UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS LAPORAN PRAKTEK RESIDENSI SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENERAPAN TEORI KONSERVASI LEVINE PADA KASUS KARDIOVASKULER DI RUMAH SAKIT JANTUNG HARAPAN KITA JAKARTA KARYA ILMIAH AKHIR Oleh ANI WIDIASTUTI 1006800711 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI RESIDENSI ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DEPOK, JULI 2012 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 ` UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS LAPORAN PRAKTEK RESIDENSI SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENERAPAN TEORI KONSERVASI LEVINE PADA KASUS KARDIOVASKULER DI RUMAH SAKIT JANTUNG HARAPAN KITA JAKARTA KARYA ILMIAH AKHIR Disusun untuk memenuhi tugas akhir program profesi spesialis keperawatan medikal bedah Oleh ANI WIDIASTUTI 1006800711 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI RESIDENSI ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DEPOK, JULI 2012 xv Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan YME karena kasih dan karunia-Nya, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir (KIA) dengan judul “Analisis Laporan Praktek Residensi Spesialisasi Keperawatan Medikal Bedah Dengan Penerapan Teori Konservasi Levine pada Kasus Kardiovaskuler Di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta”. Dalam penyusunan KIA ini, peneliti banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Dewi Irawaty, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN. selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 3. Prof. Dra. Elly Nurachmah, SKp, M.App.Sc, D.N.Sc, RN, selaku supervisor utama yang telah memberikan arahan dan masukan selama penyusunan KIA ini. 4. Tuti Herawati, SKp, MN, selaku supervisor praktek yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penyusunan KIA ini 5. Debie Dahlia, S.Kp., MHSM, selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan selama mengikuti residensi 6. Staf akademik dan staf non akademik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 7. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2010, khususnya Program Residensi Keperawatan Medikal Bedah spesialisasi kardiovaskuler yang telah saling mendukung dan membantu selama proses residensi 8. Pimpinan dan rekan-rekan kerjaku di unit Edukasi dan keperawatan rumah sakit Pondok Indah Jakarta yang telah memberi dukungan dan pengertian yang sangat besar selama penulis menjalani pendidikan. 9. Pimpinan dan rekan-rekan kerjaku di Fakultas Ilmu-ilmu kesehatan Universitas Pembangunan Nasional Jakarta program studi ilmu keperawatan yang telah memberi dukungan selama penulis menjalani pendidikan. Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 ` 10. Keluarga besarku terutama putra-putri kecilku tercinta Andru dan Naomi yang telah bersabar menemani, memberi semangat dan membuat peneliti dapat tetap tersenyum dan optimis menyelesaikan residensi dan KIA ini. 11. Serta semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan KIA ini. Semoga segala bantuan dan kebaikan, akan mendapat berkat dan anugrah yang berlimpah dari Tuhan YME. Peneliti menyadari tesis ini masih belum sempurna, dengan kerendahan hati peneliti sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik yang membangun demi perbaikan KIA ini. Depok, 12 Juli 2013 Peneliti xv Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 ABSTRAK Ani Widiastuti Spesialis Ilmu Keperawatan Peminatan Medikal Bedah FIK-UI Analisis Laporan Praktek Residensi Spesialisasi Keperawatan Medikal Bedah Dengan Penerapan Teori Konservasi Levine pada Kasus Kardiovaskuler Di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta xiv + 63 + 2 tabel + 1 skema + 2 gambar + 3 lampiran Analisis laporan praktek residensi merupakan analisis yang dilakukan selama penulis menjalankan praktek residensi 1, 2 dan 3 di rumah sakit jantung pusat nasional Harapan Kita Jakarta. Laporan berisi asuhan keperawatan kasus kardiovaskuler yang terdiri dari 1 kasus kelolaan utama, dan 30 kasus resume, dengan penerapan teori keperawatan model konservasi Levine, pembuatan evidence best nursing serta pembuatan inovasi keperawatan. Tujuan analisis ini adalah untuk memberikan gambaran peran perawat dalam penatalaksanaan keperawatan selama praktik residensi spesialis keperawatan medikal bedah dengan penerapan teori konservasi Levine pada kasus kardiovaskuler di RS Jantung Harapan Kita Jakarta dan merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban terhadap pengelolaan kasus pasien acut coronary syndrome dengan intervensi CABG. Teori Levine tepat digunakan mengingat pasien dengan kasus kardiovaskuler membutukan kemampuan beradaptasi karena perubahan yang terjadi baik internal maupun eksternal sehingga tercapai konservasi untuk kesembuhan pasien. Pelaksanaan EBN (evidence base nursing) dilakukan di unit intermediate bedah yaitu melatih pasien menggunakan otot-otot diafragma dan nafas dalam untuk memperbaiki ekspansi paru. Hasil analisa menunjukan terdapat perbedaan yang significan pada oksigenasi pasien sebelum dan sesudah intervensi (P value<0.05). Kegiatan inovasi dilakukan di unit ICU yaitu membuat prosedur pemberian obat kewaspadaan tinggi dengan memperhatikan prinsip safety. Hasil menunjukan perawat dapat menerima perubahan atau prosedur baru yang bertujuan mencegah kesalahan dalam pemberian obat sesuai six goal patient safety dari JCI (joint commision International) Kata kunci : acute coronarry syndroma, teori konservasi Levine, coronarry artery bypass graft, evidence base nursing, inovasi keperawatan Daftar pustaka 29 (1999-2012) Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 ` ABSTRACT Ani Widiastuti Specialis of Nursing Science, specialty in Medical Surgical Nursing, Faculty of Nursing, UI Analysis of repport specialist practice, specialty in Medical Surgical Nursing with aplicated conservation theory from Levine on Cardiovascular case at hospital of cardiac centre Harapan Kita Jakarta xiv + 63 + 2 tabel + 1 skema + 2 gambar + 3 lampiran Analysis of repport specialist practice is analysis as a result of recidence practice 1,2 and 3 in hospital of cardiac centre Harapan Kita Jakarta. The contens of repport are nursing care patient acute coronarry syndroma with coronarry artery bypass graft (CABG) and 30 cases others that base on Levine conservation nursing Theory, evidence base nursing and nursing inovation. The purpose of this analysis is give description of nurse roles in medical surgical nursing with aplication nursing theory Levine conservation and as responsibility of nurse in nursing care plan. Levine nursing theory has been used because of need for adaptation by every cardiac surgery patient to get energy conservation. The aplication of was done at surgical intermediate unit. The result showed that there is a significant influence of exercise breathing muscle and deep breathing to lung expansion or oxygenation before and after exercise (p < 0.05). Nursing inovation about high allert medication aplicate on intensive care unit. The result showed that every nurse can accept the inovation, they very aware with new procedure about administration of high allert medication. This inovation base on need of hospital for safety administration of high allert medication and avoid medication error as one of six goal patient safety from JCI (joint commision International). Keywords : acute coronarry syndroma, theory of energy conservation by Levine, coronarry artery bypass graft, evidence base nursing, Nursing inovation Bibliography, 29 (1999-2012) xv Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................... iv HALAMAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................................. vi SURAT PERNYATAAN .............................................................................. vii ABSTRAK ..................................................................................................... viii DAFTAR ISI.................................................................................................. x DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii DAFTAR SKEMA ........................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................... 1 A. Latar Belakang ......................................................................................... 1 B. Tujuan ..................................................................................................... 7 C. Manfaat ................................................................................................... 7 BAB 2. TINJAUAN TEORI ...................................................................... 8 A. Konsep Acute Coronary Syndrome ......................................................... 8 1. Pengertian ................................................................................................. 8 2. Klasifikasi ACS ........................................................................................ 8 3. Etiologi ..................................................................................................... 10 4. Patofisiologi .............................................................................................. 13 5. Manifestasi klinik ..................................................................................... 14. 6. Komplikasi ............................................................................................... 15 7. Penatalaksanaan ........................................................................................ 15 B. Konsep CABG ......................................................................................... 18. 1. Pengertian ................................................................................................. 18 2. Klasifikasi ................................................................................................ 18 3. Indikasi ..................................................................................................... 18 4. Pemilihan arteri ........................................................................................ 19 5. Perawatan paska operasi .......................................................................... 20 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 ` 6. Komplikasi ............................................................................................... 21 B. Konsep Teori Keperawatan ..................................................................... 21. 1. Model Konservasi Levine ........................................................................ 21 2. Integrasi Teori dalam Proses Keperawatan .............................................. 26 BAB 3. PENERAPAN TEORI KONSERVASI LEVINE PADA ASKEP PASIEN DENGAN GANGGUAN KARDIOVASKULER ...... 28 A. Gambaran Kasus Kelolaan Utama .......................................................... 28 1. Identitas Pasien ......................................................................................... 2 2. Keluhan utama dan riwayat Kesehatan Sekarang .................................... 28 3. Riwayat Kesehatan Dahulu ...................................................................... 29 4. Riwayat Kesehatan Keluarga .................................................................... 29 B. PENERAPAN TEORI KONSERVASI LEVINE PADA KASUS KELOLAAN UTAMA............................................................................. 29 1. Pengkajian Teori Konservasi .................................................................... 32 2. Judgement/ Tropicognosis ........................................................................ 32 3. Hipotesis/intervensi ................................................................................... 33 4. Implementasi ............................................................................................. 34 5. Evaluasi .................................................................................................... 34 C. Pembahasan .............................................................................................. 40 D. Analisis Penerapan Teori Konservasi Levine ....................................... 44 E. Analisis kasus Resume ............................................................................ 46 BAB 4. PENERAPAN PRAKTIK BERBASIS PEMBUKTIAN (EVIDENCE BASED NURSING) ............................................................. 49 A. Penelaahan Kritis ..................................................................................... 49 B. Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian................................. ...... 51 C. Pelaksanaan Penerapan Evidence Based Nursing Practice ...................... 51 1. Rancangan penerapan EBN ................................................................. 51 2. Populasi dan Sampel EBN ................................................................... 52 3. Tempat dan Waktu ................................................................................ 52 4. Prosedur Penerapan EBN ...................................................................... 52 5. Hasil Penerapan EBN ........................................................................... 54 6. Pembahasan ........................................................................................... 54 BAB 5. KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN xv Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 SISTEM KARDIOVASKULER ................................................................ 56 A. Analisis Situasi ........................................................................................ 56 B. Kegiatan Inovasi ...................................................................................... 57 1. Kontrak Pelaksanaan Kegiatan ............................................................ 58 2. Desiminasi Awal Program Inovasi ..................................................... 58 3. Pelaksanaan Program Inovasi .............................................................. 58 4. Pelaksanaan Evaluasi ......................................................................... 60 C. Pembahasan ............................................................................................. 61 BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 62 A. Simpulan ................................................................................................. 62 B. Saran ........................................................................................................ 63 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 ` DAFTAR TABEL Hal Tabel 2.1 Klasifikasi myokard infark menurut waktu kejadian……………………… 10 Tabel 2.2 Lokasi infark, lead EKG dan arteri koroner………………………………. 11 xv Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 DAFTAR SKEMA Hal Skema 2.1 Model konservasi Levine ........................................................... Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 23 ` DAFTAR GAMBAR Hal Tabel 4.1 Pergerakan otot diafragma........................................……………………… 53 Tabel 4.2 Pursed lip breathing………………………………....................................... 53 xv Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kasus resume Lampiran 2. Proyek inovasi Lampiran 3. Hasil reka data EBN Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktek residensi merupakan kegiatan praktek yang dilaksanakan pada tatanan nyata dalam hal ini adalah di rumah sakit yang memungkinkan mahasiswa memiliki pengalaman nyata dalam mengaplikasikan teori sekaligus melakukan analisis dalam proses tersebut. Praktek residensi terbagi dalam residensi 1, 2 dan 3 yang berlangsung dalam 2 semester. Selama praktek residensi, banyak hal baru dan menarik yang didapat dan dilakukan mahasiswa sebagai upaya meningkatkan kemampuan dan pengalaman mahasiswa. Untuk itu perlu dibuat laporan praktek residensi yang memaparkan dan membahas kegiatan praktek residensi keperawatan medikal bedah dalam hal ini spesialisasi kardiovaskuler yang Dilaksanakan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Kegiatan praktek didasari oleh kompetensi residensi yang harus dicapai mahasiswa meliputi kompetensi dalam melakukan tindakan keperawatan khususnya dalam mengelola kasus kardiovaskuler, serta kompetensi dalam kemampuan berkomunikasi yang efektif dan terapeutik, kemampuan dalam menampilkan perilaku profesional, serta kemampuan dalam melakukan diskusi yang sistematis. Kompetensi spesialis kardiovaskuler meliputi kemampuan klinik dan analitik dalam tahap pengkajian pasien dengan gangguan sistem kardiovaskuler, intervensi hingga evaluasi. Rumah sakit jantung harapan kita menjadi tempat praktek yang tepat untuk dapat mencapai kompetensi tersebut. Pelayanan yang lengkap dan terpadu dengan jumlah kasus yang banyak dan bervariasi memungkinkan mahasiswa dapat belajar sekaligus mengaplikasikan teori keperawatan kardiovaskuler dengan baik. Mahasiswa diharapkan dapat mencapai kompetensi tersebut selama menjalani praktek residensi 1.2 dan 3. Laporan ini berisi pengalaman dan analisis mahasiswa dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskuler dengan salah satu teori keperawatan yang dipilih dan diaplikasikan terhadap kasus yang Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 2 dikelola, termasuk pengalaman melakukan praktek berdasar pembuktian atau Evidence Based Nursing Practice serta hasil analisa terhadap kegiatan inovasi yang dilakukan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Laporan ini juga dilampirkan hasil pengelolaan yang dilakukan mahasiswa selama residensi terhadap kasus-kasus kardiovaskuler yang dibuat dalam bentuk resume kasus. Rumah Sakit Jantung Harapan Kita merupakan rumah sakit jantung pusat nasional yang menjadi rujukan bukan saja dari Jakarta tetapi dari seluruh pelosok di Indonesia. Jumlah kunjungan yang mencapai ribuan setiap tahunnya menjadikan rumah sakit Harapan Kita sebagai centre of science bagi perkembangan ilmu dan skill dalam penanganan pasien dengan kasus kardiovaskuler baik pada tingkat Nasional maupun Internasional. Jumlah intervensi bedah yang sangat besar dilihat dari jumlah tindakan bedah perhari yang mencapai 7-8 pasien dengan daftar tunggu tindakan yang tidak pernah sepi mendorong pihak managemen Rumah Sakit terus berbenah diri. Kemajuan diagnostik dan intervensi yang didukung dengan peralatan terkini yang canggih baik bedah maupun non bedah serta sumber daya manusia yang terus diperbaharui secara kuantitas dan kualitas menjadi anadalan Rumah Sakit memberi pelayanan terbaik kepada pasien. Bukti keseriusan Rumah Sakit terhadap mutu pelayanan juga dibuktikan dengan upaya Rumah Sakit mengikuti akreditasio Internasional JCI dalam waktu dekat. Gangguan Kardiovaskuler yang ditemukan mahasiswa selama praktek residensi di RS Harapan Kita sangat bervariasi mulai kasus serangan akut pada saat pasien masuk ke unit gawat darurat hingga penatalaksanaanya baik bedah maupun non bedah. Kasus juga meliputi kelompok penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, penyakit jantung kongenital serta berbagai gangguan kardiovaskuler lainnya yang sangat kompleks dan menarik untuk di pelajari. Penyakit jantung koroner merupakan bentuk yang paling umum ditemui selama residensi dari berbagai kasus penyakit jantung yang ada. Menurut data American Heart Association (AHA), 2006, lebih dari 13 juta penduduk Amerika menderita penyakit jantung, dan 700 ribu diantaranya meninggal dunia setiap tahun. ( Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 3 Shiplett, Barbara, 2007). Di Indonesia sendiri berdasarkan Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN) tahun 2001, diketahui bahwa penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian nomor 1 atau sekitar 26,4 % angka kematian disebabkan oleh penyakit jantung koroner. (Anggraeni, 2008). Acute coronary syndrome (ACS) merupakan sekumpulan gejala akut pada pembuluh darah koroner akibat suplai darah yang tidak adekuat pada pembuluh darah koroner, mencakup angina pectoris tidak stabil, infark myokard dengan gelombang ST elevasi dan tanpa gelombang ST elevasi ( Brunner & Suddarth, 2002). ACS meliputi spektrum pasien-pasien yang mengalami nyeri dada atau angina serta keluhan lain akibat ischemic atau infark miokard. Terdiri dari Angina Pektoris Tidak Stabil, Infark Miokard dengan gambaran EKG ST elevasi dan non ST elevasi. Ketiga keadaan tersebut merupakan keadaan kegawatan dalam sistem kardiovaskuler yang memerlukan tatalaksana yang baik untuk menghindari tejadinya kematian mendadak. Intervensi bedah yang utama dan mayoritas pada penyakit jantung koroner adalah operasi pintas jantung koroner (CABG). Karakteristik pasien yang makin bervariasi dilihat dari rentang usia penderita penyakit jantung koroner yang makin memanjang, mendorong penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pengelolaan dan asuhan keperawatan pasien dengan penyakit jantung koroner yang dilakukan intervensi bedah CABG. Penulis juga menggali lebih dalam intervensi keperawatan yang dapat membantu pasien pasca operasi terhindar dari komplikasi akibat gangguan ekspansi paru dan komplikasi infeksi sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan, yang penulis kerjakan dalam bentuk kegiatan Evidence Base Nursing (EBN). Proses penyembuhan yang memerlukan waktu lama mengakibatkan hari rawat pasien di rumah sakit menjadi bertambah. Kondisi ini dapat mempengaruhi pasien dan keluarga terutama dari segi finansial, dimana membutuhkan biaya yang semakin banyak (Smeltzer, 2008). Coronary Artery Bypass Graft (CABG) revaskularisasi yang umum dilakukan merupakan salah satu metode pada pasien yang mengalami Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 4 atherosklerosis dengan 3 atau lebih penyumbatan pada arteri koroner atau penyumbatan yang signifikan pada Left Main Artery Coroner (Chulay&Burns, 2006). Sebagai alternative terakhir penatalaksanaan penyakit jantung koroner, tindakan CABG memiliki komplikasi yang tidak sedikit bagi pasien. Hipovolemia, perdarahan, tamponade jantung, infeksi pneumonia, atelektasis bahkan kegagalan proses weaning dari ventilator dapat terjadi akibat komplikasi dari tindakan. Tindakan Untuk mencegah dan mengatasi komplikasi perlu penanganan yang tepat dan cepat. Pencegahan terhadap kejadian komplikasi juga harus dilakukan secara dini agar pasien terhindar dari masalah baru yang dapat memperlambat proses penyembuhan. Perawat turut berperan penting dalam upaya preventif terhadap komplikasi paska operasi.( Black & Hawks. (2005). Program pendidikan Perawat spesialis dikembangkan dalam rangka menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat saat ini dan tuntutan perkembangan profesi keperawatan, melalui berbagai perannya sehingga mampu bekerja sebagai pemberi dan pengelola asuhan keperawatan, pendidik, peneliti, pembimbing dan konselor, advokator, menerima dan melakukan rujukan dalam mengatasi masalah klien dan pembaharu (change agent). Peran perawat professional secara umum meliputi empat peran yaitu pemberi asuhan keperawatan, pendidik, peneliti dan pengelola, baik dalam pelayanan keperawatan maupun dalam lingkungan komunitas (Perry & Potter, 2005). Perawat memiliki tanggung jawab pada setiap peran yang dijalankan dari keempat peran perawat profesional. Pengalaman penulis selama praktik residensi di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta menjalankan peran perawat spesialis sebagai pemberi asuhan keperawatan diberikan kepada pasien dengan berbagai macam gangguan system kardiovaskuler seperti, gangguan koroner jantung, kongenital, infeksi dan lain sebagainya namun demikian pada laporan praktek residensi ini hanya menguraikan beberapa kasus yang pernah ditemukan dan dikelola, yang penulis fokuskan pada asuhan pasien paska bedah pintas jantung koroner (CABG). Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 5 Pengalaman penulis dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien gangguan kardiovaskuler khususnya pasien acute coronary syndrome dengan tindakan bedah pintas koroner jantung, yang sering ditemukan adalah munculnya gangguan pada fungsi oksigenasi, seperti kesulitan bernafas, sesak, dada masih sakit saat tarik nafas, ketakutan untuk berubah posisi semi fowler atau bergerak. Setelah menganalisis teori yang tepat untuk keadaan tersebut maka penulis mengembangkan penerapan asuhan keperawatan berdasarkan teori keperawatan konservasi Levine. Teori ini memotivasi dan mendorong pasien mengeksplor dan memaksimalkan kekuatan dan energi pasien mengatasi masalah secara fisiologis dan psikologis sehingga dapat meningkatkan proses penyembuhan pasien dan untuk mempertahankan kesehatannya. Dalam laporan praktek residensi ini menggambarkan pengalaman penulis dalam menerapkan teori konservasi Levine pada kasus Acute coronary Syndrome dengan intervensi bedah pintas jantung koroner dan menganalisis pasien kelolaan selama praktek residensi di RS Jantung Harapan Kita Jakarta. Teori konservasi menurut Levine dinilai tepat untuk diterapkan pada kasus bedah pintas koroner. Mengingat Levine mendasarkan teorinya pada kemampuan pasien memelihara energi yang ada untuk mempertahankan kesehatan dan penyembuhan. Pasien paska bedah jantung mengalami penurunan fungsi secara fisiologis dimana proses operasi yang berlangsung lama serta mekanisme operasi yang dapat menimbulkan trauma jaringan serta proses hipotermi mendorong pasien untuk beradaptasi terhadap perubahan tersebut sehingga mendukung terjadinya konservasi. Penyakit jantung koroner memberi dampak sangat besar dalam kehidupan penderitanya. Tindakan pembedahan pintas jantung koroner memberi harapan bagi pasien untuk dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Perawat berperan penting dalam mendampingi dan memberikan asuhan yang tepat sehingga pasien dapat melalui paska operasi dengan baik, lancar dan tanpa komplikasi. Pada akhirnya pasien akan menjalani perawatan sesuai pathway yang diharapkan, mengurangi lama rawat di rumah sakit dan tentunya mengurangi biaya perawatan. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 6 Pemberian asuhan keperawatan yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan pasien paska operasi CABG salah satunya adalah monitoring hemodinamik, monitoring intake dan output, memperbaiki ekspansi paru dan oksigenasi pasien. Hal inilah yang membutuhkan peran penting perawat untuk melakukan asuhan secara komprehensif. Keseluruhan aspek perlu dikaji, dimonitor dan dievaluasi. Setiap intervensi yang diberikan harus dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Kerjasama interdisipliner diperlukan untuk dapat memberikan asuhan yang terbaik dan maksimal kepada pasien. Peran perawat sebagai peneliti, dilakukan dengan menerapkan hasil penelitian dalam praktek klinik keperawatan (Evidence Based Nursing Practice), dalam hal ini penulis melakukan cara sederhana tetapi efektif untuk memperbaiki ekspansi paru dan oksigenasi yaitu dengan melatih pasien melakukan latihan otot diafragma dan nafas dalam. Pasien paska operasi cenderung takut untuk mulai bergerak dan berlatih. Ketakutan dan rasa malas disebabkan oleh banyak faktor seperti rasa sakit, kurang semangat, kurang motivasi, yang pada akhirnya dapat berakibat kurang optimalnya ekspansi paru sehingga oksigenasi terganggu, timbul komplikasi seperti atelektasis, infeksi paru (pneumonia), dan menyebabkan lama hari rawat makin memanjang serta biaya perawatan terus meningkat. Peran perawat yang unik merupakan kunci dalam menilai, melaksanakan intervensi, dan mengevaluasi dampak intervensi-intervensi pada seorang pasien. Intervensi ini sebenarnya sudah dilakukan oleh fisioterapist, tetapi belum cukup efektif jika hanya dilakukan sehari sekali. Perawat yang berada disamping pasien selama 24 jam memiliki kesempatan lebih besar untuk melatih dan memotivasi pasien melakukan latihan tersebut. Perawat juga setiap saat memahami kondisi pasien untuk berlatih sehingga hasilnya dapat lebih efektif. (Westerdahl, 2005) Peran perawat sebagai innovator dilakukan dengan membuat proyek inovasi berupa panduan dan SPO ( standard operational Procedure) obat-obatan dengan kewaspadaan tinggi (high allert medication) di unit ICU ( Intensive care unit). Inovasi ini bertujuan mengurangi risiko kesalahan yang ditimbulkan akibat Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 7 kesalahan dalam memberikan obat-obatan dengan kewaspadaan tinggi yang seringkali digunakan di unit ICU. Obat-obat kewaspadaan tinggi merupakan jenis obat-obatan yang sering menimbulkan kesalahan dalam proses pemberiannya dan akibat kesalahan tersebut dapat menimbulkan dampak yang sangat fatal bagi pasien. (JCI, 2012). Sosialisasi dan penerapan SPO ini diharapkan dapat memudahkan perawat dalam pemberian obat-obatan tersebut serta mengurangi risiko kesalahannya. Berdasarkan uraian di atas penulis berkepentingan untuk membahas lebih lanjut dalam “Analisis Laporan Praktek Residensi Spesialis Keperawatan Medikal Bedah dengan penerapan teori Konservasi Levine di RS Jantung Harapan Kita Jakarta. B. Tujuan 1. Tujuan Umum : Untuk memberikan gambaran peran perawat dalam penatalaksanaan keperawatan selama praktik residensi spesialis keperawatan medikal bedah dengan penerapan teori konservasi menurut Levine di RS Jantung Harapan Kita Jakarta 2. Tujuan khusus a. Melaporkan hasil analisa dan sintesa terhadap seluruh rangkaian praktek residensi b. Merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban terhadap pengelolaan kasus pasien acut coronary syndrome dengan intervensi CABG c. Merupakan salah satu persyaratan untuk ditetapkan sebagai Spesialis Keperawatan Medikal Bedah. C. Manfaat 1. Bagi Pelayanan Keperawatan Analisis pengalaman ini dapat dijadikan sebagai gambaran bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah kardiovaskuler melalui penerapan teori keperawatan Konservasi menurut Levine yang akan memberikan masukan tentang pentingnya menggali dan meningkatkan kekuatan atau energi yang dimiliki pasien oleh perawat dan membantu mengembangkan teori ini untuk meningkatkan kualitas asuhan kepada pasien. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 8 2. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan Menambah kekayaan keilmuan khususnya keperawatan medikal bedah tentang penerapan peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, peneliti, pendidik dan innovator dalam praktik residensi program ners spesialis kardiovaskuler. 3. Bagi Pendidikan Keperawatan Laporan paktek residensi ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang praktek residensi keperawatan medikal bedah kardiovaskuler, dan menjadi acuan program ners kardiovaskuler serta untuk meningkatkan kualitas praktik residensi pada masa yang akan datang. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 9 BAB II TINJAUAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan tentang konsep-konsep yang mendasari analisis laporan yaitu tentang acut coronary syndroma, CABG (coronary artery bypass graft) dan teori konservasi menurut Levine sebagai dasar dalam pengkajian pasien. Selama menjalankan praktek residensi kejadian penyakit jantung koroner menjadi mayoritas kasus yang ditemui. Intervensi pilihan terakhir yang dilakukan untuk mengatasi stenosis koroner yang tidak dapat diatasi dengan intervensi yang lain adalah intervensi bedah yaitu CABG. A. Konsep Acut Coronary Syndroma (ACS) 1. Pengertian Acut coronary syndrome (ACS) merupakan sekumpulan gejala akut pada pembuluh darah koroner akibat suplai darah yang tidak adekuat pada pembuluh darah koroner, mencakup angina pectoris tidak stabil, infark myokard dengan gelombang ST elevasi dan tanpa gelombang ST elevasi ( Wood, 2005). Gejala akut ini muncul akibat penyempitan pembuluh darah koroner. Pembuluh darah koroner adalah pembuluh darah yang berfungsi menyuplai oksigen dan zat makanan ke otot jantung, pembuluh ini dapat menyempit akibat pertumbuhan plak sehingga diameter pembuluh darah tersebut menyempit dan pasokan darah ke otot jantung menjadi berkurang dan otot jantung mengalami ischemic atau infark. 2. Klasifikasi Penyakit jantung koroner akut atau acute coronary syndome (ACS) merupakan salah satu dari tiga penyakit jantung yang terjadi akibat gangguan pada arteri koroner. Penggabungan ketiga hal tersebut dalam satu istilah ACS, didasarkan kesamaan dalam pathofisiologi, proses terjadinya arterosklerosis serta rupturnya plak atherosklerosis yang menyebabkan trombosis intravaskular dan gangguan suplay darah miokard, ketiga diagnosa tersebut adalah : a. Angina Pektoris tidak stabil ( UAP) Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 10 Merupakan nyeri dada hebat yang terjadi sebagai respon terhadap suplai oksigen yang tidak adekuat ke sel – sel miokardium. Nyeri yang timbul pada kasus angina pectoris tidak stabil dapat muncul kapan saja, pada aktifitas maupun istirahat. Nyeri angina dapat menyebar ke lengan kiri, ke punggung, ke rahang, atau ke daerah abdomen. Jika beban kerja suatu jaringan meningkat maka kebutuhan oksigen juga meningkat; pada jantung yang sehat, arteri koroner berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak darah dan oksigen ke otot jantung; namun jika arteria koroner mengalami kekakuan atau menyempit akibat arterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemi miokardium; sel-sel miokardium mulai menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Cara ini tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat.(Corwin, 2009) Kasus Angina pectoris tidak stabil dijumpai pada individu dengan perburukan penyakit arteri koroner. Angina ini biasanya terjadi akibat arterosklerosis koroner, yang ditandai oleh trombus yang tumbuh dan mudah mengalami spame. Nyeri seperti tertekan di daerah perikardium, atau substernum dada, kemungkinan menyebar ke lengan, rahang atau thoraks. Nyeri biasanya berkurang dengan istirahat dan pemberian nitrat. b. Infark miokard non ST elevasi ( NONSTEMI) Merupakan kematian sel – sel miokardium yang terjadi akibat kekurangan oksigen berkepanjangan, hal ini adalah respon letal terakhir terhadap iskemia miokard yang tidak teratasi. Sel – sel miokardium mulai mati sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP secara aerobic lenyap, dan sel tidak dapat memenuhi kebutuhan energinya. Pada kasus infark myokard ini, gambaran EKG tidak mengalami perubahan, tetapi enzyme jantung biasanya meningkat dan nyeri dadanya khas infark myokard.(Doug, c. Infark miokard dengan ST elevasi (STEMI) Merupakan infark myokard yang memiliki tanda dan gejala yang khas yaitu muncul gambaran EKG ST elevasi atau gelombang QS disertai nyeri dada retrosternal, seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk atau ditindih barang berat. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 11 Nyeri dapat menjalar ke lengan (umumnya kiri), bahu leher, rahang bahkan ke punggung epigastrium. Nyeri berlangsung lebih lama dari angina pectosis dan tidak responsive terhadap nitrogliserin. Kadang-kadang terutama pada pasien diabetes dan orang tua, tidak ditemukan nyeri sama sekali. Nyeri dapat disertai perasaan mual, muntah sesak, pusing keringat dingin, berdebar-debar atau sinkope. Pasien sering tampak ketakutan, cemas dan gelisah. Kelainan pada pemeriksaan fisik tidak ada yang spesifik dan dapat normal. Takikardia, kulit yang pucat, dingin dan hipotensi ditemukan pada kasus yang relative lebih berat kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau berada di dinding dada pada Infark Miokard inferior. (Wood, 2005) Infark miokard sendiri dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis yaitu Menurut zona infark: a. Zona nekrosis. Ditandai gelombang Q phatologis pada elektroda yang berhadapan dengan daerah nekrosis b. Zona perlukaan/injuri. Ditandai oleh deviasi segmen ST yaitu: pada daerah infark ditemukan elevasi segmen ST yang cembung keatas pada daerah yang berlawanan ditemukan depresi segmen ST. c.Zona iskemik. Ditandai oleh T terbalik yang berbentuk “kepala anak panah”. Tabel 2.1. Infark menurut waktu kejadiannya Deskripsi Hyperacute Acut Recent Old (Wood, 2005) waktu setelah pertama karakteristik ekg - ST segmen elevasi - T wave tinggi - ST segmen elevasi T Wave inverted - Gelombang patologis. - T wave Inverted - Gelombang patologis. - Patologis Q Wafe sakit Menit sampai jam Q Q 24 jam sampai 7 hari 1 minggu bulan. sampai 3 Setelah 2 sampai 3 bulan Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 12 Tabel 2.2. Infark menurut area atau lokasi dan arteri koroner yang terkena. Arteri koroner Lokasi Infark Lead terkena yang Anterior (V2), V3, V4 LAD Septal V1, V2 LAD Anteroseptal V1, V2, V3, (V4) LAD Lateral I, aVL (high lateral) V5, V6 (low lateral) LCX Anterolateral V3, V4, V5, V6, (I, aVL) LCX Inferior II, III, aVF RCA Posterior V7, V8, V9 atau Resiprokal di V1, V2, V3 R C A dan atau L C X Ventrikel kanan (RV Infark) V3R, V4R RCA (Wood, 2005) 3. Etiologi Selain hal tersebut diatas, ada faktor-faktor yang mempengaruhi yang disebut faktor resiko, (Lewis, 2007), yaitu : Faktor resiko yang tidak dapat diubah : a. Usia Karena pada usia yang makin meningkat terdapat perubahan fisiologis pada kardiovaskuler, dimana hilangnya elastisitas dan komplians jantung, frekuensi jantung istirahat, curah jantung dan volume sekuncup pada lansia menurun. Dinding arteri juga hilang elastisitasnya, tonus vasomotor dan lumennya berubah karena arteriosclerosis atau aterosklerosis, karena meningkatnya tahanan vaskuler perifer. b. Riwayat keluarga positif penderita jantung koroner. Individu dengan keturunan penyakit jantung koroner dalam keluarga memiliki kemungkinan lebih sering mengalami penyakit yang sama. c. Jenis kelamin Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 13 Terjadi tiga kali lebih sering pada pria dibanding wanita, tetapi wanita paska menopouse, memiliki prevalensi yang sama dengan pria. Faktor resiko yang dapat diubah, yaitu : a. Merokok Merokok berperan dalam memperparah terjadinya penyakit pada pembuluh darah koroner melalui tiga cara, yaitu : 1). Menghirup asap akan meningkatkan kadar karbon monoksida (CO) darah. Hemoglobin, komponen darah yang mengangkut oksigen, lebih mudah terikat pada kepada CO daripada O, jadi oksigen yang disuplai ke jantung menjadi sangat berkurang, membuat jantung bekerja lebih keras untuk menghasilkan energi yang sama. 2). Asam nikotinat pada tembakau memicu pelepasan katekolamin, yang menyebabkan konstriksi arteri. Aliran darah dan oksigenasi jaringan menjadi terganggu. 3). Merokok meningkatkan adhesi trombosit, mengakibatkan kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus. b. Tekanan darah tinggi Tekanan darah tinggi adalah faktor yang paling membahayakan karena biasanya tidak menunjukkan gejala sampai telah menjadi lanjut. Tekanan darah tinggi menyebabkan terjadinya gradien tekanan yang harus yang harus dilawan oleh ventikel kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung jadi meningkat. c. Kolesterol darah tinggi Lemak yang tidak larut dalam air, terikat dengan lipoprotein yang larut dalam air, yang memungkinkannya dapat dapat diangkut dalam sistem peredaran darah. d. Hiperglikemia Hubungan antara tingginya kadar glukosa dan meningkatnya penyakit jantung koroner disebabkan karena hyperglikemia meningkatkan agregarsi tombosit, yang dapat menyebabkan thrombus. e. Pola perilaku Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 14 Stress dan perilaku tertentu diyakini mempengaruhi patogenesis penyakit jantung koroner. Penelitian psikobiologis dan epidemiologis menunjukkan perilaku seseorang yang rentan terhadap penyakit jantung koroner adalah orang yang ambisius kompetitif, selalu tergesa, agresif dan kejam. 4. Patofisiologi Mekanisme terjadinya stenosis koroner akut diawali dengan pembentukan Arterosklerosis (pengerasan dinding arteri) disebabkan karena penumpukan lemak (plak) pada dinding arteri sehingga terjadi penebalan dan penyempitan yang mengakibatkan berkurangnya aliran darah. Adapun prosesnya sebagai berikut (Corwin, 2009). a. Kerusakan intima (lapisan terdalam arteri) akibat rokok, hiperkolesterolemia, diabetes melitus sehingga permukaan intimanya kasar. b. Lemak tertarik, daerah yang kasar menarik sel-sel pembawa kolesterol dan lemak lainnya. c. Terbentuk plak, lapis demi lapis plak terbentuk, sehingga mempersempit arteri dan mengurangi aliran darah di dalamnya. d. Ruptur plak ateroma pada arteri koroner, kemudian diikuti oleh terjadinya thrombus. Terjadinya thrombus ini disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan thrombus oleh trombocit. e. Spasme arteri koroner a. Pada saat arteri koroner mengalami penciutan (spasme), aliran arteri koroner tidak mencukupi kebutuhan, hal inilah yang menimbulkan gangguan. f. Emboli arteri koroner. a. Dalam hal ini emboli terjadi di daerah pembuluh darah koroner, sehingga suply oksigen jadi berkurang. Seperti disebutkan diatas, setelah terjadi plak di arteri koroner baik itu yang disebabkan oleh arteriosklerosis maupun hal lain, akan meningkatkan aktivasi platelet dan terjadilah pembentukan thrombus atau penyempitan di daerah arteri koroner sehingga suply oksigen menjadi berkurang atau tidak mendapatkan oksigen dan makanan sama sekali dan dapat menyebabkan jaringan menjadi nekrotik/kematian jaringan miokard dan akibatnya dapat terjadi gangguan Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 15 repolarisasi yang menyebabkan gangguan irama jantung dimana terlihat gambaran EKG gelombang ST segmen elevasi dan muncul Q wafe, dan juga dapat menyebabkan pelepasan enzim lisosom dapat dlihat dari peningkatan CPK, CKMB dan LDH, selain itu terjadi glikolisis anaerob yang menyebabkan produksi asam laktat meningkat sehingga timbul nyeri/angina. Infark miokard yang mengenai endocardium sampai epikardium disebut infark transmural, namun bisa juga hanya mengenai daerah subendokardial. Setelah 20 menit terjadinya sumbatan, infark sudah dapat terjadi pada subendokardium dan bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam telah terjadi infark transmural. Biasanya bila yang terjadi oklusi di arteri left antherior descending , infark mengenai dinding antherior ventrikel kiri dan bisa mengenai septum. Bila arteri left circumflex yang oklusi, infark mengenai dinding lateral atau posterior dari ventrikel kiri. Bila arteri koroner kanan yang terjadi oklusi, infark terutama mengenai dinding inferior dari ventikel kiri, tetapi bisa juga septum dan ventrikel kanan. 5. Manifestasi klinis (Ignativicius, 2006). a. Nyeri dada. biasanya berlangsung lebih dari 30 menit dan makin lama bertambah berat yang berlokasi di dada kiri menjalar ke rahang, leher ,lengan dan punggung. Rasa nyeri ini dapat digambarkan oleh penderita sebagai perasaan seperti tertekan benda berat, seperti diremas-remas, seperti terbakar atau seperti ditusuk-tusuk. b. Sesak nafas merupakan gejala yang sering menyertai nyeri dada pada acute coronary syndroma akibat tidak adequatnya suply oksigen sehingga pasien merasa dada seperti ditekan beban berat. c. Timbul mual muntah yang berkaitan dengan nyeri dada yang hebat. d. Perasaan lemas, kepenatan atau lelelahan. Jika jantung tidak efektif memompa, maka aliran darah ke otot selama melakukan aktifitas akan berkurang, menyebabkan penderita merasa lemas dan lelah. Gejala ini biasanya bersifat ringan. e. Kulit yang dingin, pucat, akibat vasokonstriksi syaraf simpatis. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 16 f. Pengeluaran urine berkurang karena penurunan aliran darah ginjal serta peningkatan aldosteron dan ADH. g. Takhikardia akibat peningkatan stimulasi simpatis jantung. h. Pusing atau pingsan, penurunan aliran darah karena denyut atau irama jantung yang abnormal atau karena kemampuan memompa yang buruk, bisa menyebabkan pusing/pingsan. 6. Komplikasi a. Edema paru akut Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga interstitial maupun didalam alveoli. Edema paru adalah merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat lanjut, dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, menembus keluar, dan menimbulkan dispneu yang sangat berat. Kongesti paru terjadi bila dasar vaskuler paru menerima darah yang berlebihan dari ventricle kanan, yang tidak mampu diakomodasikan dan diambil oleh jantung kiri. b. Gagal jantung Gagal jantung sering disebut juga gagal jantung kongestif, adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. Istilah gagal jantung kongestif paling sering disebut gagal jantung kiri atau gagal jantung kanan. c. Kardiogenik shock Shok kardigenik adalah merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kongestif, terjadi bila ventrikle kiri mengalami kerusakan yang luas. Otot jantung kehilangan kontraktilitasnya menimbulkan penurunan curah jantung dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung, otak, ginjal). Derajat shok sebanding dengan disfungsi ventrikel kiri, meskipun kardiogenik shock biasanya terjadi sebagai komplikasi miokard infark, namun bisa juga terjadi pada tamponade jantung, emboli paru, kardiomyopati dan disritmia. 7. Penatalaksaan a. Therapi Ada tiga kelas obat-obatan yang biasa digunakan untuk meningkatkan suplay oksigen, yaitu vasodilator (khususnya nitrat), antikoagulan, dan trombolitik. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 17 Sedangkan analgetik dapat menghilangkan nyeri namun tidak diketahui apakah bisa memperbaiki aliran koroner secara langsung. 1) Aspirin dan antipletelet secara oral dapat membantu sebelum diberikan streptokinase. Dosis aspirin yang diberikan adalah 325 mg dikunyah/ditelan lalu diteruskan 160 mg-325 mg/hari. 2) Pemberian Oksigen dengan nasal kanule pada semua pasien yang dicurigai Miokard infark, Dan dapat diberikan secara facemask atau endotrakheal tube terutama pada pasien yang mengalami edema paru atau kardigenik shock. Pemberian besarnya oksigen tergantung dari keadaan klien dan hasil laboratorium AGD dan saturasi oksigen/oxymetri. 3) Vasodilator Vasodilator pilihan untuk mengurangi nyeri jantung adalah nitoglicerin (NTG) intravena. Dosis NTG yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri dada bervariasi antara satu pasien dengan pasien lainnya. Karena dosis NTG yang berbeda-beda, maka jumlah NTG yang diberikan ditentukan dengan berdasarkan jumlah untuk mampu menghilangkan nyeri, tetapi tetap mempertahankan tekanan systolic dalam batas parameter teraupetik untuk masing-masing pasien. Dosis ditentukan berdasarkan berat badan dan diukur dalam miligram per kilogram berat badan. NTG ini menyebabkan dilatasi arteri dan vena yang mengakibatkan pengumpulan darah di perifer, sehingga menurunkan jumlah darah yang kembali ke jantung (preload) dan mengurangi beban kerja (workload) jantung, dan karena NTG kerjanya di arteri maka menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang juga merupakan tujuan yang diharapkan. Tetapi efek samping utama obat ini adalah hipotensi klinis. Obat ini dapat dimulai dengan 10-20 mikro/menit dan dievaluasi setiap 5-10 menit dan dapat diberikan secara terus menerus 24 jam -48 jam. 4) Antikoagulan Heparin adalah antikoagulan pilihan untuk membantu mempertahankan integritas jantung. Heparin memperpanjang waktu pembekuan darah, sehingga dapat menurunkan kemungkinan pembentukan thrombus dan selanjutnya menurunkan aliran darah. Dosis yang diberikan adalah bolus Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 18 5000 unit intravena dilajutkan dengan infuse 1000 unit/jam selama 4-5 hari dengan menyesuaikan APTT 1,5 sampai 2 kali nilai normal. 5) Trombolitik Tujuan trombolitik adalah untuk melarutkan setiap thrombus yang telah terbentuk di arteri koroner, memperkecil penyumbatan dan juga luasnya infark. Agar efektif obat ini harus diberikan pada awal terjadinya nyeri dada, paling efektif diberikan sebelum 8 jam sejak nyeri dada dan maksimal 12 jam setelah kejadian. Tiga macam obat trombolitik yang terbukti bermanfaat melarutkan thrombus (trombolisis) adalah streptokinase, aktifator plasminogen jaringan, dan anistreptase. Tetapi obat streptokinase bekerja secara sistemik pada mekanisme pembekuan darah, meskipun obat ini terbukti dapat melarutkan bekuan darah namun ada resiko terjadi potensial perdarahan sistemik dan juga mempunyai faktor resiko reaksi alergi dan terbukti lebif efektif bila diberikan langsung pada arteri koroner. Pemberian langsung pada arteri koroner memerlukan fasilitas katerisasi jantung. Sebelum pemberian trombolisis diberikan aspirin 160 mg dikunyah, dan streptokinase diberikan dalam dosis 1,5 juta unit dalam NaCl 0.9% 100 cc melalui infuse selama 1 jam. 6) Analgetik Pemberian analgetik dibatasi hanya untuk pasien yang tidak efektif diobati dengan nitrat dan antikoagulan, analgetik pilihan masih tetap morfin sulfat yang diberikan secara intravena dengan dosis 1-2 mg. Respon kardiovaskuler terhadap morfin dipantau dengan cepat khususnya tekanan darah yang dapat sewaktu-waktu turun. Tetapi morfin dapat menurunkan preload dan afterload dan merelaksasi bronchus sehingga oksigenasi meningkat, maka tetap ada keuntungan teraupetik dengan pemberian obat ini selain menghilangkan nyeri. b. Tindakan Medis Yang Bertujuan Untuk Pengobatan 1). PTCA (Percutaneous Trans Coronary Angioplasty) PTCA ini hanya memerlukan insersi kecil di pembuluh arteri lengan atau pangkal paha untuk memasukkan kateter pada arteri yang menuju muara koroner, melalui Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 19 kateter ini dimasukkan kateter lain yang mempunyai balon diujungnya, pada lokasi penyempitan balon ini dikembangkan, dan bila balon telah melebarkan pembuluh darah koroner itu kemudian dikempeskan kembali dan ditarik keluar. Dilakukan pemasangan stent setelah dilakukan tindakan dibalon, stent yang berbentuk laksana cincin atau gorong-gorong ini dapat mempetahankan pelebaran yang dilakukan balon. Dikenal jenis stent yang berlapis berbagai jenis obat yang mampu mereduksi angka penyempitan ulang hingga dibawah 5 %. Selain itu dikenal juga tehnik pengeboran sumbatan koroner yang mengeras termasuk penggunaan laser. 2). CABG (Coroner arteri bypass Graft) yaitu pembedahan dilakukan dengan tehnik terbuka, yaitu pembedahan di daerah dada dengan beberapa tehnik pembedahan. Tehnik pembedahan pertama dengan heart lung machine atau pompa jantung, dan tehnik kedua dengan operasi tanpa alat pompa (off pump) tehnik ini disebut juga beating heart surgery atau operasi jantung tanpa menggunakan mesin jantung. B. Konsep CABG (Coronarry artery bypass Graft) 1. Pengertian Coronary artery bypass grafting (CABG) adalah jenis pembedahan yang dikenal revascularisation, yang bertujuan untuk memperbaiki aliran darah ke jantung pada pasien dengan penyakit jantung koroner ( coronary artery disease) yang parah. CABG merupakan penanganan penyakit jantung koroner dengan cara membuat saluran baru melewati bagian arteri koronaria yang mengalami penyempitan atau penyumbatan (Price & Wilson, 2006). diperkirakan.Pembedahan jantung yang pertama kali dilakukan pada tahun 1895 oleh ahli bedah Itali de Vechi,dan yang paling revolusioner adalah tehnik pintasan jantung paru pada tahun 1951 dan kebanyakan prosedur adalah graf pintasan arteri Koroner atau yang sekarang dikenal sebagai CABG( coronary artery bypass graft ) 2. Kalsifikasi CABG Pada operasi bedah jantung akibat penyakit jantung koroner, dapat dilakukan melalui dua metode yaitu on pump CABG dan off pump CABG Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 20 a. On pump CABG yaitu operasi yang dilakukan dengan menggunakan mesin pompa jantung. Sehingga denyut jantung dihentikan untuk sementara waktu pemasangan pembuluh darah. Pada metode ini peredaran darah dalam tubuh tetap terjaga dengan mesin pompa jantung paru. b. Off pump CABG, yaitu operasi yang dilakukan tanpa menggunakan mesin pompa jantung paru sehingga jantung tetap berdenyut selama jalannya operasi. 3. Indikasi CABG Indikasi utama pengobatan penyakit jantung koroner dengan CABG menurut Woods, 2005 adalah sebagi berikut: a. Menghilangkan Angina yang tidak dapat dikontrol dengan terapi medis pemberian trombolitik, atau Percutaneus Coronary Intervention (PCI) b. Pengobatan sumbatan arteri koroner utama kiri (left mean) atau penyumbatan lebih dari 60% atau multivessel disease c. Mencegah dan mengobati myokard infark, dysritmia atau gagal jantung d. Pengobatan komplikasi kegagalan PCI (Percutaneus Coronary Intervention ) Untuk dilakukan pintasan arteri koroner harus sudah mengalami sumbatan paling tidak 70% ( 60% pada arteri koroner utama kiri) untuk pertimbangan dilakukan CABG. jika sumbatan pada arteri kurang dari 70% maka aliran darah melalui arteri tersebut masih cukup banyak sehingga mencegah aliran darah yang adekuat pada pintasan yang mengakibatkan akan terjadi bekuan pada CABG, sehingga hasil operasi menjadi sia-sia. CABG dilakukan dibawah anastesi umum. dibuat irisan sternotomi median dan pasien dibawah control mesin pintasan jantung paru. pembuluh darah dari bagian tubuh lain (misalnya vena safena, arteri mamaria interna) ditandur di distal arteri koroner “memintas” sumbatan. Setelah selesai penutupan pasien kemudian dimasukan ke unit perawatan kritis. 4. Pemilihan Arteri Kemajuan terbaru dalam prosedur pembedahan adalah dalam hal banyaknya pilihan pembuluh darah yang dapat digunakan untuk pintasan arteri koroner, yang Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 21 paling sering adalah vena safena magna, diikuti vena safena parva, vena sefalika dan basilica. vena diambil dari tungkai ( atau lengan) dan ditandur ke aorta asendens dan ke arteri koroner di sebelah distal sumbatan. a. Vena safena digunakan pada prosedur CABG darurat karena dapat diperoleh melalui satu kali pembedahan oleh satu tim bedah sementara tim bedah lainnya melakukan pembedahan dada. Salah satu efek samping penggunaan vena safena adalah sering terjadi edema pada ekstremitas yang diambil venanya. derajad edema sangat bervariasi dan menghilang dalam waktu yang lama. Dapat terjadi perubahan arterosklerotik simtomatis pada vena safena yang digunakan untuk tandur 5 sampai 10 tahun setelah CABG. Perubahan yang sama juga bisa terjadi pada vena lengan namun lebih cepat, kira-kira 3-6 tahun setelah pembedahan. b. Arteri mamaria kanan dan kiri juga digunakan, tetapi prosedur pengambilan arteri ini dari dinding dada menyebabkan pasien terlalu lama di bawah control anastesia dan mesin pintas jantung paru. Kemajuan di bidang pintasan jantung paru dan anastesia, telah mampu menyingkat waktu yang diperlukan untuk memulai prosedur pembedahan dan telah menurunkan resiko panjangnya waktu pembedahan, sehingga timbul kecenderungan untuk kembali menggunakan arteri untuk CABG. Penelitian menunjukan bahwa tandur arteri tidak merubah arteriosklerotis dengan cepat dan tidak lebih lama dibanding tandur vena, sehingga sekarang penggunaan arteri mamaria kanan dan kiri kembali digunakan. Ujung proksimal arteri mamaria dibiarkan melekat, sedang ujung distalnya dilepas dari dinding dada.Untuk arteri distal tersebut kemudian ditandurkan ke artei koroner di distal lesi. Arteri mamaria interna kadang-kadang kurang panjang selain itu diameternya kadang tidak mencukupi untuk CABG. Salah satu efek samping penggunaan arteri mamaria adalah kerusakan sensori saraf ulnaris, yang bisa bersifat sementara maupun permanen. c. Arteri gastroepiploika ( terletak pada kurvatura mayor gaster) juga bisa digunakan untuk CABG. Arteri ini suplai darahnya jauh lebih banyak ke dindingnya, dibanding arteri mamaria interna, sehingga tidak berespon sebaik arteri mamaria ketika digunakan sebagai tandur. Kerugian lain penggunaan arteri gastroepiploika adalah irisan dada harus diperpanjang sampai perut sehingga Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 22 pasien terpajan lebih luas terhadap resiko infeksi akibat kontaminasi traktus gastrointestinal pada tempat irisan. 5. Perawatan Paskaoperasi a. Perawatan di rumah sakit Pada mulanya perawatan pasien dipusatkan pada pencapaian atau pemeliharaan stabilitas hemodinamik dan pemulihan dari anastesi umum. dalam 48 jam pertama pasien tersebut dipindahkan ke unit elemetri atau bedah. Perawatan pasien ditujukan pada perawatan luka, kemajuan aktivitas dan diit. selain itu harus ditekankan pendidikan mengenai pengobatan dan modifikasi factor resiko. Pasien menjalani rehabilitasi pada fase 1 ketika pasien masih di rawat dan terbaring di rumah sakit. b. Perawatan di rumah Pemulangan pasien dari rumah sakit biasanya dilakukan 5 sampai 10 hari setelah CABG. Pasien mulai menjalani rehabilitasi fase 2 dimana pasien yang telah pulang rawat masih harus kembali ke rumah sakit mengikuti proses rehabilitasi dengan pengawasan tenaga kesehatan. Selanjutnya pasien akan menjalani rehabilitasi fase 3 dimana pasien dapat mengikuti program rehabilitasi di masyarakat atau klub senam jantung yang terdapat di masyarakat. Pasien bisa merasakan gejala penyakit jantung koronernya berkurang dan dapat menikmati peningkatan kualitas hidup. 6. Komplikasi Bedah pintas arteri koroner dengan tandur bisa menimbulkan komplikasi seperti infark miokardium, disritmia dan perdarahan. penyebab dasar jantung koroner sebenarnya belum dihilangkan, sehingga pasien bisa mengalami angina, intoleransi aktifitas, atau gejala lain yang dirasakan sebelum CABG. Obat-obat yang diperlukan sebelum operasi masih perlu dilanjutkan. penyesuaian gaya hidup yang dianjurkan sebelum pembedahan tetap penting, bukan hanya untuk penanganan penyakit,namun juga untuk mempertahankan viabilitas tandur yang baru dipasang. Jadi dapat disimpulkan komplikasi yang dapat terjadi antara lain: a. Postperfusion syndrome (pumphead), gangguan neurocognitive berhubungan dengan cardiopulmonary bypass Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 23 b. Nonunion sternum; kurangnya vaskularisasi internal thoracic artery . c. Myocardial infarction akibat embolisasi, hypoperfusion, kegagalan graft. d. Angina atau myikardial infark berulang akibat stenosis yang terlambat atau hypoperfusion. e. Stroke, efek sekunder dari embolisasi atau hypoperfusi C. Penerapan Teori konservasi Levine Teori diperlukan karena merupakan landasan dan analisis berpikir. Terdapat banyak teori dan konsep keperawatan yang diperkenalkan oleh para ahli keperawatan. Salah satunya adalah teori Konservasi yang dikembangkan oleh Myra Estrin Levine (1920-1996) di Chicago, Illinois. Fokus teori Konservasi dari Levine ini adalah mempromosikan adaptasi konservasi (Schaefer & Pond, 2009; Alligood & Tomey, 2006). Levine memandang bahwa adaptasi merupakan suatu proses dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan untuk mencapai dan mempertahankan integritas atau keutuhan diri (Schaefer & Pond, 2009;Alligood & Tomey, 2006). 1. Gambaran Teori Konservasi Levine Individu sesungguhnya senantiasa hidup dalam interaksinya dengan lingkungan dimana dalam proses interaksi tersebut, respon setiap individu terhadap perubahan lingkungan berbeda antara satu dengan lainnya. Adapun lingkungan yang melingkupi individu tersebut meliputi lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal melibatkan aspek fisiologi dan patofisiologi dari individu dimana lingkungan ini secara konstan dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di dalam lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal sendiri meliputi lingkungan perseptual, operasional, dan konseptual. Lingkungan perseptual merupakan lingkungan yang berhubungan dengan kemampuan individu menginterpretasikan sesuatu seperti halnya melalui penginderaan. Adapun lingkungan operasional meliputi unsur-unsur yang mempengaruhi individu secara fisik namun tidak secara langsung dirasakan oleh individu tersebut, contohnya seperti radiasi dan mikroorganisme. Lingkungan eksternal lainnya adalah lingkungan konseptual yang meliputi pola kebudayaan dan eksistensi spiritual dengan simbolisasi melalui Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 24 bahasa, pikiran, sejarah, nilai-nilai, dan keyakinan individu (Alligood & Tomey, 2006). Keberhasilan individu dalam beradaptasi dengan berbagai perubahan lingkungan akan mendukung terjadinya konservasi. Dengan kata lain, konservasi merupakan hasil dari adaptasi (Alligood & Tomey, 2006; Schaefer & Pond, 1994). Melalui konservasi maka seorang individu akan dapat memelihara energi yang ada untuk mempertahankan kesehatan dan penyembuhan sehingga keutuhan diri (wholeness/integrity) individu dapat tercapai dan dipertahankan (Alligood & Tomey, 2006). Levine pribadi menyatakan bahwa Ia tidak bertujuan khusus untuk mengembangkan „teori keperawatan‟, tetapi ingin menemukan cara untuk mengajarkan konsep-konsep utama dalam Keperawatan Medikal Bedah dan berusaha untuk mengajarkan siswa keperawatan sebuah pendekatan baru dalam kegiatan keperawatan. Levine juga ingin berpindah dari praktek keperawatan pendidikan yang mernurutnya sangat prosedural dan kembali fokus pada pemecahan masalah secara aktif dan perawatan pasien (George, 2002). a. Model Konservasi Levine Model konservasi levine merupakan Keperawatan praktis dengan konservasi model dan prinsip yang berfokus pada pelestarian energi pasien untuk kesehatan dan penyembuhan. Adapun prinsip konservasi tersebut adalah sbb: b. Konservasi Energi Individu memerlukan keseimbangan energi dan memperbaharui energi secara konstan untuk mempertahankan aktivitas hidup. Konservasi energi dapat digunakan dalam praktek keperawatan. c. Konservasi Integritas Struktur Penyembuhan adalah suatu proses pergantian dari integritas struktur. Seorang perawat harus membatasi jumlah jaringan yang terlibat dengan penyakit melalui perubahan fungsi dan intervensi keperawatan. d. Konservasi Integritas Personal Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 25 Seorang perawat dapat menghargai klien ketika klien dipanggil dengan namanya. Sikap menghargai tersebut terjadi karena adanya proses nilai personal yang menyediakan privasi selama prosedur. e. Konservasi Integritas Sosial Kehidupan berarti komunitas social dan kesehatan merupakan keadaan social yang telah ditentukan. Oleh karena itu, perawat berperan menyediakan kebutuhan terhadap keluarga, membantu kehidupan religius dan menggunakan hubungan interpersonal untuk konservasi integritas social. f. Tiga Konsep Utama Dari Model Konservasi Skema 2.1. Model Konservasi Levine 1) Wholeness (Keutuhan) Erikson dalam Levine (1973) menyatakan wholeness sebagai sebuah sistem terbuka. Keutuhan menekankan pada suara, organik, mutualitas progresif antara fungsi yang beragam dan bagian-bagian dalam keseluruhan, batas-batas yang terbuka. Levine menyatakan bahwa “interaksi terus-menerus dari organisme individu dengan lingkungannya merupakan sistem yang „terbuka dan cair‟, dan kondisi kesehatan, keutuhan, terwujud ketika interaksi atau adaptasi konstan lingkungan, memungkinkan kemudahan (jaminan integritas) di semua dimensi kehidupan”. Kondisi dinamis dalam interaksi terbuka antara lingkungan internal dan eksternal menyediakan dasar untuk berpikir holistik, memandang individu secara keseluruhan. 2) Adaptasi Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 26 Adaptasi merupakan sebuah proses perubahan yang bertujuan mempertahankan integritas individu dalam menghadapi realitas lingkungan internal dan eksternal. Konservasi adalah hasil dari adaptasi. Beberapa adaptasi dapat berhasil dan sebagian tidak berhasil. Levine mengemukakan 3 karakter adaptasi yakni: historis, spesificity, dan redundancy. Levin menyatakan bahwa setiap individu mempunyai pola respon tertentu untuk menjamin keberhasilan dalam aktivitas kehidupannya yang menunjukkan adaptasi historis dan spesificity. Redundancy menggambarkan pilihan kegagalan yang terselamatkan dari individu untuk menjamin adaptasi. Kehilangan redundancy memilih apakah melalui trauma, umur, penyakit, atau kondisi lingkungan yang membuat individu sulit mempertahankan hidup. 3) Lingkungan Levine memandang setiap individu memiliki lingkungannya sendiri baik lingkungan internal maupun eksternal. Perawat dapat menghubungkan lingkungan internal individu dengan aspek fisiologis dan patofisiologis, dan lingkungan eksternal sebagai level persepsi, opersional dan konseptual. Level perseptual melibatkan kemampuan menangkap dan menginterpretasi dunia dengan organ indera. Level operasional terdiri dari segala sesuatu yang mempengaruhi individu secara fisiologis meskipun mereka tidak dapat mempersepsikannya secara langsung, seperti mkroorganisme. Pada konseptual level, lingkungan dibentuk dari pola budaya, dikarakteristikkan dengan keberadaan spiritual, dan ditengahi oleh simbol bahasa, pikiran dan pengalaman. g. Respon organisme Respon organisme adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dengan lingkungannya, yang bisa dibagi menjadi fight atau flight, respon inflamasi, respon terhadap stress, dan kewaspadaan persepsi. 1) Fight-flight merupakan respon yang paling primitif dimana ancaman yang diterima individu baik nyata maupun tidak, merupakan respon terhadap ketakutan melalui menyerang atau menghindar hal ini bersifat reaksi yang tiba-tiba. Respon yang disampaikan adalah kewaspadaan untuk mencari informasi untuk rasa aman dan sejahtera. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 27 2) Respon peradangan atau inflamasi merupakan mekanisme pertahanan yang melindungi diri dari lingkungan yang merusak, merupakan cara untuk menyembuhkan diri, respon individu adalah menggunakan energi sistemik yang ada dalam dirinya untuk membuang iritan atau patogen yang merugikan, untuk hal ini sangat dibutuhkan kontrol lingkungan. 3) Respon terhadap stress menghasilkan respon defensif dalam bentuk perubahan yang tidak spesifik pada manusia, perubahan structural dan kehilangan energi untuk beradaptasi secara bertahap terjadi sampai rasa lelah terjadi, dikarakteristikkan dengan pengaruh yang menyebabkan pasien atau individu berespon terhadap pelayanan keperawatan. 4) Kewaspadaan perceptual, respon sensori menghasilkan kesadaran persepsi, informasi dan pengalaman dalam hidup hanya bermanfaat ketika diterima secara utuh oleh individu, semua pertukaran energi terjadi dari individu ke lingkungan dan sebaliknya. Hasilnya adalah aktivitas fisiologi atau tingkah laku. Respon ini sangat tergantung kepada kewaspadaan perceptual individu, hanya terjadi saat individu menghadapi dunia (lingkungan) baru disekitarnya dengan cara mencari dan mengumpulkan informasi dimana hal ini bertujuan untuk mempertahankan keamanan dirinya. h. Trophicognosis Levine merekomendasikan trophicognosis sebagai alternatif untuk diagnosa keperawatan. Ini merupakan metode ilmiah untuk menentukan sebuah penentuan rencana keperawatan. i. Konservasi Levine menguraikan model Konservasi sebagai inti atau dasar teorinya. Konservasi menjelaskan suatu system yang kompleks yang mampu melanjutkan fungsi ketika terjadi tantangan yang buruk. Dalam pengertian Konservasi juga, bahwa individu mampu untuk berkonfrontasi dan beradaptasi demi mempertahankan keunikan mereka. B. Integrasi Teori Konservasi dalam Proses Keperawatan Teori keperawatan harus dapat diIntegrasikan dalam asuhan keperawatan. Hal ini dikarenakan teori keperawatan merupakan teori yang dibangun berdasarkan kesatuan konsep-konsep, definisi, dan asumsi yang menjelaskan dan menguraikan Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 28 fenomena dalam keperawatan. Selain itu, teori keperawatan juga merupakan gambaran empiris dalam pengembangan ilmu keperawatan yang memberikan arahan dalam asuhan keperawatan (Alligood & Tomey, 2006). Dengan kata lain, integrasi teori keperawatan dalam asuhan keperawatan memberikan pedoman dalam mengorganisasi setiap komponen dalam proses keperawatan (Christensen & Kenney, 2009). Proses keperawatan merupakan suatu langkah sistematis yang menuntun perawat untuk berpikir kritis dalam melaksanakan praktik keperawatan. Dalam uraian umum proses keperawatan, perawat melakukan pengkajian terhadap kondisi klien, menganalisis data hasil pengkajian dan menginterpretasikan data tersebut dalam bentuk masalah dan diagnosa keperawatan, merumuskan rencana penatalaksanaan asuhan keperawatan, menerapkan dan mengevaluasi setiap tindakan keperawatan yang telah dilakukan (Christensen & Kenney, 2009). Adapun langkah-langkah dalam proses keperawatan melalui integrasi teori Konservasi sebagai berikut: f. Assessment Assessment atau pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan. Pada tahapan ini, perawat melakukan pengkajian secara komprehensif melalui wawancara dan observasi. Adapun pengkajian yang dilakukan meliputi pengkajian mengenai respon klien terhadap penyakit, telaah catatan medis dan evaluasi hasil pemeriksaan diagnostik, dan menggali informasi lainnya terkait kondisi kesehatan dan penyakit klien melalui wawancara dengan klien dan atau keluarga. Pada klien usia bayi, wawancara dilakukan pada orangtua atau anggota keluarga lainnya. Pada tahapan ini pula, perawat melakukan pengkajian mengenai lingkungan, baik internal maupun eksternal, serta pengkajian terhadap hal-hal yang mempengaruhi prinsip konservasi (Alligood & Tomey, 2006). g. Judgement/Trophicognosis Tahapan judgement merupakan tahapan dimana perawat menginterpretasikan atau menetapkan masalah atau kebutuhan klien akan bantuan. Interpretasi ini dilakukan atas dasar analisis terhadap data hasil pengkajian yang sebelumnya telah diperoleh (Alligood & Tomey, 2006). h. Hypothesis Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 29 Tahapan hypothesis memuat mengenai perencanaan asuhan keperawatan yang akan dilakukan. Pada tahapan hypothesis ini, perawat menyusun rencana asuhan keperawatan dimana rumusan rencana asuhan keperawatan ini didasarkan pada tujuan untuk mempertahankan dan memelihara keutuhan diri klien (Alligood &Tomey, 2006). i. Intervention Tahapan intervention merupakan tahapan dimana perawat melakukan intervensi berupa asuhan keperawatan langsung pada klien. Pada tahapan ini, perawat menggunakan hypothesis yang sebelumnya telah disusun sebagai panduan melakukan asuhan keperawatan. Intervensi dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip konservasi (Alligood & Tomey, 2006). j. Evaluation Evaluation merupakan tahapan dimana perawat mengobservasi respon organismik klien terhadap asuhan keperawatan yang telah diberikan. Pada tahapan ini, perawat juga mengobservasi apakah hypothesis yang sebelumnya telah disusun dan dilakukan dalam bentuk asuhan keperawatan, mampu mendukung proses adaptasi klien sehingga tujuan asuhan keperawatan pada klien untuk mempertahankan dan memelihara keutuhan diri klien tersebut dapat tercapai. Respon ini dapat dinilai dalam kemampuan pasien mengontrol nyeri, perbaikan kualitas tidur, penurunan stress, komunikasi efektif, peningkatan energi dan meningkatnya kepuasan pasien. (Alligood & Tomey, 2006). Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 30 BAB III PENERAPAN TEORI KONSERVASI LEVINE PADA ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER Bab ini akan membahas mengenai peran perawat spesialis sebagai pemberi asuhan keperawatan yang mempunyai tanggung jawab terhadap kelangsungan dan pemenuhan asuhan keperawatan terutama sebagai advisor untuk masalah keperawatan kardiovaskuler. Berikut ini dipaparkan gambaran perawat dalam mengelola satu kasus utama yaitu pasien dengan post operasi CABG dan menganalisis 30 kasus kardiovaskuler lainnya dalam bentuk resuma yang dirawat di rumah sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. A. Gambaran Kasus Kelolaan Utama 1. Identitas Pasien Pasien Tn. HD, 44 tahun, nomer MR 2012-33-77-49, status menikah, suku Sunda, asal Sukabumi Jawa Barat, Agama Islam, pendidikan akademi, pekerjaan karyawan swasta, jaminan Gakin Jakarta. BB 70 kg, TB 160 cm. Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 24 April 2013 pukul 09.05 WIB ke ruang intermediate bedah untuk persiapan operasi. Pengkajian dilakukan pada tanggal 25 April 2013 post operasi CABG dimana pasien masuk ICU jam 16.50 WIB. 2. Keluhan utama dan riwayat Kesehatan Sekarang Pasien masuk ruang ICU post CABG 3x, LIMA-Intermediate, SVG-OM, SVGRCA distal, off pump, atas indikasi CAD 2VD+LM, EF 24%, Hipertensi, pasien masih terpasang ETT sambung ventilator, WSD substernal, drain dalam batas normal, undulasi (+), terpasang catether swan gans, hasil monitoring CO 4.2 L/mnt. CI 2.5 L/m2, terpasang dower catether, urine 50-60 ml/jam, setelah bangun, keluhan nyeri luka operasi dan area pemasangan drain ada, skala 5, pasien masih mengantuk, nafas masih dibantu ventilator. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 31 3. Riwayat Kesehatan Dahulu Pasien memiliki riwayat hipertensi sudah sekitar 5 tahun, merokok 1 bungkus perhari, dan kurang berolah raga. TIMI score 4/7. Pasien didiagnosa CHF karena old anterior MCI dan hipertensi. Pada bulan Desember pasien sudah pernah dirawat selama 5 hari dengan keluhan nyeri dada disertai sesak nafas dan rasa tertindih beban berat. Pasien mengeluh makin sesak dengan aktifitas. Pasien dilakukan pemeriksaan koroner pada tanggal 17 Desember 2012 dengan hasil LM stenosis 30% di distal, Intermediate stenosis 80% di proximal, LCX, stenosis 80% di OM1, total oklusi OM2, RCA stenosis 60-70 % di proximal, 70% di distal. 4. Riwayat Kesehatan Keluarga Pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan hipertensi dalam keluarga. Ayah pasien meninggal karena penyakit jantung, kakak pasien juga pernah dirawat akibat serangan jantung. B. Penerapan Teori Konservasi Levine Pada Kasus Kelolaan Utama 1. Pengkajian Teori Konservasi a. Perubahan lingkungan internal : Pasien post operasi CABG 3x, LIMA-Intermediate, SVG-OM, SVG-RCA distal, off pump, kesadaran masih dibawah pengaruh obat, TD 147/78 mmHg, nadi 82 x/mnt, RR dengan ventilator, suhu 35.6 oC. Pasien dilakukan CABG atas indikasi CAD 2 VD dan LM disease. Hasil pemeriksaan didapatkan stenosis pada LM 30% distal, Intermediate stenosis 80% proximal, LCX, stenosis 80% OM1, total oklusi OM2, RCA stenosis 60-70 % proximal, 70% distal. Kondisi ini juga telah menyebabkan pasien dirawat dengan old anterior MCI serta CHF dengan EF 24% dan menderita hipertensi sudah 5 tahun. j. Perubahan lingkungan eksternal : Pasien terpasang alat-alat invasive yaitu kateter arteri pada arteri radialis sinistra, kateter CVC (central venous catheter) pada vena subclavia sinistra dan kateter PA di vena jugularis interna dextra. Pasien juga terpasang slang drain pada substernal dan intrapleural serta pace maker dengan 2 buah wire di ventrikel. Alat-alat tersebut membatasi aktivitas pasien di tempat tidur dan membuat pasien tidak nyaman. Pernafasan pasien juga dibantu ventilator, mode ASV 100%, FiO2 50%, Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 32 PEEP 5. Pasien masih kedinginan sehingga dipasang diathermi untuk menghangatkan tubuh pasien. k. Konservasi Energi : Paska operasi, hemodinamik pasien cukup stabil, cardiac output (CO) 4.4 L/mnt, cardiac index (CI) 2.5 L/m2, PCWP ( pulmonarry capilary wedge pressure) 14 mmHg, pasien masih mendapat obat-obatan untuk mensuport kebutuhan istirahat pasien dan mengurangi nyeri serta perasaan tidak nyaman akibat alat-alat yang terpasang. Meskipun demikian, pasien masih mengeluh nyeri pada luka operasi dan area pemasangan drain, terutama saat ingin batuk atau tarik nafas panjang, skala nyeri 7. Pernafasan masih dibantu ventilator, karena pasien masih mengantuk akibat efek obat-obatan anestesi sehingga pernafasan spontan belum adequat. Pasien masih dipuasakan, cairan infus mendapat Ringer lactat 60 ml/jam. Paska operasi, pasien dikunjungi oleh istri, anak dan keluarganya secara bergantian. l. Konservasi Integritas Struktur : Aktifitas pasien masih dibantu, kebutuhan mandi, toileting, mobilisasi pasif masih dibantu perawat karena pasien masih dibawah pengaruh obat-obatan sehingga masih lemas dan mengantuk dan belum dapat dimandirikan. Hasil pemeriksaan laboratorium Hb 11.4 g/dl, Ht 34 vol%, Leukosit 14980 /ul, GD 128 mg/dl. Urine output 50-100 ml/jam m. Konservasi Integritas Personal Menurut istri pasien, pasien adalah seorang kepala rumah tangga sekaligus bapak dan suami yang bertanggung jawab. Pasien lulusan akademi tetapi bekerja sebagai karyawan swasta dengan gaji yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari tanpa dapat menyisihkan untuk biaya kesehatan yang mahal, sehingga pembiayaan operasi ditanggung melalui jaminan KJS (kartu Jakarta sehat). Pasien juga taat beribadah, aktif mengikuti kegiatan masjid. Pasien melakukan sholat tetap di tempat tidur. Pasien memiliki kultur sunda yang kuat dilihat dari gaya bicara pasien dan nilai-nilai kesopanan dan menghargai aturan di rumah sakit. n. Konservasi Integritas Sosial : Pasien mempunyai hubungan persaudaraan yang kuat terbukti dari banyaknya sanak saudara yang antri untuk membesuk. Pasien juga sangat kooperatif dalam Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 33 proses pengobatan dan mengikuti penjelasan yang diberikan perawa. Keluarga memberi motivasi pasien untuk sembuh terlihat dari semangat keluarga menunggu pasien selama dirawat dan membesuk pasien pada jam besuk. Komunikasi pasien dan keluarga juga sangat harmonis. Istri selalu menceritakan tentang kondisi yang baik tentang anak-anaknya dirumah. o. Pemeriksaan penunjang a. Laboratorium Darah rutin Pre operasi Post operasi Normal-Satuan Hb 15.9 11.4 13 -16 gr/dl Ht 47 34 40 – 48 vol % Leukosit 6980 14980 5000 – 10.000/ul Trombosit 377 203 150 rb – 400 rb CK 192 187 20-40 u/l CKMB 15 15 0-15 U/L Cholesterol tot 212 mg/dl Trigliserida 136 mg/dl Uric acid 7.7 mg/dl Ureum 25 27 mg/dl Creatinin 1.18 0.9 mg/dl GDS 101 128 70 – 200 Natrium 136 137 135 – 147 Kalium 3.4 4.0 3,5 – 5,5 mmol/l Clorida 99 100 100–106 mmol/l Alb 4.2 3.7 3-5 gr/dl Ph 7.44 7.42 7.35-7.45 mmol/l PO2 107 346 80-100 mmHg PCO2 37 40 3.5-4.5 mmHg HCO3 25.4 24.9 22-26 mmol/l TCO2 26.5 21.8 23-27 mmol/l BE 1.0 0.9 -2.4-2.3 mmol/l Kimia Darah : Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 34 p. Radiologi : Terdapat kardiomegali, CTR > 50% q. Elektrokardiogram : Sinus rhytm, axis normal, LVH (+), terdapat t inverted di II, III, aVF, ST depresi di v4-v6, poor r (QS) di v1-v3 dengan gel t masih elevasi. r. Echokardiografy : EDD 55, ESD 48, EF 28%, efusi perikardium minimal dan efusi pleura minimal. s. Managemen Terapi 1) Ventilasi mekanik : Mode ASV 100%, FiO2 50%, PEEP 5, RR 15x/mnt 2) Terapi injeksi/drip a) Propofol 20 mg/jam, selanjutnya ganti paracetamol b) Dobutamin 5 mcg/kgBB/mnt, selanjutnya stop c) Nitroglicerin 0.5 mcg/mnt, selanjutnya stop d) Lasix 2 x 1 amp e) Sharox 3 x 1 gram f) Ranitidin 2 x 1 amp 3) Terapi oral : a) Aspilet 1x80 mg b) Simvastatin 1x20 mg c) Captopril 2x6.25 mg d) Bisoprolol 1x1.25 mg e) Paracetamol 3x1 gram 4) Terapi cairan : NaCl 0.9% untuk flushing 3 ml/jam, RL 60 ml/jam 5) Diet : diet jantung II, 1700 Kkalori/24 jam 2. Judgement/Trophicognosis Diagnosa keperawatan didapat setelah melalui analisis dan pengumpulan data. Adapun diagnosa yang diperoleh adalah sebagai berikut a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan, luka insisi bedah dan iritasi akibat pemasangan selang dada b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kehilangan darah dan fungsi jantung yang terganggu Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 35 c. Risiko gangguan perfusi jaringan perifer dan kardiak b.d penurunan fungsi pompa jantung, intervensi intrakardiak d. Resiko kekurangan volume cairan dan keseimbangan elektrolit berhubungan dengan berkurangnya volume darah yang beredar, perdarahan e. Risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan ventilasi penurunan ekspansi paru f. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi, terpasang alat invasif, imunosupresi 3. Hipotesis/intervensi 1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan, luka insisi bedah dan iritasi akibat pemasangan selang dada. NOC (nursing outcomes classification) : 1) Pain Level 2) Pain control 3) Comfort level Kriteria Hasil : 1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, memberitahukan nyerinya) 2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang denkgan menggunakan manajemen nyeri 3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri diatasi dan berkurang 5) Tanda vital dalam rentang normal NIC (Nursing Intervention classification) 1) Managemen nyeri : mengkaji skala nyeri, teknik distraksi, relaksasi otot, 2) Managemen lingkungan : cegah kebisingan, cahaya terlalu terang, batasi pengunjung 3) Mengatur posisi : atur posisi semi fowler atau yang nyaman menurut pasien 4) Menurunkan cemas : support emosional, mendorong coping positif 5) Managemen obat : anestesi, analgesik, sedatif secara iv, im, oral Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 36 Implementasi 1) Mengkaji nyeri, skala nyeri 7, karakteristik nyeri seperti rasa perih dan panas, lokasi pada luka operasi, lokasi donor (kaki kanan) dan area pemasangan drain, timbul terutama saat ingin bergerak, batuk atau tarik nafas 2) Mengukur tanda-tanda vital, TD : 150/90 mmHg, nadi 90 x/mnt, suhu : 36.50C 3) Membantu pasien membedakan antara nyeri bedah dengan nyeri angina, pasien mengatakan nyeri tidak menyebar dan meningkat saat ada pergerakan 4) Mengajarkan pasien untuk menekan dengan tangan dan bantal jika ingin batuk 5) Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan, mengurangi faktor presipitasi nyeri dengan membatasi pengunjung. 6) Mengatur posisi nyaman dengan memperbaiki posisi bantal dan posisi tidur, posisi kaki, membuat elevasi kepala, semifowler 7) Mengajarkan pasien menggunakan teknik relaksasi, distraksi dan imajinasi saat nyeri timbul 8) Memberi dukungan pasien dan melibatkan keluarga, istri pasien untuk memberi dukungan, untuk mengurangi cemas dan nyeri 9) Memberikan obat propofol bolus 20 mg iv, selanjutnya drip 20 mg/jam Evaluasi S : Pasien menyatakan lebih nyaman setelah posisi tidur diatur kembali, pasien menyatakan lebih nyaman dengan meletakan bantal di dada saat ingin batuk, pasien menyatakan masih sakit jika ada pergerakan.Pasien menyatakan lebih nyaman dengan teknik imaginasi. O : Pasien masih terlihat agak tegang terutama saat ingin batuk atau bergerak. TD 145/90-162/91 mmHg, nadi 80-96 x/mnt A : Masalah nyeri masih ada, berkurang dan lebih nyaman dengan pengaturan posisi, skala nyeri 3-5 P : Motivasi untuk menggunakan teknik imaginasi, teruskan pemberian propofol drip 20 mg/jam dengan mengkaji terus penurunan nyeri Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 37 2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kehilangan darah dan fungsi jantung yang terganggu. NOC (nursing outcomes classification) : 1) Cardiac Pump effectiveness 2) Circulation Status 3) Perfusi jaringan kardiak dan perifer 4) Vital Sign Status Kriteria Hasil : 1) Hemodinamik dan tanda-tanda vital dalam rentang normal 2) Perdarahan dapat dikontrol 3) Irama dan frekuensi jantung stabil 4) Dapat mentoleransi aktivitas, tidak sesak 5) Tidak terdapat tanda-tanda shoc NIC (Nursing Intervention classification) 1) Mengontrol perdarahan : kaji perdarahan melalui drain, peradarahn luka, pemberian cairan atau darah jika diperlukan 2) Cardiac care : Monitor irama jantung, tanda arytmia 3) Hemodinamic Monitoring : ukut tanda-tanda vital, ukur cardiac output, cardiac index 4) Managemen shock Implementasi 1) Mengukur hemodinamik : CO: 4.2 L/mnt, CI 2.4 L/m2 PCW 15, bobutamin 5 mcg/kgBB/mnt 2) Mengukur TD : 142/90, nadi : 86, pulsasi kuat, acral hangat, tidak pucat, CRT < 2 detik 3) Mengukur cairan drain 50 ml/jam, komponen darah, CVP 9 mmHg, tidak terdapat peningkatan vena jugularis 4) Mengukur urine output 70 ml/jam, distensi vena jugularis, penurunan haluran urine 5) Monitoring pemberian infus, infus berjalan lancar, mengukur intake output/24 jam : intake : 3250/24 jam, output : 2150 Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 38 Evaluasi S : Pasien mengatakan tidak ada pusing dan sesak. Pasien mengatakan sudah lebih enakan. O : Hasil pengukuran CO : 4.2 L/mnt, CI 2.4 L/m2, PCW 15, urine output 60-70 ml/jam, TD : 130/84, nadi 80, RR 18, CRT < 2 detik A: cardiac output stabil, hemodinamik stabil P : Monitoring terus urine output, hemodinamik, CRT. 3. Risiko gangguan perfusi jaringan perifer dan kardiak b.d penurunan fungsi pompa jantung, intervensi intrakardiak. NOC (nursing outcomes classification) : 1) Status sirkulasi 2) Perfusi kardiak 3) Perfusi renal 4) Perfusi cerebral Kriteria Hasil : 1) Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan : a) Hemodinamik stabil : cardiac output, cardiac indeks b) Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan c) Tidak ada ortostatik hipertensi d) Urine output 1 ml/kgBB/jam 2) Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan: a) berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan b) menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi c) memproses informasi d) membuat keputusan dengan benar NIC (Nursing Intervention classification) 1) Managemen sirkulasi : kaji CRT, hemodinamik, tanda-tanda vital, kesadaran 2) Managemen shock : kaji tanda-tanda shock, pucat, sianosis, kaji urine output 3) Managemen sensasi perifer : kaji acral, kekuatan nadi Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 39 Implementasi 1) Mengkaji drain, jumlah cairan drain 40 ml/jam, isi darah. 2) Mengkaji tanda-tanda hipoperfusi : acral hangat, tidak pucat, kesadaran compos mentis 3) Mengkaji hemodinamik, CO : 4.2 L/mnt, CI 2.4 L/m2, PCW 15 mmHg, urine output 70 ml/jam, TD : 130/78 mmHg, nadi 83 x/mnt, pulsasi kuat, irama teratur 4) Mengukur intake output/24 jam : intake : 3250/24 jam, output : 2150 5) Mengkaji CTR<2 detik, kesadaran kompos mentis, sudah dilakukan ekstubasi, pasien sudah mulai minum dan makan bertahap 6) Mengkaji tanda dehidrasi : turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab 7) Memonitor dan memberikan dobutamin 5 mcg/kgBB/mnt 8) Memonitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul 9) Memonitor adanya parestesi atau tidak ada, kemampuan motorik, kekuatan otot-otot 10) Memotivasi pasien melakukan rehabilitasi dini dan menjelaskan fase atau tahapan rehabilitasi selanjutnya selama di rumah sakit maupun setelah pulang atau di rumah Evaluasi S : Pasien mengatakan sudah lebih baikan, tidak ada pusing, tidak sesak, nyeri masih ada, tidak ada penurunan ambang rasa pada kulit O : Hasil pengukuran CO : 4.2 L/mnt, CI 2.4 L/m2, PCW 15 mmHg, urine output 70 ml/jam, TD : 130/78, nadi 83, pulsasi kuat, irama teratur, CRT< 2 detik, hasil echo ulang EF 28% A : tidak terjadi masalah perfusi jaringan, fungsi renal baik, produksi urine cukup P : Monitoring urine output, kekuatan nadi perifer, drainase. 4. Resiko kekurangan volume cairan dan keseimbangan elektrolit berhubungan dengan perdarahan, drainase. NOC (nursing outcomes classification) : Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 40 1) Fluid balance 2) Hydration 3) Nutritional Status : Food and Fluid Intake Kriteria Hasil : 1) Mempertahankan urine output 0.5-1 ml/kgBB/jam 2) Hemodinamik/tanda-tanda vital dalam batas normal 3) Tidak ada tanda tanda dehidrasi,elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan NIC (Nursing Intervention classification) 1) Managemen cairan : berikan terapi cairan sesuai program, ukur intake output 2) Monitoring cairan : monitor cairan yang masuk, monitor intake output 3) Managemen hipovolemik : kaji CVP, kekuatan nadi, beri cairan sesuai program Implementasi 1) Mengukur TD 143/86. Nadi 88, CO : 4.2 L/mnt, CI 2.4 L/m2, PCW 15 mmHg, cairan drain 50 ml/jam, urine output 60 ml/jam 2) Monitor nadi perifer, kuat, capillary refill <2 detik, turgor kulit baik, membrane mukosa baik 3) Memberikan minum teh manis 150 ml dan sirop 200 ml 4) Memberi makan lunak, habis ¾ porsi 5) Memonitor pemberian infus RL 60 ml/jam dan NaCl 3 ml/jam 6) Mengukur intake output/24 jam : intake : 3250 ml/24 jam, output : 2150ml/24 jam Evaluasi S : pasien mengatakan sudah mulai minum, sirop dan juice habis 1 gelas O : Drainage Produksi urine 60-70 ml/jam, balance/24 jam intake : 3250 ml/24 jam, output : 2150 ml A : Masalah kekurangan cairan tidak terjadi, pasien mulai minum dan makan bertahap P : Monitoring intake dan output , monitoring drainase Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 41 5. Risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan ventilasi penurunan ekspansi paru NOC (nursing outcomes classification) : 1) Respiratory status : Ventilation 2) Respiratory status : Airway patency 3) Vital sign Status Kriteria Hasil : 1) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah) 2) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) 3) Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan) NIC (Nursing Intervention classification) 1) Airway managemen : kaji jalan nafas, kaji penumpukan sekret, 2) Terapi oksigen : berikan oksigen sesuai kebutuhan, kaji saturasi oksigen 3) Monitoring hemodinamik, TTV: Ukur tekanan darah, CO, CI Implementasi 1) Mengkaji frekuensi pernafasan dan kedalaman, RR 18x/mnt, pasien sudah ekstubasi dan sudah bernafas spontan, tidak sesak 2) Memberikan oksigen binasal 4 lpm, SpO2 99% 3) Mengkaji bunyi nafas vesikuler, Ronchi (-), wheezing (-), BJ 1 dan 2 normal, gallop (-) 4) Mengajarkan teknik bernafas dengan mengembangkan diafragma dan nafas dalam 5) Memonitor pernafasan, ekspansi dada adequat, keluhan nyeri masih ada post ekstubasi, posisi semi fowler 6) Mengajarkan pasien batuk dengan menekan dengan bantal, saliva paska ekstubasi ada sedikit, mengajarkan batuk efektif 7) Mengkaji tanda sianosis : tidak ada, akral dan mukosa bibir lembab dan kemerahan Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 42 8) Meninggikan kepala tempat tidur, pada posisi duduk atau semifowler. Evaluasi S : Pasien mengatakan tidak sesak nafas lagi paska selang dilepas, tetapi masih sakit saat tarik nafas panjang O : Bunyi nafas vesikuler, tidak ada bunyi nafas tambahan, RR 18x/mnt, ekspansi dada optimal A : Tidak terjadi gangguan pola nafas paska ekstubasi P : Monitoring ekspansi dada, teruskan latihan batuk efektif dan nafas dalam dengan bantuan bantal yang lembut 6. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi, terpasang alat invasif, imunosupresi NOC (Nursing outcomes classification) : 1) Immune Status 2) Knowledge : Infection control 3) Risk control Kriteria Hasil : 1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 2) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 3) Jumlah leukosit dalam batas normal 4) Menunjukkan perilaku hidup sehat NIC (Nursing Intervention classification) 1) Infection Control (kontrol infeksi): kaji tanda-tanda infeksi, kaji pemeriksaan darah, leukosit, kondisi luka. 2) Infection Protection (proteksi terhadap infeksi): cuci tangan, gunakan sarung tangan, masker, skort jika diperlukan 3) Perawatan luka operasi: gunakan teknik septik-aseptik, kaji kondisi luka Implementasi 1. Mengkaji balutan luka : bersih dan tidak ada rembesan pada luka 2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan serta sebelum kontak dengan pasien 3. Mempertahankan prinsip septik dan aseptik dalam melkukan tindakan Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 43 4. Memberitahu keluarga pasien untuk membatasi pengunjung yang mengalami infeksi untuk tidak mendekat. 5. Mengkaji tanda-tanda vital TD : 124/80. Nadi 80, suhu 36.6 C 6. Membantu pasien mengubah posisi tidur dan menaikkan bagian kepala pasien Evaluasi S : Pasien mengatakan luka operasi masih terasa nyeri, pasien mengatakan tidak ada demam atau meriang. O: Hasil pengukuran tanda-tanda vital TD : 124/80. Nadi 80, suhu 36.6 C, irama teratur, pulsasi kuat, kondisi balutan luka bersih, tidak ada rembesan A: Masalah infeksi tidak terjadi dan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi P: monitoring terus tanda-tanda infeksi dan lakukan pencegahan secara terus menerus C. Pembahasan Pembahasan merupakan analisa dari seluruh proses asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan , memaparkan aspek keunggulan dan kelemahan serta kondisi yang terjadi pada pasien dengan post CABG yang di rawat di ruang ICU rumah sakit pusat jantung Harapan Kita Jakarta. 1. Proses keperawatan Pengkajian melalui anamnesa bertujuan untuk mendapatkan riwayat kesehatan dan faktor risiko serta perubahan spesifik dalam tingkat kesejahteraan dan pola kehidupan (Potter & Perry, 2006). Dari pengkajian didapatkan data riwayat bahwa pasien memiliki riwayat hipertensi sudah sekitar 5 tahun, merokok 1 bungkus perhari, dan kurang berolah raga. Faktor risiko lainnya, pasien juga mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit jantung dan hipertensi. Dari beberapa faktor risiko tersebut memungkinkan pasien yang masih berusia cukup muda ( 44 tahun) mengalami serangan jantung koroner bahkan didiagnosa CHF karena old anterior MCI dan hipertensi. Merokok berperan memicu penyakit jantung koroner dengan meningkatkan kadar karbon monoksida (CO) darah, dimana hemoglobin, komponen darah yang mengangkut oksigen, lebih mudah terikat pada CO dari pada Oksigen, sehingga Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 44 oksigen yang disuplai ke jantung berkurang. Asam nikotinat pada tembakau juga memicu pelepasan katekolamin, yang menyebabkan konstriksi arteri, aliran darah dan oksigenasi jaringan menjadi terganggu. Merokok juga meningkatkan adhesi trombosit, mengakibatkan kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus. (Wood, 2005). Pasien juga menderita tekanan darah tinggi yang menyebabkan terjadinya gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventikel kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung jadi meningkat. Selain itu pasien juga mempunyai kolesterol darah tinggi, dimana lemak yang tidak larut dalam air, terikat dengan lipoprotein yang larut dalam air, yang memungkinkannya dapat diangkut dalam sistem peredaran darah. ( Ignativicius, 2008). Pada bulan desember 2012 pasien sudah pernah dirawat selama 5 hari dengan keluhan nyeri dada disertai sesak nafas dan rasa tertindih beban berat. Pasien mengeluh makin sesak dengan aktifitas. Pasien dilakukan pemeriksaan koroner pada tanggal 17 Desember 2012 dengan hasil LM stenosis 30% di distal, Intermediate stenosis 80% di proximal, LCX, stenosis 80% di OM1, total oklusi OM2, RCA stenosis 60-70 % di proximal, 70% di distal. Keterlambatan dalam memeriksakan kesehatan secara intensif dan keteraturan dalam berobat membuat pasien harus mengalami gagal jantung pada usia yang masih cukup muda dan produktif. Gagal jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan infark jantung dimana terjadi ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi yang sering dikenal dengani istilah gagal jantung kongestif. (Bruner &Suddart, 2002). Pasien dilakukan tindakan pembedahan CABG ( coronarry artery bypass graft) untuk mengatasi masalah stenosis pada koroner. Tindakan CABG dilakukan meskipun diagnosa pasien adalah 2VD ( two vessel disease), tetapi disertai LM (left mean) disease yaitu stenosis 30% di distal, Intermediate stenosis 80% di proximal. Disamping itu pasien juga telah jatuh pada komplikasi gagal jantung kongestif dengan EF 24%. Usia pasien yang masih sangat produktif Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 45 memungkinkan pasien untuk dilakukan operasi CABG ini supaya kualitas dan produktifitas pasien dapat ditingkatkan. Diagnosa keperawatan prioritas utama paska operasi CABG adalah Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan, luka insisi bedah dan iritasi akibat pemasangan selang dada. Nyeri dapat timbul karena beberapa factor, luka operasi atau tindakan pembedahan salah satu faktor penyebab terjadinya nyeri, apabila nyeri berkelanjutan tidak dihilangkan akan mengganggu aktivitas fisik yang akhirnya dapat menyebabkan aliran darah terganggu (Perry & Potter, 2006). Pasien post operasi jantung akan merasakan nyeri yang spesifik yaitu seperti tajam dan terbakar pada area luka insisi atau pembedahan serta pada area pemasangan drain dan area donor yaitu kaki kanan pasien. Nyeri harus dapat dengan jelas identifikasi untuk membedakan apakah nyeri tersebut adalah nyeri angina atau infark jantung yang biasanya menyebar ataukan nyeri tersebut lokal hanya pada area luka operasi.(Ignatificius, 2006). Penatalaksanaan nyeri difokuskan pada nyeri akibat insisi pembedahan, sehingga pasien diberikan terapi antinyeri atau anestesi, yaitu propofol bolus 20 mg iv selanjutnya drip 20 mg/jam. Pasien juga diajarkan teknik relaksasi dengan imagine dan teknik batuk agar mengurangi perasaan nyeri yaitu dengan menekan dada dengan bantal yang lembut. Salah satu tindakan yang dilakukan perawat dalam mengatasi nyeri adalah memberikan arahan, menjelaskan tentang nyeri dan cara mengatasinya, dengan bahasa yang dapat dimengerti dan sesuai dengan tingkat pendidikan untuk melakukan relaksasi, distraksi dan imajinasi terbimbing (guided imagery). Upaya ini dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun (Perry & Potter, 2006) Masalah penurunan curah jantung berhubungan dengan kehilangan darah dan fungsi jantung yang terganggu diangkat menjadi prioritas kedua mengingat pasien sebelum operasi telah mengalami gagal jantung dan penurunan ejection fraction yaitu 24%. Paska operasi pasien mendapat terapi dobutamin drip 5 mcg/kgBB/mnt untuk meningkatkan kontraktilitas jantung. Selama perawatan pasien dapat mempertahankan hemodinamik tetap stabil, dengan tekanan darah Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 46 berkisar 124/80-165/90. Nadi 82-90, CO : 4.2 L/mnt, CI 2.4 L/m2, PCW 15 mmHg, urine output 60 ml/jam, nadi perifer, kuat, capillary refill <2 detik. Pasien tidak terlihat pucat dan dapat recoverry di ICU dengan cepat. Penurunan curah jantung merupakan salah satu komplikasi tersering yang dapat terjadi pada pasien post bedah jantung yang dikenal dengan Postperfusion syndrome (pumphead) yaitu berkurangnya suply oksigen akibat gangguan fungsi pompa jantung. (Ignativicius, 2006). Diagnosa risiko gangguan perfusi jaringan perifer dan kardiak b.d penurunan fungsi pompa jantung, intervensi intrakardiak juga dirumuskan mengingat kondisi pasien dengan masalah kardiak yang menyertai serta antisipasi tehdapat terjadinya gangguan atau kegagalan organ lain seperti gagal ginjal. Masalah tidak terjadi ditandai dengan produksi urine yang stabil baik yaitu antara 50-100 ml/jam, dan balance cairan per 24 jam yang stabil cukup yaitu intake : 3250/24 jam, output : 2150. Diagnosa berikutnya yaitu resiko kekurangan volume cairan dan keseimbangan elektrolit berhubungan dengan berkurangnya volume darah yang beredar, perdarahan. Diagnosa ini dimunculkan sebagai risiko. Pasien dipuasakan paska operasi sampai saat pasien diekstubasi 6 jam kemudian. Masalah tidak terjadi, hal ini dikarenakan belum diperolehnya data-data gangguan melainkan data-data yang dalam monitoring masih dalam batas normal. Pasien sudah mulai minum dan makan 2 jam paska ekstubasi. Pasien juga mendapat terapi infus RL 60 ml/jam serta tidak ada keluhan mual dan muntah ketika pasien sudah mulai makan. Diagnosa selanjutnya adalah risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan ventilasi, penurunan ekspansi paru. Pasien sangat kooperatif dan mau berpartisipasi dalam latihan batuk dan bernafas secara efektif sehingga proses weaning dan ekstubasi berjalan lancar sesuai program dan tidak mengalami kesulitan. Pasien diekstubasi 6 jam paska operasi dan selanjutnya mampu bernafas spontan tanpa bantuan ventilasi mekanik dengan adequat. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 47 Diagnosa antisipasi terhadap kejadian infeksi dirumuskan yaitu risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi, terpasang alat invasif, imunosupresi. Hal ini mengingat pasien dalam keadaan terpasang beberapa alat invasive yang memungkinkan menjadi sumber infeksi, selain itu pasien juga dalam kondisi penurunan daya tahan tubuh paska operasi pembedahan jantung. Sampai pada saat pasien pindah ke unit perawatan intermediate pasien tidak mengalami tanda-tanda infeksi. D. Analisis Penerapan Teori Pada Kasus Pasien Post CABG Penerapan teori Levine pada kasus pasien post CABG diterapkan sebagai suatu pendekatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada Tn. HD yang dirawat dengan operasi coronary artery bypass graft atas indikasi 2VD dan LM disease dengan EF 24% Pengkajian perawatan dengan menggunakan pola pengkajian dari Levine yang memandang bahwa adaptasi merupakan suatu proses dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan untuk mencapai dan mempertahankan integritas atau keutuhan diri (Alligood & Tomey, 2006). Individu sesungguhnya senantiasa hidup dalam interaksinya dengan lingkungan dimana dalam proses interaksi tersebut, respon setiap individu terhadap perubahan lingkungan berbeda antara satu dengan lainnya. Lingkungan yang meliputi lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal melibatkan aspek fisiologi dan patofisiologi dari individu dimana lingkungan ini secara konstan dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di dalam lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal sendiri meliputi lingkungan perseptual, operasional, dan konseptual. (Alligood & Tomey, 2006). Jadi pengkajian difokuskan pada kemampuan adaptasi pasien terhadap kondisinya saat ini yaitu pasien paska operasi CABG dengan penggunaan berbagai alat invasive yang mempengaruhi kemampuan pasien dalam beradaptasi terhadap kesehatan dan kemampuanya. Sehingga pada pengkajian ini bisa tercapai konservasi energi yang diharapkan untuk memperoleh kesembuhan dan kesehatan pasien. Keberhasilan individu dalam beradaptasi dengan berbagai perubahan Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 48 lingkungan akan mendukung terjadinya konservasi. Dengan kata lain, konservasi merupakan hasil dari adaptasi. Melalui konservasi maka seorang individu akan dapat memelihara energi yang ada untuk mempertahankan kesehatan dan penyembuhan sehingga keutuhan diri (wholeness/integrity) individu dapat tercapai dan dipertahankan (Alligood & Tomey, 2006). Proses keperawatan mulai dari pengkajian didasari oleh teori Levine yaitu mengkaji perubahan lingkungan eksternal pasien yang mempunyai tiga tingkatan perseptual, operasional dan konseptual. Adanya tingkatan tersebut memberikan dimensi dalam interaksi antara individu dan lingkungan. Tingkatan perseptual meliputi aspek kemampuan pasien dalam menerima dan memahami dunia dengan indra yang dimiliki. Sedangkan operasional meliputi hal-hal yang mempengaruhi fisik individu dan konseptual mengandung arti bahwa lingkungan itu dibentuk dari pola budaya dan dimediasi oleh simbul bahasa ide dan sejarah. Pasien adalah seorang Bapak dari kultur sunda yang kuat, yang memiliki tatanan kesopanan dan tanggung jawab yang baik. Pasien dapat mengikuti arahan dengan baik selama paska operasi, dapat berpartisipasi dengan baik mengikuti latihan pernafasan dan mobilisasi bertahap yang diajarkan sehingga dapat pulih lebih cepat dan lepas dari bantuan ventilasi mekanik dengan tepat waktu. Pengkajian Levine juga diperlengkapi dengan pengkajian konservasi energy berupa nutrisi, istirahat (tidur), waktu luang, pola koping, hubungan dengan anggota keluarga/orang lain, pengobatan, lingkungan dan penggunaan energi yakni fungsi dari beberapa sistem tubuh, emosi, stress sosial, dan pola kerja. Pengkajian integritas struktur berupa pertahanan tubuh struktur fisik. Pengkajian Integritas Personal yaitu keunikan, nilai, kepercayaan. Pengkajian Integritas Sosial meliputi proses keputusan dari klien dan hubungan klien dengan orang lain serta kesukaran dalam berhubungan dengan orang lain atau masyarakat. Kelebihan pengkajian Levine ini adalah memungkinkan perawat untuk lebih komprehensif dalam menggali data dari pasien mengingat Levine sangat memperhatikan kemampuan adaptasi pasien, dimana memandang pasien sebagai Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 49 individu yang sangat unik, yang mempunyai kemampuan adaptasi yang berbeda. Kemampuan perawat dalam menggali kemampuan adaptasi pasien sangat diperlukan sehingga tercapai konservasi energi yang diharapkan berguna dalam proses penyembuhan dan kesehatan. Kelemahan dari teori Levine ini menurut penulis adalah ada beberapa komponen dalam pengkajian yang seringkali membuat penulis kesulitan dalam mengkategorikan seperti pada pengkajian Integritas personal dan integritas sosial, dimana pada pengkajian kedua integritas tersebut seringkali sama-sama melibatkan peran dan dukungan keluarga, lingkungan dan masyarakat terkait nilai-nilai dan kepercayaan pasien serta perannya dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini membuat isi pengkajian sepertinya overlaping atau menjadi duplikasi penulisan. Untuk mengantisipasi hal tersebut penulis perlu lebih teliti dalam menyusun dan mengkategorikan hasil pengkajian. Sosialisasi penggunaan teori Levine ini juga belum banyak dilakukan sehingga masih jarang digunakan pada pengkajian keperawatan di rumah sakit di indonesia khususnya di Jakarta. Mahasiswa sebagian besar juga masih pada tahap mempelajari belum sampai pada tahap mengaplikasikan dalam pengkajian langsung pasien di rumah sakit. Hal tersebut memungkinkan pengkajian konservasi menurut model Levine belum banyak dikenal di pelayanan rumah sakit. E. Analisis Kasus Resume Pada bagian ini akan diuraikan mengenai 30 kasus kelolaan lainnya yang merupakan berbagai macam gangguan system musculoskeletal, dan merupakan bagian dari laporan kasus, yaitu : 1) Gagal jantung kongestif, ADHF, 2) Diseksi aortja 3) acute coronary syndroma 4) Arytmia jantung. 5) percutaneus coronary intervention, 6) Kelainan jantung bawaan 7) Penyakit katup jantung 8) Post partum cardiomyopati, 9) Post op selain CABG 10), Infeksi otot jantung Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 50 Pasien dalam kasus resume penulis ambil dari semua unit perawatan baik rawat inap maupun seperti gedung perawatan, ICU (intensive care unit), intermediate bedah dan medikal, dan cardiovascular care unit (CVCU) tetapi juga unit non rawat inap seperti instalasi gawat darurat dan kamar operasi di Rumah sakit pusat jantung nasional Harapan Kita. Pengkajian pada pasien dilakukan dengan menggunakan format Levine. Proses pengkajian meliputi perubahan lingkungan eksternal pasien yang mempunyai tiga tingkatan perseptual, operasional dan konseptual. Tingkatan perseptual meliputi aspek kemampuan pasien dalam menerima dan memahami dunia dengan indra yang dimiliki. Sedangkan operasional meliputi hal-hal yang mempengaruhi fisik individu dan konseptual mengandung arti bahwa lingkungan itu dibentuk dari pola budaya dan dimediasi oleh simbul bahasa ide dan sejarah. Usia pasien dengan gangguan kardiovaskuler sangat variatif dengan rentang antara 20 sampai 60 tahun, dimana pasien sebagian besar berada pada usia produktif dan rata-rata adalah laki-laki . Faktor risiko yang penulis identifikasi dari seluruh kasus untuk kasus yang berkaitan dengan kelainan atau gangguan pembuluh darah koroner adalah kebiasaan merokok, gaya hidup seperti pola makan yang tidak sehat, kurang berolah raga, stress, hyperlipidemia dan penyakit yang mendahului seperti diabetes melitus, hypertensi, dan faktor keturunan dalam keluarga. Semua kasus mengalami masalah kesehatan yang memungkinkan pasien beradaptasi dengan keadaan tersebut sehingga tercapai konservasi energi yang diharapkan untuk mencapai kesembuhan. Setiap pasien memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda-beda dilihat dari hasil pengkajian konservasi yang dilakukan. Perawat bertugas menggali kemampuan adaptasi baik secara fisik dalam integritas struktur dan konservasi energi serta adaptasi secara personal dan sosial. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 51 Masalah utama yang muncul pada sebagian besar kasus adalah nyeri, sesak nafas dan intoleransi aktifitas. Keluhan nyeri secara umum dapat dikelompokkan kedalam beberapa penyebab seperti nyeri karena gangguan koroner, sehingga suply oksigen ke myokardium tidak adequat, seperti kasus ACS (acute coronary syndrome), pasien dengan PCI (percutaneus coronarry intervention), TPM (temporary pace maker), arytmia jantung. Nyeri karena proses infeksi jantung seperti myokarditis, perikarditis, dan gangguan katup jantung akibat jantung rematik. Nyeri karena tindakan pembedahan yang menyebabkan trauma jaringan atau agen cedera fisik. Tindakan pembedahan menunjukkan insiden pengalaman nyeri sedang sampai berat. Nyeri adalah mekanisme yang dimaksudkan untuk menimbulkan kesadaran bahwa telah terjadi kerusakan jaringan (Sherwood, 2001). Pompa jantung yang terganggu juga menjadi penyebab tidak adequatnya suply darah dan oksigen ke organ kardiak dan organ vital lainnya. Hal ini terjadi pada kasus gagal jantung, ADHF (acute decompensated heart failure) dan PPCM (postpartum cardiomyopathy). Nyeri akut terjadi secara akut akibat cedera atau trauma atau penyakit iskemik atau setelah intervensi bedah dan mempunyai awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya keluhan nyeri, untuk jenis kelamin tidak berbeda secara bermakna. Terbukti pada kasus yang dikelola semuanya mengalami nyeri walau dengan intensitas yang berbeda. Cara individu mengekspresikan nyeri merupakan sifat kebuadayaan yang lain (Perry & Potter, 2006). Untuk mengatasi nyeri ada berbagai implementasi yang sudah diberikan mulai dari intervensi keperawatan berupa teknik relaksasi dan distraksi serta pengaturan posisi yang nyaman, juga intervensi medis melalui pemberian obat-obatan anti nyeri yang diberikan secara intravena, bolus maupun drip serta secara oral. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 52 Masalah keperawatan kedua adalah penurunan curah jantung berhubungan dengan kehilangan darah dan fungsi jantung yang terganggu diangkat menjadi prioritas kedua mengingat pasien dengan gangguan otot jantung, katup jantung dan fungsi pompa jantung, dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Pengkajian yang dilakukan adalah hemodinamik, tekanan darah, urine output , nadi perifer, capillary refill. Penurunan curah jantung merupakan salah satu komplikasi tersering yang dapat terjadi pada penyakit jantung yaitu berkurangnya suply oksigen akibat gangguan fungsi pompa jantung. ( Ignativicius, 2006). Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 53 BAB IV. PENERAPAN PRAKTIK BERBASIS PEMBUKTIAN (EVIDENCE BASED NURSING) Baba ini akan membahas mengenai peran perawat sebagai peneliti, dengan memberi kontribusi pada praktik keperawatan berdasarkan pembuktian (evidence based), dengan memaparkan hasil analisa dan sintesa secara kritis terhadap hasil penelitian terkait dengan gangguan system kardiovaskuler. Pengalaman melaksanakan evidence based nursing pada kasus yang dikelola selama praktek residensi spesialis keperawatan dan hasil penelaahan terhadap pengalaman melakukan evidence based nursing termasuk keunggulan, kelemahan. A. Penelaahan Kritis (Critical Review) Penyakit jantung koroner menjadi penyebab kematian nomor 1 berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN) tahun 2007. Menurut data secara global pada tahun 2004, setidaknya, terdapat 12.1 juta orang hidup dengan penurunan kualitas hidup akibat tidak adekuatnya aliran darah ke myokard atau penyakit jantung koroner. (Schadewalt, 2010). Salah satu upaya mengembalikan aliran darah koroner secara efektif adalah melalui tindakan pembedahan CABG (Coronary Artery Bypass Graft). revaskularisasi yang umum CABG merupakan salah satu metode dilakukan pada pasien yang mengalami atherosklerosis dengan 3 atau lebih penyumbatan pada arteri koroner atau penyumbatan yang signifikan pada Left Main Artery Coroner (Chulay&Burns, 2006). Sebagai alternative terakhir penatalaksanaan penyakit jantung koroner, Tindakan CABG memiliki komplikasi yang tidak sedikit bagi pasien. Hipovolemia, perdarahan, tamponade jantung, infeksi pneumonia, atelektasis bahkan kegagalan proses weaning dari ventilator dapat terjadi akibat komplikasi dari tindakan. Pencegahan terhadap kejadian komplikasi harus dilakukan secara dini agar pasien terhindar dari masalah baru yang dapat memperlambat proses penyembuhan. Perawat turut berperan penting dalam upaya preventif terhadap komplikasi paska Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 54 operasi. Paska CABG, pasien akan menggunakan alat bantu pernafasan serta dipasang slang atau WSD untuk mengeluarkan cairan intratorakal paska operasi. Salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi pasien post CABG adalah melatih pasien nafas dalam sekaligus melatih ototpernafasan. Tindakan ini bertujuan meningkatkan expansi paru-paru sekaligus memperbaiki oksigenasi ke otot jantung. Latihan nafas dalam juga mencegah atelektasis dan memperbaiki fungsi paru-paru yang dapat dilihat dari pengembangan paru secara maksimal serta hasil pemeriksaan saturasi oksigen dengan oksimetri maupun hasil pemeriksaan tekanan oksigen dan CO2 dalam darah dapat kembali normal paska ekstubasi. Setiap keberhasilan tindakan membutuhkan peran perawat sebagai petugas yang berada bersama pasien selama 24 jam. Melatih nafas dalam secara teratur paska pasien lepas dari ventilator dapat memberi hasil yang signifikan terhadap meningkatnya kapasitas volume paru dan memperbaiki nilai pertukaran gas pada pasien paska CABG. (Westerdahl, 2005). Fenomena yang terjadi saat ini, pasien post CABG di RS Harapan Kita Jakarta ruang intermediate bedah telah dilakukan fisioterapi dada dengan melatih batuk efektif dan nafas dalam, akan tetapi kegiatan ini hanya dilakukan satu kali perhari oleh petugas fisioterapi yang datang ke unit. Hal ini seringkali kurang efektif mengingat proses latihan nafas dalam dengan mengembangkan otot-otot diafragma harus dilakukan secara aktif dan berkelanjutan. (Jayasekara, 2011). Perawat sebagai petugas yang berada 24 jam bersama pasien mempunyai kesempatan besar untuk membantu pasien mengatasi permasalahan oksigenasi paska operasi. Memotivasi dan mengajarkan pasien latihan otot-otot pernafasan dapat membantu pasien terhindar dari komplikasi paska operasi CABG seperti atelektasis, pneumonia serta memperbaiki ekspansi paru dan diafragma. (Schadewalt, 2010). Peran perawat sebagai peneliti harus dibuktikan melalui kegiatan meneliti dan mengimplementasikan hasil penelitian tersebut sehingga bermanfaat bagi orang lain atau bagi pasien. Penelitian keperawatan yang baik melahirkan temuan yang Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 55 akan menjadi dasar tindakan keperawatan yang efektif dan positif bagi usaha penyembuhan pasien (Danim, 2002). Menurut pendapat Titler , (2008) Hasil penilitan keperawatan dapat digunakan sebagai dasar perawat melaksanakan praktik keperawatan. Dengan melaksanakan praktek keperawatan berdasarkan pembuktian atau Evidence Based Nursing Practice (EBNP), pelayanan keperawatan akan lebih bermutu dan berhasil guna. Melalui praktik keperawatan berdasarkan pembuktian memberikan kerangka kerja dan proses penggabungan hasil penelitian dan preferensi klien yang sistematis dalam pengambilan keputusan klinik. Selama praktik residensi telah dilakukan praktik keperawatan berdasarkan pembuktian yang berjudul “ Latihan otot pernafasan dan nafas dalam untuk meningkatkan ekspansi dada dan paru pada pasien post op coronary artery bypass graft di rumah sakit pusat jantung nasional harapan Kita Jakarta”. Latar belakang dari praktik keperawatan berdasarkan pembuktian yang telah dilakukan adalah timbulnya berbagai komplikasi yang berhubungan dengan fungsi paru dan oksigenasi pasien. Tidak sedikit efek yang ditimbulkan akibat tindakan pembedahan yang cukup lama, penggunaaan alat bantu nafas dan mesin jantung paru, manipulasi atau trauma terhadap organ jantung dan paru, serta efek hypotermi selama tindakan pembedahan. menimbulkan masalah diaphragmatic palsy, meningkatnya seperti infeksi paru Hal-hal tersebut dapat (pneumonia), atelektasis, lama rawat meningkat dan akhirnya berdampak pada biaya perawatan dan terhambatnya proses penyembuhan.(Schadewalt, 2010). B. Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian 1. Rancangan Penerapan EBN Penelitian kuantitatif dengan desain quasi eksperimen yaitu memberikan perlakuan atau intervensi pada subyek penelitian kemudian efek perlakuan tersebut diukur dan dianalisis. Rancangan penelitian dengan pendekatan desain pre post test group design tanpa kelompok kontrol. Desain ini membandingkan hasil intervensi latihan otot pernafasan dan nafas dalam yang diukur sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Cara melakukan pengukuran pertama sebelum Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 56 dilakukan latihan, lalu dilanjutkan pengukuran kedua paska latihan terhadap hasil tekanan darah, sistole dan diastole, frekuensi jantung, frekuensi nafas, saturasi oksigen dan ekspresi serta pengalaman atau pendapat pasien paska latihan. Hasil pre dan post dianalisis untuk melihat perbedaan yang significan hasil pengukuran sebelum dan setelah latihan 2. Populasi dan Sampel EBN Populasi adalah pasien post operasi CABG hari pertama yang telah dilakukan ekstubasi dan masih terpasang WSD. Sampel merupakan sebagian dari populasi yang di teliti, dalam hal ini diambil 20 pasien sebagai responden, yang dilakukan intervensi berupa latihan otot pernafasan dan nafas dalam. 3. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di unit intermediate bedah (IW bedah) RS Jantung Harapan Kita Jakarta, dilaukan pada bulan April minggu pertama sampai minggu ketiga, atau selama 2 minggu proses intervensi dan pengambilan data pre dan post test. Pre test dilakukan sebelum intervensi atau latihan yaitu pada saat perawat selesai memberi penjelasan kepada pasien dan pasien siap melakukan latihan, maka diambil data-data tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan, dan saturasi oksigen. Setelah intervensi selesai dilakukan dan perawat sudah lebih relaks, maka diambil data post test. 4. Prosedur Penerapan EBN a. Latihan otot pernafasan dengan Pernapasan Diaprahma (Westerdahl, 2005). 1) Atur posisi fowler atau semi fowler, punggung dan bahu di sangga dengan bantal 2) Anjurkan pasien meletakkan tangan dengan rileks di atas dada (di batas iga, rasakan dengan jari-jari gerakan dada turun. 3) Anjurkan pasien bernapas dengan perlahan-lahan dan dalam, hingga iga dan otot-otot pernafasan tertarik ke arah dalam 4) Anjurkan pasien tarik nafas dalam melalui hidung dan mulut, biarkan perut menggembung dan paru-paru terisi udara 5) Anjurkan pasien menahan nafas dalam hitungan 1-5 Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 57 6) Anjurkan pasien menghembuskan nafas dan biarkan semua udara keluar melalui hidung dan mulut 7) Ulangi latihan sebanyak 15 kali dengan tangan diletakkan didada, di atas kepala atau disamping, periode istirahat sebentar setiap 5 kali nafas. Gambar 4.1. Pergerakan Diafragma Saat Pernapasan Diafrahma b. Latihan nafas dalam dengan pursed lip breathing 1) Hirup udara perlahan-lahan melalui hidung hingga paru-paru terasa penuh dengan udara dan diaphragma mengembang (lamanya dalam 4 hitungan). 2) Tahan napas dalam selama hitungan 1-5. 3) Hembuskan napas perlahan-lahan melalui bibir dengan bentuk seperti bersiull 4) Lakukan hembusan napas dua kali lebih lama dari menghirup udara (lamanya dalam 8 hitungan). 5) Jangan memaksa mengosongkan paru-paru Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 58 Gambar 4.2 . Pursed Lip Breathing. A: Inspirasi Melalui Hidung; B: Ekspirasi Melalui Mulut Dengan Meniup, Bibir Seperti Bersiul ( Westerdahl, 2005). c. Chek kembali keadaan umum, tanda–tanda vital/hemodinamik pasca latihan d. Lepaskan sarung tangan e. Cuci tangan f. Lanjutkan observasi pasien 5.Hasil Penerapan EBN Ada perbedaan yang significant tekanan darah pada pengukuran pertama atau sebelum intervensi dan kedua atau sesudah intervensi ( sistolik P value 0.001, diastolik P value 0.007.). Artinya rata-rata tekanan darah post intervensi lebih rendah (normal) dibanding sebelum intervensi. Ada perbedaan yang significant frekuensi jantung pada pengukuran pertama dan kedua ( P value 0.003). Artinya rata-rata frekuensi jantung post intervensi lebih rendah (normal)dibanding sebelum intervensi Ada perbedaan yang significant frekuensi nafas pada pengukuran pertama dan kedua ( P value 0.01) Artinya rata-rata frekuensi nafas post intervensi lebih rendah(normal) dibanding sebelum intervensi Ada perbedaan yang significant saturasi oksigen pada pengukuran pertama dan kedua ( P value 0.002) Artinya rata-rata saturasi oksigen post intervensi lebih tinggi dibanding sebelum intervensi. Hasil pendapat responden Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 59 60% Mengatakan “senang difasilitasi dan diingatkan untuk latihan pernafasan karena jika sendiri suka malas atau lupa” 70 % mengatakan “latihan ini sangat bermanfaat buat saya” 15% mengatakan “masih nyeri di luka operasi jika tarik nafas panjang” Dua orang pasien menolak dengan alasan “perut masih mual” dan “masih ngantuk” 4.4. Pembahasan Indikator timbulnya komplikasi pada pasien post CABG seperti atelektasis, infeksi pneumonia dan masa perawatan yang makin lama di rumah sakit dapat didapat dari berbagai cara seperti pemeriksaan rontgen thorax, pemeriksaan AGD, dan pemeriksaan menggunakan spirometri. Tetapi untuk memudahkan perawat dalam pelaksanaan, maka dapat diambil indikator sederhana melalui tanda-tanda vital pasien, frekuensi nafas permenit, saturasi oksigen dan pengalaman atau pendapat pasien setelah latihan. Meskipun tindakan latihan telah dilakukan oleh petugas fisioterapist, tetapi latihan hanya dilakukan sekali perhari, sehingga masih kurang efektif. Pada siang, sore atau malam hari ketika pasien dalam keadaan bangun dan nyaman, pasien dapat dilatih melakukan latihan otot pernafasan dan nafas dalam oleh perawat. Keterbatasan penelitian ini tentunya dari instrumen evaluasi , karena menggunakan indikator yang sederhana seperti tekanan darah, frekuensi denyut jantung, frekuensi nadi, dan saturasi oksiegen, tidak menggunakan alat-alat yang dapat mengukur secara lebih akurat seperti spirometri, pemeriksaan rontgen thorax serta pemeriksaan AGD. Jumlah sampel penelitian juga menjadi keterbatasan, dimana hanya dilakukan pada duapuluh pasien pre dan post. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu penelitian. Idealnya peneliti melakukan studi terhadap seluruh populasi untuk menentukan bobot terhadap temuannya (Bailey, 1982), hal ini sangat penting dalam análisis suatu penelitian. Jumlah sampel penting menurut Danim, (2008) dalam menentukan sampel harus menjadi pertimbangan karena semakin kecil sampel penelitian yang diambil dari kelompok populasi makin tinggi Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 60 kecenderungan kekeliruan pengambilan simpulan. Demikian juga pada penelitian Westerdahl, 2005 penelitian dilakukan terhadap jumlah sampel yang cukup banyak yaitu pada 90 pasien post CABG yang telah diekstubasi. Pada kesimpulan yang didapatkan tentang latihan otot pernafasan dan nafas dalam, didapat hasil efektif meningkatkan ekspansi paru dilihat dari peningkatan hasil saturasi oksigen dan penurunan frekuensi pernafasan pasien ke normal. Hasil lain yang didapat adalah bahwa latihan ini juga membuat pasien merasa relaks, dilihat dari menurunnya frekuensi jantung ke nilai normal, dan tekanan darah lebih stabil kembali ke normal. Meskipun indikator sangat sederhana, namun dapat menggambarkan bahwa ekspansi paru dan fungsi oksigenasi pasien meningkat paska latihan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Westerdahl, 2005 dan penelitian yang dilakukan oleh Lynne, 2005. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 61 BAB V. KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER A. Analisis Situasi Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK) merupakan rumah sakit yang menjadi rujukan bukan saja dari Jakarta tetapi dari seluruh pelosok di Indonesia. Dengan visi menjadi institusi kardiovaskuler terpercaya di Asia Pasifik dan misi menyelenggarakan pelayanan, pendidikan dan pelatihan serta penelitian kardiovaskuler secara profesional, dan ditopang oleh tata kelola yang baik, serta dengan moto patient first, maka Rumah sakit ini telah membuktikan melalui pelayanan yang komprehensif dan terpadu bagi pasien dengan masalah kardiovaskuler. Rumah sakit juga menetapkan tujuan yang hendak dicapai yaitu 1). Terselenggaranya pelayanan kardiovaskuler yang berhasil guna, bermanfaat secara luas, memenuhi standar mutu internasional, 2). Terselenggaranya pendidikan pelatihan kardiovaskuler bagi tenaga kesehatan Indonesia dan kawasan regional, 3). Terlaksananya penelitian kardiovaskuler yang membawa manfaat pada pelayanan kardiovaskuler dan program pendidikan pelatihan kardiovaskuler. Jumlah kunjungan yang mencapai ribuan setiap tahunnya menjadikan rumah sakit Harapan Kita sebagai centre of science bagi perkembangan ilmu dan skill dalam penanganan pasien dengan kasus kardiovaskuler baik pada tingkat Nasional maupun Internasional. Jumlah intervensi bedah yang sangat besar dilihat dari jumlah tindakan bedah perhari yang mencapai 7-8 pasien dengan daftar tunggu tindakan yang tidak pernah sepi mendorong pihak managemen Rumah Sakit terus berbenah diri. Kemajuan diagnostik dan intervensi yang didukung dengan peralatan terkini yang canggih baik bedah maupun non bedah serta sumber daya manusia yang terus diperbaharui secara kuantitas dan kualitas menjadi anadalan Rumah Sakit memberi pelayanan terbaik kepada pasien. Bukti keseriusan Rumah Sakit terhadap mutu pelayanan juga dibuktikan dengan upaya Rumah Sakit mengikuti akreditasio Internasional JCI dalam waktu dekat. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 62 B. Kegiatan Inovasi Inovasi dibuat oleh residensi keperawatan medikal bedah peminatan kardiovaskuler berdasarkan kebutuhan unit dan kebutuhan Rumah Sakit yang diperoleh dari analisis terhadap fenomena yang ada serta masukkan dari unit dan rumah sakit Harapan Kita. Standar ke-3 dari 6 standar The JCI International Patient Safety Goals (IPSG) adalah meningkatkan keamanan dari penggunaan obat-obat dengan kewaspadaan tinggi (high alert medication) (JCI, 2010). Institute for Safe Medication Practices/ISMP (2012), mendefinisikan “High alert medication” atau obat dengan kewaspadaan tinggi adalah obat yang mempunyai risiko tinggi yang dapat menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi kesalahan penggunaan (ISMP, 2012). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011, menyebutkan rumah sakit harus mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai. Ruang ICU dewasa RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RS PJNHK) Jakarta, banyak sekali menggunakan obat-obatan yang termasuk ke dalam kategori “high alert medication”, seperti pemberian elektrolit konsentrasi tinggi, pemberian obat intravena secara titrasi, pemberian sedasi, serta beberapa obat kardiovaskular yang memerlukan pengawasan tinggi, misalnya adrenalin, dobutamin, dan dopamin. Karena itu diperlukan suatu panduan bagi perawat dalam memberikan obat “high alert” sehingga risiko kesalahan dapat diminimalkan. Mengetahui bahwa risiko pemberian obat-obatan terhadap kesalahan (medication error) sangat tinggi, serta menanggapi tuntutan akreditasi internasional (JCI) akan pentingnya pengawasan terhadap obat-obatan dengan kewaspadaan tinggi, maka kelompok kami tertarik untuk membuat sebuah inovasi sebagai upaya mencegah kejadian kesalahan dalam pemberian obat-obatan tersebut. Inovasi ini akan memfasilitasi perawat dengan panduan dan standar operasional prosedur (SPO) sehingga memudahkan perawat dalam bekerja. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 63 Proyek inovasi ini bertujuan untuk memberikan panduan dan langkah-langkah kerja yang jelas bagi perawat di unit ICU pada saat memberikan obat-obatan dengan kewaspadaan tinggi. Melalui inovasi ini diharapkan risiko kesalahan perawat dalam pemberian terapi obat-obatan dapat diminimalkan bahkan dihilangkan. Hal ini tentu akan berdampak pada meningkatnya kualitas asuhan dan pelayanan yang diberikan perawat di unit ICU kususnya dan Rumah sakit pada umumnya. Materi yang disosialisasikan adalah berupa panduan obat-obatan high allert atau obat-obatan dengan kewaspadaan tinggi. Sosialisasi dilakukan secara bertahap kepada kepala instalasi, kepala unit, leader, serta perawat pelaksana. Sosialisasi juga dilakukan secara individu kepada perawat di unit ICU untuk mengetahui pemahaman perawat terhadap penggunaan panduan dan SPO pemebrian obatobatan kewaspadaan tinggi. Standar prosedur operasional ini dibuat menurut jenis obat atau nama obat guna mengurangi risiko kesalahan akibat pemberian obat. Mengingat banyaknya jenis obat kewaspadaan tinggi, maka kami memilih jenis obat yang banyak digunakan di unit ICU dewasa serta memiliki risiko tinggi timbulnya kesalahan dalam pemberian, yaitu kalium, adrenalin dan propofol. 1. Kontrak Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan inovasi dilaksanakan pada akhir masa praktek bertepatan dengan unit terakhir yang harus dilalui kelompok kami adalah unit ICU dimana rencana pelaksanaan inovasi adalah di unit ICU. Inovasi dimulai pada bulan April minggu ketiga sampai awal bulan Mei 2013. 2.Desiminasi Awal Program Inovasi Sosialisasi ini dilakukan pada tanggal 29 April 2013 yang dihadiri oleh kepala instalasi, kepala ruangan, leader, serta perawat pelaksana. Materi sosialisasi meliputi latar belakang perlunya panduan dan standar prosedur pemberian obat kewaspadaan tinggi, pengertian obat kewaspadaan tinggi, jenis-jenis obat Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 64 kewaspadaan tinggi, strategi meningkatkan keamanan pemberian obat kewaspadaan tinggi, kewenangan dan tanggung jawab perawat dalam pemberian obat kewaspadaan tinggi, serta prosedur standar pemberian obat kewaspadaan tinggi yang diferifikasi menggunakan form check list berisi SPO sesuai jenis atau nama obat. (ISMP, 2012). Selanjutnya desiminasi dilanjutkan secara individu kepada masing-masing perawat. Sepanjang proses sosialisasi juga diperoleh masukan-masukkan dari para perawat yang kemudian ditambahkan lagi oleh kelompok untuk memperbaiki panduan dan SPO yang telah dibuat. Selama proses diskusi, diperoleh beberapa masukan dari para peserta sosialisasi yang digunakan untuk melengkapi atau memperbaiki panduan dan SPO pemberian obat kewaspadaan tinggi sehingga dapat lebih mudah dalam penerapan oleh perawat. Beberapa masukkan antara lain bahwa SPO perlu dibuat lebih simple dengan langkah-langkah tindakan lebih sistematis dan minimal. Sistematis mengandung makna bahwa setiap prosedur harus diawali dengan pengucapan salam, memastikan identitas pasien, dan menjelaskan tujuan prosedur. Masukkan lain adalah bahwa perawat dengan standar kompetensi apa yang memiliki kewenangan memberikan obat kewaspadaan tinggi. Pemberian label warna yang jelas sesuai standar yang ada untuk masing-masing obat kewaspadaan tinggi juga disarankan oleh peserta sosialisasi untuk dimasukkan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko kesalahan dalam pemberian obat. Proses sosialisasi dan diskusi menghasilkan beberapa kesepakatan yang bertujuan melengkapi panduan, prosedur standar operasional dan form ferifikasi. 3. Pelaksanaan Program Inovasi Panduan pemberian obat kewaspadaan tinggi merupakan Inovasi keperawatan yang dibuat berdasar pada berbagai sumber termasuk jurnal keperawatan dan lainnya. Inovasi keperawatan berupa panduan pemberian obat ini difokuskan pada intervensi keperawatan yaitu pemberian obat. Hal ini mengingat komponen lain dari obat kewaspadaan tinggi (high allert medication) merupakan ranah farmasi atau medis seperti proses pengadaan, penyediaan atau stock, permintaan serta Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 65 penyimpanan obat. ( JCI, 2012). Inovasi ini berguna untuk mencegah kesalahan yang terjadi akibat pemberian obat kewaspadaan tinggi oleh perawat. Inovasi dilakukan di ruang ICU (intensive care unit) lantai 2 gedung perawatan 1 RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita melalui tiga tahap yaitu persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. Tahap pelaksanaan, setelah selesai sosialisasi panduan, standar prosedur operasional dan form ferifikasi (check list) untuk memastikan perawat bekerja sesuai SPO, maka segera dilaksanakan inovasi di ICU. Pelaksanaan awal dilakukan dengan pendampingan kepada masing-masing perawat agar dapat melaksanakan pemberian obat-obatan risiko tinggi sesuai dengan prosedur dalam inovasi. Ditemukan beberapa kesulitan perawat dalam pelaksanaan prosedur seperti dosis obat yang perlu disesuaikan dengan perhitungan di unit. 4. Pelaksanaan Evaluasi Pada awal implementasi, perawat masih kesulitan membagi waktu untuk pengisian form check list ferifikasi yang sebagian besar diakibatkan oleh kesibukan perawatan pasien. Tetapi kesulitan ini sangat individual, dilihat dari beberapa perawat tetap dapat melakukannya tanpa mengalami kesulitan dalam pembagian waktu. Hal ini dapat saja dipengaruhi oleh kompleksitas masalah pasien yang berbeda-beda. Hasil observasi terhadap pelaksanaan SPO ditemukan beberapa hal terkait langkah-langkah dalan prosedur, antara lain a. Sebagian besar perawat sangat kooperatif dan merespon positif dengan pembuatan prosedur ini, karena menurut mereka ini merupakan hal yang baik untuk menghindari kesalahan pemberian obat, hal ini ditunjukan dengan antusiasme perawat dalam memberi pertanyaan dan masukkan serta dalam proses penerapan SPO. b. Pada langkah identifikasi data pasien, sebelumnya, sebagian besar perawat (80%) belum melakukan identifikasi ulang data pasien seperti mengecek gelang pasien atau memastikan benar pasien dengan perawat lainnya pada Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 66 saat hendak memberikan obat kepada pasien. Setelah disosialisasikan prosedur, meskipun nilai pastinya belum dapat diidentifikasi, tetapi semakin banyak perawat menyadari pentingnya identifikasi data pasien. c. Pada langkah prosedur pengecekan obat (doble check) sebelumnya, sekitar 70% perawat sudah melakukannya sebelum pemberian obat kewaspadaan tinggi, sedangkan selebihnya tanpa melakukan double ceck. Dari data tersebut, sebagian besar (80%) nya melakukan dengan tidak mencocokan daftar obat dan obat pasien melainkan hanya mengecek obat berdua. Melalui inovasi ini, perawat lebih memahami risiko kesalahan yang dapat berakibat vatal akibat tidak melakukan pengecekan obat dengan benar.( d. Pada langkah pendokumentasien, seluruh perawat sudah melakukan dokumentasi pemberian obat dengan benar bahkan monitoring dilakukan secara continous setiap jam. Secara keseluruhan, inovasi ini dapat diterima dengan baik, didukung dan diberikan respon positif oleh kepala ruangan, leader serta para perawat pelaksana di unit ICU bedah jantung C. Pembahasan Kami sangat menyadari bahwa inovasi ini masih banyak kekurangan. Kekurangan yang timbul dapat merupakan konten atau isi, sistematika, kemudahan dalam pelaksanaan maupun Sumber atau referensi. Atas hal tersebut, kami sangat terbuka menerima segala masukkan dan saran yang dapat melengkapi dan memperbaiki panduan maupun prosedur standar pemberian obat kewaspadaan tinggi. Hal-hal lain yang menjadi kekurangan inovasi ini antara lain 1. Banyaknya jenis obat kewaspadaan tinggi ( high allert medication) yang ada di sumber atau referensi serta di unit ICU, namun karena segala keterbatasan yang ada, maka hanya 3 (tiga) jenis obat yang dapat kami susun. 2. Masih cukup panjangnya langkah-langkah prosedur sehingga menimbulkan kesulitan pada pemahaman maupun implementasinya Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 67 apalagi jika dikaitkan dengan kesibukan perawat dalam mengelola asuhan keperawatan pasien. 3. Penggunaan dosis obat pada panduan dan SPO mengacu pada referensi atau jurnal yang ada, yang memungkinkan untuk tidak sesuai dengan dosis yang digunakan di unit ICU, hal ini dapat menyulitkan perawat dalam proses pengecekan dan pemberian obat. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 68 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tentang pengalaman praktek residensi, penulis sebagai pemberi asuhan keperawatan, peneliti, pendidik, dan sebagai innovator dalam asuhan keperawatan pasien dengan gangguan system kardiovaskuler dapat merumuskan beberapa hal penting sebagai simpulan dan saran, yaitu : A. Simpulan Perawat sebagai Pemberi asuhan keperawatan secara profesional pada pasien gangguan system kardiovaskuler perlu mendasarkan pemahaman pada anatomi, fisiologi, patofisiologi, penatalaksanaan keperawatan yang memadai, teori keperawatan yang mendukung sebagai dasar asuhan keperawatan dan hasil riset yang dapat dijadikan dasar yang kuat dalam pelaksanaan praktek klinik keperawatan. Teori keperawatan Konservasi dari Levine merupakan salah satu model yang menekankan pada kemampuan adaptasi individu terhadap gangguan atau masalah yang terjadi dengan menggali dan memanfaatkan energi yang dimiliki sehingga dapat membantu mengatasi masalah yang dialami kususnya pada gangguan kardiovaskuler. Praktek keperawatan yang berbasis pembuktian ilmiah, berupa latihan otot-otot diafragma dan latihan nafas dalam pada pasien CAD post CABG dengan teknik pernafasan diafragma dan lip pursued breathing dapat meningkatkan ekspansi paru dan fungsi oksigenasi pasien serta mencegah komplikasi seperti infeksi paru, atelektasis dan sebagainya. Penerapan praktik berbasis pembuktian ini terbukti dapat memberi dampak bagi pasien sebagai penerima asuhan keperawatan dan Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 69 efektif untuk dilaksanakan oleh perawat dalam praktek keperawatan kardiovaskuler. Pengembangan peran perawat sebagai innovator dan pendidik bermanfaat untuk memperbaiki sistem pelayanan kesehatan, praktek pemberian asuhan keperawatan serta promosi kesehatan pada pasien, keluarga kususnya dengan masalah kardiovaskuler. B. Saran 1. Diperlukan penelitian dan metodologi yang memadai serta indikator evaluasi yang jelas untuk mengevaluasi sejauhmana penerapan teori Konservasi dari Levine digunakan dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien gangguan system kardiovaskuler. 2. Perawat sebagai seorang ners spesialis keperawatan medikal bedah peminatan system kardiovaskuler, perlu terus mengembangkan diri secara terus menerus berkelanjutan agar dapat menjalankan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan, peneliti, pendidik dan innovator dimanapun perawat bekerja. 3. Manajemen asuhan keperawatan yang sudah dijalankan di RS jantung Harapan Kita dapat terus ditingkatkan dan dikembangkan, agar lebih mengacu kepada prosedur standar yang diharapkan sesuai akreditasi nasional dan internasional. 4. Praktik keperawatan professional yang melibatkan ners spesialis membutuhkan dukungan dari system pelayanan kesehatan yang ada, dukungan organisasi profesi, praktek keperawatan berkelanjutan dan perlindungan perawat berdasarkan undang-undang praktek keperawatan. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 70 DAFTAR PUSTAKA Bianchi. (2004). Chest wall kinematics and breathlessness during pursed lip breathing in patients with COPD. American college of chest physicians. Black & Hawks. (2005). Medical surgical nursing clinical management for positive outcomes. 7th(ed). St Louis, Missouri. Elsevier Saunders. Brunner & Suddarth, (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku, Jakarta EGC. Corwin, J. E. (2009) Buku saku patofisiologi. Jakarta : EGC Delaune & Ladner ( 2006). Fundamental of nursing standards & practice, third edition, Thomsom Delmar Learning, Clifton Park, New York Doenges, Moorhouse & Murr (2006). Nursing Care Plan Guidelines for Individualizing Client Care Across The Life Span. Philadelphia : FA Davis co Eliot, Doug (2007). ACCCN,s Critical Care Nursing, National Library of Australian, Smidmore street, Marrickville, NSW Govil, S. R., M.P.H., Weidner, G., Merritt-Worden, T., & Ornish, D. (2009). Socioeconomic status and improvements in lifestyle, coronary risk factors, and quality of life: The multisite cardiac lifestyle intervention program. American Journal of Public Health, 99(7), 1263-70. Ignatavicius & Workman ( 2006). Medical Surgical Nursing : Critical thinking for hycollaborative care, fifth edition, St. Louis, Missouri 63146 Institute for Safe Medication Practices/ISMP (2012), medication” “High alert Jayasekara, Rasika.(2011). Cardiac Surgery : Respiratory Physiotherapy. Evidence Summaries, Joanna Briggs Institute Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 71 Kozier B., Erb G., Berman A., Snyder S. (2008). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice, Eighth Edition, Pearson Prentice Hall Koehn, K., Holay, S., & Schaefer, E. J. (2002). Cardiovascular risk reduction and dietary compliance with a home-delivered diet and lifestyle modification program. Journal of the Academy of Nutrition and Dietetics, 102(10), 1445-51. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/218401812?accountid=17242 Lavie, C. J., & Milani, R. V. (1999). Effects of cardiac rehabilitation and exercise trainng programs on coronary patients with high levels of hostility. Mayo Clinic Proceedings, 74(10), 959-66. Retrieved from Lewis, S. L., Heitkemper, M. M., Dirksen, S. R., O‟Brien, P. G.,& Bucher, L. (2007). Medical Surgical Nursing. Philadelpia : Mosby Elsevier Inc. Lynne Geddes, E., Darlene Reid, W., Crowe, J., Kelly O'Brien, & Brooks, D. (2005). Inspiratory muscle training in adults with chronic obstructive pulmonary disease: A systematic review. Respiratory Medicine, 99(11), 1440-1458. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.rmed.2005.03.006 NANDA. (2006). NANDA, NOC and NIC Linkages Nursing diagnoses: definitions & Classification, NANDA International, philadelphia Mosby, Elsevier Potter, P.A & Perry, A.G. (2006). Fundamental Of Nursing: Concepts, Procces and practice, St Louis: CV Mosby Company. Price A. S., & Wilson M.L., (2006). Patofisiologi Konsep klinis Prosesproses Penyakit, edisi 6 vol 2. Jakarta :EGC Schadewaldt, V., & Schultz, T. (2010). A systematic review on the effectiveness of nurse-led cardiac clinics for adult patients with coronary heart disease [2010]. Adelaide, Australia, Adelaide: Joanna Briggs Institute. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/356841717?accountid=17242 Smeltzer, S. C., Bare B.G., Hinkle J.L., Cheever K.H. (2008). Textbook of Medical Surgical Nursing, 9th edition, Philadelphia, Lippincot, Williams & Wilkins Tarigan, Rosna. (2008). Pengaruh latihan otot pernafasan terhadap ekspansi dada dan paru pada pasien PPOK di RS Adam Malik Medan,Tesis, Universitas Indonesia, Depok. Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 72 Titler MG. (1993). Critical analysis of research utilization (RU): An historical perspective. Am J Crit Care 1993;2(3):264. 11. Kirchhoff KT. State of the Science. Tomey, A. M. (2006). Nursing Theorists and Edition. St. Louis: Mosby. Their Work. Third Tomey, A.M. & Alligood, M.R. (2006). Nursing theory: Utilization and Application , Elsevier, Mosby. Westerdahl, E., Lindmark, B., Eriksson, T., Örjan Friberg, & al, e. (2005). Deep-breathing exercises reduce atelectasis and improve pulmonary function after coronary artery bypass surgery*. Chest, 128(5), 3482-8. Wynne, Rochelle. (2004). Post operative pulmonary dysfunction in adults after cardiac surgery with cardiopulmonary bypass : clinical significance and implications for practice. American journal of critical care Woods, Susan. Et.al. (2005). Cardiac Nursing, edisi 5, philadelphia, A Wolters Kluwer Company, Lippincott Williams & Wilkins http://www.uiowa.edu/~medtest/iss_reference/High%20Alert%20Medic ations.pdf Universitas Indonesia Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 RESUME ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER DENGAN PENDEKATAN TEORI KONSERVASI MENURUT LEVINE NO GAMBARAN UMUM KASUS PENGKAJIAN STATUS KESEHATAN, PENGKAJIAN KONSERVASI, DIAGNOSIS, PENETAPAN TUJUAN, INTERVENSI DAN EVALUASI SYNDOMA KORONER AKUT DAN CORONARY ARTERY DISEASE (CAD) 1 Ny. AL, 66 tahun, Diagnosis CAD, 3VD, post PCI, DM tipe 2, hipertensi St 2, MRS 06 September 2012 2 Tn. BD, 44 tahun, ACS, infark di inferior, ST elevasi II. II. aVF, MRS 1 april 2013 3 Pengkajian status kesehatan : mengeluh nyeri dada sudah 1 mgg smrs, cepat lelah, dada rasa berat, Catetherisasi hasil stenosis 80% di RCA, stenosis 80-90% distal LAD, 50% di LCX distal, 70% OM3. Tindakan PTCA 3 stent, 2 di LAD, 1 di RCA. Riw DM tipe 2 dan Hypertensi, EKG sinus rythm, rontgen cardiomegali, CTR 65%. TD : 140/78 mmHg, Nadi 87 x/mnt, RR : 18 x/mnt. VES (+) Pengkajian konservasi :lingkungan internal : stenosis koroner, infark myokard, mudah lelah dan sesak. eksternal : jarang cek kesehatan, menopouse, jauh dari fasilitas pelayanan. Konservasi Energi : pasien makan minum tidak bermasalah, cukup istirahat Integritas Struktur : Pasien mengeluh nyeri pada luka tusukan di radialis. Kadang muncul VES. Mendapat terapi cordaron, ranitidhin dan omeprazol.Integritas Sosial : Ibu rumah tangga, mengurus suami dan anak.Diagnosa : Nyeri luka tusukan, Risiko penurunan cardiac output. Tujuan : Nyeri berkurang, Cardiac pump effektiveness. Intervensi :Dysrytmia management, pain managemen, medication management, Oksegen management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi dengannyeri dan risiko penurunan cardiac output Pengkajian status kesehatan : Mengeluh nyeri dada 3 jam smrs. menjalar ke lengan kiri, disertai sesak nafas. Keringat dingin, EKG ST elevasi di II, III, aVF. TD : 110/70 mmHg, HR 102 x/mnt Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Pasien mengalami infark myokard akut, inferior, arytmia, sering timbul VT , Eksternal : Pasien merokok, bekerja terlalu lelah, kurang olah raga. Konservasi Energi : Pasien pucat, keringat banyak Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi plavik loading, hemodinamik pasien stabil. Integritas Sosial : Pasien sudah menikah dengan 3 orang anak, istri selalu menunggu di rumah sakit.Diagnosa : Nyeri dada, penurunan cardiac output Tujuan : Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya. Cardiac pump effektiveness Intervensi : Pain managemen, cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya, hemodinamik stabil. Ny. Adel, 82 tahun, ACS, Pengkajian status kesehatan : Mengeluh nyeri dada menjalar ke lengan kiri, disertai sesak nafas. NSTEMI, TIMI 5/7, ADHF, Cateterisasi 3VD, TD : 159/74, HR : 70, sinus rhytm, RR : 20, SH 36,2, dipasang IABP, echo SV : 53.8 ml, Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 post PCI, rujukan dari RSPI, dengan IABP, MRS 08 April 2013 4 Tn. GR, 53 tahun, UAP, EKG : S persisten di V5V6, T inverted di V1-V3, MRS 25 Maret 2013 5 Tn. DD, 40 tahun, ACS, infark di lateral, rujukan dari RS Jakarta untuk PCI 3 stent DES di LAD, riw post DC shock ec. VT, VF, MRS 10 april 2013 6 Tn. ZM, 54 tahun, acut CO : 3.9 L/mnt Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Pasien ada DM tipe 2 dan hypertensi, Eksternal : Pasien post menopouse, sibuk mengurus cucu. Konservasi Energi : Pasien udah makan, habis 1 porsi, istirahat kurang karena sesak Integritas Struktur : Pasien diberikan terapi bisoprolol, candesartan, hemodinamik pasien tidak stabil. Integritas Sosial : Ibu dari 8 anak, suami sudah meninggal, anak-anak bergantian menjenguk.Diagnosa : Nyeri dada, penurunan cardiac output Tujuan : Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya. Cardiac pump effektiveness Intervensi : Pain managemen, cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : Pasien tidak dapat beradaptasi dengan nyeri dan sesak, hemodinamik tidak stabil setelah IABP di aff, pasien meninggal. Pengkajian status kesehatan : mengeluh remas-remas, 4 jam smrs, timbul saat sedang tidur, nyeri berkurang dengan pemberian ISDN sublingual, EKG sinus rythm, TD : 130/78 mmHg, Nadi 87 x/mnt, RR : 18 x/mnt. Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Nyeri dada timbul menjalar disertai keringat dingin seperti diremas-remas. Faktor risiko ,dyslipidemia.dan merokok Eksternal : pasien kurang olah raga. Konservasi Energi : Pasien masih nyeri dada, makan sedikit, istirahat kurang karena sesak, Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi ISDN, ascardia, lasix, EKG takikardia. Integritas Sosial : Pasien seorang bapak dengan 2 orang anak,istri menunggu.Diagnosa : Nyeri dada , penurunan cardiac output Tujuan : nyeri berkurang, Cardiac pump effektiveness Intervensi : pain managemen, cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : Nyeri berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil. Pengkajian status kesehatan : Mengeluh nyeri dada menjalar ke lengan kiri, disertai sesak nafas. VT dan VF (+), dilakukan DC shock 360 joule, EKG ST elevasi di I, aVL, V5-V6, hiperacut T di V2-V6. Acute infark antero lateral ekstensif Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Stenosis koroner, total oklusi di mid, distal LAD. Infark di laterla.Nyeri dada, sesak, post VT VF, Eksternal : Pasien merokok, bekerja terlalu lelah, kurang olah raga. Konservasi Energi : Pasien udah makan, habis 1 porsi, istirahat cukup Integritas Struktur : Pasien dilakukan PCI, hemodinamik pasien stabil. Integritas Sosial : Pasien sudah menikah dengan 2 orang anak, istri selalu menunggu di rumah sakit.Diagnosa : Nyeri dada, penurunan cardiac output Tujuan : Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya. Cardiac pump effektiveness Intervensi : Pain managemen, cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya, hemodinamik stabil. Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas 6 jam smrs. Sesak saat berbaring dan istirahat, kadang Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 STEMI anterior dan inferior, onset 6 jam SMRS, Killip 3, TIMI 5/14, ALO, TAVB, TPM, MRS14 April 2013 1 dada rasa panas, lama 30 menit, TD : 205/95, HR : 80, on TPM Pengkajian konservasi :lingkungan internal : sesak timbul bahkan saat istirahat, pucat, acral dingin. faktor risiko ,dyslipidemia.dan merokok Eksternal : pasien kurang olah raga, dilakukan pemasangan TPM karena TAVB, Konservasi Energi : Pasien sudah mulai makan sedikit, istirahat cukup, Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi ISDNl, ascardia, lasix, Integritas Sosial : Pasien seorang bapak, dengan 2 orang anak, istri menunggu.Diagnosa : pola nafas, penurunan cardiac output Tujuan : pola nafas efektif, Cardiac pump effektiveness Intervensi : cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : sesak berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil. CRONIC HEART FAILURE, ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILLURE (CHF/ADHF) Tn. DDG, 54 tahun, CHF Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas sudah beberapa hari ini, bertambah disertai nyeri dada ec. ACS, hasil catheter : saat aktivitas, pasien riw jantung koroner total oklusi LAD Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Stenosis koroner, total oklusi di distal LAD. RCA dan proximal, LCX distal, RCA LCX, Eksternal : Pasien merokok, , kurang olah raga. Konservasi Energi : Pasien makan cukup, istirahat proximal, MRS 11 januari cukup Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi bisoprolol, plavik, lasix, hemodinamik pasien stabil. 2013, Integritas Sosial : Pasien sudah menikah dengan 4 orang anak, istri selalu menunggu di rumah 2 Tn. RS, 55 tahun, ADHF, riw STEMI, rencana PCI, MRS 04 April 2013 3 Tn. BS, 56 tahun, CHF FC II, ec HHD, HT tidak terkontrol, STEMI, MRS sakit.Diagnosa : pola nafas, Nyeri dada, penurunan cardiac output Tujuan : pola nafas efektif, Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya. Cardiac pump effektiveness Intervensi : airway managemen, Pain managemen, cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : sesak berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya, hemodinamik stabil. Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas sudah 1 minggu smrs. Sesak saat berbaring dan sesak bertambah saat aktivitasah, pernah dirawat dengan STEMI, TIMI 4/7, grace score 326, riw hipertensi. EKG SR, HR 46x/mnt Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Faktor risiko dyslipidemia dan hipertensi., Eksternal : Pasien merokok, , kurang olah raga. Konservasi Energi : Pasien makan sedikit, istirahat kurang karena sesak, Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi bisoprolol, plavik, lasix, hemodinamik pasien stabil. Integritas Sosial : Pasien sudah menikah dengan 2 orang anak, istri selalu menunggu di rumah sakit.Diagnosa : pola nafas, penurunan cardiac output Tujuan : pola nafas efektif, Cardiac pump effektiveness Intervensi : cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : sesak berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil. Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas sudah 5 hari smrs. Nyeri dada 12.5 jam smrs. Menjalar ke punggung, STEMI, inferior killip I, TIMI 2/14, riw hipertensi. EKG SR, ST elevasi V2-V4 Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Faktor risiko dyslipidemia dan hipertensi., Eksternal : Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 01 April 2013 4 Ny. ND, 60 tahun, ADHF pada ACS, NSTEMI, TIMI 5/7, Crusade 59, MRS 08 April 2013 5 Tn. DP, 61 tahun, ALO, ADHF ec. Old anterior MCI 3VD, CKD stage III, EF 31%, MRS 11 September 2012 1 Tn. HS, 30 tahun, diagnosa myokarditis, rujukan dari RSUD tangerang, MRS 05 Maret 2013 Pasien merokok 2 bks perhari, Konservasi Energi : Pasien makan sedikit, istirahat kurang karena sesak, Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi brilanta, plavik,ISDN, hemodinamik pasien stabil. Integritas Sosial : Pasien sudah menikah dengan 3 orang anak, istri menunggu di rumah sakit.Diagnosa : Nyeri dada, penurunan cardiac output Tujuan : Nyeri berkurang, Cardiac pump effektiveness Intervensi : pain managemen, cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : Nyeri berkurang, sesak berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil. Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas sudah 1 minggu smrs. Sesak saat berbaring dan sesak bertambah saat aktivitasah, disertai nyeri dada yang menjalar ke lengan kiri , TD : 137/82, HR : 105, sinus takikardia, EF 15%. Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Faktor risiko post menopouse, , dyslipidemia., Eksternal : pasien kurang olah raga. Konservasi Energi : Pasien makan sedikit, istirahat kurang karena sesak, Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi ISDNl, ascardia, lasix, EKG takikardia. Integritas Sosial : Pasien seorang ibu rumah tangga, dengan 2 orang anak, suami sudah meninggal.Diagnosa : pola nafas, penurunan cardiac output Tujuan : pola nafas efektif, Cardiac pump effektiveness Intervensi : cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : sesak berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil. Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas sudah 2 hari smrs. Sesak saat berbaring dan sesak bertambah saat aktivitas, cepat lelah, udema di kaki , TD : 137/97, HR : 83, sinus rhytm, EF 31%. Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Faktor risiko hipertensi , dyslipidemia.DM Eksternal : pasien kurang olah raga. Konservasi Energi : Pasien makan sedikit,minum masih dalam pembatasan cairan, istirahat kurang karena sesak, target balance -500 ml, Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi concor, aspilet, lasix. Aktivitas dibantu, Integritas Sosial : Pasien seorang bapak, dengan 4 orang anak, istri sudah meninggal.Diagnosa : pola nafas, penurunan cardiac output Tujuan : pola nafas efektif, Cardiac pump effektiveness Intervensi : cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : sesak berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil. Infeksi myokarditis, endokarditis Pengkajian status kesehatan : Mengeluh nyeri dada seperti ditusuk-tusuk dan tidak menjalar, gambaran EKG sinus takikardi, ST elevasi di V2-V5. Hasil Rontgen : Efusi pleura bilateral. Pinggang jantung datar, apex turun, EF 32 %. Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Beberapa hari sebelumnya pasien demam, disertai batuk dan nyeri dada. Pasien sering pilek dan demam. Sesak nafas muncul jika berbaring, Eksternal : Pasien merokok, sering pulang malam. Konservasi Energi : Pasien tidak nafsu makan, istirahat cukup Integritas Struktur : Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 2 Pasien dilberikan terapi antibiotik dan antipiretik, hemodinamik pasien stabil. Integritas Sosial : Pasien sudah menikah dengan 2 orang anak, istri selalu menunggu di rumah sakit.Diagnosa : Nyeri dada. Tujuan : Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya. Intervensi Pain managemen, medication management, Oksigen management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya Tn. HP, 20 tahun, Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas, hilang timbul, mual (+), muntah (-), BB turun 10 kg diagnosa infeksi dalam 3 bulan, EKG sinus rhytm, T inverted di V1-V3, TD 119/71, HR 75x/mnt endokarditis, PS Pengkajian konservasi :lingkungan internal : VSD closure, vegetasi, kultur darah streptococus valvular, infundibuler , hemolitikus, demam naik turun sejak 4 bulan terakhir. Pasien sering pilek dan demam. Sesak nafas muncul VSD, MRS 19 Maret 2013 jika berbaring, Eksternal : Pasien sering merasa kelelahan karena tugas-tugas dalam kuliah. Konservasi Energi : Pasien tidak nafsu makan, istirahat terganggu karena sesak Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi antibiotik dan antipiretik, hemodinamik pasien stabil. Integritas Sosial : Pasien masih kuliah, orang tua selalu menunggu di rumah sakit.Diagnosa : Penurunan cardiac output. Tujuan : Cardiac pump effektivenes. Intervensi : Cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : Hemodinamik stabil, sesak berkurang Post Operasi 1 Tn. MT, 68 tahun, Diagnosis, Post CABG 4x, CAD, 3VD, EF 68%2ruang IWB, MRS 10 Desember 2012 1 Tn. AH, 20 tahun, Diagnosis VSD dengan Eisenmengerisasi, GP 2, MRS 27 September 2012 Pengkajian status kesehatan : mengeluh nyeri luka operasi, masih takut bergerak, post operasi CABG hari ke-2, stenosis di LAD, RCA distal, OM1,2. EKG sinus takikardi, cardiomegali, CTR 65%. TD : 150/80 mmHg, Nadi 105 x/mnt, RR : 20 x/mnt. Pengkajian konservasi :lingkungan internal : stenosis koroner, infark myokard, post CABG hari ke-2, nyeri luka operasi, takut bergerak. Konservasi Energi : makan minum tidak bermasalah, cukup istirahat Integritas Struktur : Paska operasi masih terpasang WSD substernal, intrapleural, Hemodinamik belum stabil. Mendapat terapi captopril 10 mg, paracetamol 500 mg. Integritas Sosial : Pensiunan yang masih aktif.Diagnosa : Nyeri akut luka operasi, risiko penurunan cardiac output. Tujuan : Nyeri berkurang, Cardiac pump effektiveness. Intervensi Pain management, medication management, Oksigen management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi dengan nyeri, risiko penurunan cardiac output Valve disease Pengkajian status kesehatan : mengeluh sesak dan nyeri dada saat aktifitas, EKG sinus takikardi, cardiomegali, CTR 65%. TD : 111/70 mmHg, Nadi 100 x/mnt, RR : 20 x/mnt.SpO2 88% Pengkajian konservasi :lingkungan internal : VSD sejak bayi, menolak operasi karena biaya, sering sesak nafas dan nyeri dada, cepat lelah, Konservasi Energi : makan minum tidak bermasalah, cukup istirahat Integritas Struktur : Pasien direncanakan operasi, memperbaiki keadaan umum,. Integritas Sosial : Anak keduama dari 4 bersaudara, ayahnya selalu menunggu di rumah sakit.Diagnosa : Nyeri dada, penurunan Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 2 Nn. DA, 21 tahun, diagnosa AR sev, MR mod, MS mod, PH sev, Tindakan MVR dan AVR, BB 37 kg, TB 160 cm, MRS 06 Desember 2012 1 Tn. BJ, 27 tahun, arytmia, SVT, 150x/mnt, sering timbul sudah sejak kecil, MRS 15 Maret 2013 2 Tn. SP, 43 tahun, Arytmia, atrial flutter, atrial fibrilasi, CHF FC III, rencana Ablasi 3D, MRS 12 November 2012 cardiac output. Tujuan : Nyeri berkurang, Cardiac pump effektiveness. Intervensi Pain management, medication management, Oksigen management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi dengan nyeri, risiko penurunan cardiac output Pengkajian status kesehatan : sejak remaja ditemukan kelainan katup jantung, mengeluh sesak dan nyeri dada saat aktifitas, hasil echocardiografy menunjukan AR sev, MR mod, MS mod, PH sev, Tindakan MVR dan AVR, EKG sinus rytm selama tindakan, TD : 111/70 mmHg, Nadi 100 x/mnt, RR : 20 x/mnt.SpO2 88% Pengkajian konservasi :lingkungan internal : VSD sejak remaja, menolak operasi karena biaya, sering sesak nafas dan cepat lelah dengan aktivitas minimal, Konservasi Energi : pasien dipuasakan untuk tindakan operasi. cukup istirahat Integritas Struktur : Pasien dilakukan operasi perbaikan katup, selama operasi hemodinamik pasien stabil. Integritas Sosial : Anak kedua dari 3 dari 4 bersaudara, ibunya selalu menunggu di rumah sakit.Diagnosa : penurunan cardiac output. Tujuan : Cardiac pump effektiveness. Intervensi medication management, Oksigen management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi dengan risiko penurunan cardiac output Arytmia Pengkajian status kesehatan : Mengeluh berdebar-debar, sesak nafas dan rasa tidak nyaman di dada tibatiba ketika sedang ngobrol, pasien sudah beberapa kali masuk rumah sakit dengan keluhan yang sama dan pulang kembali jika masalah sudah teratasi Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Kelainan pada impuls jantung, sudah diderita sejak kecil Eksternal : Pasien biasa olah raga dan tidak merokok Konservasi Energi : Pasien makan cukup, istirahat cukup Integritas Struktur : Pasien sering muncul keluhan jika sedang stres, terlalu lelah atau bahkan sedang santai. EKG SVT, diberikan ATP 10 mg, kembali sinus. hemodinamik pasien masih stabil. Integritas Sosial : Pasien belum menikah, berangkat ke rumah sakit sendiri, Diagnosa : Penurunan cardiac output Tujuan : Cardiac pump effektiveness Intervensi : airway managemen, cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : hemodinamik stabil. Pengkajian status kesehatan : Mengeluh dada berdebar-debar sudah 2 minggu terakhir smrs. Sesak saat sejak 2 jam smrs dan sesak bertambah saat aktivitasah, disertai udema di kaki , TD : 130/90, HR : 155x/mnt, RR 20 x/mnt Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Terdapat cardiomegali, CTR>60%, sudah pernah didiagnosa hypertropy cardiomiopati, Faktor risiko dyslipidemia., Eksternal : pasien kurang olah raga. Konservasi Energi : Pasien makan sedikit, istirahat kurang karena sesak, Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi captopril, lasix, EKG takikardia. Integritas Sosial : Pasien seorang bapak, dengan 2 orang anak, suami sudah meninggal.Diagnosa : pola nafas, penurunan cardiac output Tujuan : pola nafas efektif, Cardiac Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 pump effektiveness Intervensi : cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : sesak berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil. Diseksi Aorta 1 Ny, SH, 55 tahun, diseksi aorta debakey I, CHF FC III, ec. Old anterior MCI, rencana Benttal procedure, mRS 25 September 2012 Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas sudah 1 minggu smrs. DOE (+), nyeri punggung saat berbaring , TD : 90/50, HR : 103, sinus takikardi, EF 30%. Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Faktor risiko post menopouse, , dyslipidemia., ada cardiomegali, CTR >60%Eksternal : Pasien jarang kontrol kesehatan, riwayat jantung koroner dan gagal jantung. Konservasi Energi : Pasien makan sedikit, istirahat kurang karena nyeri dan sesak, Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi ISDNl, ascardia, lasix, EKG takikardia. Integritas Sosial : Pasien seorang ibu rumah tangga, dengan 2 orang anak, suami sudah meninggal.Diagnosa : penurunan cardiac output Tujuan : Cardiac pump effektiveness Intervensi : cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil. Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 PANDUAN PEMBERIAN OBAT DENGAN KEWASPADAAN TINGGI (HIGH ALERT MEDICATIONS) AGONIS ADRENERGIK: ADRENALIN SEDASI-HIPNOTIK: PROPOFOL KONSENTRAT ELEKTROLIT: KALIUM CHLORIDE 7,4% DI RUANG ICU DEWASA RS PUSAT JANTUNG NASIONAL HARAPAN KITA JAKARTA Inovasi Praktek Residensi 3 PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH KEKHUSUSAN KARDIOVASKULAR FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA MEI 2013 1 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 PANDUAN PEMBERIAN OBAT DENGAN KEWASPADAAN TINGGI (HIGH ALERT MEDICATIONS) AGONIS ADRENERGIK: ADRENALIN SEDASI-HIPNOTIK: PROPOFOL KONSENTRAT ELEKTROLIT: KALIUM CHLORIDE 7,4% DI RUANG ICU DEWASA RS PUSAT JANTUNG NASIONAL HARAPAN KITA JAKARTA 1. 2. 3. 4. Supervisor Utama Supervisor klinik 1 Supervisor klinik 2 Anggota Tim : : Prof. Elly Nurrahman, DNSc : Ns. Rita Sekarsari, SpKV, MHSN : Ns. Harpen Dewi Sasmita, SpKV Ns. Dwi Nugroho Heri Saputro Ns. Sadar Prihandana Ns. Ani Widiastuti Program Inovasi Praktek Residensi 3 Ners Spesialis KMB (Kardiovaskular) Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta Mei 2013 2 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 3 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 A. Latar belakang Standar ke-3 dari 6 standar The JCI International Patient Safety Goals (IPSG) adalah meningkatkan keamanan dari penggunaan obat-obat dengan kewaspadaan tinggi (high alert medication) (JCI, 2010). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011, menyebutkan rumah sakit harus mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai. Ruang ICU dewasa RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RS PJNHK) Jakarta, banyak sekali menggunakan obat-obatan yang termasuk ke dalam kategori “high alert medication”, seperti pemberian elektrolit konsentrasi tinggi, pemberian obat intravena secara titrasi, pemberian sedasi, serta beberapa obat kardiovaskular yang memerlukan pengawasan tinggi, misalnya adrenalin, dobutamin, dan dopamin. Karena itu diperlukan suatu panduan bagi perawat dalam memberikan obat “high alert” sehingga risiko kesalahan dapat diminimalkan. B. Tujuan 1. Sebagai acuan bagi perawat dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi 2. Meningkatkan kewaspadaan perawat dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi sehingga risiko kesalahan obat dapat diminimalkan 3. Meningkatkan keselamatan pasien C. Sasaran Perawat yang bekerja di ICU Dewasa RS PJNHK Jakarta. D. Ruang lingkup Panduan ini membahas tentang kategori obat dengan kewaspadaan tinggi, peran dan tanggung jawab perawat, perhatian perawat dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi yang meliputi adrenalin, propofol, dan koreksi kalium, di Ruang ICU Dewasa RS PJNHK Jakarta E. Pengertian “High Alert Medication” Institute for Safe Medication Practices/ISMP (2012), mendefinisikan “High alert medication” atau obat dengan kewaspadaan tinggi adalah obat yang mempunyai risiko tinggi yang dapat menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi kesalahan penggunaan (ISMP, 2012). Joint Commission International/JCI dalam Accreditation Standards for Hospitals (2010), memasukkan obat yang termasuk ke dalam kategori kewaspadaan tinggi adalah obat yang a) mempunyai persentasi kesalahan tertinggi, b) 1 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 menyebabkan dampak buruk bila diberikan tidak tepat, c) pengobatan yang mempunyai risiko tinggi terjadinya efek samping, dan d) obat yang memiliki kemiripan baik nama maupun bentuknya. F. Jenis obat kewaspadaan tinggi Jenis obat yang masuk ke dalam kategori obat kewaspadaan tinggi, tercantum dalam tabel 1 (ISMP, 2012). Tabel 1. Jenis obat termasuk kategori kewaspadaan tinggi No 1 2 3 4 5 Kategori/kelas obat Agonis adrenergik (i.v.) Antagonis adrenergik (i.v.) Agen anestesi (general, inhalasi, dan i.v.) Anti aritmia (i.v.) Agen antitrombotik: a. Antikoagulan b. Faktor Xa inhibitor c. Direct thrombin inhobitor 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 d. Thrombolitik e. Inhibitor glycoprotein IIb/IIIa Larutan kardioplegi Agen kemoterapi (parenteral dan oral) Dextrose, hipertonik, 20% atau lebih Cairan dialisat (peritoneal dan hemodialisa) Obat epidural atau intrathecal Obat hipoglikemik (oral) Obat inotropik (i.v.) Insulin (s.c. dan i.v.) Obat dalam bentuk liposomal dan turunannya Obat sedasi moderate Obat sedasi anak (oral) Narkotik/opiat a. i.v. b. transdermal Contoh obat epinephrine, phenylephhrine, norepinephrine propanolol, metoprolol, labetolol propofol, ketamine lidocaine, amiodarone warfarin, low molecular weight heparin (s.c.), unfractionated heparin (i.v.) Fondaparinux argatroban, bivalirudin, dabigatranetexilate, lepirudin alteplase, reteplase, tenecplase eptifibatide Digoksin, milrinone Regular insulin liposomal amphotericin B, amphotericin B desoxycholate dexmedetomidine, midazolam Chloralhydrate 2 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 Lanjutan tabel 1. No 18 19 20 21 22 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kategori/kelas obat Contoh obat c. oral (termasuk konsentrat cair, formulasi lepas lambat dan cepat Agen blok neuromuskular succinylcholine, rocuronium, vecuronium Nutrisi parenteral Agen radiokontras (i.v.) Air steril (aqua) dalam kemasan 100 ml atau lebih untuk injeksi, inhalasi, dan irigasi NaCl konsentrasi lebih dari 0,9% untuk injeksi Obat-obatan spesifik/khusus Epoprostenol/Flolan (i.v.) Magnesium sulate injeksi Methotrexate penggunaan non onkologi (oral) Opium tincture Oxytosin i.v. Nitroprusside sodium injeksi Potassium chloride injeksi Potassium phosphates injeksi Promethazine (i.v.) Vasopressin (i.v. atau intraosseus) G. Strategi Strategi yang tepat perlu disusun untuk meningkatkan keamanan pemberian obat kewaspadaan tinggi. College of Registered Nurses of Nova Scotia/CRNNS (2011), merumuskan strategi untuk meningkatkan keamanan pada pemberian obat kewaspadaan tinggi, tercantum dalam tabel 2. Tabel 2. Strategi meningkatkan keamanan pemberian obat kewaspadaan tinggi 1. Meningkatkan kompetensi a. Memiliki pengetahuan tentang pemberian obat, meliputi: 1) Tekhnik aseptik 2) Matematika, dalam menghitung dosis 3) Nama generik dan nama dagang obat 4) Risiko interaksi obat ketika mendapat dua atau lebih obat 5) Obat yang boleh dan tidak boleh dihancurkan/ dibelah 6) Stabilitas, penyimpanan, dan pelabelan obat yang dilarutkan b. Berkonsultasi dengan dokter penanggung jawab untuk verifikasi ketepatan instruksi pengobatan 3 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 Lanjutan tabel 2 2. Meningkatkan komunikasi 3. Meningkatkan sistem 4. Meningkatkan budaya c. Melakukan pengecekan ganda (double check), meliputi: 1) Membandingkan label dan isi produk yang diterima dengan instruksi yang tertulis di dokumentasi 2) Melakukan verifikasi setiap perhitungan obat yang membutuhkan persiapan/pencampuran 3) Memastikan akurasi dari program pompa infus intravena mengalir sesuai program, termasuk memasukkan berat badan pasien d. Memperhatikan nama obat yang mirip (look alike/sound alike) sehingga dapat memastikan obat yang tepat e. Melakukan pemantauan pasien selama dan sesudah pemberian obat terhadap efek obat yang diharapkan dan efek sampingnya, dan tindakan yang diperlukan f. Mematuhi prinsip 10 benar dalam proses pemberian obat, yaitu: 1) benar pasien, 2) benar obat, 3) benar rute, 4) benar waktu, 5) benar dosis, 6) benar alasan, 7) benar edukasi, 8) hak untuk menolak, 9) benar evaluasi, dan 10) benar pendokumentasian a. Memeriksa riwayat pengobatan yang lalu dan sekarang b. Melakukan klarifikasi terhadap instruksi obat yang tidak lengkap/jelas c. Melakukan instruksi obat secara lisan hanya dalam keadaan kegawatan d. Menggunakan komunikasi yang konsisten dan jelas e. Melakukan standarisasi tabel penghitungan dosis, misalnya x ml = y mcg f. Menuliskan di catatan obat atau label dengan huruf kapital untuk membedakan obat yang mirip, misal DOBUtamine dan DOPAmine a. Melakukan medication reconciliation, yaitu mencatat setiap riwayat obat yang telah diberikan kepada pasien b. Menyiapkan dan mencampur obat di tempat yang bebas dari gangguan c. Membatasi dan melakukan standarisasi tempat penyimpanan obat, stok, dan distribusi d. Melakukan standarisasi peralatan untuk memberikan obat, infusion pump, dengan meminimalkan pilihan merek dan jenis alat, dan meningkatkan kemampuan dalam mengoperasionalkan alat tersebut e. Menyediakan tempat yang aman dan memadai untuk menyiapkan pengobatan a. Melakukan edukasi dan memotivasi pasien untuk menanyakan obat yang digunakan b. Menunjukkan perhatian pada setiap aspek dari tahapan pemberian obat 4 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 Lanjutan tabel 2 5. Meningkatkan kewaspadaan c. Melihat instruksi bersama pasien saat pasien menunjukkan perhatian tentang pengobatannya d. Selalu mengidentifikasi penyebab masalah dari sistem yang dapat mengakibatkan kesalahan pengobatan e. Menciptakan budaya “tidak menyalahkan” sehingga kesalahan penggunaan obat dapat tercatat f. Melakukan pemantauan pasien selama dan sesudah pemberian obat terhadap efek obat yang diharapkan dan efek sampingnya, dan tindakan yang diperlukan g. Menyimpan obat di lokasi yang aman bila ternyata obat belum digunakan setelah disiapkan h. Membuat label obat: Label di tempat infus adalah nama pasien, obat, jumlah obat yang dimasukkan, data, dan waktu. Label di pompa infus adalah obat, konsentrasi, dan tetesan infus. Label di ujung selang adalah nama obat dan tempat insersi iv. a. Melakukan pencampuran obat secara benar. Perawat hanya memberikan obat yang disiapkan sendiri, kecuali dalam keadaan emergensi yang membutuhkan kerja tim b. Memperhatikan pemberian obat dengan dosis rentang dengan memperhatikan klinis pasien c. Memperhatikan pemberian obat yang diberikan dengan sliding scale, algoritme, dan dosis koreksi, disesuaikan hasil pemeriksaan laboratorium rutin dan keadaan klinis pasien d. Membagi pil secara terukur dengan alat pemecah pil H. Tanggung jawab dan kewenangan perawat Perawat mempunyai tanggung jawab dan kewenangan dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi. Tanggung jawab dab kewenangannya adalah (CARNA, 2007): a. Perawat yang dapat memberikan obat kewaspadaan tinggi adalah perawat yang memiliki kompetensi tentang obat kewaspadaan tinggi. b. Sebelum diberikan obat, perawat bertanggung jawab dalam mengkonsultasikan obat dengan dokter yang menginstruksikan bila perawat mempunyai pertanyaan atau masalah dengan obat yang diresepkan c. Perawat dapat menggunakan “professional judgment” dalam parameter protokol medis, untuk menentukan apakah pasien masuk kriteria untuk intervensi d. Perawat harus menyiapkan sendiri obat yang akan diberikan ke pasien e. Perawat mempunyai fleksibilitas untuk membuat keputusan dosis yang diberikan berdasarkan kondisi klinis pasien, bila dosis yang diresepkan dalam bentuk dosis rentang (range dose) 5 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 f. Perawat harus melakukan verifikasi persetujuan pasien sebelum diberikan obat dosis awal atau ketika terapi obat berubah. Ketika pasien menolak pengobatan, perawat harus bisa menentukan alasan penolakan dan kaji tingkat pemahaman pasien tentang efek obat g. Perawat mendokumentasikan obat yang diberikan sendiri. Perawat tidak diperkenankan untuk mendokumentasikan obat yang diberikan oleh perawat lain, kecuali dalam keadaan kegawatan. h. Perawat mendokumentasikan obat secara lengkap meliputi: nama pasien, nama obat, dosis dan rute obat, waktu pemberian, dan tanda tangan perawat yang memberikan. i. Perawat mendokumentasikan informasi yang berhubungan dengan pemberian obat, misal pertanyaan pasien, keluhan pasien, penolakan pasien, intervensi tambahan seperti edukasi kepada pasien, dan efek terapeutik atau efek samping. I. Pemberian adrenalin Adrenalin masuk kedalam jenis obat agonis adrenergik yang termasuk dalam obat kewaspadaan tinggi. Tata laksana tercantum dalam tabel 3. Tabel 3. Tata laksana pemberian obat adrenalin Indikasi Kontra indikasi Efek terapeutik Pencampuran Dosis Rute pemberian Pengecekan ganda Kewaspadaan Hipotensi, cardiac output (CO) dan cardiac index (CI) yang rendah. Jangan digunakan pada pasien dengan hipertensi, cerebral arteriosclerosus, hipertiroidisme, glaukoma sudut sempit, selama persalinan, atau pada pasien yang menerima obat digitalis Mencapai tekanan darah, cardiac output dan cardiac index yang efektif dan tanpa efek samping 4 mg dalam 50cc NaCl 0,9% (80 mcg/ml) a. Dosis awal: untuk efek inotropik, mulai dengan 0,02 mcg/kg/menit, b. Dosis titrasi: setiap 5 menit ditambah 0,02 mcg/kg/menit sampai maksimal 0,2 mcg/kg/menit sampai tercapai tekanan darah dan cardiac output yang diinginkan a. Adrenalin harus diberikan melalui vena sentral, kecuali dalam keadaan emergensi adrenalin bisa diberikan perifer b. Infus adrenalin tidak boleh diberikan melalui tempat infus obat dalam sirkuit hemodialisa c. Adrenalin harus diberikan melalui pompa infus a. Bandingkan label dan isi produk yang diterima dengan instruksi yang tertulis b. Verifikasi pencampuran obat c. Pastikan penghitungan tetesan infus awal tepat sesuai berat badan pasien, dan tepat memasukkan pada infusion pump, termasuk mengubah dosis titrasi pasien a. Adrenalin hanya diberikan di area perawatan kritis dimana pasien 6 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 perawat b. c. d. e. f. g. h. sudah terpasang monitor jantung Validasi instruksi untuk konsentrasi cairan, jumlah tetesan awal, parameter tekanan darah awal. Instruksi harus dalam bentuk mcg/kg/menit Pastikan oksigenasi pasien adekuat ditandai dengan saturasi oksigen 98-100% Catat parameter hemodinamik untuk menentukan titrasi obat. Parameter yang digunakan adalah tekanan darah sistole 100-120 mmHg, MAP > 60, atau CI>2). Monitor tekanan darah pasien selama 5 menit di awal, kemudian tiap 30 menit sampai 1 jam sampai terlihat tekanan darah yang stabil atau cardiac output tercukupi Monitor adanya nyeri dada, aritmia (terutama takikardi), dan hipertensi. Sakit kepala, pusing, cemas, dan penurunan aliran darah ke ginjal juga sering terjadi. Laporkan bila tidak tercapai peningkatan tekanan darah sistolik dan MAP pada keadaan dosis maksimal, takikardi atau aritmia lain, dan perubahan signifikan lainnya. Dokumentasikan setiap perubahan dosis yang terjadi, meliputi waktu, dosis, dan parameter heodinamik pasien J. Pemberian Propofol Propofol adalah obat general anaestesi yang bekerja cepat dengan efek kerja dicapai dalam waktu 40 detik. Propofol adalah cairan emulsi yang terdiri dari minyak dan air yang berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Propofol masuk ke dalam obat kewaspadaan tinggi. Tata laksana pemberian propofol tercantum dalam tabel 4. Tabel 4. Tata laksana pemberian obat propofol Indikasi Lanjutan tabel 4. Kontra indikasi Efek terapeutik Pencampuran Dosis Sedasi dan hipnotik pada induksi maupun pemeliharaan pada anestesi, pada pasien terintubasi atau pasien yang gelisah Tidak direkomendasikan untuk induksi pada pasien dibawah usia 3 tahun maupun pemeliharaan anestesi pada usia dibawah 2 bulan karena keamanan dan keefektivitasnya tidak dipastikan Pemeliharaan sedasi pada pasien terintubasi dan penurunan stress pasien Kemasan 200 mg dalam 10 ml, tidak dilakukan pencampuran a. Dosis awal: 10 mcg/kg/menit, atau sesuai dengan instruksi medis. b. Dosis pemeliharaan: 5 mcg/kg/menit c. Dosis titrasi: 10 mcg/kg/menit setiap 5-10 menit sampai tingkat sedasi yang diinginkan dicapai (dengan dosis maksimum 50 mcg/kg/menit). 7 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 d. Pasien akan dipertahankan pada tingkat infus 10 sampai 50 mcg/ kg/menit. Rute pemberian Pengecekan ganda Kewaspadaan perawat a. Pemberian melalui intra vena dengan kontrol infusion pump b. Pemberian propofol secara bolus tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan hipotensi, bolus hanya digunakan dalam keadaan darurat untuk meningkatkan kedalaman sedasi secara cepat a. Bandingkan label dan isi produk yang diterima dengan instruksi yang tertulis b. Lakukan pemeriksaan visual botol obat terhadap partikel dan perubahan warna c. Pastikan penghitungan tetesan infus awal tepat sesuai dengan berat badan pasien, dan tepat memasukkan pada infusion pump, termasuk mengubah dosis titrasi pasien a. Monitor adanya efek samping yang harus diperhatikan: 1) Pernafasan: depresi pernafasan, sesak nafas, bronkospasme dan laringospasme. 2) Kardiovaskular: hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia, dan hipertensi. 3) Susunan saraf pusat: sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, opistotonus, kejang, mual dan muntah. 4) Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga dianjurkan dicampur dengan lidokain pada saat pemberian. Cara lain untuk mengurangi nyeri pada saat pemberian propofol adalah dengan cara memilih vena yang besar. b. Monitor tanda vital tiap 1 jam selama titrasi aktif c. Berikan bersama dengan analgesik narkose bila perlu, karena propofol tidak memiliki sifat analgesik d. Ganti spuit dan selang infus setiap 12 jam, dengan tekhnik aseptik yang ketat, karena propofol merupakan tempat yang baik untuk perkembangbiakan mikroorganisme Lanjutan tabel 4. 8 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 e. Pantau kadar lipid darah pada pasien dengan hiperlipidemi atau yang berisiko terjadi hiperlipidemi f. Hentikan bila kadar trigliserida menjadi sangat tinggi g. Hentikan propofol 10-15 menit sebelum dilakukan ekstubasi. h. Bila terjadi hipotensi ringan selama titrasi, kurangi kecepatan infus dan tinggikan ekstremitas bawah pasien i. Bila terjadi hipotensi berat dan bradikardi (depresi kardiovaskular), hentikan infus propofol dan berikan terapi vasopresor dan cairan intravena j. Dokumentasikan setiap perubahan dosis yang terjadi, meliputi waktu, indikasi, perubahan dosis, dan parameter hemodinamik K. Pemberian KCl 7,4% Koreksi hipokalemi merupakan hal yang sederhana tetapi bila tidak tepat dalam melakukannya dapat mengakibatkan gejala yang memburuk, bahkan kematian. Hipokalemi seringkali asimptomatik dan ditemukan bila dilakukan pemeriksaan elektrolit. Hipokalemi ringan meningkatkan kecenderungan aritmia jantung pada pasien iskhemik, gagal jantung atau hipertrofi ventrikel kanan. Asupan kalium harus dipikirkan untuk menambah kalium pada level 3,5-4 mmol/L, tidak perlu menunggu kadar kalium turun sampai < 3,5 mmol/L. Potensi digoksin untuk menyebabkan komplikasi aritmia jantung bertambah bila ada hipokalemi pada pasien gagal jantung, sehingga kadar kalium serum dipertahankan dalam kisaran 4,5-5 mmol/L. Tatalaksana pemberian elektrolit KCl 7,4% tercantum dalam tabel 5. Tabel 5. Tata laksana pemberian KCl 7,4% Indikasi Kontra indikasi Efek terapeutik Pencampuran Koreksi Kalium atau untuk pemeliharaan kadar kalium darah post operasi jantung KCl tidak boleh diberikan sebelum didapatkan nilai kadar kalium melalui pemeriksaan laboratorium Kadar Kalium tercapai 4,0-4,5 mmol/L a. Pemberian KCl harus diencerkan dalam volume yang besar, dengan konsentrasi minimal adalah 80 mEq per liter. b. Dalam kasus dimana dibutuhkan kalium secara cepat, dapat diencerkan dengan 50-100 ml. c. Konsentrasi yang direkomendasikan: 1) Pemeliharaan: 60 mEq per liter 2) Vena perifer: 20 mEq per 100 ml atau 40 mEq per 250 ml 3) Vena sentral: 40 mEq per 100 ml d. Cara mencampur KCl adalah melepas terlebih dahulu insersi yang ada di plabot, kemudian masukkan cairan KCl ke dalammya, dan secara perlahan dikocok 10 kali untuk memastikan tercampur sempurna. e. Jangan memasukkan cairan KCl ketika plabot tergantung dan tersambung dengan selang infus, karena cairan akan langsung menuju ke bawah dan konsentrasi di bawah akan lebih tinggi. 9 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 Dosis Rute pemberian Pengecekan ganda Kewaspadaan perawat Dosis total pemberian adalah 20-60 mEq dalam 24 jam dan tidak boleh lebih dari 200 mEq dalam 24 jam c. Pemberian KCl harus melalui kontrol syringe pump d. Pemberian KCl diatas 10 mEq harus melalui vena sentral dan dengan kontrol intensif monitor jantung e. Pemberian KCl tidak boleh diberikan secara bolus atau secara push a. Identifikasi pasien b. Bandingkan label dan isi produk yang diterima dengan instruksi yang tertulis c. Verifikasi pencampuran obat d. Pastikan penghitungan tetesan infus awal tepat sesuai dengan hasil laborat dan tepat memasukkan pada infusion pump, termasuk mengubah dosis koreksi pasien a. Monitor efek samping peningkatan kalium, yaitu: nyeri abdomen, bradikardi, nausea, muntah, disfagia, bingung, kelemahan otot, distress respirasi, cardiac arrest, dan perubahan EKG. b. Periksa kadar kalium darah setiap 6 jam setelah koreksi, dan setiap 12 jam untuk pemberian kalium secara maintenans. c. Dokumentasikan pemberian KCl meliputi kadar kalium sebelum diberikan, waktu pemberian, dosis, dan rute pemberian L. Standar prosedur operasional (SPO) Panduan obat dengan kewaspadaan tinggi dibuat setelah melalui proses konsultasi dan koordinasi dengan pembimbing dan unit terkait untuk dapat memfasilitasi kebutuhan dan harapan dari Rumah Sakit. Masukan dan saran yang ada kemudian disesuaikan dengan referensi dan standar dari akreditasi internasional (JCI). Untuk dapat diimplementasikan kepada pasien, maka panduan obat dengan kewaspadaan tinggi perlu dituangkan dalam bentuk standar prosedur operasional (SPO) sehingga memudahkan perawat dalam bekerja. Standar prosedur operasional ini dibuat menurut jenis obat atau nama obat guna mengurangi risiko kesalahan akibat pemberian obat. Mengingat banyaknya jenis obat kewaspadaan tinggi, maka kami memilih jenis obat yang banyak digunakan di unit ICU dewasa serta memiliki risiko tinggi timbulnya kesalahan dalam pemberian. Adapun SPO tersebut adalah sebagai berikut : 10 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 PROSEDUR KEAMANAN PEMBERIAN OBAT “HIGH ALERT” AGONIS ADRENERGIK: ADRENALIN No. Dokumen No. Revisi Halaman: 2 Ditetapkan Direktur Utama, SPO Tanggal terbit: dr. Hananto Andriantoro, Sp.JP(K), FIHA NIP. 195711041986101001 Pengertian Tujuan Kebijakan Prosedur: Adrenalin adalah obat yang masuk kategori obat kewaspadaan tinggi, yang dapat menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi kesalahan penggunaan. Meningkatkan keamanan dalam pemberian obat adrenalin Setiap pasien yang mendapatkan Adrenalin masuk dalam kategori Obat Kewaspadaan Tinggi, sehingga pemberian Adrenalin harus terpasang monitor jantung, diberikan melalui vena sentral, dan dikontrol dengan infusion pump. 1. Verifikasi instruksi obat. Dokumentasikan obat yang akan diberikan secara jelas, dokter yang meresepkan, waktu pemberian, jumlah dosis, rute pemberian, dan cara pemberian apakah single dose, uptitrasi, sliding scale, atau dosis rentang. 2. Verifikasi indikasi pemberian adrenalin: hipotensi, cardiac output (CO) dan cardiac index (CI) yang rendah. 3. Pastikan tidak ada kontra indikasi: pasien dengan hipertensi, cerebral arteriosclerosus, hipertiroidisme, glaukoma sudut sempit, selama persalinan, atau pada pasien yang menerima obat digitalis. 4. Validasi instruksi untuk konsentrasi cairan, jumlah tetesan awal, parameter tekanan darah awal. 5. Pastikan instruksi ditulis dalam bentuk mcg/kg/menit. 6. Lakukan pengecekan ganda (double check) dengan perawat kedua sebelum diberikan. Pengecekan meliputi: a. Membandingkan label dan isi produk yang diterima dengan instruksi yang tertulis di dokumentasi b. Melakukan verifikasi setiap perhitungan obat yang membutuhkan persiapan/pencampuran c. Menjamin akurasi dari program pompa infus intravena mengalir sesuai program, termasuk memasukkan berat badan pasien. 7. Buat label obat: a. Label di tempat infus: nama pasien, obat, jumlah obat yang 11 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 Unit terkait dimasukkan, tanggal dan waktu pemberian. b. Label di pompa infus: nama obat, konsentrasi, dan tetesan infus. c. Label di ujung selang adalah nama obat dan tempat insersi iv 8. Pastikan oksigen pasien adequat ditandai dengan saturasi O2 98100%. 9. Lakukan pencampuran obat secara benar. Perawat hanya memberikan obat yang disiapkan sendiri, kecuali dalam keadaan emergensi yang membutuhkan kerja tim 10. Pastikan saat memulai infus, catat parameter hemodinamik untuk menentukan titrasi obat. Parameter yang digunakan adalah tekanan darah sistole 100-120 mmHg, MAP > 60, atau CI>2). 11. Berikan Adrenalin dalam konsentrasi 4 mg dalam 50cc NaCl 0,9% (80 mcg/ml). 12. Berikan dosis awal mulai 0,02 mcg/kg/menit, dan setiap 5 menit ditambah 0,02 mcg/kg/menit sampai maksimal 0,2 mcg/kg/menit sampai tercapai tekanan darah dan cardiac output yang diinginkan 13. Lakukan dokumentasi setiap perubahan dosis yang terjadi, meliputi dokter yang memberikan instruksi, waktu, indikasi, perubahan dosis, dan double check. 14. Lakukan pemantauan terhadap pasien selama dan sesudah pemberian obat terhadap efek obat yang diharapkan dan efek sampingnya, dan tindakan yang diperlukan, seperti pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan AGD 15. Monitor tekanan darah pasien tiap 5 menit selama 30 menit pertama, kemudian tiap 1 jam sampai terlihat tekanan darah yang stabil atau cardiac output tercukupi 16. Monitor adanya nyeri dada, aritmia (terutama takikardi), dan hipertensi. Sakit kepala, pusing, cemas, dan penurunan aliran darah ke ginjal juga sering terjadi. 17. Laporkan bila tidak tercapai peningkatan tekanan darah sistolik dan MAP pada keadaan dosis maksimal, takikardi atau aritmia lain, dan perubahan signifikan lainnya. 18. Dokumentasikan obat yang telah diberikan ICU Dewasa Lantai 2 12 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 PROSEDUR KEAMANAN PEMBERIAN OBAT “HIGH ALERT” SEDATIVE-HIPNOTIK: PROPOFOL No. Dokumen No. Revisi Halaman: 2 Ditetapkan Direktur Utama, SPO Tanggal terbit: dr. Hananto Andriantoro, Sp.JP(K), FIHA NIP. 195711041986101001 Pengertian Tujuan Kebijakan Prosedur: Propofol adalah obat yang bersifat sedative-hipnotik dimana obat ini mempunyai risiko tinggi yang dapat menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi kesalahan penggunaan. Meningkatkan keamanan dalam pemberian propofol 1. Propofol masuk dalam kategori Obat Kewaspadaan Tinggi 2. Pemberian propofol harus terpasang monitor jantung, diberikan melalui vena sentral dengan kontrol syringe pump. 3. Propofol diberikan untuk pemeliharaan sedasi pada pasien terintubasi dan penurunan stress pasien 4. Propofol tidak dilakukan pengenceran 5. Propofol hanya diberikan oleh perawat yang telah lulus ACLS 6. Perawat hanya memberikan obat yang disiapkan sendiri, kecuali dalam keadaan emergensi yang membutuhkan kerja tim. 7. Dosis pemberian propofol yang direkomendasikan: a. Dosis awal: 10 mcg/kg/menit b. Dosis pemeliharaan: 5 mcg/kg/menit c. Dosis titrasi: 10 mcg/kg/menit setiap 5-10 menit sampai tingkat sedasi yang diinginkan dicapai d. Dosis maksimum 50 mcg/kg/menit 8. Pemberian propofol secara bolus tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan hipotensi. Pemberian bolus hanya digunakan dalam keadaan darurat untuk meningkatkan kedalaman sedasi secara cepat 1. Verifikasi instruksi obat dan tempelkan copy resep di dalam status pasien. 2. Komunikasikan dengan dokter penanggung jawab bila ada kontra indikasi 3. Periksa secara visual botol obat terhadap partikel dan perubahan warna. 4. Lakukan pengecekan ganda (double check) sebelum diberikan. Pengecekan meliputi: a. Identifikasi pasien b. Label dan isi produk yang diterima c. Verifikasi jumlah dosis d. Verifikasi tetesan infus di syringe pump 5. Buat label obat: 13 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 a. Tempat infus: nama pasien, obat, jumlah obat yang Unit terkait dimasukkan, tanggal dan waktu pemberian. b. Syringe pump: nama obat, konsentrasi, dan tetesan infus. c. Ujung selang: nama obat dan tempat insersi iv 6. Berikan propofol melalui syringe pump, dan masukkan jumlah tetesan dengan benar sesuai dosis yang diresepkan 7. Hentikan pemberian propofol 10-15 menit sebelum dilakukan ekstubasi 8. Monitor: a. Tekanan darah pasien tiap 1 jam selama titrasi aktif b. Kadar lipid darah pada pasien hiperlipidemia dan pada pasien yang beresiko hiperlipidemi. Hentikan pemberian propofol bila kadar trigliserida menjadi sangat tinggi. 9. Ganti spuit dan selang infus setiap 12 jam, dengan tekhnik aseptik yang ketat. 10. Dokumentasikan setiap perubahan dosis yang terjadi, meliputi dokter yang meresepkan, waktu, indikasi, perubahan dosis, dan parameter hemodinamik ICU Dewasa Lantai 2 14 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 PROSEDUR KEAMANAN PEMBERIAN OBAT “HIGH ALERT” KALIUM CHLORIDE 7,4% No. Dokumen No. Revisi Halaman: 2 Ditetapkan Direktur Utama, SPO Tanggal terbit: dr. Hananto Andriantoro, Sp.JP(K), FIHA NIP. 195711041986101001 Pengertian Tujuan Kebijakan Prosedur: High alert medication” KCl 7,4% adalah obat dengan kewaspadaan tinggi dimana dalam pemberian memiliki risiko tinggi yang dapat menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi kesalahan penggunaan. Meningkatkan keamanan dalam pemberian KCl 7,4% 1. KCl 7,4% masuk dalam kategori Obat Kewaspadaan Tinggi 2. Pemberian KCl 7,4% harus terpasang monitor jantung dengan kontrol syringe pump 3. Pemberian KCl 7,4% lebih dari 10 mEq harus diberikan melalui vena sentral 4. KCl 7,4% hanya dapat diberikan setelah didapatkan nilai kalium melalui pemeriksaan laboratorium 5. Kadar Kalium yang diinginkan adalah 4,0-4,5 mmol/L 6. Pengenceran KCl 7,4% direkomendasikan: 1) Dosis pemeliharaan: 60 mEq per liter 2) Dosis koreksi: 20-25 mEq per 50 ml 3) Vena perifer: 20 mEq per 100 ml atau 40 mEq per 250 ml 4) Vena sentral: 20-25 mEq per 50 ml 7. KCl 7,4% hanya diberikan oleh perawat yang telah lulus ACLS 8. Perawat hanya memberikan obat yang disiapkan sendiri, kecuali dalam keadaan emergensi yang membutuhkan kerja tim. 9. KCl 7,4% diberikan secara drip, tidak boleh diberikan secara bolus atau secara push 10. Pemberian dosis KCl 7,4% dikurangi apabila terdapat gangguan fungsi renal 11. Dosis total pemberian adalah 20-60 mEq dalam 24 jam dan tidak boleh lebih dari 200 mEq dalam 24 jam 1. Verifikasi instruksi obat dan tempelkan copy resep di dalam status pasien. 2. Pastikan pasien terpasang infus vena sentral, monitor jantung, dan tersedia syringe pump 3. Verifikasi indikasi pemberian KCl 7,4% 4. Lakukan pengenceran KCl 7,4% sesuai indikasi 5. Lakukan pengecekan ganda (double check) sebelum diberikan. Pengecekan meliputi: a. Identifikasi pasien 15 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 Unit terkait b. Label dan isi produk yang diterima c. Verifikasi konsentrasi pengenceran d. Verifikasi tetesan infus di syringe pump 6. Buat label obat: a. Tempat infus: nama pasien, obat, jumlah obat yang dimasukkan, tanggal dan waktu pemberian. b. Syringe pump: nama obat, konsentrasi, dan tetesan infus. c. Ujung selang: nama obat dan tempat insersi iv 7. Lakukan pengenceran KCl 7,4% dengan tepat, dengan cara: a. Mencampur KCl 7,4% tidak boleh pada plabot yang tergantung dan tersambung dengan selang infus b. Lepas terlebih dahulu insersi selang ke plabot, kemudian masukkan cairan KCl 7,4%, kemudian kocok 10 kali untuk memastikan cairan tercampur sempurna 8. Berikan KCl 7,4% melalui syringe pump, dan masukkan jumlah tetesan dengan benar sesuai dosis yang diresepkan 9. Monitor: a. efek samping peningkatan kalium, yaitu: nyeri abdomen, bradikardi, nausea, muntah, disfagia, bingung, kelemahan otot, distress respirasi, cardiac arrest, dan perubahan EKG. b. kadar kalium darah setiap 4-6 jam setelah koreksi c. kadar magnesium. Magnesium yang adekuat diperlukan untuk koreksi kalium 10. Dokumentasikan pemberian KCl 7,4% meliputi kadar kalium sebelum dan sesudah pemberian, waktu pemberian, dosis, dan rute pemberian ICU Dewasa Lantai 2 Penutup Perubahan membutuhkan kesabaran dan keinginan untuk menjadi lebih baik, sehingga dapat melalui proses pengenalan, pemahaman maupun implementasi dengan hasil yang baik. Dengan berfokus pada keselamatan pasien (patient safety) serta peningkatan kualitas pelayanaan, maka perubahan akan terasa ringan dan mudah untuk dilaksanakan. Atas dasar tersebut, kami dapat memberikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Pemberian obat kewaspadaan tinggi merupakan salah satu point dari six goal patient safety menurut JCI dan merupakan tanggung jawab sekaligus tanggung gugat perawat untuk memberikan obat sehingga dibutuhkan kesungguhan dan keinginan yang kuat untuk dapat memberikan obat dengan benar sesuai prosedur standar 16 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 2. Rumah sakit dapat memfasilitasi kebutuhan alat secara menyeluruh dan berkelanjutan seperti penyediaan sarung tangan karena pemberian obat kewaspadaan tinggi selalu membutuhkan sarung tangan guna meningkatkan keselamatan pasien dan petugas kesehatan sesuai six goal patient safety. 3. Prosedur pemberian obat kewaspadaan tinggi dapat menjadi prosedur standar keperawatan di unit ICU sehingga diharapkan dapat mengurangi risiko kesalah akibat pemberian obat tersebut. Laporan Inovasi ini menjadi bukti pelaksanaan kegiatan inovasi di unit ICU RS pusat jantung nasional harapan kita jakarta sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab kami untuk dapat menerapkan salah satu dari international patient safety goal dari JCI yang bertujuan menurunkan risiko cedera pada pasien dengan terapi obat kewaspadaan tinggi. Kami berharap. Kami berharap, semoga laporan ini dapat menjadi bahan pertimbangan dari pihak managemen rumah sakit dalam menerapkan asuhan keperawatan guna meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dan keselamatan pasien Jakarta, Mei 2013 Residensi Peminatan kardiovaskuler Ani, Dwi, Sadar 17 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 DISTRIBUSI RATA-RATA TEKANAN DARAH SYSTOLIK MENURUT PENGUKURAN PRE DAN POST LATIHAN Variabel Tekanan darah systolik pengukuran 1 Tekanan darah systolik pengukuran 2 Mean 121.5 SD 24.375 SE 5.45 112.7 19.421 4.34 P Value N 0.001 20 DISTRIBUSI RATA-RATA TEKANAN DARAH DIASTOLIK MENURUT PENGUKURAN PRE DAN POST LATIHAN Variabel Tekanan darah systolik pengukuran 1 Tekanan darah systolik pengukuran 2 Mean 64.1 SD 24.375 SE 9.9 60.95 19.421 9.38 P Value N 0.007 20 DISTRIBUSI RATA-RATA FREKUENSI JANTUNG MENURUT PENGUKURAN PRE DAN POST LATIHAN Variabel Frekuensi jantung pengukuran 1 Frekuensi jantung pengukuran 2 Mean SD SE 91.1 9.5 2.1 87.3 9.0 2.0 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 P Value N 0.003 20 DISTRIBUSI RATA-RATA FREKUENSI PERNAFASAN MENURUT PENGUKURAN PRE DAN POST LATIHAN Variabel Frekuensi pernafasan pengukuran 1 Frekuensi pernafasan pengukuran 2 Mean SD SE 28.3 16.9 3.7 17.5 4.2 0.91 P Value N 0.01 20 DISTRIBUSI RATA-RATA SATURASI OKSIGEN PERIFER MENURUT PENGUKURAN PRE DAN POST LATIHAN Variabel Saturasi oksigen pengukuran 1 Saturasi oksigen pengukuran 2 Mean SD SE 94.50 15.9 3.5 99.0 1.2 0.28 Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012 P Value N 0.002 20