BAB II LANDASAN TEORITIS 2. 1. Landasan Teori 2.1.1 Pemasaran a. Pengertian Pemasaran dan Manajemen Pemasaran Menurut Philip Kotler (2009 : 12) dalam bukunya dikatakan bahwa dalam konteks manajemen pemasaran, pasar adalah tempat fisik dimana para pembeli dan penjual berkumpul untuk membeli dan menjual barang. Para ahli ekonomi menggambarkan pasar sebagai kumpulan pembeli dan penjual yang melakukan transaksi atas sebuah produk atau kelompok produk tertentu (misalnya, pasar perumahan atau bahan makanan). Ada juga sebagian orang beranggapan bahwa pasar adalah sekumpulan pelanggan potensial yang memiliki kebutuhan (needs) atau keinginan (wants) tertentu serta mau dan mampu turut dalam pertukaran untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan tersebut. Didalam bukunya juga Philip Kotler (2009 : 6) menyatakan bahwa, “Pemasaran adalah satu fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan, mengomunikasikan, dan menyerahkan nilai kepada pelanggan dan mengelola hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan para pemilik sahamnya.”. Definisi ini berdasarkan pada konsep inti, yaitu: kebutuhan, keinginan dan permintaan produk, nilai, biaya dan kepuasan, pertukaran, transaksi dan hubungan, pasar, pemasaran dan pemasar. 9 Selanjutnya, Philip Kotler (2009 : 6) mendefinisikan manajemen pemasaran sebagai berikut: “Manajemen pemasaran sebagai seni dan ilmu memilih pasar sasaran dan mendapatkan, menjaga, dan menumbuhkan pelanggan dengan menciptakan, menyerahkan dan mengomunikasikan nilai pelanggan yang unggul”. Untuk definisi sosial disebutkan juga oleh Philip Kotler (2009 : 6) ”Pemasaran adalah suatu proses sosial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain”. Sedangkan Muhammad Syakir Sula mendefinisikan pemasaran dalam perspektif syariah sebagai berikut : “Pemasaran syariah adalah sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran, dan perubahan values dari satu inisiator kepada stakeholders-nya, yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah dalam Islam”. (2004, hlm.425) Herman Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula mendasarkan definisi diatas pada salah satu ketnetuan dalam bisnis islami yang tertuang dalam kaidah fiqih yang mengatakan, “Al-muslimuna ‘ala syuruthihim illa syarthan harrama halalan aw ahalla haraman” (kaum Muslim terikat dengan kesepakatan-kesepakatan bisnis yang mereka buat, kecuali kesepakatan yang mengharankan yang halal atau m enghalalkan yang haram). Selain itu, kaidah fiqihlain mengatakan “Al-ashlu fil-mu’amalah al-ibahah illa ayyadulla dalilun ‘ala tahrimiha” (pada dasarnya semua 10 bentuk muamalah (bisnis) boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Selanjutnya Herman Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula menyebutkan “bahwa dalam syariah marketing, seluruh proses – baik proses penciptaan, proses penawaran, maupun proses perubhan nilai (value) – tidak boleh ada hal-hal yang bertentangan dengan akad dan prinsipprinsip muamalah yang islami. Sepanjang hal tersebut dapat dijamin, dan penyimpangan prinsip-prinsip muamalah islami tidak terjadi dalam suatu transaksi atau dalam proses suatu bisnis, maka bentuk transaksi apa pun dalam pemasaran dapat dibolehkan”.(2006, hlm.27). b. Tujuan dan Proses Pemasaran Tujuan pemasaran adalah mengetahui dan memahami pelanggan sedemikian rupa sehingga produk atau jasa itu cocok dengan pelanggan dan selanjutnya menjual dirinya sendiri. (Philip Kotler, 2009 : 7). Idealnya, pemasaran hendaknya menghasilkan seorang pelanggan yang siap untuk membeli sehingga yang dibutuhkan selanjutnya adalah menyediakan produk atau jasa itu. Sedangkan proses pemasaran terdiri dari analisis peluang pasar, meneliti dan memilih pasar sasaran, merancang strategi pemasaran, merancang program pemasaran, mengorganisir, melaksanakan serta mengawasi usaha pemasaran. 11 c. Perencanaan Strategi Pemasaran Perencanaan strategi pemasaran adalah proses manajerial untuk mengembangkan dan memelihara suatu arah strategi yang menyelaraskan tujuan-tujuan perusahaan (organisasi) dan berbagai sumber dayanya sehubungan dengan pelung pemasaran yang berubah-ubah (Philip Kotler, 2009 : 51). Dimana strategi pemasaran merupakan serangkaian tindakan terpadu menuju keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Adapun faktorfaktor yang mempengaruhi strategi pemasaran adalah: 1) Faktor mikro, yaitu perantara pemasaran, pemasok, pesaing dan masyarakat, 2) Faktor makro, yaitu demografi/ekonomi, politik/hukum, teknologi dan sosial budaya. Strategi dan kiat pemasaran dari sudut pandang penjual (4P) adalah tempat yang strategis (place), produk yang bermutu (product), harga yang kompetitif (price) dan promosi yang gencar (promotion). Sedangkan strategi pemasaran dari sudut pandang pelanggan (4C) adalah kebutuhan dan keinginan pelanggan (customer needs and wants), biaya pelanggan (cost to the customer), kenyamanan (convenience) dan komunikasi (communication). 12 d. Tujuan Strategi Pemasaran Tujuan akhir dari strategi pemasaran adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (total customer satisfaction). Kepuasan pelanggan sepenuhnya bukan berarti memberikan kepada pelanggan apa yang menurut kita keinginan dari mereka, tetapi apa yang sesungguhnya mereka inginkan serta kapan dan bagaimana mereka inginkan. Atau secara singkat adalah memenuhi kebutuhan pelanggan. 2.1.2 Pengertian Asuransi & Reasuransi Syariah Kata syariah atau syariat tidak bisa dipisahkan dari agama Islam, sedangkan dasar dan sumber hukumnya berasal dari ketentuan-ketentuan didalam Al Quran (firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.) dan As Sunnah (teladan dari kehidupan Nabi Muhammad saw.). Dengan landasan iman maka umat Islam meyakini bahwa syariat Islam adalah undangundang atau peraturan yang adil dan paling sempurna, sehingga umat Islam ikhlas menghormati, menerima, melaksanakan dan menaatinya. Keyakinan umat Islam bahwa Allah swt selalu dekat dan mengawasinya setiap saat serta meminta pertanggungjawaban pada hari kiamat atas perbuatannya selama di dunia ini. Dalam Al-Quran, Allah swt. Berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”.(az-Zalzalah: 7-8) Muhammad Syakir Sula menyebutkan bahwa kekhasan syariat Islam dibandingkan undang-undang lain adalah sifatnya yang teistis (Rabbaaniyyah) 13 atau relegius (diniah). “Dengan sifat teistis (Rabbaaniyyah) atau religius (diniah), syariat Islam memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan undang-undang lain dalam berbagai segi. Undang-undang manusia hanya mengatur urusan duniawi. Seluruh hukumnya terbatas pada persoalan-persoalan lahiriah. Penetapan hukum-hukumnya terbatas berdasarkan pada kebutuhan sementara. Sanksi-sanksi hukumnya pun terbatas pada aspek keduniaan. Tidak tersedia ruang untuk pemikiran haram dan halal, intuisi dan hati. Juga tidak ada ruang bagi keyakinan terhadap adanya perhitungan di hadapan Allah swt., surga dan neraka”. (2004, hlm.9). Dengan demikian maka setiap melakukan kegiatan usaha (muamalah) dengan sistim syariah adalah cara yang tepat, khususnya bagi umat Islam untuk mendapatkan ridho Allah swt. dalam mencari nafkah secara halal serta menghindarkan diri dari perbuatan yang haram, untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, sebagai pengharapan semua umat Islam, dan diucapkan sebagai doa pada setiap selesai melakukan sholat wajib lima waktu. Sesuai dengan firman Allah swt dalam Al-Quran: “Rabbana aatina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah wa qina ‘azaban naar” (Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebahagian di dunia dan kebahagiaan di akhirat, serta hindarkanlah kami dari ‘azab api neraka). a. Pengertian Asuransi Konvensional Mengutip uraian Muhammad Syakir Sula (2004, hlm.26) kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie, yang dalam hukum Belanda disebut verzekering yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde bagi tertanggung. 14 Secara baku, definisi asuransi di Indonesia telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992, tentang Usaha Perasuransian, “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikat diri kepada pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan. Atau tanggungjawab hokum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikansuatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan” (Bab I, psl.1). Sedangkan, bidang usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi, memberi perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang” (Bab II, psl.2). b. Pengertian Asuransi Syariah Muhaimin Iqbal menyebutkan bahwa asuransi syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan syariah, tolongmenolong secara mutual yang melibatkan peserta dan operator. Dalam pengelolaan dan penanggungan risiko, asuransi syariah tidak membolehkan adanya gharar (ketidakpastian atau spekulasi) dan maisir (perjudian). Dalam investasi atau manajemen dana tidak diperkenankan adanya riba (bunga). Ketiga larangan ini, gharar, maisir dan 15 riba adalah area yang harus dihindari dalam praktik asuransi syariah, dan yang menjadi pembeda utama dengan asuransi konvensional (2006, hlm.2). Sementara itu, Fatwa Dewan Syariah Nasional - MUI, menyatakan bahwa ”Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang membherikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah”. (No: 21/DSN-MUI/X/2001). Dalam bahasa Arab Asuransi disebut at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’ammanlahu atau musta’min (Ir. Muhammad Sakirsula, 2004). At-ta’min yang memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, sebagaimana firman Allah, “Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS: Quraisy : 4). Dari arti terakhir di atas, dianggap paling tepat untuk mendefinisikan istilah at-ta’min, yaitu, “Men-ta’min-kan sesuatu, artinya adalah seseorang membayar/menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan seseorang mempertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya. Ada tujuan dalam Islam yang menjadi kebutuhan mendasar, yaitu al’kifayah’kecukupan’ dan al-amnu’keamanan. Sebagaimana firman Allah swt, “Dialah yang mengamankan mereka dari ketakutan”, sehingga sebagian masyarakat menilai bahwa bebas dari lapar merupakan bentuk 16 keamanan. Mereka menyebutnya dengan al-amnu al qidza’i ‘aman konsumsi. Dari prinsip tersebut, Islam mengarahkan kepada umatnya untuk mencari rasa aman baik untuk dirinya sendiri di masa mendatang maupun untuk keluarganya. Sebagaimana nasihat Rasul kepada Sa’ad bin Abi Waqqash agar mensedekahkan sepertiga hartanya saja. Selebihnya ditinggalkan untuk keluarganya agar mereka tidak menjadi beban masyarakat. c. Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah Berbeda dengan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki prinsip yang lebih konprehensif yang meliputi prinsip-prinsip dasar dari asuransi (konvensional) ditambahkan dengan sejumlah prinsip-prinsip lainnya yang berazaskan Islam. Muhammad Syakir Sula (2004: hlmn 228) menguraikan prinsipprinsip asuransi (kerugian) syariah sebagai berikut : 1) Prinsip Berserah Diri dan Ikhtiar 2) Prinsip Tolong-Menolong (Ta’awun) 3) Prinsip Saling Bertanggung Jawab 4) Prinsip Saling Kerja Sama dan Bantu-Membantu 5) Prinsip Saling Melindungi dari Berbagi Kesusahan 6) Prinsip Kepentingan Terasuransikan (Insurable Interest) 7) Prinsip Itikad baik (Utmost Good Faith) 8) Prinsip Ganti rugi (Indemnity) 9) Prinsip Penyebab Dominan (Proximate Cause) 10) Prinsip Subrogasi (Subrogation) 11) Prinsip Kontribusi (Contribution /al-Musahamah) 17 d. Mekanisme Pengelolaan Dana 1) Sebagai Pemegang Amanah Kedudukan perusahaan asuransi syariah dalam transaksi asuransi kerugian adalah sebagai mudharib ‘pemegang amanah’. Asuransi syariah menginvestasikan dana tabbaru’ yang terkunpul dari kontribusi peserta, kepada instrument investasi yang dibenarkan oleh syara’. Mudharib berkewajiban untuk membayarkan klaim, apabila ada salah satu dari peserta mengalami musibah. Juga berkewajiban menjaga dan menjalankan amanah yang diembannya secara adil, transparan, ban professional. Dalam mengelola dana peserta yang terkumpul pada kumpulan dana tabbaru’, mudharib diawasi secara teknis dan operasional oleh komisaris, dan secara syar’i diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). 2) Mekanisme Pengelolaan Dana Dalam praktik di beberapa perusahaan asuransi kerugian (syariah) di Indonesia dan Malaysia misalnya Syarikat Takaful Malaysia, dan Asuransi Takaful Umum, Tripakarta cabang Syariah, Bringin Sejahtera cabang Syariah, Binagriah cabang Syariah, Jasindo cabang Syariah, mekanisme pengelolaan dana adalah sebagai berikut. Dana dibayarkan peserta,kemudian terjadi akad mudharabah (bagi hasil) antara mudharib (pengelola) dan shahibul mal (peserta). Kumpulan dana tersebut kemudian diinvestasikan secara syariah ke bank syariah maupun ke investasi syariah lainnya, lalu dikurangi biaya-biaya operasional (seperti klaim, reasuransi, komisi broker, dll). Selanjutnya surplus (profit) dilakukan bagi hasil antara mudharib 18 (pendelola) dan shahibul mal (peserta) sesuai dengan skim bagi hasil yang telah titentukan sebelumnya (misalnya 60:40) Bagian yang 60 persen untuk mudharib’ perusahaan’ tadi setelah dikurangi biaya administrasi dan management expenses, sisanya menjadi profit bagi shareholders. Sedangkan bagian yang lain, yaitu 40 persen menjadi share of surplus for participant’ surplus bagi hasil untuk partisipan’. Skema mekanisme pengelolaan dana ini dapat dilihat pada Gambar 1. Skema mekanisme pengelolaan dana Gambar 2.1 Sumber : Ir. Muhammad Sakir Sula, Asuransi Syariah (2004 :250) Sementara itu ada model lain yang dirumuskan oleh Dewan Pengawas Syariah MAA dan saat ini dipakai di asuransi MAA General Insurance cabang syariah. Yaitu, antara peserta satu sama lain terjadi akad ta’awun ’tolong-menolong’, yang dimanifestasikan dalam bentuk masing-masing mengeluarkan premi dalam bentuk tabarru’. Kemudian kumpulan dana tabarru’ tersebut diserahkan kepada MAA syariah dengan akad wakalah. Selanjutnya MAA syariah yang mendapat amanah sebagai wakil dari peserta melakukan bisnis dengan pihak lain 19 (seperti: Re Insurance, Co Insurance) melalui akad tabaduli. Surplus underwriting setelah dikurangi biaya reasuransi dan klaim, kemudian dibagi-hasilkan dengan peserta dengan akad mudharabah (misalnya dengan 70:30) Model ini dapat dilihat pada Gambar 2. Mekanisme Pengelolaan Dana General Insurance PESERTA PERUSAHAAN Gambar 2.2 Sumber: Ir. Muhammad Sakir Sula, Asuransi Syariah (2004 : 250), 20 Definisi Jasa: 1. Christopher Lovelock (2007:15) mengatakan bahwa: ”Service are economic activities offered by one party to another, most commonly employing time based performance to bring about desired results in recipients them selves or in objects or other assets for which purchasers have responsibility.” 2. Michael J Etzel (2004:300) mengatakan bahwa: ”An identifiable, intangible activity that is the main object of a transaction designed to provide want, satisfaction to costumer.” Semua definisi di atas menyatakan bahwa jasa pada dasarnya merupakan sesuatu yang tidak berwujud yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Dalam memproduksi suatu jasa dapat menggunakan bantuan suatu produksi fisik tetapi dapat juga tidak. Disamping itu juga jasa tidak mengakibatkan peralihan hak suatu barang secara fisik atau nyata, jadi jika seseorang pemberi jasa memberikan jasanya pada orang lain, maka tidak ada perpindahan hak milik secara fisik. 2. 1. 3 Karakteristik Jasa Jasa adalah sesuatu yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan terjadinya perpindahan kepemilikan (transfer of ownership). 21 Philip Kotler (2007:45) menyatakan bahwa ada empat karakteristik mencolok yang sangat mempengaruhi desain program pemasaran. Keempat karakteristik tersebut meliputi: 1. Intangibility (Tidak berwujud) Tidak seperti halnya produk fisik,jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum jasa itu dibeli. 2. Inseparability (Tidak Terpisahkan) Umumnya jasa dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan. Tidak seperti barang fisik yang diproduksi, disimpan dalam persediaan, didistribusikan melewati berbagai penjual dan kemudian baru dikonsumsi. 3. Variability (Bervariasi) Karena tergantung pada siapa yang menyediakan serta kapan dan dimana jasa itu diberikan, jasa sangat bervariasi. 4. Perishability (Mudah Lenyap) Jasa tidak bisa disimpan. Sifat jasa itu mudah lenyap, tidak menjadi masalah bila permintaan itu tetap. Jika permintaan berfluktuasi, perusahaan jasa menghadapi masalah yang rumit. Menurut Djaslim Saladin (2007:91) menggolongkan jasa sebagai berikut: 1. Jasa berpangkal pada manusia dan jasa berpangkal pada peralatan. Jenis jasa yang berpangkal pada manusia dapat dibedakan antara jasa yang melibatkan para profesional (misalnya jasa akuntansi publik konsultan manajemen), para tenaga terlatih (misalnya pekerjaan las, bengkel) dan tenaga tidak terlatih (misalnya pemeliharaan kebun). Jenis jasa yang berpangkal pada peralatan bisa dibedakan antara jasa yang melibatkan peralatan otomatis (misalnya mesin cuci otomatis), peralatan yang ditangani oleh tenaga terlatih (misalnya perusahaan penerbangan, dan telekomunikasi). 2. Perlu tidaknya kehadiran pelanggan dalam pelaksanaan jasa. 22 Dalam pemeriksaan kesehatan, pelanggan jelas hadir, namun dalam jasa perbaikan mobil pelanggan tidak harus hadir selama perbaikan. 3. Motivasi membeli Pada umumnya pemberi jasa mengembangkan program pemasaran jasa yang berlainan bagi pasar perorangan dengan pasar bisnis. 4. Dari segi motivasi pemberi jasa (laba dan non laba) serta bentuk pemberi jasa (swasta dan milik pemerintah). 2. 2 Konsep Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha mencapai keunggulan bersaing. Untuk mencapai kualitas pelayanan yang diinginkan perusahaan melakukan kebutuhan pelanggan. Berikut ini penulis akan menjelaskan pengertian dan hal-hal lainnya mengenai kualitas pelayanan. Menurut Lovelock (2007:420): ”Costumer long term, cognitive evaluation of a firm’s service delivery”. William J Stanton (2004:301): “Service quality is the degree to which an intangibility offering meets the expectations of the costumers” Dengan demikian, kualitas pelayanan yang diberikan perusahaan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan yang menggunakannya dan pemberian pelayanan dengan cara yang tepat. Menurut Gronroos (2001: 140) kualitas total suatu jasa atau pelayanan terdiri dari 2 dimensi utama, yaitu: 1. Technical Quality yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas output (keluaran) jasa yang diterima pelanggan.Technical quality dapat diperinci lagi menjadi: 23 a. Search Quality adalah kualitas yang dapat dievaluasi pelanggan sebelum membeli, misalnya: harga dan usia kendaraan bermotor lewat STNK dan BPKB. b. Experience Quality yaitu kualitas yang dapat dievaluasi pelanggan setelah membeli atau mengkonsumsi jasa,misalnya: ketepatan waktu, kecepatan pelayanan, dan kerapihan hasil. c. Credence Quality adalah kualitas yang sukar dievaluasi pelanggan meskipun telah mengkonsumsi suatu jasa, misalnya: kualitas operasi bedah syaraf 2. Functional Quality adalah komponen yang berkaitan dengan kualitas cara penyampaian suatu jasa. Berdasarkan komponen-komponen diatas, dapat diketahui bahwa output jasa dan cara penyampaiannya merupakan faktor-faktor yang dipergunakan dalam menilai kualitas pelayanan, maka seringkali penentuan kualitas pelayanan menjadi sangat kompleks.Berbagai komponen di atas merupakan penilaian pelanggan terhadap kualitas pelayanan terhadap kualitas yang terus berlangsung dan mulai sebelum pembelian sampai dengan hasil yang diperoleh dari produk atau jasa yang telah dikonsumsi pelanggan. 2.2.1. Unsur-unsur kualitas jasa Dalam menilai atau mengevaluasi kualitas jasa suatu perusahaan pelanggan umumnya menggunakan beberapa kriteria, yaitu unsur-unsur yang ada dalam kualitas jasa yang diberikan. Dimensi pokok yang terdapat dalam kualitas jasa menurut Parasuraman (2002: 182): 1. Tangibles (bukti langsung), yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan yang dapat diandalkan keadaan lingkungan 24 sekitarnya merupakan bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Hal ini meliputi fasilitas fisik contohnya: gedung, gudang, dan lain-lain), perlengkapan dan peralatan yang digunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya. 2. Reliability (keandalan) kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat,dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi. 3. Responsiveness (daya tanggap) yaitu suatu kebijakan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan. 4. Assurance (jaminan) yaitu pengetahuan, kemampuan, kesopanan yang dimiliki para staff untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Hal ini meliputi beberapa komponen antara lain komunikasi, kredibilitas, keamanan, kompetensi, dan sopan santun. 5. Emphaty (empati) yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. • Dimensi 1: Tangible penting sebagai ukuran pelayanan,karena pelayanan tidak bisa dilihat, tidak bisa dicium, dan tidak bisa diraba. Persepsi pelayanan dapat dipengaruhi oleh tangible yang baik, karena tangible merupakan bukti yang dapat 25 dilihat berupa fasilitas fisik, perlengkapan yang digunakan karyawan perusahaan dan sarana komunikasi yang ada. • Dimensi 2: Reliability mengukur keandalan perusahaan dalam memberikan pelayanan. Perusahaan banyak memberikan janji yang berlebihan namun pada keadaannya sulit untuk memenuhinya sehingga pelanggan merasa perusahaan tidak bias diandalkan. Untuk itu, perusahaan yang reliability harus bisa meminimalisasi kesalahan sehingga pelanggan merasa dipenuhi kebutuhannya. • Dimensi 3: Responsiveness dimensi kualitas pelayanan yang ketiga lebih mementingkan segi waktu dengan kemajuan teknologi yang ada, pelanggan menuntut pelayanan yang diberikan dengan lebih cepat sehingga waktu yang digunakan lebih cepat. • Dimensi 4: Berhubungan dengan kemampuan perusahaan dan perilaku karyawan dalam menanamkan rasa percaya dan keyakinan pada pelanggannya. • Dimensi 5: Berempati dalam pelayanan sangat memerlukan sentuhan pribadi dan akan sangat membantu jika perusahaan memiliki sistem database yang efektif. Pelayanan ini akan mudah diciptakan apabila karyawan mengerti kebutuhan spesifik pelanggannya dan selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. 2.2.2. Model Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan dapat dianalisis oleh berbagai model, tergantung pada tujuan analisi, jenis perusahaan dan situasi pasar. Adapun model kualitas pelayanan mengidentifikasi lima kesenjangan yang mengakibatkan ketidakberhasilan penyerahan jasa: Kelima Gap tersebut adalah: 1. GAP antara harapan pelanggan dan persepsi manajemen. Pada kenyataannya pihak manajemen suatu perusahaan tidak selalu dapat merasakan atau 26 memahami apa yang diinginkan para pelanggan secara tepat. Akibatnya manajemen tidak mengetahui bagaimana suatu pelayanan seharusnya didesain dan jasa-jasa pendukung atau sekunder apa saja yang diinginkan pelanggan. 2. GAP antara persepsi manajemen dan spesifikasi mutu jasa. Kadangkala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh pelanggan,tetapi mereka tidak menyusun suatu standar kinerja tertentu yang jelas. Hal ini bisa dikarenakan 3 faktor yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas pelayanan, kekurangan sumber daya,atau karena adanya kelebihan permintaan. 3. GAP antara spesifikasi pelayanan dan penyampaian pelayanan. Adanya beberapa penyebab terjadinya Gap ini, misalnya karyawa kurang terlatih, beban kerja melampaui batas, tidak dapat memenuhi standar kinerja atau bahkan tidak mau memenuhi standar kinerja yang ditetapkan. 4. GAP antara penyampaian pelayanan dan komunikasi eksternal Seringkali harapan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang dibuat oleh perusahaan.Resiko yang dihadapi perusahaan adalah apabila janji yang diberikan ternyata tidak dipenuhi. 5. GAP antara pelayanan yang dirasakan dan pelayanan yang diharapkan. Gap ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerka atau prestasi perusahaan dengan cara yang berlainan,atau bias juga keliru mempersepsikan kualitas pelayanan tersebut. 27 Berikut ini merupakan gambar model kualitas pelayanan: Pengalaman masa lalu Kebutuhan pribadi Jasa yang diharapkan GAP 5 Jasa yang dipersepsikan PEMASAR GAP 4 Penyampaian jasa Komunikasi eksternal kepada pelanggan GAP 3 GAP 1 Spesifikasi kualitas jasa GAP 2 Persepsi manajemen atas harapan pelanggan Gambar 2.3 Model kualitas pelayanan Karakteristik-karakteristik yang ada pada pelayanan masih menyulitkan para peneliti untuk menentukan hal-hal yang dapat dipakai menjadi determinan kualitas 28 pelayanan.Oleh karena itu,hingga kini pengukuran kualitas pelayanan belum sempurna dan masih dalam tahap pengembangan. Model yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan menurut Parasuraman,dkk: “Model untuk mengukur kualitas pelayanan dapat dilakukan dengan skala multi item yang diberi nama SERVQUAL untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan.Pengukuran dapat dilakukan dengan skala likert dimana responden tinggal memilih derajat kesetujuan dan ketidaksetujuan atas pernyataan mengenai penyampaian kualitas pelayanan” Dengan demikian mengukur kualitas pelayanan berarti mengevaluasi atau membandingkan kinerja suatu pelayanan dengan seperangkat standar yang telah ditetapkan telebih dahulu,yaitu berupa unsur-unsur yang terkandung dalam kualitas pelayanan,kemudian dilakukan pengajuan beberapa pilihan pernyataan yang sesuai dengan keadaan kualitas pelayanan yang dialami oleh pelanggan SERVQUAL merupakan alat untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan dan kesenjangan (Gap) yang ada dimodel 2. 3 Kepuasan Konsumen 2.3.1. Definisi kepuasan Konsumen Kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan seseorang sebagai hasil perbandingan antara kinerja produk yang ia rasakan dengan harapan-harapannya (Kotler 2000: 40). Sedangkan Soekrino (2000:12) mendefinisikan kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan yang dia rasakan (hasilnya) dengan harapannya. Dari definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pengertian kepuasan konsumen mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau 29 hasil yang dia rasakan. Terciptanya kepuasan konsumen dapat memberikan manfaat, diantaranya hubungan antara perusahaan dengan konsumennya menjadi harmonis, memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang dan terciptanya loyalitas konsumen, membentuk suatu rekomendasi, dari mulut ke mulut (Word of mouth) yang menguntungkan bagi perusahaan. 2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen Kepuasan konsumen ditentukan oleh presepsi konsumen atas performance produk atau jasa dalam memenuhi konsumen. Konsumen merasa puas apabila harapan konsumen terlampaui. Menurut Handi Irawan (2000:47) ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kepuasan konsumen: a. Kualitas Produk Konsumen akan merasa puas sebelum membeli dan memakai produk tersebut dan ternyata kualitasnya baik, kualitas produk ini dipengaruhi oleh lima dimensi, yaitu: performance, durability, feature, reability, consistensy. 1) Dimensi yang pertama adalah performance Ini adalah dimensi yang paling besar dan berhubungan dengan fungsi utama dari suatu produk. Konsumen akan sangat kecewa apabila harapan mereka terhadap dimensi ini tidak terpenuhi. 30 2) Dimensi kedua adalah durability Dimensi ini menunjukkan suatu pengukuran terhadap siklus produk, baiksecara teknis maupun waktu. Produk disebut awet kalau sudah banyak digunakan atau sudah lama sekali digunakan. Yang pertama adalah awet secara waktu. 3) Dimensi ketiga adalah feature Dimensi in dapat dikatakan sebagai dimensi sekunder. Perkembangan fitur ini hampir tidak ada batasnya sejalan dengan perkembangan teknologi, maka fitur ini menjadi target para producen untuk berinovasi dalam upaya memuaskan konsumen. 4) Dimensi keempat adalah reability Dimensi reabiity sepintas lebih menunjukan kemungkinan produk gagal dalam menjalankan fungsinya. 5) Dimensi kelima adalah consistency Dimensi ini menunjukan seberapa jauh produk dapat menyamai estándar dan spesifikasi tertentu. Produk yang mempunyai konsistensi tinggi, berarti produknya sesuai estándar yang telah ditentukan. b. Harga Untuk konsumen yang sensitif, biasanya harga murah adalah kepuasan yang penting karena akan mendapatkan value of money yang tinggi. Komponen harga ini relatif tidak penting bagi konsumen yang tidak sensitif terhadap harga. Kualitas produk dan harga seringkali tidak mampu menciptakan keunggulan bersaing dalam hal kepuasan konsumen. Kedua aspek ini relatif mudah ditiru dengan teknologi yang hampir 31 standar, setiap perusahaan biasanya mempunyai kemampuan untuk menciptakan kualitas produk yang hampir sama dan menawarkan harga setara dengan pesaing. c. Kualitas jasa Kualitas jasa sangat tergantung pada tiga hal, yaitu sistem teknologi dan manusia. Faktor manusia-nya ini memegang peranan yang sangat penting karena kepuasan terhadap kulaitas jasa pelayanan yg mudah diatur. 2.3.3. Pengukuran kepuasan konsumen Ada beberapa cara mengukur kepuasan konsumen menurut Kotler (2000: 38) yaitu: 1. Sistem keluhan dan saran (complain and suggestion system) Banyak perusahaan yang berhubungan denagn konsumen membuka kotak saran dan menerima keluhan-keluhan yang dialami oleh konsumen. Ada juga perusahaan yang menberi amplop yang telah ditulis alamat perusahaan untuk digunakan menyampaikan saran, keluhan serta kritik setelah mereka sampai ditempat tujuan. Informasi ini dapat memberikan ide-ide dan masukan kepada perusahaan. Hal ini memungkinkan perusahaan mengantisipasi dan cepat tanggap terhadap kriitik dan saran. 32 2. Survey kepada konsumen (custumer satisfaction survey) Tingkat keluhan yang disampaikan konsumen tidak bisa disimpulkan secara umum mengukur kepuasan konsumen pada umumnya. Penelitian mengenai konsumen dapat dilakukan melalui survey, pos, telepon, dan wawancara pribadi. 3. Pembeli bayangan Dalam hal ini perusahaan menyuruh orang-orang tertentu sebagai pembeli keperusahaan lain atau keperusahaan sendiri. Pembeli-pembeli misterius ini melaporkan keunggulan dan kelemahan pelayanan yang dialaminya. Juga melaporkan segala sesuatu yang bermanfaat sebagai bahan mengambil keputusan oleh manajemen. 4. Analisis konsumen Perusahaan-perusahaan yang kehilangan konsumen mencoba menghubungi konsumen tersebut. Mereka dibujuk untuk mengungkapkan mengapa mereka beralih. Dari kontak semacam ini akan diperoleh informasi dan akan memperbaiki kinerja perusahaan sendiri agar tidak ada konsumen yang lari dengan cara meningkatkan kepuasan mereka. Pengaruh kualitas pelayanan penyelesaian klaim terhadap kepuasan mitra usaha memiliki hubungan yang erat. Kualitas memberika suatu dorongan kepada mitra untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan perusahaan. Dalam jangka panjang ikatan seperti ini memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan mitra serta kebutuhan mereka. Degan demikian, perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan di mana perusahaan memaksimumkan pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan meminimumkan pengalaman mitra yang kurang menyenangkan (Tjiptono, 1996). 33 Kotler (2000:42) mengemukakan bahwa “kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya” Menurut Schnaars (dalam Tjiptono, 1996) tujuan suatu bisnis adalah untik menciptakan para pelanggan merasa puas. Kualitas jasa yang unggul dan konsisten dapat menumbuhkan kepuasan pelanggan dan akan memberikan berbagai manfaat (Tjiptono, 1996:78) seperti: 1. Hubungan dengan perusahaan dan para mitranya menjadi harmonis; 2. Memberikan dasar yang pada saat renewal atau perpanjang polis; 3. Dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan; 4. Membentuk rekomendas dari mulut ke mulut (word-of-mouth) yang menguntungkan bagi perusahaan; 5. Reputasi perusahaan menjadi baik dimata mitra; dan 6. Laba yang diperoleh dapat meningkat. Kepuasan mitra merupakan respons mitra terhadap ketidaksesuaian anatara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang diarasakannya setelah pemakaian (Rangkuti, 2002). Kepuasan mitra dipengaruhi oleh persepsi kualitas jasa, kualitas produk, harga dan faktor-aktor yang bersifat situasi sesaat. Salah satu faktor yang menentukan kepuasan mitra usaha adalah persepsi mitra usaha terhadap kualitas jasa yang berfokus pada lima dimensi kualitas jasa, yaitu: bukti fisik (tangibles), keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), empati (empathy). 34 Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis foaktor bukti fisik (tangibles), keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), Jaminan (assurance), dan empati (empathy) sejauh mana berpengaruh terhadap kepuasan mitra usaha PT. Reasuransi Nasional Indonesia dan untuk mengetahui faktor yang paling dominan yang berpengaruh terhadap kepuasan mitra usaha di PT. Reasuransi Nasional Indonesia. 2. 4 Kerangka Pemikiran Keberhasilan suatu perusahaan jasa dibentuk oleh banyak faktor-faktor diantaranya kualitas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan, untuk mencapai kualitas pelayanan yang diinginkan perusahaan harus mengetahui keinginan pelanggan. Pengertian kualitas pelayanan dapat diartikan sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan konsumen. Dengan kata lain apabila pelayanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dapat dipersepsikan baik dan memuaskan dan baik tidaknya kualitas pelayanan tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya. Mengelola kualitas pelayanan dengan memberikan yang terbaik dalam memenuhi harapan dan persepsi yang tinggi dimata pelanggan, juga merupakan suatu tugas yang tidak mudah, yang harus dilakukan oleh pihak manajemen. Harapan-harapan itu dibentuk oleh pengalaman masa lalu, pembicaraan dari mulut ke mulut. Setelah menerima jasa itu pelanggan membandingkan jasa yang dialami dengan jasa yang diharapkan. Pelanggan tidak berminat lagi terhadap penyedia jasa itu jika jasa yang dialami memenuhi atau melebihi harapan, mereka akan menggunakan penyedia jasa itu lagi. Ukuran dari suatu pelayanan jasa menunjukan suatu standar pelayanan yang harus terdapat dalam setiap pelayanan yang akan diberikan, dimana dalam memberikan 35 pelayanan kepada konsumen, pelayanan klaim yang diberikan PT Reasuransi Nasional Indonesia diterapkan dalam dimensi reliability, responsiveness, emphaty, dan assurance. Yang dikaitkan dengan pencapaian suatu penanganan klaim, yang baik akan memunculkan suatu persepsi yang positif yang diharapkan berdampak pada kepuasan pelanggan. Salah satu konsekuensi suatu perusahaan jasa seperti PT Reasuransi Nasional Indonesia sebagai penyedia jasa asuransi di indonesia adalah bukan hanya menciptakan jasa yang baik tetapi juga bentuk pelayanan yang harus memberi kepuasan kepada pelanggan atas service yang diberikannya serta mengembangkan pola hubungan yang efektif agar hubungan antara perusahaan dengan konsumen bisnisnya terjaga dengan baik. Pelayanan klaim yang diberikan akan terlihat dan dirasakan oleh konsumen meresap menjadi suatu persepsi yang nantinya akan menjadi sebuah penilaian pada apa yang dilihat dan dirasakannya dari pelayanan klaim yang didapat sehingga akan membentuk suatu kepuasan pada pelangan atau konsumen tentang kinerja dari pelayanan yang diberikan tersebut. Menurut Reasuransi Nasional (2007: 3): ”Penyelesaian klaim merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam perasuransian, kepuasan klien dengan sendirinya akan muncul dengan baik dari pelayanan yang cepat dan memuaskan kepada nasabah”. Di waktu mendatang perusahaan ceding akan berminat melakukan transaksi ulang, jika membutuhkan jasa reasuransi bagi perusahaan asuransi-asuransinya . 36 Kerangka pemikiran Yang Menunjukan Pengaruh Kualitas Pelayanan Klaim Terhadap Kepuasan Konsumen PT. Reasuransi Nasional Indonesia Kualitas Pelayanan (X) Keandalan/ Reability (X1) Daya Tanggap Responsiveness (X2) Jaminan/ Assurance (X3) Kepuasan Mitra Bisnis (Y) 37 Kepedulian/ Empathy (X4)