Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae

advertisement
PEMBAHASAN
Siklus Hidup C. trifenestrata
Tahapan hidup C. trifenestrata terdiri dari telur, larva, pupa, dan imago. Telur
yang fertil akan menetas setelah hari kedelapan, sedang larva terdiri dari lima instar
dengan lama masing – masing instar berlangsung selama kurang lebih lima hari.
Masa pupa berlangsung sekitar 14 – 16 hari. Imago C. trifenestrata mengalami
rudimenter pada alat pencernaannya. Oleh karena itu imagonya hanya bertahan
kurang lebih lima hari.
Keberadaan C. trifenestrata di alam dibatasi oleh predator dan parasitoid.
Pemeliharaan di dalam ruangan akan mengurangi resiko serangan predator atau
parasitoid. Keberhasilan pemeliharaan dalam ruangan ditentukan oleh ketepatan
kondisi pemeliharaan meliputi suhu dan kelembaban ruangan. Suhu dan kelembaban
ruang pemeliharaan adalah 28 - 29 0C dan 80 %.
Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata
Perkembangan embrio diawali setelah terjadi proses fertilisasi yaitu peleburan
antara sperma dan ovum yang menghasilkan zigot. Menurut Muller (1997) & Gilbert
(1985) tahapan yang terjadi setelah terbentuk nukleus zigot adalah ‘cleavage’ atau
pembelahan yang menghasilkan ‘energid’. Telur serangga termasuk telur sentrolesital
yaitu sel telur dimana yolknya terkumpul di bagian tengah dari sel telur dengan
sitopasma sebelah luar. Jumlah dan cara tersebarnya kuning telur (‘egg yolk’) dalam
sel telur akan mempengaruhi jalannya pembelahan sel. Tipe pembelahan serangga
termasuk tipe pembelahan superfisial yaitu pembelahan yang terjadi pada sitoplasma
yang mengelilingi kuning telur (Gilbert 1985; Triplehorn & Johnson 2005). ‘Energid’
hasil pembelahan akan bergerak (migrasi) ke bagian perifer telur, selanjutnya akan
berpisah diikuti sitokinesis, dan masing-masing akan dibungkus oleh membran sel.
Lapisan sel ini disebut lapisan blastoderm. Sebagian sel-sel ini akan membesar dan
menebal membentuk ‘germ cell’ atau ‘germ band’ (‘ventral plate’), sedang pada sisi
yang lain akan membentuk serosa yang selanjutnya akan menjadi bagian dari ‘yolk
sac’. Sel-sel serosa akan mengelilingi ‘germ band’ dan membungkus embrio
membentuk membran amnion.
Tahapan berikut yang terjadi adalah tahap diferensiasi yaitu meliputi bentuk
awal tubuh, penentuan anterior posterior, pembentukan segmen tubuh hingga
spesialisasi struktur dan ‘appendages’. Studi mengenai penentuan longitudinal axis
yang dilakukan pada Drosophila (Drosophilidae) menyatakan bahwa penentuan ini
terkait dengan maternal (Chapman 1998). Saat oocyte masih berada di dalam
ovarium, troposit memproduksi spesifik mRNA yang ditransfer ke oocyte dan
terakumulasi pada anterior end. Segera setelah telur diletakkan, terjadi translasi
mRNA yang menghasilkan protein yang dikenal sebagai protein ‘bicoid’. Perbedaan
konsentrasi protein akan menyebabkan ekspresi gen yang berbeda pada zigot nukleus.
Pada ‘posterior end’ telur, aktivitas RNA ini ditiadakan oleh gen lain yang disebut
‘nano’, yang juga diproduksi dalam troposit. Segmentasi dihasilkan dari diferensial
efek konsentrasi protein pada serangkaian gen. Penentuan dorso-ventral axis pada
embrio juga hampir sama seperti pada longitudinal axis, hanya saja pada penentuan
dorso-ventral axis, signal inisiasi diproduksi oleh oosit saat masih berada dalam
ovarium. Signal ini menyebabkan sel folikel memproduksi ligand, yang
menghasilkan protein yang disebut dorsal pada telur. Protein ini lebih aktif diambil
oleh nukleus pada sisi lain pada blastoderm yang akan menjadi sisi ventral (Chapman
1998).
Gastrulasi merupakan proses dimana mesoderm dan endoderm terinvaginasi
dalam ektoderm. Gastrulasi akan menghasilkan terbentuknya tiga lapisan yaitu
ektoderm,
mesoderm,
dan
endoderm.
Sel-sel
ektoderm
selanjutnya
akan
berdiferensiasi membentuk epidermis, otak, sistem saraf dan sistem trakea. Sel-sel
mesoderm akan berdiferensiasi membentuk organ dalam seperti otot, kelenjar,
jantung, darah dan lemak tubuh serta organ reproduksi. Sedangkan endoderm akan
menghasilkan midgut.
Pada C. trifenestrata, fertilisasi terjadi saat telur masih berada dalam tubuh
betina. Selanjutnya telur akan diletakkan oleh induknya. Beberapa proses yang terjadi
kurang dari 24 jam setelah oviposisi adalah ‘cleavage’ dan pembentukan blastoderm.
Hal yang sama terjadi pada Bombyx mori, ‘cleavage’ dan pembentukan blastoderm
terjadi pada 3 – 4 jam dan 10 – 12 jam setelah oviposisi. Pada pengamatan embrio
hari pertama telah terjadi proses pembelahan diikut dengan terbentuknya lapisan
blastoderm (blastula). Gastrulasi sebagai bagian dari diferensiasi berlangsung pada
hari kedua. Pada embrio hari ketiga hingga kelima terjadi perkembangan diferensiasi
dan organogenesis. Embrio secara sempurna terbentuk lengkap pada hari keenam.
Pada stadia ini peruasan menghasilkan kepala, thoraks dan abdomen. Struktur
‘appendages’ seperti alat mulut dan tungkai telah terbentuk. Hal yang sama terjadi
dengan Bombyx mori (Bombycidae), stadia telurnya 9 – 10 hari, embrionya telah
lengkap terbentuk pada hari keenam (Tazima 1978). Stadia hari berikutnya
merupakan pematangan embrio hingga saat penetasan telur terjadi.
Penundaan Penetasan Telur C. trifenestrata dengan Penyimpanan
dalam Suhu 8 0C
Berdasarkan
hasil
percobaan,
telur
C.
trifenestrata
dapat
ditunda
penetasannya pada suhu 8 0C selama tiga dan tujuh hari, sedangkan pada lama
penyimpanan 14, 21 dan 28 hari, telur tidak dapat menetas. Penundaan penetasan
telur C. trifenestrata pada suhu 8 0C dapat dilakukan selama tiga hari untuk stadia
umur telur lima, enam, dan tujuh hari. Penundaan ini dapat ditingkatkan hingga tujuh
hari, namun hanya untuk stadia umur lima dan enam hari saja. Pada stadia umur telur
1- 4 hari, telur tidak dapat menetas setelah disimpan pada suhu 8 0C. Hal ini diduga
karena suhu tersebut adalah suhu yang mematikan untuk perkembangan embrio
muda. Pada perkembangan embrio dibutuhkan suhu yang optimum, sehingga suhu
yang tidak sesuai akan mengganggu proses perkembangan embrio. Hal yang sama
terjadi pada telur Cactoblastis cactorum (Pyralidae) yang berumur satu hari, ketika
disimpan pada suhu 0 0C dan 5 0C, tidak dapat berkembang (McLean 2006). Pada
stadia umur telur 8 hari juga tidak dapat menetas setelah disimpan pada suhu 8 0C.
Hal ini diduga karena persediaan kuning telur sebagai zat saat penyimpanan dingin
telah menipis sehingga kerusakan yang terjadi pada embrio tersebut lebih parah dari
pada embrio umur tujuh hari dan enam hari (Phillips & Lardy 1940, Hammadeh
et al. 2001).
Prosentase penetasan telur yang tinggi didapatkan pada stadia umur telur
enam hari. Hal ini diduga karena telur pada stadia ini telah memiliki embrio dengan
struktur yang lengkap. Pada lama penyimpanan tujuh hari, stadia telur umur tujuh
hari tidak menetas. Diduga hal yang sama terjadi pada kematian embrio hari ke 8
pada penyimpanan tiga hari. Kerusakan embrio karena makin menipisnya cadangan
makanan dari kuning telur.
Pemecahan Dormansi Pupa C. trifenestrata
Berdasarkan hasil analisis statistik, intensitas cahaya tidak memberikan
respon yang nyata terhadap pemecahan dormansi pupa C. trifenestrata. Namun
demikian terlihat bahwa ada kecenderungan pemberian intensitas yang berbeda akan
memberikan waktu keluarnya
imago (masa ‘emerge’) yang berbeda. Intensitas
cahaya yang memberikan respon tercepat terhadap keluarnya imago adalah 240 lux
(lampu 18 watt). Kokon atau pupa yang mendapatkan perlakuan penyinaran dengan
lampu ini cenderung lebih cepat keluar menjadi imago dibanding dengan penyinaran
lampu yang lain (8 dan 23 watt).
Pemecahan dormansi pupa juga dipengaruhi oleh kondisi pupa. Kondisi pupa
yang tidak terbungkus kokon memberikan respon positif untuk pemecahan dormansi
pupa. Pupa yang tidak terbungkus kokon lebih cepat keluar menjadi imago dibanding
yang terbungkus kokon. Diduga pupa yang tidak terbungkus kokon lebih kuat
menerima rangsangan dari lingkungan berupa cahaya dibanding yang pupa yang
terbungkus kokon. Salah satu rangsangan untuk memecahkan dormansi pada pupa
adalah cahaya (William et al. 1964). Cahaya akan diteruskan ke otak melalui kutikula
pada pupa. Pada pupa yang terbungkus kokon, sebelum menuju kutikula pupa
sebelumnya harus melewati kokon sebagi barier. Selanjutnya proses endokrin yang
terjadi adalah proses pengaktifan hormone ekdison yang akan menyebabkan
terjadinya pergantian kulit atau ‘molting’ dari pupa menjadi imago. Hormon ekdison
adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar prothoraks setelah mendapatkan
prothoraksikotropik (PTTH). Hormon PTTH sendiri dihasilkan oleh ‘corpora
cardiaca’. Proses berubahnya pupa menjadi imago selain karena hormon ekdison
juga disebabkan karena kandungan hormone juvenile yang mendekati nol.
Kendala yang dihadapi dalam percobaan ini adalah adanya pupa yang rentan
mengalami kekeringan (untuk pupa yang tidak terbungkus kokon) dan adanya parasit.
Baik pupa yang mengalami kekeringan ataupun yang terkena parasit akan mati
sehingga tidak dapat keluar menjadi imago. Pada perhitungan efektivitas perlakuan,
terlihat perlakuan dengan 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon
menunjukkan efektivitas perlakuan tertinggi (65%). Namun beberapa kokon/pupa
ditemukan mati dan tidak menjadi imago karena parasitoid dan kering. Hal yang sulit
untuk membedakan pupa yang telah terkena parasitoid dan yang tidak apalagi dalam
kondisi terbungkus kokon. Bila pupa yang mati karena parasitoid tidak dimasukkan
dalam perhitungan maka efektivitas perlakuan tertinggi adalah pada perlakuan lampu
8 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon (100%). Namun bila dilihat jumlah
ulangannya, maka perlakuan lampu 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon
lebih banyak dari perlakuan 8 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon. Sehingga
berdasarkan hal itu maka perlakuan yang paling efektif adalah perlakuan lampu 23
watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon. Alasan mengapa pupa yang mati karena
parasitoid tidak dimasukkan dalam perhitungan adalah pupa tersebut mati bukan
pengaruh perlakuan tapi mungkin karena parasitoid telah terbawa masuk ke dalam
tubuh pupa sejak larva atau sejak awal pupa. Parasitoid yang ditemukan menyerang
pupa C. trifenestrata adalah dari famili Ichneumonidae dan Sarchopagidae, sehingga
pada penelitian berikutnya perlu dipastikan bahwa kokon atau pupa yang menjadi
sampel benar - benar bebas dari parasitoid.
Pada percobaan ini juga telah dilakukan pengukuran intensitas cahaya dimana
intensitas cahaya tertinggi adalah 350 lux (23 watt) dan terendah 151 lux (8 watt).
Suhu kotak inkubasi berkisar antara 29 – 30 0C (saat lampu menyala) dan 27 0C (saat
lampu mati). Peningkatan suhu terjadi seiring dengan peningkatan ukuran watt
lampu.
Download