DI BALIK KONSTROVERSI KOMPILASI HUKUM ISLAM Kontroversi atau pertentangan tentang muatan isi Kompilasi Hukum Islam (KHI) terutama menyangkut nikah beda agama, hukum waris menyangkut kesamaan antara laki-laki dan perempuan, dan dan boleh tidaknya perempuan menceraikan atau menjatuhkan talak, kiranya perlu dibahas secara luas dan matang dengan melibatkan berbagai ulama/cendekiawan muslim dan kalangan organisasi-organisasi Islam. Departemen Agama tidak cukup mempercayakan kepada Tim Pengarusutamaan Gender (TPG) yang begitu antusias dengan melihat KHI itu semata-mata dari sudut perseppektif demokrasi dan hak asasi manusia. Begitu juga kalangan Islam tidak sekadar bertahan dengan pandangan-pandangan konservatif tanpa melihat aspek aktualisasi dalam realitas kehidupan. Sungguh diperlukan dialog dan bahasan yang jernih, tenang, mendalam, dan dari berbagai pandangan sebagaimana tradisi membahas masalah (baths al-masail) dan berijtihad di kalangan kaum muslimin. Perlu menjadi catatan di sini mengenai persepketif atau pandangan yang melihat segala sesuatu dari demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), kiranya tidak terjebak pada kemutlakan dan menjadikan demokrasi dan Ham sebagai idelogi. Lebih-lebih jika ideology demokrasi dan HAM itu ditempatkan sebagai satu-satunya penentu kebenaran bahkan dengan menempatkan diri di atas segala-galanya termasuk di atas agama. Kita tidak sedang menuding, tetapi pikiran-pikiran kebebasan, kesetaraan, kesamaan, pluralitas, dan hal-hal yang selama ini menjadi arus utama pikiran-pikiran demokrasi dan HAM sebagai kebablasan dan mau menang sendiri. Tetapi kesan kuat muncul bahwa pikiran-pikiran demokrasi dan HAM itu kini cenderung menjadi diabsolutkan dan seolah menjadi polisi kebenaran utama, yang akhirnya menjadi ideologi yang perkasa. Padahal pikiran-pikiran demokrasi dan HAM itu, bahkan dengan fisolosfi humanisme yang mendasarinya, tetap relatif dan harus bersifat terbuka atau mengakui adanya pikiran-pikiran lain di luar itu baik yang berbasis pada ilmu pengetahuan, ideologi maupun agama dalam wilayah dan sudut yang multi perspektif. Jika demokrasi dan HAM menjadi alat ukur kebenaran terhadap apapun maka untuk apa orang harus beragama? Jangan-jangan malah demokrasi dan HAM dijadikan agama baru melebihi keyakinan agama itu sendiri. Kesan dan kecenderungan menjadikan demokrasi dan HAM sebagai ideology yang dimutlakan dan penentu kebenaran terlihat dari kebiasaan menempatkan mereka yang tak sepaham sebagai konservatif, antidemokrasi, anti-HAM, bukan neomodernis, terjebak modernisme Islam, fundamentalis, radikal, tekstual, dan predikatpredikat lain yang beraroma kurang baik. Sedangkan pikiran-pikiran cerdas dan membaru dikategorikan sebagai melekat dalam diri orang atau kelompok yang berpikiran liberal, yang identik dengan penganut paham demokrasi dan HAM, atau kelompok Islam kontekstual. Kita lupa bahwa setiap perspektif apapun selalu memiliki epistemologi dan bahkan filsafat tertentu, yang memiliki keterbatasan dan sekaligus tidak lepas dari konteks di mana paham itu lahir dan berkembang. Ide-ide demokrasi, HAM, dan kebebasan (liberal) tidak lepas dari filsafat humanisme, bahkan humanisme sekular, yang lahir dan mekar di Barat dengan sejarah kegeraman terhadap teologi dan filsafat abad tengah yang didominasi Kristen yang dianggap memnopoli kebenaran. Trauma teosentrisme Barat melahirkan antroposentrisme yang kebablasan juga, sehingga muncul ekstrimitas. 1 Kita sebagai umat Islam tentu ingin kemajuan dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamain. Kita juga tidak ingin kejumudan dan kesempitan dalam memahami serta mengamalkan Islam. Namun jangan pula perspektif demokrasi, hak asasai manusia, dan liberal dijadikan penentu kebenaran Islam, lebih-lebih dengan sikap absolut yang sama fanatiknya dengan kaum ortodoks. (HHs) Sumber: Suara Muhammadiyah Edisi 21-04 2