bab 2 landasan teori

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Pada sub bab ini akan dijelaskan berbagai ulasan teori mengenai pemasaran
secara umum beserta variabel-variabel yang diteliti yaitu store atmosphere,
experiential marketing, brand image dan customer behavioral intention.
2.1.1 Definisi Pemasaran
Kotler & Amstrong (2010:29) berpendapat bahwa pemasaran meliputi proses
sosial dan manajerial yang dilakukan oleh individu dan organisasi untuk
mendapatkan yang mereka inginkan dan butuhkan melalui penciptaan dan pertukaran
nilai.
Dan terdapat sedikit tambahan mengenai pemasaran yang lebih jelas dan
lengkap menurut Kotler & Amstrong (2012:29), pemasaran (marketing) merupakan
suatu proses bekerja dengan pasar sasaran untuk mewujudkan pertukaran yang
potensial dengan maksud memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia,
membangun hubungan yang menguntungkan serta memahami kebutuhan-kebutuhan
pelanggan, membangun produk yang menyediakan nilai secara unggul, menetapkan
harga, mendistribusikan, serta mempromosikannya secara efektif, sehingga produk
akan terjual secara lebih mudah.
Namun dari pejelasan di atas, pada dasarnya pemasaran digunakan untuk
mengindentifikasi,
dan
menciptakan
nilai-nilai
yang
dibutuhkan
oleh
konsumensehingga terjadinya transaksi yang pada akhirnya memberikan keuntungan
kepada perusahaan dan pihak lainnya. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat
AMA (The American Marketing Association) dalam buku Kotler edisi 14th yang
menyatakan “Marketing is the activity,set of institutions,and processes for creating,
communicating,delivering, and exchanging offerings that have value for customers,
clients, partners, and society at large” yang berarti bahwa marketing adalah sebuah
aktivitas, mengatur lembaga atau institusi, serangkaian proses dalam membuat,
mengkomunikasikan, menyalurkan dan melakukan pertukaran yang menguntungkan
atau bernilai bagi pelanggan, klien, mitra, dan masyarakat (Kotler & Keller, 2014:5).
11
12
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemasaran adalah sebuah proses
dimana pemasar melakukan target pasar, memahami kebutuhan-kebutuhan
konsumen, menciptakan produk tersebut dengan nilai yang unggul, menetapkan
harga yang sesuai ,mengkomunikasikan, mendistribusikan dan mempromosikannya
secara efektif, agar produk mudah dijual dan tentu tetap dilanjutkan membina
hubungan baik dengan pelanggan agar terus terciptanya pembelian ulang.
2.1.2 Store Atmosphere
2.1.2.1 Store atau toko
Store (Toko) adalah sebuah tempat yang di dalamnya terdapat berbagai
produk yang ditawarkan oleh pemilik bisnis kepada pelanggan dan adanya interaksi
jual-beli antar pelanggan dengan pemiliki toko. Dan biasanya sebuah toko memiliki
karakteristik atau ciri-ciri dari tampilan toko yang menggambarkan produk yang
ditawarkan.
2.1.2.2 Atmosphere atau suasana
Berdasarkan kutipan (Hoffman,2002) “The use of atmospherics to create
environments and its influence on the behavior of individuals is referred to as
environmental psychology” dari pernyataan tersebut disimpulkan bahwa dengan
menciptakan suasana tentu dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang secara
individu.
Sedangkan menurut Levy & Weitz (2007:576)dalam bukunya “Retailing
Management” mengatakan bahwa: "Atmosphere refers to the
design of an
environment via visual communications, lighting, colors, music, and scent to
stimulate customers’ perceptual and emotional responses and ultimately to affect
their purchase behaviour” dari pernyataan tersebut disimpulkan bahwa atmosphere
atau suasana yang baik ditentukan oleh komunikasi visual, cahaya, warna, music dan
aroma yang dapat menstimulasi persepsi dan respon pelanggan yang akhirnya
mempengaruhi perilaku pembelian mereka.
2.1.2.3 Store Atmosphere
Dari penjelasan mengenai store dan atmosphere dapat disimpulkan saling
berhubungan. store atmosphere merupakan salah satu hal yang paling penting dalam
dunia retail karena dalam proses pembelian yang dilakukan pelanggan tidak hanya
13
berdasarkan produk atau jasa yang diinginkan tetapi suasana lingkungan yang
nyaman dan menarik yang diciptakan oleh pemilik toko. Kesimpulan tersebut
diperkuat oleh pendapat dari para pakar mengenai store atmosphere yaitu:
Menurut pendapat Levy & Weitz (2007) yang menyatakan bahwa“Customer
purchasing behavior is also influenced by the store atmosphere". Yang berarti store
atmosphere atau suasana toko mempengaruhi tingkah laku pembelian .
Dalam buku marketing management Kotler (2005) berpendapat bahwa store
atmosphere (suasana toko) adalah suasana terencana yang sesuai dengan pasar
sasarannya dan dapat menarik konsumen untuk membeli.
Dan ditambahkan oleh Levy & Weitz (2007:434) menyatakan “Store
Atmosphere reflects the combination of store’s physical characteristics, such as it’s
architecture, layout, sign and displays, colours, lighting, temperature, sounds, and
smells, which together create an image in the customers mind” diartikan bahwa
store atmosphere yang baik merupakan kombinasi dari karakter fisik toko,arsitektur,
tampilan, warna, cahaya, suhu, suara, dan aroma yang secara bersamaan akan
memciptakan sebuah citra dalam benak pelanggan.
Kotler berpendapat dalam jurnal (Farias et.all: 2014) bahwa dengan dengan
membuat sebuah design store yang menarik akan menimbulkan sebuah rasa
emosional individu yang tentu dapat meningkatkan ketertarikannya dalam berbelanja
dalam sebuah store.
Dan menurut pendapat Berman & Evan (2009) dalam junal (Han Shen Chen,
2010) bahwa
store
atmosphere
memiliki elemen-elemen yang
semuanya
berpengaruh terhadap suasana toko yang ingin diciptakan. Elemen-elemen tersebut
terdiri dari exterior, interior, store layout,and interior display.
2.1.2.4 Elemen Store Atmosphere
Turley & Milliman dalam jurnal (Han Shen Chen, 2010) menambahkan
pendapat Berman & Evan yang dimana mengatakan bahwa store atmosphere
memiliki 5 elemen yaitu sebagai berikut :
1.
Exterior Variables
Karakteristik Exterior mempunyai pengaruh kuat pada citra toko tersebut,
sehingga harus direncanakan sebaik mungkin. Kombinasi dari Exterior ini
dapat membuat bagian luar toko menjadi terlihat unik, menarik, menonjol
14
dan mengundang orang untuk masuk ke dalam toko.Salah satu element
exterior variables ini terdiri sebagai berikut:
a. Architectural Style
Gaya Arsitektur dari suatu toko atau outlet harus mencerminkan
keunikan, kemantapan, kekokohan atau hal-hal lain yang sesuai dengan
citra toko tersebut. Konsumen baru sering menilai toko dari penampilan
luarnya terlebih dahulu sehingga exterior merupakan faktor penting
untuk mempengaruhi konsumen untuk mengunjungi toko dalam hal ini
direpresentasikan oleh gaya arsitektur dari toko tersebut.
b. Surrounding Stores
Citra toko atau outlet dipengaruhi oleh keadaan sekitar dimana toko
tersebut berada. Keberadaan toko harus unik sehingga konsumen dapat
melihat dengan jelas keberadaan suatu toko sekalipun dikelilingi oleh
toko-toko pesaing lain yang ada di sekitarnya.
2.
General Interior Variables
General Interior dari suatu toko harus dirancang untuk memaksimalkan visual
merchandising. Seperti kita ketahui, iklan dapat menarik pembeli untuk datang
ke toko, tapi yang paling utama yang dapat membuat penjualan setelah
pembelian berada di toko adalah display.
Display yang baik yaitu yang dapat menarik perhatian pengunjung dan
membantu mereka agar mudah mengamati, memeriksa, dan memilih barangbarang itu dan akhirnya melakukan pembelian ketika konsumen masuk ke
dalam toko, ada banyak hal yang akan mempengaruhi persepsi mereka pada
toko tersebut.
Elemen-elemen General Interior terdiri dari:
a. Color Schemes
Penentuan jenis warna penting karena kosumen dapat mengembangkan
persepsi mereka berdasarkan apa yang mereka lihat.
b. Lighting
Setiap toko harus mempunyai pencahayaan yang cukup untuk mengarahkan
atau menarik perhatian konsumen ke daerah tertentu dari toko. Tata cahaya
yang baik mempunyai kualitas dan warna yang dapat membuat produkproduk yang ditawarkan terlihat lebih menarik, terlihat berbeda bila
dibandingkan dengan keadaan yang sebenarnya.
15
3.
Store Layout and Design Variables
Layout toko akan mengundang masuk atau menyebabkan pelanggan menjauhi
toko tersebut ketika konsumen melihat bagian dalam toko melalui jendela
etalase atau pintu masuk. Layout toko yang baik akan mampu mengundang
konsumen untuk betah berkeliling lebih lama dan membelanjakan uangnya
lebih banyak.
Elemen yang diperlukan ialah:
a. Furniture
Pemilihan furniture yang unik akan sangat membantu menarik konsumen
untuk semakin memperhatikan keadaan di dalam toko.
b. Placement of Cash Register
Pengalokasian layout kasir pun tidak boleh dikesampingkan. Sebisa
mungkin kasir ditempatkan di posisi yang mudah dijangkau oleh para
pelanggan.
4.
Point of Puchase and Decoration Variables
Setiap jenis point-of-purchase display menyediakan informasi kepada
pelanggan untuk mempengaruhi suasana lingkungan toko. Tujuan utama
interior display adalah untuk meningkatkan penjualan dan keuntungan toko
tersebut. Interior (point-of-purchase) display terdiri dari:
a. Product display
Tampilan produk yang menarik akan sangat meningkatkan emosi konsumen
pada saat berada di toko tersebut.
b. Price display
Dengan adanya tampilan harga seperti adanya promosi harga yang tertera
juga dapat menarik perhatian pelanggan.
5.
Human Variables
a. Employee Uniforms
Karyawan yang sopan, ramah, berpenampilan menarik dan sopan serta
mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai produk yang dijual, akan
meningkatkan citra perusahaan dan loyalitas konsumen.
b. Crowding
Kenyamanan suatu tempat menentukan citra suatu toko atau outlet. Toko
yang tidak terlalu ramai disukai oleh beberapa konsumen karena membuat
16
mereka lebih nyaman pada saat berada di toko tersebut. Tapi disisi lain, toko
yang ramai justru punya market tersendiri, karena munculnya anggapan
bahwa keramaian konsumen menandakan adanya sesuatu yang spesial dari
toko tersebut.
2.1.3 Experiential marketing
Perkembangan zaman dari tahun ke tahun membuat adanya perubahanperubahan pada strategi pemasaran menjadi semakin modern. Salah satu strategi
pemasaran modern yang sekarang menjadi andalan banyak perusahaan-perusahaan
besar adalah experiential marketing. Seperti di dalam jurnal (Maghnati Farshad
et.al,2012) yang diiungkapkan oleh Kotler yaitu modern marketing sudah
mengantikan tradisional marketing yang dimana lebih memfokuskan terhadap
konsep bukan lagi pada produk dan jasa, konsep yang bisa memberikan sebuah
pengalaman kepada pelanggan. experiential marketing pada dasarnya memiliki arti
yaitu memberikan pengalaman-pengalaman bagi pelanggan. Di bawah ini akan
dijelaskan definisi-definisi yang jelas mengenai experiential marketing berdasarkan
para pakar managemen dan peneliti sebelumnya. Tentunya para pakar managemen
maupun para peneliti sebelumnya memiliki pendapat yang sedikit berbeda mengenai
experiential marketing.
Seperti yang dikatakan Andreani (2007), experiential marketing adalah lebih
dari sekedar memberikan informasi dan peluang pada pelanggan untuk memperoleh
pengalaman atas keuntungan yang didapat dari produk atau jasa itu sendiri tetapi
juga
membangkitkan
emosi
dan
perasaan
yang
berdampak
terhadap
pemasaran,khususnya penjualan.
Sedangkan menurut Smilansky (2009) menyatakan bahwa experiential
marketing adalah proses mengidentifikasi dan memuaskan kebutuhan dan keinginan
yang menguntungkan konsumen, dengan melibatkan mereka melalui komunikasi dua
arah yang membawa kepribadian merek pada kehidupan konsumen yang menjadi
target, untuk dapat berkembang dan menambah nilai produk pada sasaran yang
menjadi target.
Hemsley di dalam Marketing Week (2006) menganggap experiential
marketing sebagai interaksi langsung yang bertujuan untuk mengkomunikasikan
kepribadian merek agar dapat mengubah persepsi dan perilaku konsumen,
17
mengaktifkan merek agar konsumen dapat melihat, bahkan merasakan pengalaman
emosional dari suatu merek.
Semua penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya berkaitan dengan
experiential marketing mengacu pada teori Bernd H. Schmitt selaku pakar yang
menncetuskan konsep experiential marketing. Schmitt mengatakan dalam jurnal
(Mei Ying Wu,2015) bahwa experiential marketing merupakan sebuah proses dalam
menciptakan sebuah pengalaman yang dimana pelanggan diberikan sebuah stimuli
melalui panca indera, perasaan, pikiran, aksi dan hubungan terhadap produk yang
ditawarkan dan mendapatkan pengalaman-pengalaman yang dapat meningkatkan
kesadaran sebuah merek dan nilai produk.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa experiential marketing berbeda
dan sudah mengantikan traditional marketing yang hanya menekankan produk atau
jasa untuk menarik perhatian konsumen agar penjualan meningkat (Chou, 2009:994).
Perbedaan tersebut dideskripsikan melalui karakteristik utama dari experiential
marketing yang diadaptasi dari pendapat Schmitt sebagai berikut:
1) Fokus pada pengalaman konsumen
Pengalaman terjadi melalui perjumpaan dengan suatu situasi. Pengalaman
merupakan stimulasi terhadap panca indera, perasaan, dan pikiran
seseorang. Maka pengalaman memberikan nilai sensorik, emosional,
kognitif, perilaku, dan relasional yang menggantikan nilai fungsional.
2) Situasi konsumsi sebagai pengalaman holistik
Fokus pada produk apa yang sesuai dengan situasi konsumsi serta
bagaimana produk, kemasan, dan media komunikasi dapat meningkatkan
pengalaman konsumsi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa periode pasca
pembelian (pada saat konsumsi) merupakan hal yang terpenting dalam
experiential marketing.
3) Memahami pendorong rasional dan emosional konsumen
Konsumen tidak hanya dimotivasi oleh pemikiran rasional dalam
pengambilan keputusan pembelian, tetapi juga dipengaruhi oleh emosi
karena konsumen ingin mendapatkan pengalaman konsumsi yang
menyenangkan.
Dari berbagai pendapat para peneliti sebelumnya dan para pakar dapat
disimpulkan bahwa penerapan experiential marketing tidak hanya berfokus pada
produk dan jasa yang ditujukan untuk meningkatkan penjualan dan profit perusahaan
18
saja, namun lebih fokus memberikan pengalaman-pengalaman kepada pelanggan
yang tentunya untuk mempertahankan hubungan dengan pelanggan agar terciptanya
loyalitas pelanggan.
2.1.3.1 Dimensi Experiential Marketing
Schmitt berpendapat dalam Jurnal (Alkilani et.al,2013) bahwa di dalam
experiential marketing terdapat strategic experiential modules yang dimana terdapat
5 tipe pengalaman konsumen yang menjadi struktur experiential marketing. 5 tipe
pengalaman tersebut adalah sebagai berikut:
1) Senses
Senses melibatkan rangsangan fisik yang direspon oleh panca indera, dapat
berupa ciri-ciri visual atau verbal yang dapat menciptakan kesan secara utuh.
Sense marketing berkaitan dengan penciptaan pengalaman panca indera
melalui penglihatan (sight), pendengaran (hearing), peraba (touch), perasa
(taste), dan penciuman (smell). Sense marketing digunakan untuk
membedakan
perusahaan
dan produk, memotivasi pelanggan,
serta
memberikan nilai tambah bagi produk. Kunci sukses dalam menciptakan
pengalaman panca indera adalah dengan menjamin konsistensi dan
menciptakan keragaman.
2) Emotions/feel
Perasaan berbeda dari pengalaman sensorik karena melibatkan aspek batin
atau spiritual seseorang. Feel marketing bertujuan untuk mempengaruhi
perasaan terdalam/batin (inner feeling) dan emosi konsumen dengan
menciptakan perasaan positif terhadap merek serta kesan yang diasosiasikan
dengan kegembiraan atau kebanggaan.
3) Intellect/think
Think marketing bertujuan untuk menciptakan pengalaman kognitif dan
problem-solving yang menuntut konsumen untuk berpikir kreatif. Menurut
Guilford (Li, 2008:99) pemikiran dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
pemikiran konvergen dan divergen. Pemikiran konvergen berarti menganalisa
dan menyimpulkan masalah yang spesifik. Sedangkan pemikiran divergen
merupakan proses berpikir untuk menghasilkan ide-ide kreatif dengan
mengeksplorasi berbagai kemungkinan solusi atas masalah.
19
4) Actions/Act
Act marketing dirancang untuk menciptakan pengalaman yang berkaitan
dengan jasmani fisik, pola perilaku yang nyata dangaya hidup. Kesuksesan
act marketing tergantung pada penciptaan produk yang tepat, stimulasi, dan
atmosfer untuk merangsang pelanggan melakukan pembelian.
5) Connections/relate
Relate mencakup nilai budaya dan kelompok referensi yang menjadi acuan
dan identitas sosial bagi individu. Relate marketing meliputi aspek sense, feel,
think, dan act. Relate marketing bertujuan untuk memberikan pengalaman
individual sehingga individu dapat menghubungkannya dengan konsep diri,
budaya, atau orang lain.
2.1.4 Merek atau Brand
Menurut American Marketing Association (AMA 2012) bahwa merek atau
brand memiliki definisi yaitu “ Sebuah nama, istilah, tanda, lambang, atau desain,
atau kombinasinya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang dan jasa
dari satu penjual atau kelompok penjual dan mendiferensiasikan produk atau jasa
dari pesaing.” (Keller, 2013:30).
Sedangkan menurut Kurtz (2008: 378) menyatakan bahwa merek atau brand
adalah nama, istilah, tanda, simbol, desain, atau sejumlah kombinasi yang
mengindentifikasikan sebuah perusahaan yang membedakannya dai kompetitor.
Menurut Kotler (2005:82) ada enam tingkatan arti dari suatu merek, yaitu :
1. Attribute (Atribut)
Sebuah merek diharapkan mengingatkan suatu atribut atau sifat-sifat tertentu.
Atribut perlu dikelola dan diciptakan agar pelanggan dapat mengetahui
dengan pasti atribut apa saja yang terkandung dalam suatu merek
2. Benefit (Manfaat)
Suatu merek lebih dari seperangkat atribut.Pelanggan tidak membeli atribut,
mereka membeli manfaat. Produsen harus dapat menerjemahkan manfaat
fungsional maupun manfaat emosional.
3. Culture (Budaya)
Merek juga mewakili budaya tertentu.
20
4. Personality (Personal)
Merek juga merancang kepribadian tertentu bagi para penggunanya. Jadi
dengan menggunakan merek kepribadian si pengguna akan tercermin
bersama dengan merek yang dia gunakan.
5. User (Pemakai)
Merek menunjukkan jenis konsumen dan kelompok konsumen yang
berkunjung, dan membeli produk tersebut.
Berdasarkan pendapat para pakar mengenai brand, dapat disimpulkan bahwa
brand adalah sebuah nama, istilah, simbol, desain atau kombinasi dari semuanya
yang mengidentifikasi pembuat atau penjual dari suatu produk atau jasa dan
menciptakan nilai berbeda antara produknya dengan produk pesaing.
2.1.4.1 Citra Merek (Brand Image)
Menurut Supranto & Limakrisna (2007:132) menyatakan bahwa citra merek
atau brand image adalah apa yang customer pikir atau rasakan ketika mereka
mendengar atau melihat nama suatu merek atau pada intinya apa yang customer telah
pelajari tentang merek.
Sedangkan menurut Tjiptono (2005), citra merek atau brand image adalah
pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan
kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk, geografis, harga, pesaing,selebritis,
dan lain-lain. Kesan-kesan yang terkait merek akan semakin meningkat dengan
semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek atau
dengan semakin seringnya penampakan merek tersebut dalam strategi komunikasi.
Sebuah merek adalah seperangkat asosiasi, biasanya terangkai dalam berbagai
bentuk yang bermanfaat. Dan menurut Tjiptono dalam bukunya di tahun (2011:112),
Brand Image adalah deskripsi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap
merek tertentu.
Berbeda dengan pendapat Shimp (2007:38), menyatakan bahwa citra merek
atau brand image didasari oleh berbagai ketertarikan yang dikembangkan oleh
konsumen setiap waktu, brand, seperti manusia dapat berupa gagasan yang memiliki
masing-masing personality. Suatu brand image yang positif akan membuat
konsumen menyukai suatu produk dengan merek yang bersangkutan dikemudian
hari, sedangkan bagi produsen brand image yang baik dapat membantu kegiatan
perusahaan dalam proses pemasaran.
21
Citra merek atau brand image merupakan sebuah persepsi atau pandangan
masyarakat terhadap perusahaan atau produknya. Citra merek atau brand image yang
baik tentang produk akan menguntungkan perusahaan karena konsumen secara tidak
disadarikemungkinan akan merekomendasikan produk kepada orang lain. Sebaliknya
jika citra merek atau brand image sebuah produk atau perusahaan buruk makaakan
membuat konsumen menyebarkan informasi negatif kepada orang lain.
Menurut Freddy Rangkuti (2009:90) citra merek atau brand image adalah
persepsi merek yang dihubungkan dengan asosiasi merek yang melekat dalam
ingatan konsumen. Dan menurut Keller (2008) mengatakan bahwa dalam membuat
sebuah brand image yang positif di mata konsumen dapat diambil dari program
pemasaran,yaitu hubungan yang kuat, sesuatu yang menyenangkan, asosiasi yang
unik untuk melekatkan brand dalam ingatan pelanggan.
Dan menurut Aaker dalam Jurnal (Malik et.al, 2012) mengatakan bahwa citra
merek atau brand image merupakan satu set asosiasi, biasanya diselenggarakan
dalam beberapa cara yang berarti dan dilanjutkan menurut keller dalam jurnal yang
sama mengatakan bahwa persepsi tentang merek tercermin oleh asosiasi merek yang
diselenggarakan dimemori konsumen.
Berdasarkan pendapat dari berbagai pakar dan peneliti sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa citra merek atau brand image adalah sebuah persepsi konsumen
terhadap sebuah produk , jasa ataupun perusahaan itu sendiri berdasarkan atribut
produk, harga, identitas merek, mamfaat dan lain-lain yang terkandung di dalam
brand tersebut, yang dimana jika citra atau brand image yang baik tentu akan
menguntungkan perusahaan seperti melalui word-of-mouth yang positif, dan jika
citra yang buruk tentu akan merugikan perusahaan.
2.1.4.2 Dimensi Citra Merek
Menurut Biel dalam jurnal (Malik et.al,2012) brand image memiliki tiga
komponen yaitu corporate image (citra perusahaan), user image (citra pemakai), dan
product image (citra produk). Penjelasannya sebagai berikut:
1. Citra perusahaan (Corporate Image) adalah sekumpulan asosiasi yang
dipersepsikan konsumen terhadap perusahaan yang membuat suatu produk
atau jasa.
22
2. Citra konsumen (User Image) adalah sekumpulan asosiasi yang dipersepsikan
konsumen terhadap pemakai yang menggunakan suatu barang atau jasa.
Meliputi : user, gaya hidup, dan status sosial.
3. Citra produk (Product Image) adalah sekumpulan asosiasi yang dipersepsikan
konsumen terhadap suatu produk. Meliputi atribut produk tersebut, manfaat
bagi konsumen, penggunanya, serta jaminan.
Citra dari sebuah perusahaan berawal dari perasaan konsumen dan para pelaku
bisnis tentang organisasi yang bersangkutan sebagai produsen produk tersebut
sekaligus sebagai hasil evaluasi individual tentang hal tersebut.
2.1.5 Customer Behavioral Intention
Perilaku atau behavior adalah sebuah tindakan nyata yang dilakukan
konsumen terhadap sesuatu yang dapat diamati secara langsung. Perilaku konsumen
berhubungan dengan apa yang dilakukan oleh konsumen. Perilaku konsumen adalah
keseluruhan
tindakan
konsumen
yang
berhubungan
dengan
konsumsi,
akuisisi,waktu, ide dan lain-lain.
Menurut pemikiran Schiffman dan Kanuk yang dikutip oleh (Samuel,
Kosasih dan Novia ,2007:74) mengatakan bahwa perilaku konsumen adalah perilaku
konsumen pada saat mencari, menggunakan, mengevaluasi, dan mengganti produk
dan jasa untuk dapat memuaskan kebutuhannya. Menurut
Hoyer dan Macinnis
(2008:3) berpendapat bahwa perilaku konsumen tidak hanya berhubungan dengan
sesuatu yang berwujud seperti barang kebutuhan dan lain-lain, tetapi juga mencakup
hal-hal yang tidak berwujud seperti pelayanan, aktivitas, pengalaman yang diterima,
dan pemikiran.
Dari penjelasan Hoyer & Macinnis (2008:3),ditambahkan bahwa sesuatu
yang tidak berwujud seperti pengalaman merupakan sesuatu yang muncul karena
adanya sebuah rangsangan yang diterima oleh konsumen.Pernyataan tersebut sesuai
dengan yang pendapat Schmitt dalam (Wong & Tsai, 2010:61) mengatakan bahwa
nilai sebuah pengalaman dapat dibentuk, karena pengalaman merupakan sesuatu
yang diciptakan melalui stimulus atau rangsangan tertentu. Dengan pernyataan diatas
dapat disimpulkan bahwa perusahaan dalam bisnis apapun harus bisa memberikan
sebuah pengalaman yang baik dan tentunya berkesan kepada konsumen melalui
stimulus panca indera. Karena pengalaman baik yang diterima oleh konsumen tentu
23
memiliki pengaruh terhadap kepuasan konsumen dan berdampak terhadap perilaku
konsumen ke depannya yang positif.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai perilaku konsumen,
tentu perilaku konsumen berhubungan dengan behavioral intention, dimana
behavioral intention merupakan sesuatu yang telah diterima oleh konsumen baik
terciptanya kepuasan atau ketidakpuasan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh
pendapat para peneliti sebelumnya yaitu menurut Oliver (Wang & Chen, 2012)
mengatakan bahwa behavioral intention mendeskripsikan kecenderungan yang kuat
untuk terlibat dalam perilaku tertentu. Sedangkan Anderson et al (Bendall-Lyon &
Powers, 2004) menyatakan bahwa behavioral intention merupakan hasil dari proses
kepuasan pelanggan. Ketika konsumen membeli dan mengkonsumsi produk atau
jasa, mereka akan mengalami tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan tertentu (Wong
& Tsai, 2010:61). Konsumen akan merasakan sebuah kepuasan jika nilai produk atau
jasa paling sama atau melebihi nilai yang diharapkan oleh konsumen. Sebaliknya,
konsumen mengalami ketidakpuasan apabila nilai produk atau jasa tidak sesuai
dengan yang diharapkan oleh konsumen.
Schmitt dalam (Bendall-Lyon & Powers ,2004:115) membagi behavioral
intention ke dalam dua kategori, yaitu economic behaviors dan social behaviors.
Economic behavioral intentions merupakan perilaku pelanggan yang berdampak
pada aspek finansial perusahaan, seperti perilaku pembelian ulang, kesediaan untuk
membayar lebih, dan perilaku berpindah (switching behavior). Szymanski dan
Henard (Bendall-Lyon & Powers, 2004) menekankan bahwa terdapat hubungan yang
positif antara kepuasan pelanggan dengan pembelian ulang. Ketika konsumen
merasakan sebuah kepuasan, mereka akan memiliki sebuah tingkat kemungkinan
untuk melakukan pembelian kembali (repurchase intention) yang lebih tinggi dari
pembelian sebelumnya.
Sementara itu, social behavioral intentions adalah sebuah perilaku pelanggan
yang berdampak pada respon pelanggan lainnya dan pelanggan potensial perusahaan.
Social behavioral intentions mempengaruhi individu pelanggan sekaligus opini
pelanggan lain, seperti perilaku komplain dan komunikasi word-of-mouth
(testimoni). Menurut Anderson et al. (Bendall-Lyon & Powers, 2004:116) informasi
yang disebarkan melalui word-of-mouth oleh pelanggan dapat dijadikan masukan
bagi pelanggan di masa depan. Salah satu bentuk word-of-mouth yang positif adalah
24
mengatakan
hal-hal
positif
terhadap
sesuatu
yang
diterimanya
dan
merekomendasikan produk atau jasa tersebut kepada orang lain.
Akan tetapi, kepuasan konsumen yang diterima berdasarkan pengalaman
tidaklah menjamin akan terciptanya sebuah loyalitas pelanggan terhadap perusahaan.
Seperti yang dijelaskan oleh (Wong & Tsai,2010:61) bahwa konsumen yang puas
belum tentu akan loyal atau setia karena masih ada kemungkinan untuk berpindah ke
perusahaan lain yang bisa diakibatkan oleh kepuasaan lebih yang diterima dari
pesaing lainnya. Di beberapa kasus terkadang walaupun konsumen tidak puas tetapi
justru menunjukan kesetiaannya terhadap perusahaan. Oleh karena itu sulit sekali
memprediksi perilaku konsumen, ini diakibatkan oleh berbagai faktor eksternal dan
internal baik yang berhubungan dengan aspek kognitif maupun afektif.
Gronholdt (Wong & Tsai, 2010:61) mengemukakan empat perilaku yang
mengarah pada loyalitas yang menjadi dimensi pengukuran variabel customer
behavioral intention, yaitu:
1) Repurchase intention: kecenderungan konsumen untuk membeli kembali
produk atau jasa.
2) Recommendation of brand or company to others : rekomendasi kepada
orang lain merupakan suatu bentuk word-of-mouth yang positif.
Konsumen memberikan rekomendasi ketika mereka memberikan saran
yang positif berkaitan dengan produk atau jasa tertentu kepada orang lain
secara sukarela tanpa paksaan atau stimulus tertentu.
3) Price tolerance: merupakan rentang perubahan harga yang dapat diterima
oleh masing-masing konsumen.
4) Cross-buying: merupakan perilaku konsumen membeli tambahan produk
atau jasa dari perusahaan selain dari yang telah dibelinya.
Berdasarkan
penjelasan
pada
kategori
behavioral
intention
yang
dikemukakan oleh Smith (Bendall-Lyon & Powers, 2004), maka repurchase
intention, price tolerance, dan cross-buying termasuk dalam kategori economic
behavioral intention, sedangkan recommendation to others merupakan bagian dari
social behavioral intention.
25
2.2 Kerangka Pemikiran
H5
(X1)
Store Atmosphere
H1
H7
(Y)
H3
(Z)
H4
Customer Behavioral
Intention
Brand Image
(X2)
H2
H8
Experiential
Marketing
H6
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.3 Rancangan Uji Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Untuk hipotesis tujuan 1:
Dalam penelitian sebelumnya (A. Suryanarayana, 2013), dikatakan bahwa sebuah
store harus membuat sebuah suasana yang baik, dengan diciptakannya store
atmosphere atau suasana toko yang baik seperti pencahayaan, musik, display dan
lainnya akan sangat membantu sekali membangun brand image sebuah store. Kedua
variabel tersebut memiliki pengaruh yang positif, dimana brand image sebuah store
yang baik juga ditentukan oleh sebuah store atmosphere yang baik.
Berdasarkan kesimpulan penelitian sebelumnya yang dinyatakan di atas, maka
hipotesis tujuan pertama dalam penelitian ini adalah
H01 : Store atmosphere tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap brand
image pada Strawberry Cafe .
Ha1 : Store atmosphere memiliki pengaruh yang signifikan terhadap brand image
pada Strawberry Cafe .
Untuk hipotesis tujuan 2:
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yungkun chen dalam jurnalnya
menyatakan bahwa experiential marketing berarti memberikan sebuah pengalaman
kepada pelanggan, dengan adanya element-element experiential marketing seperti
26
sense, think, feel, act, and relate dapat membangun sebuah brand image yang positif.
Dinyatakan dalam jurnalnya bahwa brand image memiliki pengaruh yang positif
terhadap experiential marketing.
Berdasarkan kesimpulan penelitian sebelumnya yang dinyatakan di atas, maka
hipotesis tujuan kedua dalam penelitian ini adalah
H02 : Experiential marketing tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
brand image pada Strawberry Cafe .
Ha2 : Experiential marketing memiliki pengaruh yang signifikan terhadap brand
image pada Strawberry Cafe .
Untuk hipotesis tujuan 3:
Seperti yang telah dijelaskan penelitian sebelumnya (A. Suryanarayana, 2013),
dikatakan bahwa sebuah store harus membuat sebuah suasana yang baik, dengan
diciptakannya store atmosphere atau suasana toko yang baik seperti pencahayaan,
musik, display dan lainnya akan sangat membantu sekali membangun brand image
sebuah store dan pada penelitian (Cannenterre Julie et.al, 2012) yang mengatakan
bahwa experiential marketing memiliki peran dalam memperkuat brand image
sebuah perusahaan.
Berdasarkan kesimpulan penelitian sebelumnya yang dinyatakan di atas, maka
hipotesis tujuan ketiga dalam penelitian ini adalah
H03 : Store Atmosphere dan experiential marketing secara simultan tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap brand image pada Strawberry Cafe .
Ha3 : Store Atmosphere dan experiential marketingsecara simultan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap brand image pada Strawberry Cafe .
Untuk hipotesis tujuan 4:
Dalam penelitian Yi Zhang (2015) menyatakan bahwa sebuah perusahaan harus
dapat membangun sebuah brand image yang baik yang tentu agar pelanggan
mengetahui secara mendalam mengenai brand dan tentu ini berguna untuk
menerapkan strategi marketing yang efektif. Dan dikatakan bahwa brand image
memiliki hubungan terhadap kepuasan pelanggan dan tentu bisa meningkatkan
loyalitas pelanggan karena brand image yang baik dimata pelanggan. Dan dikatakan
bahwa brand image sebuah store merupakan hal terpenting untuk membangun
27
sebuah loyalitas pelanggan. Dapat disimpulkan berdasarkan penelitian tersebut,
bahwa dengan adanya brand image yang baik akan membuat sebuah kepuasan
pelanggan yang tentu berdampak terhadap loyalitas pelanggan ke depannya.
Berdasarkan kesimpulan penelitian sebelumnya yang dinyatakan di atas, maka
hipotesis tujuan keempat dalam penelitian ini adalah
H04 : Brand image tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap customer
behavioral intention pada Strawberry Cafe .
Ha4 : Brand image memiliki pengaruh yang signifikan terhadap customer
behavioral intention pada Strawberry Cafe .
Untuk hipotesis tujuan 5:
Dalam penelitian sebelumnya oleh El-Bachir Sabrina (2014) dalam jurnalnya
menurut Kotler bahwa store atmosphere atau suasana toko dapat menimbulkan
beberapa reaksi pelanggan terhadap toko tersebut seperti pembelian ulang,
kunjungan kembali , impulse buying, selain itu juga dapat menimbulkan sebuah
reaksi perasaan seperti senang, emosi dan suasana hati. Dan juga dikatakan olehnya
bahwa dengan adanya store atmosphere, ini merupakan sebuah hal terpenting dalam
dunia retail. Semakin bagus suasana toko yang diciptakan oleh dealer, retailer atau
pemilik toko maka tentu berpengaruh secara positif terhadap pelanggannya, jumlah
pembeliaan pelanggan tersebut, dan berapa kali pembelian ulang yang dilakukan
pelanggan tersebut.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dinyatakan di atas, maka hipotesis tujuan
kelima dalam penelitian ini adalah
H05 : Store atmopshere tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
customer behavioral intention pada Strawberry Cafe .
Ha5 : Store atmosphere memiliki pengaruh yang signifikan terhadap customer
behavioral intention pada Strawberry Cafe .
Untuk hipotesis tujuan 6:
Dalam penelitian sebelumnya oleh Avello et.al (2011) dalam jurnalnya menyatakan
bahwa pengalaman-pengalaman terbaik yang telah diterima oleh pelanggan dapat
mempengaruhi perilaku pelanggan untuk kedepannya seperti kunjungan kembali.
Dengan membuat pengalaman berbelanja yang baik tentu dapat membuat pelanggan
28
untuk ingin tetap berada di toko atau mall. Dan dalam kesimpulan juga dikatakan
bahwa pelanggan yang tetap berlama-lama di sebuah toko atau mall dari pada yang
direncanakannya sebelumnya, hal tersebut memiliki kemungkinan besar dapat
meningkatkan
pembelian
ulang
ke
depannya,
atau
menghabiskan
atau
membelanjakan lebih banyak dalam kunjungan berikutnya.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dinyatakan di atas, maka hipotesis tujuan
keenam dalam penelitian ini adalah
H06 : Experiential marketing tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
customer behavioral intention pada Strawberry Cafe .
Ha6 : Experiential marketing memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
customer behavioral intention pada Strawberry Cafe .
Download