I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pada awal setiap tahun anggaran, pemerintah Indonesia selalu menetapkan indikator makroekonomi yang menjadi target untuk dicapai tahun berjalan. Indikator makroekonomi yang menjadi sasaran utama untuk dicapai adalah pertumbuhan ekonomi, karena dianggap pertumbuhan ekonomi menjadi titik sentral bagi perkembangan kegiatan perekonomian secara menyeluruh. Bila tercipta pertumbuhan ekonomi, mengindikasikan bahwa berbagai sisi kegiatan ekonomi mengalami peningkatan sehingga dicapai tingkat produksi dan aktivitas yang lebih tinggi. Keadaan ini sekaligus mengatasi masalah utama pembangunan yaitu pengangguran. Djojohadikusumo (1994) menyatakan jika terjadi pertumbuhan ekonomi yang optimal, berarti aktivitas perekonomian akan meningkat yang ditandai dengan kenaikan pemanfaatan sumber daya dan dana yang tersedia. Salah satu ciri optimalisasi pada proses pertumbuhan adalah terkait dengan fungsi kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi optimal merupakan salah satu indikator kemajuan dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Jika suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun berarti negara tersebut berhasil dan berprestasi dalam pembangunan karena dapat mengendalikan kegiatan ekonomi dalam jangka pendek, dan dapat mengembangkan ekonominya dalam jangka panjang (Sukirno, 2000). 2 Indonesia pernah mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada akhir tahun 1980-an hingga tahun 1996. Namun menjelang akhir tahun 1997 hingga awal tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi dan keuangan. Kondisi tersebut membuat proses pembangunan ekonomi terasa terhenti, bahkan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada tahun 1998 (Tambunan, 2002). Semenjak krisis tersebut dirasakan sangat sulit untuk mengembalikan kondisi perekonomian seperti pada masa sebelum krisis yang ditandai dengan tingkat pertumbuhan tinggi diberbagai sektor ekonomi, tingkat pengangguran yang relatif rendah, serta tingkat inflasi yang cukup terkendali, walaupun dilihat dari distribusi pendapatan kurang memuaskan. Krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi di Indonesia menunjukkan adanya pengaruh perkembangan global terutama di bidang keuangan, investasi, dan perdagangan. Hal ini juga memperlihatkan adanya ketergantungan kita pada perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama mata uang dolar Amerika Serikat yang telah dijadikan sarana transaksi dalam perdagangan antar negara. Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sangat mempengaruhi kegiatan perdagangan luar negeri dan dalam negeri Indonesia. Hal ini karena Indonesia sebagai negara ekonomi terbuka, juga sebagai salah satu negara anggota world trade organization (WTO), yang kegiatannya terkait dengan perdagangan luar negeri. Dalam era perdagangan bebas di mana hubungan perdagangan antar negara menjadi faktor dominan, kebijakan perdagangan terutama perdagangan luar negeri menjadi sangat penting. Kebijakan yang diterapkan harus sejalan dengan ketentuan-ketentuan di bidang perdagangan 3 internasional yang telah disepakati bersama. Di sisi lain kebijakan tersebut harus mendukung pertumbuhan ekonomi di dalam negeri terutama sektor riel, sehingga dapat mempercepat masa recovery dari keterpurukan akibat krisis ekonomi yang telah berlangsung semenjak tahun 1997. Seperti diketahui bahwa walaupun era perdagangan bebas yang diterapkan oleh negara-negara maju melalui kesepakatan APEC pada tahun 2010, kemudian akan diikuti oleh negara-negara berkembang pada tahun 2020. Akan tetapi blok perdagangan regional ASEAN melalui kesepakatan AFTA, perdagangan bebas telah dimulai sejak tahun 2003. Era perdagangan bebas adalah era persaingan, oleh sebab itu Indonesia harus meningkatkan produktivitas dan efisiensi di setiap sektor terutama yang menunjang peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar dunia. Menghadapi hal tersebut pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah mencanangkan kebijakan ekonomi yang strategis dan berpandangan ke depan melalui kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi. Kebijakan ini digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing produk ekspor non migas Indonesia menghadapi globalisasi perdagangan dunia yang semakin cepat dan dinamis. Diversifikasi pasar dan diversifikasi produk dijadikan strategi dasar untuk menghadapi persaingan global. Untuk itu programprogram yang dilakukan pemerintah adalah peningkatan ekspor non migas terutama bagi produk-produk yang berbasis sumber daya lokal, pemberdayaan dunia usaha terutama Usaha Kecil Menengah (UKM) yang berorientasi ekspor serta peningkatan kapasitas produksi yang menjadi program prioritas di bidang perdagangan luar negeri. 4 Kebijakan umum di bidang perdagangan luar negeri pada dasarnya terdiri dari kebijakan perdagangan ekspor dan kebijakan perdagangan impor. Kebijakan tersebut merupakan implementasi dari fungsi pemerintah di sektor perdagangan seperti fungsi trade advocacy, market penetration, dan market acces. Perdagangan bebas merupakan tantangan baru dalam perekonomian internasional dan diperkirakan dengan adanya perdagangan bebas suatu kegiatan perekonomian akan mampu mendorong laju peningkatan pendapatan perkapita masyarakat pada setiap negara yang terlibat. Peningkatan pendapatan per kapita di kawasan Asia Pasifik terutama pada negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, adalah akibat perdagangan bebas di kawasan tersebut. Perdagangan bebas pada kawasan ini telah membuka peluang bisnis lebih besar khususnya bagi bisnis produk komoditi pertanian dan produk industri manufaktur. Komoditi ekspor pertanian, misalnya hasil-hasil perkebunan merupakan salah satu produksi sub-sektor pertanian yang dapat dikembangkan menjadi sektor andalan untuk pendapatan devisa bagi negara dan sekaligus dapat digunakan sebagai upaya untuk pemberdayaan ekonomi rakyat. Optimalisasi sumber daya harus dilakukan dengan efisien agar kuantitas dan harga produk yang dihasilkan mampu bersaing, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar luar negeri. Ekspor produk industri manufaktur Indonesia masih mengandalkan bahan baku dan barang-barang modal impor. Hal ini menyebabkan efisiensi produk industri manufaktur tetap rendah, dan karena itu perlu selalu diperhatikan terutama dalam hal efisiensi produksi. Walaupun pada kenyataannya masih sulit keluar dari ketergantungan pada bahan baku dan barang modal impor, tetapi harus ada upaya untuk mengurangi bahan baku dan barang modal impor tersebut. Jika 5 tidak maka persoalan ini akan terus menghambat kemajuan sektor industri pada umumnya hingga masa datang karena kurang mampu bersaing. Akibatnya bukan saja terjadi peningkatan penggunaan devisa untuk impor produk, tetapi yang lebih utama adalah akan mendesak usaha produksi di Indonesia sehingga menjadi pasar atau konsumen produk negara lain di negeri sendiri. Diperkirakan bahwa dengan diberlakukannya perdagangan bebas, perubahan dalam perekonomian akan berlangsung lebih cepat sesuai dengan semakin bebas dan besarnya aktivitas ekonomi. Kondisi ini merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi berbagai sektor pembangunan pada negara-negara yang tergabung dalam kesepakatan perdagangan bebas termasuk Indonesia. Perdagangan yang semakin bebas menuntut banyak hal agar produk yang dihasilkan mampu bersaing baik dari segi kualitas maupun harga produk yang dipasarkan. Pada sisi lain dengan semakin luasnya pilihan konsumen, maka produk yang akan diterima oleh pasar hanya yang berkualitas dan harga bersaing. Oleh karena itu perusahaan dituntut untuk mampu meningkatkan efisiensi produksi dengan mengoptimalkan penggunaan berbagai sumber daya yang ada. Perkembangan liberalisasi ekonomi akhir-akhir ini memberikan gambaran bahwa perdagangan luar negeri semakin penting bagi perekonomian suatu negara. Pentingnya perdagangan luar negeri sebenarnya bukan hal yang baru. Karena semenjak teori Klasik dan Neo Klasik telah menganggap bahwa perdagangan luar negeri merupakan pendorong yang positip bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Demikian pula Tambunan, (2001) menyebutkan bahwa bagi banyak negara, termasuk Indonesia, 6 perdagangan internasional mempunyai peranan yang sangat penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Pendapat di atas telah banyak dibuktikan oleh para peneliti di berbagai negara, misalnya (Anyamele, 2000) di Nigeria, (Hachicha, 2003) di Tunisia, (Francis, 2003) di Caribean, (Yusop, 2001) di Malaysia. Secara umum hasil-hasil penelitian tersebut berkesimpulan, bahwa peningkatan ekspor dapat secara langsung mendorong ke arah pembangunan ekonomi melalui peningkatan produksi, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun peningkatan produksi barang-barang untuk ekspor. Selanjutnya kenaikan ekspor akan menambah perolehan devisa yang sangat dibutuhkan untuk mengimpor barang-barang modal dan bahan-bahan baku yang digunakan untuk meningkatkan produksi dan ekspor lebih lanjut. Di samping itu, melalui perdagangan luar negeri juga akan menghasilkan transfer pengetahuan yang dapat meningkatkan produktivitas kerja, sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi. Hubungan positip tersebut cukup beralasan, karena antara ekspor, impor, dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang timbal balik. Perubahan impor dapat mempengaruhi perubahan ekspor karena jika impor meningkat, secara tidak langsung ekspor juga dapat meningkat, terutama ekspor komoditas industri manufaktur, dimana sebagian besar bahan baku/penolong dan barangbarang modal masih di impor. Sebaliknya perkembangan ekspor juga dapat mempengaruhi kemampuan impor. Karena jika nilai ekspor meningkat, berarti pendapatan devisa meningkat, sehingga kemampuan impor juga meningkat, dan jika nilai ekspor menurun maka kemampuan impor kemungkinan juga akan menurun. Walaupun demikian baik ekspor maupun impor sangat ditentukan oleh 7 berbagai faktor seperti nilai tukar, tingkat inflasi, dan tingkat pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Dalam teori makroekonomi (Mankiw, 2000) menyebutkan bahwa terdapat beberapa komponen yang terkait dengan pembentukan gross domestic product (GDP) yang dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi suatu negara, seperti investasi, konsumsi, dan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor). Oleh karena itu kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah hendaknya selalu berusaha untuk menciptakan suatu kondisi agar beberapa komponen GDP dapat dijadikan motor penggerak bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Salah satu komponen yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi adalah bersumber dari perdagangan luar negeri. Menurut pendapat (Tambunan, 2001a) bahwa, bagi banyak negara termasuk Indonesia, perdagangan luar negeri khususnya ekspor, memiliki peranan yang sangat strategis, karena ekspor dapat menjadi motor penggerak bagi perekonomian nasional. Ekspor menghasilkan devisa yang penting untuk membiayai impor, yakni impor bahan-bahan baku dan penolong, serta barangbarang modal. Kegiatan impor tersebut dapat meningkatkan penanaman modal atau investasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Karena melalui hubungan dagang bisa terjadi, suatu negera eksportir mendirikan perusahaannya di negara importir melalui penanaman modal langsung (foreign direct investment) (Alguacil dan Orts, 2001). Bila investasi meningkat maka kegiatan produksi akan meningkat dan diikuti oleh penciptaan kesempatan kerja di dalam negeri sehingga pendapatan masyarakat meningkat dan pertumbuhan ekonomi terjadi. 8 Berdasarkan laporan dari Bank Indonesia (2006), sebelum terjadi krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1993 - 1996 lebih disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan kontribusi terhadap PDB rata-rata sekitar 60 persen, keadaan ini terjadi baik berdasar harga berlaku maupun menurut harga konstan tahun 1993. Setelah terjadi krisis ekonomi, kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap PDB ternyata terus meningkat dengan pangsa rata-rata lebih dari 62 persen, sedangkan peranan investasi relatif kecil, sekitar 20 persen dari total PDB, sementara di sektor luar negeri peranan ekspor terus meningkat dari rata-rata 27 persen sebelum krisis menjadi rata-rata 37 persen, demikian pula impor juga meningkat dari 25 persen menjadi sekitdar 30 persen dari total PDB (Tabel 1.). Persoalan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didominasi oleh besarnya peranan pengeluaran konsumsi masyarakat sebenarnya manfaatnya lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh peningkatan pengeluaran investasi maupun perdagangan luar negeri. Tabel 1. Distribusi Persentase PDB atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Penggunaannya Tahun 1993 – 2009 (%) Jenis Pengeluaran 1993 1996 1998 1999 2002 2005 2007 2009 Pengel Konsumsi RT 58.52 62.07 69.09 71.72 61.17 60.45 61.66 57.35 9.02 7.64 7.13 7.12 7.63 7.45 7.8 8.99 Pembentukan Modal 26.23 31.06 24.87 20.19 20.73 21.32 22.28 23.42 Perubahan Inventori 3.2 0.82 -2.49 -2.54 0.69 2.41 1.05 -0.04 26.75 27.82 36.59 24.22 37.82 41.01 42.2 42.81 Pengel Pemerintah Ekspor Impor -23.72 -29.41 -35.19 -20.71 -28.04 -32.64 -34.99 -32.54 PDB 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1994-20010 (data diolah) Karena jika investasi atau ekspor yang berperan, maka di samping dapat meningkatkan produksi dalam negeri juga dapat menyediakan kesempatan kerja 9 yang luas, sehingga dapat menciptakan kenaikan pendapatan dan tabungan masyarakat. Terlebih lagi jika peningkatan pengeluaran konsumsi disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang bersifat inflatoar, misalnya melalui kebijakan fiskal, maka dalam jangka menengah dampak dari kebijakan tersebut justru dapat menurunkan produksi di berbagai sektor. Dengan menggunakan alat analisis computable general equilibrium (CGE), Oktaviani (2001) telah melakukan penelitian dan menemukan bahwa, jika pemerintah melakukan kebijakan fiskal yang bersifat kenaikan harga sumber daya, misalnya kenaikan harga BBM, listrik, telepon, dan PPN, maka dalam jangka pendek akan menjadi sumber inflasi, dan dalam jangka menengah atau panjang akan berdampak negatif terhadap produksi sektor pertanian maupun sektor industri manufaktur. Dengan menurunnya produksi pada sektor-sektor tersebut, jelas mengakibatkan penurunan pertumbuhan kesempatan kerja. Di samping itu juga dapat berdampak terhadap perdagangan luar negeri terutama produk untuk ekspor karena akan menurunkan daya saing produk di luar negeri. Persoalan lain tentang keterkaitan antara perdagangan luar negeri dan pertumbuhan ekonomi. Jika ekspor ingin dijadikan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi, maka harus diupayakan kenaikan kontribusi ekspor terhadap GDP secara signifikan. Apabila hal tersebut dilihat dari Tabel 1, tampak bahwa kontribusi ekspor cenderung terus meningkat, mulai tahun 2005 hingga tahun 2009, kontribusi ekspor cukup tinggi, yakni di atas 40 persen dari total PDB. Walaupun angka ini cukup besar jika dibandingkan dengan kontribusi investasi dan impor, namun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan peranan 10 konsumsi rumah tangga 58 persen, sementara kontribusi investasi mulai tahun 2005 hinggga tahun 2009 juga meningkat, walaupun kenaikannya agak lambat. Dari gambaran latar belakang di atas, perlu untuk dilakukan pengkajian yang lebih mendalam mengenai pentingnya perdagangan luar negeri, terutama terhadap peranan ekspor komoditi pertanian dan ekspor manufaktur dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan neraca perdagangan di Indonesia, maupun kinerja makroekonomi yang lebih luas di Indonesia. 1.2. Perumusan Masalah Sebagai negara yang menganut sistim ekonomi terbuka, perdagangan luar negeri yang terdiri dari ekspor dan impor sangat penting peranannya dalam kegiatan perekonomian Indonesia. Dari ekspor dapat dihasilkan pendapatan devisa yang menjadi salah satu sumber penerimaan untuk pembiayaan impor. Kegiatan impor dilakukan, karena penguasaan teknologi masih sangat terbatas, sehingga untuk meningkatkan proses pertumbuhan, sarana produksi berupa barang-barang modal dan bahan baku sebagian besar masih harus diimpor. Pentingnya peranan ekspor dan impor bagi perekonomian Indonesia merupakan gambaran adanya keterkaitan secara langsung antara perekonomian dalam negeri dengan sektor perdagangan luar negeri. Sehingga jika terjadi perubahan di pasaran internasional, baik harga komoditi maupun permintaan internasional, seperti bahan bakar minyak dan komoditi primer lainnya, maka akan memberikan dampak yang berat terhadap ekspor dan impor, yang juga akan berdampak terhadap produsen terutama yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan komoditi ekspor tersebut, dan akhirnya akan mempengaruhi 11 pertumbuhan ekonomi Indonesia. Fenomena ini menggambarkan besarnya ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap perdagangan luar negeri. Untuk melihat secara empiris peranan perdagangan luar negeri terhadap perekonomian, menurut (Yusop, 2001) dapat dilihat dari rasio ketergantungan antara penjumlahan ekspor dan impor terhadap PDB riil. Untuk kasus Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Kolom terakhir Tabel 1, memberikan gambaran bahwa ketergantungan PDB riil terhadap perdagangan luar negeri secara kuantitatif masih relatif kecil jika dibandingkan dengan kondisi di negara Malaysia. Akan tetapi Indonesia sebagai ekonomi terbuka negara kecil, secara kualitatif pengaruhnya sangat besar terhadap perekonomian dalam negeri. Oleh karena itu yang menjadi masalah adalah sejauh mana sektor perdagangan luar negeri dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Tabel 2. Ratio Perdagangan Luar Negeri (Ekspor+Impor) terhadap PDB Riil Indonesia Tahun 1997-2009 Tahun 1997 1998 1999 2000 2002 2003 2005 2006 2007 2008 2009 PDB Riil1 Ekspor2 Impor2 Rasio Ketergantungan (Rp Miliar) (a) 383792.00 413798.00 433246.00 376375.00 397666.00 411132.00 444547.00 467664.00 493295.00 554266.00 581980.00 (Rp Miliar) (b) 45418.00 49814.90 53443.60 48847.60 62124.00 56320.90 61058.30 72164.50 85661.10 85797.10 77483.20 (Rp Miliar) (c) 40628.70 42928.50 41679.80 27336.90 33514.80 30962.10 32550.70 46524.50 57703.90 84021.70 71437.40 (%) [(b + c)/a] 0.22 0.22 0.22 0.2 0.24 0.21 0.21 0.25 0.28 0.31 0.26 Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 1998-2010 Keterangan : 1 PDB atas Harga Konstan Tahun 1993 dengan Migas 2 Ekspor dan Impor Barang termasuk Migas. Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa bagi banyak negara termasuk Indonesia, perdagangan luar negeri mempunyai peran yang sangat penting, karena 12 dengan melakukan perdagangan, produksi nasional dapat ditingkatkan. Sedangkan produksi yang hanya dipasarkan di dalam negeri sangat terbatas. Sebagaimana dikemukakan oleh Kindleberger dan Lindert (1983), bahwa dengan dibukanya hubungan dagang dengan luar negeri, akan memberikan pengaruh terhadap perekonomian dalam negeri baik pengaruh terhadap konsumsi, pengaruh terhadap produksi, maupun pengaruh pada distribusi pendapatan masyarakat. Pengaruh terhadap konsumsi berarti bahwa, dengan adanya hubungan perdagangan dengan negara lain, maka masyarakat dapat mengkonsumsi barang lebih banyak daripada sebelum ada perdagangan dengan luar negeri. Perdangan luar negeri memiliki pengaruh terhadap sektor produksi di dalam negeri. Karena dengan perdagangan luar negeri dapat menimbulkan spesialisasi produksi bagi masing-masing negara yang memiliki keunggulan komparatif. Sehinggga dapat meningkatkan volume perdagangan dari masingmasing negara. Sekalipun demikian spesialisasi produksi tidak berarti hanya terpusat pada peningkatan suatu komoditi tertentu saja, tapi setiap negara juga akan menambah jenis produk yang diperdagangkan (diversifikasi produk). Kenaikan produksi karena adanya perdagangan luar negeri dapat menggerakkan kegiatan perekonomian dalam negeri yang lebih luas. Karena dengan meningkatnya produksi dan meningkatnya volume perdagangan akan meningkatkan penggunaan input-input produksi. Misalnya penggunaan input tenaga kerja yang semakin meningkat, investasi meningkat, dan peningkatan penggunaan bahan baku, termasuk peningkatan penggunaan bahan baku penolong dan barang-barang kapital yang berasal dari impor. Peningkatan penggunaan input produksi, berarti akan meningkatkan pendapatan faktor-faktor produksi. 13 Peningkatkan pendapatan riil masyarakat akibat perdagangan luar negeri menjadi salah satu sumber dana untuk investasi. Sehingga dengan meningkatnya investasi dapat meningkatkan produksi dan pertumbuhan ekonomi. Inilah inti dari pengaruh perdagangan luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu melalui proses peningkatan produksi dan investasi. Namun yang menjadi pertanyaan adalah berapa persen kenaikan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh perdagangan luar negeri. Menurut Adam Smith dalam (Sukirno, 2000), perdagangan luar negeri berarti memperluas pasar bagi produk-produk dalam negeri yang semula hanya terbatas dipasarkan di dalam negeri saja. Sehingga dengan adanya perdagangan luar negeri sumber-sumber daya yang potensial (tanah, tenaga kerja, investasi, dan sumberdaya alam) dapat ditingkatkan penggunaannya. Sehingga konsep vent for surplus dapat diartikan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat terdorong melalui perdagangan luar negeri yang lebih luas. Peningkatan produksi memerlukan investasi, oleh karena itu peningkatan penggunaan sumberdaya potensial memerlukan investasi yang besar. Untuk memenuhi investasi yang besar tersebut, selain berusaha meningkatkan investasi yang berasal dari dalam negeri, pemerintah juga mendatangkan investor luar negeri, misalnya melalui penanaman modal asing (PMA). Dengan demikian dapat meningkatkan skala produksi yang lebih besar dan dilakukan dengan cara yang lebih efisien (economic of scale). Agar peningkatan produksi dapat dilakukan secara efisien, berarti akan lebih banyak menggunakan teknologi dalam proses produksi, baik yang dibawa melalui masuknya PMA maupun teknologi yang di impor misalnya mesin-mesin. Proses produksi dengan menggunakan teknologi 14 tersebut, akan meningkatkan produktivitas. Di samping itu peningkatan produktivitas terjadi karena proses produksi dan perdagangan berlangsung terus menerus (learning by doing process), sehingga pada akhirnya perdagangan luar negeri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yaitu melalui peningkatan produksi dan peningkatan investasi. Namun bagi Indonesia memiliki pengalaman yang berbeda dengan konsep di atas. Karena walaupun investasi PMA yang masuk pada tahun 1990-an cukup banyak, namun kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Karena yang terjadi adalah ketergantungan yang sangat tinggi terhadap impor bahan baku dan barangbarang modal termasuk industri pengolahan yang padat karya. Ketergantungan tersebut akibat dari tidak diciptakannya suplai domestik, peralihan teknologi yang sangat terbatas, proses peningkatan kemampuan perusahaan-perusahaan lokal dalam pengembangan produk, serta membangun jaringan pemasaran sangat lambat. Kemampuan lain yang tidak tercipta di Indonesia adalah tidak memiliki industri berteknologi menengah yang dapat menciptakan produk antara, sehingga dalam melakukan ekspor barang hasil pertanian tertentu, belum mampu menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi, misalnya karet alam, produk ekspornya tidak dapat diterima langsung di negera Jepang, sehingga Indonesia hanya mampu mengekspornya ke Singapura, kemudian Singapura melakukan ekspor ke Jepang. Pada sisi lain perkembangan perdagangan luar negeri, baik ekspor maupun impor sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, misalnya terjadi depresiasi rupiah, maka secara teoritis akan meningkatkan ekspor dan akan menurunkan impor. Dengan demikian 15 perkembangan ekspor dan impor (perdagangan luar negeri) akan mengalami fluktuasi. Seperti dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (2004), bahwa setelah Indonesia mengalami krisis menjelang akhir tahun 1997, total ekspor Indonesia cenderung berfluktuasi hingga tahun 2003. Kondisi tersebut terjadi baik terhadap ekspor non migas mapun terhadap ekspor migas. Penerimaan dari ekspor mengalami penurunan mencapai titik terendah pada tahun 1998 dengan laju pertumbuhan ekspor -8.6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan ekspor di atas sangat erat kaitannya dengan perkembangan nilai tukar rupiah terutama terhadap dolar Amerika. Selama tahun 1998 kurs nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika melemah hingga mencapai level Rp 11.592 per dolar yang terjadi pada triwulan kedua tahun 1998. Di samping nilai tukar dollar Amerika serikat, perdagangan luar negeri juga erat kaitannya dengan tingkat inflasi di dalam negeri yang juga dapat menentukan perkembangan perdagangan luar negeri, baik ekspor maupun impor. Apabila di dalam negeri terjadi inflasi yang tinggi, berarti akan menurunkan efisiensi produksi di dalam negeri. Sehingga daya saing produk ekspor Indonesia di luar negeri menurun, akibatnya nilai ekspor juga akan mengalami penurunan, di lain pihak impor akan meningkat, karena harga barang-barang impor tertentu menjadi lebih murah dibandingkan dengan di dalam negeri. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (2004), bahwa pada saat krisis tahun 1998 tingkat inflasi di Indonesia mencapai 77.63 persen, sehingga mengakibatkan harga-harga barang untuk ekspor non migas di dalam negeri meningkat. Dengan meningkatnya harga-harga barang di dalam negeri menyebabkan minat eksportir untuk melakukan penawaran ekspor berkurang. 16 Karena kondisi ini dirasakan lebih menguntungkan menjual produknya di dalam negeri. Di samping itu yang menjadi penyebab lainnya diperkirakan karena menurunnya impor barang-barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat domestik, baik untuk barang-barang konsumsi, bahan baku penolong, maupun barang-barang modal. Akibatnya kapasitas produksi dalam negeri yang menggunakan input-input dari impor juga menurun, sehingga penawaran ekspor juga mengalami penurunan. Kondisi seperti ini tidak sejalan dengan teori, karena biasanya jika inflasi di dalam negeri tinggi maka impor akan cenderung meningkat. Membaiknya kondisi perekonomian Indonesia tahun 2000, ternyata pada tahun 2001 ekspor Indonesia kembali mengalami penurunan hingga mencapai 7.76 persen dibandingkan tahun 2000. Penurunan ini kemungkinan disebabkan oleh naiknya tingkat inflasi hingga mencapai 12.58 persen. Penurunan ekspor ini, terutama ekspor non migas Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi produksi nasional yang cenderung tidak kompetitif di pasaran luar negeri, karena biaya produksi di dalam negeri masih relatif tinggi. Daya saing Indonesia pada tahun 2002 merosot hingga ke peringkat 47 dari urutan sebelumnya ke 39. Indonesia masih sangat tergantung pada bahan-bahan impor dari luar negeri. Impor di Indonesia dapat dikelompokkan atas dasar tujuan penggunaannya, yaitu menjadi tiga golongan komoditas yaitu barang-barang konsumsi, bahan baku penolong, dan barang-barang modal seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3. Dari Tabel 3, nampaknya pada periode krisis, pembelian terhadap barang-barang impor Indonesia selama periode tahun 1998 sampai 2003 mengalami penurunan menjadi rata-rata sebesar 2.81 persen per 17 tahun dari sebelumnya rata-rata 8.03 persen. Penurunan ini disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama terhadap USD, di samping itu juga disebabkan oleh penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Walaupun demikian jika dilihat dari peranan masing-masing golongan komoditas impor terhadap total impor Indonesia selama periode tahun 1993 sampai tahun 2002, maka Impor bahan baku penolong rata-rata memiliki kontribusi sebesar 74.1 persen per tahun, sedangkan barang modal memiliki kontribusi rata-rata sebesar 19.2 persen per tahun, dan barang-barang konsumsi rata-rata sebesar hanya 6.7 persen per tahun Tingginya pengeluaran untuk permintaan impor untuk bahan baku penolong di Indonesia, menunjukkan bahwa industri dalam negeri sangat tergantung pada bahan baku dari luar negeri. Tabel 3. Nilai Impor Indonesia Menurut Golongan Barang Ekonomi Tahun 1993– 2009 (Juta US $) Tahun 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2003 2005 2007 2008 2009 Barang Konsumsi 2805.9 2166.3 1917.7 2468.3 2718.7 2251.2 2650.2 2862.8 4620.5 2539.1 8303.7 6752.6 Bahan Baku/ Penolong 30469.7 30229.5 19611.8 18475.0 26018.7 23879.4 24227.5 25496.3 44792 56454.7 99492.7 69638.1 Barang Modal 9652.9 9284.0 5807.4 3060.0 4777.4 4831.5 4410.9 4191.5 8288.4 11449.6 21400.9 20438.5 Jumlah 42928.5 41679.8 27336.9 24003.3 33514.8 30962.1 31288.9 32550.7 57700.9 74473.4 129197.3 96829.2 Sumber : Badan Pusat Statistik, Indikator Ekonomi, Tahun 1992-2011. Ratnawati (1996) mengatakan, dominasi impor oleh bahan baku, bahan penolong dan barang modal memperlihatkan bahwa struktur produk dan industri manufaktur masih memiliki kandungan impor yang sangat tinggi dan 18 mencerminkan masih berjalannya kebijakan substitusi impor di Indonesia. Impor bahan baku dan barang modal untuk sektor pertanian adalah pupuk dan pestisida. Kebijakan perdagangan melalui substitusi impor tersebut menurut Krugman dan Obstfeld (2000) tidak akan menyebabkan negara-negara tersebut menjadi maju, bahkan pendapatan perkapita tidak akan meningkat. Sedangkan menurut Gillis, et al. (1992) bahwa kebijakan substitusi impor adalah merupakan substitusi produk dalam negeri dengan produk impor yang merupakan produk industri manufaktur. Kebijakan ini merupakan strategi yang mencakup peningkatan impor untuk komoditi tertentu, terutama yang belum mampu sepenuhnya diproduksi di dalam negeri seperti impor teknologi, manajemen, dan kapital yang digunakan untuk sarana produksi baik oleh industri lokal maupun asing yang melakukan investasi di Indonesia, dan menjalankan kebijakan proteksi dengan mengenakan hambatan tarif dan kuota impor untuk melindungi industri lokal yang diberi kesempatan untuk berkembang pada awal produksi industri tersebut berproduksi. Strategi kebijakan substitusi impor dan sistim proteksi yang diterapkan menyebabkan kegagalan perkembangan perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kegagalan tersebut akibat dari pemberian fasilitas dan perlindungan yang berlebihan, dan cenderung padat modal, sehingga kurang menyerap tenaga kerja dan bahkan menghambat perkembangan industri kecil yang justru banyak menyerap tenaga kerja. Menurut Hadi (2001) kebijakan substitusi impor yang merupakan bagian dari kebijakan perdagangan untuk mendorong industri manufaktur dapat menyebabkan industri kecil dan sektor pertanian atau sektor primer pada 19 umumnya menjadi kurang berkembang, akibat kebijakan perdagangan luar negeri terhadap produk industri manufaktur yang cenderung protektif, walaupun jika digabungkan dengan komoditas lain termasuk migas perkembangan neraca perdagangan Indonesia selalu positif. Melihat pengalaman Indonesia yang kurang berhasil dalam menerapkan strategi substitusi impor, maka badan-badan dunia IMF, World Bank telah menyarankan agar Indonesia menerapkan strategi promosi ekspor. Strategi ini justru berusaha untuk menghilangkan berbagai hambatan terhadap perdagangan luar negeri, baik terhadap ekspor maupun impor. Di lain pihak impor akan menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Dengan demikian perkembangan ekspor dan impor, baik di sektor pertanian maupun di sektor industri manufaktur, akan ditentukan oleh kebijakan suku bunga di dalam negeri, dan suku bunga sangat berpengaruh terhadap produksi di dalam negeri, yang berarti akan mempengaruhi kinerja makroekonomi Indonesia. Sebenarnya masih banyak faktor yang merupakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi. Menurut Djojohadikusumo (1994) bahwa sumbersumber pertumbuhan ekonomi sebenarnya cukup banyak misalnya: investasi, baik investasi pemerintah, swasta dalam negeri, maupun investasi asing, ekspor dan impor, tabungan, baik tabungan pemerintah maupun swasta, dan produktivitas tenaga kerja. Namun demikian secara teoritis sumber perumbuhan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu : Pengeluaran investasi, pengeluaran pemerintah, dan perkembangan ekspor dan impor. Oleh karena itu, jika diperhatikan dari pendapat tersebut tidak termasuk peran pengeluaran konsumsi masyarakat. 20 Dilihat dari pola perkembangan bentuk lain, pertumbuhan ekonomi juga dapat dilihat dari distribusi PDB berdasarkan sektor yang mencerminkan adanya perubahan dalam struktur perekonomian Indonesia, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4. Dari Tabel 4, nampak bahwa setelah tahun 1993 kontribusi sektor pertanian menunjukkan kecenderungan menurun, namun secara absolut terus meningkat dan sektor industri pengolahan cenderung meningkat, sehingga memang telah terjadi transformasi ekonomi dari periode sebelumnya. Jika Tabel 4 dikelompokkan kedalam tiga sektor, yaitu sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier, maka sektor tersier cenderung meningkat dengan share yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sektor primer dan sektor sekunder. Perkembangan sektor sekunder dan sektor tersier diperkirakan sangat dipengaruhi oleh arus globalisasi sehingga perkembangan kedua sektor tersebut lebih cepat dibandingkan dengan sektor primer. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya perdagangan mata uang asing, aliran barang yaitu melalui ekspor dan impor, serta aliran modal sehingga mendorong pertumbuhan kedua sektor tersebut lebih cepat. Tabel 4. Distribusi Persentase PDB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 1993 – 2009 (%) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik. Gas. Air Bersih Konstruksi Perdagangan. H dan R Pengangkutan Keuangan dan Real E Jasa-Jasa PDB 1993 17.88 9.55 22.3 1.00 6.83 16.77 7.05 8.5 10.12 100.00 1995 15.42 9.12 24.71 1.18 7.96 16.79 7.18 8.79 8.85 100.00 1998 17.28 9.93 25.22 1.48 5.59 16.04 7.17 7.52 9.77 100.00 2000 17.13 9.72 26.11 1.61 5.81 15.84 7.06 6.92 9.8 100.00 Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1994-2010 2007 14.54 9.29 28.1 0.69 5.91 16.38 6.29 9.46 9.34 100.00 2008 14.56 9.59 28.39 0.57 5.86 16.66 5.85 9.41 9.11 100.00 2009 14.53 9.53 28.43 0.54 5.86 16.69 5.86 9.46 9.10 100.00 21 Dari perkembangan berbagai sektor di atas. menurut Siregar (2002) dengan menggunakan model error corection (ECM). dalam jangka panjang share sektor pertanian akan terus menurun dan akan mencapai keseimbangan pada kisaran 11 persen. share sektor industri sekitar 21 persen. dan sektor perdagangan meningkat mencapai 43 persen. serta share sektor lainnya sebesar 25 persen. Meningkatnya pertumbuhan sektor perdagangan yang merupakan bagian dari sektor tersier atau jasa adalah disebabkan oleh perkembangan ekspor dan impor yang terjadi selama kurun waktu tiga puluh tahun terakhir. Sampai awal tahun 1980-an ekspor Indonesia masih didominasi oleh minyak dan gas bumi (migas). baru setelah tahun 1985 peranan ekspor non migas menjadi dominan. hal ini disebabkan oleh adanya deregulasi dan debirokratisasi yang memacu terjadinya kenaikan kredit perbankan termasuk kredit ekspor. dan mulai masuknya arus modal dari luar negeri sehingga di samping ekspor non migas. impor non migas juga terus meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi masyarakat. Perdagangan luar negeri yang terkait dengan ekspor dan impor sangat penting peranannya dalam perekonomian Indonesia. Dari ekspor dapat dihasilkan pendapatan devisa. di samping akan menentukan nilai tukar rupiah di dalam negeri. juga menjadi salah satu sumber penerimaan untuk pembiayaan impor. Di samping ekspor. impor juga berperan penting dalam kegiatan pembangunan di Indonesia. Karena sarana produksi sebagian besar masih diimpor. terutama bahan baku/penolong. barang modal. dan teknologi yang belum dapat atau belum cukup diproduksi di Indonesia. Dalam upaya meningkatkan peranan perdagangan luar negeri tersebut. menurut Halwani (2002) pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan 22 dibidang perdagangan luar negeri antara lain sebagai berikut : (1) Kebijakan Inpres No.4 Tahun 1985 tentang penurunan tarif jasa pelabuhan, (2) paket kebijakan 6 Mei 1986 tentang upaya peningkatan daya saing kawasan berikat. dan fasilitas bea masuk, (3) paket kebijakan 15 Januari 1987 tentang penyederhanaan penurunan dan pembebasan tarif impor, (5) paket kebijakan 24 Desember 1987 tentang penyederhanaan dan pemberian fasilitas kepada importir untuk produkproduk ekspor, (6) paket kebijakan 21 Nopember 1988 tentang deregulasi perdagangan, (7) paket kebijakan 28 Mei 1990 tentang penurunan biaya tinggi di Indonesia, (8) paket kebijakan 23 Oktober 1993 tentang paket deregulasi dibidang ekspor, impor, dan tarif impor, (9) paket kebijakan 19 Mei 1994 tentang penghapusan 27 jenis tarif impor, (10) paket kebijakan 23 Mei 1995 tentang penurunan pos tarif bea masuk sebanyak 64.16 persen dari 9398 pos tarif, (11) paket kebijakan 3 Nopember 1997 tentang peningkatan dayasaing produksi di pasaran luar negeri. Berbagai paket kebijakan tersebut di atas bertujuan untuk meningkatkan kontribusi ekspor non migas terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Karena dengan kebijakan tersebut berarti pemerintah mengurangi berbagai hambatan dan mengurangi berbagai biaya pungutan yang sebelumnya merupakan penghambat aliran barang dari dan ke luar negeri. sehingga komoditas ekspor non migas Indonesia tidak mampu bersaing di pasaran luar negeri. Dengan demikian kebijakan deregulasi akan memperlancar arus barang ke luar negeri dan dengan menurunnya biaya ekonomi. baik yang bersumber dari biaya birokrasi maupun akibat dampak inflasi. maka diharapkan dapat meningkatkan daya saing ekspor Indonesia sehingga ekspor non migas meningkat. 23 Berdasarkan penjelasan di atas, keterkaitan antara perdagangan luar negeri baik ekspor maupun impor dengan pertumbuhan ekonomi khususnya, dan kinerja makroekonomi pada umumnya dapat dijelaskan melalui perubahan produksi di dalam negeri, perubahan ekspor, dan perubahan impor. Perubahan produksi di dalam negeri akan meningkatkan penggunaan input tenaga kerja dan kapital, serta input-input lainnya, termasuk peningkatan penggunaan input yang berasal dari impor. Sedangkan perubahan perdagangan luar negeri sangat ditentukan oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serta kebijakan yang terkait dengan perdagangan luar negeri. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa, secara teoritis terdapat beberapa sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk mencari alternatif sumber pertumbuhan ekonomi yang dapat menggerakkan makroekonomi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Perdagangan luar negeri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang dapat diharapkan karena peranannya yang sangat luas dalam meningkatkan kinerja makroekonomi di dalam negeri Indonesia, termasuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesempatan kerja. Jika dilihat dari perkembangan ekspor pertanian dan ekspor manufaktur, telah menunjukkan kecenderungan yang meningkat, walaupun terkadang juga mengalami fluktuasi akibat dari pengaruh perkembangan ekonomi, baik di dalam negeri sendiri maupun dari luar negeri seperti halnya yang terjadi terhadap penurunan ekspor produk manufaktur akibat krisis ekonomi. Sektor perdagangan luar negeri, terutama sektor pertanian dan sektor industri manufaktur merupakan potensi yang dapat mendorong pertumbuhan makroekonomi Indonesia. 24 Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, yakni tentang keterkaitan antara perdagangan luar negeri dan kinerja makroekonomi di Indonesia, maka yang akan menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaruh fluktuasi ekspor produk pertanian, ekspor produk agroindustri dan non agroindustri terhadap kinerja makroekonomi Indonesia, serta sektor mana yang memiliki pengaruh lebih besar. 2. Bagaimana perkembangan ekspor pertanian, ekspor industri manufaktur, dan kinerja makroekonomi Indonesia, dan 3. Kebijakan apakah yang dapat mendorong peningkatan kinerja makroekonomi Indonesia. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis pengaruh ekspor produk pertanian, ekspor produk agroindustri dan non agroindustri terhadap kinerja makroekonomi Indonesia. 2. Mendeskripsikan perkembangan ekspor pertanian, ekspor industri manufaktur, dan kinerja makroekonomi Indonesia. 3. Merumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan kinerja makroekonomi Indonesia. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Dari latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan di atas. maka cakupan penelitian ini dibatasi oleh berbagai kriteria sebagai berikut. Konsep pertumbuhan ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lebih ditekankan pada pendekatan agregate supply (AS). yaitu konsep yang diturunkan dari fungsi produksi agregatif Neo Klasik. dimana produksi ditentukan oleh tenaga kerja dan kapital. serta teknologi. Kendatipun demikian dalam 25 pembahasannya sisi aggregate demand (AD) akan digunakan sebagai pelengkap. karena variable-variabel perdagangan luar negeri yaitu ekspor dan impor merupakan bagian dari sisi permintaan agregat. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan perdagangan luar negeri dibatasi pada ekspor komoditas pertanian. ekspor non agroindustri dan ekspor agroindustri. Pemisahan variabel ekspor menjadi tiga variabel tersebut bertujuan untuk melihat kontribusi masing-masing terhadap kinerja makroekonomi Indonesia. Sedangkan pengertian kinerja makroekonomi mencakup variabel produk domestik bruto riil, net ekspor, inflasi, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Data series waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah data nasional series triwulan yang dibatasi dalam kurun waktu mulai dari triwulan 1 Tahun 1990 sampai triwulan 4 Tahun 2009. 1.5. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain : 1. Tidak memasukkan variabel tenaga kerja dan kapital dalam model yang digunakan. Pada hal pembentukan model dalam penelitian ini dilandasi oleh konsep fungsi produksi sebagimana halnya yang dilakukan oleh banyak peneliti (Yousif , 1999; Doraisami, 2001; Medina dan Smith, 2001; Awokuse, 2002; Silvester dan Herzer, 2005). Dalam konsep fungsi produksi, berarti terdapat variabel penjelas tenaga kerja dan kapital atau investasi yang merupakan variabel utama sebagai variabel penentu produksi, dalam hal ini GDP. Sehingga hasil analisis induktif menjadi tidak sejalan dengan pembahasan pada analisis deduktif, karena hasil analisis yang diperoleh tidak membeikan informasi pengaruh ekspor terhadap kesempatan kerja dan investasi di dalam negeri. Tidak dimasukkannya kedua variabel tersebut karena ketiadaan data 26 dalam series tiga bulanan, terutama data tenaga kerja yang telah bekerja, data yang disediakan oleh BPS adalah data tahunan, bahkan data tahunan tersebut hanya merupakan data hasil survey. Sedangkan data investasi juga tersedia dalam tahunan. 2. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini sangat bersifat agregatif, sehingga menyebabkan hasil yang diperoleh menjadi kurang operasional, karena masih bersifat sangat makro, kurang persolan-persoalan membahas ke bagian sektoral yang lebih menggambarkan mikro. Dengan demikian hasil penelitian pada tataran makroekonomi belum tentu searah dengan kebijakan pada kondisi mikro atau perusahaan. 3. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini tidak membahas masalah aspek kelembagaan, pada hal aspek kelembagaan dalam penelitian tentang hubungan antara perdagangan luar negeri dengan kinerja makroekonomi sangat penting, karena terdapat beberapa institusi yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam mata rantai perdagangan luar negeri, misalnya mulai dari produksi, tata niaga, supplier, eksportir, pemerintah, hingga ke sistim pembayaran, kesemua lembaga tersebut dapat menggambarkan peranan masing-masing dalam menentukan kinerja makroekonomi Indonesia.