1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia internasional menghadapi masalah baru, semakin banyak anak-anak
dan remaja yang kelebihan berat badan. Berdasarkan data dari National Health
and Nutrition Examination Survey tahun 2009-2010 lebih dari 78 juta orang
dewasa dan 12.5 juta anak-anak dan remaja di U.S. mengalami obesitas (Ogden,
et.al., 2012). Menurut laporan International Obesity Task Force tahun 2005,
diperkirakan satu dari lima anak di Eropa kelebihan berat badan, dengan
peningkatan prevalensi secara pesat sebesar 2% per tahun (Lobstein, et.al., 2005).
Di Indonesia kelebihan berat badan sudah menjadi masalah. Riskesdas
tahun 2010 melaporkan bahwa pada kelompok dewasa di atas 18 tahun, kelebihan
berat badan telah menjadi masalah kesehatan nasional yang serius dengan
prevalensi sebesar 21,7% (kegemukan 10% dan obesitas 11,7%). Pada tahun 2010
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menempati urutan teratas pada prevalensi
remaja gemuk, melebihi prevalensi data nasional yaitu sebesar 4,1%, sedangkan
rata-rata nasional hanya sebesar 1,4%. Menurut Riskesdas tahun 2013, prevalensi
kegemukan nasional pada remaja meningkat menjadi 7,3% dan DIY masih
menjadi 15 besar Propinsi yang prevalensinya di atas rata-rata nasional yaitu
sebesar 8,6%. Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi kegemukan pada usia 16-18
tahun di perkotaan lebih tinggi dari pada di perdesaan (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2010; 2013).
Obesitas pada masa anak-anak dan remaja perlu diwaspadai karena kondisi
ini meningkatkan resiko penyakit degeneratif pada usia dewasa. Kelebihan berat
badan pada masa anak-anak dapat meningkatkan angka kematian dari yang
disebabkan oleh penyakit jantung koroner, stroke dan kanker cororectal (kolon),
serta meningkatkan morbiditas dari penyakit-penyakit tersebut termasuk juga gout
dan arthritis (Must et al., 1992). Anak dengan status gizi obesitas akan
mempunyai potensi hidup lebih pendek dari orang tua mereka jika diperhitungkan
berdasarkan IMT, ras, jenis kelamin pada kejadian kematian pada usia 20-85
1
2
tahun (Olshansky et. al, 2005). Selain itu, beberapa studi melaporkan bahwa
remaja dengan status gizi obesitas 80% akan tetap obese pada usia 25 tahun
(Whitlock et al., 2005; Whitaker et. al, 1997).
Salah satu faktor resiko terjadinya obesitas pada remaja Kota Yogyakarta
adalah pola konsumsi yang mengarah pada tingginya konsumsi fast food dengan
densitas tinggi. Makanan ini umumnya mengandung lemak dan gula yang tinggi
(Mahdiah et al., 2004). Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa
adanya perubahan emosi berdampak pada perubahan pola makan yang mengarah
pada kejadian obesitas. Sebagai contoh peningkatan konsumsi lemak dan gula
pada anak-anak sangat dipengaruhi oleh masalah (problem) yang dihadapi oleh
anak (Michels et.al., 2012).
Pada remaja, peningkatan frekuensi asupan sweet high energy-dense foods
atau makanan manis dan makanan yang mempunyai densitas tinggi seperti cake,
ice cream, chips dan soda berhubungan dengan emotional eating. Pola makan ini
yang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan berat badan, apabila terjadi
terus menerus (Nguyen-Michel, 2007).
Emotional eating sering dikaitkan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)
yang lebih tinggi atau kelebihan berat badan. Sebuah studi menunjukkan korelasi
antara emotional eating dan IMT. Emotional eating berkorelasai positif dengan
IMT, semakin tinggi skor emotional eating, semakin tinggi pula skor IMT (Nolan
et al., 2010). Penelitian lain juga menunjukkan korelasi yang serupa. Emotional
eating dan depresi berkorelasi dengan IMT dan lingkar pinggang yang lebih tinggi
(Konttinen et.al.,2010). Kelompok overweight mempunyai kecenderungan untuk
makan berlebih saat kondisi emosi buruk (Geliebter et.al., 2003). Peningkatan
anxiety (kecemasan) dan depresi berhubungan dengan emotional eating dan
kehilangan kontrol sehingga akan menyebabkan peningkatan asupan (Goossens,
et al., 2009).
Sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengukur hubungan IMT,
perceived stress dan emotional eating pada pada remaja, mendapatkan 32% dari
total populasi mengalami emotional eating, 66% nya berasal dari normal weight.
Temuan ini menyoroti fakta bahwa emotional eating tidak menjadi masalah hanya
3
untuk orang-orang yang overweight dan obesitas. Studi ini menunjukkan bahwa
beberapa anak dalam populasi mengalami peningkatan risiko obesitas dan
penyakit kronis terkait dengan emotional eating yang dialaminya sebagai respon
belajar untuk menanggapi stres di saat mereka memasuki masa remaja (NguyenRodriguez et al. , 2008)
Perubahan-perubahan selama masa awal masa remaja terjadi dengan pesat,
salah satunya adalah meningginya emosi. Keadaan emosi remaja berada pada
periode badai dan tekanan (storm and stress) yaitu suatu masa di mana
ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Adapun meningginya emosi terutama karena para remaja berada di bawah tekanan
sosial dan menghadapi kondisi dan harapan baru. Keadaan ini menyebabkan
remaja mengalami kegagalan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya,
sehingga masa remaja sering dikatakan sebagai usia bermasalah (Hurlock, 1999).
Paparan di atas menunjukan adanya masalah. Usia remaja dengan perubahan
emosinya mempunyai kemungkinan mengalami emotional eating, lebih lanjut
emotional eating ini akan berdampak pada kelebihan berat badan (overweight).
Data yang ada, menunjukkan kegemukan pada remaja kota Yogyakarta usia 16-18
tahun, yang pada usia ini bersekolah di tingkat SMA, cukup banyak. Hal ini bisa
saja dipengaruhi oleh emotional eating terkait dengan perubahan emosi yang
dialami oleh para remaja tersebut. Oleh karena itu perlu diteliti apakah remaja
SMA kota Yogyakarta mengalami emotional eating, dan apakah ada perbedaan
emotional eating pada setiap peningkatan kategori status gizi yang mungkin saja
mendukung terjadinya peningkatan prevalensi gemuk pada populasi tersebut.
Selain itu pola makan densitas tinggi merupakan salah satu faktor dari penyebab
terjadinya kelebihan berat badan di daerah tersebut. Oleh karena itu, perlu juga
dilakukan penelusuran lebih lanjut apakah ada perbedaan pola makan densitas
tinggi pada setiap kategori status gizi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menemukan fakta baru tentang perilaku makan remaja terkait dengan pola makan,
emotional eating dan status gizi pada remaja khususnya pada remaja SMA negeri
di Kota Yogyakarta.
4
B. Perumusan Masalah
1. Apakah ada perbedaan emotional eating pada remaja dengan status gizi
kurus, normal dan overweight di SMA negeri di Kota Yogyakarta?
2. Apakah ada perbedaan pola makan pada remaja dengan status gizi kurus,
normal dan overweight di SMA negeri di Kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan emotional eating dan pola makan pada remaja
dengan status gizi kurus, normal dan overweight di SMA Negeri Kota
Yogyakarta
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui prevalensi remaja dengan status gizi kurus, normal dan
overweight di SMA negeri di Kota Yogyakarta
a. Mengetahui perbedaan emotional eating pada remaja pada remaja dengan
status gizi kurus, normal dan overweight di SMA negeri di Kota
Yogyakarta
b. Mengetahui perbedaan pola makan pada remaja dengan status gizi kurus,
normal dan overweight di SMA negeri di Kota Yogyakarta
c. Mengetahui hubungan antara emotional eating dengan indeks massa
tubuh pada pada remaja dengan status gizi kurus, normal dan overweight
di SMA negeri di Kota Yogyakarta
d. Mengetahui hubungan antara pola makan dengan indeks massa tubuh
pada pada remaja dengan status gizi kurus, normal dan overweight di
SMA negeri di Kota Yogyakarta
e. Mengetahui hubungan antara emotional eating dengan pola makan pada
pada remaja dengan status gizi kurus, normal dan overweight di SMA
negeri di Kota Yogyakarta
5
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Bagi peneliti sendiri hasil penelitian ini memberikan informasi tentang
hubungan antara pola makan, emotional eating dan status gizi. Selain itu,
untuk peneliti lain, hasil ini dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya
mengenai hubungan emotional eating, pola makan dan status gizi
pada
remaja SMA negeri di Kota Yogyakarta.
2. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
sumber informasi tentang peran pola makan dan emosi dalam peningkatan
berat badan. Sehingga dapat mengendalikan faktor-faktor tersebut agar
mampu mengontrol berat badan dalam rentang normal, serta mencegah
obesitas khususnya pada remaja.
3. Bagi Institusi Pemerintah
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai perencanaan program dalam
penanganan dan pencegahan terjadinya peningkatan berat badan (overweight)
pada remaja SMA di Kota Yogyakarta.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berhubungan dengan emotional eating, pola makan dan status gizi
yang pernah dilakukan peneliti lain sebelumnya adalah:
1. Michels et al. (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Stress, Emotional
Eating Behaviour and Dietary Patterns in Children. Penelitian ini dilakukan
di Belgia dengan hasil stres berhubungan dengan emotional eating dan
dietary patterns serta dapat berkontribusi pada kejadian obesitas, namun
emotional eating tidak memediasi hubungan antara stress dan dietary
patterns.
Persamaan dengan penelitian ini terdapat pada desain penelitian yang
digunakan yaitu cross-sectional study. Perbedaaanya meliputi variabel
dependent, independent dan populasi penelitian. Dalam penelitian tersebut
6
emotional eating menjadi variabel independen sedangkan pada penelitian ini
emotional eating menjadi variabel dependen. Populasi dalam penelitian ini
adalah anak-anak, sedangkan penelitian yang akan dilakukan adalah remaja.
2. Geliebter and Aversa (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Emotional
Eating in Overweight, Normal Weight, and Underweight Individuals.
Penelitian ini dilakukan di New York dengan hasil individu underweight
makan lebih sedikit saat negative emotional states daripada individu normal
dan overweight, sedangkan pada overweight dalam kondisi yang sama akan
makan lebih banyak dibanding yang lain.
Persamaan dengan penelitian ini terdapat pada desain penelitian yang
digunakan yaitu cross-sectional study, selain itu variabel yang diteliti sama
yaitu emotional eating sebagai variabel dependen dan status gizi sebagai
variabel independen. Perbedaannya terdapat pada rentang usia populasi
penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah usia dewasa yang diambil
secara purposive tanpa kriteria batasan usia, sedangkan penelitian yang akan
dilakukan adalah remaja.
3. Pinaquy et al. (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Emotional Eating,
Alexithymia, and Binge- Eating Disorder in Obese Women. Penelitian ini
dilakukan pada 169 wanita obesitas dengan tujuan untuk mengetahui
hubungan antara alexithymia dengan emotional eating pada wanita obesitas
dengan atau tanpa
Binge Eating Disorder (BED). Hasilnya adalah
Alexythimia merupakan prediktor dari emotional eating pada wanita obesitas
yang mengalami BED. Sedangkan emotional eating dan stres merupakan
prediktor BED.
Persamaan dengan penelitian ini terdapat pada desain penelitian yang
digunakan yaitu cross-sectional study. Perbedaaanya meliputi variabel
dependent-independen dan populasi penelitian. Variabel emotional eating
dalam penelitian tersebut menjadi variabel independen sedangkan dalam
penelitian ini menjadi variabel dependen. Populasi dalam penelitian ini adalah
wanita usia dewasa, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan adalah
remaja.
7
4. Baharuddin (2012) dalam penelitiannya berjudul Emosi dan Perilaku Makan
Hubungannya dengan Kejadian Berat Badan Lebih pada Pegawai Negeri
Sipil (PNS) di Kota Ternate. Penelitian ini dilakukan di Ternate dengan
responden 106 PNS, 53 kasus dan 53 kontrol, dengan hasil adanya hubungan
yang bermakna antara perilaku makan dan kenaikan berat badan pada
responden. Perilaku restrained mempunyai OR sebesar 6.8, perilaku emotion
sebesar 2.7, dan exernal sebesar 4.8. Emotional eating tidak berhubungan
dengan kejadian berat badan lebih pada PNS.
Perbedaaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terdapat pada
desain penelitian, variabel dependen-independennya dan populasi. Desain
pada penelitian tersebut adalah case-control, sedangkan pada penelitian yang
akan dilakukan adalah cross-sectional. Dalam penelitian ini emotional eating
menjadi variabel dependen, sedangkan dalam penenlitian tersebut menjadi
variabel indpenden. Populasi dalam penelitian ini adalah PNS usia dewasa
sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan adalah remaja.
Perbedaan yang mendasar pada penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya adalah pada populasi yang akan diteliti. Populasi yang akan diteliti
pada penelitian ini adalah remaja. Penelitian ini penting dilakukan pada remaja,
karena pada populasi ini beresiko mengalami emotional eating yang mungkin
dapat berpengaruh terhadap Indeks Massa Tubuhnya.
Download