bersifat
dinamis mengikuti kondisi perekonomian terkini. Hal ini senada dengan hasil
penelitian Klein dan Shambaugh (2008) bahwa peningkatan atas peluang
diberlakukannya suatu rezim nilai tukar pada periode mendatang, bergantung
kondisi yang terjadi dalam periode selama satu atau dua tahun sebelumnya. Selain
itu, penelitian juga menunjukkan bahwa periode nilai tukar fixed menghasilkan
kondisi bilateral exchange rate yang lebih stabil dibandingkan periode nilai tukar
flexible dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, tingkat volatilitas
pada periode nilai tukar fixed cenderung lebih tinggi dibandingkan periode nilai
tukar flexible.
Penetapan rezim nilai tukar selama kurun waktu tertentu dapat
mempengaruhi terjadinya misalignment nilai tukar. Definisi misalignment nilai
tukar tersebut yakni deviasi yang terjadi akibat adanya perbedaan antara nilai
tukar riil pada kondisi aktual dengan nilai tukar riil saat ekuilibrium (Aguirre and
4
Calderon 2005). Tingkat ekuilibrium nilai tukar riil adalah salah satu konsep
penting dalam ekonomi makro, dimana merupakan tingkat nilai tukar riil yang
konsisten dengan pencapaian simultan keseimbangan internal dan eksternal
(Hyder and Mahboob 2005). Estimasi nilai tukar ekuilibrium dapat dilakukan
melalui beragam pendekatan. Namun, penelitian ini menggunakan pendekatan
Fundamental Equilibrium Exchange Rate (FEER) karena pendekatan tersebut
lebih tepat untuk menilai apakah pergerakan nilai tukar riil merupakan
misalignment atau apakah nilai tukar riil ekuilibrium telah bergeser akibat
perubahan variable fundamental ekonomi.
FEER merupakan pendekatan multiple equation untuk mengestimasi nilai
tukar ekuilibrium. Keseimbangan internal direpresentasikan oleh keadaan negara
dimana produksi ekonomi domestik dan luar negeri berada pada tingkat
potensialnya (sesuai dengan non-accelerating inflation rate of unemployment NAIRU). Hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian menggunakan semua
alokasi sumber daya sehingga tidak menyebabkan inflasi yang berlebihan.
Keseimbangan eksternal didefinisikan sebagai nilai target normatif untuk current
account dari neraca pembayaran. Pengaruh capital account dan financial account
pada keseimbangan eksternal dapat dipertimbangkan ketika menetapkan nilai
target untuk neraca transaksi berjalan (Gylanik 2012).
Hasil penelitian yang dilakukan Holtemöller dan Mallick (2009)
menunjukkan bahwa semakin tinggi fleksibilitas rezim nilai tukar, maka akan
semakin rendah peluang terjadinya misalignment. Penelitian mereka menetapkan
misalignment nilai tukar melalui terjadinya over- atau undervaluation mata uang
yang dicerminkan sebagai Real Effective Exchange Rate (REER) aktual, terhadap
tingkat ekuilibriumnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Coudert dan Couharde
(2008) memperlihatkan perbedaan kondisi misalignment nilai tukar pada berbagai
rezim mata uang dimana pegged currencies cenderung menyebabkan overvalued,
dan floating exchange rates menyebabkan terjadinya undervalued. Sedangkan
intermediate regimes berada diantaranya, dengan kecenderungan undervalued
tetapi pada tingkat yang lebih rendah.
Kondisi misalignment nilai tukar berdasarkan penelitian terdahulu dapat
dilihat dari dua aspek, yaitu saat terjadi overvalued currency dan undervalued
currency. Dalam teori The Law of One Price (Krugman et al. 2012), kondisi
overvalued currency terjadi ketika mata uang suatu negara memiliki tingkat nilai
tukar aktual lebih kecil dari tingkat ekuilibrium selama periode tertentu. Hal ini
menyebabkan harga domestik menjadi lebih mahal dari harga di luar negeri.
Sedangkan undervalued currency terjadi saat tingkat nilai tukar aktual lebih besar
dari tingkat ekuilibrium selama periode tertentu. Hal ini menyebabkan harga
domestik menjadi lebih murah dari harga di luar negeri. IMF menjaga nilai tukar
riil berada disekitar ekuilibriumnya. Alasannya yakni nilai tukar riil yang
overvalue dapat melemahkan daya saing ekspor dan melemahkan posisi eksternal,
sementara nilai tukar undervalue dapat membuat tekanan inflasi. Selain itu,
pemeliharaan nilai tukar riil dekat dengan tingkat ekuilibrium juga mencegah
negara dari krisis mata uang dan perbankan krisis, serta biaya yang timbul akibat
efek neraca perdagangan.
Mata uang yang mengalami overvalue maka akan meningkatkan tekanan
industri import-competing terhadap perusahaan asing, sehingga turut
meningkatkan permintaan akan proteksi impor (Shatz and Tarr, 2000). Sedangkan
5
mata uang yang undervalue akan mendorong peningkatan produksi domestik,
namun proteksi yang diterapkan di luar negeri juga turut meningkat (Irwin 2011).
Berdasarkan hal tersebut, misalignment nilai tukar terbukti memiliki pengaruh
dalam penentuan kebijakan perdagangan.
Efek misalignment nilai tukar terkait mata uang yang over- atau undervalue,
akan mempengaruhi arah kebijakan perdagangan yang diterapkan suatu negara.
Kebijakan perdagangan tersebut umumnya bersifat menghambat dimana dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu tarif dan non tarif (Salvatore 1997). Tarif
adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang
diperdagangkan lintas batas teritorial. Sedangkan non tarif merupakan hambatan
perdagangan yang terjadi di era modern dan merupakan bentuk proteksi
perdagangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan hambatan tarif. Dalam
hal ini, WTO kemudian mendefinisikan kebijakan-kebijakan perdagangan non
tarif dengan istilah non tariff measures (NTM).
Laporan monitoring WTO pada Gambar 1 menunjukkan bahwa penggunaan
kebijakan perdagangan restriksi berupa non-tarif telah meningkat relatif terhadap
tarif. Sejak tahun 2008, kebijakan restriksi non-tarif yang baru terus mendominasi
hingga melampaui kebijakan liberalisasi tarif. Sementara itu, jumlah kebijakan
liberalisasi tarif telah melebihi jumlah kebijakan restriksi tarif dalam setiap
periode kecuali tahun 2009. Hal ini sejalan dengan semakin berkembangnya
kerjasama regional, seperti ASEAN, yang berupaya meminimalisir hambatan
demi memperlancar arus perdagangan.
Sumber: World Bank, 2013
Gambar 1. Komposisi new restrictive trade measures periode 2008-2011
(persentase)
6
Gambar 1 menunjukkan kebijakan perdagangan restriksi yang paling sering
digunakan yaitu bail out atau state aid sebesar 25 persen. Porsi terbesar kedua
yaitu trade defence berupa anti-dumping, countervailing duties, dan safeguards,
sebesar 22 persen. Sedangkan tariffs hanya menyumbang sebesar 13 persen dari
seluruh hambatan. Bail out merupakan program penalangan yang dilakukan
pemerintah. Trade defence merupakan tindakan yang diterapkan ketika terjadi
perdagangan yang tidak adil, subsidi impor, dan lonjakan drastis dalam aliran
perdagangan.
Perumusan Masalah
Perbedaan dalam rezim moneter dan mata uang yang berlaku di masingmasing negara ASEAN, mengakibatkan arah pergerakan nilai tukar yang berbeda
sehingga mempengaruhi perdagangan internasional. Gambar 2 menunjukkan
pergerakan nilai tukar nominal dalam basis rata-rata tahunan antara periode 2007
hingga 2012 di negara-negara ASEAN dengan penghitungan mengacu pada nilai
tukar rata-rata bulanan. Nilai tukar Dong Vietnam mengalami tren depresiasi
selama lima tahun terakhir. Sedangkan nilai tukar Peso Philippines, Baht
Thailand, dan Kip Laos cenderung mengalami apresiasi dalam periode yang sama.
Untuk nilai tukar Rupiah Indonesia, pergerakan selama lima tahun cenderung
berfluktuasi. Apresiasi nilai tukar dapat menyebabkan mata uang mengalami
overvalued, sedangkan depresiasi nilai tukar kemungkinan akan menyebabkan
mata uang mengalami undervalued. Kondisi over- atau undervalued dalam jangka
waktu lama dapat mengindikasikan terjadinya misalignment nilai tukar
(Holtemöller and Mallick 2009).
Sumber: World Bank, 2013
Gambar 2. Pergerakan nilai tukar nominal di ASEAN pada tahun 2007 - 2012
(local currency unit per US$, period average)
7
Pengaruh misalignment nilai tukar penting untuk ditelaah lebih lanjut dalam
konteks perdagangan internasional. Hal ini dikarenakan dampaknya yang nyata
terhadap perkembangan ekspor dan impor. Penelitian dengan menggunakan data
panel di 42 negara berkembang antara tahun 1975 hingga 2004, memperlihatkan
adanya dampak negatif REER misalignment terhadap ekspor (Diallo 2011).
Terkait ASEAN, negara-negara yang bersepakat dalam kerjasama regional ini
memiliki berbagai produk unggulan yang diperdagangkan di pasar internasional.
Tingkat harga yang berlaku untuk masing-masing produk dipengaruhi oleh nilai
tukar. Apabila nilai tukar menyebabkan mata uang mengalami overvalued, maka
harga barang domestik menjadi lebih mahal di pasar internasional. Sedangkan
nilai tukar yang menyebabkan undervalued pada mata uang akan membuat harga
barang domestik lebih murah sehingga industri dalam negeri terdorong melakukan
ekspor.
Kaitan nilai tukar dengan perdagangan internasional juga menyinggung
hubungan misalignment nilai tukar terhadap kebijakan perdagangan. Alasannya
dikarenakan pergerakan nilai tukar secara tidak langsung akan mempengaruhi
keputusan pemerintah dalam menetapkan kebijakan terkait perdagangan
internasional. Matto dan Subramanian (2008) menyatakan bahwa IMF sebagai
lembaga yang berwenang menangani undervalued currency akibat nilai tukar,
belum berperan efektif secara mandiri. Sebaliknya, WTO dianggap lebih kredibel
dan efektif dalam menyelesaikan sengketa perdagangan karena telah ada aturan
tentang mata uang undervalue akibat kondisi nilai tukar, yang menjadi pelengkap
diberlakukannya tarif dan subsidi ekspor. Disisi lain, penelitian Nicita (2013)
menunjukkan adanya penggunaan kebijakan perdagangan untuk mengkompensasi
efek nilai tukar yang dapat menyebabkan overvalued currency. Perusahaan
domestik yang kehilangan daya saing akibat apresiasi nilai tukar akan melobi
pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan perdagangan yang bersifat
menghambat.
Tabel 3 memperlihatkan perbandingan atas jumlah kasus NTM yang
dikeluarkan oleh negara-negara ASEAN pada tahun 2003 dan 2012. Hasilnya
menunjukkan bahwa secara umum kasus pengenaan NTM pada tahun 2012 lebih
tinggi dibandingkan tahun 2003. Hal ini senada dengan data yang dikeluarkan
world bank pada gambar 1 dimana persentase penerapan NTM dalam
perdagangan dunia menempati porsi yang semakin besar dibandingkan tarif.
Tabel 3. Perbandingan jumlah kasus NTM di ASEAN tahun 2003 dan 2012
Klasifikasi
Technical
Measures
Non-Technical
Measures
Sanitary and Phytosanitary
Technical Barriers to Trade
Anti dumping
Safeguards
Quantitative Restrictions
Tahun
2003
27
42
6
3
1
2012
43
45
6
10
4
Sumber: WTO, 2014
Technical measures mengacu pada sifat khusus produk seperti karakteristik,
spesifikasi teknis, dan proses produksi suatu produk. Sedangkan non-technical
measures mengacu pada persyaratan perdagangan, seperti syarat pengiriman,
8
custom formalities, peraturan perdagangan, dan kebijakan perpajakan. Terkait
nilai tukar, maka NTM yang akan terpengaruh dengan pergerakan mata uang
berasal dari klasifikasi non-technical measures. Untuk klasifikasi tersebut,
penerapan NTM yang mengalami peningkatan pesat di ASEAN adalah safeguards
yakni dari 3 kasus pada tahun 2003 menjadi 10 kasus pada tahun 2012. Tindakan
safeguards diterapkan akibat meningkatnya impor produk-produk tertentu
sehingga mengancam kelangsungan industri domestik di negara pengimpor.
Dalam hal ini, perkembangan nilai tukar dapat mempengaruhi harga produk
ekspor maupun impor (Thorstensen et al. 2011).
Berdasarkan uraian sebelumnya, terlihat bahwa hubungan antara
misalignment nilai tukar terhadap perdagangan negara-negara ASEAN perlu
diteliti. Hal ini selanjutnya memberikan ruang bagi peneliti untuk mengkaji lebih
jauh mengenai permasalahan-permasalahan berikut:
1. Bagaimana kondisi misalignment nilai tukar yang terjadi pada mata uang
negara- negara ASEAN-5?
2. Bagaimana pengaruh misalignment nilai tukar terhadap kebijakan non-tarif
pada masing-masing negara ASEAN-5?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan
dilaksanakannya penelitian ini yaitu:
1. Menganalisis terjadinya misalignment nilai tukar pada mata uang negaranegara ASEAN-5.
2. Menganalisis pengaruh misalignment nilai tukar terhadap kebijakan non-tarif
pada masing-masing negara ASEAN-5.
Manfaat Penelitian
1.
2.
3.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan untuk bisa
menyelaraskan kondisi antara sektor moneter dan sektor perdagangan.
Para pelaku ekonomi dapat semakin mempersiapkan diri untuk menyongsong
integrasi ekonomi terutama dalam kerangka ASEAN Economic Community
(AEC).
Wawasan masyarakat secara umum dapat bertambah mengenai hubungan
nilai tukar terhadap perdagangan internasional.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian hanya mencakup lima negara anggota ASEAN, yaitu Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Hal ini dikarenakan perbedaan
masing-masing negara dalam keterbukaannya menyampaikan data perekonomian.
Selain itu, kelima negara yang diteliti memiliki perekonomian yang beragam
sehingga dapat mewakili kondisi ekonomi ASEAN secara umum. Untuk
kebijakan non tarif, penelitian ini hanya mencakup tindakan safeguards karena
terkait dengan harga. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini berkisar
pada tahun 1994 hingga 2013.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Definisi Nilai Tukar
Nilai tukar merupakan harga mata uang suatu negara terhadap mata uang
negara lain (Krugman et al. 2012). Definisi ini disebut juga nilai tukar nominal,
dimana nilai tukar diekspresikan sebagai harga domestik atas mata uang asing.
Perubahan pada nilai tukar dibedakan menjadi dua, yaitu apresiasi dan depresiasi.
Apresiasi adalah penguatan nilai tukar mata uang suatu negara dimana harga yang
harus dibayarkan untuk ditukarkan dengan mata uang negara lain menjadi lebih
murah. Sedangkan depresiasi adalah pelemahan nilai tukar mata uang dimana
harga yang harus dibayarkan untuk menukar mata uang suatu negara dengan mata
uang negara lain menjadi lebih mahal.
Pelaku ekonomi cenderung tertarik pada apa yang bisa mereka dapatkan
dengan mata uang yang diukur melalui tingkat nilai tukarnya di pasar. Oleh
karena itu, berkembanglah konsep nilai tukar riil atau real exchange rate (RER),
yang mengukur nilai barang di suatu negara terhadap negara lain pada tingkat
nilai tukar nominal yang berlaku. Nilai tukar riil berperan penting dalam
perdagangan internasional karena memungkinkan kita untuk membandingkan
harga suatu barang yang diproduksi di berbagai negara. Ketika harga barang yang
sama, baik yang diproduksi domestik maupun luar negeri, telah dikonversi dalam
suatu mata uang maka harga relatif yang mempengaruhi perdagangan
internasional dapat diketahui (Krugman et al. 2012).
Apresiasi pada mata uang suatu negara meningkatkan harga relatif barang
yang diekspor dan menurunkan harga relatif barang yang diimpor. Hal ini dapat
menyebabkan peningkatan impor karena harga yang lebih murah. Sebaliknya,
depresiasi pada mata uang suatu negara akan menurunkan harga relatif barang
yang diekspor dan meningkatkan harga relatif barang yang diimpor. Kondisi
tersebut mendorong terjadinya ekspor karena harga impor yang lebih mahal.
Hubungan antara nilai tukar riil suatu mata uang dengan nilai tukar nominal, harga
barang domestik, serta harga barang luar negeri dapat dirumuskan sebagai berikut:
(2.1)
dimana e adalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah harga
barang domestik, dan P* adalah harga barang luar negeri.
Konsep Equlibrium Real Exchange Rate
Konsep keseimbangan pada nilai tukar riil merupakan kondisi seimbang
yang terjadi apabila tidak ada kecenderungan untuk mengalami perubahan. Nilai
tukar riil sebagai bagian penting dari mekanisme penyesuaian ekonomi makro,
akan cenderung berubah setiap kali ekonomi terkena guncangan baru. Hal ini
dapat menyebabkan perubahan nilai secara kontinu sehingga sulit dijadikan acuan
dalam menetapkan ekuilibrium nilai tukar riil. Oleh karenanya, konsep
keseimbangan akan tetap mengacu pada kondisi tanpa guncangan. Disisi lain,
perekonomian diasumsikan memiliki beberapa kondisi keseimbangan pada saat
tertentu sehingga perbedaaan antara aktual dan ekuilibrium harus lebih nyata.
Kondisi keseimbangan tersebut bergantung pada current dan expected future
10
values yang ditetapkan atas variabel-variabel makroekonomi tertentu. Hal ini
mengindikasikan bahwa keseimbangan tidak bersifat statis, namun akan berubah
dari waktu ke waktu seperti perubahan yang terjadi pada nilai variabel. Oleh
karenanya, keseimbangan perlu dibedakan antara short-run dan long-run
equilibrium. Perbedaan antara keduanya seringkali disebut juga sebagai nilai tukar
misalignment (Montiel 2002).
Contoh konkret dapat dilihat dalam persamaan berikut. Asumsikan nilai
tukar riil pada setiap waktu ditentukan oleh hubungan reduced-form:
(2.2)
dimana X1 merepresentasikan sustainable values of a set of real exogenous
dan policy variables, sedangkan X2 merepresentasikan current values of a set
of predetermined variables. Variabel terakhir merupakan variabel-variabel
makroekonomi seperti upah nominal, economy's net international creditor
position, dan capital stocks dalam sektor traded dan nontraded goods, yang
nilainya tetap setiap saat tetapi berubah secara bertahap dari waktu ke waktu:
̇
(2.3)
Dalam hal ini, nilai e pada persamaan (2.2) adalah nilai short-run equilibrium
karena current values atas X2 pada persamaan (2.3) akan berubah sendiri dari
waktu ke waktu.
Ketika variabel-variabel makroekonomi pada X2 berhenti berubah, maka
kondisi tersebut dianggap telah mencapai long-run equilibrium, sehingga:
0
(2.3‟)
Dengan demikian, persamaan untuk nilai long-run atas X2 menjadi:
(2.4)
Kemudian disubstitusi dengan persamaan (2.2) menjadi:
(2.5)
dimana e* adalah long-run equilibrium real exchange rate (LRER). Persamaan
tersebut hanya bergantung pada sustainable values of a the exogenous dan
policy variables, yang mempengaruhi e secara langsung maupun tidak langsung
(melalui X2).
Kondisi Long-run Equlibrium Real Exchange Rate
Istilah "jangka panjang" pada kondisi nyata jauh lebih kompleks.
Kesulitannya terletak pada predetermined variables seperti upah nominal,
economy's net international creditor position, dan capital stocks secara sektoral,
yang memiliki kecepatan berbeda dalam mendekati nilai-nilai kondisi jangka
panjang. Oleh karena itu, kita perlu mengacu kembali pada konsep LRER sebagai
nilai tukar riil yang secara simultan konsisten dengan keseimbangan internal dan
eksternal, dengan pengaruh dari sustainable values of a the exogenous dan
policy variables. Keseimbangan internal mengacu pada situasi pasar untuk
nontraded goods dan tenaga kerja berada dalam ekuilibrium. Hal ini sesuai
dengan kondisi keseimbangan makroekonomi pada jangka pendek, yakni full
employment. Sedangkan keseimbangan eksternal mengacu pada situasi di mana
defisit current account sama dengan nilai capital inflow yang berkelanjutan.
Keseimbangan internal mensyaratkan bahwa siklus mekanisme
penyesuaian melalui pasar tenaga kerja berhenti beroperasi. Pada saat yang sama,
hal ini mencerminkan pandangan bahwa membiarkan penyesuaian penuh untuk
capital stock adalah berlebihan, karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
11
penyesuaian penuh akan berlangsung lama bergantung pada kebijakan yang
berlaku. Disisi lain, keseimbangan eksternal membutuhkan tingkat spesifik dari
capital inflow yang berkelanjutan. Suatu kerangka yang dinamis menjelaskan
bahwa capital inflow atau outflow adalah berkelanjutan ketika economy's net
international creditor position (dalam predetermined variable) tidak mengalami
perubahan. Berdasarkan hal tersebut, tingkat berkelanjutan atas arus modal akan
diperlukan untuk mempertahankan rasio utang dengan GDP. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa penyesuaian yang berkelanjutan pada jangka panjang
untuk pasar tenaga kerja dan economy's net creditor position akan berlangsung
lama, sedangkan untuk capital stock belum tentu membutuhkan waktu selama
itu. Pendapat lainnya menyatakan bahwa terlalu lama menunggu kondisi jangka
panjang bagi net creditor position, sehingga mereka mengkondisikan jangka
panjang hanya pada tingkat stabil dari arus modal. Asumsi implisit atas kondisi
ini adalah bahwa arus modal hanya memiliki pengaruh kecil pada net creditor
position (Montiel 2002).
Teori Long-run Equlibrium Real Exchange Rate
Kondisi ekuilibrium yang berkelanjutan dalam pasar tenaga kerja dan
nontraded goods dapat digambarkan sebagai berikut:
yN (e , ɸ) = (1 - θ) c/e + gN
(2.6)
+ Persamaan ini mencerminkan bahwa penawaran nontraded goods yN, pada sisi
kiri, harus sama dengan permintaan barang dari sektor privat [(1 - θ) c/e] dan
publik (gN), pada sisi kanan. Tanda dibawah persamaan sisi kiri menunjukkan
partial derivatives terhadap argumen persamaan diatasnya. Penawaran nontraded
goods berhubungan positif dengan fungsi nilai tukar riil e, dan berhubungan
negatif dengan fungsi terms of trade ɸ. Hal tersebut berimplikasi pada
keseimbangan pasar tenaga kerja, dimana ketika depresiasi menyebabkan tenaga
kerja berpindah dari sektor nontraded goods ke sektor ekspor dan impor, maka
perbaikan dalam terms of trade akan mendorong tenaga kerja berpindah dari
sektor nontraded goods dan impor ke sektor ekspor. Spesifikasi permintaan
privat untuk nontraded goods mencerminkan asumsi constant expenditure shares
(Cobb-Douglas utility) untuk impor dan nontraded goods (penduduk domestik
diasumsikan tidak mengkonsumsi barang ekspor); dengan θ menunjukkan share
of spending khususnya impor, dan c menunjukkan level of total private
expenditure dengan satuan unit yang diimpor. Kenaikan private spending
menyebabkan excess demand untuk nontraded goods, dimana nilai tukar riil
harus terapresiasi agar posisi kembali ke ekuilibrium pada Gambar 3.
Kondisi keseimbangan eksternal digambarkan sebagai berikut:
(2.7)
π* f* = ɸ yx (e , ɸ) + yz (e , ɸ) + (r* + π*) f* - [τ (ε + π*) + θ] c - gz
- +
- +
Persamaan ini menggambarkan ekuilibrium jangka panjang dimana current
account balance, pada sisi kanan, sama dengan sustainable capital inflow, pada
sisi kiri. Sustainable capital inflow sama dengan inflationary erosion of the real
value of the country’s net debt terhadap dunia; dengan country’s real net
international creditor position (f*), world inflation rate (π*), dan sustainable
capital inflow (-π* f*). Sisi kanan persamaan terdiri dari trade balance ditambah
12
net interest receipts dari dunia. Trade balance merupakan jumlah produksi
domestik yang diekspor yx (dihitung dalam terms of importables dari perkalian
yz, dikurangi oleh permintaan privat dan
+ θ] c dan gz). Net interest receipts dari
dengan terms of trade ɸ) dan diimpor
publik atas impor (diberikan oleh [τ
(pembayaran terhadap) dunia diberikan oleh (r* + π*) f*, dengan r* adalah
external real interest rate yang dihadapi perekonomian domestik, sehingga
r* + π* merupakan external nominal interest rate.
6 e
IB
5
4
A
3e*
2
1
EB
0
1
2
c*
3
c
4
5
Sumber: Montiel, 2002
Gambar 3. Kurva internal balance, external balance, dan long-run equilibrium
real exchange rate
Permintaan privat untuk impor memiliki dua komponen. Pertama,
komponen θc yang menggambarkan asumsi bahwa share θ dari total private
spending dikhususkan untuk barang impor, sehingga cz = θc. Kedua, komponen
τc yang merupakan asumsi atas biaya transaksi terkait the act of spending (terdiri
dari τ barang per unit konsumsi) yang muncul dalam bentuk traded goods. Biaya
tersebut dapat dikurangi melalui kepemilikan money balances, namun hal ini
tidak disarankan ketika inflasi domestik sedang tinggi. Apabila ε menunjukkan
tingkat depresiasi dari nilai tukar nominal, maka tingkat inflasi domestik dalam
jangka panjang harus sama dengan ε + π*, sehingga τ akan meningkatkan ε + π*.
Country’s net international creditor position (f*) bergantung hanya kepada
external real interest rate, sehingga tidak terpengaruh guncangan lain pada
model. Alasannya adalah suku bunga riil domestik dalam kondisi steady state
harus sama dengan the rate of time preference, yang merupakan variabel
eksogen. Dengan external real interest rate merupakan variabel eksogen, yang
sama dengan the rate of time preference; maka yang dapat menyeimbangkan
keduanya adalah risk premium on lending to the domestic economy, yang
dijelaskan fungsi f*. Dalam hal ini, f* tidak akan berubah jika r* tidak
mengalami perubahan.
Ketika produksi traded goods (ɸ yx + yz) mengalami penurunan pada nilai
tukar riil e, dan kenaikan pengeluaran konsumsi mengurangi surplus
perdagangan, maka kombinasi e dan c yang menggambarkan kondisi
13
keseimbangan eksternal diplotkan dalam kurva EB dengan slope negatif pada
gambar 3. Perpotongan di titik A dengan kurva IB yang berslope positif
menjelaskan tingkat nilai tukar riil dan pengeluaran privat pada kondisi
ekuilibrium jangka panjang.
Fundamental Equilibrium Exchange Rate (FEER)
Metodologi Fundamental Equilibrium Exchange Rate (FEER)
menggunakan indikator keseimbangan internal dan eksternal untuk mendapatkan
tingkat nilai tukar yang optimal. Oleh karena itu, FEER sesuai untuk menilai
apakah gerakan REER merupakan misalignment atau apakah EREER telah
bergeser sebagai akibat dari perubahan fundamental ekonomi (Roudet et al.
2007). Sedangkan penelitian Driver dan Westaway (2003) menyatakan bahwa
FEER adalah model kesetimbangan yang mendefinisikan tingkat nilai tukar riil
yang kompatibel dengan keseimbangan internal dan eksternal.
Variabel yang digunakan untuk menilai keseimbangan internal dan eksternal
adalah variabel yang mempengaruhi keseimbangan saving-investment suatu
negara. Dalam hal ini, FEER mencerminkan nilai tukar riil yang berkelanjutan.
Nilai tukar ini diharapkan dapat menghasilkan current account surplus atau defisit
yang dapat menyesuaikan aliran modal suatu negara selama siklus tertentu.
Asumsinya adalah bahwa negara sedang mengejar keseimbangan internal dan
tidak membatasi perdagangan untuk alasan balance-of-payments (Cline dan
Williamson 2011).
Beberapa variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini untuk
menganalisis nilai tukar ekuilibrium antara lain openness, GDP perkapita,
konsumsi pemerintah per GDP, dan konsumsi swasta per GDP. Keterbukaan
perdagangan atau openness biasanya berhubungan dengan ketidakseimbangan
eksternal dan internal yang membutuhkan depresiasi REER untuk mengkoreksi
balance-of-payments. Produktivitas diukur dengan GDP perkapita karena
beberapa literatur menyatakan bahwa variabel tersebut merupakan pendekatan
yang terbaik. Berdasarkan efek Balassa-Samuelson, peningkatan produktivitas
barang tradable vs non-tradable dari satu negara, relatif terhadap negara asing,
meningkatkan upah relatif. Hal ini meningkatkan harga relatif non-tradable untuk
diperdagangkan dan menyebabkan apresiasi REER (Rochester 2013). Hubungan
konsumsi pemerintah per GDP terhadap REER adalah ambigu karena hal ini
bergantung pada apakah pengeluaran diarahkan untuk barang yang tradable atau
non-tradable. Apabila pengeluaran diarahkan ke barang non-tradable maka
diharapkan terjadi apresiasi REER. Penelitian Candelon et al. (2007) memasukkan
variabel konsumsi swasta per GDP dalam analisis untuk menyelidiki kekokohan
indikator permintaan karena adanya peralihan dari ekonomi terpusat ke ekonomi
pasar.
Keunggulan dari metodologi ini adalah kesederhanaan dan kejelasan, karena
menyediakan hubungan langsung antara FEER dan fundamental ekonomi. Dengan
demikian, penyebab nilai tukar mengalami overvalue atau undervalue dapat lebih
mudah diidentifikasi. Selain itu, analisis dapat dilakukan dalam penelitian dengan
banyak negara, dimana FEER digunakan untuk mengtahui nilai tukar ekuilibrium
bilateral melalui kondisi arbitrase yang standar.
14
Misalignment Nilai Tukar Riil
Penghitungan keseimbangan nilai tukar dan isu-isu terkait telah menjadi
topik yang berkembang untuk berbagai alasan. Pertama, sejumlah negara - seperti
kelompok negara-negara yang bersepakat, Inggris, dan Swedia - memiliki
kepentingan dalam mengetahui nilai tukar yang tepat untuk masuk ke area Euro
(baik dalam hal partisipasi pada kesepakatan ERM II atau tingkat nilai tukar yang
tepat untuk menetapkan mata uang secara permanen terhadap Euro). Kedua,
perilaku mata uang tertentu, seperti penurunan tajam di awal dan berkelanjutan
dalam nilai eksternal Euro setelah didirikan pada tahun 1999, apresiasi
berkelanjutan pada sterling di akhir 1990-an, dan perilaku Renminbi China
terhadap Dolar AS setelah 2005; telah menghasilkan perdebatan tentang sumber
pergerakan nilai tukar. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mengenai terjadinya
nilai tukar misalignment.
Balance of payment didapat dari jumlah current account (ca) dan capital
account (cap), dengan nilai tukar fleksibel sama dengan nol. Current balance
dapat ditulis sebagai:
(2.10)
Dengan variabel independen mencerminkan nilai tukar riil, pendapatan domestik
pada net ekspor, pendapatan luar negeri pada net ekspor, dan net interest
payments pada net foreign assets. Sedangkan capital account diasumsikan sebagai
fungsi dari penyesuaian net interest yields terhadap perubahan yang diharapkan
pada nilai tukar, yang ditulis sebagai berikut:
(2.11)
Berdasarkan persamaan diatas, untuk menggambarkan konsep nilai tukar
misalignment, maka diformulasikanlah persamaan balance of payment exchange
rate relationship sebagai berikut:
=
(2.12)
dimana definisi variabel seperti sebelumnya dengan variabel dependen sebagai
nilai tukar riil. Persamaan (2.12) tidak mewakili keseimbangan steady state
seutuhnya, karena tidak ada stock-flow yang konsisten namun berguna dalam
menggambarkan konsep yang akan dibahas.
Clark dan MacDonald (1998) mendefinisikan
sebagai seperangkat
fundamental yang diharapkan memiliki efek persisten pada nilai tukar riil jangka
panjang, dan
sebagai seperangkat fundamental yang memiliki efek persisten
pada jangka menengah, yaitu selama siklus bisnis. Dalam persamaan (2.12),
akan berisi relative output terms dan net foreign assets, sementara
akan berisi
interest rate yields. Oleh karenanya, nilai tukar riil aktual dapat ditulis sebagai
berikut:
(2.13)
dengan T adalah a set of transitory, atau jangka pendek, variabel-variabel dan
adalah random error. Berdasarkan penelitian Clark dan MacDonald (1998),
penting untuk membedakan antara nilai tukar riil secara aktual dan nilai tukar
ekuilibrium saat ini ( ). Oleh sebab itu, dikembangkanlah persamaan nilai tukar
ekuilibrium saat ini dimana transitory dan random terms adalah nol:
(2.14)
Selanjutnya related current misalignment (cm) didefinisikan menjadi:
(2.15)
15
dengan cm dapat pula diartikan sebagai jumlah transitory dan random errors.
Nilai saat ini dari fundamental ekonomi dapat menyimpang dari tingkat
yang berkelanjutan atau diharapkan, maka Clark dan MacDonald (1998) juga
mendefinisikan total misalignment (tm) sebagai selisih antara tingkat aktual dan
riil dalam periode berkelanjutan atau jangka panjang. Definisi tersebut dapat
ditulis:
̅
̅
(2.16)
Kalibrasi fundamental di tingkat yang diinginkan akan dapat dicapai dengan
menempatkan beberapa penilaian pada nilai yang harus dimiliki variabel aktual
selama periode sampel, atau menggunakan beberapa jenis filter statistik, seperti
filter Hodrick-Prescott. Dengan menambahkan dan mengurangkan
dari sisi
kanan persamaan (2.16), maka total misalignment dapat didekomposisi menjadi
dua komponen:
̅
̅
(2.17)
dan karena
=
, total misalignment dalam persamaan (2.17)
dapat ditulis kembali menjadi:
̅
̅
(2.18)
Persamaan (2.18) menunjukkan bahwa total misalignment pada setiap titik waktu
dapat didekomposisi menjadi efek transitory factors, random disturbances, dan
sejauh mana fundamental ekonomi menyimpang dari nilai-nilai yang
berkelanjutan.
Kebijakan Non-Tarif
Untuk memperlancar aliran output dan memaksimalkan keuntungan antar
negara, maka dibentuklah berbagai kesepakatan perdagangan seperti free trade
area. Namun dalam pelaksanaannya, tidak semua barang dapat dengan mudah
diperdagangkan antar negara yang telah menjalin kesepakatan. Masih terdapat
banyak negara yang menerapkan kebijakan perdagangan yang bersifat
menghambat dalam rangka melindungi kepentingan domestik.
Definisi non-tariff measures (NTMs) adalah semua langkah-langkah
kebijakan selain tarif, yang mengubah kondisi perdagangan internasional terkait
jumlah yang diperdagangkan, harga, atau keduanya (Pasadilla 2013). Tidak semua
NTMs adalah hambatan perdagangan (NTBs). NTMs adalah seperangkat aturan
yang lebih luas, sedangkan NTBs bersifat diskriminatif dan dimaksudkan untuk
melindungi atau mendukung produsen domestik. Namun dalam praktiknya, tidak
mudah untuk membedakan keduanya karena beberapa NTMs meskipun terlihat
sah, dapat diterapkan sedemikian rupa sehingga menjadi kendala bagi
perdagangan.
Secara umum, NTM merupakan semua biaya perdagangan yang berkaitan
dengan kebijakan yang dikeluarkan dari produksi hingga ke konsumen akhir,
selain tarif (Pasadilla 2013). Dalam hal ini, sebuah kolaborasi antar-lembaga
internasional yang dipelopori oleh UNCTAD, ITC dan World Bank merevisi
klasifikasi NTMs menjadi pengenaan impor dan ekspor, dengan pengenaan impor
dibagi menjadi technical measures dan non-technical measures (Gambar 4).
16
Sumber: Pasadilla, 2013
Gambar 4. New UNCTAD classification of non-tariff measures
Sanitary and phytosanitary (SPS) merupakan kebijakan pembatasan
substansi untuk food safety yang termasuk aturan sertifikasi, testing, dan
karantina. Technical barrier to trade (TBT) berkaitan dengan labelling, standar
spesifikasi dan kualitas, serta kebijakan lainnya dalam melindungi lingkungan.
Pre-shipment clearence merupakan pengenaan NTM yang diterapkan di
perbatasan negara asal. Price control adalah kebijakan guna melindungi pasar
domestik dari tindakan perdagangan yang tidak adil, seperti antidumping,
countervailing, dan safeguard measures. Pengenaan licences, quotas, larangan,
dan kebijakan quantity control lainnya diterapkan at-the-border. Charges, taxes,
dan para-tariff measures merupakan kebijakan untuk mengendalikan harga
barang impor. Finance terkait dengan pembiayaan. Anti-competitive merupakan
kebijakan yang mempengaruhi persaingan. Trade-related investment berkaitan
syarat investasi dengan local content atau permintaan investasi terhadap ekspor
guna menyeimbangkan impor. Distribution restrictions dan post-sales service
terkait dengan pemasaran dan pelayanan produk setelah diimpor. Pengenaan
subsidies, government procurement, dan rules diterapkan behind-the-border.
Intellectual property adalah kebijakan pembatasan mengenai tindakan dan hak
kekayaan intelektual. Export-related measures merupakan kebijakan terkait
ekspor meliputi pajak ekspor, kuota ekspor, dan larangan ekspor.
Berdasarkan klasifikasi NTM dari UNCTAD, maka kebijakan non-tarif
yang terkait perubahan nilai tukar adalah kebijakan yang diterapkan untuk
mengendalikan atau mempengaruhi harga barang impor yaitu price control.
Tindakan ini dilakukan guna mendukung harga domestik produk tertentu ketika
harga impornya lebih rendah, menetapkan harga domestik produk tertentu karena
17
fluktuasi harga di pasar domestik atau ketidakstabilan harga di pasar luar negeri,
serta meningkatkan atau mempertahankan penerimaan pajak.
Tindakan Safeguard
The Agreement on Safeguards (“SG Agreement”) menetapkan aturan untuk
penerapan tindakan pengamanan berdasarkan Article XIX GATT 1994. Tindakan
safeguard didefinisikan sebagai tindakan "darurat" terkait meningkatnya impor
produk-produk tertentu, dimana impor tersebut telah menyebabkan atau
mengancam munculnya cedera serius bagi industri dalam negeri di negara
pengimpor (Article 2). Penerapan tindakan berbentuk penangguhan konsesi atau
kewajiban, yang dapat terdiri dari pembatasan impor kuantitatif atau pajak yang
lebih tinggi.
Berbagai perjanjian ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) memiliki
pandangan aturan yang bersifat pro-pembangunan. Para anggota dari AustraliaNew Zealand Closer Economic Relations Trade Agreement (AFTA-CER),
kerjasama ekonomi ASEAN-India, ASEAN-Jepang, ASEAN and Tthe
Government of The Russian Federation, dan ASEAN-Korea Free Trade Area
bersepakat perbedaan tingkat pembangunan ekonomi pada negara anggota
ASEAN akan dilihat dan dipertimbangkan. ASEAN-China FTA, ASEANAustralia Australia New Zealand FTA dan ASEAN-Korea FTA memungkinkan
perlakuan khusus untuk negara-negara berkembang dengan tidak menerapkan
kebijakan perdagangan jika pangsa produk impor atau total impor dari negara
anggota pengimpor tidak melebihi 3 persen. Hal ini serupa dengan ketentuan
dalam The Agreement on Safeguards.
Indonesia mengungkapkan adanya resiko lonjakan impor dari China setelah
penandatanganan ASEAN-China FTA (ACFTA) yang dapat menyebabkan
mempengaruhi produsen dalam negeri untuk produk sejenis. Bea impor pada lebih
dari 6.000 jenis barang-barang dari China dibebaskan pada tanggal 1 Januari 2010
sesuai dengan kesepakatan. Ekspor seperti kelapa, karet, dan kopi mungkin
meningkat berdasarkan kesepakatan. Namun barang elektronik, baja, dan industri
makanan diprediksi akan menurun. Alasannya adalah kurangnya daya saing
produsen dalam negeri yang menjual produk mereka di pasar domestik, dimana
mereka harus bersaing dengan barang-barang sejenis tapi lebih murah dari China.
Sebelum perjanjian mulai diberlakukan, impor dari China untuk mesin dan
mekanik peralatan serta mesin listrik dan peralatan sendiri telah meningkat lebih
dari 50 persen antara tahun 2004 dan 2008. Oleh karena itu, salah satu alat untuk
mencegah cedera serius bagi industri domestik untuk kasus ini adalah tindakan
safeguard yang sesuai klausul perlindungan dalam kesepakatan.
Filipina telah mengambil beberapa langkah tindakan pengamanan yang
impor dari negara-negara tertentu. Semua perselisihan yang timbul dari
pelaksanaan tindakan safeguard harus dirujuk ke WTO Dispute Settlement Unit.
Selain itu, Filipina juga memiliki undang-undang nasional yang mengatur
pelaksanaan tindakan pengamanan, yaitu Safeguard Measures Act (juga dikenal
sebagai R.A. 8800) yang mulai berlaku pada tanggal 9 Agustus 2000. Berdasarkan
penelitian Kruger et al. (2009), Filipina telah menerapkan langkah-langkah
pengamanan definitif ceramic wall and floor tiles, glass mirrors, figured and float
glass, dan technical grade sodium tripolyphosphates (STPP).
18
Hubungan Nilai Tukar, Output, dan Tindakan Safeguard
Rea l
6
excha nge
ra te,
RS
RD
5
4
3
1
2
1
0
1
2
3
4
5
Ra tio of US
to European
rea l output,
Sumber: Krugman et al., 2002
Gambar 5. Kurva hubungan antara tingkat nilai tukar dan output
Gambar 5 menunjukkan hubungan antara nilai tukar dengan output yang
terkait penawaran dan permintaan. Penawaran output AS relatif terhadap output
Eropa digambarkan oleh variabel
yang diplotkan terhadap variabel nilai tukar
riil dollar US terhadap euro
. Kurs riil ekuilibrium ditentukan oleh dua kurva
yang berpotongan. Kurva RD menunjukkan bahwa permintaan relatif untuk
produk AS secara umum terhadap produk Eropa yang meningkat saat
naik
karena produk AS menjadi relatif lebih murah. Dalam jangka panjang, tingkat
output nasional relatif ditentukan oleh pasokan faktor dan produktivitas, dengan
sedikit, jika ada, efek pada nilai tukar riil. Kurva RS menunjukkan penawaran
relatif sehingga vertikal dalam jangka panjang (asumsi full-employment) dengan
output rasio relatif. Dalam nilai tukar riil ekuilibrium jangka panjang, permintaan
relatif sama dengan penawaran relatif.
Hubungan antara nilai tukar ekuilibrium dan output yang terjadi dipengaruhi
oleh berbagai faktor fundamental dalam negara. Ketika kondisi perekonomian
suatu negara mengalami gejolak domestik maka output yang dihasilkan dapat
menurun, sehingga kegiatan perdagangan terkena imbas penurunan. Penurunan ini
berdampak pula pada penggunaan mata uang sebagai alat transaksi, dimana ketika
negara terkena gejolak maka mata uang cenderung terdepresiasi. Berdasarkan
situasi tersebut, pemerintah akan melakukan berbagai stimulus untuk
mendongkrak industri berorientasi ekspor karena depresiasi nilai tukar membuat
harga barang domestik lebih murah. Disisi lain, negara pengimpor akan melihat
kondisi tersebut sebagai sinyal adanya lonjakan impor sehingga mereka akan
berusaha melindungi industri domestik. Salah satu bentuk perlindungan
pemerintah di negara pengimpor yaitu dengan penerapan kebijakan non-tarif
berupa tindakan safeguard, terhadap mitra dagangnya.
19
Tinjauan Ekonometrika
Panel Dynamic Ordinary Least Square (Panel DOLS)
Dalam konteks penentuan nilai tukar jangka panjang, kita harus
memperhitungkan bahwa nilai tukar riil serta variabel dependen umumnya tidak
stasioner. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel tidak memiliki nilai rata-rata
tetap terkait waktu, sehingga analisis kointegrasi diperlukan. Pada analisis lintas
negara, penelitian akan mengarah ke metode panel-kointegrasi. Penggunaan
teknik OLS yang normal akan menyebabkan regresi palsu sehingga teknik panelkointegrasi spesifik perlu digunakan. Kao dan Chiang (2000) telah menunjukkan
bahwa OLS dalam model panel-kointegrasi adalah asimtotik normal tetapi bias.
Bahkan estimator OLS bias yang dikoreksi tidak meningkatkan estimator OLS
secara umum (Chen et al. 1999).
Phillips dan Moon (2000) menunjukkan bahwa dalam kasus panel homogen
dan mendekati-homogen, koefisien jangka panjang dapat diperoleh dengan
menggunakan pooled fully modified (FM) estimator. Metode ini merupakan nonparametrik karena menggunakan kernel estimators dari parameter gangguan yang
mempengaruhi distribusi asimtotik estimator OLS. Hal tersebut mengatasi
kemungkinan masalah endogenitas dari regressor serta residu autokorelasi.
Namun dalam sampel yang terbatas, Kao dan Chiang (2000) menemukan bahwa
estimator FM tidak mengkoreksi OLS secara umum. Oleh karena itu,
digunakanlah panel dynamic OLS yang memiliki keuntungan untuk kenyamanan
komputasi. Kao dan Chiang (2000) menunjukkan bahwa panel DOLS
mengungguli metode lain pada sampel yang sama, terutama jika menyertakan
fixed effects.
Panel DOLS adalah metode parametrik selain alternatif yang diperkenalkan
oleh Pedroni (1997), serta Phillips dan Moon (1999) yaitu estimasi data panel
dengan fully modified OLS. Sifat Panel DOLS yakni adanya fixed effect dalam
regresi kointegrasi (Kao and Chiang 2000) .Umumnya, vektor kointegrasi adalah
homogen untuk setiap individu namun metode ini memungkinkan adanya
heterogenitas individu dalam jangka pendek, individual-specific fixed effects, dan
individual-specific time trends. Selain itu, metode ini juga memungkinkan limited
degree of cross-sectional dependence (CSD) akibat adanya time-specific effects.
Hasil estimasi panel DOLS adalah seperangkat koefisien jangka panjang yang
berhubungan secara fundamental dengan nilai tukar riil.
Conditional Fixed-Effects Logistic Regression
Metode Conditional Fixed-Effects Logistic Regression digunakan untuk
menganalisis pengaruh misalignment nilai tukar dan total ekspor terhadap
pengenaan tindakan safeguard. Analisis dengan metode tersebut dilakukan karena
yang menjadi variabel independen merupakan dummy pengenaan tindakan
safeguard. Dengan penggunaan data panel, maka kontrol atas kestabilan
karakteristik dari masing-masing individu dapat dilakukan. Dalam hal ini,
karakteristik setiap individu tidak berubah untuk setiap waktu walaupun variabel
dapat dihitung atau tidak.
20
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Survei mengenai hubungan antara mata uang dan perdagangan oleh Auboin
dan Ruta (2011), meneliti dua isu utama, yaitu dampak volatilitas nilai tukar
terhadap perdagangan, dan misalignments mata uang. Secara umum, volatilitas
nilai tukar berdampak negatif (walaupun tidak besar) terhadap arus perdagangan.
Besarnya dampak bergantung pada sejumlah faktor seperti eksistensi instrumen
hedging, struktur produksi, dan tingkat integrasi antar negara. Misalignments nilai
tukar diperkirakan memiliki dampak jangka pendek pada model kekakuan harga.
Namun hal ini bergantung pada sejumlah faktor-faktor, seperti strategi penetapan
harga oleh perusahaan yang terlibat perdagangan internasional dan pentingnya
jaringan produksi global. Dampak ini diperkirakan akan menghilang dalam jangka
panjang, kecuali terjadi beberapa distorsi dalam karakteristik perekonomian.
Penelitian Raji (2013) berfokus pada dampak dari misalignment nilai tukar
riil terhadap kinerja ekonomi West African Monetary Zone (WAMZ). Metode
yang digunakan adalah Generalised Method of Moment of Dynamic Panel
Estimation Method dengan didukung pendekatan cross country correlation yang
terdiri dari Gambia, Ghana, Guinea, Liberia, Nigeria dan Sierra Leone antara
tahun 2000 hingga 2010. Studi ini menemukan bahwa zona mengalami korelasi
asimetris antara misalignment nilai tukar riil dan kinerja ekonomi, dimana
masuknya nilai tukar riil ekuilibrium mengungkapkan hubungan simetris dengan
kinerja ekonomi. Lebih lanjut, penelitian terkait cross country correlation
menunjukkan bahwa dua negara (Ghana dan Nigeria) memiliki tingkat moderat
dalam hubungan simetris dengan menggunakan variabel makroekonomi seperti
suku bunga, nilai tukar riil, dan misalignment nilai tukar riil.
Berdasarkan klasifikasi NTM, Gourdon dan Nicita (2012) menganalisis
data 24 negara berkembang ditambah Uni Eropa dan Jepang, dengan temuan:
 Cakupan ratio dari NTM bervariasi lintas sektor dengan besar setara antara
10% sampai 90% dari pos tarif. Kedua negara maju dan berkembang
memiliki rasio cakupan yang signifikan;
 Technical measures, khususnya TBT dan SPS, adalah yang paling umum
diterapkan dari semua NTM. TBT mempengaruhi 30 persen dari perdagangan
internasional, sedangkan SPS sebesar 15 persen. SPS sebagian besar
diterapkan pada produk pertanian dan makanan, yakni sekitar 60 persen.
Seringkali, tindakan TBT dan SPS tidak bermaksud proteksionis tetapi
keduanya sama-sama merugikan negara berkembang karena tingginya biaya
kepatuhan;
 Diantara non-technical measures, penggunaan kuota telah menurun tetapi
penggunaan non-automatic licenses meningkat. Penurunan penggunaan kuota
sebagian besar disebabkan oleh aturan WTO terkait instrumen kebijakan
perdagangan. Tindakan price control jarang digunakan dan hanya
berpengaruh kurang dari 5 persen terhadap perdagangan.
Nicita (2013) melakukan penelitian mengenai dampak misalignment nilai
tukar terhadap perdagangan internasional, serta hubungannya dalam
mempengaruhi keputusan pemerintah menetapkan kebijakan perdagangan. Hasil
penelitian menunjukkan misalignment nilai tukar mempengaruhi arus
perdagangan secara substansial, dimana undervalued currency mendorong ekspor
dan membatasi impor, sedangkan overvalued currency sebaliknya. Terkait
21
hubungan misalignment nilai tukar dengan keputusan pemerintah, hasil penelitian
mendukung argumen mengenai pemanfaatan kebijakan perdagangan untuk
mengkompensasi overvalued currency, khususnya terkait anti-dumping. Kondisi
tersebut dibuktikan melalui respon atas melambatnya kecepatan dalam
mendukung liberalisasi tarif. Dalam hal ini, persistensi misalignment nilai tukar
akan meningkatkan insentif untuk memberlakukan kebijakan proteksi yang nontradisional.
Kerangka Penelitian
Negara anggota ASEAN masih memberlakukan mata uang masing-masing
walaupun sudah terjalin lama dalam kerjasama ekonomi secara regional. Masingmasing mata uang memiliki besaran dan arah pergerakan nilai tukar yang berbeda.
Nilai tukar tersebut diamati melalui dua kondisi, yaitu aktual dan ekuilibrium.
Kondisi aktual menunjukkan posisi nilai tukar yang terjadi di lapangan.
Sedangkan kondisi ekuilibrium menunjukkan posisi nilai tukar yang dipengaruhi
faktor-faktor yang terjadi saat itu, yaitu openness, GDP per kapita, konsumsi
pemerintah per GDP, dan konsumsi swasta per GDP. Perbedaan antara kondisi
aktual dan ekuilibrium dapat menimbulkan misalignment nilai tukar yang diukur
melalui terjadinya undervalue atau overvalue. Disisi lain, aktivitas dalam
perdagangan internasional dibedakan menjadi dua, yaitu ekspor dan impor.
Tingkat ekspor dan impor yang dilakukan suatu negara serta besaran pada
misalignment nilai tukar akan berpengaruh bagi penentuan kebijakan perdagangan
yang diambil pemerintah. Seiring dengan meningkatnya kesepakatan untuk
mengurangi tarif dalam kerjasama perdagangan regional, maka kebijakan
perdagangan akan difokuskan pada non-tarif. Hasil penelitian ini selanjutnya
menghasilkan implikasi kebijakan yang diharapkan dapat menjadi masukan bagi
pengembangan perdagangan luar negeri.
Perdagangan Internasional
Nilai Tukar
Mata Uang
Long-run
equilibrium
Ekspor
lag
Impor
Aktual
Misalignment
Nilai Tukar
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
openness, GDP per kapita,
konsumsi pemerintah per GDP,
konsumsi swasta per GDP
Kebijakan Perdagangan
Non-tarif
Tarif
Implikasi Kebijakan
Keterangan
: variabel yang dianalisis
Gambar 6. Kerangka Pemikiran
22
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini adalah:
1. Ekspor suatu negara yang semakin meningkat akan berhubungan positif
dengan diberlakukannya kebijakan non-tarif oleh negara mitra dagang.
2. Misalignment nilai tukar riil dimana mata uang mengalami undervalue akan
berhubungan positif dengan dikeluarkannya kebijakan non-tarif oleh negara
mitra dagang.
3. Misalignment nilai tukar riil dimana mata uang mengalami overvalue akan
berhubungan negatif dengan dikeluarkannya kebijakan non-tarif oleh negara
mitra dagang.
3 METODE
Jenis dan Sumber Data dalam Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari berbagai sumber. Data
tersebut merupakan data panel yang berasal dari data tahunan pada periode 1994
hingga 2013 di lima negara anggota ASEAN. Rincian data yang digunakan dapat
dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Jenis dan sumber data yang digunakan
Jenis Data
Real Effective Exchange Rate
Total Value Export
Total Value Import
GDP
GDP per Capita
Government Consumption
Private Consumption
Non Tariff Measures
Sumber
BIS
UN Comtrade
UN Comtrade
WDI
WDI
WDI
WDI
WITS
Satuan
Indeks
US$
US$
US$
US$
US$
US$
-
Metode Analisis
Estimasi Misalignment Nilai Tukar Riil
Penentuan misalignment nilai tukar riil dilakukan melalui tiga tahap.
Pertama, real effective exchange rate (REER) diregresi terhadap faktor-faktor
fundamental ekonominya. Berdasarkan penelitian Candelon et.al (2007), estimasi
persamaan ekuilibrium untuk REER dengan menggunakan metode Panel DOLS
adalah :
dimana,
: log natural real effective exchange rate negara fokus i
pada waktu t;
: log natural keterbukaan negara fokus i pada waktu t;
: log natural GDP per kapita negara fokus i pada waktu t;
: log natural konsumsi pemerintah per GDP negara fokus i
pada waktu t;
: log natural konsumsi swasta per GDP negara fokus i
pada waktu t.
23
Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan jangka panjang antara
variabel dependen dan variabel fundamentalnya, maka sebelum estimasi
dilakukanlah uji akar unit dan uji kointegrasi. Apabila variabel-variabel stationer
pada tingkat yang sama dan terkointegrasi, maka estimasi persamaan REER
ekuilibrium bisa dilakukan.
Kedua, setelah melakukan regresi, maka persamaan dikalkulasi berdasarkan
variabel fundamental dengan koefisien hasil estimasi. Hasil yang didapat nantinya
merupakan REER ekuilibrium (
).
Pada tahap ketiga, misalignment nilai tukar selanjutnya dikalkulasi
menggunakan formula sebagai berikut:
dimana,
: persentase besarnya misalignment nilai tukar yang terjadi pada
negara fokus i di waktu t.
Nilai
yang positif menunjukkan mata uang overvalue, sedangkan
undervalue sebaliknya.
Estimasi Model Pengaruh Misalignment terhadap Non Tariff Measures
Dalam kaitan dengan kebijakan perdagangan, penelitian ini mengikuti
estimasi yang dilakukan Jouanjean et al. (2012) untuk menangkap perubahan
kebijakan perdagangan. Variabel untuk menangkap perubahan kebijakan
perdagangan tersebut difokuskan kepada non tariff measures. Hipotesisnya adalah
bahwa industri domestik akan melobi pemerintah untuk melakukan investigasi
dan menerapkan kebijakan non-tarif, dalam rangka meminimalisir efek mata uang
negara mitra yang mengalami undervalue. Dalam kasus tersebut, dapat pula
diasumsikan bahwa penerapan kebijakan non-tarif akan meningkat ketika
misalignment nilai tukar meningkat.
Hubungan antara misalignment nilai tukar dengan non tariff measures
berupa safeguards, diestimasi menggunakan conditional fixed-effects logistic
regression. Estimasi persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana,
: dummy tindakan safeguards yang dikenakan kepada negara
fokus i pada tahun t, dimana nilai 1=dikenakan safeguards
dan nilai 0=tidak dikenakan safeguards;
: log natural total nilai ekspor negara fokus i pada tahun t.
Dalam persamaan tersebut,
dan
merupakan seperangkat fixed effects yang
mengontrol karakteristik individu dan waktu.
Definisi Operasional
Definisi operasional variabel yang digunakan dalam model penelitian ini
antara lain:
atau real effective exchange rate adalah indeks rata-rata tertimbang nilai
1.
tukar bilateral yang disesuaikan beberapa ukuran harga relatif atau biaya,
sehingga perhitungannya mempertimbangkan perkembangan nilai tukar
nominal dan inflasi di negara mitra dagang.
2.
atau openness adalah tingkat keterbukaan suatu negara dalam
perdagangan internasional yang didapat dari perbandingan jumlah nilai
ekspor dan nilai impor terhadap GDP.
24
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
atau GDP per kapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di
suatu negara yang didapatkan dari hasil pembagian antara pendapatan
nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut.
atau konsumsi pemerintah per GDP adalah perbandingan nilai seluruh
barang dan jasa yang dikonsumsi pemerintah terhadap GDP negara tersebut.
atau konsumsi swasta per GDP adalah perbandingan nilai seluruh
barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga terhadap GDP negara
tersebut.
atau equilibrium real effective exchange rate adalah indeks REER
yang diasumsikan berada saat kondisi ekuilibrium berdasarkan hasil estimasi
faktor-faktor fundamentalnya.
atau misalignment exchange rate adalah persentase perbedaan antara
nilai tukar efektif riil aktual (REER) dengan nilai tukar efektif riil ekuilibrium
(EREER).
atau total nilai ekspor adalah besarnya nilai hasil memperdagangkan
atau menjual barang dari dalam negeri ke luar negeri.
atau dummy tindakan safeguards adalah ada atau tidak ada kebijakan
non-tarif berupa safeguards, yang dikenakan pada negara pengekspor akibat
tingginya impor yang dilakukan negara mitra dagang sehingga berdampak
pada industri domestiknya.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis pengaruh misalignment nilai tukar terhadap kebijakan non-tarif
berupa safeguards di lima negara ASEAN dimulai dengan menentukan tingkat
nilai tukar mata uang pada kondisi ekuilibrium. Hal tersebut dilakukan dengan
menggunakan regresi Panel DOLS terhadap variabel-variabel fundamentalnya.
Selanjutnya dilakukan penentuan besaran misalignment nilai tukar yang terjadi
berdasarkan perbedaan antara nilai tukar tingkat ekuilibrium dari hasil regresi
dengan nilai tukar aktual yang diamati. Terakhir, pengaruh misalignment nilai
tukar dan ekspor dianalisis terhadap variabel dependen berupa dummy ada atau
tidak tindakan safeguard menggunakan model logit.
Estimasi Model Persamaan Nilai Tukar Ekuilibrium
Regresi Panel DOLS dilakukan untuk mengestimasi persamaan nilai tukar
ekuilibrium. Untuk itu dilakukan beberapa langkah seperti uji akar unit dan uji
kointegrasi sebelum mengestimasi persamaan nilai tukar ekuilibrium.
Uji Akar Unit
Uji akar unit dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel
stationer atau tidak. Variabel yang tidak stationer akan menghasilkan estimasi
yang palsu atau regresi lancung, yakni kondisi dimana hasil estimasi menunjukan
koefisien regresi yang signifikan dan nilai koefisien determinasi yang tinggi
namun hubungan antara variabel independen dan variabel dependen tidak saling
berhubungan. Penelitian ini menggunakan Im, Pesaran and Shin (IPS), ADF Fisher Chi-Square, dan PP– Fisher Chi-Square.
25
Tabel 5. Hasil uji akar unit
Variabel
IPS
-0.183
0.124
4.417
-0.749
0.675
LNREER
LNOPEN
LNGDPCAP
LNGOVGDP
LNPRIGDP
Variabel
LNREER
LNOPEN
LNGDPCAP
LNGOVGDP
LNPRIGDP
IPS
-4.281*
-7.523*
-5.239*
-4.487*
-3.939*
Nilai Statistik
Level
ADF-Fisher
8.708
13.064
0.714
15.783
10.289
First Difference
ADF-Fisher
35.947*
63.158*
44.535*
41.763*
33.311*
PP-Fisher
9.791
14.927
0.498
7.056
4.138
PP-Fisher
47.422*
69.040*
75.560*
48.743*
32.962*
Keterangan:
*) signifikan pada taraf α = 1%
Hipotesis nol (H0) dari uji akar unit menyatakan variabel memiliki akar unit
atau tidak stationer. Berdasarkan tabel 5, hasil pengujian menunjukkan bahwa
seluruh variabel tidak stationer pada level seperti yang tercantum pada hasil
pengolahan di Lampiran 1. Selanjutnya, dilakukanlah pengujian akar unit pada
first difference seperti pada Lampiran 2 yang menunjukkan bahwa seluruh
variabel telah stationer atau menolak H0. Hal ini terlihat dari probabilitas masingmasing variabel yang lebih kecil dari taraf nyata satu persen. Setelah terbukti
variabel tidak memiliki akar unit, maka langkah berikutnya adalah melakukan uji
kointegrasi.
Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui apakah akan terjadi
keseimbangan dalam jangka panjang, yakni terdapat kesamaan pergerakan dan
stabilitas hubungan diantara variabel-variabel di dalam penelitian ini atau tidak.
Asumsi yang digunakan yaitu H0 menyatakan tidak ada kointegrasi sedangkan H1
menyatakan ada kointegrasi. Kriteria statistika untuk menolak H0 yakni jika trace
statistic > Critical value atau nilai p-value lebih kecil dari taraf nyata yang
ditetapkan.
Tabel 6. Hasil uji kointegrasi
Pedroni
Kao
Panel v-Statistic
Panel PP-Statistic
Panel ADF-Statistic
Group PP-Statistic
Group ADF-Statistic
ADF
Model 1
1.467***
-5.137*
-3.811*
-4.340*
-4.398*
Model 2
1.926**
-4.716*
-3.683*
-4.475*
-2.434*
-2.746*
Keterangan:
* signifikan pada taraf α = 1% ; ** signifikan pada taraf α = 5% ; dan
*** signifikan pada taraf α = 10%
Model 3
1.476***
-4.081*
-3.329*
-3.950*
-3.338*
26
Penelitian ini menggunakan metode Pedroni dan Kao untuk melihat ada atau
tidaknya kointegrasi antar variabel. Uji kointegrasi dilakukan dengan
memberlakukan tiga asumsi tren yaitu No deterministic trend (Model 1),
Deterministic intercept and trend (Model 2), dan No deterministic intercept or
trend (Model 3). Dari hasil pengolahan pada Lampiran 3, terbukti bahwa seluruh
variabel terkointegrasi atau menolak H0. Hal ini mengindikasikan terdapat
hubungan jangka panjang dan keseimbangan antar variabel ketika terjadi
kointegrasi.
Estimasi Kondisi Ekuilibrium Nilai Tukar Riil
Persamaan nilai tukar riil ekuilibrium diestimasi dengan metode Panel
DOLS menggunakan software EVIEWS 8. Variabel-variabel fundamental yang
digunakan untuk mengestimasi nilai tukar riil ekuilibrium antara lain derajat
keterbukaan suatu negara, pendapatan per kapita, konsumsi pemerintah per GDP,
dan konsumsi swasta per GDP. Derajat keterbukaan suatu negara akan
meningkatkan integrasi internasional sehingga meminimalisir terjadinya hambatan
perdagangan. Pendapatan per kapita merupakan pendekatan yang sering
digunakan untuk melihat produktivitas suatu negara. Sedangkan konsumsi
pemerintah dan konsumsi swasta merupakan variabel yang digunakan untuk
melihat permintaan suatu negara.
Tabel 7. Hasil estimasi nilai tukar riil ekuilibrium
Variabel
LNOPEN
LNGDPCAP
LNGOVGDP
LNPRIGDP
R-squared
Koefisien
t-statistic
0.217**
-0.425**
0.492**
-0.305***
0.964
2.111
-2.040
2.432
-1.720
Keterangan:
** signifikan pada taraf α = 5% ; dan *** signifikan pada taraf α = 10%
Hasil estimasi sesuai dengan Lampiran 4 yang menunjukkan bahwa semua
variabel fundamental memiliki pengaruh atau signifikan terhadap nilai tukar riil
efektif , dimana nilai probabilitas lebih kecil daripada taraf nyata. Derajat
keterbukaan berpengaruh positif terhadap nilai tukar riil efektif. Hal tersebut
mengindikasikan semakin tinggi tingkat integrasi perekonomian maka nilai tukar
riil akan terapresiasi karena meningkatnya penggunaan mata uang domestik untuk
transaksi. Konsumsi pemerintah juga memiliki pengaruh positif terhadap nilai
tukar riil efektif. Kondisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pemerintah lebih
banyak digunakan untuk belanja domestik sehingga nilai tukar riil terapresiasi.
Disisi lain, pendapatan per kapita dan konsumsi swasta berpengaruh negatif
terhadap nilai tukar riil efektif. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan barang
konsumsi ketika masyarakat mengalami peningkatan pendapatan, dimana barang
impor lebih disukai sehingga menurunkan permintaan mata uang domestik yang
menyebabkan nilai tukar terdepresiasi.
27
Model pada persamaan (4.1) memiliki nilai R-squared sebesar 0.964. Hal ini
menunjukkan bahwa model estimasi nilai tukar ekuilibrium dapat dijelaskan oleh
variabel derajat keterbukaan, pendapatan per kapita, konsumsi pemerintah, dan
konsumsi swasta sebesar 96.4 persen. Sedangkan sisanya yakni sebesar 3.6 persen
dijelaskan variabel lain diluar model. Berdasarkan koefisien yang didapat dari
hasil estimasi, maka persamaan (4.1) dikalkulasi kembali dengan variabel-variabel
fundamentalnya untuk mendapatkan nilai tukar riil ekuilibrium.
Kondisi Misalignment Nilai Tukar di Lima Negara ASEAN
Misalignment nilai tukar riil efektif didapat dari persentase perbedaan antara
nilai tukar riil efektif yang diobservasi dengan nilai tukar riil ekuilibrium yang
diestimasi. Tanda negatif dalam perhitungan menunjukkan terjadinya undervalue
dimana nilai tukar riil efektif berada dibawah tingkat ekuilibrium sehingga mata
uang mengalami depresiasi. Sedangkan tanda positif mengindikasikan terjadinya
overvalue yakni kondisi dimana nilai tukar riil efektif berada diatas tingkat
ekuilibrium sehingga mata uang mengalami apresiasi.
INDONESIA
120
100
80
60
40
20
REERit
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
0
EREERit
Sumber: data terolah
Gambar 7. Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Indonesia
Mata uang rupiah mengalami overvalue jauh diatas tingkat ekuilibrium
sebelum tahun 1998 karena rezim yang dianut masih menggunakan fixed
exchange rate. Namun kondisi nilai tukar riil efektif tersebut berubah drastis
menjadi dibawah tingkat ekuilibrium dari tahun 1998 hingga 2002 seperti yang
terlihat dalam Gambar 7. Misalignment nilai tukar riil efektif pada tahun 1998
memiliki besaran -31.05, dimana indeks nilai tukar riil efektif berada pada kisaran
50.99 sedangkan tingkat ekuilibrium berada pada kisaran 73.96. Hal ini
menunjukkan bahwa mata uang rupiah mulai mengalami undervalue saat terjadi
krisis di tahun 1998 akibat adanya ketidakstabilan politik di dalam negeri pada
masa tersebut yang turut mempengaruhi perekonomian. Investasi domestik
28
menjadi tidak menarik sehingga modal mengalir keluar negeri, dan nilai tukar
rupiah mengalami depresiasi. Keadaan ekonomi semakin membaik pada tahun
2002 dimana mata uang rupiah mulai mengalami overvalue namun berfluktuasi
dekat dengan tingkat ekuilibriumnya. Berdasarkan Gambar 7, misalignment nilai
tukar mata uang rupiah mengalami undervalue atau overvalue yang cukup tinggi
ketika terjadi gejolak di dalam negeri.
MALAYSIA
140
120
100
80
60
40
20
REERit
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
0
EREERit
Sumber: data terolah
Gambar 8. Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Malaysia
Pada Gambar 8 terlihat bahwa mata uang ringgit terus mengalami
overvalue sampai dengan pertengahan tahun 1997. Kemudian nilai tukar ringgit
menjadi terdepresiasi saat terjadi krisis keuangan Asia pada Juli 1997.
Misalignment nilai tukar efektif yang terjadi pada tahun 1997 yakni sebesar 32.48.
Namun nilai tukar ringgit saat krisis dinilai masih terlalu tinggi sehingga
pemerintah Malaysia melakukan peralihan kebijakan moneter dari managed
floating regimes menjadi pegged regimes pada pertengahan tahun 1998.
Kebijakan tersebut dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif dari kondisi
ekonomi regional yang menurun. Akibatnya mata uang ringgit mengalami
undervalue pada tahun 1999, dimana misalignment nilai tukar efektif yang terjadi
sebesar -0.46. Dalam hal ini, pemerintah
Malaysia cukup peka
mempertimbangkan mata uang ringgit sebagai salah satu faktor penentu kebijakan
dalam menjaga kestabilan ekonomi. Berdasarkan Gambar 8, nilai tukar ringgit
untuk periode selanjutnya berfluktuasi di sekitar tingkat ekuilibrium dengan
persentase misalignment nilai tukar riil yang kecil.
29
PHILIPPINES
REERit
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
140
120
100
80
60
40
20
0
EREERit
Sumber: data terolah
Gambar 9. Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Philippines
Negara Philippines mengalami nilai tukar yang undervalue dengan
persentase misalignment yang cukup besar hingga tahun 2007, yakni pada kisaran
-25.98 hingga -5.95. Hal ini merupakan dampak diberlakukannya liberalisasi
perdagangan yang dimulai tahun 1981, dan berjalan dalam tiga fase. Kebijakan
tersebut disertai adanya Import Liberalization Program (ILP) yang berusaha
mengeliminasi hambatan impor (Yap 2008). Fase ketiga dimulai pada tahun 1994
dimana tarif dikenakan sebesar 3 persen untuk bahan baku dan peralatan modal
yang tidak tersedia di dalam negeri. Selanjutnya, pemerintah Philippines
berkomitmen untuk menyeragamkan tarif sebesar 0 hingga 5 persen untuk
sebagian besar produk pada tahun 2002. Situasi ini mendorong Philippines untuk
melakukan impor barang modal sehingga mata uang peso mengalami depresiasi.
Pada tahun 2008, nilai tukar peso perlahan terus mengalami overvalue yang
dicerminkan melalui besaran misalignment nilai tukar yang positif yakni 0.50.
Kondisi ini disebabkan terjadinya krisis keuangan global sehingga menurunkan
permintaan mata uang dollar. Selain itu, aliran investasi ke dalam negeri semakin
tinggi yang turut meningkatkan permintaan mata uang peso.
SINGAPORE
REERit
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
120
100
80
60
40
20
0
EREERit
Sumber: data terolah
Gambar 10. Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Singapore
30
Tingkat nilai tukar untuk mata uang dollar Singapore terus bergerak diatas
kondisi ekuilibriumnya hingga tahun 1998. Situasi ini menunjukkan
perekonomian Singapore yang cenderung stabil meskipun terjadi krisis keuangan
di Asia pada tahun 1997. Namun pasca krisis, nilai tukar dollar Singapore
mengalami undervalue sebagai dampak terjadinya penurunan ekonomi regional.
Hal ini terlihat dari besaran misalignment nilai tukar riil efektif yang terus
menurun yakni dari 2.38 pada tahun 1998 menjadi -1.85 pada tahun 1999.
Depresiasi mata uang dollar Singapore terus berlanjut hingga terjadi krisis global
di tahun 2008. Berdasarkan Gambar 10, persentase misalignment nilai tukar riil di
Singapore relatif kecil hingga tahun 2010. Hal tersebut dipengaruhi kebijakan
moneter yang diambil pemerintah Singapore, dimana penetapan nilai tukar
didasarkan pada mata uang negara mitra dagang utama. Disisi lain, nilai tukar
dollar Singapore terus mengalami overvalue sejak tahun 2010. Kondisi ini
dikarenakan meningkatnya aliran modal ke dalam negeri akibat adanya prospek
positif di kawasan Asia, serta melemahnya nilai tukar dollar US.
THAILAND
120
100
80
60
40
20
REERit
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
0
EREERit
Sumber: data terolah
Gambar 11. Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Thailand
Nilai tukar baht terus mengalami overvalue dengan persentase misalignment
yang cukup besar hingga tahun 1996. Kondisi ini dikarenakan mata uang baht
dipatok terhadap dollar US, sehingga ketika nilai tukar dollar US terapresiasi
maka nilai tukar baht juga mengalami apresiasi, begitu pula sebaliknya. Hal
tersebut menarik banyak investor asing untuk menanamkan modalnya di Thailand.
Mata uang baht yang terapresiasi menjadikan Thailand kurang kompetitif dalam
melakukan ekspor. Selain itu, tingkat nilai tukar baht juga dirasa terlalu tinggi.
Akibatnya investor mulai menjual mata uang baht pada tahun 1997 sehingga nilai
tukar mengalami undervalue. Hal ini terlihat dari besaran misalignment nilai tukar
riil efektif yang negatif sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2005, dengan
kisaran antara -7.99 hingga -4.31. Keadaan perekonomian Thailand kembali stabil
sejak tahun 2006, dimana nilai tukar baht berfluktuasi di sekitar kondisi
ekuilibriumnya dengan persentase misalignment yang rendah.
31
Analisis Model Pengenaan Tindakan Safeguards
Semakin terintegrasinya pasar ASEAN meminimalisir pengenaan hambatan
tarif akibat adanya kesepakatan kerjasama antar negara. Disisi lain, mata uang
negara-negara di ASEAN belum terintegrasi sehingga tingkat nilai tukar mata
uang ditentukan pula dengan kondisi perekonomian dalam negeri. Oleh karena itu,
untuk mendorong perekonomian domestik dengan semakin terintegrasinya pasar,
maka diterapkan hambatan non-tarif. Terkait hal ini, penelitian hanya
menyertakan tindakan safeguards sebagai variabel dependen yang mencerminkan
hambatan non-tarif. Variabel dependen tersebut merupakan dummy berupa
pengenaan tindakan safeguards kepada negara i. Apabila negara i mendapat
pengenaan safeguards dari negara-negara mitra, maka variabel dummy bernilai 1.
Namun jika negara i tidak mendapat pengenaan safeguards dari negara-negara
mitra, maka variabel dummy bernilai 0. Secara teori, suatu negara mendapat
pengenaan safeguards dari negara-negara mitra apabila terdapat lonjakan impor
barang dari negara tersebut ke negara-negara mitra, yang selanjutnya dapat
berdampak buruk terhadap kelangsungan industri domestik di negara-negara
mitra.
Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah besaran
misalignment nilai tukar riil efektif yang terjadi pada mata uang negara i, dan total
nilai ekspor negara i. Metode yang digunakan untuk menganalisis pengaruh
misalignment nilai tukar terhadap safeguards adalah Conditional Fixed-Effects
Logistic Regression dengan menggunakan software STATA 11. Besaran
misalignment nilai tukar riil efektif mempengaruhi tingkat mata uang negara i
yang turut mempengaruhi tingkat harga barang yang diproduksi negara i. Hal ini
selanjutnya turut mempengaruhi permintaan barang dari negara i ke negara-negara
mitra. Pemerintah di negara-negara mitra tentunya akan mengatur impor barang
dari negara i supaya tetap dapat melindungi industri domestik di masing-masing
negara mitra. Bentuk perlindungan pemerintah di negara-negara mitra tersebut
agar tidak terjadi lonjakan impor dari negara i yakni dengan memberlakukan
tindakan safeguards terhadap negara i.
Ekspor yang dilakukan negara i ke negara-negara mitra dapat dikondisikan
menjadi impor yang dilakukan negara-negara mitra dari negara i. Apabila terjadi
peningkatan total nilai ekspor yang dilakukan negara i, maka hal ini
mengindikasikan adanya lonjakan impor yang terjadi di negara-negara mitra
akibat adanya peningkatan barang masuk yang berasal dari negara i. Pemerintah
di negara-negara mitra melihat kondisi tersebut sebagai signal untuk bersiap
melakukan kebijakan sebagai upaya perlindungan industri domestiknya. Bentuk
kebijakan yang akan dilakukan pemerintah di negara-negara mitra tersebut yakni
dengan memberlakukan tindakan safeguards terhadap negara i.
Tabel 8. Hasil regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pengenaan safeguards
Variabel
Koefisien
Standar Eror
Probabilitas
Odds Ratio
(95% CI)
-0.018
0. 011
0.091
0.981
(0.96 , 1.00)
0.114
0. 022
0.000
1.120
(1.07 , 1.17)
32
Tabel 8 merupakan hasil estimasi model logit dengan dummy safeguards
sebagai variabel dependennya yang sesuai dengan hasil pengolahan pada
Lampiran 5. Variabel – variabel independen memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap variabel dependen. Nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata satu
persen untuk variabel total nilai ekspor. Sedangkan untuk variabel misalignment
nilai tukar, nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata sepuluh persen.
Estimasi koefisien yang negatif menunjukkan bahwa misalignment nilai
tukar positif pada negara fokus i akan menurunkan peluang mitra dagang
mengenakan tindakan safeguards terhadap negara tersebut. Misalignment nilai
tukar yang positif tersebut mengindikasikan bahwa mata uang negara fokus i
dinilai terlalu kuat sehingga mengalami overvalue atau kondisi nilai tukar riil
aktual berada diatas tingkat ekuilibriumnya. Hal ini menyebabkan harga domestik
lebih mahal sehingga mendorong negara fokus i untuk melakukan impor. Oleh
karena itu, peluang negara fokus i dikenakan tindakan safeguards oleh mitra
dagangnya menjadi berkurang.
Nilai OR atau odds ratio menunjukkan peluang yang mungkin terjadi
dimana penghitungannya berasal dari koefisien yang dieksponensialkan.
Berdasarkan hal tersebut, terjadinya misalignment nilai tukar yang overvalue
sebesar satu persen akan meningkatkan peluang dikenakan safeguards sebesar
0.98 kali lipat dari kondisi awal. Sedangkan bila misalignment nilai tukar
mengalami undervalue dengan besaran yang sama yakni satu persen, maka
peluang dikenakannya safeguards =
=
atau meningkat sebesar
1.02 kali dari kondisi sebelumnya. Dengan demikian, peluang pengenaan tindakan
safeguards terhadap negara fokus i lebih tinggi terjadi saat mata uang negara
tersebut mengalami misalignment nilai tukar yang undervalue.
Misalignment nilai tukar yang undervalue ditunjukkan dengan besaran
misalignment nilai tukar yang negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa mata uang
negara fokus i dinilai terlalu lemah sehingga mengalami undervalue atau kondisi
nilai tukar riil aktual berada dibawah tingkat ekuilibriumnya. Kondisi tersebut
menyebabkan harga domestik lebih murah sehingga mendorong negara fokus i
untuk melakukan ekspor. Akibat dari meningkatnya ekspor yang dilakukan, akan
mendorong peluang mitra dagang untuk memberlakukan tindakan safeguards
terhadap negara fokus i. Oleh karena itu, resiko pengenaan tindakan safeguards
terhadap suatu negara lebih rentan terjadi saat mata uang negara tersebut
melemah.
Total nilai ekspor memiliki estimasi koefisien yang positif mengindikasikan
bahwa peningkatan ekspor yang dilakukan negara fokus i akan meningkatkan
peluang dikenakannya tindakan safeguards ke negara tersebut. Berdasarkan nilai
OR, peningkatan total nilai ekspor sebesar satu persen yang dilakukan negara
fokus i akan meningkatkan peluang dikenakannya tindakan safeguards oleh mitra
dagang sebesar 1.12 persen.
5
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Persentase misalignment nilai tukar yang terjadi di 5 negara ASEAN, baik saat
mata uang overvalue maupun undervalue, umumnya cukup besar ketika
33
disebabkan oleh gejolak perekonomian di dalam negeri. Situasi seperti krisis
global di tahun 2008 tidak berpengaruh besar terhadap fluktuasi nilai tukar riil
efektif di sekitar tingkat ekuilibriumnya.
2. Peluang negara pengekspor mendapat tindakan safeguards dari negara mitra,
akan lebih besar ketika tingkat nilai tukar riil negara pengekspor mengalami
undervalue dimana hal tersebut menyebabkan harga barang negara pengekspor
lebih murah dibandingkan harga barang luar negeri.
Saran
1.
2.
3.
4.
Saran yang dapat disampaikan melalui penelitian ini adalah:
Misalignment nilai tukar yang terjadi di ASEAN umumnya telah diminimalisir
oleh pemerintah di masing-masing negara melalui penyesuaian arah kebijakan
moneter dengan kondisi terkini. Untuk lebih mempercepat dampak negatif
yang mungkin dirasakan, maka sebaiknya negara-negara ASEAN melakukan
kerjasama dalam penerapan kebijakan moneter.
Tindakan safeguards yang diberlakukan negara-negara ASEAN diharapkan
dapat diminimalisir apabila terdapat kestabilan nilai tukar. Hal ini mungkin
dapat dicontoh dari Singapore yang melakukan pembobotan nilai tukar dengan
beberapa negara mitra dagangnya sehingga mata uang bergerak disekitar
ekuilibrium. Dengan demikian, integrasi ekonomi terutama ASEAN Economic
Community (AEC) diharapkan dapat berjalan baik.
Penerapan kebijakan non-tarif untuk melindungi perekonomian domestik,
diprediksi akan semakin meningkat seiring meningkatnya kerjasama
perdagangan internasional. Dalam penelitian ini, kebijakan non-tarif yang
dibahas hanya tindakan safeguards karena adanya keterbatasan data. Oleh
karena itu, diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai berbagai
kebijakan non-tarif lain seperti subsidi, SPS, dan TBT.
Penelitian lanjutan mengenai pengaruh misalignment nilai tukar masih perlu
dilakukan, terutama untuk melihat keterkaitannya dengan sektor riil.
DAFTAR PUSTAKA
Alvaro A, Cesar C. 2005. Real exchange rate misalignments and economic
performance. Central Bank of Chile Working Papers. No. 315.
Auboin M, Ruta M. 2011. The relationship between exchange rates and
international trade: a literature review.WTO Working Paper.ERSD-2011-17.
[BIS] Bank for International Settlements. 2014. Real Effective Exchange Rates
Data. http://www.bis.org/statistics/eer/. [terhubung berkala].
Candelon B, Kool C, Raabe K, Veen TV. 2007. Long-run exchange rate
determinants: evidence from eight new EU member states, 1993-2003.
Elsevier Journal of Comparative Economics. 35(1): 87-107.
Chen B, McCoskey SK, Kao C. 1999. Estimation and inference of a cointegrated
regression in panel data: a Monte Carlo study. American Journal of
Mathematical and Management Sciences. 19(1-2): 75–114.
Clark PB, MacDonald R. 1998. Exchange rates and economic fundamentals: a
methodological comparison of BEERs and FEERs. IMF Working Paper.
WP/98/67.
34
Cline WR, Williamson J. 2011. Estimates of fundamental equilibrium exchange
rates. Peterson Institute for International Economics. Number PB11-5.
Coudert V, Couharde C. 2008. Currency misalignments and exchange rate
regimes in emerging and developing countries. The Centre d'Etudes
Prospectives et d'Informations Internationales (CEPII) Working Paper.
No. 2008-07, April.
Diallo IA. 2011. The effects of real exchange rate misalignment and real exchange
volatility on exports. MPRA Paper. No. 32387.
Driver RL, Westaway PF. 2003. Concepts of equilibrium exchange rates. Bank of
England. Working Paper No.248.
Gourdon J, Nicita A. 2012. NTMs: interpreting the new data. Non-tariff
Measures: a Fresh Look at Trade Policy’s New Frontier. Washington DC
(US): Center for Economic Policy Research and World Bank.
Gylanik M. 2012. Equilibrium real effective exchange rate estimation for the
Slovak economy. Journal of Central Banking Theory and Practice.
1(2): 97-132.
Hausman J, Hall BH and Griliches Z. 1984. Econometric models for count data
with an application to the patents-R&D relationship. Econometrica.
52(4): 909-938.
Hinkle LE, Montiel PJ. 1999. Exchange rate misalignment: concepts and
measurement for developing countries. New York (US): Oxford Univ Pr.
Holtemoller O, Mallick S. 2009. Does the choice of a currency regime explain
real exchange rate misalignment?. The AIEFS session at ASSA Annual
meeting 3-5 January, 2009.
Hyder Z, Mahboob A. 2005. Equilibrium Real Effective Exchange Rate and
Exchange Rate Misalignment in Pakistan. Paper for SBP conference 2005,
State Bank of Pakistan.
[IMF] International Monetary Fund. October 2013. Annual Report on Exchange
Arrangements and Exchange Restrictions 2013.
Irwin D. 2011. Trade policy and exchange rates. IMF/World Bank/WTO
Workshop on International Trade. The World Bank, 2 December 2011.
Jouanjean MA, Maur JC, Shepherd B. 2012. Reputation matters: spillover effects
in the enforcement of US SPS measures. The World Bank: Policy Research
Working Paper Series. WPS5935.
Kao C, Chiang MH. 2000. „On the estimation and inference of a cointegrated
regression in panel data‟, in Baltagi B. H. (ed.). Advances in Econometrics:
Nonstationary Panels, Panel Cointegration and Dynamic Panels.
15: 179–222.
Klein MW, Shambaugh JC. 2008. The dynamics of exchange rate regimes: fixes,
floats, and flips. Elsevier Journal of International Economics. 75(1): 70–92.
Kruger P, Denner W, Cronje JB. 2009. Comparing Safeguard Measures in
Regional and Bilateral Agreements. International Centre for Trade and
Sustainable Development (ICTSD). Issue Paper No. 22.
Krugman PR, Obstfeld M, Melitz MJ. 2012. International Economics : Theory &
Policy. Boston (US): Pearson.
Liang H. 1998. Real exchange rate volatility: does the nominal exchange rate
regime matter?. IMF Working Paper. WP/98/147.
35
MacDonald R. 2007. Exchange Rate Economics: Theories and Evidence. New
York (US): Routledge.
Mattoo A, Subramanian A. 2008. Currency undervaluation and sovereign wealth
funds: a new role for the world trade organization. The World Bank Policy
Research Working Paper. WP4668.
Montiel PJ. 2002. The long-run equilibrium real exchange rate: theory and
measurement. Macroeconomic Management: Programs and Policies.
Washington DC (US): IMF.
Nicita A. 2013. Exchange rates, international trade and trade policies. UNCTAD.
Study series no. 56.
Park HM. 2005. Regression models for event count data using SAS, STATA, and
LIMDEP. Indiana: The Trustees of Indiana University.
Pasadilla GO. 2013. Addressing non-tariff measures in ASEAN. Asia-Pacific
Research and Training Network on Trade. No. 130.
Pedroni P. 1997. Fully modified OLS for heterogeneous cointegrated panels and
the case of purchasing power parity. Department of Economics, Indiana
University.
Phillips PCB, Moon HR. 1999. Linear regression limit theory for nonstationary
panel data. Econometrica. 67(5): 1057–1111.
Phillips PCB, Moon HR. 2000. Nonstationary panel data analysis: an overview of
some recent developments. Econometric Reviews. 19(3): 263–286.
Raji RO. 2013. Impact of Misaligned Real Exchange Rate on Economic
Performance: A case study of West African Monetary Zone. IOSR Journal
of Economic and Finance. 1(6):56-67.
Rochester L. 2013. Estimating Jamaica‟s fundamental equilibrium exchange rate.
Bank of Jamaica Working Paper. September 2013.
Roudet S, Saxegaard M, Tsangarides CG. 2007. Estimation of equilibrium
exchange rates in the Waemu: a robustness approach. IMF Working Paper.
WP/07/194.
Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga.
Shatz HJ, Tarr DG. 2000. Exchange rate overvaluation and trade protection:
lessons from experience. The World Bank Policy Research Working Papers.
http://dx.doi.org/10.1596/1813-9450-2289
Thorstensen V, Marcal E, Ferraz L. 2011. Exchange rate misalignments and
international trade policy: impacts on tariffs. Policy Dialogue: Redefining
the Role of the Government in Tomorrow’s International Trade at UNCTAD
XIII Pre-Conference Event 26 – 27 March 2012.
[UN COMTRADE] United Nations Comtrade. 2014. http://comtrade.un.org/data/.
[terhubung berkala].
Yap JT. 2008. Policy Coherence Initiative on Growth, Investment and
Employment: The Case of the Philippines (Policy Coherence and Critical
Development Constraints in the Philippines). Paper prepared for the
International Labour Organization (ILO).
[WB] World Bank. 2014. Official Exchange Rate (LCU per US$, period
average)
Data.
http://data.worldbank.org/indicator/PA.NUS.FCRF.
[terhubung berkala].
[WDI] World Development Indicators. 2014. http://data.worldbank.org/indicator.
[terhubung berkala].
36
[WITS] World Integrated Trade Solution. 2014. Non-tariff Measures Data.
http://wits.worldbank.org/. [terhubung berkala].
[WTO] World Trade Report. 2012. An Inventory of Non-Tariff Measures and
Services Measures.
[WTO] World Trade Organization. 2014. Total Merchandise Trade Data.
http://stat.wto.org/StatisticalProgram/WSDBViewData.aspx?Language=E.
[terhubung berkala].
[WTO] World Trade Organization. 2014. Non-Tariff Measures Data. http://itip.wto.org/goods/Forms/TableView.aspx. [terhubung berkala].
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1 Hasil Uji Akar Unit pada Level dengan EVIEWS 8
Panel unit root test: Summary
Series: LNREERIT
Date: 12/19/14 Time: 20:21
Sample: 1994 2013
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 1
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-0.45464
0.3247
Crosssections
Obs
5
93
5
5
5
93
93
95
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-0.18339
0.4272
ADF - Fisher Chi-square
8.70886
0.5599
PP - Fisher Chi-square
9.79167
0.4590
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary
Series: LNOPENIT
Date: 12/19/14 Time: 20:21
Sample: 1994 2013
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic lag length selection based on SIC: 0
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Balanced observations for each test
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-0.95215
0.1705
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
0.12439
0.5495
ADF - Fisher Chi-square
13.0648
0.2201
PP - Fisher Chi-square
14.9271
0.1347
Crosssections
Obs
5
95
5
5
5
95
95
95
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
39
Panel unit root test: Summary
Series: LNGDPCAPIT
Date: 12/19/14 Time: 20:22
Sample: 1994 2013
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 3
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
2.22312
0.9869
Crosssections
Obs
5
92
5
5
5
92
92
95
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
4.41792
1.0000
ADF - Fisher Chi-square
0.71425
1.0000
PP - Fisher Chi-square
0.49889
1.0000
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary
Series: LNGOVGDPIT
Date: 12/19/14 Time: 20:23
Sample: 1994 2013
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 4
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-2.30740
0.0105
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-0.74990
0.2267
ADF - Fisher Chi-square
15.7832
0.1060
PP - Fisher Chi-square
7.05644
0.7201
Crosssections
Obs
5
89
5
5
5
89
89
95
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
40
Panel unit root test: Summary
Series: LNPRIGDPIT
Date: 12/19/14 Time: 20:24
Sample: 1994 2013
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 3
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
0.61713
0.7314
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
0.67535
0.7503
ADF - Fisher Chi-square
10.2894
0.4155
PP - Fisher Chi-square
4.13860
0.9409
Crosssections
Obs
5
90
5
5
5
90
90
95
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
41
Lampiran 2 Hasil Uji Akar Unit pada First Difference dengan EVIEWS 8
Panel unit root test: Summary
Series: D(LNREERIT)
Date: 12/19/14 Time: 19:43
Sample: 1994 2013
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 2
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-5.33110
0.0000
Crosssections
Obs
5
87
5
5
5
87
87
90
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-4.28193
0.0000
ADF - Fisher Chi-square
35.9471
0.0001
PP - Fisher Chi-square
47.4222
0.0000
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary
Series: D(LNOPENIT)
Date: 12/19/14 Time: 19:44
Sample: 1994 2013
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 1
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-9.62909
0.0000
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-7.52378
0.0000
ADF - Fisher Chi-square
63.1585
0.0000
PP - Fisher Chi-square
69.0400
0.0000
Crosssections
Obs
5
89
5
5
5
89
89
90
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
42
Panel unit root test: Summary
Series: D(LNGDPCAPIT)
Date: 12/19/14 Time: 19:45
Sample: 1994 2013
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 2
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-6.21427
0.0000
Crosssections
Obs
5
86
5
5
5
86
86
90
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-5.23940
0.0000
ADF - Fisher Chi-square
44.5358
0.0000
PP - Fisher Chi-square
75.5602
0.0000
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary
Series: D(LNGOVGDPIT)
Date: 12/19/14 Time: 19:45
Sample: 1994 2013
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 2
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-4.19892
0.0000
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-4.48752
0.0000
ADF - Fisher Chi-square
41.7639
0.0000
PP - Fisher Chi-square
48.7438
0.0000
Crosssections
Obs
5
88
5
5
5
88
88
90
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
43
Panel unit root test: Summary
Series: D(LNPRIGDPIT)
Date: 12/19/14 Time: 19:46
Sample: 1994 2013
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic lag length selection based on SIC: 0
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Balanced observations for each test
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-5.42397
0.0000
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-3.93902
0.0000
ADF - Fisher Chi-square
33.3112
0.0002
PP - Fisher Chi-square
32.9623
0.0003
Crosssections
Obs
5
90
5
5
5
90
90
90
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
44
Lampiran 3 Hasil Uji Kointegrasi dengan EVIEWS 8
a. Pedroni (No Deterministic Trend)
Pedroni Residual Cointegration Test
Series: LNREERIT LNOPENIT LNGDPCAPIT LNGOVGDPIT
LNPRIGDPIT
Date: 01/25/15 Time: 17:40
Sample: 1994 2013
Included observations: 100
Cross-sections included: 5
Null Hypothesis: No cointegration
Trend assumption: No deterministic trend
Automatic lag length selection based on SIC with a max lag of 3
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Alternative hypothesis: common AR coefs. (within-dimension)
Weighted
Statistic
Prob.
Statistic
Panel v-Statistic
1.467264
0.0712
-1.206537
Panel rho-Statistic
0.438460
0.6695
1.197007
Panel PP-Statistic
-5.137962
0.0000
-2.049108
Panel ADF-Statistic
-3.811624
0.0001
-2.508767
Prob.
0.8862
0.8843
0.0202
0.0061
Alternative hypothesis: individual AR coefs. (between-dimension)
Statistic
1.919423
-4.340659
-4.398410
Group rho-Statistic
Group PP-Statistic
Group ADF-Statistic
Prob.
0.9725
0.0000
0.0000
Cross section specific results
Phillips-Peron results (non-parametric)
Cross ID
1
2
3
4
5
AR(1)
-0.295
0.145
0.049
0.590
0.343
Variance
0.010006
0.002990
0.001316
0.001462
0.002776
HAC
0.002105
0.002014
0.000271
0.001804
0.002653
Bandwidth
18.00
3.00
7.00
1.00
1.00
Obs
19
19
19
19
19
Max lag
3
3
3
3
3
Obs
18
16
16
18
19
Augmented Dickey-Fuller results (parametric)
Cross ID
1
2
3
4
5
AR(1)
-0.969
-1.200
-1.133
0.312
0.343
Variance
0.008035
0.001375
0.000643
0.001236
0.002776
Lag
1
3
3
1
0
45
b. Pedroni (Deterministic Intercept and Trend)
Pedroni Residual Cointegration Test
Series: LNREERIT LNOPENIT LNGDPCAPIT LNGOVGDPIT
LNPRIGDPIT
Date: 01/25/15 Time: 17:41
Sample: 1994 2013
Included observations: 100
Cross-sections included: 5
Null Hypothesis: No cointegration
Trend assumption: Deterministic intercept and trend
Automatic lag length selection based on SIC with a max lag of 2
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Alternative hypothesis: common AR coefs. (within-dimension)
Weighted
Statistic
Prob.
Statistic
Panel v-Statistic
1.926316
0.0270
-1.652080
Panel rho-Statistic
1.307592
0.9045
1.976976
Panel PP-Statistic
-4.716388
0.0000
-3.451688
Panel ADF-Statistic
-3.683514
0.0001
-2.532256
Prob.
0.9507
0.9760
0.0003
0.0057
Alternative hypothesis: individual AR coefs. (between-dimension)
Statistic
2.155144
-4.475516
-2.434466
Group rho-Statistic
Group PP-Statistic
Group ADF-Statistic
Prob.
0.9844
0.0000
0.0075
Cross section specific results
Phillips-Peron results (non-parametric)
Cross ID
1
2
3
4
5
AR(1)
-0.156
0.389
0.006
0.461
-0.275
Variance
0.009318
0.000932
0.001272
0.001327
0.000468
HAC
0.003020
0.000952
0.000156
0.001543
0.000471
Bandwidth
9.00
2.00
12.00
1.00
1.00
Obs
19
19
19
19
19
Max lag
2
2
2
2
2
Obs
19
19
18
19
19
Augmented Dickey-Fuller results (parametric)
Cross ID
1
2
3
4
5
AR(1)
-0.156
0.389
-0.385
0.461
-0.275
Variance
0.009318
0.000932
0.001115
0.001327
0.000468
Lag
0
0
1
0
0
46
c. Pedroni (No Deterministic Intercept or Trend)
Pedroni Residual Cointegration Test
Series: LNREERIT LNOPENIT LNGDPCAPIT LNGOVGDPIT
LNPRIGDPIT
Date: 01/25/15 Time: 17:42
Sample: 1994 2013
Included observations: 100
Cross-sections included: 5
Null Hypothesis: No cointegration
Trend assumption: No deterministic intercept or trend
Automatic lag length selection based on SIC with a max lag of 3
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
Alternative hypothesis: common AR coefs. (within-dimension)
Weighted
Statistic
Prob.
Statistic
Panel v-Statistic
1.476314
0.0699
-1.007450
Panel rho-Statistic
-0.118868
0.4527
0.499545
Panel PP-Statistic
-4.081367
0.0000
-0.404202
Panel ADF-Statistic
-3.329542
0.0004
-0.514348
Prob.
0.8431
0.6913
0.3430
0.3035
Alternative hypothesis: individual AR coefs. (between-dimension)
Statistic
1.129196
-3.950028
-3.338441
Group rho-Statistic
Group PP-Statistic
Group ADF-Statistic
Prob.
0.8706
0.0000
0.0004
Cross section specific results
Phillips-Peron results (non-parametric)
Cross ID
1
2
3
4
5
AR(1)
-0.292
0.399
0.417
0.268
0.343
Variance
0.010064
0.003762
0.002403
0.002203
0.002777
HAC
0.002132
0.003762
0.002168
0.002203
0.002654
Bandwidth
18.00
0.00
2.00
0.00
1.00
Obs
19
19
19
19
19
Max lag
3
3
3
3
3
Obs
18
16
19
19
19
Augmented Dickey-Fuller results (parametric)
Cross ID
1
2
3
4
5
AR(1)
-0.966
-0.637
0.417
0.268
0.343
Variance
0.008099
0.002279
0.002403
0.002203
0.002777
Lag
1
3
0
0
0
47
d. Kao (No Deterministic Trend)
Kao Residual Cointegration Test
Series: LNREERIT LNOPENIT LNGDPCAPIT LNGOVGDPIT LNPRIGDPIT
Date: 01/25/15 Time: 17:43
Sample: 1994 2013
Included observations: 100
Null Hypothesis: No cointegration
Trend assumption: No deterministic trend
Automatic lag length selection based on SIC with a max lag of 4
Newey-West automatic bandwidth selection and Bartlett kernel
t-Statistic
-2.746367
ADF
Residual variance
HAC variance
Prob.
0.0030
0.007842
0.006102
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(RESID)
Method: Least Squares
Date: 01/25/15 Time: 17:43
Sample (adjusted): 1996 2013
Included observations: 90 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
RESID(-1)
D(RESID(-1))
-0.526962
-0.012225
0.102889
0.102490
-5.121659
-0.119281
0.0000
0.9053
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.280557
0.272382
0.084950
0.635052
95.21918
2.089463
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
-0.003327
0.099589
-2.071537
-2.015986
-2.049136
48
Lampiran 4 Hasil Estimasi Nilai Tukar Ekuilibrium menggunakan model
Panel DOLS dengan EVIEWS 8
Dependent Variable: LNREERIT
Method: Panel Dynamic Least Squares (DOLS)
Date: 01/22/15 Time: 08:27
Sample (adjusted): 1996 2012
Periods included: 17
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 85
Panel method: Pooled estimation
Cointegrating equation deterministics: C
Fixed leads and lags specification (lead=1, lag=1)
Coefficient covariance computed using default method
Long-run variance (Bartlett kernel, Newey-West fixed bandwidth) used for
coefficient covariances
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNOPENIT
LNGDPCAPIT
LNGOVGDPIT
LNPRIGDPIT
0.217278
-0.425114
0.492626
-0.305341
0.102878
0.208343
0.202535
0.177493
2.111993
-2.040452
2.432294
-1.720296
0.0410
0.0479
0.0196
0.0931
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Long-run variance
0.964521
0.912190
0.036957
0.000660
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
4.557401
0.124716
0.054632
Estimation Command:
=========================
COINTREG(METHOD=DOLS,LAG=1,LEAD=1) LNREERIT LNOPENIT LNGDPCAPIT
LNGOVGDPIT LNPRIGDPIT
Estimation Equation:
=========================
LNREERIT = C(1)*LNOPENIT + C(2)*LNGDPCAPIT + C(3)*LNGOVGDPIT + C(4)*LNPRIGDPIT +
[CX=INDIVID]
Substituted Coefficients:
=========================
LNREERIT = 0.217277749338*LNOPENIT - 0.425114465858*LNGDPCAPIT +
0.492625649735*LNGOVGDPIT - 0.305340652319*LNPRIGDPIT + [CX=INDIVID]
49
Lampiran 5 Hasil Estimasi Pengaruh Misalignment Nilai Tukar dan Total
Ekspor terhadap Kebijakan Safeguard menggunakan model Conditional
Fixed-Effects Logistic Regression dengan STATA 11
. . xtlogit dum_sgit MISER_it LNTOTXit, fe
note: multiple positive outcomes within groups encountered.
Iteration
Iteration
Iteration
Iteration
Iteration
0:
1:
2:
3:
4:
log
log
log
log
log
likelihood
likelihood
likelihood
likelihood
likelihood
=
=
=
=
=
-37.581319
-31.601318
-31.518816
-31.518691
-31.518691
Conditional fixed-effects logistic regression
Group variable: NEGARAi
Log likelihood
Coef.
MISER_it
LNTOTXit
-.0189411
.11406
=
=
100
5
Obs per group: min =
avg =
max =
20
20.0
20
LR chi2(2)
Prob > chi2
= -31.518691
dum_sgit
Number of obs
Number of groups
Std. Err.
.0112149
.0222261
z
-1.69
5.13
P>|z|
0.091
0.000
=
=
55.73
0.0000
[95% Conf. Interval]
-.0409219
.0704978
.0030396
.1576223
. xtlogit, or
Conditional fixed-effects logistic regression
Group variable: NEGARAi
Log likelihood
OR
MISER_it
LNTOTXit
.9812371
1.120819
=
=
100
5
Obs per group: min =
avg =
max =
20
20.0
20
LR chi2(2)
Prob > chi2
= -31.518691
dum_sgit
Number of obs
Number of groups
Std. Err.
.0110044
.0249114
z
-1.69
5.13
=
=
55.73
0.0000
P>|z|
[95% Conf. Interval]
0.091
0.000
.9599041
1.073042
1.003044
1.170724
50
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Dila Vindayani lahir pada tanggal 5 Januari 1987 di
Jakarta. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan
Yustianto Anwar dan Sri Teguh Handayani. Penulis menamatkan sekolah dasar
pada SDI PB Sudirman Jakarta, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 20
Jakarta dan lulus tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU
Negeri 62 Jakarta dan lulus pada tahun 2004.
Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi
di Institut Pertanian Bogor jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan dan lulus
pada tahun 2008. Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai CPNS di Kementerian
Perdagangan RI dan resmi menjadi PNS pada tahun 2010. Tahun 2012, penulis
memperoleh beasiswa S2 kerjasama antara Kementerian Perdagangan RI dan IPB
pada program Pascasarjana Ilmu Ekonomi FEM IPB.
Download