Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Kawasan

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pencemaran Perairan
Pencemaran adalah peristiwa perubahan yang terjadi terhadap sifat-sifat
fisik-kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air (Odum,
1971), sedangkan definisi pencemaran menurut PP No.82 tahun 2001,
pencemaran adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukkannya.
Pencemaran perairan didefinisikan sebagai dampak negatif masuknya zat
pencemar kedalam suatu perairan sehingga berpengaruh terhadap kehidupan biota,
sumberdaya dan ekosistem perairan serta kesehatan manusia yang hidup disekitar
perairan tersebut. Bahan pencemar atau zat pencemar menurut sumbernya terbagi
menjadi dua yaitu yang berasal dari alam dan kegiatan manusia.
Pencemaran
yang yang diakibatkan oleh kegiatan manusia diantaranya adalah pemanfaatan
sumberdaya alam pada proses pertambangan, perindustrian dan pertanian
(Sutamiharja, 1978).
2.2.
Parameter Kualitas Perairan
2.2.1. Suhu
Menurut Dark (1974), suhu berpengaruh terhadap keberadaan suatu spesies
maupun komunitas tertentu yang cenderung bervariasi dengan berubahnya suhu.
Hal ini disebabkan, suhu dapat menjadi suatu faktor pembatas bagi beberapa
fungsi biologis hewan air seperti migrasi, pemijahan, efisiensi makanan,
kecepatan renang, perkembangan embrio, dan kecepatan metabolisme. Pengaruh
suhu terhadap proses respirasi dan metabolisme berlanjut terhadap pertumbuhan
dan proses fisiologis serta siklus reproduksinya (Hutabarat dan Evan, 1986).
Setiap jenis biota akuatik mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap suatu
rentang suhu tertentu. Di luar rentang suhu yang dapat ditoleransi akan
menimbulkan kematian bagi biota tersebut. Keberadaan suhu di perairan estuaria
selain dipengaruhi oleh sinar matahari juga dipengaruhi oleh resultan dari
percampuran antara air tawar dengan air laut yang berbeda suhunya (Nybakken,
1988). Perairan estuari bersifat dinamik sehingga kemungkinan terjadinya
stratifikasi suhu pun menjadi sangat kecil.
2.2.2. Salinitas
Nontji (1987) mendefinisikan salinitas sebagai jumlah berat semua garam
(dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan
per mil atau gram per liter. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Di Indonesia
nilai salinitas rata-rata tahunan yang terendah sering dijumpai di perairan
Indonesia bagian barat dan semakin ke timur nilai rata-rata tahunannya semakin
meningkat. Hal ini disebabkan pengaruh massa air yang mempunyai salinitas
lebih tinggi dari Samudra Pasifik sepanjang musim dan lebih sedikitnya pengaruh
massa air dari daratan disebabkan oleh sedikitnya sungai-sungai besar di
Indonesia bagian timur dibanding bagian barat. Kondisi salinitas yang rendah di
daerah khatulistiwa disebabkan tingginya curah hujan. Ketika pergerakan pasang
surut terjadi, seluruh massa air di estuari bergerak, sehingga terjadi pergeseran
antara massa air dengan dasar estuari yang menghasilkan pergolakan. Pergolakan
ini memiliki kecenderungan untuk mencampur kolom air dengan lebih baik.
Meskipun tidak terdapat pergerakan vertikal air tetapi terdapat sebuah perubahan
salinitas. Pergolakan di atas tidak hanya mencampurkan massa air garam ke
permukaan lapisan yang lebih tawar, tetapi juga mencampur massa air sungai di
bagian dasar.
Keberadaan salinitas di estuari mencirikan adanya gradient salinitas, mulai
dari dominasi air laut sampai ke dominasi air tawar di hulu estuari. Gradien
salinitas tersebut berubah secara dinamik, sesuai dengan perubahan debit air
sungai, pasang surut serta arus perairan pantai (Nybakken, 1988).
2.2.3. Kecerahan dan Kekeruhan
Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual
dengan alat bantu yang disebut “secchi disc”. Keadaan cuaca dan waktu
9
pengukuran sangat berpengaruh terhadap hasil nilai kecerahannya. Pengaruh
kandungan lumpur terutama di daerah muara dapat mengakibatkan tingkat
kecerahan air menjadi rendah (Nybakken, 1988).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
dalam air (APHA, 1989). Menurut Mason (1981), kekeruhan air biasanya
disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi dan koloid yang terdapat di dalam air,
misalnya partikel-partikel lumpur, bahan organik, plankton, dan mikroorganisme.
Perairan yang keruh tidak disukai oleh organisme air karena mengganggu sistem
pernafasan sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan terutama
untuk makrozoobenthos.
2.2.4. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan
laut. Kadar oksigen di dalam air laut lebih kecil daripada di udara, dimana
nilainya masing-masing 9 mg/l dan 200 mg/l (King, 1963). Sebaran kandungan
oksigen terlarut di laut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : 1) interaksi antara
permukaan laut dengan atmosfer; 2) kegiatan biologi yang dapat mempengaruhi
konsentrasi O2 dan CO2 dan; 3) arus dan proses percampuran yang mempunyai
kecenderungan yang mengubah pengaruh-pengaruh kegiatan biologi lewat
gerakan massa air (King, 1963).
Penyebaran O2 di laut bervariasi menurut kedalaman, satu penampang
tertentu dari O2 memperlihatkan jumlah O2 maksimum terdapat pada permukaan
air sampai pada kedalaman 10-20 meter. Kegiatan fotosintesis tumbuh-tumbuhan
dan difusi O2 dari atmosfer sering mengakibatkan kejenuhan, kedalaman
bertambah kandungan O2 berkurang (Nybakken, 1988).
Hutabarat dan Evan (1986) menambahkan bahwa kadar oksigen terlarut
akan meningkat pada lapisan permukaan di waktu siang hari. Kandungan oksigen
terlarut di dalam air laut berbanding terbalik dengan suhu perairan. Suhu semakin
rendah, maka semakin besar kelarutannya di dalam air laut.
10
2.2.5. Derajat keasaman (pH)
Pescod (1973) menyatakan bahwa masing-masing organisme mempunyai
kemampuan yang berbeda untuk mentoleransi nilai pH perairan tergantung dari
suhu, oksigen terlarut, adanya berbagai kation, dan anion serta aktivitas biologi.
Hynes (1978) menyebutkan bahwa nilai pH di bawah atau di atas 9 sangat tidak
menguntungkan bagi kehidupan makrozoobenthos.
2.2.6. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD5)
BOD5 merupakan ukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh
mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air
dalam waktu lima hari. Nilai BOD yang besar menunjukkan aktivitas
mikroorganisme yang semakin tinggi dalam menguraikan bahan organik. Nilai
BOD yang tinggi menunjukkan penurunan kualitas perairan (APHA, 1989).
Kadar BOD perairan berpengaruh terhadap komposisi jenis makrozoobentos.
(Setyobudiandi, 1996).
Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya,
tetapi hanya mengukur secara relative jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan-bahan buangan (Fardiaz, 1992).
2.2.7. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)
Nilai COD dapat dijadikan sebagai ukuran tingkat pencemaran di perairan
oleh bahan organik yang secara alamiah dapat dioksidsasi dengan proses
mikrobiologi dan akan menyebabkan berkurangnya konsentrasi oksigen di
perairan (APHA, 1989). Menurut Fardiaz (1992), uji COD adalah suatu uji yang
menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya
kalium dikhromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat di
dalam air. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih
tinggi daripada uji BOD, karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi
dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD.
11
2.2.8. Padatan Tersuspensi Total (TSS)
Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak
terlarut, dan tidak dapat mengendap langsung. Padsatan tersuspensi terdiri dari
partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sedimen,
misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan
sebagainya. Seperti halnya padatan terendap, padatan tersuspensi akan
mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air sehingga mempengaruhi regenerasi
oksigen secara fotosintesis (Fardiaz, 1992).
Padatan tersuspensi merupakan bahan-bahan tersuspensi dalam air yang
tertahan pada kertas saring 0,45 µm dan tidak terlarut. Padatan tersuspensi
mempengaruhi juga fotosintesis dalam air (APHA, 1989).
2.2.9. Sedimen (Substrat)
Brower dan Zar (1990) mengatakan bahwa jenis substrat perairan sangat
menentukan kepadatan dan komposisi hewan benthos. Substrat didefinisikan
sebagai campuran dari fraksi lumpur, pasir, dan liat dalam tanah. Substrat perairan
yang berlumpur mengandung bahan organik yang tinggi yang dapat menyebabkan
rendahnya oksigen terlarut dan tingginya kekeruhan, yang pada akhirnya akan
menimbulkan keadaan anoksik di dalam substrat sehingga kondisi perairan
tercemar dan organisme yang ada dalam substrat terganggu.
Nybakken (1988) menyebutkan bahwa tipe substrat berpasir dibagi menjadi
dua yaitu tipe substrat berpasir halus dan tipe substrat berpasir kasar. Pada tipe
substrat berpasir kasar memiliki laju pertukaran air yang cepat dan kandungan
bahan organik yang rendah, sehingga oksigen terlarut selalu tersedia, proses
dekomposisi di substrat dapat berlangsung secara aerob serta terhindar dari
kondisi toksik. Tipe substrat berpasir halus kurang baik untuk pertumbuhan
organisme perairan, karena memiliki pertukaran air yang lambat dan dapat
menyebabkan anoksik, sehingga proses dekomposisi yang berlangsung di substrat
pada keadaan anaerob, yang dapat mengganggu kehidupan benthos.
Odum (1971) menjelaskan bahwa pengendapan partikel lumpur di dasar
perairan tergantung pada arus.
Apabila arusnya kuat maka partikel yang
12
mengendap adalah partikel yang berukuran besar. Sebaliknya pada tempat yang
arusnya lemah maka yang akan mengendap adalah lumpur halus. Partikel yang
berukuran lebih halus biasanya akan terbawa jauh oleh arus. Tipe substrat suatu
perairan akan menentukan kehidupan dan komposisi makrozoobenthos.
Penyebaran dan kepadatan makrozoobenthos berhubungan dengan diameter ratarata butiran sedimen, kandungan debu dan liat serta adanya cangkang-cangkang
biota yang telah mati.
Pada daerah estuari yang memiliki arus yang kuat, umumnya memiliki
substrat berpasir. Hal ini terjadi akibat pengaruh arus sehingga partikel-partikel
yang berukuran besar akan mengendap lebih cepat. Sedangkan partikel yang
berukuran lebih kecil akan lama dipertahankan dalam suspensi dan terbawa ke
suatu tempat mengikuti arus dan gelombang. Endapan lumpur banyak mengendap
di pantai, terutama jika air laut terdorong ke luar estuari karena aliran air tawar
yang besar (Nybakken, 1988). Klasifikasi sedimen dasar menurut butiran dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi sedimen dasar menurut ukuran diameter butiran
(Hutabarat dan Evan, 1986)
Jenis
Diameter butiran (mm)
Batuan
>256
Kerikil
2-256
Pasir sangat kasar
1-2
Pasir kasar
0,5-1
Pasir
0,25-0,5
Pasir halus
0,125-0,25
Pasir sangat halus
0,0625-0,125
Lumpur
0,0020-0,0625
Liat
0,0005-0,0020
Bahan terlarut
<0,0005
2.2.10. Bahan Organik dalam Sedimen
Bahan organik dalam ekosistem dapat berasal dari perairan itu sendiri
(autocthonous) maupun berasal dari luar (allochthonous). Bahan organik yang
13
berasal dari luar didapat dari adanya proses alami yang terbawa oleh air tanah dan
air permukaan tanah serta berasal dari aktivitas manusia yang langsung
memasukkan bahan organik ke dalam air melalui kegiatan pertanian dan industri
(Hidayah, 2003).
Bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber
makanan bagi organisme benthik, sehingga laju penambahannya dalam sedimen
mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi dasar. Bahan organik dalam
sedimen berasal dari dekomposisi organisme, kotoran hewan, hasil sekresi dan
masukan dari darat (Hidayah, 2003).
2.2.11. Logam Berat
Logam berat adalah logam-logam yang memiliki spesifikasi gravity yang
sangat besar (>4), terletak pada nomor atom 22-34 dan 40-50 serta unsur-unsur
lantanida dan aktinida serta mempunyai respon biokimia khas (spesifik) pada
organisme hidup.
Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya
menimbulkan efek-efek khusus pada makhluk hidup. Dapat dikatakan bahwa
semua logam berat dapat menjadi bahan racun yang akan meracuni tubuh
makhluk hidup.
Namun demikian, meski semua logam berat dapat
mengakibatkan keracunan atas makhluk hidup, sebagian dari logam-logam berat
tersebut tetap dibutuhkan oleh makhluk hidup. Kebutuhan tersebut berada dalam
jumlah yang sangat sedikit. Tetapi bila kebutuhan dalam jumlah yang sangat kecil
itu tidak terpenuhi, maka dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup dari
setiap makhluk hidup.
Karena tingkat kebutuhan sangat dipentingkan maka
logam-logam tersebut dinamakan sebagai logam-logam atau mineral-mineral
esensial tubuh (Palar, 2004).
a. Timbal (Pb)
Timbal atau dalam kesehariannya lebih dikenal dengan nama ilmiah timah
hitam. Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IV-A
pada Tabel Periodik unsur kimia. Mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan bobot
atau berat atom (BA) 207,2. Penyebaran logam timbal sangat sedikit. Jumlah
timbal yang terdapat di seluruh lapisan bumi hanyalah 0,0002% dari jumlah
14
seluruh kerak bumi. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah
kandungan logam berat lainnya yang ada di bumi. Logam Pb mempunyai sifatsifat yang yang khusus yaitu, merupakan logam lunak, sehingga dapat dipotong
dengan menggunakan pisau atau dengan tangan dan dapat dibentuk dengan
mudah, merupakan logam yang tahan terhadap peristiwa korosi atau karat,
mempunyai titik lebur rendah ( 327,5 °C), mempunyai kerapatan yang lebih besar
dibandingkan dengan logam-logam biasa (kecuali emas dan merkuri) dan
merupakan penghantar listrik yang buruk (Palar, 2004).
Timbal dan persenyawaannya dapat berada di dalam badan perairan secara
alamiah dan sebagai dampak dari aktivitas manusia. Secara alamiah, Pb dapat
masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air
hujan. Disamping itu proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan
gelombang dan angin, juga merupakan salah satu jalur sumber Pb yang akan
masuk ke dalam badan air. Badan perairan yang telah kemasukan logam Pb
dengan jumlah konsentrasi melebihi yang semestinya dapat menyebabkan
kematian pada biota. Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/l dapat membunuh
ikan-ikan, konsentrasi Pb 2.75-49 mg/l dapat membunuh crustacea sedangkan
konsentrasi Pb 3.5-64 mg/l akan membunuh biota golongan insecta (Palar, 2004).
b. Kadmium (Cd)
Logam Cd atau kadmium mempunyai penyebaran yang luas di alam. Hanya
ada satu jenis mineral kadmium di alam, yaitu greennockite (CdS) yang selalu
ditemukan bersamaan dengan mineral spalerite (ZnS). Mineral greennockite ini
sangat jarang ditemukan di alam, sehingga dalam eksploitasi logam Cd, biasanya
merupakan produksi sampingan dari kegiatan peleburan logam Zn (seng).
Seperti halnya unsur-unsur kimia lainnya terutama golongan logam, logam Cd
mempunyai sifat fisika dan kimia tersendiri. Berdasarkan pada sifat fisikanya, Cd
merupakan logam yang lunak, ductile, berwarna putih seperti putih perak. Logam
ini akan kehilangan kilapnya bila berada dalam udara yang basah atau lembab
serta akan cepat mengalami kerusakan bila dikenai oleh uap ammonia (NH3) dan
sulfur hidroksida (SO2).
Sedangkan berdasarkan sifat kimianya, logam Cd
15
didalam persenyawaan yang dibentuknya pada umumnya mempunyai bilangan
valensi 2+, sangat sedikit yang mempunyai bilangan valensi 1+ (Palar, 2004).
Logam kadmium sangat banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari
manusia, terutama merupakan hasil efek samping dari aktivitas yang dilakukan
manusia. Dalam strata lingkungan, logam Cd dan persenyawaanya ditemukan
dalam banyak lapisan. Secara sederhana dapat diketahui bahwa kandungan logam
Cd akan dapat dijumpai di daerah-daerah penimbunan sampah dan aliran air
hujan, selain dalam air buangan. Seperti halnya merkuri dan logam berat lainnya,
logam Cd membawa sifat racun yang sangat merugikan bagi semua organisme
hidup, bahkan juga sangat berbahaya untuk manusia. Dalam badan perairan,
kelarutan Cd dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh biota perairan. Biotabiota yang tergolong bangsa udang-udangan (crustacea) akan mengalami
kematian dalam selang waktu 24-504 jam bila dalam badan perairan dimana biota
ini hidup terlarut logam atau persenyawaan Cd pada rentang konsentrasi 0.0050.15 ppm. Untuk biota yang tergolong dalam bangsa serangga (insecta) akan
mengalami kematian dalam selang waktu 24-672 jam dengan rentang konsentrasi
0.003-18 ppm dan untuk golongan biota oligichaeta akan mengalami kematian
dalam selang waktu 24-96 jam dengan rentang konsentrasi 0.0028-4.6 ppm
(Palar, 2004 ).
2.3. Beban Pencemar dan Kapasitas Asimilasi Perairan
Kapasitas asimilasi perairan adalah kemampuan perairan dalam memulihkan
diri akibat masuknya limbah tanpa menyebabkan penurunan kualitas lingkungan
yang ditetapkan sesuai dengan peruntukkannya (Quano, 1993). Kemampuan
asimilasi sangat dipengaruhi oleh adanya proses pengenceran maupun
perombakan bahan pencemar yang masuk ke perairan.
Metode untuk melihat kapasitas asimilasi dapat dilakukan dengan
pendekatan hubungan antara kualitas air dengan beban limbahnya (Dahuri, 1998).
Metode ini memiliki kelemahan karena tidak memperhatikan berbagai dinamika
diperairan tersebut yang sangat mempengaruhi kapasitas asimilasi suatu perairan.
Perhitungan kapasitas asimilasi spesifik untuk setiap lokasi, evaluasi kapasitas
16
asimilasi memerlukan model matematika yang sesuai untuk mendeterminasi
konsentrasi parameter kunci yang merupakan hasil dari tingkat beban limbah
(Ward, 1999).
Beban pencemar adalah istilah yang dikaitkan dengan jumlah total bahan
pencemar yang masuk kedalam lingkungan baik secara langsung maupun tidak
langsung yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya pada areal tertentu dalam kurun waktu tertentu.
Besarnya beban
pencemar yang masuk ke perairan tergantung aktivitas manusia di sekitar daerah
aliran sungai yang masuk perairan tersebut.
Besarnya beban pencemar perairan sangat dipengaruhi pula oleh keadaan
pasang surut air laut. Pada saat pasang umumnya beban masukan limbah sangat
kecil karena aliran sungai akan tertahan oleh peningkatan massa air laut,
sedangkan pada saat surut berlaku sebaliknya (Rafni, 2004). Beban masukan
limbah dari sungai ke suatu perairan dapat dihitung dengan mengalikan
konsentrasi dengan debit air sungai per satuan waktu. Debit air sungai diperoleh
dengan mengalikan luas penampang sungai dengan kecepatan aliran sungai
(Jorgensen, 1988).
Kapasitas beban pencemar merupakan kemampuan suatu perairan dalam
menerima beban pencemar yang masuk. Kapasitas beban pencemar biasa disebut
juga dengan kapasitas beban perairan yang merupakan fungsi dari konsentrasi
bahan pencemar dan volume perairan (Rafni, 2004).
2.4. Organisme Fitoplankton
Fitoplankton adalah suatu mikroorganisme yang melayang-layang di air
yang memenuhi hampir setiap ruang massa dalam air yang masih dapat dicapai
sinar matahari.
Fitoplankton merupakan komponen tumbuhan yang berperan
sebagai produsen primer dalam air.
Fitoplankton secara umum
merupakan
sumber makanan alami zooplankton, fitoplankton ini apabila mati akan tenggelam
ke dasar laut dan diurai oleh bakteri menjadi bahan.
17
Keragaman
fitoplankton
merupakan
jumlah
individu
per
spesies
fitoplankton dan merupakan ciri khas struktur komunitas spesies tersebut yang
berkaitan erat dengan kondisi lingkungan dimana biota tersebut hidup. Menurut
Basmi (1998), kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi oleh angin,
arus, kandungan hara, cahaya, suhu, kecerahan, kekeruhan, pH, air masukan dan
kedalaman perairan.
Kelimpahan fitoplankton pada suatu perairan dapat
memberikan informasi tentang produktivitas perairan.
2.5. Organisme Makrozoobenthos
Menurut Odum (1971), benthos adalah organisme yang hidup di permukaan
atau di dalam dasar perairan, baik yang hidup pada lumpur, pasir, batu, kerikil
ataupun sampah di dasar kolam, sungai dan danau atau waduk atau situ. Benthos
yang hidup di atas permukaan dasar perairan disebut sebagai organisme epifauna
sedangkan benthos yang hidup di dalam dasar perairan disebut sebagai organisme
infauna. Benthos dapat dibedakan atas organisme nabati yang disebut fitobenthos
dan organisme hewani yang disebut zoobenthos. Menurut ukurannya, organisme
benthos dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: makrobenthos (berukuran > 1 mm),
meiobenthos (berukuran 0,1-1 mm), dan mikrobenthos (berukuran <0,1 mm).
Benthos yang hidup di dasar perairan berdasarkan cara makannya dibagi
dua, yaitu filter feeder yang mengambil makanan dengan menyaring air dan
deposit feeder yang mengambil makanan dalam substrat dasar (Odum, 1971).
Kemudian oleh Lin (1979) dijelaskan bahwa substrat untuk habitat benthos ada
yang berupa lumpur, pasir dan batuan. Nybakken (1988) menyatakan bahwa
kelompok pemakan bahan tersuspensi (filter feeder) dominan di substrat pasir
seperti moluska bivalvia, beberapa echinodermata dan krustasea. Sedangkan
pemakan deposit (deposit feeder) banyak terdapat pada substrat lumpur, seperti
jenis-jenis polychaeta.
2.5.1. Peranan Makrozoobenthos di Perairan
Dalam ekosistem perairan, makrozoobenthos memegang beberapa peran
penting seperti dalam proses dekomposisi bahan-bahan organik dan posisinya
dalam rantai makanan terutama rantai makanan detritus.
Selain itu
18
makrozoobenthos juga dapat digunakan sebagai indikator biologi tingkat
pencemaran perairan. Perubahan-perubahan kualitas air sangat mempengaruhi
kehidupan makrozoobenthos, baik komposisi maupun ukuran populasinya.
Disamping itu kemampuan mobilitasnya yang rendah serta adanya beberapa jenis
organisme makrozoobenthos yang mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap
kondisi kualitas air yang buruk menjadikan makrozoobenthos sebagai salah satu
indikator biologi yang baik (Hawkes, 1979).
2.5.2. Struktur Komunitas Makrozoobenthos
Menurut Odum (1971) komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang
hidup di daerah tertentu atau habitat fisik tertentu dan merupakan satu satuan yang
terorganisir dan mempunyai hubungan timbal balik.
Lebih lanjut disebutkan
bahwa konsep komunitas ini dapat digunakan dalam menganalisa lingkungan
perairan karena komposisi dan karakter organisme di dalam suatu komunitas
merupakan indikator yang cukup baik untuk melihat keadaan lingkungan dimana
komunitas tersebut berada. Krebs (1989) menambahkan bahwa untuk mengetahui
kondisi suatu struktur komunitas terdapat lima karakteristik komunitas yang dapat
diukur yaitu : (1) keanekaragaman; (2) dominansi; (3) bentuk dan struktur
pertumbuhan; (4) kelimpahan relatif dan (5) struktur trofik.
Diversitas adalah suatu keragaman atau perbedaan diantara anggota-anggota
suatu kelompok. Dalam ekologi, umumnya diversitas mengarah ke diversitas
spesies, melalui pengukuran jumlah spesies dalam komunitas dan kelimpahan
relatifnya. Ide diversitas spesies berdasarkan asumsi bahwa populasi dari spesiesspesies yang secara bersama-sama terbentuk, berinteraksi satu dengan yang
lainnya dan adanya interaksi dengan lingkungan (Bakus, 1990).
Diversitas dari Shannon-Wiener merupakan indeks yang paling umum
digunakan bagi manajemen lingkungan dan berfungsi sebagai alat bantu dalam
menggambarkan struktur komunitas dan mendeteksi besarnya degradasi pada
ekosistem. Indeks diversitas menggabungkan tiga komponen utama dari struktur
komunitas yaitu : kelimpahan, jumlah taksa, dan kemerataan distribusi organisme
diantara spesies atau evenness (Krebs, 1989).
Lebih lanjut Krebs (1989)
19
memberikan alasan tentang fleksibilitas penggunaan indeks diversitas yang dapat
diterima secara luas bagi pengambil keputusan yang berlatar belakang non
biologi, karena kemampuannya dalam menurunkan kompleksitas pengukuran
struktur komunitas ke dalam sebuah nilai tunggal.
Kelimpahan makrozoobenthos di suatu perairan dipengaruhi oleh faktorfaktor lingkungan baik fisika, kimia maupun faktor biologi. Faktor-faktor tersebut
antara lain adalah suhu, pH, kekeruhan, kecerahan, gas-gas terlarut dan interaksi
dengan organisme lain. Secara umum perairan yang belum tercemar dicirikan
dengan keanekaragaman yang tinggi, tidak ada dominasi suatu spesies tertentu
dan jumlah individu masing-masing spesies cenderung merata sehingga nilai
diversitas yang didapatkan akan maksimum. Rendahnya indeks tersebut biasanya
mencirikan adanya stress dari komunitas yang cenderung tidak stabil (Krebs,
1989).
20
Download