I. PENDAHULUAN Pada awal setiap tahun

advertisement
I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pada awal setiap tahun anggaran, pemerintah Indonesia selalu menetapkan
indikator makroekonomi yang menjadi target untuk dicapai tahun berjalan.
Indikator makroekonomi yang menjadi sasaran utama untuk dicapai adalah
pertumbuhan ekonomi, karena dianggap pertumbuhan ekonomi menjadi titik
sentral bagi perkembangan kegiatan perekonomian secara menyeluruh. Bila
tercipta pertumbuhan ekonomi, mengindikasikan bahwa berbagai sisi kegiatan
ekonomi mengalami peningkatan sehingga dicapai tingkat produksi dan aktivitas
yang lebih tinggi. Keadaan ini sekaligus mengatasi masalah utama pembangunan
yaitu pengangguran.
Djojohadikusumo (1994) menyatakan jika terjadi pertumbuhan ekonomi
yang optimal, berarti aktivitas perekonomian akan meningkat yang ditandai
dengan kenaikan pemanfaatan sumber daya dan dana yang tersedia. Salah satu ciri
optimalisasi pada proses pertumbuhan adalah terkait dengan fungsi kesejahteraan
masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi optimal merupakan salah satu indikator kemajuan
dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Jika suatu negara mengalami
pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun berarti negara tersebut berhasil dan
berprestasi dalam pembangunan karena dapat mengendalikan kegiatan ekonomi
dalam jangka pendek, dan dapat mengembangkan ekonominya dalam jangka
panjang (Sukirno, 2000).
2
Indonesia pernah mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada akhir
tahun 1980-an hingga tahun 1996. Namun menjelang akhir tahun 1997 hingga
awal tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi dan keuangan. Kondisi
tersebut membuat proses pembangunan ekonomi terasa terhenti, bahkan
mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada tahun 1998 (Tambunan, 2002).
Semenjak krisis tersebut dirasakan sangat sulit untuk mengembalikan kondisi
perekonomian seperti pada masa sebelum krisis yang ditandai dengan tingkat
pertumbuhan tinggi diberbagai sektor ekonomi, tingkat pengangguran yang relatif
rendah, serta tingkat inflasi yang cukup terkendali, walaupun dilihat dari distribusi
pendapatan kurang memuaskan.
Krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi di Indonesia menunjukkan
adanya pengaruh perkembangan global terutama di bidang keuangan, investasi,
dan perdagangan. Hal ini juga memperlihatkan adanya ketergantungan kita pada
perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama mata uang dolar
Amerika Serikat yang telah dijadikan sarana transaksi dalam perdagangan antar
negara.
Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sangat
mempengaruhi kegiatan perdagangan luar negeri dan dalam negeri Indonesia. Hal
ini karena Indonesia sebagai negara ekonomi terbuka, juga sebagai salah satu
negara anggota world trade organization (WTO), yang kegiatannya terkait dengan
perdagangan luar negeri. Dalam era perdagangan bebas di mana hubungan
perdagangan antar negara menjadi faktor dominan, kebijakan perdagangan
terutama perdagangan luar negeri menjadi sangat penting. Kebijakan yang
diterapkan harus sejalan dengan ketentuan-ketentuan di bidang perdagangan
3
internasional yang telah disepakati bersama. Di sisi lain kebijakan tersebut harus
mendukung pertumbuhan ekonomi di dalam negeri terutama sektor riel, sehingga
dapat mempercepat masa recovery dari keterpurukan akibat krisis ekonomi yang
telah berlangsung semenjak tahun 1997.
Seperti diketahui bahwa walaupun era perdagangan bebas yang diterapkan
oleh negara-negara maju melalui kesepakatan APEC pada tahun 2010, kemudian
akan diikuti oleh negara-negara berkembang pada tahun 2020. Akan tetapi blok
perdagangan regional ASEAN melalui kesepakatan AFTA, perdagangan bebas
telah dimulai sejak tahun 2003. Era perdagangan bebas adalah era persaingan,
oleh sebab itu Indonesia harus meningkatkan produktivitas dan efisiensi di setiap
sektor terutama yang menunjang peningkatan daya saing produk Indonesia di
pasar dunia.
Menghadapi hal tersebut pemerintah melalui Kementerian Perdagangan
telah mencanangkan kebijakan ekonomi yang strategis dan berpandangan ke
depan melalui kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi. Kebijakan ini
digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing
produk ekspor non migas Indonesia menghadapi globalisasi perdagangan dunia
yang semakin cepat dan dinamis. Diversifikasi pasar dan diversifikasi produk
dijadikan strategi dasar untuk menghadapi persaingan global. Untuk itu programprogram yang dilakukan pemerintah adalah peningkatan ekspor non migas
terutama bagi produk-produk yang berbasis sumber daya lokal, pemberdayaan
dunia usaha terutama Usaha Kecil Menengah (UKM) yang berorientasi ekspor
serta peningkatan kapasitas produksi yang menjadi program prioritas di bidang
perdagangan luar negeri.
4
Kebijakan umum di bidang perdagangan luar negeri pada dasarnya terdiri
dari kebijakan perdagangan ekspor dan kebijakan perdagangan impor. Kebijakan
tersebut merupakan implementasi dari fungsi pemerintah di sektor perdagangan
seperti fungsi trade advocacy, market penetration, dan market acces.
Perdagangan bebas merupakan tantangan baru dalam perekonomian internasional
dan diperkirakan dengan adanya perdagangan bebas suatu kegiatan perekonomian
akan mampu mendorong laju peningkatan pendapatan perkapita masyarakat pada
setiap negara yang terlibat. Peningkatan pendapatan per kapita di kawasan Asia
Pasifik terutama pada negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara,
adalah akibat perdagangan bebas di kawasan tersebut. Perdagangan bebas pada
kawasan ini telah membuka peluang bisnis lebih besar khususnya bagi bisnis
produk komoditi pertanian dan produk industri manufaktur.
Komoditi ekspor pertanian, misalnya hasil-hasil perkebunan merupakan
salah satu produksi sub-sektor pertanian yang dapat dikembangkan menjadi sektor
andalan untuk pendapatan devisa bagi negara dan sekaligus dapat digunakan
sebagai upaya untuk pemberdayaan ekonomi rakyat. Optimalisasi sumber daya
harus dilakukan dengan efisien agar kuantitas dan harga produk yang dihasilkan
mampu bersaing, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar luar negeri.
Ekspor produk industri manufaktur Indonesia masih mengandalkan bahan
baku dan barang-barang modal impor. Hal ini menyebabkan efisiensi produk
industri manufaktur tetap rendah, dan karena itu perlu selalu diperhatikan
terutama dalam hal efisiensi produksi. Walaupun pada kenyataannya masih sulit
keluar dari ketergantungan pada bahan baku dan barang modal impor, tetapi harus
ada upaya untuk mengurangi bahan baku dan barang modal impor tersebut. Jika
5
tidak maka persoalan ini akan terus menghambat kemajuan sektor industri pada
umumnya hingga masa datang karena kurang mampu bersaing. Akibatnya bukan
saja terjadi peningkatan penggunaan devisa untuk impor produk, tetapi yang lebih
utama adalah akan mendesak usaha produksi di Indonesia sehingga menjadi pasar
atau konsumen produk negara lain di negeri sendiri.
Diperkirakan
bahwa
dengan
diberlakukannya perdagangan
bebas,
perubahan dalam perekonomian akan berlangsung lebih cepat sesuai dengan
semakin bebas dan besarnya aktivitas ekonomi. Kondisi ini merupakan peluang
dan sekaligus tantangan bagi berbagai sektor pembangunan pada negara-negara
yang tergabung dalam kesepakatan perdagangan bebas termasuk Indonesia.
Perdagangan yang semakin bebas menuntut banyak hal agar produk
yang dihasilkan mampu bersaing baik dari segi kualitas maupun harga produk
yang dipasarkan. Pada sisi lain dengan semakin luasnya pilihan konsumen,
maka produk yang akan diterima oleh pasar hanya yang berkualitas dan harga
bersaing. Oleh karena itu perusahaan dituntut untuk mampu meningkatkan
efisiensi produksi dengan mengoptimalkan penggunaan berbagai sumber
daya yang ada.
Perkembangan liberalisasi ekonomi akhir-akhir ini memberikan
gambaran
bahwa
perdagangan
luar
negeri
semakin
penting
bagi
perekonomian suatu negara. Pentingnya perdagangan luar negeri sebenarnya
bukan hal yang baru. Karena semenjak teori Klasik dan Neo Klasik telah
menganggap bahwa perdagangan luar negeri merupakan pendorong yang
positip bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Demikian pula Tambunan,
(2001) menyebutkan bahwa bagi banyak negara, termasuk Indonesia,
6
perdagangan internasional mempunyai peranan yang sangat penting sebagai
motor penggerak perekonomian nasional.
Pendapat di atas telah banyak dibuktikan oleh para peneliti di berbagai
negara, misalnya (Anyamele, 2000) di Nigeria, (Hachicha, 2003) di Tunisia,
(Francis, 2003) di Caribean, (Yusop, 2001) di Malaysia. Secara umum hasil-hasil
penelitian tersebut berkesimpulan, bahwa peningkatan ekspor dapat secara
langsung mendorong ke arah pembangunan ekonomi melalui peningkatan
produksi, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun
peningkatan produksi barang-barang untuk ekspor. Selanjutnya kenaikan ekspor
akan menambah perolehan devisa yang sangat dibutuhkan untuk mengimpor
barang-barang modal dan bahan-bahan baku yang digunakan untuk meningkatkan
produksi dan ekspor lebih lanjut. Di samping itu, melalui perdagangan luar negeri
juga akan menghasilkan transfer pengetahuan yang dapat meningkatkan
produktivitas kerja, sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi.
Hubungan positip tersebut cukup beralasan, karena antara ekspor, impor,
dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang timbal balik. Perubahan
impor dapat mempengaruhi perubahan ekspor karena jika impor meningkat,
secara tidak langsung ekspor juga dapat meningkat, terutama ekspor komoditas
industri manufaktur, dimana sebagian besar bahan baku/penolong dan barangbarang modal masih di impor. Sebaliknya perkembangan ekspor juga dapat
mempengaruhi kemampuan impor. Karena jika nilai ekspor meningkat, berarti
pendapatan devisa meningkat, sehingga kemampuan impor juga meningkat, dan
jika nilai ekspor menurun maka kemampuan impor kemungkinan juga akan
menurun. Walaupun demikian baik ekspor maupun impor sangat ditentukan oleh
7
berbagai faktor seperti nilai tukar, tingkat inflasi, dan tingkat pertumbuhan
ekonomi di dalam negeri.
Dalam teori makroekonomi (Mankiw, 2000) menyebutkan bahwa terdapat
beberapa komponen yang terkait dengan pembentukan gross domestic product
(GDP) yang dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi suatu negara,
seperti investasi, konsumsi, dan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor). Oleh
karena itu kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah hendaknya
selalu berusaha untuk menciptakan suatu kondisi agar beberapa komponen GDP
dapat dijadikan motor penggerak bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Salah
satu komponen yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi
adalah bersumber dari perdagangan luar negeri.
Menurut pendapat (Tambunan, 2001a) bahwa, bagi banyak negara
termasuk Indonesia, perdagangan luar negeri khususnya ekspor, memiliki peranan
yang sangat strategis, karena ekspor dapat menjadi motor penggerak bagi
perekonomian nasional. Ekspor menghasilkan devisa yang penting untuk
membiayai impor, yakni impor bahan-bahan baku dan penolong, serta barangbarang modal. Kegiatan impor tersebut dapat meningkatkan penanaman modal
atau investasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Karena melalui
hubungan dagang bisa terjadi, suatu negera eksportir mendirikan perusahaannya
di negara importir melalui penanaman modal langsung (foreign direct investment)
(Alguacil dan Orts, 2001). Bila investasi meningkat maka kegiatan produksi akan
meningkat dan diikuti oleh penciptaan kesempatan kerja di dalam negeri sehingga
pendapatan masyarakat meningkat dan pertumbuhan ekonomi terjadi.
8
Berdasarkan laporan dari Bank Indonesia (2006), sebelum terjadi krisis
ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1993 - 1996 lebih disebabkan
oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan kontribusi
terhadap PDB rata-rata sekitar 60 persen, keadaan ini terjadi baik berdasar harga
berlaku maupun menurut harga konstan tahun 1993. Setelah terjadi krisis
ekonomi, kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap PDB ternyata
terus meningkat dengan pangsa rata-rata lebih dari 62 persen, sedangkan peranan
investasi relatif kecil, sekitar 20 persen dari total PDB, sementara di sektor luar
negeri peranan ekspor terus meningkat dari rata-rata 27 persen sebelum krisis
menjadi rata-rata 37 persen, demikian pula impor juga meningkat dari 25 persen
menjadi sekitdar 30 persen dari total PDB (Tabel 1.).
Persoalan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didominasi oleh besarnya
peranan pengeluaran konsumsi masyarakat sebenarnya manfaatnya lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh peningkatan
pengeluaran investasi maupun perdagangan luar negeri.
Tabel 1. Distribusi Persentase PDB atas Dasar Harga Konstan 1993
Menurut Penggunaannya Tahun 1993 – 2009
(%)
Jenis Pengeluaran
1993
1996
1998
1999
2002
2005
2007
2009
Pengel Konsumsi RT
58.52
62.07
69.09
71.72
61.17
60.45
61.66
57.35
9.02
7.64
7.13
7.12
7.63
7.45
7.8
8.99
Pembentukan Modal
26.23
31.06
24.87
20.19
20.73
21.32
22.28
23.42
Perubahan Inventori
3.2
0.82
-2.49
-2.54
0.69
2.41
1.05
-0.04
26.75
27.82
36.59
24.22
37.82
41.01
42.2
42.81
Pengel Pemerintah
Ekspor
Impor
-23.72
-29.41
-35.19
-20.71
-28.04
-32.64
-34.99
-32.54
PDB
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1994-20010 (data diolah)
Karena jika investasi atau ekspor yang berperan, maka di samping dapat
meningkatkan produksi dalam negeri juga dapat menyediakan kesempatan kerja
9
yang luas, sehingga dapat menciptakan kenaikan
pendapatan dan tabungan
masyarakat. Terlebih lagi jika peningkatan pengeluaran konsumsi disebabkan
oleh kebijakan pemerintah yang bersifat inflatoar, misalnya melalui kebijakan
fiskal, maka dalam jangka menengah dampak dari kebijakan tersebut justru dapat
menurunkan produksi di berbagai sektor.
Dengan menggunakan alat analisis computable general equilibrium
(CGE), Oktaviani (2001) telah melakukan penelitian dan menemukan bahwa, jika
pemerintah melakukan kebijakan fiskal yang bersifat kenaikan harga sumber
daya, misalnya kenaikan harga BBM, listrik, telepon, dan PPN, maka dalam
jangka pendek akan menjadi sumber inflasi, dan dalam jangka menengah atau
panjang akan berdampak negatif terhadap produksi sektor pertanian maupun
sektor industri manufaktur. Dengan menurunnya produksi pada sektor-sektor
tersebut, jelas mengakibatkan penurunan pertumbuhan kesempatan kerja. Di
samping itu juga dapat berdampak terhadap perdagangan luar negeri terutama
produk untuk ekspor karena akan menurunkan daya saing produk di luar negeri.
Persoalan lain tentang keterkaitan antara perdagangan luar negeri dan
pertumbuhan ekonomi. Jika ekspor ingin dijadikan sebagai motor penggerak
pertumbuhan
ekonomi, maka harus diupayakan kenaikan kontribusi ekspor
terhadap GDP secara signifikan. Apabila hal tersebut dilihat dari Tabel 1, tampak
bahwa kontribusi ekspor cenderung terus meningkat, mulai tahun 2005 hingga
tahun 2009, kontribusi ekspor cukup tinggi, yakni di atas 40 persen dari total
PDB. Walaupun angka ini cukup besar jika dibandingkan dengan kontribusi
investasi dan impor, namun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan peranan
10
konsumsi rumah tangga 58 persen, sementara kontribusi investasi mulai tahun
2005 hinggga tahun 2009 juga meningkat, walaupun kenaikannya agak lambat.
Dari gambaran latar belakang di atas, perlu untuk dilakukan pengkajian
yang lebih mendalam mengenai pentingnya perdagangan luar negeri, terutama
terhadap peranan ekspor komoditi pertanian dan ekspor manufaktur dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi dan neraca perdagangan di Indonesia, maupun
kinerja makroekonomi yang lebih luas di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Sebagai negara yang menganut sistim ekonomi terbuka, perdagangan luar
negeri yang terdiri dari ekspor dan impor sangat penting peranannya dalam
kegiatan perekonomian Indonesia. Dari ekspor dapat dihasilkan pendapatan devisa
yang menjadi salah satu sumber penerimaan untuk pembiayaan impor. Kegiatan
impor dilakukan, karena penguasaan teknologi masih sangat terbatas, sehingga
untuk meningkatkan proses pertumbuhan, sarana produksi berupa barang-barang
modal dan bahan baku sebagian besar masih harus diimpor.
Pentingnya peranan ekspor dan impor bagi perekonomian Indonesia
merupakan gambaran adanya keterkaitan secara langsung antara perekonomian
dalam negeri dengan sektor perdagangan luar negeri. Sehingga jika terjadi
perubahan di pasaran internasional, baik harga komoditi maupun permintaan
internasional, seperti bahan bakar minyak dan komoditi primer lainnya, maka
akan memberikan dampak yang berat terhadap ekspor dan impor, yang juga akan
berdampak terhadap produsen terutama yang terkait baik langsung maupun tidak
langsung dengan komoditi ekspor tersebut, dan akhirnya akan mempengaruhi
11
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Fenomena ini menggambarkan besarnya
ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap perdagangan luar negeri.
Untuk melihat secara empiris peranan perdagangan luar negeri terhadap
perekonomian, menurut (Yusop, 2001) dapat dilihat dari rasio ketergantungan
antara penjumlahan ekspor dan impor terhadap PDB riil. Untuk kasus Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 1. Kolom terakhir Tabel 1, memberikan gambaran bahwa
ketergantungan PDB riil terhadap perdagangan luar negeri secara kuantitatif
masih relatif kecil jika dibandingkan dengan kondisi di negara Malaysia. Akan
tetapi Indonesia sebagai ekonomi terbuka negara kecil, secara kualitatif
pengaruhnya sangat besar terhadap perekonomian dalam negeri. Oleh karena itu
yang menjadi masalah adalah sejauh mana sektor perdagangan luar negeri dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Tabel 2. Ratio Perdagangan Luar Negeri (Ekspor+Impor) terhadap PDB Riil
Indonesia Tahun 1997-2009
Tahun
1997
1998
1999
2000
2002
2003
2005
2006
2007
2008
2009
PDB Riil1
Ekspor2
Impor2
Rasio
Ketergantungan
(Rp Miliar)
(a)
383792.00
413798.00
433246.00
376375.00
397666.00
411132.00
444547.00
467664.00
493295.00
554266.00
581980.00
(Rp Miliar)
(b)
45418.00
49814.90
53443.60
48847.60
62124.00
56320.90
61058.30
72164.50
85661.10
85797.10
77483.20
(Rp Miliar)
(c)
40628.70
42928.50
41679.80
27336.90
33514.80
30962.10
32550.70
46524.50
57703.90
84021.70
71437.40
(%)
[(b + c)/a]
0.22
0.22
0.22
0.2
0.24
0.21
0.21
0.25
0.28
0.31
0.26
Sumber
: Badan Pusat Statistik, Tahun 1998-2010
Keterangan : 1 PDB atas Harga Konstan Tahun 1993 dengan Migas
2
Ekspor dan Impor Barang termasuk Migas.
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa bagi banyak negara termasuk
Indonesia, perdagangan luar negeri mempunyai peran yang sangat penting, karena
12
dengan melakukan perdagangan, produksi nasional dapat ditingkatkan. Sedangkan
produksi yang hanya dipasarkan di dalam negeri sangat terbatas.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kindleberger dan Lindert (1983), bahwa
dengan dibukanya hubungan dagang dengan luar negeri, akan memberikan
pengaruh terhadap perekonomian dalam negeri baik pengaruh terhadap konsumsi,
pengaruh terhadap produksi, maupun pengaruh pada distribusi pendapatan
masyarakat. Pengaruh terhadap konsumsi berarti bahwa, dengan adanya hubungan
perdagangan dengan negara lain, maka masyarakat dapat mengkonsumsi barang
lebih banyak daripada sebelum ada perdagangan dengan luar negeri.
Perdangan luar negeri memiliki pengaruh terhadap sektor produksi di
dalam negeri. Karena dengan perdagangan luar negeri dapat menimbulkan
spesialisasi produksi bagi masing-masing negara yang memiliki keunggulan
komparatif. Sehinggga dapat meningkatkan volume perdagangan dari masingmasing negara. Sekalipun demikian spesialisasi produksi tidak berarti hanya
terpusat pada peningkatan suatu komoditi tertentu saja, tapi setiap negara juga
akan menambah jenis produk yang diperdagangkan (diversifikasi produk).
Kenaikan produksi karena adanya perdagangan luar negeri dapat
menggerakkan kegiatan perekonomian dalam negeri yang lebih luas. Karena
dengan meningkatnya produksi dan meningkatnya volume perdagangan akan
meningkatkan penggunaan input-input produksi. Misalnya penggunaan input
tenaga kerja yang semakin meningkat, investasi meningkat, dan peningkatan
penggunaan bahan baku, termasuk peningkatan penggunaan bahan baku penolong
dan barang-barang kapital yang berasal dari impor. Peningkatan penggunaan input
produksi, berarti akan meningkatkan pendapatan faktor-faktor produksi.
13
Peningkatkan pendapatan riil masyarakat akibat perdagangan luar negeri
menjadi salah satu sumber dana untuk investasi. Sehingga dengan meningkatnya
investasi dapat meningkatkan produksi dan pertumbuhan ekonomi. Inilah inti dari
pengaruh perdagangan luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu melalui
proses peningkatan produksi dan investasi. Namun yang menjadi pertanyaan
adalah berapa persen kenaikan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh
perdagangan luar negeri.
Menurut Adam Smith dalam (Sukirno, 2000), perdagangan luar negeri
berarti memperluas pasar bagi produk-produk dalam negeri yang semula hanya
terbatas dipasarkan di dalam negeri saja. Sehingga dengan adanya perdagangan
luar negeri sumber-sumber daya yang potensial (tanah, tenaga kerja, investasi, dan
sumberdaya alam) dapat ditingkatkan penggunaannya. Sehingga konsep vent for
surplus dapat diartikan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat terdorong
melalui perdagangan luar negeri yang lebih luas.
Peningkatan produksi memerlukan investasi, oleh karena itu peningkatan
penggunaan sumberdaya potensial memerlukan investasi yang besar. Untuk
memenuhi investasi yang besar tersebut, selain berusaha meningkatkan investasi
yang berasal dari dalam negeri, pemerintah juga mendatangkan investor luar
negeri, misalnya melalui penanaman modal asing (PMA). Dengan demikian dapat
meningkatkan skala produksi yang lebih besar dan dilakukan dengan cara yang
lebih efisien (economic of scale). Agar peningkatan produksi dapat dilakukan
secara efisien, berarti akan lebih banyak menggunakan teknologi dalam proses
produksi, baik yang dibawa melalui masuknya PMA maupun teknologi yang di
impor misalnya mesin-mesin. Proses produksi dengan menggunakan teknologi
14
tersebut, akan meningkatkan produktivitas. Di samping itu peningkatan
produktivitas terjadi karena proses produksi dan perdagangan berlangsung terus
menerus (learning by doing process), sehingga pada akhirnya perdagangan luar
negeri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yaitu melalui peningkatan
produksi dan peningkatan investasi.
Namun bagi Indonesia memiliki pengalaman yang berbeda dengan konsep
di atas. Karena walaupun investasi PMA yang masuk pada tahun 1990-an cukup
banyak, namun kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Karena yang terjadi
adalah ketergantungan yang sangat tinggi terhadap impor bahan baku dan barangbarang modal termasuk industri pengolahan yang padat karya. Ketergantungan
tersebut akibat dari tidak diciptakannya suplai domestik, peralihan teknologi yang
sangat terbatas, proses peningkatan kemampuan perusahaan-perusahaan lokal
dalam pengembangan produk, serta membangun jaringan pemasaran sangat
lambat. Kemampuan lain yang tidak tercipta di Indonesia adalah tidak memiliki
industri berteknologi menengah yang dapat menciptakan produk antara, sehingga
dalam melakukan ekspor barang hasil pertanian tertentu, belum mampu
menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi, misalnya karet alam, produk
ekspornya tidak dapat diterima langsung di negera Jepang, sehingga Indonesia
hanya mampu mengekspornya ke Singapura, kemudian Singapura melakukan
ekspor ke Jepang.
Pada sisi lain perkembangan perdagangan luar negeri, baik ekspor maupun
impor sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat, misalnya terjadi depresiasi rupiah, maka secara teoritis
akan meningkatkan ekspor dan akan menurunkan impor. Dengan demikian
15
perkembangan ekspor dan impor (perdagangan luar negeri) akan mengalami
fluktuasi. Seperti dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (2004), bahwa setelah
Indonesia mengalami krisis menjelang akhir tahun 1997, total ekspor Indonesia
cenderung berfluktuasi hingga tahun 2003. Kondisi tersebut terjadi baik terhadap
ekspor non migas mapun terhadap ekspor migas. Penerimaan dari ekspor
mengalami penurunan mencapai titik terendah pada tahun 1998 dengan laju
pertumbuhan ekspor -8.6 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Perkembangan ekspor di atas sangat erat kaitannya dengan perkembangan
nilai tukar rupiah terutama terhadap dolar Amerika. Selama tahun 1998 kurs nilai
mata uang rupiah terhadap dolar Amerika melemah hingga mencapai level Rp
11.592 per dolar yang terjadi pada triwulan kedua tahun 1998. Di samping nilai
tukar dollar Amerika serikat, perdagangan luar negeri juga erat kaitannya dengan
tingkat inflasi di dalam negeri yang juga dapat menentukan perkembangan
perdagangan luar negeri, baik ekspor maupun impor. Apabila di dalam negeri
terjadi inflasi yang tinggi, berarti akan menurunkan efisiensi produksi di dalam
negeri. Sehingga daya saing produk ekspor Indonesia di luar negeri menurun,
akibatnya nilai ekspor juga akan mengalami penurunan, di lain pihak impor akan
meningkat, karena harga barang-barang impor tertentu menjadi lebih murah
dibandingkan dengan di dalam negeri.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (2004), bahwa pada saat krisis
tahun 1998 tingkat inflasi di Indonesia mencapai 77.63 persen, sehingga
mengakibatkan harga-harga barang untuk ekspor non migas di dalam negeri
meningkat. Dengan meningkatnya harga-harga barang di dalam negeri
menyebabkan minat eksportir untuk melakukan penawaran ekspor berkurang.
16
Karena kondisi ini dirasakan lebih menguntungkan menjual produknya di dalam
negeri. Di samping itu yang menjadi penyebab lainnya diperkirakan karena
menurunnya impor barang-barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat domestik, baik untuk barang-barang konsumsi, bahan baku penolong,
maupun barang-barang modal. Akibatnya kapasitas produksi dalam negeri yang
menggunakan input-input dari impor juga menurun, sehingga penawaran ekspor
juga mengalami penurunan. Kondisi seperti ini tidak sejalan dengan teori, karena
biasanya jika inflasi di dalam negeri tinggi maka impor akan cenderung
meningkat.
Membaiknya kondisi perekonomian Indonesia tahun 2000, ternyata pada
tahun 2001 ekspor Indonesia kembali mengalami penurunan hingga mencapai
7.76 persen dibandingkan tahun 2000. Penurunan ini kemungkinan disebabkan
oleh naiknya tingkat inflasi hingga mencapai 12.58 persen. Penurunan ekspor ini,
terutama ekspor non migas Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi produksi
nasional yang cenderung tidak kompetitif di pasaran luar negeri, karena biaya
produksi di dalam negeri masih relatif tinggi. Daya saing Indonesia pada tahun
2002 merosot hingga ke peringkat 47 dari urutan sebelumnya ke 39.
Indonesia masih sangat tergantung pada bahan-bahan impor dari luar
negeri.
Impor
di
Indonesia
dapat
dikelompokkan
atas
dasar
tujuan
penggunaannya, yaitu menjadi tiga golongan komoditas yaitu barang-barang
konsumsi, bahan baku penolong, dan barang-barang modal seperti yang
ditunjukkan dalam Tabel 3. Dari Tabel 3, nampaknya pada periode krisis,
pembelian terhadap barang-barang impor Indonesia selama periode tahun 1998
sampai 2003 mengalami penurunan menjadi rata-rata sebesar 2.81 persen per
17
tahun dari sebelumnya rata-rata 8.03 persen. Penurunan ini disebabkan oleh
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama terhadap USD,
di samping itu juga disebabkan oleh penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Walaupun demikian jika dilihat dari peranan masing-masing golongan komoditas
impor terhadap total impor Indonesia selama periode tahun 1993 sampai tahun
2002, maka Impor bahan baku penolong rata-rata memiliki kontribusi sebesar
74.1 persen per tahun, sedangkan barang modal memiliki kontribusi rata-rata
sebesar 19.2 persen per tahun, dan barang-barang konsumsi rata-rata sebesar
hanya 6.7 persen per tahun Tingginya pengeluaran untuk permintaan impor untuk
bahan baku penolong di Indonesia, menunjukkan bahwa industri dalam negeri
sangat tergantung pada bahan baku dari luar negeri.
Tabel 3. Nilai Impor Indonesia Menurut Golongan Barang Ekonomi
Tahun 1993– 2009
(Juta US $)
Tahun
1993
1994
1996
1997
1998
1999
2000
2003
2005
2007
2008
2009
Barang
Konsumsi
2805.9
2166.3
1917.7
2468.3
2718.7
2251.2
2650.2
2862.8
4620.5
2539.1
8303.7
6752.6
Bahan Baku/
Penolong
30469.7
30229.5
19611.8
18475.0
26018.7
23879.4
24227.5
25496.3
44792
56454.7
99492.7
69638.1
Barang
Modal
9652.9
9284.0
5807.4
3060.0
4777.4
4831.5
4410.9
4191.5
8288.4
11449.6
21400.9
20438.5
Jumlah
42928.5
41679.8
27336.9
24003.3
33514.8
30962.1
31288.9
32550.7
57700.9
74473.4
129197.3
96829.2
Sumber : Badan Pusat Statistik, Indikator Ekonomi, Tahun 1992-2011.
Ratnawati (1996) mengatakan, dominasi impor oleh bahan baku, bahan
penolong dan barang modal memperlihatkan bahwa struktur produk dan industri
manufaktur masih memiliki kandungan impor yang sangat tinggi dan
18
mencerminkan masih berjalannya kebijakan substitusi impor di Indonesia. Impor
bahan baku dan barang modal untuk sektor pertanian adalah pupuk dan pestisida.
Kebijakan perdagangan melalui substitusi impor tersebut menurut
Krugman dan Obstfeld (2000) tidak akan menyebabkan negara-negara tersebut
menjadi maju, bahkan pendapatan perkapita tidak akan meningkat. Sedangkan
menurut Gillis, et al. (1992) bahwa kebijakan substitusi impor adalah merupakan
substitusi produk dalam negeri dengan produk impor yang merupakan produk
industri manufaktur. Kebijakan ini merupakan strategi yang mencakup
peningkatan impor untuk komoditi tertentu, terutama yang belum mampu
sepenuhnya diproduksi di dalam negeri seperti impor teknologi, manajemen, dan
kapital yang digunakan untuk sarana produksi baik oleh industri lokal maupun
asing yang melakukan investasi di Indonesia, dan menjalankan kebijakan proteksi
dengan mengenakan hambatan tarif dan kuota impor untuk melindungi industri
lokal yang diberi kesempatan untuk berkembang pada awal produksi industri
tersebut berproduksi.
Strategi kebijakan substitusi impor dan sistim proteksi yang diterapkan
menyebabkan kegagalan perkembangan perekonomian negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. Kegagalan tersebut akibat dari pemberian fasilitas dan
perlindungan yang berlebihan, dan cenderung padat modal, sehingga kurang
menyerap tenaga kerja dan bahkan menghambat perkembangan industri kecil
yang justru banyak menyerap tenaga kerja.
Menurut Hadi (2001) kebijakan substitusi impor yang merupakan bagian
dari kebijakan perdagangan untuk mendorong industri manufaktur dapat
menyebabkan industri kecil dan sektor pertanian atau sektor primer pada
19
umumnya menjadi kurang berkembang, akibat kebijakan perdagangan luar negeri
terhadap produk industri manufaktur yang cenderung protektif, walaupun jika
digabungkan dengan komoditas lain termasuk migas perkembangan neraca
perdagangan Indonesia selalu positif.
Melihat pengalaman Indonesia yang kurang berhasil dalam menerapkan
strategi substitusi impor, maka badan-badan dunia IMF, World Bank telah
menyarankan agar Indonesia menerapkan strategi promosi ekspor. Strategi ini
justru berusaha untuk menghilangkan berbagai hambatan terhadap perdagangan
luar negeri, baik terhadap ekspor maupun impor. Di lain pihak impor akan
menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Dengan
demikian perkembangan ekspor dan impor, baik di sektor pertanian maupun di
sektor industri manufaktur, akan ditentukan oleh kebijakan suku bunga di dalam
negeri, dan suku bunga sangat berpengaruh terhadap produksi di dalam negeri,
yang berarti akan mempengaruhi kinerja makroekonomi Indonesia.
Sebenarnya masih banyak faktor yang merupakan sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi. Menurut Djojohadikusumo (1994) bahwa sumbersumber pertumbuhan ekonomi sebenarnya cukup banyak misalnya: investasi,
baik investasi pemerintah, swasta dalam negeri, maupun investasi asing,
ekspor dan impor, tabungan, baik tabungan pemerintah maupun swasta, dan
produktivitas tenaga kerja. Namun demikian secara teoritis sumber
perumbuhan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu : Pengeluaran
investasi, pengeluaran pemerintah, dan perkembangan ekspor dan impor.
Oleh karena itu, jika diperhatikan dari pendapat tersebut tidak termasuk
peran pengeluaran konsumsi masyarakat.
20
Dilihat dari pola perkembangan bentuk lain, pertumbuhan ekonomi
juga dapat dilihat dari distribusi PDB berdasarkan sektor yang mencerminkan
adanya perubahan dalam struktur perekonomian Indonesia, seperti yang
diperlihatkan pada Tabel 4. Dari Tabel 4, nampak bahwa setelah tahun 1993
kontribusi sektor pertanian menunjukkan kecenderungan menurun, namun secara
absolut terus meningkat dan sektor industri pengolahan cenderung meningkat,
sehingga memang telah terjadi transformasi ekonomi dari periode sebelumnya.
Jika Tabel 4 dikelompokkan kedalam tiga sektor, yaitu sektor primer, sektor
sekunder, dan sektor tersier, maka sektor tersier cenderung meningkat dengan
share yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sektor primer dan sektor
sekunder. Perkembangan sektor sekunder dan sektor tersier diperkirakan sangat
dipengaruhi oleh arus globalisasi sehingga perkembangan kedua sektor tersebut
lebih cepat dibandingkan dengan sektor
primer. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya perdagangan mata uang asing, aliran barang yaitu melalui ekspor
dan impor, serta aliran modal sehingga mendorong pertumbuhan kedua sektor
tersebut lebih cepat.
Tabel 4. Distribusi Persentase PDB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut
Lapangan Usaha Tahun 1993 – 2009
(%)
Lapangan Usaha
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
Listrik. Gas. Air Bersih
Konstruksi
Perdagangan. H dan R
Pengangkutan
Keuangan dan Real E
Jasa-Jasa
PDB
1993
17.88
9.55
22.3
1.00
6.83
16.77
7.05
8.5
10.12
100.00
1995
15.42
9.12
24.71
1.18
7.96
16.79
7.18
8.79
8.85
100.00
1998
17.28
9.93
25.22
1.48
5.59
16.04
7.17
7.52
9.77
100.00
2000
17.13
9.72
26.11
1.61
5.81
15.84
7.06
6.92
9.8
100.00
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1994-2010
2007
14.54
9.29
28.1
0.69
5.91
16.38
6.29
9.46
9.34
100.00
2008
14.56
9.59
28.39
0.57
5.86
16.66
5.85
9.41
9.11
100.00
2009
14.53
9.53
28.43
0.54
5.86
16.69
5.86
9.46
9.10
100.00
21
Dari perkembangan berbagai sektor di atas. menurut Siregar (2002)
dengan menggunakan model error corection (ECM). dalam jangka panjang share
sektor pertanian akan terus menurun dan akan mencapai keseimbangan pada
kisaran 11 persen. share sektor industri sekitar 21 persen. dan sektor perdagangan
meningkat mencapai 43 persen. serta share sektor lainnya sebesar 25 persen.
Meningkatnya pertumbuhan sektor perdagangan yang merupakan bagian
dari sektor tersier atau jasa adalah disebabkan oleh perkembangan ekspor dan
impor yang terjadi selama kurun waktu tiga puluh tahun terakhir. Sampai awal
tahun 1980-an ekspor Indonesia masih didominasi oleh minyak dan gas bumi
(migas). baru setelah tahun 1985 peranan ekspor non migas menjadi dominan. hal
ini disebabkan oleh adanya deregulasi dan debirokratisasi yang memacu
terjadinya kenaikan kredit perbankan termasuk kredit ekspor. dan mulai masuknya
arus modal dari luar negeri sehingga di samping ekspor non migas. impor non
migas juga terus meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi masyarakat.
Perdagangan luar negeri yang terkait dengan ekspor dan impor sangat
penting peranannya dalam perekonomian Indonesia. Dari ekspor dapat dihasilkan
pendapatan devisa. di samping akan menentukan nilai tukar rupiah di dalam
negeri. juga menjadi salah satu sumber penerimaan untuk pembiayaan impor. Di
samping ekspor. impor juga berperan penting dalam kegiatan pembangunan di
Indonesia. Karena sarana produksi sebagian besar masih diimpor. terutama bahan
baku/penolong. barang modal. dan teknologi yang belum dapat atau belum cukup
diproduksi di Indonesia.
Dalam upaya meningkatkan peranan perdagangan luar negeri tersebut.
menurut Halwani (2002) pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan
22
dibidang perdagangan luar negeri antara lain sebagai berikut : (1) Kebijakan
Inpres No.4 Tahun 1985 tentang penurunan tarif jasa pelabuhan, (2) paket
kebijakan 6 Mei 1986 tentang upaya peningkatan daya saing kawasan berikat. dan
fasilitas bea masuk, (3) paket kebijakan 15 Januari 1987 tentang penyederhanaan
penurunan dan pembebasan tarif impor, (5) paket kebijakan 24 Desember 1987
tentang penyederhanaan dan pemberian fasilitas kepada importir untuk produkproduk ekspor, (6) paket kebijakan 21 Nopember 1988 tentang deregulasi
perdagangan, (7) paket kebijakan 28 Mei 1990 tentang penurunan biaya tinggi di
Indonesia, (8) paket kebijakan 23 Oktober 1993 tentang paket deregulasi dibidang
ekspor, impor, dan tarif impor, (9) paket kebijakan 19 Mei 1994 tentang
penghapusan 27 jenis tarif impor, (10) paket kebijakan 23 Mei 1995 tentang
penurunan pos tarif bea masuk sebanyak 64.16 persen dari 9398 pos tarif, (11)
paket kebijakan 3 Nopember 1997 tentang peningkatan dayasaing produksi di
pasaran luar negeri.
Berbagai paket kebijakan tersebut di atas bertujuan untuk meningkatkan
kontribusi ekspor non migas terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Karena
dengan kebijakan tersebut berarti pemerintah mengurangi berbagai hambatan dan
mengurangi berbagai biaya pungutan yang sebelumnya merupakan penghambat
aliran barang dari dan ke luar negeri. sehingga komoditas ekspor non migas
Indonesia tidak mampu bersaing di pasaran luar negeri. Dengan demikian
kebijakan deregulasi akan memperlancar arus barang ke luar negeri dan dengan
menurunnya biaya ekonomi. baik yang bersumber dari biaya birokrasi maupun
akibat dampak inflasi. maka diharapkan dapat meningkatkan daya saing ekspor
Indonesia sehingga ekspor non migas meningkat.
23
Berdasarkan penjelasan di atas, keterkaitan antara perdagangan luar negeri
baik ekspor maupun impor dengan pertumbuhan ekonomi khususnya, dan kinerja
makroekonomi pada umumnya dapat dijelaskan melalui perubahan produksi di
dalam negeri, perubahan ekspor, dan perubahan impor. Perubahan produksi di
dalam negeri akan meningkatkan penggunaan input tenaga kerja dan kapital, serta
input-input lainnya, termasuk peningkatan penggunaan input yang berasal dari
impor. Sedangkan perubahan perdagangan luar negeri sangat ditentukan oleh
perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serta kebijakan yang terkait
dengan perdagangan luar negeri.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa, secara teoritis terdapat beberapa
sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pemerintah Indonesia telah berusaha
untuk mencari alternatif sumber pertumbuhan ekonomi yang dapat menggerakkan
makroekonomi
serta
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
Indonesia.
Perdagangan luar negeri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi
yang dapat diharapkan karena peranannya yang sangat luas dalam meningkatkan
kinerja makroekonomi di dalam negeri Indonesia, termasuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesempatan kerja.
Jika dilihat dari perkembangan ekspor pertanian dan ekspor manufaktur,
telah menunjukkan kecenderungan yang meningkat, walaupun terkadang juga
mengalami fluktuasi akibat dari pengaruh perkembangan ekonomi, baik di dalam
negeri sendiri maupun dari luar negeri seperti halnya yang terjadi terhadap
penurunan ekspor produk manufaktur akibat krisis ekonomi. Sektor perdagangan
luar negeri, terutama sektor pertanian dan sektor industri manufaktur merupakan
potensi
yang
dapat
mendorong
pertumbuhan
makroekonomi
Indonesia.
24
Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, yakni tentang keterkaitan antara
perdagangan luar negeri dan kinerja makroekonomi di Indonesia, maka yang
akan menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh fluktuasi ekspor produk pertanian, ekspor produk agroindustri dan
non agroindustri terhadap kinerja makroekonomi Indonesia, serta sektor mana yang
memiliki pengaruh lebih besar.
2. Bagaimana perkembangan ekspor pertanian, ekspor industri manufaktur, dan kinerja
makroekonomi Indonesia, dan
3. Kebijakan apakah yang dapat mendorong peningkatan kinerja makroekonomi Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1.
Menganalisis pengaruh ekspor produk pertanian, ekspor produk agroindustri dan non
agroindustri terhadap kinerja makroekonomi Indonesia.
2.
Mendeskripsikan perkembangan ekspor pertanian, ekspor industri manufaktur, dan
kinerja makroekonomi Indonesia.
3.
Merumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan kinerja makroekonomi Indonesia.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Dari latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan di atas. maka
cakupan penelitian ini dibatasi oleh berbagai kriteria sebagai berikut. Konsep
pertumbuhan ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lebih
ditekankan pada pendekatan agregate supply (AS). yaitu konsep yang diturunkan
dari fungsi produksi agregatif Neo Klasik. dimana produksi ditentukan oleh
tenaga kerja dan kapital. serta teknologi. Kendatipun demikian dalam
25
pembahasannya sisi aggregate demand (AD) akan digunakan sebagai pelengkap.
karena variable-variabel perdagangan luar negeri yaitu ekspor dan impor
merupakan bagian dari sisi permintaan agregat.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan perdagangan luar negeri
dibatasi pada ekspor komoditas pertanian. ekspor non agroindustri dan ekspor
agroindustri. Pemisahan variabel ekspor menjadi tiga variabel tersebut bertujuan
untuk melihat kontribusi masing-masing terhadap kinerja makroekonomi
Indonesia. Sedangkan pengertian kinerja makroekonomi mencakup variabel
produk domestik bruto riil, net ekspor, inflasi, dan nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika. Data series waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
nasional series triwulan yang dibatasi dalam kurun waktu mulai dari triwulan 1
Tahun 1990 sampai triwulan 4 Tahun 2009.
1.5. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain :
1.
Tidak memasukkan variabel tenaga kerja dan kapital dalam model yang
digunakan. Pada hal pembentukan model dalam penelitian ini dilandasi oleh konsep
fungsi produksi sebagimana halnya yang dilakukan oleh banyak peneliti (Yousif , 1999;
Doraisami, 2001; Medina dan Smith, 2001; Awokuse, 2002; Silvester dan Herzer, 2005).
Dalam konsep fungsi produksi, berarti terdapat variabel penjelas tenaga kerja dan
kapital atau investasi yang merupakan variabel utama sebagai variabel penentu
produksi, dalam hal ini GDP. Sehingga hasil analisis induktif menjadi tidak sejalan dengan
pembahasan pada analisis deduktif, karena hasil analisis yang diperoleh tidak
membeikan informasi pengaruh ekspor terhadap kesempatan kerja dan investasi di
dalam negeri. Tidak dimasukkannya kedua variabel tersebut karena ketiadaan data
26
dalam series tiga bulanan, terutama data tenaga kerja yang telah bekerja, data yang
disediakan oleh BPS adalah data tahunan, bahkan data tahunan tersebut hanya
merupakan data hasil survey. Sedangkan data investasi juga tersedia dalam tahunan.
2.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini sangat bersifat agregatif, sehingga
menyebabkan hasil yang diperoleh menjadi kurang operasional, karena masih bersifat
sangat makro, kurang
persolan-persoalan
membahas ke bagian sektoral yang lebih menggambarkan
mikro.
Dengan
demikian
hasil
penelitian
pada
tataran
makroekonomi belum tentu searah dengan kebijakan pada kondisi mikro atau
perusahaan.
3.
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini tidak membahas masalah aspek
kelembagaan, pada hal aspek kelembagaan dalam penelitian tentang hubungan antara
perdagangan luar negeri dengan kinerja makroekonomi sangat penting, karena terdapat
beberapa institusi yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam mata rantai
perdagangan luar negeri, misalnya mulai dari produksi, tata niaga, supplier, eksportir,
pemerintah, hingga ke sistim pembayaran, kesemua lembaga tersebut dapat
menggambarkan peranan masing-masing dalam menentukan kinerja makroekonomi
Indonesia.
Download