BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Proyek Konstruksi Pengertian suatu proyek adalah kegiatan-kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam satu bentuk kesatuan dengan menggunakan sumber daya untuk mendapatkan manfaat. Kegiatan-kegiatan berlangsung dalam jangka waktu terbatas dengan alokasi sumber daya tertentu dan dimaksudkan untuk menghasilkan produk yang kriteria mutunya telah digariskan dengan jelas. Sumber daya yang digunakan dalam pelaksanaan proyek dapat berbentuk barangbarang modal, bahan-bahan mentah, tenaga kerja dan waktu. Sumber daya tersebut sebagian atau seluruhnya dapat dianggap sebagai barang atau jasa, konsumsi yang dikorbankan dari penggunaan masa sekarang untuk memperoleh manfaat yang lebih besar dimasa yang akan datang (Imam soeharto, 1999). Dari pengertian di atas, proyek mempunyai ciri-ciri: a. memiliki tujuan yang khusus, produk akhir atau hasil kerja akhir, b. jumlah biaya, sasaran jadwal serta kriteria mutu dalam proses pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan, c. bersifat sementara, dalam arti umurnya dibatasi oleh selesainya tugas, titik awal dan akhir ditentukan dengan jelas, dan d. tidak berulang, macam dan intensitas kegiatan berubah atau tidak sama. 5 Proyek konstruksi memiliki karakteristik unik yang tidak berulang pada proyek lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi yang mempengaruhi proses suatu proyek konstruksi berbeda satu sama lain. Misalnya kondisi alam seperti perbedaan letak geografis, hujan, gempa dan keadaan tanah merupakan faktor yang turut mempengaruhi keunikan proyek konstruksi (Ervianto, 2004). Intinya dalam setiap proyek apapun terdapat empat elemen esensial yaitu kerangka waktu tertentu, suatu pendekatan yang teratur terhadap kegiatan-kegiatan yang saling bergantung, hasil yang diinginkan dan karakteristik-karakteristik unik (Davidson, 2002). 2.2. Karyawan proyek konstruksi Setiap kegiatan perlu diorganisasikan, yang berarti bahwa kegiatan tersebut harus disiapkan, disusun dan dialokasikan serta dilaksanakan oleh para unsur organisasi tersebut sehingga tujuan organisasi dapat tercapai secara efisien dan efektif. Proses ini meliputi perincian pekerjaan, pembagian pekerjaan dan koordinasi pekerjaan yang terjadi dalam suatu lingkup dan struktur tertentu. Soekanto (2003). Berdasarkan Dinas Pekerjaan Umum (2007) dalam Dokumen Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, tipikal organisasi pelaksanaan proyek adalah seperti pada gambar 2.2. 6 Gambar 2.1. Tipikal organisasi pelaksanaan proyek Karyawan proyek konstruksi adalah orang atau tenaga kerja yang terlibat di dalam proyek konstruksi untuk melakukan keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masingmasing beserta kelengkapanya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lainya. Karyawan proyek konstruksi atau tenaga kerja dapat di jelaskan sebagai berikut (Coory, 2009): 1. tenaga ahli, yaitu tenaga kerja yang berlatar belakang pendidikan universitas atau akademi yang berpengalaman sesuai dengan bidangnya, 7 2. tenaga menengah, yaitu tenaga kerja yang berlatar belakang pendidikan STM untuk mengurusi masalah teknik dan pengawasan, 3. tenaga borong atau mandor, yaitu tenaga kerja yang bertanggung jawab atas pekerjaan dan menangani pekerjaan-pekerjaan yang spesifik. Tenaga borongan atau mandor dituntut memiliki pengetahuan teknis dalam taraf tertentu, misalnya dapat membaca gambar-gambar konstruksi, dapat membuat hitungan-hitungan ringan dan dapat membedakan kualitas bahan bangunan yang akan digunakan, 4. tenaga tukang, yaitu tenaga kerja yang ahli dalam bidangnya berdasarkan pengalaman serta cara kerja yang sederhana, 5. tenaga kasar, yaiu tenaga kerja yang bekerja mengandalkan kondisi fisik yang kuat dan sehat serta tanpa berbekalkan keahlian tertentu. Tenaga kasar bertanggung jawab kepada mador. 2.3. Pengertian Kepemimpinan Pemimpin adalah orang yang memiliki pengaruh paling besar terhadap perilaku dan keyakinan suatu kelompok organisasi, karena keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya tergantung dari peranan yang dilakukan pemimpin. Situasi, kondisi, waktu dan tempat yang berbeda sangat mungkin menuntut penggunaan berbagai gaya kepemimpinan oleh seorang pemimpin (Sodang, 1999). Adapun aktivitas dari perilaku pemimpin harus dapat menunjukkan visi kepemimpinan, yaitu pemimpin yang transparan mengenai kegiatan yang telah 8 dan yang akan dibuat, pemimpin yang responsif terhadap tuntutan atau masalah yang berkembang dalam masyarakat, pemimpin profesional pada bidang tugasnya dan pemimpin yang dapat memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu, bawahan dipimpin bukan dengan jalan menyuruh atau mondorong dari belakang. Masalah yang selalu terdapat dalam membahas fungsi kepemimpinan adalah hubungan yang melembaga antara pemimpin dengan yang dipimpin menurut rules of the game yang telah disepakati bersama. Seseorang pemimpin selalu melayani bawahannya lebih baik dari bawahannya tersebut melayani dia. Pemimpin memadukan kebutuhan dari bawahannya dengan kebutuhan organisasi dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhannya. Dari pendapat tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa kepemimpinan adalah perilaku seorang pemimpin pada setiap aktivitasnya di dalam serangkaian usaha-usaha membimbing, mengarahkan, dan menciptakan kesesuaian paham pada anggota-anggota kelompok untuk mencapai tujuan. Apabila anggota-anggota kelompok ternyata dapat berubah dan bekerja sama dengan baik, maka hal ini merupakan hasil dari kepemimpinan yang sukses. Kemudian jika ada orang lain yang merasa terdorong untuk mengarahkan perilakunya, hal tersebut merupakan hasil dari kepemimpinan yang efektif. Bertambah tinggi kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka harus semakin tinggi pula keterampilan manajemen, dan aktivitas yang dijalankan 9 adalah aktivitas bersifat konsepsional. Dengan perkataan lain semakin tinggi kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka semakin dituntut kemampuan berfikir secara konsepsional strategis dan makro (Yuni, 2008). 2.4. Teori Kepemimpinan Beberapa teori telah dikemukakan para ahli manajemen mengenai timbulnya seorang pemimpin. Teori satu berbeda dengan teori yang lainnya, diantara berbagai teori mengenai lahirnya pemimpin ada tiga diantaranya yang paling menonjol yaitu sebagai berikut (Veithzal Rivai, 2003:103). 1. Teori Genetie Inti dari teori ini tersimpul dalam mengadakan "leaders are born and not made". bahwa penganut teori ini mengatakan bahwa seorang pemimpin ada karena ia telah dilahirkan dengan bakat pemimpin. Dalam keadaan bagaimana pun seorang ditempatkan pada suatu waktu ia akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk itu. Artinya takdir telah menetapkan ia menjadi pemimpin. 2. Teori Sosial Jika teori genetis mengatakan bahwa "leaders are born and not made", maka penganut-penganut sosial mengatakan sebaliknya yaitu "Leaders are made and not born". Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa setiap orang akan dapat menjadi pemimpin apabila diberi pendidikan dan kesempatan untuk itu. 3. Teori Ekologis 10 Teori ini merupakan penyempurnaan dari kedua teori genetis dan teori sosial. Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa seseorang hanya dapat menjadi pemimpin yang baik apabila pada waktu lahirnya telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pangalaman-pengalaman yang memungkinkanya untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang memang telah dimilikinya itu. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori genetis dan teori sosial dan dapat dikatakan teori yang paling baik dari teori-teori kepemimpinan. 2.5. Gaya Kepemimpinan Transaksional Teori kepemimpinan transaksional mendasarkan diri pada asumsi bahwa kepemimpinan merupakan kontrak sosial antara pemimpin dan pengikut. Pemimpin dan pengikut merupakan pihak-pihak yang masing-masing mempunyai tujuan, kebutuhan dan kepemimpinan sendiri. Dalam kondisi nyata, tujuan dan kebutuhan kadang kala saling bertentangan sehingga mengarah ke situasi konflik antara pemimpin dan pengikut. Pemimpin Transaksional berusaha memotivasi bawahannya melalui pemberian imbalan atas apa yang telah mereka lakukan. Inti kepemimpinan transaksional adalah menekankan transaksi di antara pemimpin dan bawahan. Dalam hal ini, kepemimpinan transaksional memungkinkan pemimpin memotivasi dan mempengaruhi bawahan dengan cara mempertukarkan reward dengan kinerja tertentu. Artinya, dalam sebuah transaksi 11 bawahan dijanjikan untuk diberi reward bila bawahan mampu menyelesaikan tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Alasan ini mendorong Burns untuk mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas tertentu jika bawahan mampu menyelesaikan dengan baik tugas tersebut. Hal ini bermakna, bahwa pandangan teori kepemimpinan transaksional mendasarkan diri pada pertimbangan ekonomis-rasional sesuai dengan kontrak yang telah mereka setujui bersama (Sanusi, 2009). Kepemimpinan Transaksional timbul apabila terdapat motivasi bawahan oleh kebutuhan pribadi mereka, sehingga seakan-akan perusahaan melakukan proses transaksi terhadap karyawan. Dalam hal ini perusahaan melakukan proses transaksi dengan karyawan. Adapun hubungan dengan bawahan dapat dijelaskan sebagai berikut (Marselius dan Rita, 2004): 1. Mengetahui apa yang diinginkan bawahan dan menjelaskan bahwa mereka akan memperoleh apa yang diinginkannya, apabila performance mereka memenuhi harapan. 2. Memberikan usaha-usaha yang dilakukan bawahan dengan imbalan atau janji untuk memperoleh imbalan. 3. Responsif terhadap kepentingan bawahan selama kepentingan pribadi itu sepadan dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan bawahan. 4. Responsif terhadap kepentingan pribadi bawahan selama kepentingan. pribadi itu sepadan dengan nilai pekerjaan yang dilakukan bawahan. 12 Pada teori kesinambungan kepemimpinan, kepemimpinan transaksional berletak di ujung yang berlawanan dengan kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transaksional lebih sering dijumpai dari kepemimpinan transformasional (Burns, 1978). Kepemimpinan transaksional dideskripsikan sebagai proses pertukaran yang mana pemimpin mengidentifikasi kebutuhan pengikutnya dan mendefinisikan proses pertukaran yang layak untuk dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan kedua belah pihak (Bass, 1985). Bentuk dari kepemimpinan transaksional termasuk kepemimpinan penghargaan kelompok, kepemimpinan manajemen dengan pengecualian baik aktif maupun pasif, dan kepemimpinan kebebasan atau mengakomodasi (Bass dan Avolio, 1990). Hubungan pemimpin transaksional dengan karyawan tercermin dari tiga hal (Yukl, 1990) yakni: 1. Pemimpin mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan menjelasakan apa yang akan mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai dengan harapan. 2. Pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh karyawan dengan imbalan. 3. Pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan karyawan. Kepemimpinan Transaksional dapat dilakukan dengan manajemen melalui ekspensi dan imbalan kontijen (Bass, 1985). 1. Manajemen Melalui Eksepsi (Management by Exception) 13 Manajemen melalui eksepsi, merupakan praktek manajemen dimana pimpinan hanya memberikan campur tangan dan perhatian kepada bawahannya ketika terjadi kesalahan. Pimpinan semacam ini jarang sekali memberikan pujian atau penghargaan terhadap bawahannya. Pemimpin biasanya membiarkannya bawahannya untuk melakukan pekerjaanya dengan cara yang sama setiap waktu. Tipe pemimpin seperti ini juga tidak berusaha untuk mengubah sesuatu selama masih berjalan baik. Komunikasi dengan bawahan biasannya hanya berupa hal-hal yang harus dilakukan oleh bawahan. 2. Perilaku Imbalan Kontinjen (Dorongan Kontijen Positif) Imbalan Kontijen meliputi interaksi antara atasan dan bawahan yang di dasarkan pada asas pertukaran atau kesepakatan, dimana bawahan akan mendapatkan penghargaan atas asas pertukaran atau kesepakatan, dimana bawahan akan mendapatkan penghargaan, pengakuan dan imbalan untuk setiap hasil pekerjaanya yang memenuhi informasi yang telah ditetapkan sebelumya. Pemimpin sebagai atasan juga harus berusaha untuk mengetahui kebutuhan pada bawahannya dan memberikan kejelasan mengenai imbalan apa yang akan diterima oleh bawahannya apabila performasi bawahan memuaskan. 14 2.6. Gaya kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan transformasional terjadi ketika pemimpin dan pengikut terkait satu sama lain sehingga mereka mampu saling menaikkan motivasi dan moralitasnya (Burns, 1978). Teori kepemimpinan transformasional terdiri dari empat dimensi yaitu pertimbangan individu, pengaruh idialis (karisma), motivasi inspirasional, dan simulasi intelektual (Judge dan Piccolo, 2004). Kepemimpinan transformasional, merupakan perluasan dari kepemimpinan kharismatik, pemimpin menciptakan visi dan lingkungan yang memotivasi untuk melakukan lebih dari apa yang di harapkan dari mereka. Bahkan tidak jarang melampaui apa yang mereka bayangkan dapat mereka lakukan. Model kepemimpinan yang berkembang pesat dalam dua dekade terakhir ini didaraskan lebih pada upaya pemimpin untuk mengubah berbagai nilai, keyakinan dan kebutuhan bawahan. Pemimpin transformasional mencoba menimbulkan kesadaran para pengikut dengan mengarahkannya kepada cita-cita dan nilai-nilai moral yang lebih tinggi. Pemimpin transformasional membuat para pengikut menjadi lebih peka terhadap nilai dan pentingnya pekerjaan, mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi dan menyebabkan para pengikut lebih mementingkan organisasi. Hasilnya adalah para pengikut merasa adanya kepercayaan dan rasa hormat terhadap pemimpin tersebut, serta termotivasi untuk melakukan sesuatu melebihi dari yang diharapkan darinya. Jadi, model kepemimpinan transformasional pemberdayaan potensi manusia. melandaskan Dengan 15 kata diri pada lain, pertimbangan tugas pemimpin transformasional adalah memanusiakan manusia melalui berbagai cara seperti memotivasi dan memberdayakan fungsi dan peran karyawan untuk mengembangkan organisasi dan pengembangan diri menuju aktualisasi diri yang nyata (Sanusi, 2009). Kepemimpinan Transformasional dalam konteks pengaruh atasan terhadap bawahannya, bawahan merasa percaya, kagum, bangga, loyal dan respek kepada atasannya, serta mereka termotivasi untuk mengerjakan sesuatu melebihi yang diharapkan semula (Kreitner Kinicki, 2005). Atasan dapat mengubah bawahan yaitu dengan: 1. Membuat bawahan lebih sadar nilai dan pentingnya hasil dari tugas mereka. 2. Membujuk bawahan untuk mendahulukan kepentingan kelompok diatas kepentingan pribadi. 3. Mengaktifkan kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi. Kepemimpinan Transformasional memotivasi bawahan untuk menghasilkan unjuk kerja melebihi dari yang di harapkan semula, yaitu dari kepemimpinan transaksional. Pemimpin Transformasional mempunyai sifat sebagai berikut: 1. Memandang dirinya sebagai agen perubahan. 2. Mengambil risiko yang bijaksana. 3. Dipercaya dan sensitif dengan kebutuhan bawahannya. 4. Bisa mengungkapkan inti dari nilai yang menjadi pedoman perilakunnya. 16 5. Fleksibel dan terbuka untuk belajar pengalaman. 6. Mempunyai keahlian kognitif dan menganalisis masalah dengan kesungguhan. 7. Sebagai pembawa visi yang percaya pada intuisinya. Ada tiga cara seorang pemimpin transformasional memotivasi karyawannya, yaitu dengan. 1. Mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha. 2. Mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok. 3. Meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi diri. Kepemimpinan Transformasional ditujukkan dengan perilaku karismatik, inspirasi yang memotivasi, simulasi intelektual dan konsiderasi Individual atau kelompok. Kepemimpinan Transformasional telah menghasilkan kesimpulan bahwa perilaku-perilaku pemimpin Transformasional mampu menciptakan visi dan lingkungan yang memotivasi para karyawan untk berprestasi melalui harapan, dan juga pemimpin yang “memotivasi kita untuk berbuat lebih dari pada apa yang sesungguhnya diharapkan dari kita untuk melakukanya” 1. Perilaku Karismatik Perilaku karismatik merupakan reaksi bawahan terhadap atasan dan perilaku atasan. Atasan didefinisikan dan dijadikan panutan oleh bawahannya, dipercaya, dihormati, dan mempunyai misi, visi yang menurut persepsi bawahan dapat tercapai. Atasan penetapkan standar yang tinggi dan sasaran yang menantang pada bawahan. 17 2. Inspirasi Yang Memotivasi (Inspirational Motivation) Pemimpin yang inspirasional adalah pemimpin yang berorientasi pada tindakan dan merupakan pimpinan yang lebih suka untuk terjun langsung kepada permasalahan yang dihadapi, dan tidak bersikap seperti seorang birokrat yang mementingkan formalitas dan hak-hak istimewa mereka (Kinicki, 2005). Bawahan terdorong untuk melakukan usaha ekstra untuk mencapai tujuan kelompok. 3. Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation) Dalam prakteknya pemimpin merangsang bawahannya untuk selalu mempertanyakan kondisi yang berlaku saat ini dan merangsang timbulnya inovasi dan cara-cara baru untuk menyelesaikan persoalan dan bawahan didorong untuk berusaha memahami konsep dan kandungan masalah dengan lebih baik. Stimulasi intelektual digunakan untuk menyadarkan dan mendorong bawahan untuk mempertanyakan kembali cara, sistem, nilai, kepercayaan, harapan, dan bentuk organisasi yang lama apakah masih relevan. 4. Konsiderasi Individu dan Kelompok (Individual and Group Consideration) Konsiderasi Individu dan kelompok memiliki maksud bahwa bawahan diperlukan secara individu maupun kelompok, sehingga wawasan kebutuhannya dapat meningkat, sebaik atasan dalam menetapkan sasaran yang menantang dan menyelesaikan pekerjaan 18 dengan lebih efektif. Dengan Konsiderasi Individual dan kelompok, tugas dapat didelegasikan kepada bawahan untuk kesempatan belajar. Perilaku yang berorientasi individu antara lain dengan menumbuhkan keakraban dan saling kontak sesering mungkin dengan bawahan secara pribadi, melakukan komunikasi informal sesering mungkin dan memenuhi keinginan bawahan secara individu dan informasi yang di perlukan (Kinicki, 2005:325). 2.7. Kepuasan Kerja Menurut Handoko (2001), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka, kepuasan karyawan mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaanya. Menurut Efendi (2002), kepuasan kerja didefinisikan dengan hingga sejauh mana individu merasakan secara positif atau negatif berbagai macam faktor atau dimensi dari tugas-tugas dalam pekerjaannya. Menurut pendapat Robbins (2003), istilah kepuasan kerja merujuk kepada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukan sikap yang positif terhadap kerja itu, sedangkan seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu. Karena pada umumnya apabila orang berbicara mengenai sikap karyawan, lebih sering mereka memaksudkan kepuasan kerja. 19 Hasibuan (2006) menyatakan, kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi antara keduanya. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Jadi secara garis besar kepuasan kerja dapat diartikan sebagai hal yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan yang mana pegawai memandang pekerjannya. Menurut Herzberg seperti yang dikutip oleh Sumantri (2001), ciri perilaku pekerja yang puas adalah mereka yang mempunyai motivasi yang tinggi untuk bekerja, mereka lebih senang dalam melakukan pekerjaannya,sedangkan ciri pekerja yang kurang puas adalah mereka yang malas berangkat kerja ke tempat bekerja, dan malas dalam melakukan pekerjaannya. Ada lima faktor yang dapat mendorong kepuasan kerja (Robbins, 2001) yaitu: 1. Kerja yang secara mental menantang Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan apabila mereka diberi kesempatan untuk menggunakan ketrampilan itu dan kemampuan mereka. 2. Gaji yang pantas 20 Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijaksanaan promosi yang adil, pasti (tidak meragukan) dan segaris dengan harapan mereka. Jika gaji yang diterima dianggap adil dan sesuai dengan tuntutan kerja, ketrampilan individu dan standar masyarakat, maka kemungkinan besar kepuasan kerja akan terjadi. Menurut Robbins, kuncinya bukan pada besarnya uang yang diterima tetapi pada adanya persepsi keadilan. 3. Kondisi kerja yang mendukung Karyawan peduli akan lingkungan kerja dan fasilitas kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. 4. Rekan sekerja yang mendukung Memiliki teman-teman sekerja yang bershabat dan siap membantu akan menuju kepada peningkatan kepuasan kerja. Selain rekan kerja yang mendukung, memiliki pimpinan yang pengertian dan bersahabat, menyampaikan pujian-pujian untuk kerja baiknya, mendengarkan pendapat karyawan dan menunjang interest pribadi terhadapnya juga akan dapat meningkatkan kepuasan kerja. Orang-orang yang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari pekerjaan mereka. 5. Kesesuaian antara pekerjaan dengan kepribadian Perimbangan yang digunakan adalah bagaimana memberikan suatu tugas atau pekerjaan yang sesuai dengan karakteristik dan kemampuan karyawan tersebut. Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang karyawan dan pekerjaan akan menghasilkan individu yang lebih terpuaskan. 21 Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas, maka dapat dinyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan senang atau tidak senang terhadap pekerjaanya atau hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan (gaji yang diterima, hubungan dengan rekan kerja, jenis pekerjaan) atau kondisi dirinya (usia, minat, bakat, dan kemampuan). Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal-hal yang bersifat individual karena setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaanya. Hal ini terlihat dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaanya dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya, sementara karyawan yang merasa tidak puas dengan pekerjaanya akan memperhatikan sikap negatifnya. Karyawan yang mempunyai kepuasan kerja yang tinggi cenderung akan melakukan tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya dengan baik. 22