5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Proyek Konstruksi Pengertian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Proyek Konstruksi
Pengertian
suatu
proyek
adalah
kegiatan-kegiatan
yang
dapat
direncanakan dan dilaksanakan dalam satu bentuk kesatuan dengan menggunakan
sumber daya untuk mendapatkan manfaat. Kegiatan-kegiatan berlangsung dalam
jangka waktu terbatas dengan alokasi sumber daya tertentu dan dimaksudkan
untuk menghasilkan produk yang kriteria mutunya telah digariskan dengan jelas.
Sumber daya yang digunakan dalam pelaksanaan proyek dapat berbentuk barangbarang modal, bahan-bahan mentah, tenaga kerja dan waktu. Sumber daya
tersebut sebagian atau seluruhnya dapat dianggap sebagai barang atau jasa,
konsumsi yang dikorbankan dari penggunaan masa sekarang untuk memperoleh
manfaat yang lebih besar dimasa yang akan datang (Imam soeharto, 1999). Dari
pengertian di atas, proyek mempunyai ciri-ciri:
a. memiliki tujuan yang khusus, produk akhir atau hasil kerja akhir,
b. jumlah biaya, sasaran jadwal serta kriteria mutu dalam proses
pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan,
c. bersifat sementara, dalam arti umurnya dibatasi oleh selesainya tugas,
titik awal dan akhir ditentukan dengan jelas, dan
d. tidak berulang, macam dan intensitas kegiatan berubah atau tidak
sama.
5
Proyek konstruksi memiliki karakteristik unik yang tidak berulang pada
proyek lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi yang mempengaruhi proses suatu
proyek konstruksi berbeda satu sama lain. Misalnya kondisi alam seperti
perbedaan letak geografis, hujan, gempa dan keadaan tanah merupakan faktor
yang turut mempengaruhi keunikan proyek konstruksi (Ervianto, 2004). Intinya
dalam setiap proyek apapun terdapat empat elemen esensial yaitu kerangka waktu
tertentu, suatu pendekatan yang teratur terhadap kegiatan-kegiatan yang saling
bergantung, hasil yang diinginkan dan karakteristik-karakteristik unik (Davidson,
2002).
2.2. Karyawan proyek konstruksi
Setiap kegiatan perlu diorganisasikan, yang berarti bahwa kegiatan
tersebut harus disiapkan, disusun dan dialokasikan serta dilaksanakan oleh para
unsur organisasi tersebut sehingga tujuan organisasi dapat tercapai secara efisien
dan efektif. Proses ini meliputi perincian pekerjaan, pembagian pekerjaan dan
koordinasi pekerjaan yang terjadi dalam suatu lingkup dan struktur tertentu.
Soekanto (2003).
Berdasarkan Dinas Pekerjaan Umum (2007) dalam Dokumen Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, tipikal organisasi pelaksanaan proyek
adalah seperti pada gambar 2.2.
6
Gambar 2.1. Tipikal organisasi pelaksanaan proyek
Karyawan proyek konstruksi adalah orang atau tenaga kerja yang terlibat
di dalam proyek konstruksi untuk melakukan keseluruhan atau sebagian rangkaian
kegiatan perencanaan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup
pekerjaan arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masingmasing beserta kelengkapanya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk
fisik lainya.
Karyawan proyek konstruksi atau tenaga kerja dapat di jelaskan sebagai berikut
(Coory, 2009):
1. tenaga ahli, yaitu tenaga kerja yang berlatar belakang pendidikan universitas
atau akademi yang berpengalaman sesuai dengan bidangnya,
7
2. tenaga menengah, yaitu tenaga kerja yang berlatar belakang pendidikan STM
untuk mengurusi masalah teknik dan pengawasan,
3. tenaga borong atau mandor, yaitu tenaga kerja yang bertanggung jawab atas
pekerjaan dan menangani pekerjaan-pekerjaan yang spesifik. Tenaga
borongan atau mandor dituntut memiliki pengetahuan teknis dalam taraf
tertentu, misalnya dapat membaca gambar-gambar konstruksi, dapat membuat
hitungan-hitungan ringan dan dapat membedakan kualitas bahan bangunan
yang akan digunakan,
4. tenaga tukang, yaitu tenaga kerja yang ahli dalam bidangnya berdasarkan
pengalaman serta cara kerja yang sederhana,
5. tenaga kasar, yaiu tenaga kerja yang bekerja mengandalkan kondisi fisik yang
kuat dan sehat serta tanpa berbekalkan keahlian tertentu. Tenaga kasar
bertanggung jawab kepada mador.
2.3. Pengertian Kepemimpinan
Pemimpin adalah orang yang memiliki pengaruh paling besar terhadap
perilaku dan keyakinan suatu kelompok organisasi, karena keberhasilan suatu
organisasi dalam mencapai tujuannya tergantung dari peranan yang dilakukan
pemimpin. Situasi, kondisi, waktu dan tempat yang berbeda sangat mungkin
menuntut penggunaan berbagai gaya kepemimpinan oleh seorang pemimpin
(Sodang, 1999).
Adapun aktivitas dari perilaku pemimpin harus dapat menunjukkan visi
kepemimpinan, yaitu pemimpin yang transparan mengenai kegiatan yang telah
8
dan yang akan dibuat, pemimpin yang responsif terhadap tuntutan atau masalah
yang berkembang dalam masyarakat, pemimpin profesional pada bidang
tugasnya dan pemimpin yang dapat memberikan pelayanan yang prima kepada
masyarakat.
Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik
dalam mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu, bawahan dipimpin
bukan dengan jalan menyuruh atau mondorong dari belakang. Masalah yang
selalu terdapat dalam membahas fungsi kepemimpinan adalah hubungan yang
melembaga antara pemimpin dengan yang dipimpin menurut rules of the game
yang telah disepakati bersama. Seseorang pemimpin selalu melayani bawahannya
lebih baik dari bawahannya tersebut melayani dia. Pemimpin memadukan
kebutuhan dari bawahannya dengan kebutuhan organisasi dan kebutuhan
masyarakat secara keseluruhannya.
Dari pendapat tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa kepemimpinan
adalah perilaku seorang pemimpin pada setiap aktivitasnya di dalam serangkaian
usaha-usaha membimbing, mengarahkan, dan menciptakan kesesuaian paham
pada anggota-anggota kelompok untuk mencapai tujuan. Apabila anggota-anggota
kelompok ternyata dapat berubah dan bekerja sama dengan baik, maka hal ini
merupakan hasil dari kepemimpinan yang sukses. Kemudian jika ada orang lain
yang merasa terdorong untuk mengarahkan perilakunya, hal tersebut merupakan
hasil dari kepemimpinan yang efektif.
Bertambah tinggi kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka
harus semakin tinggi pula keterampilan manajemen, dan aktivitas yang dijalankan
9
adalah aktivitas bersifat konsepsional. Dengan perkataan lain semakin tinggi
kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka semakin dituntut
kemampuan berfikir secara konsepsional strategis dan makro (Yuni, 2008).
2.4. Teori Kepemimpinan
Beberapa teori telah dikemukakan para ahli manajemen mengenai
timbulnya seorang pemimpin. Teori satu berbeda dengan teori yang lainnya,
diantara berbagai teori mengenai lahirnya pemimpin ada tiga diantaranya yang
paling menonjol yaitu sebagai berikut (Veithzal Rivai, 2003:103).
1. Teori Genetie
Inti dari teori ini tersimpul dalam mengadakan "leaders are born
and not made". bahwa penganut teori ini mengatakan bahwa seorang
pemimpin ada karena ia telah dilahirkan dengan bakat pemimpin.
Dalam keadaan bagaimana pun seorang ditempatkan pada suatu waktu
ia akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk itu. Artinya
takdir telah menetapkan ia menjadi pemimpin.
2. Teori Sosial
Jika teori genetis mengatakan bahwa "leaders are born and not
made", maka penganut-penganut sosial mengatakan sebaliknya yaitu
"Leaders are made and not born". Penganut-penganut teori ini
berpendapat bahwa setiap orang akan dapat menjadi pemimpin apabila
diberi pendidikan dan kesempatan untuk itu.
3. Teori Ekologis
10
Teori ini merupakan penyempurnaan dari kedua teori genetis
dan teori sosial. Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa
seseorang hanya dapat menjadi pemimpin yang baik apabila pada
waktu lahirnya telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, bakat
tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan
pangalaman-pengalaman
yang
memungkinkanya
untuk
mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang memang telah
dimilikinya itu. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua
teori genetis dan teori sosial dan dapat dikatakan teori yang paling
baik dari teori-teori kepemimpinan.
2.5. Gaya Kepemimpinan Transaksional
Teori kepemimpinan transaksional mendasarkan diri pada asumsi bahwa
kepemimpinan merupakan kontrak sosial antara pemimpin dan pengikut.
Pemimpin dan pengikut merupakan pihak-pihak yang masing-masing mempunyai
tujuan, kebutuhan dan kepemimpinan sendiri. Dalam kondisi nyata, tujuan dan
kebutuhan kadang kala saling bertentangan sehingga mengarah ke situasi konflik
antara pemimpin dan pengikut. Pemimpin Transaksional berusaha memotivasi
bawahannya melalui pemberian imbalan atas apa yang telah mereka lakukan.
Inti kepemimpinan transaksional adalah menekankan transaksi di antara
pemimpin
dan
bawahan.
Dalam
hal
ini,
kepemimpinan
transaksional
memungkinkan pemimpin memotivasi dan mempengaruhi bawahan dengan cara
mempertukarkan reward dengan kinerja tertentu. Artinya, dalam sebuah transaksi
11
bawahan dijanjikan untuk diberi reward bila bawahan mampu menyelesaikan
tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Alasan ini
mendorong Burns untuk mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai
bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas tertentu jika bawahan
mampu menyelesaikan dengan baik tugas tersebut. Hal ini bermakna, bahwa
pandangan
teori
kepemimpinan
transaksional
mendasarkan
diri
pada
pertimbangan ekonomis-rasional sesuai dengan kontrak yang telah mereka setujui
bersama (Sanusi, 2009).
Kepemimpinan Transaksional timbul apabila terdapat motivasi bawahan
oleh kebutuhan pribadi mereka, sehingga seakan-akan perusahaan melakukan
proses transaksi terhadap karyawan. Dalam hal ini perusahaan melakukan proses
transaksi dengan karyawan. Adapun hubungan dengan bawahan dapat dijelaskan
sebagai berikut (Marselius dan Rita, 2004):
1. Mengetahui apa yang diinginkan bawahan dan menjelaskan bahwa
mereka
akan
memperoleh
apa
yang
diinginkannya,
apabila
performance mereka memenuhi harapan.
2. Memberikan usaha-usaha yang dilakukan bawahan dengan imbalan
atau janji untuk memperoleh imbalan.
3. Responsif terhadap kepentingan bawahan selama kepentingan pribadi
itu sepadan dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan bawahan.
4. Responsif terhadap kepentingan pribadi bawahan selama kepentingan.
pribadi itu sepadan dengan nilai pekerjaan yang dilakukan bawahan.
12
Pada teori kesinambungan kepemimpinan, kepemimpinan transaksional
berletak di ujung yang berlawanan dengan kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan
transaksional
lebih
sering
dijumpai
dari
kepemimpinan
transformasional (Burns, 1978). Kepemimpinan transaksional dideskripsikan
sebagai proses pertukaran yang mana pemimpin mengidentifikasi kebutuhan
pengikutnya dan mendefinisikan proses pertukaran yang layak untuk dapat
memenuhi kebutuhan dan keinginan kedua belah pihak (Bass, 1985). Bentuk dari
kepemimpinan transaksional termasuk kepemimpinan penghargaan kelompok,
kepemimpinan manajemen dengan pengecualian baik aktif maupun pasif, dan
kepemimpinan kebebasan atau mengakomodasi (Bass dan Avolio, 1990).
Hubungan pemimpin transaksional dengan karyawan tercermin dari tiga
hal (Yukl, 1990) yakni:
1. Pemimpin
mengetahui
apa
yang
diinginkan
karyawan
dan
menjelasakan apa yang akan mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai
dengan harapan.
2. Pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh karyawan
dengan imbalan.
3. Pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama
kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah
dilakukan karyawan.
Kepemimpinan Transaksional dapat dilakukan dengan manajemen melalui
ekspensi dan imbalan kontijen (Bass, 1985).
1. Manajemen Melalui Eksepsi (Management by Exception)
13
Manajemen melalui eksepsi, merupakan praktek manajemen
dimana pimpinan hanya memberikan campur tangan dan perhatian
kepada bawahannya ketika terjadi kesalahan. Pimpinan semacam ini
jarang sekali memberikan pujian atau penghargaan terhadap
bawahannya. Pemimpin biasanya membiarkannya bawahannya untuk
melakukan pekerjaanya dengan cara yang sama setiap waktu. Tipe
pemimpin seperti ini juga tidak berusaha untuk mengubah sesuatu
selama masih berjalan baik. Komunikasi dengan bawahan biasannya
hanya berupa hal-hal yang harus dilakukan oleh bawahan.
2. Perilaku Imbalan Kontinjen (Dorongan Kontijen Positif)
Imbalan Kontijen meliputi interaksi antara atasan dan bawahan
yang di dasarkan pada asas pertukaran atau kesepakatan, dimana
bawahan akan mendapatkan penghargaan atas asas pertukaran atau
kesepakatan, dimana bawahan akan mendapatkan penghargaan,
pengakuan dan imbalan untuk setiap hasil pekerjaanya yang
memenuhi informasi yang telah ditetapkan sebelumya. Pemimpin
sebagai atasan juga harus berusaha untuk mengetahui kebutuhan pada
bawahannya dan memberikan kejelasan mengenai imbalan apa yang
akan diterima oleh bawahannya apabila performasi bawahan
memuaskan.
14
2.6. Gaya kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan transformasional terjadi ketika pemimpin dan pengikut
terkait satu sama lain sehingga mereka mampu saling menaikkan motivasi dan
moralitasnya (Burns, 1978). Teori kepemimpinan transformasional terdiri dari
empat dimensi yaitu pertimbangan individu, pengaruh idialis (karisma), motivasi
inspirasional, dan simulasi intelektual (Judge dan Piccolo, 2004).
Kepemimpinan
transformasional,
merupakan
perluasan
dari
kepemimpinan kharismatik, pemimpin menciptakan visi dan lingkungan yang
memotivasi untuk melakukan lebih dari apa yang di harapkan dari mereka.
Bahkan tidak jarang melampaui apa yang mereka bayangkan dapat mereka
lakukan. Model kepemimpinan yang berkembang pesat dalam dua dekade terakhir
ini didaraskan lebih pada upaya pemimpin untuk mengubah berbagai nilai,
keyakinan dan kebutuhan bawahan.
Pemimpin transformasional mencoba menimbulkan kesadaran para
pengikut dengan mengarahkannya kepada cita-cita dan nilai-nilai moral yang
lebih tinggi. Pemimpin transformasional membuat para pengikut menjadi lebih
peka terhadap nilai dan pentingnya pekerjaan, mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan
pada tingkat yang lebih tinggi dan menyebabkan para pengikut lebih
mementingkan organisasi. Hasilnya adalah para pengikut merasa adanya
kepercayaan dan rasa hormat terhadap pemimpin tersebut, serta termotivasi untuk
melakukan sesuatu melebihi dari yang diharapkan darinya. Jadi, model
kepemimpinan
transformasional
pemberdayaan
potensi
manusia.
melandaskan
Dengan
15
kata
diri
pada
lain,
pertimbangan
tugas
pemimpin
transformasional adalah memanusiakan manusia melalui berbagai cara seperti
memotivasi
dan
memberdayakan
fungsi
dan
peran
karyawan
untuk
mengembangkan organisasi dan pengembangan diri menuju aktualisasi diri yang
nyata (Sanusi, 2009).
Kepemimpinan Transformasional dalam konteks pengaruh atasan terhadap
bawahannya, bawahan merasa percaya, kagum, bangga, loyal dan respek kepada
atasannya, serta mereka termotivasi untuk mengerjakan sesuatu melebihi yang
diharapkan semula (Kreitner Kinicki, 2005). Atasan dapat mengubah bawahan
yaitu dengan:
1. Membuat bawahan lebih sadar nilai dan pentingnya hasil dari tugas
mereka.
2. Membujuk bawahan untuk mendahulukan kepentingan kelompok
diatas kepentingan pribadi.
3. Mengaktifkan kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi.
Kepemimpinan
Transformasional
memotivasi
bawahan
untuk
menghasilkan unjuk kerja melebihi dari yang di harapkan semula, yaitu dari
kepemimpinan transaksional. Pemimpin Transformasional mempunyai sifat
sebagai berikut:
1. Memandang dirinya sebagai agen perubahan.
2. Mengambil risiko yang bijaksana.
3. Dipercaya dan sensitif dengan kebutuhan bawahannya.
4. Bisa mengungkapkan inti dari nilai yang menjadi pedoman
perilakunnya.
16
5. Fleksibel dan terbuka untuk belajar pengalaman.
6. Mempunyai keahlian kognitif dan menganalisis masalah dengan
kesungguhan.
7. Sebagai pembawa visi yang percaya pada intuisinya.
Ada
tiga
cara
seorang
pemimpin
transformasional
memotivasi
karyawannya, yaitu dengan.
1. Mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha.
2. Mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok.
3. Meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri
dan aktualisasi diri.
Kepemimpinan Transformasional ditujukkan dengan perilaku karismatik,
inspirasi yang memotivasi, simulasi intelektual dan konsiderasi Individual atau
kelompok. Kepemimpinan Transformasional telah menghasilkan kesimpulan
bahwa perilaku-perilaku pemimpin Transformasional mampu menciptakan visi
dan lingkungan yang memotivasi para karyawan untk berprestasi melalui harapan,
dan juga pemimpin yang “memotivasi kita untuk berbuat lebih dari pada apa yang
sesungguhnya diharapkan dari kita untuk melakukanya”
1. Perilaku Karismatik
Perilaku karismatik merupakan reaksi bawahan terhadap atasan
dan perilaku atasan. Atasan didefinisikan dan dijadikan panutan oleh
bawahannya, dipercaya, dihormati, dan mempunyai misi, visi yang
menurut persepsi bawahan dapat tercapai. Atasan penetapkan standar
yang tinggi dan sasaran yang menantang pada bawahan.
17
2. Inspirasi Yang Memotivasi (Inspirational Motivation)
Pemimpin yang inspirasional adalah pemimpin yang berorientasi
pada tindakan dan merupakan pimpinan yang lebih suka untuk terjun
langsung kepada permasalahan yang dihadapi, dan tidak bersikap
seperti seorang birokrat yang mementingkan formalitas dan hak-hak
istimewa mereka (Kinicki, 2005). Bawahan terdorong untuk
melakukan usaha ekstra untuk mencapai tujuan kelompok.
3. Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation)
Dalam prakteknya pemimpin merangsang bawahannya untuk
selalu mempertanyakan kondisi yang berlaku saat ini dan merangsang
timbulnya inovasi dan cara-cara baru untuk menyelesaikan persoalan
dan bawahan didorong untuk berusaha memahami konsep dan
kandungan masalah dengan lebih baik.
Stimulasi intelektual digunakan untuk menyadarkan
dan
mendorong bawahan untuk mempertanyakan kembali cara, sistem,
nilai, kepercayaan, harapan, dan bentuk organisasi yang lama apakah
masih relevan.
4. Konsiderasi Individu dan Kelompok (Individual and Group
Consideration)
Konsiderasi Individu dan kelompok memiliki maksud bahwa
bawahan diperlukan secara individu maupun kelompok, sehingga
wawasan kebutuhannya dapat meningkat, sebaik atasan dalam
menetapkan sasaran yang menantang dan menyelesaikan pekerjaan
18
dengan lebih efektif. Dengan Konsiderasi Individual dan kelompok,
tugas dapat didelegasikan kepada bawahan untuk kesempatan belajar.
Perilaku yang berorientasi individu antara lain dengan menumbuhkan
keakraban dan saling kontak sesering mungkin dengan bawahan
secara pribadi, melakukan komunikasi informal sesering mungkin dan
memenuhi keinginan bawahan secara individu dan informasi yang di
perlukan (Kinicki, 2005:325).
2.7. Kepuasan Kerja
Menurut Handoko (2001), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan
memandang pekerjaan mereka, kepuasan karyawan mencerminkan perasaan
seseorang terhadap pekerjaanya. Menurut Efendi (2002), kepuasan kerja
didefinisikan dengan hingga sejauh mana individu merasakan secara positif atau
negatif berbagai macam faktor atau dimensi dari tugas-tugas dalam pekerjaannya.
Menurut pendapat Robbins (2003), istilah kepuasan kerja merujuk kepada sikap
umum seorang individu terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Seseorang dengan
tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukan sikap yang positif terhadap kerja itu,
sedangkan seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukan sikap
yang negatif terhadap pekerjaan itu. Karena pada umumnya apabila orang
berbicara mengenai sikap karyawan, lebih sering mereka memaksudkan kepuasan
kerja.
19
Hasibuan (2006) menyatakan, kepuasan kerja adalah sikap emosional yang
menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral
kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan,
luar pekerjaan, dan kombinasi antara keduanya. Kepuasan kerja pada dasarnya
merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat
kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada
dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan
keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut.
Jadi secara garis besar kepuasan kerja dapat diartikan sebagai hal yang
menyenangkan atau yang tidak menyenangkan yang mana pegawai memandang
pekerjannya.
Menurut Herzberg seperti yang dikutip oleh Sumantri (2001), ciri perilaku
pekerja yang puas adalah mereka yang mempunyai motivasi yang tinggi untuk
bekerja, mereka lebih senang dalam melakukan pekerjaannya,sedangkan ciri
pekerja yang kurang puas adalah mereka yang malas berangkat kerja ke tempat
bekerja, dan malas dalam melakukan pekerjaannya.
Ada lima faktor yang dapat mendorong kepuasan kerja (Robbins, 2001)
yaitu:
1. Kerja yang secara mental menantang
Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan apabila mereka diberi
kesempatan untuk menggunakan ketrampilan itu dan kemampuan mereka.
2. Gaji yang pantas
20
Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijaksanaan promosi yang
adil, pasti (tidak meragukan) dan segaris dengan harapan mereka. Jika gaji
yang diterima dianggap adil dan sesuai dengan tuntutan kerja, ketrampilan
individu dan standar masyarakat, maka kemungkinan besar kepuasan kerja
akan terjadi. Menurut Robbins, kuncinya bukan pada besarnya uang yang
diterima tetapi pada adanya persepsi keadilan.
3. Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan peduli akan lingkungan kerja dan fasilitas kerja baik untuk
kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas.
4. Rekan sekerja yang mendukung
Memiliki teman-teman sekerja yang bershabat dan siap membantu akan
menuju kepada peningkatan kepuasan kerja. Selain rekan kerja yang
mendukung,
memiliki
pimpinan
yang
pengertian
dan
bersahabat,
menyampaikan pujian-pujian untuk kerja baiknya, mendengarkan pendapat
karyawan dan menunjang interest pribadi terhadapnya juga akan dapat
meningkatkan kepuasan kerja. Orang-orang yang mendapatkan lebih daripada
sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari pekerjaan mereka.
5. Kesesuaian antara pekerjaan dengan kepribadian
Perimbangan yang digunakan adalah bagaimana memberikan suatu tugas atau
pekerjaan yang sesuai dengan karakteristik dan kemampuan karyawan
tersebut. Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang karyawan dan
pekerjaan akan menghasilkan individu yang lebih terpuaskan.
21
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas, maka dapat dinyatakan
bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan senang atau tidak senang terhadap
pekerjaanya atau hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan (gaji yang diterima,
hubungan dengan rekan kerja, jenis pekerjaan) atau kondisi dirinya (usia, minat,
bakat, dan kemampuan).
Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal-hal yang bersifat individual
karena setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda.
Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaanya. Hal ini
terlihat dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaanya dan segala sesuatu
yang dihadapi di lingkungan kerjanya, sementara karyawan yang merasa tidak
puas dengan pekerjaanya akan memperhatikan sikap negatifnya. Karyawan yang
mempunyai kepuasan kerja yang tinggi cenderung akan melakukan tugas dan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya dengan baik.
22
Download