Nilai-nilai Ideologi dan Sikap Kepengarangan

advertisement
Nilai-nilai Ideologi dan Sikap Kepengarangan:
Sebuah Kajian atas Sastra Drama Karya N. Riantiarno 1
M.Yoesoef, M.Hum.
Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Abstrak
Nano Riantiarno menulis sastra drama sejak tahun 1970-an. Sampai saat ini tidak kurang dari 40 naskah
sastra drama yang telah dibuatnya dan dipentaskan oleh grup teater binaannya, yaitu Teater Koma. Satu hal
yang menjadi ciri khas dari karya-karya Nano Riantiarno adalah menampilkan tokoh-tokoh dari kalangan kelas
sosial menengah bawah, kendati ada juga karyanya yang menampilkan kelas sosial atau penguasa. Tampilnya
kalangan kelas sosial menengah bawah tersebut secara dominan pada sejumlah karyanya mengindikasikan
keberpihakan pengarang terhadap nasib dan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum marjinal tersebut. Karya
Nano Riantiarno yang ditulis tahun 1970-an dan empat di antaranya meraih penghargaan sayembara penulisan
naskah drama Dewan Kesenian Jakarta (1972, 1973, 1974, dan 1975), tahun 1980-an ia menulis kurang lebih
lima drama opera dan saduran dari penulis dunia seperti Bertolt Brecht, Friederich Durennmat, tahun 1990-an
menyadur cerita rakyat Tionghoa “Sampek dan Engtay”, “Opera Sembelit”, dan tahun 2000-an ia lebih banyak
membuat novel. Karya-karya dramanya itu menunjukkan sebuah perjalanan ideologi pengarang yang tidak
dapat dipisahkan dari motivasinya untuk menyoroti permasalahan yang mengemuka pada masanya.
Kajian dalam makalah ini pada dasarnya menyoroti nilai-nilai ideologis pengarang yang tersirat maupun
tersurat dari sejumlah karya tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah sosiologi sastra yang
berkaitan dengan pengarang, teks, dan konteks sosial pada masa karya itu ditulis atau dipertunjukkan. Karya
sastra merupakan dokumen sosial yang memuat pikiran, harapan, dan kritik pengarang (dan juga masyarakat
secara kolektif) terhadap situasi zaman.
Dengan memahami karya-karya sastra drama yang ditulis Nano Riantiarno diperoleh sebuah pemahaman
tentang persoalan orang-orang kecil yang bergumul dengan kehidupan metropolitan Jakarta. Karya-karya itu
juga dapat dilihat sebagai indikator adanya berbagai masalah sosial-politik-budaya Indonesia pada masanya.
Pendahuluan
Dalam kurun waktu tahun 1970-an disebutkan oleh Jakob Sumardjo sebagai masa keemasan
terater modern Indonesia. Sebutan yang dilansir oleh Jakob Sumardjo itu dilandaskan pada
tumbuhnya grup-grup teater, yang sebagian besar dibidani oleh Dewan Kesenian Jakarta melalui
kegiatan tahunan berupa Festival Teater Remaja Jakarta. Di samping itu, grup-grup teater seperti
Bengkel Teater Yogya, Teater Populer, Teater Lembaga, Teater Mandiri, Teater Kecil, Teater
1
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara 2010, Majelis Kesusastraan Asia
Tenggara (MASTERA), di Hotel Santika, Jakarta pada tanggal 27—28 September 2010.
SEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 1 Saja, Teater Koma, dan Studi Teater Bandung menjadi trend setter melalui karya-karya drama
yang dipentaskannya. Masa keemasan itu juga didukung oleh tradisi penulisan sastra drama yang
menunjukkan trend baru dibandingkan dengan tradisi penulisan sastra drama pada dekadedekade sebelumnya. Goenawan Mohamad dalam sebuah artikelnya dalam buku Seks Sastra Kita
(1980) mengungkapkan bahwa pada penciptaan karya Kapai-Kapai, Arifin C. Noer bersamaan
dengan proses latihannya, sehingga naskah itu dinyatakan selesai sesaat menjelang pertunjukan.
Bahkan, tidak jarang menjelang pertunjukan perubahan-perubahan pada naskah masih terus
berlanjut. Apa yang dikemukakan Goenawan Mohamad itu salah satu keunikan yang terjadi pada
masa tahun 1970-an. Dalam pada itu, Dewan Kesenian Jakarta menggiatkan penulisan sastra
drama melalui Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara yang kemudian menelurkan sejumlah
penulis baru sastra drama dan tidak kurang dari 50 naskah drama telah terseleksi melalui
sayembara itu. Salah satu di antara penulis yang karya-karyanya terseleksi dan kemudian sejak
tahun 1980-an hingga kini banyak menulis karya-karya bergaya opera dan mementaskan
bersama grup teaternya adalah Nano Riantiarno.
Nano Riantiarno menulis sastra drama sejak tahun 1970-an. Sampai saat ini tidak kurang dari 40
naskah sastra drama yang telah dibuatnya dan dipentaskan oleh grup teater binaannya, yaitu
Teater Koma. Satu hal yang menjadi ciri khas dari karya-karya Nano Riantiarno adalah
menampilkan tokoh-tokoh dari kalangan kelas sosial menengah bawah, kendati ada juga
karyanya yang menampilkan kelas sosial atas atau penguasa. Tampilnya kalangan kelas sosial
menengah bawah tersebut secara dominan pada sejumlah karyanya mengindikasikan
keberpihakan pengarang terhadap nasib dan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum marjinal
tersebut. Karya Nano Riantiarno yang ditulis tahun 1970-an dan empat di antaranya meraih
SEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 2 penghargaan sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta (1972, 1973, 1974,
dan 1975), tahun 1980-an ia menulis kurang lebih lima drama opera dan saduran dari penulis
dunia seperti Bertolt Brecht, Friederich Durennmat, tahun 1990-an menyadur cerita rakyat
Tionghoa “Sampek dan Engtay”, “Si Jin Kwie”, “Kenapa Leonardo”, dan tahun 2000-an ia lebih
banyak membuat novel. Karya-karya dramanya itu menunjukkan sebuah perjalanan ideologi
pengarang yang tidak dapat dipisahkan dari motivasinya untuk menyoroti permasalahan yang
mengemuka pada masanya.
Beberapa Karya Populer Nano Riantiarno
Debut pertama Nano Riantiarno dalam penulisan sastra drama ditandai dengan karyanya
“Rumah-rumah Kertas” (1972). Satu per satu karyanya lahir melalui Sayembara Penulisan
Naskah Sandiwara Dewan Kesenian Jakarta. Satu karyanya berjudul “Matahari Sore Bersinar
Lembayung” (1972) mendapat penghargaan dalam sayembara itu, kemudian, tahun 1973
karyanya “Tali-Tali”, dan pada tahun 1974, yaitu “Malam Semakin Kelam” memperoleh hadiah
pemenang harapan, tahun 1975 karyanya “Lingkaran Putih” dan “Maaf Maaf Maaf” Sejak itu,
karya-karyanya tidak tampil melalui sayembara itu, tetapi ia memfokuskan pada pengembangan
grupnya menjadi sebuah grup teater profesional dengan mementaskan karya-karyanya yang
semakin memperlihatkan gaya dan kekhasan Nano Riantiarno, seperti pada “Opera Primadona”
yang mengisahkan kehidupan anak wayang dalam kelompok sandiwara tahun 1920-an pada
masa jayanya Opera Dardanella di Surabaya atau Miss Riboet’s Orion di Jakarta.
Era tahun 1980-an, Nano Riantiarno mulai menulis sastra drama dengan model serial yang
menampilkan tokoh Julini dalam “Bom Waktu”, “Opera Kecoa” dan “Opera Julini”, dan trilogi
SEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 3 republik (Republik Togog, Republik, Bagong, dan Republik Petruk). Pola demikian sudah
dilakukan oleh Arifin C. Noer dengan serial Orkes Madun dengan tokoh Waska sebagai perekat
antarkarya. Tokoh Julini mewakili tokoh kelas bawah yang marjinal dari segi seksual, marjinal
dari segi sosial, dan marjinal dari segi kehidupan. Serial Julini inilah yang mengukuhkan Nano
Riantiarno sebagai penulis sastra drama bergaya opera. Memang bukan karya opera sebagaimana
lazimnya (cakapan-cakapan antartokoh sepenuhnya dinyanyikan dengan iringan music dan
gerak). Karya-karya Nano ini masih mencampurkan antara cakapan, nyanyian, musik, dan gerak.
Eksperimen pertunjukan yang dilakukan oleh Nano Riantiarno dalam serial Julini ini merupakan
hasil studinya dengan karya-karya opera epik model Bertolt Brecht, yang ia eujudkan juga dalam
karyanya “Opera Ikan Asin” yang merupakan saduran dari karya Bertolt Brecht “The Three
Penny Opera”. Sukses dengan saduran itu, ia semakin intens dengan model opera epik itu dan
lahirlah karya-karya seperti “Sandiwara Para Binatang” (George Orwell), “Sampek dan Eng
Tay”(cerita klasik Tiongkok). Sejumlah karya penulis dunia lainnya ia pentaskan, antara lain
“Kunjungan Nyonya Tua” (Friederich Durennmat), “Mengapa Leonardo”. Dalam hal menyikapi
perkembangan sosial politik di tanah air dalam dekade ’80 dan ’90-an, ia menuangkan kritik dan
tanggapannya melalui karya-karya antara lain “Semar Gugat”, “Suksesi”, “Konglomerat
Burisrawa”, “Opera Sembelit”, dan “Wanita-wanita Parlemen”.
Sikap Kepengarangan Nano Riantiarno
Menyimak sejumlah karya Nano Riantiarno tersebut, hal yang menarik untuk ditelaah adalah
sikap di balik pemilihan karya-karya penulis dunia dan penciptaan karya-karyanya itu yang
disuguhkan kepada masyarakat untuk diapresiasi melalui pertunjukan Teater Koma. Intuisi
seorang pemerhati, yang juga pernah menjadi wartawan media massa, tertuang dalam karyaSEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 4 karyanya itu. Setidaknya, dari kaca mata studi sosiologi sastra, sikap pengarang mewakili pula
pandangan dunia masyarakat atau kelas sosial sang pengarang itu. Dalam hal itu, tidak tertutup
pula adanya unsur-unsur ideologis yang berafiliasi pada pandangan partai politik, ideologi
masyarakat perkotaan, ideologi berlandaskan keagamaan, ketradisionalan, dan paham-paham
kritis kaum pascamodernisme yang berpikir global.
Nano Riantiarno, sebagai penulis sastra drama sekaligus sutradara, menunjukkan pandangan
dunia yang dapat dikatakan multidimensional. Dimensi pertama yang terlihat dari sejumlah
karya-karyanya adalah dimensi keindonesiaan (lokal), yang sarat dengan kekayaan budaya
tradisional, dipakai sebagai media untuk menampilkan gagasan-gagasannya. Idiom-idiom
wayang yang sudah lekat dengan pengetahuan kolektif masyarakat Indonesia dipakai sebagai
pengait (hook) yang efektif untuk melontarkan sikap-sikap kritisnya tentang konstelasi sosial,
budaya, ekonomi, dan politik di Indonesia. Dalam “Semar Gugat”, misalnya, Nano Riantiarno
menampilkan betapa Semar sebagai tokoh penting dalam dunia pewayangan harus kehilangan
makna karena terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Secara ekonomi,
nama tokoh itu dipakai untuk merek dagang, seperti Batik Semar, atau salah satu nama kuliner
khas Jawa, yaitu ‘semar mendem’. Secara politik, tokoh itu dipakai untuk legitimasi kekuasaan,
sehingga muncul sebuah lakon wayang carangan ‘Semar Mbabar Jati Diri’. Dalam konteks
drama karya Nano, tokoh Semar menuntut jati dirinya yang “tercemar” oleh kooptasi tersebut.
Semar adalah Ismaya adalah lambang kesuburan, keprihatinan, sang pamong yang adil,
bijaksana, dan rendah hati. Tokoh-tokoh pewayangan adalah ladang subur bagi Nano Riantiarno.
Ia menjadi sumber penciptaan yang tak pernah kering, karena pribadi dan lambang-lambang di
balik para tokoh itu sudah mapan. Burisrawa, misalnya adalah tokoh yang penuh angkara untuk
SEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 5 berada di posisi kekuasaan. Karakter tokoh ini dipandang cocok untuk menjadi tokoh sentral
dalam
drama
“Konglomerat
Burisrawa”.
Burisrawa
sendiri
dalam
pewayangan
merepresentasikan karakter kasar dan suka tertawa. Ia tergila-gila kepada Dewi Wara Sembadra.
Di tangan Nano Riantiarno, tokoh ini menjelma sebagai konglomerat yang serakah, terobsesi
dengan kekayaan, dan menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan termasuk menyogok
para pejabat. Jelas dari situ Nano Riantiarno melalui drama ini sedang menyoroti perilaku bisnis
para konglomerat yang memiliki megabisnis. Dunia pewayangan yang kaya dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan moral yang tinggi menjadi berdaya kembali melalui karya-karya Nano
Riantiarno. Dari hal itu, generasi muda metropolitan yang notabene kurang akrab lagi dengan
idiom-idio tradisional semacam wayang, seolah diperkenalkan kembali kepada tokoh-tokoh
pewayangan itu, kendati tidak secara utuh. Misalnya, siapa tokoh-tokoh punakawan itu dan
bagaimana sifat-sifat mereka masing-masing. Punakawan bukan saja Semar, Bagong, Petruk, dan
Gareng, tetapi diperkenalkan pula siapa Togog, Bilung, Limbuk, dan Cangik.
Dimensi kedua adalah dimensi mendunia (global), yaitu ditunjukkan melalui karya-karya
khazanah sastra dunia yang disadurnya ke dalam situasi dan suasana keindonesiaan (lokal).
Perkawinan dua dimensi itu tak urung melahirkan sebuah wacana baru dalam kehidupan teater
modern Indonesia dan tradisi penulisan sastra drama di Indonesia. Kendati perkawinan itu bukan
sebuah kebaruan sama sekali dalam tradisi seni pertunjukan di Indonesia. Transformasi ceritacerita epos Mahabarata dan Ramayana dari tradisi dan ajaran keagamaan Hindu ke tradisi dan
ajaran Islam (dan kejawen) merupakan salah contoh akulturasi melalui kesenian yang justru
memperkaya khazanah budaya masyarakat Indonesia. Demikian pula pada karya adaptasi yang
diciptakan Nano Riantiarno, seperti “Sampek dan Eng Tay” yang tragis sekaligus romantik dan
SEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 6 “Sie Jin Kwie” yang menampilkan sosok pahlawan. Keduanya merupakan khazanah cerita rakyat
Tiongkok. Drama epik Bertolt Brecht, the Threepenny Opera disadur menjadi Opera Ikan Asin
yang bermain di Batavia tahun 1925. Kisah kongkalikong antara penjahat dengan polisi yang
saling menguntungkan menjadi salah satu permasalahan dalam drama ini. Selain itu, dikisahkan
pula bagaimana penjahat itu mampu mempengaruhi pihak penguasa sehingga ia bebas dari jerat
hukuman mati. Bahkan menjadi wakil rakyat yang terhormat pada masa itu (Volksraad). Konsep
drama epik Brecht dengan efek alienasinya tidak menjadi penting lagi di tangan Nano
Riantiarno. Penonton tidak diarahkan untuk berjarak dan bersikap kritis terhadap realitas
panggung (sesuai dengan konsep drama epik Brecht), tetapi penonton disuguhi sebuah tontonan
kocak dan menghibur. Tontonan yang kocak dan menghibur itulah salah satu ciri keberhasilan
Nano Riantiarno dari setiap karya dan pertunjukannya. Dalam hal itulah, karya-karya Nano
Riantiarno menjadi sebuah wacana yang mengingatkan kembali bahwa akulturasi lokal-global
yang mampu memberikan pencerahan dan membuka kreativitas yang sangat luas.
Dalam hal sikap kepengarangan Nano Riantiarno sebagaimana direpresentasikan melalui karyakaryanya tersebut dapat ditemukan 1) sikap peduli kepada masyarakat kelas bawah; 2)
mengadopsi konsep tontonan yang humoris dan menghibur; 3) kritis terhadap fenomena sosial,
politik, ekonomi, dan budaya yang berkembang di masyarakat; 4) pemanfaatan potensi khazanah
budaya global dan lokal yang dimanfaatkan untuk mengusung gagasan-gagasannya dalam setiap
karyanya.
Nilai-nilai Ideologis pada Sastra Drama Karya Nano Riantiarno
SEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 7 Konseptualisasi sikap kepengarangan Nano Riantiarno sebagai telah dikemukakan di atas
merupakan pencerminan nilai-nilai ideologis yang dianutnya. Dalam hal itu, sikap tersebut
menjadi landasan sekaligus nilai-nilai yang menunjukkan satu pendekatan ideologis Nano
Riantiarno, yaitu ia memandang bahwa masyarakat memerlukan seorang “pahlawan” yang
mampu menyampaikan dan merepresentasikan sikap dan pikiran-pikirannya terkait dengan
berbagai isu sosial dan politik. Lakon “Republik Petruk”, “Republik Bagong”, dan Republik
Togog”, misalnya, adalah tiga karya Nano Riantiarno yang tidak lain merupakan representasi
wong cilik yang berkesempatan menjadi pemimpin/penguasa. Kisah-kisah itu sendiri diambil
dari cerita wayang “Petruk Jadi Raja” yang bergelar Prabu Petruk Belgeduwelbeh Tongtongsot.
Kisah itu sendiri adalah tentang pemimpin dadakan yang sesungguhnya tidak memiliki kapasitas
dan kualitas sebagai seorang pemimpin, tetapi tindakannya ternyata melampaui kepatutan dan
kekuasaan seorang pemimpin. Ia menjadi sangat otoriter, menghalalkan segala cara, dan
memanfaatkan kedudukannya untuk kepuasan dan kepentingan diri sendiri yang lazim kita sebut
sebagai 'aji mumpung'. Kejelian Nano Riantiarno menggarap kekayaan cerita wayang dan
karakater tokoh wayang dalam karya-karyanya itu dapat diasosiasikan sebagai sikap keprihatinan
dan kegeramannya terhadap perilaku oknum pemerintah dan pebisnis di Indonesia. Hasilnya
adalah masyarakat yang muak dan kecewa, tetapi tidak memiliki cukup sarana untuk meluapkan
dan menyalurkan opini dan persepsinya karena fasilitas untuk itu terkooptasi oleh kepentingan
oknum-oknum tersebut. Pahlawan-pahlawan itu berasal dari kalangan rakyat, orang kecil, yang
diharapkan dapat mengerti aspirasi, kebutuhan, dan pola pikir rakyat. Akan tetapi, pahlawan itu
ternyata menjadi makhluk asing yang tidak dikenal oleh masyarakatnya sendiri. Mereka bukan
'satria piningit' atau 'ratu adil' yang akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang
sudah lama didambakan. Pemilihan tokoh-tokoh pewayangan tersebut di dalam karya-karya
SEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 8 Nano Riantiarno memposisikan keberpihakannya pada moral-moral luhur yang diwujudkan
melalui cerita-cerita dan karakter wayang.
Di sisi lain, Nano Riantiarno melalui karya dramanya menunjukkan sikap yang berafiliasi pada
ideologi kesenian populer yang adiktif. Pengemasan pertunjukan hibrid dari sejumlah unsur seni
ditambah dengan kemasan humor-humor dalam bentuk sentilan merupakan “politik oposisi”
sederhana dan upaya pembongkaran terus-menerus atas ideologi-ideologi dominan yang tengah
bekerja. Karya-karya Nano Riantiarno adalah sebuah fiksi populer, sebagaimana fiksi-fiksi
populer lainnya (novel), sebagai ruang spesifik yang mengarahkan pembaca/penonton untuk
melakukan distraksi (pengalihan) dari kenyataan sekaligus mengalami kontradiktif terhadap
kenyataan itu sendiri. Pada trilogi opera Julini, pembaca/penonton disuguhi tokoh banci (Julini)
yang berarti pada karya itu ada isu tentang seksis yang secara ideologis mempertajam kategori
gender menjadi tiga, yaitu pria, wanita, dan banci (wadam). Pribadi-pribadi banci itu dalam
realitasnya, di satu sisi menimbulkan persoalan sosial dan di sisi lain—sebagai manusia,
pribadi—mereka mempunyai hak untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus dipandang sebagai
orang yang memiliki kelainan kepribadian. Hal itu sejalan dengan maraknya persoalan kaum
homoseksual di mancanegara yang menuntut pengakuan kesamaan hak, bahkan dalam
perkawinan.
Karya-karya Nano Riantiarno sejak tahun 1970-an hingga 2000-an dapat dikatakan sebuah
rangkuman ideologis yang menonjol pada waktu itu, yaitu kemiskinan; ketidakberdaayaan secara
social, politik, budaya; kekuasaan dan praktik main kuasa; modernitas dalam hal gaya hidup,
pandangan kritis tentang gender dan feminisme.
SEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 9 Kesimpulan
Kreativitas Nano Riantiarno sebagai seorang penulis drama, sutradara, dan pemimpin grup
Teater Koma sejak tahun 1970 hingga kini menunjukkan pencapaian prestasi yang sulit
ditandingi oleh penulis dan sutradara lain di Indonesia. Produktivitasnya bersastra dan berteater
menempatkan ia sebagai seniman yang berdedikasi tinggi. Karya-karyanya memiliki
multidimensi dalam hal pertunjukan, permasalahan yang diangkat (tematik), dan kepeduliannya
kepada gejala-gejala sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Di samping itu, dalam hal manajemen
pertunjukan, Nano Riantiarno membawa grupnya ke arah grup teater profesional dengan jumlah
hari dan penonton yang senantiasa bertambah.***
Daftar Kepustakaan
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Elam, Keir. 1980. The Semiotics of Theatre and Drama. New York: Methuen & Co. Ltd.
Esslin, Martin. 1976. An Anatomy of Drama. New York: Hill and Wang.
Riantiarno, Nano. 2004. Opera Kecoa. Yogyakarta: Matahari.
--------------------- 2005. Maaf, Maaf, Maaf: Politik Cinta Dasamuka. Jakarta: Gramedia.
--------------------- 1995. Semar Gugat. Yogyakarta: Bentang.
--------------------- 1998. Opera Sembelit. Jakarta: Balai Pustaka.
--------------------- 1999. Opera Ikan Asin. Jakarta: Pustaka Jaya.
Storey, John. 1996. Cultural Studies and the Study of Popular Culture: Theories and Methods.
Athens: The University of Georgia Press.
SEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 10 Curriculum Vitae
M. Yoesoef, M. Hum.
Staf Pengajar Departemen Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Di Program Studi Indonesia FIB UI, ia mengajar mata kuliah Pengkajian Drama, Metode Penelitian Sastra, Manusia dan Kesenian Indonesia, Tradisi Sastra Nusantara, Apresiasi Seni, dan Perkembangan Masyarakat dan Kesenian di Indonesia untuk mahasiswa S1. Perhatiannya terhadap dunia teater Indonesia bermula dari aktivitas teater pada tahun 1977 dalam Festival Teater Remaja. Sejak masuk Fakultas Sastra UI tahun 1981, pembelajaran tentang teater dan seni pertunjukan semakin intens. Skripsi S1‐nya membahas tentang drama‐drama karya Usmar Ismail pada zaman Jepang (1942—1945) dengan tinjauan sosiologi sastra; tesis S2‐nya menganalisis aspek kekuasaan di dalam karya‐karya W.S. Rendra. Karya sastra drama yang pernah ditulisnya antara lain “Bunga Roos dari Tjikembang” (berdasarkan novel karya Kwee Tek Hoay dengan judul yang sama); “Perang”, “Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari”, dan “Suara Hati dari Ranah Minang” (dipentaskan oleh para mahasiswa Jurusan Indonesia di Osaka University of Foreign Studies, Jepang); “Venus van Preanger atawa Oeler jang Tjantik” (berdasarkan novel karya Soe Lie Pit). Menyutradari sejumlah pertunjukan drama bersama Teater Pagupon sejak tahun 1983—1998. Naskah drama yang pernah digarap antara lain “Brown Sang Dewa Agung” (Eugene O’Neill), “Lelakon Raden Beij Soerio Retno” (F. Wiggers), “Bunga Roos dari Tjikembang” (Yoesoev), dan “Jaka Tarub” (Akhudiat), “Singa” (Wole Soyinka) SEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 11 Beberapa hasil penelitian yang telah dikerjakan adalah “Film Horor: Sebuah Definisi yang
Berubah”, “Perempuan dalam Sajak-sajak Chairil Anwar”, “Cerpen-cerpen Utuy Tatang
Sontani”, “Drama di Masa Pendudukan Jepang (1942—1945): Sebuah Catatan”, “Perempuan
dalam Perjalanan Teater Modern Indonesia”, “Kisah Mangir di Tangan Pramoedya Ananta
Toer”.
SEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 12 
Download