BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia merupakan nafas penting bagi organisasi. Organisasi akan dapat meraih tujuan dan kompetensi yang diharapkan dari kemampuan dan keterampilan para pekerja. Apalagi dengan mengamati geliat perkembangan industri dan organisasi pada beberapa dekade terakhir. Perkembangan organisasi baik dari segi desain, kompetensi, dan teknologi yang pesat menuntut organisasi untuk senantiasa progresif dan inovatif. Globalisasi sebagai faktor pemicu perkembangan organisasi memberikan pengaruh yang tidak dapat dihindari. Perubahan lingkungan sebagai efek globalisasi menjadikan organisasi harus sesegera mungkin merencanakan dan menentukan strategi dalam menyikapi perubahan zaman. Lingkungan organisasi itu sendiri adalah seperangkat penggerak yang mempengaruhi jalannya operasional dan akses sumber daya. Lingkungan organisasi secara umum meliputi kekuatan makro ekonomi, politik, demografi, sosial, budaya, dan teknologi (Jones,2004). Komponen-komponen tersebut dapat dikendalikan dan dikontrol oleh sumber daya manusia. Misalnya saja penerapan mesin berteknologi canggih dalam sebuah perusahaan. Apabila terdapat gangguan dalam sistem teknologi, maka perbaikan gangguan tersebut dapat dikelola oleh pakar atau ahli yang bersangkutan. Ahli atau pakar teknologi dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dengan perhitungan matematis yang akurat dan dapat diukur secara fisik. Namun, pengelolaan sumber daya manusia sebagai komponen organisasi memerlukan strategi tertentu dibandingkan dengan teknologi yang bersifat rigid. Hal ini disebabkan oleh dinamika kehidupan manusia yang bersifat fluktuatif. Tujuan organisasi tidak akan tercapai secara maksimal apabila kecanggihan teknologi dan infrastruktur fisik tidak diiringi dengan sumber daya manusia yang berkualitas. 1 2 Globalisasi sebagai salah satu tren industri dan organisasi mempengaruhi pembentukan pengelolaan sumber daya manusia yang ada. Dewasa ini organisasi memiliki banyak tantangan antara lain tuntutan inovasi, tidak stabilnya pertumbuhan ekonomi, kompetisi antar perusahaan yang semakin ketat, meningkatnya kebutuhan pekerja dengan kapasitas unggul, dan meningkatnya kebutuhan kerja dalam bidang pelayanan. Tantangantantangan tersebut mendorong perusahaan untuk lebih kompetitif, efektif, berorientasi pada sumber daya manusia yang berfungsi sebagai modal, memperhatikan pemberdayaan sumber daya manusia, dan lebih rasional dalam pengambilan keputusan. Sebagai upaya untuk mengimbangi tantangan tersebut, pekerja harus lebih fokus dalam mengamati dan menyelesaikan isu-isu untuk membantu perusahaan dalam meraih tujuannya. Selain itu, pekerja harus memiliki performansi yang maksimal dalam bekerja, bersemangat dalam menghadapi tantangan, dan peka terhadap isu-isu budaya yang berkembang (Dessler, 2011). Jones (2004) berpendapat bahwa kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh sumber daya manusia memberikan keuntungan yang kompetitif sehingga organisasi harus memonitor, memelihara, dan menjaga sumber daya manusia yang ada. Aspek- aspek yang perlu diperhatikan dalam menentukan dan mendapatkan pekerja yang berkualitas antara lain pengetahuan, kemampuan, dan sikap. Pengetahuan mengarah pada kemampuan pekerja untuk menyelesaikan permasalahan dan adaptasi dalam lingkungan pekerjaan. Kemampuan merepresentasikan performansi karyawan dalam melakukan pekerjaan. Selain aspek kognitif, dibutuhkan keterampilan sosial yang menuntut karyawan untuk dapat bekerja dalam tim dan bertanggung jawab dengan yang lain. Sementara itu, sikap yang dimiliki oleh seorang karyawan tercermin dalam kepribadiannya. Kepribadian merupakan petunjuk dari ketidaksadaran individu dan prediksi dari sikap yang diharapkan (Hodson, 2001).Beberapa usaha untuk menjaga dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia berdasarkan aspekaspek di atas adalah menginvestasikan kemampuan karyawan dengan pelatihan dan 3 pengembangan ; mensosialisasikan budaya organisasi; memonitor norma organisasi; sistem promosi dan kompensasi; serta meningkatkan organizational learning (Jones,2004). Setiap organisasi atau perusahaan pada umumnya memiliki persebaran dan keanekaragaman demografi sumber daya manusia yang unik. Tingkat pendidikan, jenis kelamin, usia, masa kerja, dan kemampuan spesifik yang dimiliki merupakan bagian-bagian dari sumber daya manusia yang heterogen. Berdasarkan demografi yang mencerminkan kondisi sumber daya manusia yang ada, organisasi dapat menentukan strategi berupa desain organisasi dan desain jabatan. Desain organisasi mengidentifikasi aktivitas-aktivitas yang diperlukan, mengelompokkan aktivitas tersebut secara bersama, dan mengkondisikan untuk terciptanya komunikasi yang efektif antar karyawan. Desain jabatan mengidentifikasi kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan karyawan berdasarkan tugas, jabatan, dan tanggung jawab yang sesuai dengan spesifikasi masing-masing (Amstrong,2003) Permasalahan sumber daya manusia tidak serta merta mengenai penurunan motivasi intrinsik dan ekstrinsik, kepemimpinan, sistem kompensasi, dan pola komunikasi dari atasan ke bawahan. Permasalahan organisasi juga tidak serta merta mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan seperti absentism, perilaku mencuri dalam organisasi, dan kekerasan seksual. Salah satu hal yang jarang diperhatikan oleh organisasi adalah hubungan ketenagakerjaan. Hubungan ketenagakerjaan dapat memperbaiki kualitas hubungan antar pekerja dengan pengembangan konstruk psikologi yang positif (Amstrong,2003). Salah satu perilaku yang dapat meningkatkan hubungan ketenagakerjaan adalah organizational citizenship behaviour. Karyawan-karyawan dalam sebuah organisasi atau perusahaan pada umumnya dikelompokkan ke dalam divisi-divisi tertentu sesuai dengan kemampuan dan tanggung jawab yang dimiliki. Hal ini menjadikan setiap divisi memiliki beban kerja tersendiri. Proses pengerjaan tugas antara satu divisi dengan divisi lain membutuhkan jangka waktu yang 4 berbeda-beda. Begitu pula dengan perbedaan pertanggungjawaban yang dimiliki oleh masing-masing divisi. Demi mewujudkan visi dan misi organisasi, masing-masing divisi harus saling bekerja sama dan memiliki pola komunikasi yang baik. Tidak dibenarkan bahwa masingmasing divisi boleh mendominasi kepentingannya sendiri. Karyawan yang kooperatif dapat dengan mudah ditemukan pada beberapa perusahaan. Mereka memberikan usaha yang lebih daripada apa yang diharapkan dari perusahaan dengan membantu rekan kerja yang lain. Karyawan – karyawan tersebut tidak hanya kooperatif secara umum, akan tetapi memberikan kontribusi lebih bagi perusahaan. Organ (dalam Dipboye, Smith, & Howell, 1994) berpendapat bahwa perilaku yang demikian dapat disebut dengan organizational citizenship. Organizational Citizenship Behaviour (OCB) adalah perilaku individu yang bebas untuk memilih dalam memberikan bantuan yang tidak diakui dengan imbalan secara formal dan berguna untuk mempromosikan keefisienan dan keefektifitasan fungsi dari sebuah organisasi (Organ, Podsakoff,& MacKenzie,2006). Jahangir, Akbar, & Haq (2004) juga berpendapat bahwa OCB merupakan seperangkat perilaku yang diinginkan untuk memberikan kontribusi kepada organisasi supaya berjalan dengan efektif. Greenbarg dan Barrow (dalam Mathumbu & Dodd, 2013) mendefinisikan OCB sebagai perilaku informal karyawan yang dilandasi keinginan untuk memberikan sesuatu yang lebih dari yang diharapkan demi terwujudnya kesejahteraan organisasi. Organisasi yang sukses adalah organisasi dengan karyawannya yang memiliki tanggung jawab yang lebih dan secara sukarela memberikan waktu dan energi untuk menyukseskan sebuah pekerjaan bersama-sama. Organisasi tidak dapat bertahan apabila para pekerja dalam organisasi tersebut tidak memiliki aspek keperilakuan yang positif. Oleh karena itu, OCB hadir sebagai konsep multidimensional meliputi keseluruhan perilaku positif dalam organisasi dari para pekerja organisasi tersebut. Perilaku positif yang 5 dimaksudmeliputi traditional in role behaviour, politic behaviour, dan extra role behaviour yang terdiri atas partisipasi aktif dan tanggung jawab pekerja (Jahangir, Akbar, & Haq,2004). Karyawan harus memiliki pencapaian dan motivasi individu yang tinggi dalam bekerja. Pencapaian dan motivasi karyawan akan berdampak pada produktivitas dalam organisasi. Akan tetapi, apabila karyawan hanya mementingkan pencapaian pribadinya saja, maka tujuan bersama organisasi akan sulit untuk diraih. Sedangkan, dalam kehidupan organisasi diperlukan kerja sama antar karyawan untuk mewujudkan kinerja tim yang efektif. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menginternalisasikan OCB pada diri individu. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Miao & Kim (2009) yang menunjukkan bahwa OCB dapat mempengaruhi efektivitasan tim. Brief, Motowildo, George, Organ, & Ryan (dalam Miao & Kim, 2009)mengungkapkan bahwa organisasi akan lebih mengandalkan individu yang lebih berkontribusi untuk melakukan pekerjaan melebihi pekerjaan pokok yang ditugaskan. Secara teoritis, OCB merupakan hal yang penting karena kontribusinya dalam meningkatkan keefektifitasan tim. Perilaku ini penting dalam sebuah organisasi untuk memperluas pencapaian dengan hasil diperolehnya komunikasi efektif yang diikuti dengan praktik kerja yang baik. Sehingga, pelaksanaan kerja menjadi lebih terkoordinasi. Podsakoff, Ahearne & MacKenzie (1997) berpendapat bahwa kehadiran OCB didalam organisasi dapat meningkatkan keefektifitasan kerja melalui mekanisme seperti meningkatnya hubungan kerja manager dengan pekerjanya, meningkatnya fleksibilitas organisasi, dan penggunaan sumber daya manusia yang efektif. Perilaku tersebut penting dalam sebuah organisasi untuk memperluas pencapaian dengan hasil diperolehnya komunikasi efektif yang diikuti dengan praktik kerja yang baik. Sehingga, pelaksanaan kerja menjadi lebih terkoordinasi. Misalnya seperti meningkatnya hubungan kerja manajer dengan karyawannya, meningkatnya 6 fleksibilitas organisasi, dan penggunaan sumber daya manusia yang efektif (Podsakoff, Ahearne &MacKenzie, 1997). Secara empiris, OCB memiliki kepentingan yang vital karena berdampak pada kuantitas dan kualitas performansi kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Podsakoff, Ahearne, & MacKenzie (1997) mengemukakan bahwa OCB memiliki dampak pada kuantitas dan kualitas performansi kerja secara kelompok pada karyawan pabrik penggilingan kertas. Aspek sportmanship memiliki dampak terhadap kuantitas performansi kerja sementara perilaku menolong berdampak pada kualitas performansi kerja. PT. Perkebunan Nusantara IX Pabrik Gula Mojo Sragen merupakan salah satu BUMN yang melakukan pengelolaan hasil bumi khususnya gula. PT. Perkebunan IX PG Mojo Sragen dalam menjalankan fungsi organisasinya terbagi menjadi banyak divisi. Divisi-divisi tersebut antara lain administrasi dan keuangan, tanaman, masinis kepala, dan chemiker. PT. Perkebunan Nusantara PG Mojo Sragen memiliki 288 karyawan tetap dan karyawan tidak tetap termasuk tenaga musiman dan tenaga angkut sebanyak 49.337 orang. Sebagai gambaran umum tentang extra role behaviour karyawan PT.Perkebunan Nusantara IX Pabrik Gula Mojo Sragen sebagian besar karyawan kurang memperlihatkan perilaku organizational citizenship seperti 1) tidak menaati prosedur yang ada dalam perusahaan terutama yang berkaitan dengan jam kerja, 2) membicarakan hal-hal yang belum dapat dipastikan kebenarannya terhadap rekan kerja lain, 3) kurang berpartisipasi secara aktif dalam perusahaan, 4) kurangnya keinginan dan rasa sukarela untuk membantu pekerjaan rekan kerja yang bukan merupakan bagian dari tugas. Hal ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara secara acak yang dilakukan kepada beberapa karyawan. OCB memiliki peranan vital dalam meningkatkan kinerja individu pada sektor publik. Podsakoff (dalam Darto,2014) menyatakan bahwa pengaruh OCB terhadap kinerja dapat dilihat dari manfaat-manfaat OCB yaitu meningkatkan produktivitas rekan kerja, 7 meningkatkan produktivitas pimpinan, menghemat sumber daya yang dimiliki organisasi, memelihara fungsi kelompok, sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja, dan lain-lain. Berdasarkan uraian diatas, OCB penting dimiliki oleh setiap karyawan dalam sebuah organisasi. Mathumbu dan Dodd (2013) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya OCB yaitu work engagement dan perceived organizational support. Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya OCB tidak hanya work engagement dan perceived organizational support saja. Prediktor lain yang turut memberikan sumbangan terhadap OCB adalah komitmen kerja, kepemimpinan, kepribadian, dan terutama kepuasan kerja (Organ, Podsakoff, &MacKenzie,2006). Kepuasan kerja merupakan salah satu prediktor yang patut diperhitungkan selain work engagement. Selain itu, kepuasan kerja ternyata menjadi salah satu prediktor dari OCB dan memiliki kaitan yang signifikan dengan work engagement (Ahmed, Rasheed, & Jehanzeb,2012). Dalam kaitannya dengan work engagement, banyak aspek dari kepuasan kerja yang digunakan dalam variasi konteks yang berbeda. Locke (dalam Ahmed, Rasheed, & Jehanzeb,2012) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai tingkatan emosi positif dan perasaan menyenangkan yang berasal dari pengalaman kerja karyawan. Tingginya level kepuasan kerja merupakan hal yang sangat penting bagi pemimpin dengan asumsi bahwa sebuah organisasi memiliki tanggung jawab untuk memberikan pekerjaan yang menantang bagi karyawan dan memberikan penghargaan secara intrinsik. Kepuasan kerja sebagai seperangkat sikap dalam bekerja memiliki faktor potensial dalam mempengaruhi OCB dibandingkan dengan produktivitas dan performansi kerja. Hal ini dikarenakan kepuasan kerja dapat menemukan ekspresi dalam perilaku yang tidak dibatasi oleh kemampuan dan dorongan dari luar. Secara teoritis, kepuasan kerja sebagai prediktor OCB dapat dijelaskan menurut sudut pandang teori pertukaran sosial. Blau (dalam Organ, 8 Podsakoff, &MacKenzie, 2006) menjabarkan pertukaran sosial sebagai perilaku sukarela individu yang dimotivasi oleh persepsi timbal balik, ekspresi memberi, dan menerima. Secara empiris, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saepung, Sukirno, & Siengthai (2011), kepuasan kerja memberikan sumbangsih terhadap munculnya OCB. Penelitian ini menggunakan partisipan sebanyak 275 karyawan yang bekerja pada perusahaan retail di Yogyakarta, Indonesia. Hasil analisis secara keseluruhan berdasarkan tingkat kepuasan kerja dan variasi demografi menggambarkan bahwa level OCB pekerja sebesar 43,2%. Hal ini menunjukkan bahwa level OCB yang ada pada pekerja harus ditingkatkan. Work engagement menjadi variabel utama pendorong munculnya OCB karena fokus work engagement yaitu keterlibatan dan komitmen karyawan merupakan parameter banyak organisasi (Ahmed, Rasheed, & Jehanzeb,2012). Dicke (dalam Ahmed, Rasheed, & Jehanzeb,2012) menemukan bahwa hubungan yang kuat antara OCB dan work engagement dapat dilihat pada sikap individu yang inisiatif yaitu sikap kerja yang lebih ekstra.Work engagement juga dijadikan sebagai pendekatan strategi untuk pergerakan perubahan organisasi dan peningkatan kualitas organisasi (Prabhakar,2011). Work engagement memiliki kontribusi yang besar dalam munculnya OCB. Kahn (dalam Olivier & Rothman, 2007)mendefinisikan work engagement sebagai upaya pemanfaatan pekerja dalam organisasi untuk menunjukkan peran karyawan dalam bekerja dan mengekspresikan performansi mereka secara fisik, kognitif, dan emosi (dalam Olivier & Rothman,2007). Oleh karena itu, karyawan yang memiliki engagement akan melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik dalam pekerjaannya. Keuntungan penggunaanwork engagement dibandingkan dengan variabel lain terletak pada orientasi dan potensi yang ada pada pekerja. Performansi kerja karyawan akan mencapai level maksimal apabila karyawan dengan orientasi yang positif juga memiliki engagement yang tinggi (Alessandri,Borgogni,Schaufeli,Caprara,& Consiglio,2014). Karyawan dengan engagement 9 yang tinggi akan berpotensi untuk meraih sukses dalam pekerjaannya. Fokus diri pada orientasi dan pengalaman positif akan memberikan keuntungan bagi pekerja yaitu penggunaan strategi koping. Secara tidak langsung penggunaan strategi koping berguna untuk diterapkan saat mengalami kegagalan kerja. Selain dipengaruhi oleh orientasi positif pekerja, work engagement t juga dipengaruhi oleh efikasi diri. Semakin kuat efikasi diri maka akan memicu faktor motivasi yang ada dalam diri yang diiringi dengan usaha dan komitmen untuk meraih tujuan bersama perusahaan. Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa engagement pekerja lebih terlihat jelas pada third sector organization yaitu organisasi berbasis sukarela. Hal ini disebabkan oleh tujuan dari organisasi tersebut yang memang tidak mencari dan atau memaksimalkan keuntungan (Selander,2014). Pekerja pada third sector organization lebih berpartisipasi, berenergi, dan antusias dibandingkan dengan pekerja pada organisasi profit. Dengan adanya work engagement yang tinggi, maka tinggi pula OCB yang dimiliki oleh pekerja tersebut. Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian yang telah dipaparkan adalah organizational citizenship behaviour merupakan permasalahan penting dan perlu mendapatkan perhatian khusus baik secara teoritis maupun empiris. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pengaruh OCB yang berdampak pada dinamika operasional dan produktivitas perusahaan. Bahkan, OCB juga mempengaruhi kuantitas dan kualitas perfomansi kerja kelompok (Podsakoff, Ahearne,& MacKenzie, 1997). Terdapat beragam cara yang dapat digunakan praktisi untuk meningkatkan OCB salah satunya diawali dengan proses rekruitmen dan seleksi yang ketat, training and development, dan evaluasi perfomance appraissals (Organ, Podsakoff, &MacKenzie, 2006). Tercapainya OCB yang baik dalam sebuah perusahaan didukung pula oleh aspek engagement yang terdapat pada pekerja. Pekerja dengan partisipasi yang aktif, penuh semangat, dan antusias akan semakin mendukung 10 teraihnya OCB. Apabila masing-masing pekerja memiliki OCB yang tinggi, maka tujuan perusahaan akan lebih mudah untuk diraih. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empirik hubungan antara work engagement dengan organizational citizenship behaviour (OCB). C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Pengembangan wawasan ilmu Psikologi terutama dalam bidang psikologi industri mengenai work engagement dan organizational citizenship behaviour (OCB). b. Membuktikan hubungan antara work engagement dengan organizational citizenship behaviour (OCB). 2. Manfaatpraktis a. Informasi tambahan bagi perusahaan untuk mengetahui sejauh mana work engagement dan organizational citizenship behaviour yang adapada pekerja. b. Sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan untuk mengembangkan kualitas sumber daya pekerja dengan meningkatkan OCB dan engagement pekerja. c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif acuan dan sumber informasi untuk penelitian-penelitian berikutnya.