Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro Anggola Dewa Permadi 1 Abstract Communities in human life are always associated with behaviors that reflect social identity. Social identity can be realized through the patterns of life of a community different from the others. Oreng Manduro is one of the different communities in the region Jombang Madura everyday language. Manduro villages have cultural forms that are different from other villages in the district Kabuh Jombang. Jombang dominant society does not know whether Oreng Manduro is a descendant of the original people who came from the island of Madura or not. Most of the community does not want to Oreng Manduro said to be descendants of ethnic come from the island of Madura. The purpose of the study of writing this paper is to describe the symbolic identity Oreng Manduro. This study used qualitative methods. This study aimed to describe the analysis of identity Oreng Manduro located in the Village District Manduro Kabuh Jombang. Manduro Oreng social identity can be seen through the religion which they profess. Religion can reflect a community's social identity through community actions that can differentiate with others. The formation of a social identity assumption realized because other people think other people are different. Oreng Manduro Madurese language daily use even though there is not the same as the original meaning of the word in a sentence such as vocabulary, sentence sound and accent, so blended together as accent Madurese language Java, Madura language with a native accent as the island Madurese and Javanese accent Madura. Java Language Oreng Manduro also very fluent and master two types, namely chromo inggil also ngoko. This is one of a local form of wisdom Oreng Manduro. Keyword : community, oreng manduro, identity K abupaten Jombang merupakan kabupaten yang salah satunya mempunyai julukan sebagai “kota santri” di propinsi Jawa Timur. Arti kata “santri” adalah sebutan akrab bagi komunitas calon-calon intelektual di bidang agama Islam 1 Korespondensi : Anggola Dewa Permadi, Mahasiswa Dept. Antropologi FISIP-UNAIR, e-mail : [email protected] AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 232 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 yang menggeluti pengetahuan keagamaan serta mempercayakan diri pada para pemimpin agama yang telah mengajarkan nilai-nilai dan pengetahuan agama Islam atau yang disebut dengan “ustadz”. Di Jombang terdapat berbagai tempat untuk pengajaran ilmu keagamaan seperti pondok pesantren Darul Ulum, Tebu Ireng, Denanyar, dan Siddiqiah (Windrowati, 2010). Di Kabupaten Jombang terdapat komunitas yang disebut dengan Oreng Manduro. Komunitas Oreng Manduro merupakan komunitas yang kesehariannya berbahasa Madura dan Jawa. Komunitas Oreng Manduro hidup secara berkelompok dalam empat dusun dalam satu desa, yaitu desa Manduro. Masyarakat Jombang dominan yang tidak tahu, apakah Oreng Manduro adalah asli dari keturunan masyarakat yang berasal dari pulau Madura atau tidak. Masyarakat beranggapan bahwa mereka adalah penduduk lokal yang lahir di sana dan kebanyakan dari komunitas Oreng Manduro juga tidak mau dikatakan sebagai keturunan etnis yang berasal dari pulau Madura. Pada umumnya, mereka mengaku etnis Jawa dan lebih senang disebut atau disapa sebagai “Oreng Manduro”. Oreng Manduro didalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Madura dan bukan Bahasa Jawa, tetapi mereka juga fasih berbahasa Jawa. Oreng Manduro menggunakan bahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan masyarakat masyarakat luar desa, yang pada umumnya beretnis Jawa. Bahasa Madura yang dipergunakan oleh Oreng Manduro agak berbeda dengan bahasa Madura yang digunakan masyarakat pulau Madura. Di pulau Madura ada dua tipe bahasa yang digunakan yaitu kromo inggil dan ngoko, namun Oreng Manduro hanya menggunakan tipe ngoko yang mereka sebut sebagai bahasa pojok kampung. Sementara itu, masyarakat Jombang menggunakan dua tipe bahasa Jawa yaitu kromo inggil dan ngoko. Contoh kalimat yang membedakan antara tiga fenomena bahasa tersebut, yaitu: Bahasa Madura kromo inggil: “Dhe’ pare hadirin sadeje aeatore menikmati hidangan se ampon e siap agi, Bahasa Madura ngoko: Dhe’ pare hadirin tore adhe’er hidangan se mare e siap agi, Bahasa Jawa kromo inggil: Dumateng poro sederek sekalian jumeneng ngresaaken hidangan ingkang sampun disiapaken, Bahasa Jawa ngoko: Ayo konco-konco sekalian podo ngadek ngrasakno panganan seng wes disiapno, Bahasa Oreng Manduro: Reng oreng kabi tolong nadek sambi ngecepen kakanan se le esiapagih”. AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 233 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 Dari contoh jenis serta tipe bahasa tersebut di atas tampak perbedaan dari pemakaian bahasa oleh masyarakat pulau Madura, Jawa dan Oreng Manduro. Arti berbagai ungkapan bahasa tersebut di atas dalam bahasa Indonesia, adalah “para hadirin sekalian dimohon berdiri untuk menikmati hidangan yang sudah disiapkan”. Perbedaan pemakaian bahasa tersebut merupakan fenomena yang ada di desa Manduro. Desa Manduro terdiri dari empat dusun yaitu dusun Guwo, Dander, Mato’an dan Gesing. Dalam setiap dusun juga terdapat logat dan intonasi bahasa yang bersifat campuran, misalnya ada orang dusun yang berbahasa Madura tetapi logat bicaranya seperti orang Jawa, namun juga orang dusun yang berbahasa Madura dengan logat bicaranya seperti orang pulau Madura pada umumnya. Oreng Manduro memiliki kosa kata yang berbeda dengan orang Madura dan Jawa, misalnya kosa kata untuk sebutan kerabat seperti paman atau pakde (bahasa jawa) yang disebut dengan Woo, Obek, atau Uwak, anak kecil yang disebut dengan nag kanag dan jug mburjug. Kosa kata untuk benda seperti kaus kaki yang disebut dengan mboek atau kasrut. Kosa kata kerja seperti makan yang disebut dengan ngakan, ejilet, ngecepen, serta minum dengan istilah ngenom, ejeglek. Kosa kata sifat seperti “tidak mengerti” yang diucap dengan tak taoh atau tak ngerteh. Asal mula Oreng Manduro sendiri hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti. Sampai saat ini, pencarian data belum ada sumber-sumber tertulis yang dapat dirujuk. Sumber informasi sebatas cerita-cerita rakyat yang terdapat beberapa versi dalam dongengnya, misalnya Laskar Trunojoyo dianggap sebagai nenek moyang Oreng Manduro. Berawal dari Laskar Trunojoyo dari pulau Madura melaksanakan penyerangan yang dibantu oleh Belanda terhadap kerajaan Surakarta yang dipimpin oleh Raja Amangkurat II telah berhasil mengalahkan Laskar Trunojoyo, maka mereka terpecah belah dan melarikan diri. Sisa-sisa pejuang Laskar Trunojoyo tersebut telah bersembunyi didaerah Kecamatan Kabuh, dan tidak kembali ke pulau Madura karena malu telah kalah perang. Mereka bertempat tinggal di lokasi pelarian dan menghasilkan keturunan sampai sekarang. Versi yang kedua adalah berawal ketika ada beberapa orang dari Madura yang mengasingkan diri ke Jombang. Penyebabnya adalah karena perbedaan paham, sehingga mereka melakukan migrasi karena tidak ada kecocokan yang mungkin disebab masalah perilaku. Versi AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 234 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 yang terakhir adalah Pangeran Arya Wiraraja ada hubungannya dengan nenek moyang mereka. Orang yang berasal dari pulau Madura memberi julukan pada Oreng Manduro sebagai ngakungaku Madura, kong ngakoh Medure, Meduro akon-akon. Oreng Manduro termasuk komunitas yang terisolir, karena hanya satu desa terpencil yang penduduknya berbahasa Madura. Berdasarkan dari legenda masyarakat, Oreng Manduro ada sangkut pautnya keturunan dari kelompok prajurit Pangeran Arya Wiraraja pada jaman berdirinya kerajaan Hindu Majapahit. Selanjutnya orang-orang keturunan Madura ini menyingkir di daerah bukit-bukit. Hal ini serupa dengan masyarakat Tengger gunung Bromo. Warga Tengger Bromo merupakan masyarakat yang terisolir karena bertempat tinggal di daerah gunung-gunung. Masyarakat Tengger Bromo diduga masih merupakan keturunan dari kerajaan Hindu Majapahit, karena mereka masih melestarikan kepercayaan Hindu peningglan Majapahit (Windrowati, 2010: 27). Oreng Manduro pada umumnya beragama Islam. Menurut Jamilun (40 tahun), Oreng Manduro masih ada kaitanya dengan animisme karena dapat dilihat dari perilaku-perilaku yang menjunjung tinggi nilai adat serta masih menggunakan warisan-warisan budaya yang pernah dilakukan oleh para leluhur mereka. Misalnya pohon besar, kolam, sungai, goa dan lainya. Benda atau tempat tersebut dipercaya dapat mencelakakan orang jika ada yang tidak hati-hati dan tidak hormat kepadanya (Bustanuddin, 2006: 63). Menurut penduduk setempat, agama Islam yang dianut Oreng Manduro adalah aliran Islam Abangan. Penduduk setempat mengartikan dengan istilah Islam KTP atau Islam Aboge. Aboge adalah aliran keagamaan yang mencampurkan antara unsur kebudayaan daerah dengan Islam, sehingga muncullah suatu tatanan yang sifatnya lentur terhadap adat serta tidak melanggar sesuai kaidah-kaidah Islam. Sementara itu, Geertz (1980:17-18) juga mengatakan istilah abangan. Tatanan sosial orang Jawa sampai sekarang tidak lepas dengan adanya pengaruh Hinduisme yang masih digunakan pada kehidupan sehari-hari. Pengaruh Hinduisme dalam masyarakat Jawa telah melahirkan suatu fenomena kepercayaan, yaitu meyakini terhadap hal yang gaib serta diluar jangkauan pemikiran manusia. Sehingga meyakini terhadap benda-benda yang mempunyai kekuatan supranatural. Biasanya kekuatan-kekuatan supranatural diyakini oleh masyarakat Jawa dapat merubah pola AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 235 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 kehidupanya setelah mengalami pasca kejadian seperti musibah yang pernah dialaminya agar tidak terulang kembali. Oleh karena itu, munculah tradisi “Slametan” yang biasanya dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat Jawa pada umumnya. Slametan arti dalam bahasa Jawa adalah Slamet, yang berati “ben ora onok opo-opo” bertujuan untuk “selamat” dari musibah apapun yang akan menimpa seseorang dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Sehingga pada saat ini masyarakat Jawa kalau akan melakukan sesuatu yang akan dituju, selalu melakukan ritual Slametan (Geertz, 1980: 17-18). Di lain pihak, masyarakat Madura yang dikenal kuat ajaran Islam dalam konteks religiusitas pola kehidupanya. Namun demikian, terdapat pengakuan bahwa Islam hanya sebagai ajaran formal yang diyakini dan dipedomani dalam kehiduapan tiap individu yang kenyataannya tidak selalu tampak pada sikap, pendirian dan pola pada perilaku mereka. Bagi masyarakat pulau Madura, kepatuhan terhadap ajaran Islam tersebut menjadi sesuatu yang bersifat wajib serta dilaksanakan dalam keseharian sebagai aturan yang normatif bersifat mengikat. Oleh karena itu, pengabdian atau pelanggaran yang dilakukan secara sengaja atas aturan tersebut menyebabkan orang yang melanggar dikenakan sanksi sosial kultural. Dalam artian yang luas, dapat dinyatakan bahwa jiwa kepatuhan itu dilakukan dalam sepanjang hidupnya sehingga tidak ada tindakan yang melanggar ketaatan, kepatuhan, kepasrahan dan tunduk kepada seorang figur. Ketundukan kepada seorang figur telah tertanam pada jiwa yang patuh dan taat. Figur tersebut yang biasa umum kita dengar adalah sosok guru, kiyai, ustadz. Fungsi serta peran guru lebih ditekankan pada konteks moralitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius terutama dalam aspek ketentraman dan keamanan diri dari beban yang akan diderita dialam kehidupan setelah mati yaitu akhirat. Ketaatan serta kepatuhan secara kultural pada masyarakat pulau Madura kepada sosok guru, kiyai, ustadz dianggap bermanfaat karena mereka berjasa dalam memberikan pencerahan dalam pola pikir individu atau para murid untuk memperoleh kesejahteraan hidup didunia serta keselamatan di akhirat pasca kehidupan dunia. Oleh karena itu, ketaatan dan ketundukan masyarakat pulau Madura kepada seorang figur guru, kiyai, ustadz tersebut menjadi penanda ciri khas budaya masyarakat pulau Madura (Wiyata, 2003). AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 236 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 Kerangka Pemikiran Difusi merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan keberbagai penjuru dunia. Proses difusi tidak hanya dilihat dari sudut bergerak serta bergesernya unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ketempat yang lain saja, tetapi faktor utama sebagai proses pendorong bergesernya unsur kebudayaan dibawa oleh tiap individu dari suatu kebudayaan dan harus dapat diterima oleh individu-individu dari kebudayaan yang lain. Difusi kebudayaan dimaknai sebagai proses penyebaran suatu kebudayaan yang disebabkan adanya mobilisasi atau migrasinya manusia. Proses migrasi dari suatu tempat ketempat lain akan menyebarkan budaya yang dibawa. Hal ini akan nampak jelas, kalau perpindahan manusia itu dari kelompok atau secara besarbesaran akan mengalami suatu perubahan yang baru dikemudian hari (Koentjaraningrat, 1987:110). Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mempertimbangkan kesesuaian antara obyek yang diteliti serta studi ilmu yang bersangkutan. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan hasil analisis identitas Oreng Manduro yang berada di Desa Manduro Kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang. Dengan metode ini diharapkan temuan-temuan empiris dapat dideskripsikan secara lebih rinci, lebih jelas dan akurat. Salah satu pendekatan dari metode kualitatif yang tepat digunakan pada penelitian ini adalah etnometodologi yang menghasilkan karya etnografi. Pendekatan kualitatif diharapkan dapat lebih banyak mempelajari fenomena-fenomena soial dan budaya yang terdapat pada pendukungnya. Peneliti dapat memahami dan mendeskripsikannya sehingga penelitian yang bersifat eksplorasi ini dapat mengetahui emik subyek penelitianya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang dianjurkan oleh Koentjaraningrat, yaitu: Pengumpulan fakta, Penentuan ciri-ciri umum dan Verifikasi. AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 237 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian skripsi saya terletak di desa Manduro Kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang. Manduro adalah nama salah satu desa yang berada di wilayah Jombang sebelah utara yang dekat dengan posisi selatan Kabupaten Lamongan. Jika ditinjau dalam sejarahnya, menurut masyarakat setempat, kata Manduro mempunyai arti yang diartikan dalam bahasa Jawa adalah “ mblabare madune tawon gong” yang diartikan dalam bahasa Indonesia adalah “melubernya madu dari tawon gong”. Madu yang harum aroma dan baunya serta manis rasanya berasal dari hasil produksi tawon gong orang Jawa mengatakan atau lebah yang jenisnya besar, menurut keterangan Rakib (56 tahun) Kata Manduro telah diambil dari kisah cerita pewayangan dari Prabu Baladewa dari kerajaan Manduro. Secara Historis, pemberian nama Manduro untuk desa tersebut acuannya adalah para masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah itu mayoritas berbahasa Madura. Kata Manduro memang mirip-mirip dengan kata Madura namun berbeda. Manduro diberi nama dan diresmikan menjadi nama desa pada tahun 1933 kurang lebihnya. Pemberian nama tersebut merupakan hasil kreasi oleh perangkat desa yang bernama Carik Wahyo, menurut keterangan Warito (57 tahun). Desa Manduro mempunyai empat wilayah dibagi-bagi menjadi dusun, yaitu Dusun Mato’an, Dusun Guwo, Dusun Dander dan Dusun Gesing. Tiap-tiap dusun tersebut mempunyai makna dan simbol dari nama dusunnya, seperti: Dusun Mato’an diartikan dalam bahasa Jawa yaitu “ngematno barang sing ketok kasunyatane” dalam bahasa Indonesia, yakni “Lihatlah yang ada pada pada diri kita sesuai dengan kenyataanya”. Makna kehidupan yang tersirat terkandung dalam kata Mato’an adalah menuntun manusia agar bisa menerima kenyataan hidupnya meskipun mereka dalam keadaan apapun baik rendah maupun tinggi, disarankan untuk melihat, mencermati, menghayati lika-liku kehidupan yang dialaminya serta hidup apa adanya sesuai kemampuanya juga kenyataanya, menurut Jamilun (40 tahun). Guwo memiliki makna dalam bahasa Jawa yaitu “Gunggungono barang seng wes digowo” dalam bahasa Indonesia adalah “ gunakan yang ada pada dirimu”. Artinya, manusia diharuskan AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 238 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 menggunakan dan dapat mengatur pikiran, hati, rasa serta potensi diri yang dimilikinya harus digunakan dengan baik, menurut Jamilun (40 tahun). Dusun Dander mempunyai makna didalam bahasa Jawa yaitu “dandanono barang seng wes bender” dalam bahasa Indonesia adalah “perbaikilah terus sesuatu yang sudah betul dan benar”. Artinya, didalam hidup manusia pasti tidak lepas dari kesalahan, keteledoran, kelalaian, kebencian dan lain sebagainya, baik secara sengaja atau tidak sengaja, hal-hal yang mengenai sifat buruk manusia. Dianjurkan untuk memperbaiki segala sesuatu yang dimiliki manusia yang sudah betul dan benar dilakukan secara terus menerus diperbaiki selalu memperbaiki hidupnya. Intinya manusia diingatkan agar terus mengkoreksi diri, menurut Jamilun (40 tahun). Dusun Gesing mempunyai makna didalam bahasa Jawa yaitu “tegese sing eling” dalam bahasa Indonesia adalah “tegasnya hidup itu ingat”. Artinya, apa yang dilakukan oleh setiap manusia segala sesuatunya harus “ingat”. Ingat kepada yang Maha Kuasa yakni Tuhan, sebab segala sesuatu baik dan buruknya itu atas kehendak Tuhan. Maka dari itu, segala sesuatunya harus dipasrahkan kepada Tuhan, karena Tuhan yang telah mengatur segala sesuatu kepada umatnya masing-masing. Ada pepatah Jawa yang mengatakan “sak becik-becike wong lali iseh becik wong sing iling” diadalam bahasa Indonesia adalah “sebaik-baiknya orang lupa, masih baik orang yang selalu ingat”. Yang artinya tiap orang haruslah ingat kepada Tuhan, menurut Jamilun (40tahun). Deskripsi Identitas Simbolik Oreng Manduro Oreng Manduro adalah suatu masyarakat desa yang terletak di daerah Kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang. Desa Manduro memiliki banyak keunikan-keunikan tentang penduduknya yang setiap harinya berbahasa Madura, namun Oreng Manduro juga bisa fasih berbahasa Jawa yang mempunyai dua tipe, yaitu Krama inggil dan Ngoko. Kebanyakan dari Oreng Manduro apabila menggunakan bahasa Jawa sudah tidak kelihatan bahwa mereka bukan dari kalangan masyarakat Pulau Madura. Ketika kita sedang bercakap-cakap dengan Oreng Manduro dengan bahasa Jawa, maka kita tidak akan tahu bahwa mereka dapat lancar berbahasa Madura. Oreng Manduro sebagian besar mengaku jati dirinya sebagai Orang Jawa pada umumnya dan tidak mau disebut sebagai orang yang berasal dari pulau Madura. Alasan paling utama AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 239 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 Oreng Manduro tidak suka disebut sebagai orang asli pulau Madura, sebab Oreng Manduro tidak tahu menahu bagaimana budaya asli Madura dan mereka tidak mempunyai kerabat di sana. Oreng Manduro pada umumnya bisa berkomunikasi bahasa Jawa dengan masyarakat luar. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka juga masih menggunakan adat istiadat Jawa pada umumnya. Analisis Pertama adalah bahasa Oreng Manduro yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa merupakan faktor pendorong adanya percampuran dari dua unsur budaya. Oreng Manduro setiap harinya menggunakan bahasa Madura walaupun ada yang tidak sama dengan aslinya antara arti kata dalam sebuah kalimat seperti kosa kata, bunyi kalimatnya, logat, nada dan intonasinya, sehingga bercampur jadi satu seperti bahasa Madura dengan logat Jawa atau bahasa Madura dengan logat yang asli seperti orang pulau Madura serta bahasa Jawa dengan logat Madura. Bahasa Jawa Oreng Manduro juga sangat fasih dan menguasai dua tipe yaitu kromo inggil juga ngoko. Kedua adalah religi yang merasuk kedalam jiwa mereka. Oreng Manduro mayoritas memeluk agama Islam. Islam di sini yang mereka gunakan adalah tipe aliran Aboge, Islam KTP atau Abangan seperti yang saya lihat di lapangan. Oreng Manduro yang mengaku jati diri mereka sebagai orang Islam tetapi implementasinya tidak seperti orang Islam pada umumnya yang menjalankan Syariat Islam. Istilah Aboge di sini dimaknai oleh peristiwa sejarah Islam yang pada saat itu terjadi konflik antara sesama pemeluk agama Islam. Konflik tersebut yang mengenai penetapan hari raya Idul Fitri pada tanggal satu syawal. Pada waktu itu telah terjadi disintegrasi terhadap sesama umat Islam menjadi dua aliran yaitu aliran Asapon dan aliran Aboge. Asapon artinya Alif atau angka satu jatuh pada hari selasa pon. Aliran ini menentukan jadwal lebaran jatuhnya tanggal satu syawal terlebih dahulu terpaut satu hari. Menurut pendapat mereka aliran Asapon itu sama saja dengan aliran Santri yaitu dimana aliran ini adalah aliran yang menganut penuh taat pada Syariat Islam sehingga tipe agama Islam ini adalah pemurnian sesuai kitab Al Qur’an dan Hadist. AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 240 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 Aboge artinya adalah Alif atau angka satu jatuh pada hari Rabu Wage. Aliran ini Menentukan jadwal lebaran jatuhnya pada tanggal satu syawal lebih lambat dan berbeda satu hari dengan aliran Asapon. Menurut pendapat mereka aliran Aboge adalah suatu tipe Islam yang kurang bisa menjalankan Syariat Islam, sehingga aliran ini lebih menganut adat istiadat dalam peribadatannya dikarenakan mereka kurang tahu, mengerti, serta paham dengan Syariat Islam. Oleh karena itu, mereka lebih lentur terhadap kaidah-kaidah Islam lebih-lebih masih menjunjung nilai kepercayaan dan memelihara adat daerahnya. Aboge menurut pendapat mereka sama saja dengan aliran Abangan, dimana mereka masih ada pengaruh Hinduisme yang masih dipelihara dan diterapkan dalam refleksi kehidupan Oreng Manduro. Dari dua perbedaan tersebut, sudah saya beri gambaran tentang hubungan antara bahasa dan agama yang mengacu pada identitas. Proses tersebut mengacu pada percampuran antara dua budaya tersebut, dari budaya Madura ke budaya Jawa sehingga menjadi budaya baru. Oreng Manduro masih mengaplikasi kedua budaya tersebut seperti, bahasa mereka masih memelihara yang notabene hampir sama dengan bahasa dari pulau Madura meskipun ada perbedaan. Bahasa tersebut tidak mungkin dipungkiri bahwa bahasa tersebut berasal dari Pulau Madura. Bahasa adalah salah satu produk budaya yang mencerminkan identitas, sehingga mereka tidak mudah lepas begitu saja karena sudah tertanam pada jiwa mereka sejak lahir. Islam merupakan agama yang dianut oleh Oreng Manduro itupun juga sama seperti yang ada di pulau Madura, tetapi berbeda dengan Oreng Manduro yang mayoritas menjunjung nilai-nilai adat Jawa serta lentur terhadap kaidah-kaidah Islam. Fenomena budaya tersebut merupakan bukti dari alkulturasi yang sudah berproses selama bertahun-tahun. Kepercayaan animisme yang melekat pada jatidiri individu telah bercampur antara Hindu dengan Islam yang merupakan sebuah sinkretisme. Hal tersebut merupakan bukti warisan leluhur yang masih dipelihara dan taat dilaksanakan oleh Oreng Manduro. Dibawah ini adalah skema dari alkulturasi budaya antara Madura dan Jawa menjadi Manduro. Madura Jawa Manduro AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 241 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 Komunitas Oreng Manduro adalah sekelompok manusia yang hidup didaerah kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang. Sampai saat ini masih belum adanya bukti-bukti sejarah yang tertulis. Bagaimana komunitas kecil orang Pulau Madura telah melakukan migrasi dari tempat asalnya menuju daerah kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang. Hal ini masih belum adanya bukti-bukti yang akurat sebagaimana orang Pulau Madura melakukan migrasi, hanya saja bahasa yang digunakan Oreng Manduro hampir sama dengan bahasa yang ada di Pulau Madura. Oleh sebab itu, pada umumnya masyarakat sekitar Manduro dengan mudahnya menganggap Oreng Manduro itu asli dari keturunan masyarakat Pulau Madura. Sampai saat ini, masyarakat sekitar desa Manduro atau sekaligus para agamawan setempat, masih belum bisa memaparkan dan menjelaskan asal usul Oreng Manduro tersebut. Mereka hanya sebatas cerita dari mulut-kemulut yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Kebanyakan dari mereka (masyarakat sekitar Manduro dan agamawan setempat) ketika saya bertanya tentang asal mula Oreng Manduro ternyata keterangannya sama saja. Kesamaan di sini adalah tentang versi, yaitu Oreng Manduro merupakan keturunan para prajurit Laskar Trunojoyo dan Arya Wiraraja. Versi Laskar Trunojoyo merupakan versi yang sama dalam konteks asal mula Oreng Manduro. Para masyarakat sekitar Manduro dan agamawan setempat memiliki versi yang sama dengan Oreng Manduro sendiri tentang asal usulnya. Tetapi dalam pola kehidupan sehari-hari tentang Oreng Manduro tersebut memiliki banyak versi serta sudut pandang masing-asing. Dimulai dari sudut pandang Oreng Manduro itu sendiri dengan sudut pandang masyarakat sekitar desa lain yang bertetangga dengan desa Manduro. Dalam hal ini, saya mewawancarai beberapa orang luar sekitar desa Manduro tentang polapola kehidupanya, sejarah mereka, hubungan Oreng Manduro dengan tetangga desa, serta agama atau religi mereka. Oleh karena itu, saya mewancarai agamawan di sekitar Kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang. Kabupaten Jombang mempunyai simbol kota beriman karena banyaknya jumlah pondok-pondok pesantren yang berdiri dan memberikan pengaruh besar tentang agama atau religi masyarakat Jombang khususnya agama Islam. Islam sendiri ada berbagai macam aliran-aliran di Kabupaten Jombang serta pondok-pondok pesantren sebagai simbol identitas aliran para kyai beserta para santrinya yang hidup berdampingan dalam satu ruang lingkup AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 242 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 wilayah kabupaten, seperti: Islam Nahdatul Ulama (NU), Islam Muhammadiah, Islam LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) dan Islam Siddiqiah. Para agamawan yang telah saya wawancarai, merupakan Ulama yang bertempat tinggal didesa-desa berdekatan dengan desa Manduro. Alasan saya untuk mewawancarai para agamawan di sini atas dasar mereka telah mempunyai banyak pengetahuan-pengetahuan tentang agama Islam yang mereka pelajari dan sesuai dengan aliran-aliran yang dianut, sebab agama pada umumnya konteks ajaran yang telah dituliskan dalam kitab Alqur’an, selalu cenderung memusatkan pada aspek-aspek etik dan nilai-nilai kepercayaan kepada Tuhan. Agama atau religi di sini dapat menjelaskan tentang pola-pola kehidupan Oreng Manduro, sehingga agama dapat memperlihatkan suatu identitas Oreng Manduro. Agama dan religi jika dilihat dari pola kehidupan di tanah Jawa tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari antara logika yang disangkut pautkan dengan hal-hal diluar logika (gaib). Perhatian identitas Oreng Manduro disini adalah kepada agama sebagai salah satu aspek tingkah laku kelompok serta sentiment-sentiment keagamaan yang mencermikan identitas sosial dalam suatu kelompok di masyarakat. Dalam hal ini, Oreng Manduro sampai saat ini masih menjaga dan melestarikan nilai-nilai kepercayaan yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Oreng Manduro pada umumnya masih mengkait-kaitkan gejala alam dengan adanya kekuatan-kekuatan supranatural yang dapat mengendalikan kehidupan mereka. Oreng Manduro juga masih belum dapat menjelaskan secara nyata atau gamblang jika salah satu diantara mereka telah melakukan perbuatan yang dianggap melanggar nilai-nilai moral kepercayaan dan juga sulit untuk menjelaskan tentang sebab-akibat atau hukuman yang bersifat irrasional dapat menimpa mereka. Saya akan memaparkan pendapat para agamawan sekitar untuk memberikan keterangan tentang pola-pola kehidupan Oreng Manduro, serta hubungan mereka bersama masyarakat disekitar wilayah desa Manduro dan sistem religi yang mereka anut. Penjelasan para agamawan dibawah ini akan memberikan berbagai macam sudut pandang tentang keberadaan Oreng Manduro di daerah Kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang sesuai dengan aliran-aliran agama yang mereka anut. Para informan ini bertempat tinggal didesa-desa berdekatan dengan desa Manduro yang juga berprofesi sebagai petani dan diangkat oleh para warga setempat sebagai perangkat desa, yaitu Modin atau sebagai AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 243 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 pemuka agama karena dianggap masyarakat sekitar telah mempunyai ilmu agama yang jauh lebih dalam daripada yang lainya menganai ajaran Islam. Menurut sudut pandang dari kalangan agamawan disekitar tempat tinggal Oreng Manduro, menuai pro dan kontra terhadap fenomena-fenomena yang ada di desa Manduro. Mulai dari tempat yang dianggap keramat, seperti Sendang Weji diyakini sebagai tempat berkumpulnya para Wali. Tempat tersebut sering diadakan ritual-ritual yang berbentuk seremoni yang berfungsi sebagai pemersatu solidaritas para warganya baik itu secara individual dan komunal. Sering kita jumpai bahwa dimana-mana seremoni yang menopang keutuhan hubungan-hubungan sosial yang lebih luas digunakan manusia untuk membangun kehidupan mereka. Kegiatan berupa seremonial biasanya dilakukan oleh kaum-kaum petani Jawa. Hal ini sama dengan Oreng Manduro yang sebagian besar warganya bekerja sebagai petani. (Wolf, 1985:174) Sejumlah kalangan agamawan yang ada di sekitar Oreng Manduro, sebagian ada yang sependapat dengan upacara religi yang bergenre kepercayaan adat. Kalangan agamawan menurutnya yang boleh menjadikan ritual keagamaan yang berada ditempat dikeramatkan oleh Oreng Manduro hanya dari agawan NU dan Siddiqiah. Upacara religi yang dilakukan di Sendang Weji menurut mereka hanya sebuah wujud rasa syukur terhadap Tuhan. Ritual-ritual di tempat keramat biasanya tidak lepas dengan acara Slametan yang berupa Kenduri bersama. Alasan para agamawan dari NU dan Siddiqiah, karena mereka masih menggunakan tradisi-tradisi adat untuk cara peribadatanya. Wujud kegiatan upacara religi para agamawan tersebut tidak melakukan ritual ditempat keramat, tetapi dilakukan di tempat ibadah mesjid. Mereka hanya memodifikasi acara upacara religi sesuai ajaran Islam dengan adat. Di tempat lain, misalnya dikota Jombang mayoritas penduduknya masih menggunakan peribadatan yang dilaksanakan secara adat. Penduduk kota yang mayoritas beragama Islam NU, mereka juga masih menggunakan acara Slametan sebagai simbol perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Allah. Menurut para agamawan NU dan Siddiqiah tersebut, hal yang paling penting adalah tujuan ritual tersebut, harus ditujukan pada satu Tuhan yaitu Allah. Sedangkan Pendapat agamawan dari LDII dan Muhammadiah, Kegiatan ritual yang biasanya dilakukan oleh orang-orang berupa Kenduri, Slametan, mempercayai sesuatu benda yang dianggap keramat, memaknai simbol-simbol berupa gejala alam, merupakan hal yang AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 244 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 musyrik serta masuk dalam golongan bid’ah. Menurut mereka, hal-hal seperti itu merupakan sama seperti jaman Jahiliyah yang artinya sama dengan berhala. Melihat fenomena seperti itu, peneliti menyimpulkan bahwa pendapat-pendapat seperti yang diutarakan oleh para agamawan tersebut adalah relatif, sebab kebutuhan-kebutuhan religiuisitas seseorang tidak dapat diukur dengan penafsiran tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aliranya. Di tempat lain, masih banyak ditemukan hal-hal yang mengenai agama kepercayaan dan tidak semudah itu untuk membunuh karakter budaya tinggalan leluhur. Maka dari itu, perlu adanya saling menghormati dan menghargai antara komunitas aliran pemeluk agama agar tidak ada disiintegrasi masalah perspektif antara individu dengan yang lain. Pada dasarnya setiap komunitas mempunyai cara pribadatan sendiri-sendiri. Seperti dikehidupan pada Oreng Manduro, mayoritas warganya dapat membina hubungan dengan baik kepada masyarakat luar. Hal ini dapat dilihat bahwa mereka dapat hidup berdampingan tanpa memandang agama sebagai status sosial. Permasalahan selanjutnya adalah pemeliharaan anjing oleh Oreng Manduro. Menurut para agamawan sekitar tempat tinggal Oreng Manduro, mengatakan bahwa pemeliharaan anjing bagi kaum muslimin itu dilarang. Aliran ajaran Islam dimanapun juga mengatakan hal yang sama, yaitu dilarang keras untuk memelihara anjing apalagi sampai memakanya. Di Madura misalnya, ketika orang Madura melihat anjing di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, orang tersebut akan mengusir atau membunuh anjing tersebut dengan alasan Najiz. Di tempat lain, seperti di Kabupaten Blitar Kecamatan Kademangan Desa Jimbe. Minoritas masyarakat disana banyak yang memelihara Anjing. Pada dasarnya, letak geografis desa Jimbe berdekatan dengan hutan dan perkebunan, padahal mayoritas penduduk desa Jimbe memeluk agama Islam tetapi mereka juga ada yang memelihara anjing. Paling tidak, setiap umat Islam tahu bahwa pemeliharaan anjing itu dilarang oleh agama Islam, namun mengapa masyarakat desa Jimbe dan Oreng Manduro tetap saja memelihara anjing. Alasan mereka untuk memelihara anjing karena kawasan persawahan yang berdekatan dengan hutan untuk menjaga tanaman agar tidak diserang hama babi hutan. Di Jawa Timur, daerah-daerah yang letak geografis sawah yang berdekatan dengan hutan, mayoritas penduduknya banyak yang AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 245 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 memelihara anjing meskipun banyak dari mereka yang beragama Islam, tidak hanya pada Oreng Manduro saja. Pemeliharaan anjing dapat memunculkan asumsi masyarakat awam yang mencerminkan identitas sosial. Pada umumnya, individu yang memelihara anjing dianggap sebagai orang beragama non-muslim. Pada masyarakat yang tinggal di kota Jombang yang mayoritas penduduknya beragam Islam, beranggapan umum bahwa orang-orang yang memelihara anjing itu adalah orang Cina yang beragama Kristen. Anjing sebagai simbol yang mencerminkan identitas sosial bagi pemilik anjing yang bertempat tinggal di kota sebagai warga non muslim. Simpulan Oreng Manduro berbeda dengan Madura, sebab mereka mempunyai kebudayaan sendiri yang mencerminkan identitas isosial dari kalangan masyarakat sekitar karena sudah membaur dengan para warga etnis Jawa sehingga tercipta kerukunan antar keduanya. Hal ini menciptakan suatu “local wisdom” Oreng Manduro karena sudah mendapat pengakuan dari masyarakat bahwa mereka mempunyai kebudayaan sendiri dan lepas dari stereo tip sebagai keturunan masyarakat Madura. Jadi, identitas Oreng Manduro jika diambil dari analisa dan kesimpulan yang saya buat, adalah sejatinya mereka adalah orang Jawa beragama Islam Aboge yang berbahasa Madura Ngoko kasar dan bahasa Jawa Kromo Inggil dan Ngoko. Daftar Pustaka Agus, Bustanuddin. (2006), Agama Dalam Kehidupan Manusia. Pengantar Antropologi Agama. Kanisius, Yogyakarta. Fedyani, Achmad. (2006). Antropologi Kontemporer. Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Geertz, Clifford. (1983). Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya. Jakarta. Geertz, Clifford. (1992). Tafsir Kebudayaan. Terjemahan, Kanisius, Yogyakarta. AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 246 Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 Jatman, Darmanto. (2000). Psikologi Jawa. Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta. Koentjaraningrat. (2007). Sejarah Teori Antropologi I. UI –PREES, Jakarta Koentjaraningrat. (2001). Pengantar Ilmu Antropologi. PT Rineka Cipta, Jakarta. Nottingham, Elizabeth. (1985). Agama Dan Masyarakat. Suatu Pengantar Sosiologi Agama. CV Rajawali, Kelapa Gading Permai, Jakarta. Spradley, James. (2007). Metode Etnografi. Yogyakarta. PT. Tiara Wacana Yogya. Windrowati, Trinil. (2010). Pertunjukan Sandur Manduro. Refleksi Kehidupan Masyarakat Manduro Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang. ISI Press Solo, Kentingan, Jebres, Surakarta. Wolf, Eric. R. (1985). Petani. Suatu Tinjauan Antropologis. CV Rajawali, Jakarta. Wiyata, Latief. (2003). Kajian Antropologi Mengenai Budaya Madura. CERIC-FISIP UI. Jakarta. AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 247