21Juk2004 - Directory UMM

advertisement
DI BALIK KONSTROVERSI KOMPILASI HUKUM
ISLAM
Kontroversi atau pertentangan tentang muatan isi Kompilasi Hukum Islam
(KHI) terutama menyangkut nikah beda agama, hukum waris menyangkut kesamaan
antara laki-laki dan perempuan, dan dan boleh tidaknya perempuan menceraikan atau
menjatuhkan talak, kiranya perlu dibahas secara luas dan matang dengan melibatkan
berbagai ulama/cendekiawan muslim dan kalangan organisasi-organisasi Islam.
Departemen Agama tidak cukup mempercayakan kepada Tim Pengarusutamaan
Gender (TPG) yang begitu antusias dengan melihat KHI itu semata-mata dari sudut
perseppektif demokrasi dan hak asasi manusia. Begitu juga kalangan Islam tidak
sekadar bertahan dengan pandangan-pandangan konservatif tanpa melihat aspek
aktualisasi dalam realitas kehidupan. Sungguh diperlukan dialog dan bahasan yang
jernih, tenang, mendalam, dan dari berbagai pandangan sebagaimana tradisi
membahas masalah (baths al-masail) dan berijtihad di kalangan kaum muslimin.
Perlu menjadi catatan di sini mengenai persepketif atau pandangan yang
melihat segala sesuatu dari demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), kiranya tidak
terjebak pada kemutlakan dan menjadikan demokrasi dan Ham sebagai idelogi.
Lebih-lebih jika ideology demokrasi dan HAM itu ditempatkan sebagai satu-satunya
penentu kebenaran bahkan dengan menempatkan diri di atas segala-galanya termasuk
di atas agama. Kita tidak sedang menuding, tetapi pikiran-pikiran kebebasan,
kesetaraan, kesamaan, pluralitas, dan hal-hal yang selama ini menjadi arus utama
pikiran-pikiran demokrasi dan HAM sebagai kebablasan dan mau menang sendiri.
Tetapi kesan kuat muncul bahwa pikiran-pikiran demokrasi dan HAM itu kini
cenderung menjadi diabsolutkan dan seolah menjadi polisi kebenaran utama, yang
akhirnya menjadi ideologi yang perkasa. Padahal pikiran-pikiran demokrasi dan HAM
itu, bahkan dengan fisolosfi humanisme yang mendasarinya, tetap relatif dan harus
bersifat terbuka atau mengakui adanya pikiran-pikiran lain di luar itu baik yang
berbasis pada ilmu pengetahuan, ideologi maupun agama dalam wilayah dan sudut
yang multi perspektif. Jika demokrasi dan HAM menjadi alat ukur kebenaran
terhadap apapun maka untuk apa orang harus beragama? Jangan-jangan malah
demokrasi dan HAM dijadikan agama baru melebihi keyakinan agama itu sendiri.
Kesan dan kecenderungan menjadikan demokrasi dan HAM sebagai ideology
yang dimutlakan dan penentu kebenaran terlihat dari kebiasaan menempatkan mereka
yang tak sepaham sebagai konservatif, antidemokrasi, anti-HAM, bukan neomodernis, terjebak modernisme Islam, fundamentalis, radikal, tekstual, dan predikatpredikat lain yang beraroma kurang baik. Sedangkan pikiran-pikiran cerdas dan
membaru dikategorikan sebagai melekat dalam diri orang atau kelompok yang
berpikiran liberal, yang identik dengan penganut paham demokrasi dan HAM, atau
kelompok Islam kontekstual. Kita lupa bahwa setiap perspektif apapun selalu
memiliki epistemologi dan bahkan filsafat tertentu, yang memiliki keterbatasan dan
sekaligus tidak lepas dari konteks di mana paham itu lahir dan berkembang. Ide-ide
demokrasi, HAM, dan kebebasan (liberal) tidak lepas dari filsafat humanisme, bahkan
humanisme sekular, yang lahir dan mekar di Barat dengan sejarah kegeraman
terhadap teologi dan filsafat abad tengah yang didominasi Kristen yang dianggap
memnopoli kebenaran. Trauma teosentrisme Barat melahirkan antroposentrisme yang
kebablasan juga, sehingga muncul ekstrimitas.
1
Kita sebagai umat Islam tentu ingin kemajuan dan menjadikan Islam sebagai
rahmatan lil-‘alamain. Kita juga tidak ingin kejumudan dan kesempitan dalam
memahami serta mengamalkan Islam. Namun jangan pula perspektif demokrasi, hak
asasai manusia, dan liberal dijadikan penentu kebenaran Islam, lebih-lebih dengan
sikap absolut yang sama fanatiknya dengan kaum ortodoks. (HHs)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21-04
2
Download