BAB II KAJIAN TEORI

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1
Pengertian Myofascial Pain Syndrome m.upper trapezius
Myofascial pain syndrome didefinisikan dengan terdapatnya trigger
point yang timbul dari taut band serabut otot yang membentuk seperti
jalinan tali dan lunak ketika disentuh dan ketika dipalpasi, menimbulkan
respon kejang lokal yang dikenal juga dengan jump sign yang merupakan
sebuah pemendekan pada serabut otot yang mengalami fibrous (Simons,
2003).
Myofascial pain syndrome dicirikan dengan adanya spasme otot,
tenderness, stiffness (kekakuan), keterbatasan gerak, kelemahan otot dan
sering pula timbul disfungsi autonomik pada area yang dipengaruhi,
umumnya gejala yang timbul cukup jauh dari trigger area (Hurtling, et al.,
2005).
Faktor-faktor yang mempunyai kontribusi terhadap terjadinya
myofascial pain syndrome m.upper trapezius
diantaranya adalah
(Sugijanto, 2008) :
1. Postur yang jelek
Keadaan ini menyebabkan stress dan strain pada otot upper
trapezius, misalnya forward head posture yaitu postur dimana posisi
kepala terus-menerus kedepan.
7
8
2. Ergonomi kerja yang buruk
Ketika kebiasaan ini berlangsung berulang-ulang dan dalam
waktu lama akan menimbulkan stress mekanik yang berkepanjangan
misalnya seorang di depan komputer dengan layar yang terlalu tinggi
agak jauh dari kursi duduk.
3. Trauma
Trauma dapat dibagi menjadi dua, yaitu trauma makro dan trauma
mikro. Trauma makro adalah suatu cidera pada otot atau fasia. Ketika
jaringan miofasial mengalami cidera maka akan terjadi proses
inflamasi,
diikuti
adanya
produksi
serabut
kolagen.
Kolagen
memutuskan ikatan produksi serabut kolagen kemudian kolagen
memutuskan ikatan bersama dan cenderung membuat ikatan yang tidak
beraturan. Adanya ketegangan serabut kolagen akan menurunkan
mobilitas dari jaringan miofasial sehingga mudah terjadi pemendekan
serabut kolagen. Karena serabut kolagen memendek maka tekanan di
dalam jaringan miofasial akan meningkat. Peningkatan tekanan di
dalam jaringan miofasial ini akan menekan arteri, vena, dan pembuluh
darah limfe yang akan menyebabkan iskemia dan timbul myofascial
trigger point, sehingga jaringan akan mudah mengalami kontraktur
(Widodo, 2011).
Sedangkan trauma mikro adalah suatu cidera yang berulang
(repetitive injury) akibat dari suatu kerja yang terus menerus dengan
beban yang berlebih. Ketika adanya beban tegangan yang berlebihan
9
yang diterima jaringan miofasial secara intermitten dan kronis, maka
akan menstimulasi fibroblast dalam fasia untuk menghasilkan lebih
banyak kolagen. Kemudian kolagen akan terkumpul banyak di dalam
jaringan tersebut sehingga timbul jaringan fibrous. Ketika jaringan
fibrous ini dipalpasi akan dirasakan keras. Ikatan fibrous berjalan secara
longitudinal sepanjang otot upper trapezius. Hal ini akan mencetuskan
timbulnya myofascial trigger point yang mempunyai ketegangan tinggi
dan lama kelamaan dapat menimbulkan kontraktur (Widodo, 2011).
4. Degenerasi
Perubahan yang jelas pada sistem otot pada usia lanjut adalah
berkurangnya massa otot, terutama mengenai serabut tipe I dan II.
Penurunan massa otot ini lebih disebabkan karena atropi. Perubahanperubahan yang timbul pada sistem otot lebih disebabkan oleh disuse.
Efek dari penuaan dan disuse terhadap tubuh pada sistem otot adalah
otot dalam posisi yang statik sehingga otot tidak ada penguluran. Jika
hal ini berlangsung lama maka akan mengakibatkan tightness dan
timbulah myofascial pain syndrome (Widodo, 2011).
Perubahan ini akan menyebabkan laju metabolik basal dan laju
konsumsi oksigen maksimal berkurang 4,5%. Otot menjadi lebih
mudah lelah dan kecepatan kontraksi akan melambat. Selain dijumpai
penurunan massa otot, sering juga dijumpai berkurangnya rasio otot
dengan jaringan lemak. Perubahan-perubahan yang timbul pada sistem
otot lebih disebabkan oleh disuse. Seseorang yang selalu aktif
10
sepanjang umurnya cenderung lebih dapat mempertahankan massa otot,
kekuatan otot dan koordinasi dibanding dengan mereka dengan pola
hidupnya santai. Pada kelompok usia pertengahan, penyebab nyeri leher
umumnya bersumber dari myofasial pain syndrome dan post traumatic
pain (Widodo, 2011).
Myofascial pain syndrome pada bagian atas tubuh lebih sering
dibandingkan dengan area lain di tubuh. Saat bekerja membutuhkan peran
yang membutuhkan peran yang sangat besar dari otot-otot vertebra dan otototot leher yang mempunyai peran yang cukup besar dalam mempertahankan
posisi leher. Biasanya terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun dan lebih banyak
pada wanita dibanding laki-laki. Biasanya diikuti dengan adanya trauma
ringan yang diakibatkan karena bekerja terus-menerus dalam waktu yang
lama, menggunakan komputer terus-menerus, dan membawa tas dengan
beban berat. Hal tersebut akan menimbulkan strain pada otot-otot leher
terutama otot upper trapezius. Adanya rasa nyeri maka akan sangat
mengganggu aktivitas seseorang yang melibatkan gerakan leher, hal ini
akan menghambat dalam melakukan pekerjaan sehari-hari (Fatmawati,
2013).
2.2
Anatomi m.upper trapezius
Otot upper trapezius adalah salah satu jenis otot rangka dimana
berperan dalam menyusun struktur leher, bahu, dan punggung manusia.
Upper trapezius yang merupakan otot tipe I atau slow twitch ini, memiliki
hubungan insersio pada sepertiga lateralis clavicula. Otot ini berasal dari
11
1/3 medial linea nuchalis superior, protubentia externa occipitalis,
ligamentum nuchalis, dan processus spinosus vertebra C7 (Snell, 2006).
Adapun fungsi dari upper trapezius adalah dalam gerakan elevasi
scapula, dan rotasi keatas dari scapula. Pada saat otot ini melakukan
kontraksi
konsentrik
bersama
dengan
otot
levator
scapula
akan
menghasilkan gerak elevasi tulang scapula. Apabila otot upper trapezius
berkontraksi secara unilateral maka akan menghasilkan gerakan lateral
fleksi dari kepala, sedangkan bila dilakukan bilateral maka akan
menghasilkan gerakan ekstensi kepala (Vizniak, 2010).
Disamping itu, otot upper trapezius juga memiliki peran sebagai
fiksator scapula ketika otot deltoid beraktivitas sehingga depresi scapula
saat lengan sedang mengangkat sesuatu dapat dicegah. Otot ini juga bekerja
untuk melakukan fiksasi pada scapula saat lengan bergerak dan bekerja
sebagai fiksator leher serta mempertahankan postur kepala yang cenderung
jatuh kedepan yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi maupun berat kepala itu
sendiri.
12
Upper trapezius
Middle trapezius
Lower Trapezius
Gambar 2.1. Otot Trapezius
(Lippert, 2011)
2.3
Patofisiologi Myofascial Pain Syndrome m.upper trapezius
Myofascial pain syndrome m.upper trapezius ditandai dengan adanya
myofasial trigger point yang mempunyai titik sangat peka pada otot atau
fasia yang menyebabkan nyeri dan tenderness saat istirahat atau gerakan
mengulur yang membebani otot upper trapezius. Tanda dan gejala
myofascial pain syndrome m.upper trapezius antara lain (Sugijanto, 2008):
1. Nyeri yang terlokalisir pada otot upper trapezius
2. Reffered pain umumnya dengan pola yang dapat diprediksi
3. Terdapat taut band pada otot dan fasia serta jaringan ikat longgar
(connective tissue)
4. Tightness pada otot yang terkena sehingga menyebabkan keterbatasan
lingkup gerak sendi
13
5. Adanya titik tenderness pada atau tempat sepanjang taut band yang
disebut trigger point
6. Spasme otot akibat sekunder dari rasa nyeri yang timbul juga akibat
penumpukan zat-zat iritan atau sisa metabolisme
7. Perubahan otonomik seperti vasokontriksi pembuluh darah yang
mengakibatkan daerah miofasial hiposirkulasi dan nutrisi.
Otot upper trapezius merupakan otot tipe tonik (slow twitch) yang
bekerja secara konstan bersama-sama dengan otot-otot shoulder girdle lain
yaitu memfiksasi scapula dan leher termasuk mempertahankan postur
kepala yang cenderung jatuh ke depan karena kekuatan gravitasi dan berat
kepala itu sendiri. Kerja otot ini akan meningkat pada kondisi tertentu
seperti adanya postur yang jelek ergonomi kerja yang buruk, degenerasi
otot, tauma atau strain kronis. Akibatnya terjadi kompresi dan ketegangan
yang lebih lama daripada rileksasi, terjadinya suatu keadaan melebihi batas
critical load yang kemudian akan menimbulkan kelelahan pada otot tersebut
(Wagab, 2014).
Ketika otot mengalami ketegangan ataupun kontraksi secara terusmenerus, akan menimbulkan stres secara mekanis pada jaringan miofasial,
dalam waktu yang lama hal ini akan menstimulasi nosiseptor yang ada di
dalam otot (Wagab, 2014).
Semakin sering dan kuat nosiseptor tersebut terstimulasi maka akan
semakin kuat pula aktifitas reflek dari ketegangan otot tersebut, akibatnya
pada jaringan piofasial terjadi penumpukkan zat-zat nutrisi ke jaringan, dan
14
tidak dapat dipertahankannya jarak antar serabut jaringan ikat sehingga akan
menimbulkan iskemik pada jaringan miofasial. Dengan adanya iskemik
maka akan merangsang substansi P untuk membebaskan zat-zat algogen
yang berupa prostaglandin, histamin, bradikinin dan serotonin yang dapat
menimbulkan nyeri. Proses radang juga dapat menimbulkan respon
neuromuskular berupa ketegangan otot disekitar area yang mengalami
kerusakan, sehingga akan timbul viscous circle of pain, yaitu spasme
menimbulkan iskemik, iskemik menimbulkan nyeri dan nyeri menimbulkan
spasme dan seterusnya. Dalam waktu yang bersamaan akan terjadi proses
perbaikan jaringan miofasial yang mengalami kerusakan dengan cara
menstimulasi fibroblast dalam jaringan miofasial untuk menghasilkan
banyak kolagen. Kolagen yang terbentuk mempunyai susunan yang tidak
beraturan atau cross link sehingga terbenttuk jaringan fibrous yang kurang
elastis (Wagab, 2014).
Adanya iritasi saraf oleh karena rasa nyeri yang berlangsung lama
akan menurunkan ambang rangsang Aα dan C terjadi hyperalgesia dan
allodynia yang akan menimbulkan refleks hiperaktifitas simpatis, sehingga
terjadi vasokontriksi pembuluh darah dan terjadi gangguan sirkulasi. Oleh
karena rasa nyeri umumnya pasien tidak mau menggerakkan bagian tersebut
(immobilisasi) akibatnya akan menjadi kontraktur sehingga akan terbentuk
taut band dan trigger point (Wagab, 2014).
Akibat lebih lanjut dari immobilisasi terhadap jaringan ini adalah
substansi intraseluler yang berisi air menurun 3-4% dan jaringan ikat
15
tampak seperti kayu. Penurunan yang sangat mencolok sebesar 20% terjadi
pada glikosaminoglikan dari substansi intraseluler. Kebalikannya sisa-sisa
kolagen seluruhnya tidak berubah. Hilangnya air dan glikosaminoglikan ini
disamping menyisakan jumlah kolagen juga menurunkan jarak antar serabut
kolagen dalam jaringan ikat yang kemudian akan menghilangkan gerakan
bebas antar serabut. Hilangnya gerakan bebas ini cenderung untuk membuat
jaringan kurang elastis dan kurang lentur. Selanjutnya dengan tidak adanya
tekanan normal selama masa immobilisasi serabut kolagen akan membentuk
seperti pita dengan pola yang tidak beraturan dan cross link dapat terbentuk
pada tempat yang tidak diinginkan sehingga menghambat pergeseran
normal. Karena hilangnya substansi intraseluler akan membuat serabut
menutup secara bersama-sama sehingga cross link akan lebih mudah
terbentuk. Dengan adanya abnormal cross link apabila terdapat regangan
maka akan mengiritasi serabut saraf A α dan C sehingga timbul nyeri
(Wagab, 2014).
2.4
Penanganan Fisioterapi pada Penderita Myofascial Pain Syndrome
m.upper trapezius
Fisioterapi bertanggung jawab terhadap gangguan gerak dan fungsi
akibat myofascial pain syndrome. Penanganan yang umum diberikan dalam
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh myofascial pain syndrome, antara
lain adalah mengurangi nyeri, mengurangi spasme otot, meningkatkan
lingkup gerak sendi, meningkatkan kekuatan otot menggunakan modalitas
fisioterapi seperti ultrasound, strain counterstrain dan auto stretching.
16
2.4.1 Ultrasound
a. Pengertian ultrasound (US)
Ultrasoud (US) adalah salah satu modalitas fisioterapi yang
menggunakan
gelombang
suara
dengan
getaran
mekanis
membentuk gelombang longitudinal dan berjalan melalui medium
tertentu dengan frekuensi yang bervariasi (Bartley&Young, 2009).
Pesawat ultrasound merupakan suatu generator yang
menghasilkan arus bolak-balik dengan frekuensi tinggi (high
frequency alternating current) yang mencapai 0,5-3 Mhz. Arus ini
berjalan menembus kabel koaksial pada tranduser yang kemudian
dikonversikan menjadi vibrasi oleh adanya efek piezoelektrik
(Sugijanto, 2008).
Gelombang dari efek piezoelektrik dikarenakan dari vibrasi
kristal yang terdapat pada tranduser ultrasound. Gelombang suara
apabila di berikan pada kulit akan menyebabkan vibrasi dari
jaringan lokal. Vibrasi ini dalam kasus tertentu terjadi panas dalam
lokal.
b. Efek fisiologis ultrasound
1) Efek Mekanik
Pada saat gelombang ultrasound masuk ke dalam tubuh
maka efek pertama yang terjadi adalah efek mekanik.
Gelombang ultrasound pada saat diserap oleh jaringan tubuh
17
akan menyebabkan kompresi dan regangan dengan gaya
maksimal 4 Bar dalam jaringan tubuh dengan frekuensi yang
sama dengan frekuensi dari gelombang ultrasound yang masuk
tadi. Oleh karena itu terjadi variasi tekanan dalam jaringan
sehingga menghasilkan efek mekanis yang besar sekali di dalam
jaringan tubuh yang tidak didapatkan dari modalitas yang lain.
Jadi dengan adanya variasi tekanan inilah kemudian timbul efek
mekanik yang dikenal dengan istilah micromassage (Sugijanto,
2008).
Secara khusus efek micromassage yang ada menyebabkan
pelepasan struktur sel mikroskopis, friksi pada jaringan yang
menyebabkan efek panas, osilasi partikel pada medium air, dan
massage intraseluler. Efek ini terjadi dengan energi kontinyu
ataupun intermitten (Sugijanto, 2008).
2) Efek Termal (Panas)
Micromassage pada jaringan lunak akan menghasilkan
efek friction yang hangat. Pada saat friksi terjadi di dalam aliran
daerah, maka akan terjadi pengeluaran energi yang terusmenerus dari ultrasound yang menyebabkan peningkatan suhu.
Kemudian dengan adanya micromassage dan rasa hangat akan
menimbulkan
efek
sedatif
pada
pasien.
“Lehmann”
mengemukakan bahwa setiap pemberian ultrasound dengan
dosis 1 watt/cm2 secara kontinyu dalam jaringan otot akan
18
menaikkan temperatur sebesar 0,070C per detik (Sugijanto,
2008).
Panas yang dihasilkan untuk setiap jaringan tidak sama,
hal ini bergantung pada beberapa faktor yang dapat ditentukan,
misalnya
:
bentuk
aplikasi
ultrasound
(kontinyu
dan
intermitten), intensitas dan lamanya terapi (Sugijanto, 2008).
Pengaruh panas dari ultrasound dapat membuat panas
yang lain yaitu bertambahnya aktivitas sel, vasodilatasi yang
mengaktifkan penambahan nutrisi, oksigen dan memperlancar
peningkatan sisa metabolisme (Sugijanto, 2008).
Namun
demikian
efek
termal
pada
ultrasound
pengaruhnya lebih kecil mengingat durasi panas yang diperoleh
hanya 1 (satu) menit pada tiap-tiap jaringan. Tetapi bila
terkonsentrasi pada satu jariingan dapat menimbulkan “heat
burn”, yaitu bila pada tempat menonjol atau tranduser static
(Sugijanto, 2008).
3) Efek Biologis
Efek biologis merupakan hasil fisiologis dari efek
mekanik dan efek panas. Adapun pengaruh biologis yang
dihasilkan ultrasound adalah meningkatkan sirkulasi darah,
rileksasi otot, meningkatkan permeabilitas membran dan
meningkatkan regenerasi jaringan. Dibawah ini akan dijelaskan
19
secara singkat proses timbulnya efek-efek biologis diatas
(Sugijanto, 2008):
1) Meningkatkan sirkulasi darah
Penyerapan
dari
energi
ultrasound
antara
lain
menghasilkan efek panas. Tubuh akan memberikan reaksi
terhadap efek panas ini yaitu vasodilatasi.
2) Mengurangi nyeri
Pengaruh nyeri terjadi secara tidak langsung yaitu
dengan adanya pengaruh gosokan membantu “venous dan
lymphatic”, sehingga terjadi peningkatan kelenturan jaringan
lemak serta menurunnya nyeri regang dan proses percepatan
regenerasi jaringan.
3) Rileksasi otot
Perbaikan sirkulasi darah akan menyebabkan terjadinya
relaksasi
otot-otot
karena
zat-zat
pengiritasi
jaringan
diangkut. Vibrasi ultrasound dapat mempengaruhi serabut
saraf afferent secara langsung dan akibatnya adalah relaksasi
otot.
4) Peningkatan permeabilitas membran
Terjadi
pada
pelaksanaan
secara
kontinyu
dari
intermitten. Melalui getaran ini, cairan tubuh didorong
kedalam membran sel, yang dapat mengakibatkan adanya
20
perubahan konsentrasi ion yang akan berpengaruh juga
terhadap nilai ambang rangsang dari sel-sel.
5) Meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan
Dengan pemberian ultrasound menyebabkan terjadinya
vasodilatasi pembuluh darah sehingga meningkatkan pasokan
bahan makanan pada jaringan lunak dan juga terjadi
peningkatan zat antibodi yang mempermudah terjadinya
perbaikan jaringan yang rusak
6) Pengaruh terhadap saraf perifer
Getaran ultrasound dengan intensitas 0,5-5 watt/cm2
dengan gelombang kontinyu dapat mempengaruhi eksitasi
dari saraf perifer. Efek ini berhubungan dengan efek panas
sedangkan aspek mekanis tidak berpengaruh.
c. Dosis
Dosis adalah hasil perkalian antara intensitas dengan lamnya
terapi ultrasound yang diberikan. Perhitungan dosis yang dapat
dipakai sebagai acuan dengan area 70 cm2 adalah sebagai berikut
(Rahayu, 2014):
1. Untuk mengurangi nyeri 1-2 w/cm2 kontinyu (serabut saraf)
selama 3-5 menit, 0,5-1 w/cm2 kontinyu (akar saraf dan ganglia)
selama 3-4 menit atau pulsed selama 6-8 menit.
21
2. Untuk mengurangi adhesi 1,5-3 w/cm2 kontinyu selama 4-6
menit. Durasi dan frekuensi terapi ultrasound sebaiknya
diberikan setiap hari dalam 3 kali seminggu.
Intensitas
ditentukan
oleh
aktualitas
patologi,
power
permukaan treatment head (W/cm2), bila ingin memberikan
intensitas dengan dosis rendah maka pemberian dengan pulsasi,
tergantung ukuran ERA dan rasa iritasi adalah hangat ringan, bila
ada keluhan sakit kepala, vertigo, kelelahan dan lain-lain maka
intensitas diturunkan. Pemberian kontinyu intensitas rendah adalah
0,3 W/cm2, bila medium 0,3-1,2 W/cm2, sedangkan intensitas
tinggi adalah 1,2-3 w/cm2 (Rahayu, 2014).
d. Indikasi ultrasound
Indikasi dalam penggunaan ultrasound perlu ditinjau dari
beberapa aspek yaitu efek dari ultrasound, spesifik jaringan yang
mempunyai nilai absorbsi yang berbeda pada tiap-tiap jaringan,
patologi dan luas daerah lesi, serta letak kedalaman jaringan.
Indikasi ultrasound itu sendiri diantaranya (Rahayu, 2014):
(a) Adhesi, tendinitis, sinovitis, sindroma miofasial
(b) Nyeri, spasme otot dan nyeri akibat disfungsi simpatis,
neuroma
(c) Neuralgia prepatelar traumatik, efusi akut lutut akibat trauma
(d) Haematoma, bengkak (swelling)
(e) Fraktur, proses penyembuhan luka dan kondisi bakteria
22
(f) Penyakit sirkulasi darah seperti penyakit raynud dan buerger,
suddeck dysthropie
(g) Kelainan pada kulit seperti jaringan parut operasi, luka bakar,
trauma
(h) Rheumatoid arthritis pada stadium tidak aktif
(i) Penyakit saraf seperti neuropati, phantom pain dan HNP.
e. Kontra Indikasi
1) Absolut : Mata, jantung, uterus wanita hamil, testis, epiphyscal
plate tulang anak yang belum matang, kanker/pasien dengan
pengobatan radioterapi dan penyakit kelainan darah seperti
haemophilia (Rahayu, 2014).
2) Relatif : Post laminektomi, hilangnya sensibilitas, tumor,
tromboplebitis,
varises,
diabetes
melitus,
sepsis,
inflamasi/infeksi akut, tuberkulosa tulang (Rahayu, 2014).
f. Mekanisme penurunan nyeri myofascial pain syndrome m.upper
trapezius pada modalitas ultrasound
Pemberian terapi menggunakan ultrasound mempunyai efek
mekanik
dan
heating.
Efek
mekanik
akan
menimbulkan
micromassage sehingga dapat mengenai taut band, menghancurkan
abnormal cross link yang ada pada fasia dan serabut otot yang
kemudian akan mengurangi nyeri regang. Pengaruh mekanik
tersebut juga akan menstimulasi saraf polimodal dan akan
dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memicu produksi “P
23
substance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder atau
dikenal ”neurogenic inflamation”. Namun dengan terangsangnya
“P substance” tersebut pada prinsipnya akan memacu proliferasi
fibroblast sehingga mempercepar terjadinya penyembuhan jaringan
yang mengalami kerusakan. Adanya pengaruh gosokan juga
membantu “venous dan lymphatic”, sehingga akan menghasilkan
pumping action (Sugijanto, 2008).
Efek heating akan memberikan panas lokal pada daerah otot
ataupun fasia yang dapat menimbulkan vasodilatasi pembuluh
darah dan menghasilkan peningkatan sirkulasi darah ke daerah
tersebut, sehingga zat-zat iritan penyebab nyeri dapat terangkat
dengan baik lalu masuk kembali ke dalam aliran darah, baik vena
dan limfe, sehingga membantu dalam mengatasi spasme otot.
Pengaruh panas dari ultrasound dapat membuat panas yang lain
yaitu bertambahnya aktivitas sel, vasodilatasi pembuluh darah yang
memberikan penambahan nutrisi, oksigen dan memperlancar
pengangkutan sisa metabolisme. Namun demikian efek termal pada
ultrasound pengaruhnya lebih kecil mengingat durasi panas yang
diperoleh hanya 1 (satu) menit pada tiap-tiap jaringan (Sugijanto,
2008).
24
2.4.2 Strain Counterstrain
a. Definisi
Strain counterstrain diperkenalkan oleh Lawrence Jones pada
tahun 1981. Jones mengemukakan pendapatnya bahwa banyak
sindrom gangguan fungsi somatik diiringi oleh trigger point.
Teknik ini menentukan lokasi trigger point kaitannya dengan
gangguan fungsi, kemudian memposisikan pasien sedemikian rupa
sehingga nyeri trigger point berkurang. Posisi dipertahankan
selama
90
detik,
kemudia
pasien
secara
perlahan-lahan
dikembalikan ke posisi normal. Jika teknik ini berhasil, maka nyeri
trigger point akan hilang atau berkurang drastis. Evaluasi pada lesi
artikular akan memperlihatkan pengembalian fungsi gerak. Teknik
ini dapat diaplikasikan pada semua area yang teridentifikasi trigger
point (Hartman, 1997).
Menurut Jones (1990), Strain counterstrain adalah teknik
untuk menurunkan nyeri spinal dan atau nyeri sendi lainnya dengan
memposisikan
sendi
secara
pasif
kedalam
posisi
yang
menimbulkan rasa paling enak, atau suatu teknik penurunan nyeri
melalui penurunan dan penahanan aktivitas proprioceptor yang
kurang
tepat
secara
terus
menerus.
Ketika
posisi
yang
mengenakkan dapat diperoleh (fine tuning), dimana nyeri dapat
menghilang dari monitoring palpasi pada tender point, maka
jaringan yang dirasakan terstress akan menjadi paling relaks. Strain
25
Counterstrain memungkinkan muscle spindle untuk menghentikan
informasi kontraksi kepada otot sehingga otot dapat rileks. Dengan
otot yang rileks dari sendi dengan sendirinya kembali ke posisi
normal secara spontan. Hal ini dimungkinkan dengan adanya otot
yang rileks dapat berfungsi secara optimal, meningkatkan ROM,
meningkatkan fleksibilitas. Strain Counterstrain adalah cara yang
efektif dan sangat lembut tritmennya karena SCS menggerakkan
bagian tubuh yang sakit menuju keposisi yang nyaman (Jones,
1990).
Strain Counterstrain dapat meningkatkan sirkulasi lokal,
mempercepat pasokan nutrisi dan pembuangan limbah metabolik
pada jaringan. Perbaikan sirkulasi akan mengurangi pembengkakan
yang dapat menghambat fungsi otot dan iskemia yang dapat
bermanifestasi sebagai TPS atau mempertahankan disfungsi
(Simons, 2003).
Efek sirkulasi dari SCS dimana fibroblast disekresikan oleh
pro-inflamasi interleukin dan sel proliferasi lebih menurun
dibandingkan dengan sel yang beristirahat. Setelah sirkulasi
beristirahat selama satu menit akan terjadi pelepasan posisi dimana
fibroblast disekresikan ke tingkat yang lebih rendah dari proinflamasi interleukin IL-6 dan proliferasi sel menigkat secara
signifikan dibandingkan dengan peregangan. Namun demikian,
tingkat penurunan IL-6, penting untuk menangani penyembuhan
26
inflamsai setelah cedera akut, dimana SCS dapat mempengaruhi
sirkulasi (Wibowo, 2013).
Perubahan yang cepat dalam otot akan memfasilitasi proses
penyembuhan pasien untuk pemulihan lebih cepat dan lebih
lengkap. Kelembutan SCS membuat aman dan efektif untuk
mengobati pasien yang rapuh (misalnya, bayi dengan torticollis,
pasien usia lanjut dengan osteoporosis, patah tulang, stress,
kehamilan atau pasien nyeri panggul, nyeri pasca operasi, dll) dan
rasa sakit yang terkait dengan sendi gerak berlebihan atau
hipermobilitas (Wibowo, 2013).
Strain Counterstrain adalah non-traumatik manual terapi
teknik yang dapat digunakan pada pasien nyeri muskuloskeletal.
Strain
Counterstrain
sangat
efektif
untuk
mengurangi
hipertonisitas otot, ketegangan fasia, meningkatkakn mobilitas
sendi,
meningkatkan
sirkulasi
pembengkakan, menurunkan nyeri,
lokal
dan
mengurangi
meningkatkan kekuatan.
Kotraindikasi SCS adalah ada luka terbuka, ada jahita, lesi kulit
lokal atau infeksi, hematoma dan hipersensitivitas kulit (Chaitow,
2003).
Strain Counterstrain pada prinsipnya bertujuan untuk
mengurangi nyeri dan menambah jarak gerak sendi dengan
demikian Strain Counterstrain dapat mengoreksi gangguan gerak
secara bertahap dan lembut berdasarkan prinsip biomekanik.
27
Menurut Giammatteo S & Kain J.B. (2005), strain counterstrain
dapat mengurangi nyeri pinggang bawah sampai 70%. Hasil
penelitian Bailey (2002) menunjukkan bahwa pemberian strain
counter strain tanpa pengobatan lain terhadap 25 penderita
whiplash setelah 20 menit beristirahat, 18 orang (72%) diantaranya
mengalami penurunan nyeri dan dapat menggerakkan leher sekitar
53% (Bailey, 2002).
Menurut Jones (1990) dan Chaitow (2003), dengan
memberikan posisi yang nyaman sambil memberikan friksi
sebanyak 20 kali secara bertahap pada setiap penambahan jarak
gerak sendi, ternyata pasien dapat menggerakkan sendinya lebih
longgar ke arah nyeri karena nyerinya berkurang saat itu dan
kekakuan sendi pun semakin berkurang. Menurut Jones (1990),
dengan memberikan penekanan pada trigger point di daerah yang
mengalami strain baik yang bersifat akut maupun kronik dapat
menghilangkan atau mengurangi perasaan nyeri pada daerah yang
dipalpasi, karena itu strain counterstrain merupakan salah satu
metode manipulasi yang efektif untuk mengatasi nyeri myofascial
terutama pada fase akut dalam batas toleransi penderita (Jones,
1990).
28
b. Konsep neurofisiologi strain counterstrain dalam mengurangi
nyeri
1. Penguraian nodul dan taut band
Strain Counterstrain dilakukan dengan cara stretching
secara perlahan dan bertahap ke arah posisi fisiologis sambil
melakukan friction selama 90 detik di titik pada area jaringan
lunak yang mengalami nyeri untuk merangsang orientasi serabut
fibrous melalui pemecahan atau penguraian jaringan parut yang
adhesif atau nodul yang terdapat di dalam serabut otot pada
myofascial pain syndrome. Dengan demikian akan terjadi
pengurangan nyeri dan penambahan jarak gerak sendi
berdasarkan mekanisme monosynoptic reflex dan reflextoar
fasilitation atas jasa Piezo Electric Effect (Chaitow, L. 2003).
Hans (Arysandi, 2001) mengemukakan bahwa friksi merupakan
bagian dari manipulasi untuk melepaskan perlengketan jaringan
yang mengalami adhessive untuk mengurangi spasme otot dan
menghilangkan
nodulus
pada
jaringan
lunak.
Mannel
mengatakan pemberian friksi menyebabkan terjadinya sedative
effect pada sistem saraf tepi dan juga mungkin pada saraf
motorik (Arysandi, 2001).
2. Efek Piezo Electric Charge
Dengan melakukan strain counterstrain pada myofascial
akan meningkatkan potensial listrik berupa peningkatan molekul
29
cairan di area myofascial tertentu (hydrating area) dikenal
dengan “Piezo Electrical Effect Connective Therapy” (Shea,
1996). Hydrating area connective tissue merupakan tahap awal
proses penyembuhan myofascial dysfunction dan articular
dysfunction. Fascia merupakan bagian dari connective tissue
yang terdiri atas kristal organik, semikonduktor, bersifat piezo
electrical charge. Jika konduktivitas elektriknya menurun, dapat
dicharges antara lain dengan strain counterstrain terhadap
crystal organic myofascia tersebut. Charges atau perangsangan
elektrik secara manual ini sangat penting karena merupakan
modal dasar pembentukan pola aktivitas normal tubuh. Melalui
cara ini sejumlah sel akan terancang dan membentuk connective
tissue dan sejumlah sel lainnya akan mencegah pembentukan
pola aktivitas tubuh yang tidak normal, seperti : nodulus dan
taut band. Karena nodulus dan taut band merupakan
pembentukan cross-link, dan ini tidak dapat dilalui oleh piezo
electric charge pada bagian tubuh tertentu. Pola aktivitas yang
tidak normal ini akan mengakibatkan keterbatasan ROM yang
dapat menghambat ADL dan jika digerakkan dengan paksa akan
menyebabkan cedera pada jaringan myofascial (Makmur, 2011).
3. Efek Reflekstoar atau Myostatic Stretch Reflex Gamma Loop
Konsep neuroreflekstoar adalah suatu konsep yang
ditujukan terhadap bagaimana mengatasi nyeri pada jaringan
30
tertentu dengan cara memberikan stimulasi terhadap jaringan
yang mengalami gangguan dengan memanfaatkan modalitas
fisik, antara lain dengan cara friksi pada myofascial trigger point
sehingga nodul-nodul dan taut band akan memecah dan terurai
di dalam serabut otot sehingga perlengketan jaringan akan
terlepas dan elastisitas jaringan myofascial akan kembali
normal. Setelah tercapai relaksasi, peningkatan vasodilatasi
pembuluh darah, peningkatan sirkulasi
O2 dan peningkatan
absorbsi “P”. Adapun mekanisme reflekstoarnya diperoleh
melalui stimulasi friksi yang dilakukan pada myofascial trigger
point tersebut akan merangsang tipe saraf IIIa untuk selanjutnya
direfleksikan ke medulla spinalis secara segmental vegetatif
untuk selanjutnya disampaikan ke sistem saraf pusat untuk
menstimulasi morpin dan endorpin dalam rangka memperkuat
atau lebih menurunkan kualitas nyeri pada jaringan yang
mengalami gangguan, melalui lintasan reflekstoar yang dikenal
dengan pain depressor. Hal mana efek dari terangsangnya tipe
saraf IIIa dan endomorpin tersebut akan membloking nociseptor
dengan demikian akan terjadi penurunan nyeri melalui efek
reflekstoar (Makmur, 2011).
31
c. Mekanisme penurunan nyeri pada myofascial pain syndrome
m.upper trapezius melalui strain counterstrain
Strain Counterstrain (SCS) adalah teknik khusus yang
digunakan untuk mengurangi nyeri pada gangguan myofascial pain
syndrome
dengan
merileksasi
otot
dengan
memperhambat
hyperaktivitas dari muscle spasme dengan menggerakkan otot yang
spasme dan sendi yang mengalami disfungsi secara pasif keposisi
yang nyaman dimana origo dan insersio didekatkan sehingga otot
ini memendek dan ada tekanan pada muscle spindle kemudian pada
posisi tersebut otot benar-benar dibuat rileks selama 90 detik
(Wibowo, 2013).
Dengan menggerakkan otot upper trapezius yang spasme
yang mengalami disfungsi secara pasif ke posisi yang nyaman
dimana posisi ini otot memendek dan diberikan tekanan pada
muscle spindle. Strain Counterstrain memungkinkan muscle
spindle untuk menghentikan informasi kontraksi kepada otot
sehingga otot dapat rileks. Dengan otot yang rileks, dengan
sendirinya kembali ke posisi yang normal secara spontan. Hal ini
dimungkinkan karena dengan otot yang rileks dapat berfungsi
secara optimal, dan mengurangi nyeri. Dengan relaksasi otot upper
trapezius tersebut maka sirkulasi lancar sehingga perbaikan nutrisi
terhadap jaringan otot jadi lebih baik, selain itu zat-zat
metabolisme akan mudah ditransportasikan kembali sehingga tidak
32
akan ada lagi zat akan merangsang nociceptor. Neuropraxia yang
terjadi akan hilang juga seiring denga rileksnya otot upper
trapezius yang saat terjadi ketegangan. Dengan keadaan seperti itu
maka nyeripun akan hilang (Wibowo, 2013).
2.4.3 Auto Stretching
a. Definisi
Auto stretching adalah metode penguluran yang biasa
dilakukan sendiri oleh pasien setelah diberikan intruksi atau latihan
terlebih dahulu. Stretching secara aktif meningkatkan mobilitas
secara aktif dan menguatkan otot agonis. Alasan penerapan tehnik
ini adalah bahwa kontraksi isotonic yang dilakukan saat auto
stretching
dari
otot
yang
mengalami
pemendekan
akan
menghasilkan otot memannjang secara maksimal tanpa perlawanan
(Rahayu, 2014).
Faktor yang berperan penting pada proses stretching yaitu :
Muscle Spindle atau reseptor stretch merupakan propioseptor
utama di dalam otot. Propioseptor yang lain yang ikut berperan
selama proses stretching terjadi berlokasi ditendon dekat dengan
akhir suatu serabut saraf otot dan disebut dengan golgi tendon
organ (Rahayu, 2014).
1) Muscle Spindle
Adalah organ sensoris pada otot yang terdiri dari serabut
kecil intrafusal yang terletak sejajar dengan serabut ekstrafusal.
33
Muscle spindle berfungsi memonitor kecepatan dan durasi
penguluran. Ketika otot terulur maka serabut intrafusal dan
ekstrafusal otot tersebut akan terulur.
2) Golgi Tendon Organ
Adalah suatu mekanisme proteksi yang meningkatkan
kontraksi otot dan memiliki threshold yang sangat lambat untuk
melaju setelah otot berkontraksi serta mempunyai threshold
yang tinggi pada saat dilakukan penguluran. Golgi tendon
dikelilingi oleh ujuna serabut ekstrafusal yang peka terhadap
tegangan otot yang disebabkan oleh pemberian stretching. Bila
penyebaran tegangan meluas dalam suatu otot, maka golgi
tendon organ melaju dan menimbulkan rileksasi otot.
b. Efek Fisiologis
Propioseptor adalah reseptor yang mendeteksi perubahan
dalam otot untuk diinformasikan kesusunan saraf pusat, dan dari
susunan saraf pusat diintruksikan untuk menyesuaian kondisi otot.
Dari kondisi ini timbul gerak tubuh baru untuk disesuaikan dengan
seluruh
rangkaian
gerak
tubuh
secara
sistematik.
Peran
propioceptor adalah mengirimkan aliran informasi secara terusmenerus (konstan) kepada susunan saraf pusat. Propioseptor dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu : muscle propioseptor
yang terdiri dari muscle spindle dan golgi tendon organs, joint and
skin propioseptor. Dari ketiga propioseptor tersebut, maka yang
34
berperan terhadap daya regang otot adalah muscle propioseptor,
yang terdiri dari muscle spindle dan golgi tendon organ (Rahayu,
2014).
Muscle spindle terletak di dalam otot yang merupakan suatu
resptor yang menerima rangsangan otot. Regangan yang cepat akan
menghasilkan impuls yang kuat pada muscle spindle. Muscle
spindle sangat berperan dalam proses pergerakan atau pengaturan
motorik. Peran muscle spindle dalam pengaturan motorik. Peran
muscle spindle dalam pengaturan motorik adalah (Rahayu, 2014):
1) Mendekati perubahan panjang serabut otot.
2) Mendeteksi kecepatan perubahan panjang otot.
Bila panjang serabut ekstrafusal jauh lebih besar dari panjang
serabut intrafusal, maka spindel menjadi terangsang untuk
berkontraksi. Sebaliknya, bila panjang serabut ekstrafusal lebih
kecil dari panjang serabut intrafusal, maka spindel menjadi
terinhibisi (keadaan yang menyebabkan reflek seketika untuk
menghambat terjadinya kontraksi otot) (Rahayu, 2014).
Golgi Tendon Organ (GTO) adalah stretch reseptor yang
terletak di dalalm tendon otot yang berada diluar perlekatan pada
serabut otot. Refleks GTO bisa terjadi akibat tegangan otot yang
berlebihan. Sinyal-sinyal dari GTO merambat ke medula spinalis
yang menyebabkan terjadinya hambatan respon (negative feedback) terhadap kontraksi otot yang terjadi. Hal ini untuk mencegah
35
terjadinya sobekan otot sebagai akibat tegangan yang berlebihan.
Selain sebagai perlindungan terjadinya sobekan otot dapat juga
bekerja sama dengan muscle spindle untuk mengontrol seluruh
kontraksi otot dala, pergerakan tubuh. Sedangkan peran golgi
tendon organ dalam proses pergerakan atau pengaturan motorik
adalah mendekati
ketegangan
selama
kontraksi
otot
atau
peregangan otot (Rahayu, 2014).
Sinyal dari golgi organ dihantarkan ke medula spinalis untuk
menyebabkan efek refleks pada otot yang bersangkutan. Efek
inhibisi dari golgi tendon organ menyebabkan rileksasi seluruh otot
secara tiba-tiba, terjadi pada waktu kontraksi atau regangan yang
kuat pada suatu tendon. Keadaan ini menyebabkan suatu refleks
seketika yang menghambat kontraksi otot serta tegangan dengan
cepat berkurang. Pengurangan tegangan dengan cepat berkurang.
Pengurangan tegangan ini berfungsi sebagai suatu mekanisme
proteksi untuk mencegah terjadinya robek pada otot atau lepasnya
tendon dari perlengketannya ke tulang (Rahayu, 2014).
c. Mekanisme pengurangan nyeri pada myofascial pain syndrome
m.upper trapezius melalui auto stretching
Pemberian auto stretching dapat mengurangi iritasi terhadap
saraf yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal cross link.
Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan auto stretching
serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika
36
hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa
serabut atau abnormal cross link akibat myofascial pain syndrome
(Sugijanto, 2008).
Auto stretching dapat bermanfaat pada serabut otot yang
mengalami nyeri miofasial. Serabut otot yang terganggu akan
menyebabkan penurunan elastisitas di dalam serabut otot akan
mengalami gangguan. Pemberian auto stretching yang dilakukan
secara perlahan akan menghasilkan peregangan pada sarkomer
sehingga peregangan akan mengembalikan elastisitas sarkomer
yang terganggu (Sugijanto, 2008).
Auto stretching dapat mencegah dan atau mengurangi
kekakuan dan perasaan yang tidak nyaman. Auto stretching
merupakan stretching yang efektif, karena berpengaruh terhadap
semua otot upper trapezius yang membatasi gerakan (Sugijanto,
2008).
Download