8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Usia Sekolah 2.1.1 Pengertian Anak Usia Sekolah Menurut WHO (World Health Organization) adalah golongan anak yang berusia antara 7 sampai 15 tahun .Anak usia sekolah adalah anak- anak yang dianggap sudah mulai mampu bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan orangtua mereka, teman sebaya dan orang lain. Usia sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu (Wong, et al., 2009). Priode anak usia sekolah di negara-negara industri dimulai saat anak mulai masuk sekolah dasar sekitar usia 6 tahun sampai pubertas yaitu usia 12 tahun yang merupakan tanda akhir masa kanak-kanak menengah (Potter & Perry, 2005). Periode usia sekolah berakhir dengan usia kurang lebih 12 tahun, pada priode ini terdapat priode pra-remaja dan priode pra-pubertas dan priode ini diakhiri dengan tanda awitan pubertas (Kozier, et al., 2011). Anak usia sekolah berada pada pola perkembangan yang rawan yaitu usia 10 tahun sampai 12 tahun atau tahap usia sekolah dasar. Pada usia 10 sampai 12 tahun anak sedang dalam perkembangan pra-remaja,yang mana secara fisik maupun psikologis pada masa ini anak sedang menyongsong pubertas. Anak usia sekolah masih dalam perkembangan aspek fisik, kognitif, emosional, mental, dan sosial, sehingga dubutuhkan cara-cara 8 Universitas Sumatera Utara 9 tentang penyampaian tentang pengetahuan seks dan kesehatan reproduksi (Kriswanto. 2006; Amaliyasari & Puspitasari, 2008). 2.1.2 Tahap Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah 2.1.2.1 Pertumbuhan Fisik Anak usia sekolah dilihat berdasarkan berat badan memiliki kenaikan rata-rata 3-3,5 kg pertahunnya, sedangkan tinggi badan anak usia sekolah memiliki kenaikan rata-rata 6 cm atau 2,5 inchi pertahunnya (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000). Berat badan anak laki-laki usia 6 tahun adalah sekitar 21 kg, sedangkan berat badan anak perempuan lebih ringan 1 kg dari anak laki-laki yaitu sekitar 20 kg. Berat badan anak usia sekolah usia 6 sampai 12 tahun mengalami kenaikan rata-rata kurang lebih 3,2 kg pertahun. Tinggi badan anak usia 6 tahun baik laki-laki maupun perempuan memiliki tinggi badan yang hampir sama, yaitu kurang lebih 115 cm dan setelah usia 12 tahun memiliki tinggi badan 150 cm. Uraian diatas menunjukkan bahwa anak usia sekolah mengalami pertumbuhan fisik yang berbeda-beda pada setiap individu, disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan (Kozier, Berman, & Snyder, 2011). 2.1.2.2Perkembangan Kognitif Perubahan kognitif anak usia sekolah adalah kemampuan anak berpikir logis dan sudah berubah dari pemikiran yang abstraksi. Pemikiran anak usia sekolah tidak lagi didominasi oleh persepsinya dan sekaligus sudah mampu untuk memahami dunia secara luas. Anak usia 7 tahun Universitas Sumatera Utara 10 mengalami perkembangan kognitif tahap ketiga dalam teori Pieget. Ciri pokok perkembangan pada tahap ketiga pieget, anak sudah mulai mampu menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, memiliki kecakapan berpikir logis akan tetapi hanya pada benda-benda yang bersifat konkret (Potter & Perry, 2005). Anak dalam tahap operasional egosentris dan mengembangkan konkret cenderung sedikit kemampuan decenter yang memungkinkan anak untuk berkonsentrasi pada lebih dari satu aspek situasi. Anak juga mengembangkan reversibilitas, yaitu kemampuan mencari cara memikirkan kembali suatu hal pada asalnya. Decentring dan reversibilitas membuat anak menggunakan konservasi, yaitu kemampuan mengenali jumlah kuantitas substansi tetap sama meskipun terjadi perubahan bentuk atau penampilan. Anak usia sekolah juga mampu menempatkan objek berdasarkan tingkatan ukuran yang disebut seriasi, kemampuan ini terjadi pada usia 7 atau 8 tahun. Selama usia sekolah terjadi proses mental yang lebih kompleks (Potter & Perry, 2005). Anak usia sekolah menggunakan kemampuan kognitif untuk memecahkan masalah. Anak usia sekolah yangmampu memecahkan masalah dengan baik memiliki karakteristik sikap yang positif, persistensi, mampu mengambil pelajaran dari suatu masalah, dan mampu mencari fakta tanpa menduga-duga (Potter & Perry, 2005). Universitas Sumatera Utara 11 2.1.2.3 Perkembangan Psikososial Anak usia sekolah berjuang untuk mendapatkan kompetensi dan keterampilan yang penting bagi mereka untuk berfungsi sama seperti dewasa. Anak usia sekolah yang mendapat keberhasilan positif merasa berharga, dan yang gagal merasa mediokratis (biasa saja) atau perasaan tidak berharga, yang dapat mengakibatkan menarik diri dari sekolah dan sebaya (Potter & Perry, 2005). 2.1.2.4 Perkembangan Moral Kebutuhan moral dan aturan sosial anak usia sekolah menjadi lebih nyata sesuai peningkatan kemampuan kognitif dan pengalaman sosial anak usia sekolah. Anak usia sekolah di usia 12 tahun mampu mempertimbangkan seperti apa jadinya masyarakat tanpa aturan karena kemampuan mereka untuk membuat alasan secara logis dan pengalamn mereka dalam kelompok bermain. Anak usia sekolah memandang aturan sebagai prinsif dasar kehidupan, bukan hanya perintah dari yang memiliki otoritas (Potter & Perry, 2005). 2.1.2.5 Pertumbuhan Emosional Pertambahan usia anak meningkatkan kepekaan anak terhadap perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Anak dapat mengatur ekspresi emosionalnya dalam situasi sosial, dan anak dapat merespon tekanan emosional orang lain (Papalia, 2010). Pemahaman emosi anak usia 6 sampai 7 tahun yaitu anak dapat memahami dua perasaan yang Universitas Sumatera Utara 12 muncul sekaligus. Anak usia 7 sampai 8 tahun dapat mengembangkan kategori terpisah untuk emmosi positif dan negatif. Usia 7 sampai 8 tahun pada anak sudah mulai menyadari bahwa anak memiliki dua perasaan yang sejenis terhadap target yang berbeda. Pada anak usia 8 sampai 10 tahun sudah dapat mengintegrasikan rangkaian emosi positif dan negatif. Kemampuan anak mendeskripsikan perasaan yang saling bertentangan terhadap target yang sama ditermuakan pada anak yang berusia 11 tahun. Harter (1996, dalam Papalia dkk, 2010) menambahkan tentang pandangan anak usia 7 atau 8 tahun yang dipengaruhi oleh rasa malu, rasa bangga, dan jenis sosialisasi yang pernah diterima si anak. Pendapat Eisenberg, dkk. (1996 dalam Papalia 2010) mengatakan bahwa anak-anak menjadi lebih empati dan mulai condong pada tanda-tanda penyesuaian yang positif, cenderung bertindak sesuai dengan situasi sosial, relatif bebas dari emosi negatif, dan menghadapi masalah secara konstruktif. Rotenberg & Eisenberg (1997 dalam Papalia ) mengatakan bahwa kontrol terhadap emosi negatif merupakan salah satu aspek pertumbuhan emosional. Anakanak belajar tentang apa-apa yang membuat anak menunjukkan emosi, dan mereka belajar tentang hal yang membuat mereka marah, takut, seduh, dan baimana orang lain menunjukkan emosi ini, dan mereka belajar mengadaptasikan perilaku mereka dengan emosi-emosi tersebut. Universitas Sumatera Utara 13 2.1.3 Masalah Pada Perilaku Anak Usia Sekolah Perilaku antisosial bisa terjadi pada masa anak-anak,yaitu perilaku berbohong, mencuri, dan berperilaku curang. Anak- anak berbohong untuk memenuhi suatu yang diharapkannya karena tidak mampu melakukannya. Sebagian besar anak usia sekolah sudah menghindari tindakan berbohong dan menipu, dan juga sangat peduli pada kesalahan tindakan berbohong dan menipu terutama pada teman-temannya. Anak akan segera memberitahukan yang lain jika menemukan tindakan berbohong dan menipu (Wong, et al., 2008) Anak usia sekolah juga sering berperilaku curang, terutama pada usia 5 sampai 6 tahun. Kesulitan anak menerima kekalahan dalam permainan atau perlombaan menyebabkan anak berperilaku curang untuk mendapatkan kemenangan. Kebiasaan curang dalam bermain akan terbawa pada saat ujian, diimana anak sering mencontek atau memaksa teman memberi jawaban. Anak belum menyadari sepenuhnya kesalahan perilaku ini dan melakukannya kembali hampir secara otomatis. Perbuatan curang ini biasanya menghilang dengan kematangan anak (Wong, et al., 2008) Perilaku antisosial seperti mencuri juga sering terjadi pada anak, terutama pada usia 5 sampai 8 tahun. Perilaku mencuri pada anak terjadi karena hak anak dibatasi dan keinginan kuat untuk memilki benda yang di dambakan. Sehingga, jika anak tertarik pada sesuatu maka anak cenderung mengambil uang untuk membelinya atau langsung mencuri benda yang diinginkan, sedangkan anak yang lebih besar akan mencuri untuk menambah uang sakunya. Perilaku ini sebagian Universitas Sumatera Utara 14 besar bisa diatasi dengan cara memberi peringatan dan hukuman yang tepat, seperti meminta anak untuk mengembalikan uang atau barang yang telah dicurinya (Wong, et al., 2008) Melanggar peraturan dan disiplin termasuk perilaku antisosial pada anak. Disiplin dan peraturan yang ada menyebabkan stresor bagi anak. Sesuai dengan pendapat Soejanto (2005) ada beberapa masalah yang menjadi stresor bagi anak usia sekolah, yaitu keharusan adanya tata tertib sekolah, tuntutan tertentu, persaingan, dan sikap kurang menguntungkan. Normalnya, tekhnik disiplin akan membantu anak mengendalikan perilaku mereka sendiri dengan menggunakan penalaran. Dengan semakin baiknya keterampilan kognitif, anak mampu memperoleh manfaat dari jenis strategi disiplin yang lebih kompleks (Wong, et al., 2008). Disiplin dan peraturan yang dianggap stresor masalah akan dihadapi oleh anak usia sekolah dengan cara regresi, penolakan, dan agresi (Potter & Perry, 2005). 2.2 Perilaku Agresif 2.2.1 Pengertian Perilaku Agresif Perilaku agresif adalah perilaku seseorang yang memberikan dorongan, desakan, dan serangan yang ditujukan terhadap orang lain, ketika orang lain mengucapkan kata-kata yang mengancam, dan melakukan penghinaan melalui lisan dan ekspresi wajah ( Hogg, & Vaughan, 2011) Universitas Sumatera Utara 15 Menurut Serason (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) secara umum agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap organisme lain, obyek lain atau bahkan pada dirinya sendiri. Defenisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata, sementara pada tingkat manusia masalah agresi sangat kompleks karena adanya peranan dan prosesproses simbolik. Agresi menurut Baron & Richardson (1994 dalam Baron & Byrne, 2005) agresi adalah siksaan yang diarahkan secara sengaja dari berbagai bentuk kekerasan terhadap orang lain. Sedangkan Robert Baron (1988, dalam Dayaskini & Hudaniah) menyatakan bahwa agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Defenisi dari Baron ini mencakup empat faktor tingkah laku, yaitu; tujuan untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku (Baron, & Byrne, 2005) Perilaku agresif adalah perilaku merugikan atau menyakiti orang lain yang dianggap mengancam terhadap dirinya baik secara langsung maupun tidak langsung. 2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Agresif 2.2.2.1 Frustasi Frustasi merupakan kondisi ketika seseorang tidak memperoleh apa yang diinginkan (atau diharapkan). Frustasi dapat di defenisikan Universitas Sumatera Utara 16 sebagai kondisi perasaan ketika ada sesuatu atau seseorang yang menghalangi untuk mendapatkan apa yang diinginkan atau diharapkan dalam beberapa situasi. Frustasi dipercayai sebagai penyebab munculnya agresi, hal ini dibuktikan dari hipotesis frustasi-agresi yang menyatakan bahwa frustasi selalu memunculkan bentuk tertentu dari agresi dan agresi selalu muncul dari frustasi. Setelah dilakukan penelitian hipotesa frustasiagresi menjadi ditolak dengan temuan bahwa ketika merasa frustasi, individu tidak selalu merespon dengan melakukan agresi. Sebaliknya, setiap individu memperlihatkan banyak reaksi yang berbeda, mulai dari kesedihan, keputusasaan, dan depresi di satu sisi, sampai pada usahaa langsung untuk mengatasi sumber frustasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak semua agresi datang dari frustasi (Baron, & Byrne, 2005) 2.2.2.2 Agresi yang Dipindahkan Agresi terhadap seseorang yang bukan sumber dari provokasi awal disebut sebagai agresi yang dipindahkan. Adanya agresi yang dipindahkan seperti itu memperlihatkan bahwa pengaruh dari suatu provokasi dengan kadar tertentu tidak selalu benar, melainkan tegantung pada kejadiaan lain apa yang terjadi pada seseorang sebelumnya. Seseorang yang mengalami hari yang menyenangkan, provokasi yang ringan mungkin memunculkan agresi ringan atau bahkan tidak ada agresi sama sekali. Tetapi jika seseorang sedang mengalami hari yang buruk, mungkin akan melakukan agresi yang kuat. Psikologi sosial menyebut reaksi seperti itu sebagai contoh dari agresi yang dipindahkan (dipicu), yaitu suatu peristiwa pemicu Universitas Sumatera Utara 17 ringan yang ditimbulkan oleh seseorang mengakibatkan orang tersebut menjadi target dari agresi yang dipindahkan dari peristiwa sebelumnya sebagai provokasi (Baron, & Byrne, 2005) Dalam kondisi tidak ada provokasi, peristiwa pemicu menghasilkan sedikit agresi atau tidak sama sekali terhadap orang lain. Dalam kondisi provokasi, seseorang akan menunjukkan reaksi agresi kuat terhadap orang lain dari peristiwa pemicu ringan (Baron, & Byrne, 2005) 2.2.2.3 Pemaparan Terhadap Kekerasan di Media Massa Pemaparan terhadap kekerasan dimedia merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada tingginya tingkat kekerasan di negaranegara dimana materi-materi tersebut dilihat oleh sejumlah besar orang ( Anderson, 1997; Berkowitz, 1993; Paik & Comstock, 199; Wood, Wong, & Cachere, 1991). Banyak bukti yang mendukung kesimpulan ini. Eksperimen laboratorium jangka pendek, anak-anak atau orang dewasa diminta untuk menonton film dan acara televisi yang mengandung kekerasan atau yang tidak mengandung kekerasan. Hasil dari eksperimen ini menunjukkan tingkat agresi pada partisipan yang melihat film atau program kekerasan lebih tinggi (Baron, & Byrne, 2005) 2.2.2.4 Keterangsangan Emosi Emosi yang mudah terangsang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku agresi (Zillman, 1994). Dalam berbagai kondisi yang meningkatkan keterangsan emosional dari berbagai sumber dapat Universitas Sumatera Utara 18 meningkatkan agresi sebagai respon terhadap provokasi, frustasi faktor-faktor lain. Sebuah eksperimen menunjukkan dan bahwa keterangsangan berasal dari sumber yang bervariasi seperti partisipasi dalam permainan kompetitif, olahraga keras, dan tipe musik tertentu ditemukan dapat meningkatkan agresi. Pendapat ini dijelaskan dalam teori transfer eksitasi yang menyatakan bahwa keterangsangan fisiolagis cenderung untuk hilang secara perlahan seiring dengan waktu, sebagian dari keterangsangan tersebut kemungkinan masih tetap ada sejalan dengan bergeraknya individu dari satu situasi ke situasi lain. Teori transer eksitasi selanjutnya menyatakan bahwa agresi terjadi ketika orang yang telibat relatif tidak menyadari adanya keterangsangan emosi yang tersisa, karena kereangsangan kecil sulit untuk disadari (Zilman, 1994) 2.2.2.5 Alkohol dan Obat-Obat Terlarang Banyak terjadi perilaku agresi dikaitkan pada mereka yang mengkonsumsi alkohol. Menurut hasil penelitian Pihl & Ross (dalam Brigham, 1991) mengkonsumsi alkohol dalam dosis yang tinggi meningkatkan kemungkinan respon agresi ketika seseorang di provokasi. Namun tidak tejadi pada setiap orang, karen ada perbedaan individual pada harapan orang tentang apakah alkohol akan merangsang perilaku agresif. Penjelasan lain mengatakan bahwa alkohol dengan dosis tinggi akan menggangu kognitif, yaitu mengurangi kemampuan seseorang untuk mengatasi situasi yang sulit. Gangguan kognitif ini khususnya mempengaruhi reaksi terhadap isyarat-isyarat yang samar, sehingga lebih Universitas Sumatera Utara 19 memungkinkan melakukan interpretasi yang salah tentang perilaku orang lain sebagai agresif atau mengancam dirinya (Baron, & Byrne, 2005) 2.2.3 Aspek-Aspek Perilaku Agresif Aspek-aspek perilaku agresif menurut Atkinson (1991), terdiri dari : 2.2.3.1 Agresif Instrumental Yaitu agresif yang ditunjukan untuk membuat penderitaan pada korbannya dengan menggunakan alat-alat baik benda, orang lain maupun ide yang dapat dibuat menjadi alat untuk mewujudkan rasa agresif, yang termasuk jenis ini adalah perampokan, perampasan, penculikan dan lain sebagainya. 2.2.3.2 Agresif Verbal Yaitu agresif yang dilakukan terhadap sumber agresif secara verbal. Agresif verbal ini bisa berupa kata-kata yang dianggap mampu menyakiti, melukai, menyinggung perasaan atau membuat orang lain menderita. 2.2.3.3 Agresi Fisik Yaitu agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan rasa marah oleh individu yang menjalani agresif tersebut, misalnya agresif yang terjadi dalam perkelahian, respon menyerang muncul terhadap stimulus. Universitas Sumatera Utara 20 2.2.3.4 Agresif Emosional Yaitu agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan rasa marah. Agresif ini sering dialami orang yang tidak mempunyai kemampuan melakukan agresif secara terbuka, misalnya karena keterbatasan kemampuan, kelemahan dan ketidakberdayaan. Agresi ini biasanya dibangkitkan oleh perasaan tersinggung atau kemarahan. 2.2.3.5 Agresif Konseptual Yaitu agresif yang bersifat penyaluran agresi yang disebabkan oleh ketidakberdayaan melawan, baik secara visik maupun verbal. Individu yang marah menyalurkan agresifnya secara konsep atau saran-saran yang membuat orang ikut menyalurkan perasaan negatif. Misalnya dalam bentuk hasutan, gosip atau isu-isu yang membuat orang lain menjadi marah, terpukul, kecewa, ataupun membuat orang lain menjadi menderita. 2.2.3.6 Agresif Kolektif Yaitu adanya tindak atau perlakuan agresi yang dialkukan oleh sekelompok orang atau membenarkan tindakan mereka sebagai usaha untuk melenyapkan tau menghancurkan orang lain yang dibenci. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek agresifitas adalah agresif instrumental, agresif verbal, agresif fisik, agresif emosional, agresif konseptual dan agresif kolektif. Universitas Sumatera Utara 21 2.3 Kecerdasan Emosional 2.3.1 Definisi Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan seseorang dalam mengenali kondisi perasaannya secara pribadi dan perasan orang lain serta menggunakan perasaan itu dalam berpikir dan bertindak (Nurhidayah, 2006). Sedangkan Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional atau emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. 2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Anak Perkembangan emosi anak tergantung pada faktor pematangan dan faktor belajar , dam kedua faktor ini saling tergantung satu sama lain. 2.3.2.1 Peran Pematangan Menurut Santrock (2007) perkembangan intelektual anak menghasilkan kemampuan anak untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam jangka waktu yang lama, dan menghilangkan ketegangan emosi pada suatu obyek. Perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan perilaku emosional. Bayi memiliki endokrin yang relatif sedikit dalam menopang stress. Setelah bayi lahir kelenjar endokrin mengecil secara tajam, Universitas Sumatera Utara 22 kemudia dalam selang beberapa waktu kelenjar ini akan membesar dengan pesat sampai anak pada usia 5 tahun. Kelenjar endokrin sebagai penopang reaksi fisiologis terhadap stress akan mengalami perlambatan permbesaran setelah usia 5 tahun sampai 11 tahun, dan akan membesar lebih pesat lagi pada usia 16 tahun, dan pada usia 16 tahun akan kembali padan ukuran semula. Hanya sedikit adrenalin yang diproduksi dan dikeluarkan sampai kelenjar endokrin membesar, pengaruhnya penting terhadap keadaan emosional pada masa kanak-kanak. 2.3.2.2 Peran Belajar Pengalaman belajar anak akan menentukan ciri reaksi potensial yang akan digunakan untuk menyatakan kemarahannya. Lima jenis kegiatan belajar yang mempengaruhi perkembangan emosi anak yaitu, belajar secara coba dan ralat, belajar dengan meniru, belajar dengan mempersamakan diri, belajar melalui pengkondisian, dan pelatihan. 2.4.2 Komponen Dasar Kecerdasan Emosional Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional memiliki lima dasar kecakapan yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial. 2.4.2.1 Kesadaran Diri Kesadaran diri dalam kecerdasan emosional melahirkan kecakapan kesadaran emosi, penilaian diri secara teliti, dan percaya diri. Kecakapan Universitas Sumatera Utara 23 kesadaran emosi adalah kemampuan mengetahui emosi mana yang sedang dirasakan dan mengapa hal itu terjadi, menyadari keterikatan antara perasaan dengan yang dipikirkan, perbuatan dan perkatakan, mengetahui bagaimana perasaan mempengaruhi tindakan, mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan tujuan. Kecakapan penilaian diri adalah kesadaran akan kekuatan dan kelemahannya, menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman, terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima umpan persefektif baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri, mampu menunjukkan rasa humor dan melihat diri sendiri dengan pandangan yang luas. Sedangkan kepercayaan diri mencakup mereka yang berani tampil dengan keyakinan diri dan keberadaannya, berani mengemukakan pendapat dan mau berkorban, tegas dan mampu membuat keputusan yang baik walaupun dalam keadaan tertekan (Goleman, 2001). 2.4.2.2 Pengaturan Diri Pengaturan diri yaitu kemampuan mengelola atau mengendalikan diri, memiliki sifat yang dapat dipercaya, kewaspadaan, adaptibilitas, dan inovasi. Pengendalian diri berarti mampu mengelola emosi dan sesuatu yang merusak dan menekannya secara efektif, tetap teguh, dan tetap positif walaupun dalam situasi yang paling berat. Sifat dapat dipercaya berarti memelihara norma kejujuran dan integritas diri, bertindak menurut etika dan tidak pernah mempermalukan orang, membangun kepercayaan, rendah hati untuk mengakui kesalahan dan berani menegur perbuatan orang lain Universitas Sumatera Utara 24 yang salah, serta berpegang pada prinsip secara teguh walaupun akibatnya menjadi tidak disukai orang lain. Kewaspadaan berarti bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Sifat bersungguh-sungguh atau kewaspadaan yaitu memenuhi komitmen dan menepati janji. Adaptibilitas berarti memiliki sikap terbuka dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Sikap yang termasuk adaptibilitas adalah terampil menangani beragamnya kebutuhan, bergesernya prioritas, dan pesatnya perubahan, mau mengubah pendapat dan strategi untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Sedangkan inovasi berarti mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi yang baru (Goleman, 2001). 2.4.2.3 Motivasi Diri Motivasi merupakan suatu kecendrungan emosi yang membuat dan memudahkan meraih suatu tujuan. Motivasi terkait dengan dorongan prestasi, komitmen, inisiatif, dan optimisme. Dorongan berprestasi merupakan dorongan untuk menjadi lebih baik sesuai dengan standar keberhasilan. Ciri-ciri anak yang memiliki kecakapan dorongan berprestasi adalah berorientasi kepada hasil yang ingin dicapai, memiliki semangat yang tinggi untuk meraih tujuan. Komitmen pada anak usia sekolah yaitu sikap mematuhi aturan yang berlaku di lingkungannya. Inisiatif berarti kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan. Sedangkan Optimisme merupakan kegigihan dalam mencapai tujuan walaupun ada tantangan dan kegagalan. Keterampilan yang dimiliki anak yang memiliki kecakapan optimisme adalah tekun dalam mencapai tujuan meskipun banyak Universitas Sumatera Utara 25 tantangan dan kegagalan, memilki harapan untuk sukses, tidak takut gagal (Goleman, 2001). 2.4.2.4 Empati Empati berarti ikut merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami pikiran orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan mampu menyesuaikan diri dengan orang lain. Memahami orang lain berarti mampu memperhatikan kondisi emosi orang lain dan mendengarkannya dengan baik, menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap pikirannya, serta membantu berdasarkan pemahaman terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain. Sedangkan memanfaatkan keragaman berarti menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan bermacammacam orang. Hal yang lain yang terkait keterampilan dalam kecakapan memanfaatkan keragaman adalah mau bergaul dengan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda, memahami beragamnya pandangan dan peka terhadap perbedaan antar kelompok memandang keragaman sebagai peluang, menciptakan lingkungan yang memungkinkan semua orang sama-sama serta berani menantang sikap membeda-bedakan (Goleman, 2001). 2.4.2.5 Keterampilan Sosial Keterampilan sosial dalam kecerdasan emosional meliputi kemampuan anak dalam berkomunikasi dan bergaul dengan orang-orang disekitarnya. Kecakapan komunikasi bisa dilihat dari cara anak Universitas Sumatera Utara 26 mendengarkan dengan baik, berusaha saling memahami, dan bersedia berbagi informasi, serta mau berkomunikasi secara terbuka. Universitas Sumatera Utara