PENDAHULUAN Latar Belakang Tingkat pertambahan jumlah penduduk yang tinggi mendorong dibukanya lahan untuk pemukiman. Pembukaan lahan untuk pemukiman sudah merambah jauh ke lahan subur yang sebaiknya diperuntukkan bagi pertanian dan perkebunan. Akibatnya, kegiatan pertanian terpaksa dilakukan di lahan marginal (lahan kurang subur). Lahan marginal dapat berupa tanah rawa, gambut, maupun tanah masam dengan pH sangat rendah di bawah 5. Tanah masam meliputi tanah masam kering dan basah. Pada penelitian ini difokuskan pada tanah masam kering karena padi gogo yang diteliti tumbuh di tanah masam kering. Selain itu dibandingkan luas daratan di Indonesia, tanah masam kering lebih luas (54%) dibandingkan tanah masam rawa (18%) yang meliputi gambut, pasang surut, dan lebak (Mulyani et al. 2004). Kegiatan pertanian di tanah masam sangat tidak menguntungkan karena aluminium (Al) berada dalam bentuk sangat larut. Kelarutan Al yang tinggi di tanah masam dapat merugikan tanaman karena Al dapat merusak akar, mengganggu penyerapan unsur hara, mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang akhirnya menurunkan produksi (Mossor-Pietraszewska 2001; Kochian et al. 2004). Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah cekaman Al pada tanah masam adalah memperbaiki kondisi tanah misalnya dengan pengapuran atau memperbaiki tanaman itu sendiri. Perbaikan tanaman bisa dilakukan dengan merakit genotipe yang toleran Al baik secara konvensional maupun nonkonvensional. Secara non-konvensional, perbaikan tanaman diarahkan dengan mencari penanda molekuler serta mengisolasi dan mengklon gen toleran Al (Kochian et al. 2004; Sasaki et al. 2004). Spesies tanaman pertanian mengembangkan mekanisme untuk mentoleransi cekaman Al. Gandum (Triticum aestivum L.) dan beberapa spesies tanaman pertanian lainnya memiliki mekanisme toleransi cekaman Al yang melibatkan pelepasan anion organik seperti asam malat pada gandum (Delhaize et al. 1993b; Delhaize & Ryan 1995; Li et al. 2000), asam sitrat pada gandum (Li et al. 2000) dan kacang buncis (Miyasaka et al. 1991), dan asam oksalat pada bayam (Spinacia oleracea L. cv. Quanneng) (Yang et al. 2005). Gen yang 2 mengendalikan sifat tersebut telah diisolasi dan merupakan anggota dari famili gen ALMT untuk asam malat (Sasaki et al. 2004; Raman et al. 2005) dan MATE untuk asam sitrat (Magalhaes et al. 2007; Maron et al. 2010). Famili gen tersebut menyandikan protein membran yaitu suatu transporter pada membran yang membantu efluks anion organik melintasi membran plasma. Akan tetapi pada tanaman padi mekanismenya masih belum dapat dijelaskan. Penelitian yang intensif sedang dilakukan oleh sejumlah peneliti di dunia (Wu et al. 2000; Nguyen et al. 2001, 2003; Ma et al. 2005; Mifathudin et al. 2007; Huang et al. 2009; Yamaji et al. 2009) untuk dapat menjelaskan mekanisme toleransi tanaman padi terhadap cekaman Al serta kemungkinan mengisolasin gennya. Tahapan awal untuk mengisolasi gen toleran Al dari tanaman padi dilakukan dengan mengeksplorasi genotipe padi yang toleran terhadap cekaman Al (Khatiwada et al. 1996). Asfaruddin (1997), Farid (1997), dan Syakhril (1997) melaporkan bahwa beberapa genotipe padi lokal Indonesia ada yang tergolong toleran Al (Grogol, Hawara Bunar, Jambu, dan Seratus Malam) dan sensitif Al (Jatiluhur, Krowal, Randah Padang, dan Sirumbia). Genotipe padi Grogol dan Hawara Bunar yang digunakan pada penelitian ini, selain memiliki sifat toleran terhadap cekaman Al, juga mempunyai sifat efisien dalam penggunaan unsur nitrogen (Syakhril 1997; Jagau 2000), kalium (Asfarudin 1997; Trikoesoemaningtyas 2002), dan fosfor (Swasti 2004) dalam kondisi tercekam Al serta tahan penyakit blas daun (Farid 1997). Keefisienan penggunaan unsur hara makro esensial tersebut sangat penting bagi tanaman guna mengatasi gejala keracunan Al (Pecsvaradi et al. 2005). Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa beberapa genotipe padi lokal Indonesia berpotensi sebagai sumber gen toleran Al. Meskipun demikian sampai saat ini belum ada gen toleran Al yang berhasil diisolasi dari tanaman padi lokal Indonesia. Apabila gen toleran Al berhasil diisolasi dari tanaman padi maka akan sangat berguna untuk mempelajari mekanisme fisiologi dari toleransi tanaman padi terhadap cekaman Al serta untuk mengembangkan tanaman pangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan toleran Al melalui transfer gen toleran Al dari padi. 3 Usaha untuk mengisolasi dan mengklon gen toleran Al dari tanaman padi telah pula dilakukan oleh Prasetiyono (2003), yaitu dengan pendekatan pemetaan penanda molekuler mikrosatelit. Namun penelitian yang menggunakan populasi segregasi hasil persilangan DUPA X ITA131 tersebut belum berhasil mengidentifikasi adanya keterpautan antara penanda molekuler mikrosatelit yang diuji dengan QTL (Quantitative Trait Locus) toleransi cekaman Al. Berbeda dengan hasil yang diperoleh Prasetiyono (2003), Nguyen et al. (2001, 2002, 2003) dan Wu (2000) berhasil memetakan beberapa QTL terkait toleransi tanaman padi terhadap cekaman Al. Pemetaan dilakukan menggunakan penanda molekuler AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), dan SSR (Simple Sequence Repeat). Posisi QTL tersebut tersebar di beberapa kromosom padi yang mengindikasikan bahwa toleransi tanaman padi terhadap cekaman Al merupakan karakter yang kompleks. Berdasarkan analisis pemetaan komparatif antara peta genetik kromosom 3 dari padi dan kromosom 4 dari rye, Miftahudin et al. (2005) kemudian berhasil menunjukkan adanya hubungan sintenik antara daerah lokus gen toleran Al (Alt3) pada kromosom 4RL tanaman rye dengan segmen kromosom 3 dari tanaman padi. Lokus Alt3 tersebut diapit oleh penanda molekuler B1 dan B4. Wilayah kromosom 3 padi yang menunjukkan hubungan sintenik dengan daerah lokus Alt3 yang diapit penanda molekuler B1 dan B4 merupakan daerah yang kaya gen dengan kerapatan 4.3 kb per gen. Apabila berhasil diketahui bahwa gen Alt3 tersebut atau heterolognya juga ada di segmen kromosom 3 padi dan dapat diidentifikasi protein yang disandikannya, maka langkah menuju isolasi gen toleran Al dari tanaman padi semakin dekat. Oleh karena itu penelitian ini akan dipusatkan pada daerah gen tersebut pada tanaman padi. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gen dari padi yang bertanggung jawab terhadap toleransi tanaman padi terhadap cekaman Al. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka dilakukan tiga kegiatan penelitian dengan tujuan masing-masing sebagai berikut: 4 1. Menentukan parameter toleransi cekaman Al yang dapat digunakan untuk membedakan respon di antara genotipe padi yang toleran Al dan sensitif Al. 2. Mengisolasi, mengklon, dan mengkarakterisasi gen penyandi toleransi cekaman Al dari tanaman padi. 3. Mengembangkan penanda molekuler terkait gen toleran Al dari tanaman padi yang dapat digunakan sebagai alat seleksi pada MAS (Marker Assisted Selection). Kegiatan pertama (A) adalah mengembangkan metode analisis toleransi tanaman padi terhadap cekaman Al untuk menghasilkan parameter toleransi cekaman Al yang dapat diaplikasikan pada individu tanaman padi. Parameter toleransi cekaman Al tersebut selanjutnya digunakan untuk menapis empat genotipe padi (Grogol, Hawara Bunar, IR64, dan Krowal) dengan tujuan menentukan atau verifikasi genotipe yang toleran Al dan sensitif Al yang akan digunakan pada penelitian bagian kedua dan ketiga; Bagian kedua (B) adalah mengisolasi gen toleran Al dari genotipe padi yang toleran Al. Tahapannya meliputi penapisan 19 penanda molekuler STS (Sequence Tag Sites) yang terkait toleransi tanaman rye terhadap cekaman Al menggunakan teknik PCR dan RTPCR, mengisolasi gen toleran Al, dan kemudian mengintroduksi dan menguji ekspresinya pada tanaman model tembakau (Nicotiana tabacum L.); dan Bagian ketiga (C) adalah mengembangkan penanda molekuler terkait gen toleran Al yang dapat digunakan untuk menyeleksi tanaman padi dari suatu populasi segregasi atau sebagai alat seleksi pada MAS (Marker Assisted Selection) dan mengidentifikasi pola pewarisannya pada populasi padi F2 hasil persilangan IR64 dan Hawara Bunar. Bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 1. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk: 1. Mempelajari mekanisme toleransi tanaman padi terhadap cekaman Al. 2. Melakukan seleksi awal pada pemuliaan tanaman padi menggunakan karakter fisiologi dan penanda molekuler terkait toleransi cekaman Al. 3. Mengembangkan peta genetik baru terkait toleransi tanaman padi terhadap cekaman Al. 5 4. Mengembangkan tanaman lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan bersifat toleran terhadap cekaman Al dengan mentransfer gen toleran Al dari tanaman padi menggunakan teknik rekayasa genetik. Gambar 1. Bagan alir penelitian isolasi dan karakterisasi gen toleran Al dari tanaman padi TINJAUAN PUSTAKA Botani Padi Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia dan merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Tanaman padi termasuk ke dalam famili Poaceae (Gramineae). Spesies padi yang banyak dibudidayakan adalah Oryza sativa L. dan Oryza glaberrima L. (Matsuo & Hoshikawa 1993). Oryza sativa L. terdiri dari dua sub spesies, yaitu: indica dan japonica. Oryza sativa sub spesies indica dibudidayakan di daerah selatan Pegunungan Himalaya dan Oryza sativa sub spesies japonica didomestikasi di bagian selatan China (Londo et al. 2006). Oryza sativa sub spesies japonica memiliki ciri berdaun sempit dan berwarna hijau tua, bentuk biji membulat, lebar, dan tebal; memiliki bulu yang panjang atau ada juga yang tidak berbulu; rambut pada glume tebal dan panjang; distribusinya meliputi Jepang, Korea, dan Cina bagian utara. Oryza sativa sub spesies indica mempunyai daun yang sempit dan berwarna hijau terang; biji ramping dan tipis, umumnya tidak berbulu, namun kadang-kadang bulunya hanya pendek saja dan mempunyai glume dengan bulu yang tipis dan pendek; distribusinya meliputi Cina bagian selatan, Taiwan, India dan Sri Lanka. Walaupun kedua sub spesies dapat saling membuahi, tetapi persentase keberhasilannya tidak tinggi. Contoh terkenal dari hasil persilangan ini adalah kultivar IR8, yang merupakan hasil seleksi dari persilangan japonica dan indica. Selain kedua sub spesies ini, dikenal pula sekelompok padi yang tergolong javanica yang memiliki sifat antara dari kedua sub spesies utama di atas. Javanica hanya ditemukan di Pulau Jawa (Matsuo & Hoshikawa 1993). Setiap bunga padi memiliki enam kepala sari (anther) dan kepala putik (stigma) bercabang dua berbentuk sikat botol. Kedua organ seksual ini umumnya siap bereproduksi dalam waktu yang bersamaan. Kepala sari kadang-kadang keluar dari palea dan lemma jika bunga telah masak (Gambar 2). Padi dijadikan organisme model dalam kajian genetika tumbuhan karena padi memiliki ukuran kromosom yang relatif lebih kecil dibandingkan tanaman serealia lainnya, yaitu 389 Mb (IRSGP 2005) serta daur hidupnya yang pendek yaitu 3-4 bulan. Sebagai tanaman model, genom padi telah disekuensing (Kurata 8 & Yamazaki 2006). Sekuensing genom padi ini menjadi bahan baku penting dalam upaya pemuliaan tanaman padi yang menggunakan rekayasa genetika. Selain itu, informasi sekuen DNA genom tanaman padi dapat dimanfaatkan untuk mengisolasi gen dari tanaman lain dengan pendekatan analisis pemetaan komparatif dan map based cloning (Sasaki et al. 2004; Miftahudin et al. 2004, 2005). (b) (a) Gambar 2. Bunga padi. Kepala sari berjumlah enam buah yang berwarna kuning, keluar dari lemma (a) dan palea (b) jika bunga telah masak. Beberapa genotipe padi gogo lokal Indonesia yang telah dievaluasi secara lapang dan toleran terhadap cekaman Al, diantaranya CT6510-24-1-3, Grogol, Hawara Bunar, IRAT 144, Jambu, Ketan Gudel, Seratus Malam, dan TB154-TB-1 (Asfaruddin 1997; Farid 1997; Syakhril 1997). Grogol adalah genotipe padi gogo lokal yang berasal dari Bantul, Yogyakarta dan mempunyai ciri adanya batang berwarna putih yang mendukung malai, warna lamina daun hijau tua, jumlah anakan pada tanaman dewasa (umur 4 bulan) paling banyak empat anakan dan memiliki postur tanaman yang tinggi. Hawara Bunar berasal dari Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Hawara Bunar memiliki lamina daun berwarna hijau tua dengan ciri khusus yaitu memiliki pangkal batang atau pelepah serta ujung kulit biji yang berwarna ungu. Tinggi tanaman dapat mencapai lebih dari 2 meter. Biji berbentuk oval dengan bulu yang pendek. Waktu berbunga rata-rata 59 hst (hari setelah tanam) dan jumlah anakan rata-rata 4 batang (Ahmad 2009). Selain Grogol dan Hawara Bunar, satu genotipe padi gogo lokal lain yang digunakan sebagai bahan tanaman dalam penelitian ini adalah Krowal. Krowal merupakan genotipe padi gogo yang berasal dari Lumajang, Jawa Timur. Krowal memiliki daun berwarna hijau cerah dan jumlah anakan sekitar 14 batang dan 9 tingginya dapat mencapai 150 cm. Satu varietas padi yang sensitif Al, yaitu IR64, digunakan pada penelitian ini sebagai pembanding. Varietas padi IR64 merupakan padi sawah inbrida yang diintroduksi dari IRRI dan dilepas di Indonesia pada tahun 1986. Varietas padi IR64 mempunyai biji berbentuk panjang atau ramping dan tinggi tanaman mencapai 115-126 cm (Suprihatno et al. 2009). Waktu berbunga 52 hst dan jumlah anakan rata-rata 13 batang (Ahmad, 2009). Mekanisme Keracunan Aluminium pada Tanaman Sejak awal pertumbuhannya, tanaman sudah dihadapkan pada berbagai cekaman, baik cekaman biotik (serangan hama, penyakit, dan gulma) maupun cekaman abiotik (kekeringan, kadar garam tinggi, logam berat, suhu tinggi maupun rendah, dan tanah masam). Keracunan Al pada tanah masam merupakan faktor utama yang membatasi produksi tanaman pertanian (Samac & Tesfaye 2003). Sekitar 30% dari total area tanah di dunia terdiri dari tanah masam. Sekitar 20% luas pertanaman jagung, 13% luas pertanaman padi, dan 5% luas pertanaman gandum di dunia terdapat pada tanah masam. Sebagian besar area tanah masam (60%) berada di daerah tropis (Kochian 2000). Umumnya tanah masam di Indonesia didominasi oleh tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisol) dan derajat keasamannya dapat disebabkan oleh frekuensi pencucian kation dari tanah, praktek-praktek pertanian, dan hujan asam. Ion Al3+ mendominasi tanah masam yang memiliki pH<5 dan merupakan fitotoksik utama, karena Al3+ dapat mengkelat unsur hara. Unsur hara yang terkelat sulit dan atau tidak dapat diserap oleh akar tanaman (Delhaize & Ryan 1995), akibatnya tanaman kekurangan unsur hara dan pertumbuhannya terhambat. Bagian tanaman yang pertama kali kontak dengan tanah adalah akar, sehingga target utama kerusakan akibat Al adalah akar (Ryan et al. 1993). Beberapa laporan menyebutkan bahwa keracunan Al dapat menurunkan dan merusak sistem perakaran yang menyebabkan tanaman rentan terhadap cekaman kekeringan dan mengalami defisiensi nutrien mineral (Kochian 1995; Samac & Tesyafe 2003, Kochian et al. 2004). 10 Aluminium dapat menyebabkan kerusakan membran akar, akar menebal, menggulung, dan pendek (Delhaize & Ryan 1995). Respon keracunan Al secara cepat menunjukkan bahwa Al pertama kali menghambat perluasan dan pemanjangan sel-sel akar. Periode paparan Al yang lebih lama akan menghambat pembelahan sel (Kochian 1995; Matsumoto 2000). Pada tanaman padi daerah kerusakan akibat Al berada 1 mm dari ujung akar (Miftahudin et al. 2007). Kerusakan akar berkorelasi dengan akumulasi Al di ujung akar. Akumulasi Al di dalam sel-sel tembakau dapat menekan aktifitas mitokondria yang dimonitor dari adanya reduksi 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide dan penyerapan Rhodamine 123. Setelah 12 jam, akumulasi Al tersebut memicu produksi Reactive Oxygen Species (ROS), menghambat respirasi sehingga sel kehabisan ATP, dan hilangnya kemampuan akar untuk tumbuh. Peristiwa itu dapat dicegah dengan penambahan antioksidan butylated hidroxyanisol. Pada tanaman kacang kapri (Pisum sativum L.), Al juga memicu produksi ROS, menghambat respirasi sehingga sel kehabisan ATP, yang semuanya dapat menghambat pemanjangan akar. Disimpulkan bahwa Al dapat mempengaruhi fungsi mitokondria yang menyebabkan produksi ROS (Yamamoto et al. 2002). Aluminium dapat berinteraksi dengan struktur ekstraseluler dan intraseluler di akar dan menyebabkan penghambatan pertumbuhan akar pada tanaman yang sensitif Al. Mekanismenya meliputi: Al berinteraksi dengan komponen di dalam dinding sel akar, menghentikan proses mitosis dan pembelahan sel (Matsumoto 2000), merusak membran plasma dan memblok sistem transpor ion tertentu melintasi membran plasma, merusak dinamika sitoskeletal, berinteraksi dengan mikrotubul dan filamen aktin (Sivaguru et al. 2003), berinteraksi dengan jalur transduksi sinyal, meningkatkan konsentrasi ion Ca2+ sitoplasma (Kochian et al. 2004), menginduksi pembentukkan ROS, disfungsi mitokondria, dan juga merusak membran sel dengan peroksidasi lipid membran, dan akhirnya menghambat pertumbuhan akar tanaman (Yamamoto et al. 2002). Aluminium yang masuk ke simplas dapat mengganggu metabolisme tanaman karena Al mengkelat dan menggantikan unsur hara esensial dari tempat berfungsinya (Delhaize & Ryan 1995). Selain itu Al dapat mengganggu proses 11 metabolisme yang membutuhkan Ca2+, seperti regulasi pembelahan dan pemanjangan sel, yang akhirnya akan menghambat pemanjangan akar (Ma et al. 2004). Tanaman padi yang sensitif Al (IR64) mengakumulasi Al dalam jumlah tinggi dibandingkan tanaman padi yang toleran Al (Hawara Bunar). Akumulasi Al yang tinggi pada tanaman padi yang sensitif Al telah menyebabkan kerusakan akar, dan ini tidak terjadi pada tanaman padi yang toleran Al. Aluminium juga dapat menyebabkan perubahan struktur sel-sel epidermis, penebalan, dan kerusakan pada permukaan ujung akar (Wahyuningsih 2009). Mekanisme Toleransi Cekaman Aluminium pada Tanaman Spesies tanaman pertanian menunjukkan keragaman genetik dalam merespon keracunan Al dan keragaman ini sangat berguna bagi para pemulia tanaman untuk merakit tanaman resisten Al. Tanaman resisten Al berarti tanaman menunjukkan pertumbuhan akar yang baik karena meningkatnya vigor tanaman ketika ditumbuhkan pada larutan atau tanah masam berkelarutan Al tinggi. Ada dua mekanisme sehingga tanaman menjadi resisten Al, yaitu mekanisme eksklusi Al dan mekanisme toleransi cekaman Al. Mekanisme eksklusi Al difasilitasi oleh kemampuan tanaman mengeluarkan Al dari ujung akar, sedangkan mekanisme toleransi cekaman Al didukung oleh kemampuan tanaman untuk mentolerir Al yang sudah masuk ke bagian simplas tanaman (Kochian 1995). Pada tulisan berikutnya Kochian et al. (2004) menggunakan istilah toleran Al untuk tanaman yang resisten Al. Oleh karena itu istilah tanaman toleran Al dan tanaman resisten Al memiliki pengertian yang sama, yaitu tanaman yang memiliki pertumbuhan akar lebih baik ketika tercekam Al dibandingkan tanaman sensitif Al. Detoksifikasi Al internal melalui pembentukkan kompleks Al dengan ligan terutama asam organik merupakan cara tanaman mentolerir Al yang masuk ke simplas. Secara fisiologi, Al bukan menginduksi enzim-enzim yang terlibat dalam sintesis dan metabolisme asam organik, tetapi Al menginduksi protein transpor yang spesifik untuk asam organik tertentu (Delhaize et al. 1993b; Ryan et al. 1995). Pendapat tersebut dibuktikan oleh Ryan et al. (1995) bahwa tidak ada perbedaan kandungan malat di ujung akar dengan aktifitas enzim PEP carboxylase 12 atau malate dehydrogenase pada ujung akar tanaman gandum (Triticum aestiuvum L.) yang sensitif Al dan toleran Al, meskipun Al mengaktifasi pelepasan malat secara terus-menerus dan dalam jumlah banyak pada tanaman gandum yang toleran Al. Berdasarkan akumulasi Al di dalam tajuk, strategi adaptasi tanaman terhadap cekaman Al dibagi menjadi 3 kelompok, yakni: 1. Akar tidak menyerap Al sehingga tidak ada Al yang terakumulasi di tajuk (strategi penghindaran). Mekanisme ini terjadi karena tanaman mengeksudasi senyawa asam organik dari akar. Senyawa asam organik yang dieksudasi dapat meningkatkan pH rhizosfer sehingga Al berada dalam bentuk tidak larut dan tidak toksik bagi tanaman. Selain itu asam organik tersebut dapat mengkelat Al sehingga Al tidak diserap tanaman. Jenis asam organik yang dieksudasi dapat berupa asam malat pada gandum (Delhaize et al. 1993b; Delhaize & Ryan 1995; Li et al. 2000), asam sitrat pada gandum (Li et al. 2000) dan kacang buncis (Miyasaka et al. 1991), dan asam oksalat pada bayam (Spinacia oleracea L. cv. Quanneng) (Yang et al. 2005). Asam sitrat membentuk kompleks yang lebih kuat dengan Al3+ dan lebih efektif dalam mendetoksifikasi Al dibandingkan suksinat dan asam malat (Ownby & Popham 1989). Efluks malat tersebut dipicu oleh Al yang berinteraksi dengan komponen membran plasma (Delhaize & Ryan 1995). 2. Tanaman menahan dan mengakumulasi Al di akar, terutama di jaringan korteks dan epidermis akar. Pada jaringan muda yang belum mempunyai endodermis, Al bisa lolos masuk ke tajuk melalui jaringan meristem akar dan pembuluh akar (stele). Pada tanaman gandum, bila sudah melebihi ambang batas yang bisa ditolerir oleh sitoplasma, maka Al yang diakumulasi di akar akan dikeluarkan. Protein yang terlibat dalam mekanisme pengeluaran Al dari akar tanaman gandum dikendalikan oleh gen Alt1 (Delhaize et al. 1993a). 3. Tanaman mengakumulasi Al di dalam tajuk (Al akumulator). Contoh Camelia sinensis (teh), Pinus sp, Rhizophora spp (bakau), dan Melastoma malabathtricum L (Watanabe & Osaki 2001). Kelompok ke-2 dan 3 menggunakan mekanisme toleransi cekaman Al, yaitu mentolerir Al yang masuk ke simplas. Oleh karena itu, tanaman yang toleran 13 harus mampu mengurangi penyerapan Al atau menetralkan unsur tersebut jika sudah masuk ke dalam sel-sel akar. Mekanisme toleransi cekaman Al pada beberapa spesies terutama anggota Triticeae melibatkan efluks anion organik seperti malat dan sitrat dari ujung akar tanaman. Gen yang mengendalikan sifat tersebut telah diisolasi dan merupakan anggota dari famili gen ALMT (Sasaki et al. 2004) dan MATE (Magalhaes et al. 2007; Maron et al. 2010). Famili gen tersebut menyandikan protein membran yaitu suatu transporter pada membran yang membantu efluks anion organik melintasi membran plasma. Ada bukti juga bahwa Al mengaktifasi protein kinase yang kemudian membantu fosforilasi protein transporter malat (ALMT) (Sasaki et al. 2004). Pada buckwheat, Al menginduksi pelepasan oksalat, lalu oksalat mengikat Al. Kompleks oksalat-Al kemudian dikeluarkan dari ujung akar. Bersamaan dengan itu, terjadi juga mekanisme detoksifikasi internal yang melibatkan pengikatan Al oleh oksalat di daun dan oleh sitrat di xylem (Ma & Hiradate 2000). Mekanisme toleransi cekaman Al pada Triticeae lainnya adalah eksklusi Al (Delhaize et al. 1993a; Vitorello et al. 2005), demikian pula pada spesies padi liar Oryza rufipogon L. Oryza rufipogon L. merupakan tetua liar padi budidaya dan menunjukkan kemampuan mentolerir cekaman Al lebih tinggi dibandingkan O. sativa L. (Nguyen et al. 2003). Pada tanaman gandum, barley (Hordeum vulgare L.), dan shorgum (Shorgum bicolor L.), toleransi cekaman Al dikendalikan oleh satu atau beberapa gen dengan pewarisan yang sederhana (Sasaki et al. 2004; Magalhaes et al. 2004) sehingga mudah untuk mendeteksinya. Sebaliknya pada Arabidopsis, jagung (Zea mays L.), dan padi, toleransi cekaman Al merupakan sifat kuantitatif dengan kontribusi banyak gen (QTL, Quantitative Trait Loci) (Wu et al. 2000; Nguyen et al. 2001, 2002, 2003; Kochian et al. 2004) sehingga kemungkinan toleransi cekaman Al merupakan kombinasi beberapa mekanisme. Tidak heran jika toleransi cekaman Al pada tanaman padi lebih tinggi dibandingkan spesies tanaman sereal lainnya (Famoso et al. 2010) dan tidak heran juga jika agak sulit untuk mengidentifikasi mekanismenya. Beberapa mekanisme toleransi cekaman Al yang mungkin terjadi pada padi dan jagung adalah eksudasi ligan pengkelat Al 14 lainnya dari akar, pembentukkan barrier pH rhizosfer, pengikatan Al oleh musilage yang disekresikan oleh akar, pembuangan Al yang terakumulasi di ujung akar melalui beberapa tipe transporter Al, dan detoksifikasi Al. Detoksifikasi Al terjadi dengan cara membiarkan Al tetap berada di dinding sel, mengkelat Al di sitoplasma dengan ligan organik, dan mengasingkan kompleks Al-ligan organik ke dalam vakuola (Kochian et al. 2004). Gen dan Protein yang Responsif Cekaman Aluminium pada Tanaman Studi genetik telah menunjukkan bahwa toleransi cekaman Al pada beberapa spesies tanaman serealia merupakan karakter multigenik (Ryan et al. 2010). Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi lokus gen toleran Al dan mengisolasi gennya, yaitu: (1) identifikasi lokus gen toleran Al dengan teknik pemetaan molekuler dan mengembangkan penanda molekuler terkait toleransi cekaman Al; (2) isolasi dan karakterisasi gen-gen yang diinduksi selama cekaman Al; (3) produksi dan evaluasi tanaman mutan; dan (4) penggunaan berbagai tanaman transgenik dalam studi toleransi cekaman Al (Samac & Tesyafe 2003). Toleransi cekaman Al di dalam anggota Triticeae merupakan karakter kualitatif. Beberapa lokus gen toleran Al yang telah terdeteksi melalui teknik pemetaan pada anggota Triticeae adalah Alt1 atau AltBH pada gandum (Delhaize et al. 1993a; Kochian 2000; Budzianowski & Wos 2004), Alp pada barley (Tang et al. 2000), dan Alt3 pada rye (Aniol & Gustafson 1984; Miftahudin et al. 2002). Pada padi dan Arabidopsis, toleransi cekaman Al merupakan karakter kuantitatif. Sulit untuk menganalisis sifat kuantitatif, namun ketersediaan urutan nukleotida dari genom padi dan Arabidopsis beserta anotasinya mempermudah dan mempercepat penemuan gen-gen yang mendasari toleransi cekaman Al pada kedua tanaman tersebut (Kochian et al. 2004). Gen-gen yang ekspresinya diinduksi oleh cekaman Al diyakini merupakan gen yang terlibat dalam toleransi cekaman Al dan pada beberapa tanaman telah berhasil diidentifikasi. Beberapa gen yang ekspresinya diinduksi oleh cekaman Al pada tanaman gandum adalah gen penyandi metallothionein-like proteins (WALI1), phenylalanine ammonialyase (WALI4), putatif inhibitor proteinase 15 (WALI3 dan WALI5), dan asparagine synthetase. Ekspresi gen wali1, wali3, wali4, dan wali5 juga diinduksi oleh logam berat lain seperti Cd, Fe, Zn, Cu, dan La (Snowden et al. 1995). Selain itu ada protein TaMDR1 (Triticum aestivum Multidrug Resistance) yang ekspresinya juga diinduksi oleh Al. Protein TaMDR1 merupakan anggota dari superfamili protein ATP-binding cassette (ABC) (Sasaki et al. 2002). Milla et al. (2002) melaporkan 13 gen yang ekspresinya diregulasi oleh cekaman Al pada tanaman rye. Gen-gen tersebut menyandikan protein yang terlibat dalam pemanjangan dan pembelahan sel (aquaporin tonoplas dan ubiquitin-like protein SMT3), stress oksidatif (glutathione peroksidase, glucose-6phosphate-dehydrogenase, dan askorbat peroksidase), metabolisme besi (iron deficiency-spesific proteins IDS3a, IDS3b, dan IDS1; S-adenosyl methionine synthase dan methionine synthase), dan mekanisme seluler lainnya (pathogenesisrelated proteins 1,2, heme oxygenase, dan epoxide hydrolase). Penemuan gen dan protein yang responsif Al tersebut memberikan pandangan baru mengenai respon tanaman toleran Al terhadap keracunan Al. Studi genetik terkait toleransi cekaman Al pada tanaman padi terus dilakukan dan telah diidentifkasi 19 lokus gen yang ekspresinya diinduksi dan diregulasi oleh cekaman Al (Mao et al. 2004). Tujuh gen diantaranya menyandikan protein yang terlibat dalam metabolisme komponen dinding sel di akar, namun tidak ada gen yang terlibat dalam sintesis dan pelepasan asam organik. Hal ini sejalan dengan yang telah dilaporkan oleh Ma et al. (2002, 2005) bahwa saat cekaman Al, tanaman padi baik yang toleran Al maupun sensitif Al memberikan respon yang sama yaitu melepaskan asam sitrat dalam jumlah yang sedikit. Pada tanaman padi telah diisolasi 2 gen yang kemungkinan dibutuhkan untuk toleransi cekaman Al pada tanaman padi, yaitu gen STAR1 yang menyandikan ATP-binding cassette dan STAR2 yang menyandikan domain transmembran dari protein transporter ABC (ATP-binding cassette) baru. Protein STAR1 dan STAR2 membentuk suatu kompleks seperti protein transporter ABC tipe bakterial yang berfungsi mendetoksifikasi Al. Kompleks protein tersebut mentranspor UDP-glukosa yang mungkin digunakan untuk memodifikasi dinding 16 sel, namun mekanismenya masih belum dapat dijelaskan (Huang et al. 2009). Ekspresi gen STAR1 dan STAR2 diregulasi oleh faktor transkripsi ART1, tetapi tidak ada korelasi antara ekspresi gen dari faktor transkripsi ART1 dengan sifat toleransi cekaman Al pada tanaman padi (Yamaji et al. 2009). Sebanyak 33 QTL untuk karakter toleransi cekaman Al telah teridentifikasi pada ke-12 kromosom tanaman padi (Wu et al. 2000; Ma et al. 2002; Nguyen et al. 2001, 2003; Xue et al. 2006) dan QTL pada kromosom 1, 3, dan 9 terdeteksi pada berbagai studi QTL toleransi cekaman Al pada padi. Karakter toleransi cekaman Al yang terdeteksi pada QTL tersebut adalah panjang akar relatif dengan mengukur panjang akar terpanjang atau akar utama saat tercekam Al dibandingkan dengan kontrol. Akan tetapi sampai saat ini belum ada gen terkait toleransi cekaman Al yang terletak pada posisi salah satu QTL yang telah teridentifikasi, yang berhasil diisolasi. Gen STAR1 dan STAR2 yang telah diklon dan diyakini dibutuhkan untuk toleransi cekaman Al pada tanaman padi tidak terletak pada salah satu QTL tersebut (Huang et al. 2009). Hasil ini menimbulkan dugaan bahwa toleransi cekaman Al pada padi memang merupakan karakter yang kompleks yang merupakan kontribusi dari banyak gen. Tanaman merespon sinyal yang berupa cekaman abiotik dan biotik melalui jalur transduksi sinyal. Sinyal diterima oleh tanaman lalu diteruskan melalui aliran transduksi sinyal di dalam sel-sel tanaman. Aliran transduksi sinyal selanjutnya memfosforilasi protein regulator dan faktor transkripsi. Faktor transkripsi kemudian menginduksi ekspresi gen-gen responsif Al yang menyebabkan perubahan fisiologi, morofologi, dan perkembangan sebagai respon tanaman terhadap cekaman tersebut. Ada tumpang tindih pada pola ekspresi gengen responsif pada kedua cekaman yang kemudian menghasilkan jaringan transduksi sinyal yang kompleks dan kenyataan ini membuat tanaman dapat merespon perubahan lingkungan secara optimal (Trewavas 2000). Beberapa faktor transkripsi seperti protein ethylene-responsive-element-binding factors (ERF), basic-domain leucine zipper (bZIP), dan WRKY berperan dalam meregulasi ekspresi dari gen-gen yang responsif terhadap cekaman abiotik dan biotik seperti suhu rendah, kekeringan, pelukaan, dan infeksti patogen (Singh 2002). 17 Pewarisan Gen Toleran Aluminium pada Tanaman Studi pewarisan sifat toleransi cekaman Al pada tanaman untuk membuat peta genetik telah menuntun ditemukannya lokus gen toleran Al. Pada anggota Triticeae, toleransi cekaman Al merupakan karakter kualitatif dengan pewarisan yang sederhana, sedangkan pada Arabidopsis, jagung, dan padi merupakan karakter kuantitatif dengan pewarisan yang kompleks (Kochian et al. 2004). Lokus gen yang mengendalikan toleransi cekaman Al pada gandum dan rye, yang terkonservasi pada kromosom 4 homoelog, terpaut erat dengan penanda molekuler BCD1230 tetapi terpaut jauh dari CDO1395 (Miftahudin et al. 2002). Sebaliknya gen yang mengendalikan toleransi cekaman Al pada tanaman barley sangat terpaut dengan CDO1395. Kemungkinan bahwa gen AltBH, Alt3, dan Alp merupakan lokus yang orthologous karena tingginya derajat sinteni di antara kromosom 4DL, 4RL, dan 4HL dan kemungkinan memiliki fungsi yang sama (Miftahudin et al. 2004). Namun hingga saat ini belum diketahui protein yang disandikan oleh gen toleran Al tersebut. Sembilan QTL yang terdeteksi oleh Nguyen et al. (2003) meliputi satu QTL untuk panjang akar pada kondisi tanpa cekaman Al atau kontrol (CRL), 3 QTL untuk panjang akar pada kondisi cekaman Al (SRL), dan 5 QTL untuk panjang akar relatif (RRL). Pemetaan ini konsisten di antara beberapa populasi padi. Yang menarik adalah QTL utama untuk RRL tersebut yang menjelaskan 24.9% variasi fenotipe, ditemukan pada kromosom 3 dan berkoresponden dengan kromosom homoeologous grup 4 dari anggota Triticeae (Miftahudin et al. 2002). Isolasi kandidat gen toleran Al berdasarkan kloning (map-based cloning) (Shen et al. 2004) membutuhkan penanda molekuler yang mengapit pada jarak yang relatif dekat dengan kandidat gen toleran Al. Ketersediaan informasi urutan nukleotida DNA genom padi beserta anotasinya diharapkan akan mempercepat dan memudahkan mengembangkan penanda molekuler terkait toleransi cekaman Al pada tanaman padi. Penanda molekuler dikembangkan berdasarkan polimorfisme urutan nukleotida antara genotipe padi yang toleran Al dan sensitif Al. Penanda molekuler tersebut kemudian dapat digunakan untuk membuat peta 18 genetik, dan kemudian dapat dijadikan alat seleksi pada MAS (Marker Assisted Selection) (Collard & Mackill 2008). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, sifat toleransi cekaman Al pada tanaman padi dikendalikan oleh sejumlah lokus (QTL) yang telah dipetakan diantaranya pada kromosom 1 dan 3 padi (Wu et al. 2000; Nguyen et al. 2001; Mao et al. 2004). Klon BAC padi yang akan digunakan pada penelitian ini mengandung sekuen yang bersegregasi bersama-sama dengan lokus gen Alt3 rye (Miftahudin et al. 2002). Melalui analisis kolineariti tampak bahwa wilayah gen Alt3 di antara penanda molekuler B1 dan B4 pada kromosom 4RL rye menunjukkan hubungan sinteni yang sangat baik dengan sekuen BAC kromosom 3 padi (Miftahudin et al. 2004). Wilayah yang diapit penanda molekuler B1 dan B4 pada kromosom padi merupakan daerah yang kaya gen dengan kerapatan 4.3 kb per gen (Miftahudin et al. 2005). Berdasarkan analisis kesejajaran dari predicted coding sequences menggunakan program Blastn yang tersedia di website http://www.ncbi. nlm.nih.gov/ (Altschul 1997) yang telah dilakukan, diketahui bahwa klon BAC padi tersebut mengandung bagian sekuen penyandi protein yang ekspresinya diinduksi oleh beberapa cekaman abiotik seperti cekaman logam berat CdCl2. Selain itu dengan pertimbangan ukuran genom padi yang paling kecil dibandingkan anggota serealia lainnya, maka informasi dari padi dapat dipakai sebagai dasar untuk melakukan isolasi kandidat gen toleran Al dari padi dan tanaman serealia lainnya.