41 BAB III PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA TIRKAH (HARTA PENINGGALAN) MENURUT HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Hukum Kewarisan Islam Hukum kewarisan mengatur tentang penyelesaian hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang. Dalam perkembangannya sampai saat ini, para ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum, belum ada keseragaman istilah maupun pengertian tentang hukum kewarisan. Istilah yang beranekaragam tersebut dapat dilihat dari penggunaan istilah para ahli hukum seperti, Wirjono Prodjodikoro yang menggunakan istilah hukum warisan93, Soepomo yang menyebutnya dengan istilah hukum waris94 dan Hazairin yang menggunakan istilah hukum kewarisan95 sebagaimana juga digunakan dalam penelitian ini. Hukum kewarisan yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan suatu unifikasi hukum. Pluralisme hukum kewarisan di Indonesia dilatarbelakangi oleh keanekaragaman sistem kekeluargaan maupun adat-istiadat masyarakat.96Hukum kewarisan yang berlaku di Indonesiaada 3 (tiga), yaitu hukum kewarisan adat, hukum kewarisan Barat maupun hukum kewarisan Islam.97 Hukum kewarisan merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris 93 Eman Suparman, Op.Cit., hal.1 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta : Penerbitan Universitas, 1996), hal.72 95 Eman Suparman, Op.Cit., hal.1 96 Ibid., hal.6 97 Ibid., hal.8 94 41 Universitas Sumatera Utara 42 sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Hukum kewarisan khususnya hukum kewarisan Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.98 Hukum kewarisan Islam dianggap kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Hukum kewarisan Islam dianggap sebagai compulsory law (dwingentrecht) yakni hukum yang berlaku secara mutlak dan baku.99Hukum kewarisan Islam sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal tersebutdisebabkan karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam Al Qur’an. Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Pembagian itu lazim disebut faraidh, artinya menurut syara’ ialah pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya.100 Secara etimologis, faraidh diambil dari kata fardh yang berarti taqdir “ketentuan”. Dalam istilah syara’ bahwa kata fardh adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.101Hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar 98 Ahmad Rofiq , Hukum Islam Indonesia, 1995, Op.Cit., hal.355 Aminullah HM., Sekitar Formulasi Hukum Kewarisan dalam Semangat Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Munawir Sjadzali, dk., Polemik Reaktualisasi (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1998), hal. 164 100 Mohammad Rifai, Ilmu Fiqih Islam, (Semarang : CV Toha Putra, 1978), hal.513 101 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta Selatan : Pena Pundi Aksara, 2006), hal.479 99 Universitas Sumatera Utara 43 sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.102 Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miirats.Makna Al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal menurut syari’i.103 Pengertian hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.104 Pemaparan secara lebih mendalam mengenai sumber hukum kewarisan Islam, ada baiknya didahului dengan uraian defenisi sumber hukum secara umum.Sumber hukum didefenisikan sebagai segala sesuatu yang menimbulkan atau melahirkan hukum. Sumber hukum dapat juga disebut asal mulanya hukum, menimbulkan aturan yang bersifat memaksa dan mengikat, jika melanggar akan mendapatkan sanksi yang 102 http://edon79.wordpress.com/2009/07/10/fiqh-mawaris/, diakses pada tanggal 20 September 2015 103 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hal.33 104 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal.4 Universitas Sumatera Utara 44 tegas dan nyata.105Sumber hukum juga sering didefenisikan sebagai bahan-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara.106 Sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materil, dimana para ahli memberikan defenisi yang berbeda-beda terhadap kedua jenis sumber hukum tersebut. Uthrecht berpendapat bahwa sumber hukum materil merupakan perasaan hukum atau keyakinan hukum individu dan pendapat umum (public opinion) yang menjadi faktor penentu dari isi hukum (determinant materiil).107 Dalam literatur yang lain, diuraikan bahwa sumber hukum dalam arti materiil merupakan sumber berasalnya substansi hukum. Salmon dan Bodenheimer berpendapat bahwa sumber hukum materiil merujuk kepada hukum yang tidak dibuat oleh organ negara, yaitu berupa kebiasaan, perjanjian dan lain-lain.108 Sumber hukum materiil merupakan tempat darimana materi hukum diambil. Sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalu intas), perkembangan internasional dan keadaan geografis.109Pada umumnya sumber hukum 105 Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab, Cet-II, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2005),hal.25 106 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, 2009), hal.301 107 Dudu Duswara Macmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, (Bandung : Refika Aditama, 2010), hal.77 108 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit.,hal.304 109 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 2005),hal.83 Universitas Sumatera Utara 45 materil berupa aneka gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat yang telah menjelma menjadi suatu peristiwa.110 Di samping sumber hukum materiil, terdapat pula sumber hukum formil. Menurut Uthrecht, sumber hukum formil (determinant formal) merupakan sumber yang menentukan berlakunya hukum (formele determinanten van de rechtsvorming).111 Dalam sumber hukum formil terdapat berbagai aturan yang merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan agar ditaati oleh masyarakat dan penegak hukum. Sumber hukum formil dapat dikatakan juga sebagai causa efficient hukum. Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal tersebut berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku.112Sumber hukum merupakan sumber berasalnya kekuatan mengikat dan validitas suatu hukum. Sumber tersebut tersedia dalam formulasi-formulasi tekstual yang berupa dokumen-dokumen resmi yang dibuat oleh negara113 dan memiliki bentuk-bentuk tersendiri yang secara yuridis telah diketahui berlaku umum.114 Sumber hukum dalam arti formil secara umum dapat dibedakan menjadi115: 1. Undang-undang 110 Ridwan Halim, Op.Cit.,hal.25 Dudu Duswara Macmudin, Op.Cit., hal.78 112 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal.83 113 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal.305 114 Ridwan Halim, Op.Cit.,hal.25 115 Dudu Duswara, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa,(Bandung : Refika Aditama, 2010), 111 hal.79 Universitas Sumatera Utara 46 2. Kebiasaan dan adat 3. Traktat atau perjanjian atau konvensi internasional 4. Yurisprudensi 5. Pendapat ahli hukum terkenal Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa sumber hukum dapat diartikan sebagai116: 1. Sebagai asas hukum, yaitu sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya 2. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang sekarang berlaku 3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlakunya secara formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat) 4. Sebagai sumber darimana dapat mengenal hukum misalnya dokumen, undang-undang, lontar, batu bertulis dan sebagainya 5. Sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum Defenisi hukum kewarisan Islam dan sumber hukum secara umum, memberikan pemahaman bahwa sumber hukum kewarisan Islam dapat diartikan sebagai sumber dimana dapat ditemukan peraturan yang mengatur tentang perpindahan hak milik atas harta peninggalan (tirkah) seseorang yang telah meninggal serta dasar mengikatnya peraturan tersebut. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, hukum kewarisan Islam yangberlaku di Indonesia masih pluralisme dan belum diunifikasi, yang terdiri dari hukum kewarisan adat, hukum kewarisan Barat dan Hukum Kewarisan Islam. Hal tersebut berkaitan erat juga dengan beranekaragamnya sumber hukum kewarisan masing-masing. 116 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal.82 Universitas Sumatera Utara 47 Sumber hukum kewarisan adat berasal dari adat istiadat pewaris dan hukum kewarisan Barat berdasarkan pada KUH Perdata. Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal dalam hubungan hukum harta kekayaannya. Hubungan-hubungan hukum yang lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga.117Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Menurut Syamsul Rijal Hamid bahwa pengertian warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup.118Warisan itu menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari masyarakat itu meninggal dunia.119 Dalam hukum kewarisan Islamdikenal terdapat beberapa syarat terjadinya waris atau disebut juga rukun waris, yaitu : 1. Pewaris benar-benar telah meninggal atau dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal misalnya orang yang ditangkap dalam peperangan dan orang hilang (mafqud) yang telah lama meninggalkan tempat tanpa diketahui 117 R.Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, (Surabaya : Airlangga University Press), hal.3 118 Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Bogor : Cahaya Salam, 2011), hal.366 119 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : Sumur Bandung, 1991), hal.11 Universitas Sumatera Utara 48 ihwalnya.120 Syarat matinya pewaris mutlak harus dipenuhi. Seseorang baru disebut pewaris jika telah meninggal dunia, sehingga jika seseorang memberikan harta kepada ahli warisnya ketika masih hidup, maka itu bukan waris.121 Kematian pewaris dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu122 : a. b. c. 2. Mati sejati (haqiqy), yaitu kematian yang dapat disaksikan oleh panca indera Mati menurut putusan hakim (mati hukmy), yaitu kematian yang disebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup atau telah mati. Mati menurut dugaan (taqdiry), yaitu kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang tersebut telah mati. Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saat pewaris meninggal. Dalam keadaan ada dua pewaris yang saling mewaris satu sama lain meninggal dalam waktu yang sama dan tidak diketahui siapa yang lebih dulu meninggal, maka di antara keduanya tidak ada saling mewarisi.123 3. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau dengan kata lain benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris mempunyai hak waris.124 4. Tidak ada halangan waris. Halangan waris dapat berupa perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris, pembunuhan dan menjadi budak orang lain.125Di 120 M.Hasballah Thaib, Op.Cit., hal.26 Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, 2002, Op.Cit., hal.5 122 Fatchur Rahman, 1981, Op.Cit., hal.79 123 M.Hasballah Thaib, Op.Cit.,hal.26-27 124 Ibid. 121 Universitas Sumatera Utara 49 samping itu, halangan waris juga dapat berupa hijab, dimana hijabmerupakan keadaan dimana seorang ahli waris terhalang untuk menerima warisan, disebabkan adanya ahli waris (kelompok ahli waris) yang lebih utama dari padanya.126Hijab terdiri atas 2 (dua) macam, yakni hijab nuqshaan dan hijab hirman.127 Ahli waris merupakan sekumpulan orang-orang atau individu atau himpunan kerabat atau keluarga yang berhak menerima harta tirkah (harta peninggalan) yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal.128 AhliWaris (Al Waarits) merupakan orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.129 Orang – orang yang merupakan ahli waris, dapat berupa130 : 1. 2. 3. 4. Anak-anak beserta keturunan, baik laki-laki maupun perempuan Orangtua, ibu dan bapak beserta mawali/pengganti dari orangtua bila tidak ada orangtua lain Saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan dan suami-istri Jika bukan merupakan ahli waris sebagaimana dimaksud poina sampai dengan c, maka harta tirkah (harta peninggalan) tersebut diserahkan kepada Baith’al Mal (baitul maal). 125 Ibid. Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Op.Cit., hal .59 127 Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal.500 128 Idris Ramulyo, Op.Cit., hal.47 129 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Op.Cit., hal.46 130 Idris Ramulyo, Op.Cit., hal.47 126 Universitas Sumatera Utara 50 Bayi yang masih berada dalam kandungan walaupun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka si janin tersebut merupakan ahli waris yang berhak mendapatkan harta warisan setelah dilahirkan. Batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas minimal) atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan penting untuk diketahui untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.131 Ahli waris yang beragama Islam yang dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang beragama Islam. Ahli waris dapat dipandang Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut agama dari ayahnya atau lingkungan sekitar bayi tersebut.61 Menurut Pasal 171 huruf c KHI, ahli waris adalah orang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Seseorang merupakan ahli waris disebabkan oleh 3 (tiga) hal, yaitu132 : 1. Hubungan keturunan atau nasab, yang dapat diketahui dari AlQuran yaitu Surat An-Nisa 4 Ayat 7 yang artinya bagi laki-laki ada bahagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya dan bagi perempuan ada pula bahagian harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut pembagian yang telah ditetapkan. Ahli waris berdasarkan keturunan antara lain bapak, ibu, anak, datuk, nenek, cucu dan lain-lain 131 132 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit., hal.29 Mukhlis Lubis, Op.Cit., hal.14-15 Universitas Sumatera Utara 51 2. Hubungan nikah (perkawinan), yaitu suami atau istri walaupun belum pernah berkumpul atau telah bercerai tetapi masih dalam masa ‘iddah talak raj’l (talak rujuk) sebagaimana dapat diketahui dari AlQuran Surat An-Nisa 4 ayat 11 dan 12 3. Hubungan wala’ yaitu hubungan antara bekas budak dan orang yang memerdekakannya apabila bekas budak tersebut tidak mempunyai ahli waris yang berhak menghabiskan seluruh harta tirkah (harta peninggalan). Ahli waris karena hubungan wala’ dapat diketahui dari kedua Hadits berikut, yaitu : “barangsiapa yang memerdekakan seorang hamba, maka ia berhak mendapat pusaka dari hamba itu, kalau hamba itu tidak meninggalkan ahli waris ‘ashabah laki-laki”, dan “bahwa seorang bekas hamba milik Hamzah wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan dan seorang anak perempuan Hamzah (anak Hamzah), maka Nabi SAW memberikan kepadanya sebagian harta dan sebagian lagi kepada anak Hamzah’ (Daruquthni) Dalam suatu keadaan dan peristiwa tertentu, dapat terjadi kemungkinan yang menyebabkan ahli waris untuk tidak dapat menerima hak warisnya. Hal tersebut dapat terjadi oleh karena perbuatan yang dilakukannya dan kedudukannya sebagai ahli waris jika dibandingkan dengan kedudukan ahli waris lainnya dalam sistem hukum kewarisan Islam. Penyebab halangan mewaris dalam hukum kewarisan Islam dapat dibedakan atas 2 (dua), yaitu : 1. Mahrum (yang diharamkan) / Mamnu’ (yang dilarang) : Halangan untuk menerima warisan merupakan hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan pewaris.133Ahli waris yang terkena halangan ini disebut mahrum atau mamnu’. Dalam hukum kewarisan Islam ada 3 (tiga) penghalang mewaris, yaitu : a. Pembunuhan 133 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Op.Cit., hal.30 Universitas Sumatera Utara 52 Pembunuhan menyebabkan yang ahli dilakukan waris ahli tersebut waris terhadap terhalang pewarisnya haknya untuk mewarisi.134Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa membunuh seorang korban, maka ia tidak berhak mewarisinya, meskipun korban tidak mempunyai ahli waris lainnya selain dirinya, baik itu orang tuanya, atau anaknya maka bagi pembunuh tidak berhak atas warisan.”135 Para ulama Hanafiyah membagi pembunuhan menjadi dua jenis, yaitu136: 1). Pembunuhan langsung (mubasyarah), dibedakan menjadi empat, yakni pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang serupa sengaja, pembunuhan yang dipandang tidak sengaja. 2). Pembunuhan tidak langsung (tasabub), misalnya pembunuhan tidak langsung yang dilakukan seseorang dengan membuat lubang di kebunnya, kemudian ada orang yang terperosok ke dalam lubang tersebut dan meninggal dunia. Menurut para ulama Hanafiyah, pembunuhan langsung merupakan penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tidak langsung bukan penghalang untuk mewaris.137 b. Berbeda agama Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan agama ahli waris, misalnya pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama Kristen, atau sebaliknya.138 Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat apabila 134 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, 1995, Op.Cit., hal.404 Ibid. 136 A.Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,1995), hal.12 137 Ibid. 138 A.Rachmad Budiono, Op.Cit., hal.12 135 Universitas Sumatera Utara 53 seseorang ahli waris masuk Islam sebelum pembagian warisandilakukan, maka ahli waris tersebut tidak terhalang untuk mewarisi, karena status berlainan agama sudah tidak ada sebelum harta warisan dibagi. 139 c. Perbudakan Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiannya tetapi karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Islam sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya Islam sangat menganjurkan agar setiap budak dimerdekakan.140 Menurut Pasal 173 KHI, seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena : a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau melakukan penganiayaan berat terhadap pewaris b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. 2. Hijab Hijab adalah keadaan dimana seorang ahli waris terhalang untuk menerima warisan, disebabkan adanya ahli waris (kelompok ahli waris) yang lebih utama dari 139 140 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Op.Cit., hal.37 Ibid. Universitas Sumatera Utara 54 padanya.141Hijab terdiri atas 2 (dua) macam, yakni hijab nuqshaan dan hijab hirmani yang diuraikan sebagai berikut142 : a. Hijab nuqshan merupakan keadaan dimana warisan salah seorang ahli waris berkurang karena adanya orang lain. Hijab nuqshan ini berlaku pada lima orang berikut : 1. Suami terhalang dari ½ bagian menjadi ¼ bagan apabila ada anak; 2. Istri terhalang dari ¼ menjadi 1/8 apabila ada anak; 3. Ibu terhalang dari 1/3 menjadi 1/6 apabila ada keturunan yang mewarisi; 4. Anak perempuan dari anak laki-laki; 5. Saudara perempuan seayah; b. Hijab hirman atau hijab penuh merupakan keadaan dimana semua warisan seseorang terhalang karena adanya orang lain.143 Hijab hirman ditegaskan dari dua asas berikut ini, yaitu :144 1). Setiap orang lain yang mempunyai hubungan dengan pewaris, dimana dengan adanya orang lain tersebut maka ahli waris tidak menerima warisan misalnya, anak laki laki dari anak laki-laki tidak menerima warisan bersama dengan adanya anak laki-laki. Hal tersebut dikecualikan jika anak anak laki-laki berasal dari ibu maka anak laki-laki tersebut mewarisi bersama dengan ibu, padahal mempunyai hubungan denganpewaris (mayit) 2). Setiap orang yang lebih dekat didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki. Jika keduanya dalam derajat yang sama, maka diseleksi dengan kekuatan hubungan kekerabatannya, seperti saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara laki-laki sebapak. Hijab Hirman tidak berlaku bagi semua ahli waris. Ahli waris yang tidak terkena hijab hirman yaitu anak kandung laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami dan istri. Hijab Hirman dapat dikenakan pada beberapa ahli waris diantaranya145: 141 Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Op.Cit., hal .59 Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal.500 143 Ibid. 144 Ibid. 145 Ibid. 142 Universitas Sumatera Utara 55 1). Kakek terhalang karena adanya bapak dan juga oleh kakek yang lebih dekat dengan pewaris 2). Saudara kandung laki-laki terhalang karena adanya bapak dan keturunan laki-laki yaitu anak,cucu,cicit dan seterusnya. 3). Saudara laki-laki sebapak terhalang karena adanya saudara kandung lakilaki dan/atau saudara kandung perempuan yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair dan/atau adanya bapak serta keturunan laki-laki (anak,cucu,cicit dan seterusnya) 4). Saudara laki-laki dan perempuan seibu terhalang oleh pokok (ayah, kakek dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan. 5). Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki terhalang oleh adanya anak lakilaki dan juga jika ada cucu yang paling dekat (lebih dekat) 6). Nenek (dari bapak ataupun dari ibu) terhalang oleh adanya ibu 7). Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) terhalang oleh karena adanya anak laki-laki, baik cucu tersebut hanya satu orang atau lebih. 8). Saudara kandung perempuan terhalang oleh adanya ayah, anak, cucu, cicit dan seterusnya yang laki-laki. 9). Saudara perempuan seibu baik laki-laki atau perempuan terhalang oleh adanya sosok laki-laki (ayah, kakek dan seterusnya) 10). Saudara perempuan seayah karena adanya saudara perempuan (jika menjadi ashabah maal ghair), juga terhalang oleh adanya ayah dan keturunan (anak cucu, cicit dan seterusnya) yang laki-laki. Berdasarkan uraian tentang mahrum dan hijab tersebut di atas, maka antara mahrum dan hijab dapat dibedakan. Mahrum dan hijab memiliki beberapa perbedaan, yaitu146 : 1. Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang membunuh pewaris, sedangkan hijab berhak mendapatkan warisan, tetapi dalam keadaan terhalang karena adanya orang lain yang lebih utama untuk mendapatkan warisan; 2. Mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka tidak menghalanginya sama sekali, bahkan dianggap seperti tidak ada, misalnya apabila seseorang mati dan meninggalkan seorang anak laki-laki kafir dan seorang saudara laki-laki muslim, maka semua warisan tersebut dibagikan kepada saudara laki-laki, sedangkan anak laki laki tidak mendapatkan apa- 146 Ibid. Universitas Sumatera Utara 56 apa. Keadaan tersebut berbeda dengan hijab, dimana keberadaan seseorang yang terhijab dapat mempengaruhi orang lain. Penyelesaian pembagian harta tirkah (Harta Peninggalan) adalah dimulai dari melaksanakan kewajiban ahli waris. Dalam bentuk : a. Tajhijsh jenazah (adalah segala pengurusan pemakaman, pengafanan, pemandian, mensholatkan jenazah serta upacara yang diadakan oleh keluarga si peninggal b. Membayar hutang mayat c. Mengembalikan titipan orang pada pewaris dan d. Melaksanakan wasiat. Setelah itu baru mengadakan pembahagian warisan menurut petunjuk alquran, sunnah, dan kompilasi hukum islam indonesia. B. Pembagian Harta Tirkah dalam Tinjauan Qur’an dan Hadis Pelaksanaan syariat yang ditunjuk oleh nash yang sharih merupakan suatu keharusanbagi umat Islam. Pelaksanaan waris berdasarkan hukum kewarisan Islam bersifat wajib dilakukan.147 Ketentuan mengenai pembagian harta tirkah (harta peninggalan) telah diatur secara jelas di dalam Alquran, akan tetapi di samping itu terdapat ketentuanlain diatur juga dalam sumber hukum kewarisan Islam lainnya berupa Ijma dan Ijtihad. Ahli waris dapat dibedakan atas beberapa golongan. Penggolongan ahli waris membedakan para ahli waris berdasarkan besarnya bagian waris dan cara 147 Otje Salman dan Mustofa Haffas,Hukum Waris Islam,(Bandung : Refika Aditama, 2006), hal.3 Universitas Sumatera Utara 57 penerimaannya, dimana penggolongan ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman atas para ahli waris dan bagian warisnya. Adapun penggolongan ahli waris tersebut, yaitu : 1. Golongan Aschabul Furudh148 Golongan Aschabul Furudh (AshabAl-furudh),merupakan golongan pertama untuk diberikan bagian waris dimana bagiannya sudah ditentukan dalam Alquran. Pembagian waris yang telah ditetapkan Alquran ada 6 (enam) yaitu 2/3 (dua per tiga), ½ (setengah), ¼ (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 1/3 (sepertiga) dan 1/6 (seperenam). Golongan Aschabul Furudh dibedakan atas dua macam, yaitu Aschabul Furudh Is-sababiyyah dan Aschabul Furudh In-nasabiyyah. Janda (istri yang ditinggal mati) dan duda (suami yang ditinggal mati) merupakan ahli waris yang digolongkan dalam Aschabul Furudh Is-sababiyah karena adanya ikatan perkawinan dengan si pewaris. Golongan Aschabul Furudh In-nasabiyyah, merupakan golongan ahli waris sebagai akibat hubungan darah dengan si pewaris, yaitu : a. Leluhur perempuan terdiri dari ibu dan nenek b. Leluhur laki-laki terdiri dari bapak dan kakek c. Keturunan perempuan terdiri dari anak perempuan dan cucu perempuan d. Saudara seibu terdiri dari saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu e. Saudara sekandung/sebapak terdiri dari saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak. 2. Ashabah Menurut istilah para fuqaha, ashabah merupakan ahli waris yang tidak disebutkan jumlah ketetapan bagiannya dalam Alquran dengan tegas. Ashabah merupakan orang yang menguasai seluruh harta waris karena menjadi ahli waris tunggal.149 Ashabah digolongkan menjadi tiga, yaitu150 : 148 Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2002, Op.Cit.,hal.49 Beni Ahmad Saebani, Op.Cit., hal.156 150 Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2002, Op.Cit.,hal.52-53 149 Universitas Sumatera Utara 58 a. Ashabah binnafsih merupakan kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan pewaris tanpa diselingi oleh perempuan, terdiri dari : 1). Leluhur laki-laki yaitu bapak dan kakek 2). Keturunan laki-laki yaitu anak laki-laki dan cucu laki-laki 3). Saudara sekandung/sebapak yaitu saudara laki-laki sekandung/sebapak b. Ashabah bil-gahir merupakan kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ashabah dan untuk bersama-sama menerima ushubah, yaitu : 1). Anak perempuan yang mewaris bersama dengan anak laki-laki 2). Cucu perempuan yang mewaris bersama cucu laki-laki 3). Saudara perempuan sekandung/sebapak yang mewaris bersama dengan saudara laki-laki sekandung/sebapak c. Ashabah ma’al ghair merupakan kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima ushubah, yaitu saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak yang mewaris bersama anak perempuan atau cucu perempuan. 3. Dzawil Arham Dzawil Arham merupakan golongan kerabat yang tidak termasuk golongan Aschabul Furudh dan Ashabah. Golongan kerabat ini berhak mewaris jika tidak ada kerabat yang termasuk kedua golongan ahli waris tersebut. Masing-masing ahli waris yang terdapat dalam golongan Aschabul Furudh dan Ashabah, dalam kedudukannya memperoleh bagian waris masing-masing. Adapun yang menjadi bagian waris dapat diuraikan sebagai berikut151 : a. Ahli Waris Utama Ahli waris utama terdiri dari janda, ibu, bapak, anak laki-laki dan anak perempuan. Keberadaan salah satu pihak tidak menjadi penghalang bagi pihak untuk menerima bagian waris, sehingga dalam keadaan bersama-sama masingmasing ahli waris menerima sebagaimana bagian waris yang telah ditentukan. Janda, ibu dan anak perempuan menerima waris dengan bagian yang pasti, anak laki-laki menerima waris dengan bagian yang tidak pasti(sisa) dan bapak menerima waris dengan bagian yang pasti dan atau tidak pasti. Hal tersebut 151 Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2002, Op.Cit.,hal.54-57 Universitas Sumatera Utara 59 menyebabkan dalam keadaan terdapat ahli waris anak laki-laki dan atau bapak maka dapat dipastikan bahwa harta tirkah (harta peninggalan) akan habis dibagi di antara para ahli waris utama dan para ahli waris pengganti tidak akan menerima bagian waris. Uraian bagian waris masing-masing ahli waris utama diuraikan sebagai berikut : 1). Janda Di dalam hukum kewarisan Islam, bagian waris untuk janda laki-laki dengan janda perempuan tidak sama. Janda perempuan memperoleh : a). Janda perempuan memperoleh 1/8 bagian jika pewaris mempunyai anak b). ¼ bagian jika tidak mempunyai anak Janda laki-laki memperoleh : c). ¼ bagian jika mempunyai anak d). ½ bagian jika tidak mempunyai anak 2). Ibu mempunyai bagian : 1). 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak 2). 1/6 bagian jika pewaris mempunyai beberapa saudara 3). 1/3 bagian jika jika pewaris tidak mempunyai anak 3). Bapak mempunyai bagian : 1). 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak 2). 1/6 bagian + sisa jika pewaris mempunyai anak perempuan 3). Sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak 4). Anak perempuan mempunyai bagian : 1). ½ bagian jika sendiri 2). 2/3 bagian jika beberapa orang 3). Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mewaris bersama anak laki-laki. 5). Anak laki-laki Anak laki-laki tidak memiliki bagian yang pasti, karena menerima waris dengan jalan ushubah baik di antara sesama laki-laki atau bersama dengan anak perempuan. Bagian anak laki-laki adalah : a). Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mewaris bersama dengan anak lakilaki lainnya. (kedudukannya sebagai ashabah binnafsih) b). Masing-masing 2 bagian dari sisa jika mewaris bersama anak perempuan. (kedudukannya sebagai ashabah bil-ghair) b. Ahli Waris Pengganti/Penggantian Tempat Ahli Waris Istilah penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti, secara harfiah terdiri dari kata waris dan kalimat pengganti. Kata-kata ahli waris adalah mereka yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewarisnya.152 152 Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 41 Universitas Sumatera Utara 60 Dalam kamus hukum disebutkan penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti adalah pengganti dalam pembagian warisan bilamana ahli waris tersebut lebih dahulu meninggal dari pada si pewaris, maka warisannya dapat diterima kepada anak-anak waris yang meninggal.153 Menurut Hazairin, cucu yang terlebih dahulu orangtuanya meninggal dunia dari kakek dan neneknya, secara umum (dengan tanpa membedakan jenis kelamin) dapat menggantikan kedudukan orangtuanya dalam memperoleh warisan secara umum (dengan tanpa membedakan jenis kelamin) pula. Pemahaman Hazairin tentang adanya penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti ini didasarkan pada pemahaman kata mawali dalam Q.S An-Nisa (4) : 33, yaitu154 : “Bagi setiap orang Allah SWT mengadakan mawali bagi harta peninggalan orangtua dari keluarga dekat, dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah SWT menyaksikan segala sesuatu”. Terjemahan Hazairin tersebut berbeda dengan terjemahan ulama pada umumnya, termasuk terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia. Mawali berasal dari bahasa arab dalam bentuk jamak (plural), mufradnya (singularnya) al maula yang berarti al-malik-u wa al-sayyi-u : raja atau tuan, majikan, budak, yang memerdekakan, yang dimerdekakan, pemberi nikmat, yang mencintai, teman (sahabat), sekutu, tetangga, pengikut, tamu, anak laki-laki, paman, anak laki-laki 153 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang : CV. Aneka Ilmu, 1977), hal. 320 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta : Tintamas, 1982), hal.30 154 Universitas Sumatera Utara 61 paman, menantu, kemenakan (anak laki-laki dari saudara perempuan), kerabat yang dekat secara mutlak.155 Menurut H.Toha Jahja Omar, kata mawali dalam Q.S An-Nisa (4) : 33 adalah lafaz mujmal yang mufradnya maula yang mempunyai arti lebih dari satu, yaitu tuan yang memerdekakan, budak yang dimerdekakan dan sahabat, lafaz mujmal perlu kepada mubayyin. Mubayyin terdiri dari tiga, yaitu Al-Quran sebagai firman Allah SWT, Sabda Rasul dan perbuatan Rasul. 156 Lafaz mawali dalam ayat itu sudah ada mubayyinnya, yaitu terdiri dari dua kalimat, karena itu Q.S An-Nisa (4) ayat 33 harus dibaca, sebagai berikut : Bagi tiap-tiap pewaris kami jadikan mawali, dari harta peninggalannya dan mereka itu adalah dua ibu-bapak dan kerabat-kerabat yang terdekat. Al Walidaini wa al-Aqrabuna bukan menjadi fa’il dari taraka, tetapi menerangkan maksud al-Mawali, sedangkan fa’il dari taraka kembali kepada lafaz kullin yang dalam hal ini pewaris. Mahmud Yunus, setelah mengutip Q.S An-Nisa (4) ayat 33, menyebutkan bahwa : arti mawali (jamak maula) menurut bahasa banyak sekali, yaitu yang mempunyai (tuan), budak, yang memerdekakan, yang dimerdekakan, halif, tetangga, anak, anak paman, anak saudara perempuan, paman, dan lain-lain. Tetapi bila kata itu disusun dalam satu kalimat, maknaya hanya satu, bukan semua makna itu. Bahkan Mahmud Yunus, telah sepakat ahli tafsir, arti mawali dalam ayat tersebut adalah anak atau ahli waris atau ashabah atau yang mempunyai wilayah atas harta peninggalan, namun mereka berbeda pendapat tentang tafsir ayat tersebut.157 155 Ramlan Yusuf Rangkuti, Fiqih Kontemporer di Indonesia (Studi tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia), (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2010), hal. 346 156 Toha Yahya Omar, Seminar Hukum Nasional tentang Faraid, (Jakarta : Tintamas, 1964), hal. 20 157 Mahmud Yunus, Seminar Hukum Nasional tentang Faraid, (Jakarta : Tintamas, 1964), hal.78 Universitas Sumatera Utara 62 Ahli tafsir sepakat arti mawali merupakan ahli waris, karena Q.S An-Nisa (4) ayat 33 itu diterangkan oleh Q.S Maryam (19) : 5-6 bahwa mawali disebutkan maknanya dengan ahli waris dan wali adalah awala. Demikian pula Q.S An-Nisa (4) ayat 7 yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan (mawali bapak dan karibkarib yang terdekat). Berdasarkan penjelasan ayat terhadap ayat tersebut, maka ulama tafsir sepakat bahwa mawali dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 33 itu maknaknya adalah ahli waris.158 Berdasarkan Q.S An-Nisa (4) ayat 1 dan Q.S Al-Ahzab (33) ayat 6 yang menyebutkan al-arham dan ulu al-arham, Hazairin menyimpulkan hubungan darah menurut al-quran itu ada 4 (empat) macam, yaitu : walidan, aulad, aqrabun dan uli al-qurba. Istilah walidan dan aqrabun secara khusus diartikan sebagai ahli waris, tetapi kata-kata itu digunakan sebagai istilah hubungan kekeluargaan yang selalu berarti hubungan dan hubungan tersebut selalu berupa hubungan timbal-balik. Walidan dapat menjadi ahli waris bagi anaknya dan aqrabun dapat pula menjadi ahli waris bagi sesama aqrabunnya. Berbeda dengan istilah ulu al-qurba, ditinjau dari sudut kedudukan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, maka jelas orang tersebut bukan ahli warisnya tetapi masih sepertalian darah. Hal tersebut berarti ulu al-qurba itu menurut Al-Qur’an sebagai hubungan timbal balik yang tidak mungkin menjadi pewaris bagi sesama ulu al-qurbannya. Berdasarkan uhal tersebut, dapat diketahui bahwa aqrabun dapat diartikan sebagai 158 Hazairin, Op.Cit., hal.26-27 Universitas Sumatera Utara 63 keluarga dekat yang dapat diwarisi sesamanya, sedang ulu al-qurba sebagai keluarga jauh yang tidak mungkin saling mewarisi baik sebagai pewaris dan ahli waris. Dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 33, Allah SWT memerintahkan agar memberikan nasib (harta) pewaris kepada mawali si fulan (orang yang terlebih dahulu meninggal dari pewaris). Dengan demikian, berarti mawali si fulan itu adalah ahli waris yang akan memperoleh harta warisan, disamping adanya ahli waris lain, seperti ayah dan ibu. Sebab itu, harta warisan wajib diberikan kepada mawali si fulan, bukan kepada si fulan (yang lebih dahulu meninggal dari pewaris). Pertanyaan muncul mengenai hubungan si fulan dengan pewaris (si mayit) sehingga mawali si fulan itu ikut pula menjadi ahli waris terhadap si mayit (pewaris), padahal si fulan itu sendiri tidak ikut menjadi ahli waris karena lebih dahulu meninggal dari si pewaris. Hazairin menjelaskan bahwa si fulan itu tidak ahli waris, karena prinsip umum Al-Quran menyatakan bahwa pewarisan itu terjadi didasarkan kepada adanya hubungan pertalian darah antara si mayit dengan anggota keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu si fulan adalah anggota keluarga yang telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, maka tidak lagi sebagai ahli waris. Adapun mawali si fulan tersebut menjadi ahli waris adalah merupakan keturunan si mayit yang bukan status anak baginya. Hubungan si fulan dengan mawali-nya bisa terjadi dalam 3 (tiga) jalur, yaitu : sebagai walidan (orangtua) dari si mawali, atau aulad (anak) dari si mawali. Dengan demikian, dapat dipahami mawali si fulan itu adalah keturunan dari si pewaris, meskipun bukan anaknya secara langsung seperti halnya si fulan (anaknya yang terlebih dahulu meninggal daripada Universitas Sumatera Utara 64 pewaris). Jadi hubungan si mawali dengan si pewaris adalah melalui anaknya yang telah terlebih dahulu meninggal dunia. Karena itulah, mawali tersebut masuk dalam istilah aqrabun (para keluarga dekat yang memperoleh warisan, selain kedua ibu bapak). 159 Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mawali itu adalah karena penggantian, yaitu orang-orang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris. Allah SWT menjadikan mawali bagi seseorang bukanlah sia-sia, tetapi dengan maksud tertentu. Harta itu memang bukan untuk si fulan, karena telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum sipewaris meninggal, tetapi bahagian yang diperolehnya seandainya si fulan masih hidup pada saat si pewaris mewariskan harta peninggalannya akan dibagi-bagikan kepada mawali-nya itu. Mawali tersebut bukan sebagai ahli waris si fulan, tetapi sebagai ahli waris dari yang mewariskan kepada si fulan tersebut, misalnya bapak atau ibu si fulan tersebut. Pengertian tersebut tergambar bagi anak-anaknya yang telah meninggal terlebih dahulu. Bisa saja terjadi pengertian lain, seperti seorang bapak atau ibu yang hanya diwarisi oleh mawali untuk anak-anaknya yang semuanya telah meninggal terlebih dahulu.160 Ahli waris pengganti dalam Hukum Islam dapat ditinjau dari beberapa perspektif, yaitu fiqih klasik dan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana akan diuraikan berikut ini : 159 160 Ibid. Ibid.,hal.76 Universitas Sumatera Utara 65 1). Ahli Waris Pengganti dalam Konsep Fiqih Klasik Konsep Fiqih klasik seperti as-Sarakhsiy dalam al-Mabsut, Imam Malik dalam al-Muwatto, Imam Syafi’i dalam al-Umm dan Ibn Qudamah dalam al-Mugni, tidak dikenal istilah ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris, tetapi Syamsuddin Muhammad ar-Ramli dalam karyanya, mencatat161 : a). Cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menggantikan ayahnya, sedangkan cucu dari anak perempuan tidak mungkin. b). Cucu tersebut baru dapat menggantikan orangtuanya apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang masih hidup. c). Hak yang diperoleh pengganti belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan tetapi mungkin berkurang. Istilah ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris sesungguhnya telah dikenal dalam hukum Islam, jadi kurang tepat apa yang ditulis oleh Wirjono Prodjodikoro, bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal ahli waris pengganti.162 Tafsiran Wirjono Prodjodikoro tersebut sampai sekarang hampir merata dianut di daerah-daerah yang pengaruh hukum Islam ada agak kuat, sehingga menimbulkan kemungkinan persoalan, apakah penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti ini diakui oleh masyarakat. Muhammad Amin al-Asyi mencatat163 : cucu dari anak laki-laki adalah seperti anak laki-laki, hanya ia tidak mendapat dua kali bahagian bersama anak perempuan. Cucu perempuan dari anak lakilaki adalah seperti anak perempuan, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya anak laki-laki. Nenek perempuan adalah seperti ibu, hanya ia tidak dapat 161 162 Ramlan Yusuf Rangkuti, Op.Cit.,hal. 351 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cet-V, (Bandung : Sumur, 1976), hal. 43 163 Muhammad Amin al-Asyi, Sistem Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris, (Jakarta : UI Depok, 1992), hal. 12 Universitas Sumatera Utara 66 menerima 1/3 atau 1/3 sisa. Kakek adalah seperti ayah, kecuali ia tidak dapat menghalangi saudara seibu-sebapak dan saudara sebapak. Saudara laki-laki sebapak adalah seperti saudara laki-laki seibu-sebapak, kecuali ia tidak menerima dua kali banyaknya, bersama saudara perempuan sebapak. Saudara perempuan sebapak adalah seperti saudara perempuan seibu-sebapak kecuali ia terhalang dengan adanya saudara laki-laki seibu-sebapak.164 Berdasarkan pendapat Muhammad Amin al-Asyi diatas, dapat dipahami bahwa istilah penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti telah lama dikenal dalam konsep fiqih klasik, hanya saja bentuk penggantiannya yang berbeda serta hak ahli waris pengganti tidak sama dengan hak ahli waris yang digantikannya. Sebagai contoh cucu dari pancar anak perempuan tidak mendapat bahagian warisan seperti yang didapat oleh cucu pancar anak laki-laki. 2). Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, disebutkan bahwa yang dimaksud ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya sebagai ahli waris dapat digantikan oleh anaknya, sebagaimana dapat diketahui dari isi Pasal 185 ayat 1 KHI, “ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.” Anak dari yang seharusnya menjadi ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris sebagai ahli waris pengganti. Anak dari ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris dapat menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris 164 Ramlan Yusuf Rangkuti, Op.Cit., hal. 352 Universitas Sumatera Utara 67 dengan syarat anak itu tidak terhalang menjadi ahli waris, seperti yang disebut dalam pasal 173KHI. Adapun isi Pasal 173 KHI tersebut, yaitu : Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan keputusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris dan dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. KHI juga mengatur bahwa bagian bagi ahli waris pengganti belum tentu sama jumlahnya dengan ahli waris yang digantikan jika masih hidup, karena ada disyaratkan bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.165 A. Sukris Sarmadi dengan memperhatikan ketentuan Pasal 185 KHI tersebut, berpendapat bahwa : Ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris yang menggantikan kedudukan ahli waris, yang didalam situasi tertentu sama pengertiannya Hazairin dan sistem pewarisan mawali, tetapi bersyarat, yakni tidak boleh melebihi bahagian orang yang sederajat dengan orang yang diganti, dan ada kemungkinan semakna dengan Syi’ah dalam hal menggantikan kedudukan orang tua mereka, tetapi tidak terhijab dengan orang yang sederajat dengan orang yang diganti.166 Berdasarkan pengertian diatas, yang dimaksud dengan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu adalah ahli waris dari ahli waris yang diganti (orang yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pada si pewaris). Itu berarti tidak 165 Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat 2 KHI 166 A. Sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Cet-I, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1970), hal. 165-166 Universitas Sumatera Utara 68 hanya anak dari ahli waris yang telah meninggal terlebih dahulu, seperti yang tertera di dalam Pasal 185 ayat 1 KHI. Hal ini dapat dilihat dari penyamaan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu dengan ahli waris mawali menurut pendapat Hazairin, yaitu mawali (ahli waris pengganti) adalah berupa nama yang umum dari mereka yang menjadi ahli waris karena penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris.167 Istilah penghubung antara mawali dengan sipewaris ini bisa diartikan dengan ahli warisnya, bila demikian halnya, maka dimungkinkan terjadi pada tiga arah hubungan kekerabatan, yaitu hubungan ke bawah, ke atas, dan ke samping. Dengan demikian ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam KHI itu disimpulkan mencakup tiga arah hubungan kekerabatan tersebut. Imran AM. berpendapat bahwa sistem kewarisan yang dianut KHI adalah sistem kewarisan bilateral sesuai dengan Q.S. An-Nisa (4): 7 dan 11, yaitu baik anak laki-laki maupun anak perempuan, demikian juga cucu dari anak laki-laki maupun cucu dari anak perempuan adalah sama-sama dinyatakan sebagai ahli waris. Berbeda halnya dengan sistem kewarisan yang dianut Fiqih Sunni yang menyatakan bahwa cucu dari anak perempuan dinyatakan tidak sebagai ahli waris (zawil arham), sedangkan cucu dari anak laki-laki tetap sebagai ahli waris.168 Departemen Agama RI telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Analisis Hukum Islam Bidang Kewarisan”. Didalam buku tersebut dinyatakan, “Walaupun tidak bersifat memaksa, pencatuman ketentuan ini (ahli waris pengganti) 167 Hazairin, Op.Cit.,hal.132 A.M. Imran, Hukum Kewarisan dan Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 24 Tahun VII – 1996, (Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1996), hal. 45 168 Universitas Sumatera Utara 69 di dalam Kompilasi Hukum Islam secara tidak langsung akan bersinggungan dan mengubah banyak aturan didalam faraid (fiqih kewarisan Islam).” Bila bahagian ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris sama besarnya dengan bahagian ahli waris yang diganti (mawali), dimana kedudukan ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris sama dengan ahli waris yang diganti dalam menerima bahagian harta warisan pewaris, maka demikian juga halnya kedudukan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam masalah hijab mahjub (mendinding dan didinding). Ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu akan menghijab setiap orang yang semestinya dihijab oleh orang yang digantikannya. Hal ini berlaku umum, tanpa membedakan jenis kelamin ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu, apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti, tanpa membedakan jenis kelamin mereka ( laki-laki atau perempuan) dapat menghijab saudara. Dalam Pasal 185 KHI, kata anak disebut secara mutlak tanpa keterangan disebutkan laki-laki atau perempuan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa, jika ada anak, tanpa membedakan laki laki dan perempuan, maka anak tersebut dapat menghijab hirman (menutup total) terhadap saudara-saudara kandung ataupun paman pewaris. Sedangkan menurut Fiqih Klasik (Sunni) yang berlaku di Indonesia selama ini, kalau anak tersebut perempuan hanya dapat menghijab nuqsan (mengurangi bagian ahli waris ashabah).169 Kata anak secara mutlak, tanpa membedakan laki-laki dengan perempuan, seperti dalam KHI, nampaknya didasarkan kepada kajian kata walad yang tercantum dalam Q.S.An-Nisa (4): 176. Dalam riwayat Ibn Jarir, diketahui makna kata walad yang ada dalam ayat tersebut meliputi anak laki-laki dan anak perempuan, bahkan 169 Ramlan Yusuf Rangkuti, Op.Cit., hal. 358 Universitas Sumatera Utara 70 kata walad dalam ayat tersebut, bukan hanya dipergunakan dalam pengertian anak tapi juga mencakup bapak. Hal ini didasarkan atas putusan Abu Bakar RA, kemudian dianut oleh Jumhur Ulama. 170 Berdasarkan penafsiran ini, ayat diatas bisa berarti bahwa jika seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, bapak juga dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. Jika dalam satu kasus, seseorang meninggal dan meninggalkan ayah dan saudari perempuan, maka saudari perempuan itu tidak mewarisi sama sekali, karena mahjub (terdinding) oleh bapak. Hal tersebut disepakati ulama, dimana penggunaan kata walad untuk pengertian anak sudah dijelaskan berdasarkan nas, sedang penggunaan kata walad untuk pengertian bapak adalah bersifat ijtihadi (taammuli).171 Rachmad Budiono menyatakan, bahwa Kompilasi Hukum Islam merumuskan ketentuan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris didasarkan pada pendapat Hazairin, yang dipandang sebagai pencetus gagasan tentang ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam hukum waris Islam.172 Menurut Ismuha, Hazairin adalah orang yang pertama kali mengeluarkan pendapat bahwa cucu dapat menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari si pewaris, meskipun pewaris memiliki anak laki-laki lain yang masih hidup.173 170 Ibid., hal.356 Ibid. 172 A.Rachmad Budiono, Op.Cit., hal. 22 173 Ismuha, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hal. 81 171 Universitas Sumatera Utara 71 Pendapat Hazairin itu didasarkan atas analisanya terhadap Q.S.An-Nisa (4): 33, dimana kata-kata mawali diartikan sebagai ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris, yaitu ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh oleh orang yang digantikan itu seandainya masih hidup.174 Sayuti Thalib, sebagai murid Hazairin, menjelaskan tentang mawali sebagai ahli waris pengganti, menarik 4 (empat) garis hukum, yaitu : a). Dan bagi setiap orang, kami (allah SWT) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris) untuk mewarisi harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu). b). Dan bagi setiap orang, kami (Allah SWT) telah menjadikan mawali untuk mewarisi harta peninggalan aqrabun-nya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu). c). Menjadikan mawali untuk mewarisi harta peninggalan dalam seperjanjiannya. d). Maka berikanlah kepada mereka warisan mereka.175 Amrullah Ahmad memberikan pendapat atas Teori Hazairin yang menyatakan bahwa dalam sistem kewarisan bilateral ahli waris dibagi kepada 3 (tiga) golongan, golongan Zawi al-Faraid, Zawi al-qarabah dan mawali (ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris) : a). Mawali adalah sebagai ahli waris pengganti. b). Mawali menerima bagian sebanyak yang diterima oleh orang tuanya seandainya mereka masih hidup. c). Mawali yang berkedudukannya sama dalam satu jurai akan berbagi diantara mereka menurut prinsip bagian seorang anak laki-laki memperoleh dua bagian dari anak perempuan. 174 175 Hazairin, Op.Cit.,hal.29-31 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta : Bumi Aksara, 1982), hal.27 Universitas Sumatera Utara 72 d). Penggantian ini merupakan prinsip yang bersifat umum dan terbuka sampai keturunan yang terbawah. e). Hijab mahjub hanya berlaku dalam satu jurai. f). Yang digantikan maupun yang menggantikan tidak dibedakan antara lakilaki dan perempuan.176 Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa yang menjadi dasar memasukkan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris ke dalam Kompilasi Hukum Islam adalah memberlakukan asas keadilan yang berimbang, karena keadilan merupakan salah satu tujuan hukum disamping kepastian hukum dan perikemanusiaan.177 Menurut Aristoteles keadilan adalah kebaikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Adil berarti menurut hukum ada apa yang dibanding, taitu yang semestinya atau keadilan berimbang.178 Adanya keseimbangan antara berbagai kepentingan sehingga tidak terjadi benturan-benturan dan untuk itu perlu ada aturanaturan. Oleh sebab itu perlu ada suatu rumusan hukum yang dapat bertindak sebagai wasit jika terjadi perbedaan perbedaan diantara pemilik kepentingan tersebut. Prinsip Hukum Islam dalam menerapkan suatu hukum adalah berupaya mewujudkan keadilan, sebab sistem hukum yang tidak punya akar subtansial pada keadilan dan moralitas akhirnya akan ditinggalkan oleh masyarakat.179Rumusan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris seperti tersebut pada Pasal 185 176 Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dan Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hal. 65-66 177 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Huku Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 292 178 Dardji Darmonodiharjo dan Sidharto, Pokok-pokok Filasafat Hukum, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 154 179 Fatthurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos WacanaIslam, 1999), hal.75 Universitas Sumatera Utara 73 Kompilasi Hukum Islam, menjadikan prinsip tersebut sebagai motivasi pelembagaan waris pengganti berdasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan dimana cucu menerima warisan dengan jalan penggantian. Selain didasarkan atas tujuan hukum Islam tersebut, menurut Daud Ali, Ulama Indonesia menerima rumusan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam itu, karena dalam Fiqih mawaris selama ini telah diterapkan lembaga wasiat wajibah yang diperuntukkan bagi cucu yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris.180 Berbeda dengan pandangan Daud Ali diatas, M.Yahya Harahap berpendapat bahwa sumber utama yang digunakan dalam perumusan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, seperti ditafsirkan oleh Hazairin. Bahkan dalam pelembagaan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tersebut, M.Yahya Harahap mencatat : a). Pelembagaannya melalui pendekatan kompromistis dengan hukum adat atau nila-nilai hukum Eropa. b). Cara perkembangannya tidak mengikuti pendekatan berbelit melalui bentuk wasiat wajibah seperti yang dilakukan beberapa negera seperti Mesir, tapi langsung secara tegas menerima konsepsi yuridis waris pengganti (plaatsvervulling) baik dalam bentuk dan perumusan. c). Penerimaan lembaga ini tidak secara bulat, tetapi dalam bentuk modifikasi, dalam acuan penerapan bahwa bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Jika kalau ahli waris pengganti hanya seorang saja dan ayahnya hanya mempunyai seorang saudara perempuan, agar bagiannya sebagai ahli waris pengganti tidak lebih besar dari bagian saudara perempuan ayahnya, harta warisan dibagi dua diantara ahli waris pengganti dengan bibinya.181 180 M. Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 297 181 M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Memfositifkan Abstraksi Universitas Sumatera Utara 74 Berbicara masalah motif pelembagaan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris yang didasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan, M. Yahya Harahap mempertanyakan : patutkah melenyapkan hak seorang cucu oleh karena ditinggal yatim, melarat dan miskin untuk memperoleh apa yang semestinya menjadi bagian bapaknya. Tentu tidak layak dan tidak adil dan tidak manusiawi menghukum seseorang tidak berhak menerima warisan yang semestinya harus diperoleh ayahnya hanya karena faktor takdir dari Allah SWT ayahnya lebih dahulu meningga dari kakeknya. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan fakta, pada saat kakek meninggal, anak-anaknya semua sudah kaya dan mapan.182 Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, bahwa pemberlakuan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tersebut bersifat tentatif, bukan imperatif. Oleh karena itu sangat besar peran dari Para Hakim Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah dalam menentukan/menetapkan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris. Adapun ahli waris yang termasuk dalam ahli waris pengganti, yaitu 183: 1). Saudara Seibu Saudara seibu mempunyai hak waris apabila tidak ada bapak dan anak pewaris. Kedudukan saudara seibu, baik perempuan maupun laki-laki adalah sama. Jika saudara seibu hanya satu orang maka bagiannya adalah 1/6, jika lebih dari satu orang maka bagiannya adalah 1/3 untuk semua. 2). Saudara Sekandung/Sebapak Saudara sekandung/sebapak mempunyai hak waris apabila tidak ada bapak dan anak pewaris, sehingga dapat dikatakan pembagiannya sama dengan saudara seibu. Hukum Islam dalam Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam, No. 24 Tahun VII, (Jakarta : AlHikmah dan Ditbinbapera Islam, 1996), hal. 55 182 Ibid., hal. 56 183 Ibid.,hal.66 Universitas Sumatera Utara 75 Uraian penggolongan ahli waris di atas dapat mempermudah penentuan ahli waris. Penentuan ahli waris merupakan salah satu langkah dari beberapa langkah dalam melakukan pembagian waris. Dalam bukunya, Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak menguraikan beberapa tahapan dalam melakukan pembagian waris sebagaimana diuraikan berikut ini184 : 1. Menentukan Ahli Waris Penentuan ahli waris harus dilakukan dengan tepat agar bagian waris tidak diberikan kepada orang yang tidak berhak atau bukan ahli waris, sehingga tidak mengakibatkan ahli waris yang berhak tidak memperoleh bagian dari harta warisan. Kesalahan dalam penentuan ahli waris dapat berakibat fatal terhadap tahapan-tahapan pembagian waris selanjutnya. 2. Masalah Hijab atau halang menghalangi Pada tahap ini penting untuk diketahui siapa saja di antara ahli waris yang telah ditentukan sebelumnya yang berhak mendapatkan warisan, sebab tidak semua ahli waris tersebut berhak. Ahli waris tidak memperoleh bagian harta waris apabila terhalang (terhijab) oleh keberadaan ahli waris yang lain. Kesalahan dalam menentukan ahli waris yang terhijab akan terus berlanjut dan sama fatalnya dengan kesalahan dalam menentukan ahli waris. 3. Menentukan Ashabah Ahli waris yang tidak terhalangi atau tidak terhijab tidak secara otomatis memperoleh bagian harta waris. Hal tersebut dikarenakan terdapat kemungkinan adanya ahli waris yang tidak dapat ditentukan jumlah bagiannya atau porsidi antara ahli waris yang tidak terhalang atau terhijab tersebut. Konsekuensi ashabah adalah menunggu sisa pembagian, dengan sendirinya seorang ashabah dapat saja memperoleh bagian yang lebih besar atau memperoleh sedikit atau juga tidak memperoleh sisa sama sekali. 4. Menentukan porsi atau bagian masing-masing yang diketahui dari ketentuanketentuan yang ada dalam Al Quran dan Hadis sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. 5. Melaksanakan pembagian Pembagian waris tidak hanya dapat ditinjau dari ayat-ayat Al Qur’an saja, akan tetapi dapat juga ditinjau dari Hadis. Ketentuan hukum cara untuk melakukan 184 Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal .74-75 Universitas Sumatera Utara 76 pembagian warisan dapat ditemukan dalam Hadis Ibnu Abbas ra. yang disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Serahkanlah pembagian warisan itu kepada ahlinya, bila ada yang tersiksa, maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat.” Di samping Hadis tersebut, masih terdapat beberapa Hadis yang berkaitan dengan pembagian warisan, antara lain sebagai berikut185 : 1. Orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi dengan dasar Hadis dari Usamah putra Zaid yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Orang Islam tidak punya hak waris atas orang kafir dan orang kafir tidak mempunyai hak waris atas orang Islam.” 2. Bagian anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan dalam keadaan tidak ada ahli waris laki-laki dengan dasar Hadis dari Ibnu Mas’ud, ra. yang diriwayatkan Imam Bukhari, maka Rasullullah saw menghukumi anak perempuan separo bagian, cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam bagian dan sebagai pelengkap dari sepertiga dan sisanya untuk saudara perempuan. 3. Bagian nenek dari cucu yang tidak mempunyai ibu dengan dasar Hadis Ibnu Buraidah,ra. yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Nasa’i) dari ayahnya berkata,”Rasullullah saw. menerapkan seperenam buat nenek, bila cucunya itu (yang meninggal dunia) tidak punya ibu. 4. Paman menjadi ahli waris keponakannya dengan dasar Hadis yang diriwayatkan Miqdam putra Ma’ di Kariba ra., bersabda Rasullullah saw “paman itu ialah ahli warisnya orang (ponakan) yang tidak mempunyai ahli waris. 5. Ashabah yang dengan beberapa Hadis sebagai dasar hukumnya, yaitu : a. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda, “Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya yang berhak menurut nash dan apa yang tersisa maka berikanlah kepada ashabah laki-laki yang terdekat kepada si mayat.” dan ”Jadikanlah saudara-saudara perempuan dan anak perempuan itu satu ashabah” b. Dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw bersabda “tidak ada bagi seorang mukmin kecuali aku lebih berhak atasnya dalam urusan dunia dan akhiratnya. Bacalah bila kamu suka: Nabi itu lebih utama bagi orang mukmin dari diri mereka sendiri. Oleh sebab itu siapa yang mukmin yang mati dan meninggalkan harta, maka harta itu diwarisi oleh ashabahnya siapapun mereka itu adanya. Dan barangsiapa ditinggali utang atau beban 185 Ibid., hal .31-35 Universitas Sumatera Utara 77 keluarga oleh si mayat, maka hendaklah dia datang kepadaku, karena akulah maulanya.” 6. Waktu untuk menetapkan kematian dengan dasar Hadis keluaran Al-Bukhari dan Asy-Syafi’I “setiap istri yang ditinggal pergi oleh suaminya, sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya maka dia menunggu empat tahun kemudian dia ber’idah selama empat tahun sepuluh hari, kemudian lepaslah dia”. 7. Anak zina dan Anak Li’an dengan dasar Hadis Riwayat Al Bukhari dan Abu Dawud, “menjadikan pewarisan anak li’an kepada ibunya dan ahli waris ibu sepeninggal si ibu”. C. Kompilasi Hukum Islam sebagai Pedoman Hakim Peradilan Agama dalam Memutus Perkara Waris Dalam perkembangannya, upaya penyempurnaan hukum kewarisan Islam di Indonesia dilakukan dengan adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI dipandang sebagai hukum material Peradilan Agama yang terkodifikasi dan unifikasi yang pertama sampai saat ini. KHI merupakan himpunan dari komposisi aturan formal yang menjabarkan keinginan Pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.186 Peradilan Agama merupakan lembaga yang sangat berkepentingan dengan adanya KHI. KHI sebagai hukum terapan Peradilan Agama merupakan hukum tertulis dan hukum tidak terulis jika ditinjau dari materinya. KHI sebagai hukum tertulis sebab sebagian materi KHI merupakan kutipan dari atau menunjuk materi perundang-undangan yang berlaku seperti UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU lainnya. KHI merupakan hukum tidak tertulis sebab sebagian materi KHI 186 M.Hasballah Thaib, Op.Cit., hal.11 Universitas Sumatera Utara 78 merupakan rumusan yang diambil dari materi fiqh dan Ijtihad para ulama dan kesepakatan para peserta lokakarya.187 Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No.154 Tahun 1991 Tentang Pelaksaan Intruksi Presiden No.1 Tahun 1991 merupakan dasar hukum berlakunya KHI. KHI mempermudah pencarian terhadap sumber hukum kewarisan Islam.188 KHI memberikan pedoman yang jelas tentang hukum kewarisan serta mempunyai kekuatan mengikat. Hal tersebut dapat diketahui dari masa sebelumnya dimana sering terjadi perbedaan keputusan Peradilan Agama untuk kasus yang sama dan oleh Peradilan Agama yang setingkat.189 KHI merupakan sumber hukum positif hukum kewarisan Islam di Indonesia dan bagi masyarakat beragama Islam disarankan untuk menjadikan KHI sebagai pedoman apabila akan melakukan pembagian waris.190Menurut Imran AM, sistem kewarisan KHI yang saat ini bersifat bilateral, digali dari kesadaran hukum masyarakat Islam Indonesia yang telah tumbuh lama dan dijalankan secara sukarela.191 187 H.Moh.Muhibbin dan H.Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.180 188 Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2002, Op.Cit., hal.3 189 M.Hasballah Thaib, Op.Cit.,hal.14 190 Beni Ahmad Saebani, Op.Cit., hal.100 191 Imran AM., Hukum Kewarisan dan Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam., Mimbar Hukum, No.24 Tahun VIII, (Jakarta : Yayasan al-Hikmah Ditbinbaperas, 1996), hal.45 Universitas Sumatera Utara 79 Asas hukum kewarisan Islan dalam KHI ada 5, yaitu192 : 1. Asas Ijbari (asas memaksa) merupakan asas yang terkandung dalam kewarisan Islam yang menciptakan adanya proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Hal tersebut dapat diketahui dari ketentuan Pasal 187 ayat 2 KHI, yaitu “Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.” Kata harus pada Pasal 187 ayat 2 tersebut yang menujukkan adanya asas Ijbari atau asas memaksa. 2. Asas Bilateral merupakan asas yang berlaku secara timbal balik baik untuk laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut berarti bahwa seorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak, baik kerabat laki-laki maupun dari kerabat perempuan. Demikian juga halnya bagi seorang yang meninggal dunia akan mewariskan hartanya terhadap ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Dengan demikian tidak ada diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam hukum kewarisan yang ada di dalam KHI. 3. Asas Individual diartikan bahwa, harta warisan yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris secara perorangan untuk dimiliki masing-masing ahli waris tersebut secara mutlak. Hal tersebut dapat diketahui dari ketentuan Pasal 176 KHI sampai dengan Pasal 180 KHI yang mengatur bagian masing-masing ahli waris.Secara khusus untuk ahli waris yang belum dewasa atau orangorang yang berada di bawah pengampuan, maka untuk memelihara harta tersebut sampai dewasa atau mampu bertindak terhadap hartanya, maka diangkat wali yang diberi amanah dan tanggung jawab, sehingga dengan demikian hak perorangan tersebut akan tetap terpelihara. 4. Asas Keadilan Berimbang dimaksudkan bahwa seseorang akan memperoleh hak dalam harta kewarisan seimbang dengan kepercayaannya. Hal tersebut dapat diketahui misalnya dalam Ketentuan Pasal 185 KHI tentang plaatsvervulling, dimana dengan mengacu kepada asas ini tidak sesuai dengan asas keadilan berimbang jika seorang cucu yang secara kebutuhan ayahnya meninggal terlebih dahulu dari kakek dan pamannya, dimana terjadi kehidupan ekonomi yang sulit dan tidak diberikan pula harta warisan dari kakeknya kepadanya. 5. Asas Kewarisan Terjadi Hanya Kalau Ada Yang Meninggal Dunia, dimana meninggalnya seseorang dapat dibedakan atas mati secara hakiki yaitu secara hakikat benar-benar disaksikan bahwa pewaris tersebut telah meninggal dunia, serta mati secara hukmi dimana kematian pewaris tidak disaksikan dan hanya bersifat dugaan saja, sehingga dimohonkan penetapan kematian pewaris tersebut ke pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan pengertian pewaris dalam Pasal 171 huruf b KHI. 192 M.Hasballah Thaib, Op.Cit.,hal.15-18 Universitas Sumatera Utara 80 KHI mengatur hukum kewarisan Islam pada Buku II tentang Hukum Kewarisan yang terdiri dari 6 (enam) bab dimulai dari Pasal 171 KHI sampai dengan Pasal 214 KHI. Dalam Buku II tentang Hukum Kewarisan KHI tersebut diatur tentang ahli waris, besarnya bagian waris, wasiat, Aul dan Raad serta hibah.Pasal 183 KHI, mengatur bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelahmasing-masing menyadari bagiannya. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa pembagian harta tirkah yang merupakan hasil kesepakatan para ahli waris atau dengan kata lain tidak terjadi sengketa atau perselisihan di antara para ahli waris. Pasal 188 KHI, mengatur bahwa bila ada diantara ahli warisyang tidak menyetujui permintaan pembagian harta waris oleh ahli waris secara perorangan atau bersama-sama kepada ahli waris lainnya, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melaluiPeradilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa permintaan pembagian harta warisan yang ditolak oleh ahli waris yang lain menimbulkan sengketa pembagian waris, dimana sengketa tersebut dapat diselesaikan dengan mengajukan surat gugatan melaluiPeradilan Agama. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 dan Pasal 188 KHI tersebut, maka dapat diketahui bahwa pembagian harta tirkah (harta peninggalan) kepada ahli waris dapat terjadi secara damai atau melalui penyelesaian sengketa pembagian waris olehPeradilan Agama. Universitas Sumatera Utara 81 Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat badan peradilan di Indonesia selain Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat 1 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa pembagian waris didasarkan pada kewenangan Peradilan Agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 49 Ayat 1 UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agamabertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Bidang kewarisan yang dimaksud dalam Pasal 49 ayat 1 tersebut meliputi penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.193 Pihak yang berperkara diberikan hak untuk mengajukan banding terhadap putusan dan penetapan Peradilan Agama(tingkat pertama)ke Pengadilan Tinggi Agama sesuai dengan kewenangan Pengadilan Tinggi Agama yang diatur dalam Pasal 51 Ayat 1 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pihak yang berperkara selanjutnya juga berhak mengajukan kasasi terhadap putusan dan penetapan Pengadilan Tinggi Agama ke Mahkamah agung sesuai dengan tugas dan 193 Pasal 49 Ayat 3 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Universitas Sumatera Utara 82 kewenangan Mahkamah Agung yang diatur dalam ketentuan Pasal 63 UU No.7 tahun 1989tentang Peradilan Agama. KHI masih merupakan hukum terapan Pengadilan Agama yang belum diatur secara tersendiri dalam bentuk perundang-undangan. Usaha untuk menjadikan KHI dalam bentuk perundang-undangan terus dilakukan dari waktu ke waktu namun selalu mengalami kegagalan karena situasi politik yang belum memungkinkan.194Keadaan tersebut mengakibatkan tidak adanya kewajiban bagi hakim untuk menggunakan KHI sebagai pedoman dalam memutus perkara waris. Dalam praktik peradilan terdapat perbedaan dalam penggunaan KHI, sebagian hakim ada yang menggunakannya secara eksplisit dan ada pula yang tidak menggunakan KHI sebagai pedoman. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan Direktorat Pembinaan Peradilan Agama terhadap 1008 putusan sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2001, secara implisit hampir seluruh putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan secara ekplisit 715 (71%) menggunakan KHI sebagai pedoman dalam memutus perkara waris.195Keadaan demikian dalam praktik peradilan tidak menjadikan hakim mengesampingkan KHI dalam memutus perkara waris. Keadaan tersebut menunjukkan keberhasilan sosialisasi KHI di kalangan hakim dan kepedulian hakim terhadap hukum yang hidup di tengah masyarakat walaupun KHI 194 195 H.Moh.Muhibbin dan H.Abdul Wahid, Op.Cit., hal.182 Ibid., hal.180 Universitas Sumatera Utara 83 tidak tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang mewajibkan hakim untuk menggunakannya. D. Hibah Dan Wasiat WajibahDalam Perspektif Hukum Kewarisan Islam 1. Hibah Dalam Perspektif Hukum Kewarisan Islam a. Pengertian Hibah Hibah merupakan peristiwa hukum yang tidak hanya diatur dalam hukum Islam dan terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragama Islam, melainkan juga diatur dalam hukum perdata maupun hukum adat dan terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara umum.BerdasarkanPasal 1666 KUH Perdata, hibah merupakan tindakan persetujuan dari si pemberi hibah pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali untuk menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah. Dari rumusan pengertian hibah tersebut dapat diketahui196 : 1). Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan cuma-uma (tidak ada kontraprestasi) 2).Hibah yang dilakukan mengisyaratkan bahwa hibah bertujuan untuk menguntungkan pihak yang menerima hibah 3).Objek hibah dapat berupa segala macam benda milik penghibah, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidk bergerak serta termasuk juga segala macam piutang pemberi hibah 4).Hibah tidak dapat ditarik kembali 5).Hibah harus dilakukan pada waktu pemberi hibah masih hidup 196 Eman Suparman, Op.Cit., hal.86 Universitas Sumatera Utara 84 Dalam hukum adat, istilah hibah telah dikenal sejak lama. Pengertian hibah menurut hukum adat adalah suatu pemberian sukarela kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan suatu apapun. Objek hibah merupakan harta kekayaan yang dimiliki pemberi hibah semasa hidupnya.197 Hibah dalam hukum adat dimaksudkan sebagai dasar kehidupan materil anggota-anggota keluarga, dimana penyerahan barang (objek) berlaku dengan seketika.198 Selain dalam hukum adat dan KUH Perdata, hibah juga dikenal dalam hukum Islam. Menurut Syamsudin al Muqdasiy, hibah dalam hukum Islam merupakan pemberian seseorang yang hidup dengan tiada perjanjian untuk mendapatkan balasan yang baik. Hibah menurut terminologi syara’ adalah pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap satu benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi.199 Pada awalnya kata hibah berasal dari bahasa Arab yang artinya memberikan atau menghadirkan, sedangkan hibah merupakan jenis kata benda yang artinya pemberian.Dalam kitab Mukhtasarul Ahkamil Fiqhiyyah dijelaskan bahwa pengertian hibah itu merupakan suatu sedekah atau derma dari seseorang (yang balig/dewasa) dari suatu harta yang dimilikinya.200 197 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1973), hal.204 198 Ter Haar, Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1994), hal.210 199 Anwar Sadat, Fungsi Hibah Dalam Memberikan Perlindungan Bagi Kepentingan Anak Pada Pembagian Harta Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat (Studi Kasus di Kecamatan Padang Bolak), Tesis, (Medan : PPs-USU, 2002), hal.7 200 Al Munawir, Kamus Bahasa Arab, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), hal.385 Universitas Sumatera Utara 85 Hibah dalam pengertian umum merupakan sadaqah dan hadiah, dimana apabila dilihat dari aspek vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) maka hibah mempunyai dimensi taqorrub artinya seseorang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang dengan sering melakukan hibah.201Dilihat dari sudut lain hibah juga mempunyai aspek horisontal (hubungan sesama manusia serta lingkungannya) yaitu dapat berfungsi sebagai upaya mengurangi kesenjangan antara orang kaya dan miskin serta dapat menghilangkan rasa kecemburuan sosial.202 Para Fukaha (ahli Fiqih) mendefenisikan hibah sebagai akad yang mengandung penyerahan hak milik seseorang kepada orang lain semasa hidupnya tanpa ganti rugi atau tidak mengharapkan suatu imbalan.203Makna hibah secara khusus meliputi hal-hal di bawah ini204: 1).Ibraa, artinya menghibahkan kepada orang lain yang berhutang(pembebasan hutang). 2).Sadaqah, artinya menghibahkan sesuatu dengan mendapatkan pahala dihari akhirat. Pada motivasi ingin mencari pahala dan keridhaan Allah itulah letak perbedaan yang mendasar antara sedekah dan hibah. Paraulama membagi sedekah itu kepada sedekah wajib dan sedekah sunat. 3).Hadiah, artinya imbalan yang diberikan kepada seseorang karena telah mendapatkan hibah. Pada dasarnya hadiah itu berasal dari hibah, akan tetapi dalam kebiasaan, hadiah itu lebih dimotivasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman kepada seseorang. b. Hibah dalam Perspektif Hukum Kewarisan Islam 201 Chuzaimah T.Yanggo dan A Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004), hal.81 202 Ibid. 203 Depdiknas, Ensiklopedi Islam Faskal II, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoece) hal.106 204 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal.74 Universitas Sumatera Utara 86 Dasar hibah menurut Islam ada pada firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling mengasihi dan sebagainya. Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena memberi lebih baik daripada menerima, namun pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa-apa kecuali untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa ta’ala dan mempererat tali persaudaraan. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala : “...Dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang miskin, musyafir ( yang memerlukan pertolongan), dan orang orang yang meminta...”. (Q.S. Al – Baqarah 177: ). Rasulallah juga bersabda, artinya “Dari Abi Hurrairah dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : saling memberi hadiahlah kamu sekalian niscaya kamu akan mencintai”. (HR. Al – Bukhari). Di dalam Al–Qur’an maupun Hadis, memang tidak ditemui ayat dan Hadis Nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dari Hadis di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama, memberi hadiah, melakukan infaq, sedekah, ibraa, hadiah, ’umra, ruqbah dan pemberian pemberian lain termasuk hibah. Para tokoh Islam memberikan pandangan yang berbeda-beda tentang sah atau tidaknya suatu hibah dalam Islam. Mazhab Syafi’i, menyatakan bahwa hibah baru dikatakan sah apabila disertai oleh ijab dan kabul atau dengan bentuk lain yang mengandung isi pemberian harta kepada seseorang tanpa disertai imbalan. Menurut Universitas Sumatera Utara 87 mazhab Syafi’i, ijab dan qabul harus sesuai antara qabul dengan ijab-nya, qabul mengikat ijab dan aqad hibah tidak dikaitkan dengansesuatu misalnya aqad tidak tergantung pada perkataan.205 Perbedaan pendapat ditunjukkan oleh pengikut Hanafi dan Hambali. Menurut pengikut mazhab Hanafi, hibah bermanfaat dan sah hanya dengan ijab saja sedangkan menurut pengikut Hambali, sahnya suatu hibah cukup hanya ditunjukkan dengan perbuatannya saja yang berpedoman dengan perbuatan Nabi SAW terdahulu yang diberi hadiah dan memberi hadiah.206 Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid diterangkan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu pemberi hibah (Al Wahib), penerima hibah (Al Mauhub Lahu) dan perbuatan hibah itu sendiri. Berdasarkan hukum Islam, hibah menjadi sah apabila telah memenuhi syarat, yakni ijab, qabul dan qabda.207 Berdasarkan Buku Muamalah, Fiqh menerangkan bahwa rukun hibah ada 4, yaitu, shigat hibah, penghibah, penerima hibah dan barang hibah.208 Berdasarkan beberapa pendapat mengenai pengertian dan syarat rukun hibah tersebut, maka dapat diketahui bahwa syarat sahnya hibah menurut hukum Islam adalah : Pertama, adanya ijab dan kabul yang menunjukkan telah terjadi pemindahan hak milik dari seseorang yang menghibahkan kepada orang lain yang menerima 205 H.Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal.76 206 Anwar Sadat, Op.Cit., hal.20 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1992), hal.372 208 Anwar Sadat, Op.Cit., hal.21 207 Universitas Sumatera Utara 88 hibah. Pemindahan hak milik tersebut ditandai dengan kata-kata hibah itu sendiri, dengan kata-kata hadiah atau dengan kata-kata lain yang mengandung arti pemberian. Kedua, ada orang yang menghibahkan dan yang akan menerima hibah. Harta yang diserahkan benar-benar milik penghibah secara sempurna dan penghibah harus merupakan orang yang cakap untuk bertindak menurut hukum. Syarat lain yang penting bagi penghibah adalah bahwa tindakan hukum itu dilakukan atas kesadaran sendiri, bukan karena ada paksaan dari pihak luar. Ketiga, ada harta yang akan dihibahkan dengan syarat harta itu milik penghibah secara sempurna tidak bercampur dengan harta orang lain serta rnerupakan harta yang bermanfaat dan diakui agama. Dengan demikian, hibah tidak sah jika harta yang akan dihibahkan tidak ada, bukan milik penghibah secara sempurna misalnya harta pinjaman dari orang lain, harta tersebut masih dalam khayalan atau harta yang dihibahkan itu adalah benda-benda yang materinya diharamkan agama. Hibah dalam hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, dimana hukum Islam telah menetapkan secara tegas, bahwa pemberian harta berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis. Pemberian itu dapat juga dinyatakan dalam tulisan jika Universitas Sumatera Utara 89 selanjutnya, dikehendaki bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik.209 Pemberian yang dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut ada 2 (dua) macam, yaitu210 : 1). Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian. 2). Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka harus didaftarkan. Dalam perspektif hukum Islam, hibah tidak diberikan dengan tanpa ketentuan.Hibah dilakukan dengan berdasarkan ketentuan yang mengatur tentang peruntukan hibah, kriteria pemberi dan penerima hibah, serta syarat tentang batasan objek yang dapat dihibahkan. Berdasarkan Al-Baqarah ayat 177, penerima hibah dapat berupa kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta.Hibah itu hukumnya sunnah dan lebih utama diberikan kepada kaum kerabat. Hibah juga dapat diberikan kepada seorang yang selaku berhak menjadi ahli waris, misalnya hibah kepada anak yang merupakan ahli waris.Imam Malik berpendapat bahwa wajib hukumnya bagi orang tua untuk tidak menghibahkan seluruh hartanya kepada salah seorang dari anaknya.211 209 Eman Suparman Op.Cit., hal.82-83 Ibid. 211 Masjfuk Zuhdi, dalam Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta : Tintamas, 1996), hal.48 210 Universitas Sumatera Utara 90 Peruntukan hibah dikecualikan terhadap beberapa orang berikut, dengan ketentuan212: 1). Bila hibah dilakukan terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka hibah harus diserahkan kepada wali atau pengampu yang sah dari anak di bawah umur atau orang yang tidak waras tersebut 2). Bila hibah dilakukan terhadap anak di bawah umur yang diwakili oleh saudaranya yang laki-laki atau oleh ibunya, hibah menjadi batal 3). Hibah kepada seseorang yang belum lahir juga batal. Adapun yang menjadi syarat atau kriteria orang yang menghibahkan atau pemberi hibah, yaitu 213: 1). 2). 3). 4). Pemberi hibah adalah pemilik sah dari barang yang akan dihibahkan Pemberi hibah berada dalam keadaan sehat Pemberi hibahsudah dewasa (sudah balik) Pemberi hibah memiliki kebebasan 5). Pemberi hibah merupakan orang yang telah mampu melakukan tabarru, yaitu dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, jika terjadi suatu perkara atau persoalan di kemudian hari. KHI mengatur secara khusus tentang hibah dalam Bab V tentang Hibah mulai dari Pasal 210 sampai dengan Pasal 214, sebagaimana diuraikan berikut : 1). Pasal 210 Ayat 1 KHI, pemberi hibah merupakan orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa ada paksaan pada saat melakukan hibah. Pemberi hibah hanya dapat menghibahkan sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di 212 Abdur Rahman I Doi, Hudud dan Kewarisan, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 213 Asyumuni A.Rahman,dkk., Ilmu Fiqh, Cetakan II, (Yogyakarta : Siaran, 1986), hal.203 hal.202 Universitas Sumatera Utara 91 hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.Ayat 2,harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. 2). Pasal 211 Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. 3). Pasal 212 Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. 4). Pasal 213 Hibah yang diberikan pada saatu penerima hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematiannya, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. 5). Pasal 214 Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini. 2. Wasiat Wajibah dalam Perspektif Hukum Kewarisan Islam a. Pengertian Wasiat Wajibah Wasiat wajibah merupakan kata majemuk yang terdiri dari dari dua kata, yaitu wasiat dan wajibah. Wajibah berasal dari kata wajib yang telah mendapatkan imbuhan kata ta’nis. Menurut Adul Wahab Khallaf, Wajibah adalah sesuatu yang diperintahkan syara’ untuk secara kemestian dilakukan oleh mukallaf karena secara langsung dijumpai petunjuk tentang kemestian memperbuatnya. Universitas Sumatera Utara 92 Dalam perspektif hukum kewarisan Islam, wasiat wajibah diartikan sebagai lawan kata dari wasiat ikhtiariyah. Menurut Jumhur, sifat wasiat ikhtiariyah wasiat hanya dianjurkan dan bukan merupakan kewajiban, kecuali kewajiban berwasiat terhadap tanggung jawab yang berkenaan dengan pemenuhan hak Allah atau hak hamba yang menjadi tanggungan si pemberi wasiat yang harus ditunaikan.214Contoh wasiat ikhtiariyah seperti zakat, hutang yang belum dibayar, sehingga pengadilan atau keluarga tidak mempunyai hak untuk memaksakan pelaksanaannya jika orang yang sudah meninggal dunia tidak berwasiat. Berdasaran pendapat Jumhur tersebut, sebagai lawan kata defenisi wasiat ikhtiariyah, maka wasiat wajibah merupakan suatu wasiat yang tidak hanya sekedar anjuran, akan tetapi suatu kewajiban. Suatu wasiat dikategorikan sebagai wasiat wajibah disebabkan karena215 : 1).Hilangnya unsur ikhtiyar bagi sipemberi wasiat dalam munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan dari si penerima wasiat. 2).Ada kemiripan dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan. Menurut Ahmad Rofiq, wasiat wajibah merupakan wasiat yang dibebankan oleh hakim agar seseorang yang telah meninggal dunia yang tidak melakukan wasiat 214 215 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hal.462 Fatchur Rahman, Op.Cit.,1975, hal.63 Universitas Sumatera Utara 93 secara sukarela, memberikan harta tirkah (harta peninggalannya) kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.216 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tegantung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik diucapkan atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia.217 Pelaksanaan tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan. Menurut Ibn Hazm setiap Muslim diwajibkan untuk berwasiat bagi kerabatnya yang tidak bisa mewarisi, baik yang disebabkan karena adanya perbudakan, kekufuran (non-muslim), karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan (bukan ahli waris). Jika pewaris tidak berwasiat bagi kerabatnya tersebut, maka ahli waris atau wali yang mengurus wasiat tersebut harus memberikan wasiat tersebut kepada kerabat tersebut menurut kepatutan.218 Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa menurut Ibnu Hazm wasiat wajibah adalah wasiat yang diberikan kepada kerabat yang karena alasan tertentu tidak mendapatkan bagian warisan serta tidak diberi wasiat oleh orang yang 216 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, 2000, Op.Cit., hal.462 Suparman Usman, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), hal.89 218 Ramlan Yusuf Rangkuti, Op.Cit., hal.373 217 Universitas Sumatera Utara 94 meninggal dunia, sementara orang yang meninggal dunia tersebut mempunyai harta yang baginya berlaku kewajiban untuk berwasiat. Pendapat Ibn Hazm mengenai wasiat wajibah adalah wasiat yang ditetapkan oleh penguasa dan dilaksanakan oleh hakim untuk orang-orang tertentu yang tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, dan tidak memperoleh warisan karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, atau terhalang mewarisi, sementara si mayit meninggalkan harta yang baginya berlaku wasiat wajibah.219 b. Wasiat Wajibah dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Fiqih Islam, wasiat wajibah didasarkan pada suatu pemikiran bahwa di satu sisi wasiat wajibah dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang-orang yang dekat dengan pewaris tetapi secara sya’i tidak memperoleh bagian dari jalur faraidh.220 KHI yang mengatur tentang wasiat wajibah terdapat dalam Pasal 209. 1).Pasal 209 KHI Ayat 1 mengatur bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 KHI, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari warisananak angkatnya. 2).Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3dari harta warisan orang tua angkatnya. 219 220 Ibid. Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal.1024 Universitas Sumatera Utara 95 Sehingga dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah adalah anak angkat dan orangtua angkat, dimana besarnya wasiat wajibah dibatasi sampai dengan 1/3 bagian harta peninggalan pewaris. Latar belakang KHI memungkinkan memberikan wasiat wajibah kepada orang tua angkat atau anak angkat disebabkan tanggung jawab terhadap anak angkat tidak hanya terletak pada tanggung jawab untuk memberi nafkah dan perawatan, melainkan kedudukan anak angkat sama dengan kedudukan anak kandung, karena itu terkadang nama ayah angkat selalu melekat kepada anak angkatnya sebagai identitas diri pribadi. Anak angkat dianggap mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung terhadap kedua orang tuanya dan begitu pula sebaliknya. Atas dasar inilah maka antara anak angkat dan orang tua angkat saling mewarisi dan dianggap sebagai mahram (orang yang haram dinikahi). Akan tetapi status anak angkat tidak dihubungkan kepada orang tua angkatnya, tetapi tetap seperti sediakala, yaitu dinisbatkan kepada orang tua kandungnya. Status pengangkatan anak tidak menciptakan adanya hubungan hukum pewarisan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, begitu juga dengan keluarganya. Menurut Rachmadi Usman Pasal 209 KHI masih belum lengkap dan kurang tepat, akan tetapi walaupun demikian, ketentuan Pasal 209 KHI harus ditafsirkan sebagai berikut221 : 221 Ibid. Universitas Sumatera Utara 96 1). Seorang anak angkat telah mempunyai hubungan kewarisan dengan orang tua kandungnya maupun kerabat-kerabatnya. 2). Orang tua angkatnya hanya mungkin memperoleh harta warisan anak angkatnya dengan jalan wasiat atau wasiat Wajibah. Besarnya wasiat atau wasiat wajibah tersebut maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta warisan anak angkatnya. 3). Demikian pula anak angkatnya hanya mungkin memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya juga dengan cara waiat atau wasiat wajibah. Besarnya pun maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya. Menurut M.Yahya Harahap, bahwa wasiat wajibah seseorang dianggap menurut hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata in concreto. Anggapan hukum itu lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan harus wajib berwasiat, maka ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat itu dianggap ada dengan sendirinya.222 222 M.Yahya Harahap,Op.Cit., hal.187 Universitas Sumatera Utara 97 BAB IV ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN MA RI No. 633 K/Ag/2013 A. Kasus Posisi Alm yang dalam perkawinannya dengan B dikaruniai 1 anak kandung bernama P (Penggugat). Alm mempunyai 6 orang saudara yang semuanya telah meninggal dunia masing-masing adalah C, D, E, F, G dan S. Penggugat telah melakukan perkawinan sebanyak 3 kali, yaitu : 1. Perkawinan pertama, antara Penggugat dengan J melahirkan 2 anak yaitu M (Turut Tergugat 1) dan N (Turut Tergugat 2), dalam perkawinan tersebut Penggugat bercerai ; 2. Perkawinan kedua, antara Penggugat dengan K melahirkan 2 anak yaitu O dan H, dalam perkawinan tersebut Penggugat bercerai ; 3. Perkawinan ketiga, antara Penggugat dengan L melahirkan 2 anak bernama Q dan R. Alm meninggal dunia tahun 1992 dan B meninggal tahun 2006 yang mempunyai harta tirkah (harta peninggalan) berupa tanah pekarangan tercatat dalam buku leter C No. 369 persil 31 klas D 1(masing-masing seluas 670 M2, 820 M2, dan 780 M2) dan tanah sawah persil1 8a Klas SI seluas 4.470 M2 dan persil 26 klas S II seluas 5.970 M2; 97 Universitas Sumatera Utara 98 Pada saat sakit, Alm menghibahkan tanah tersebut kepada saudaranya S (Alm), keponakan T (Tergugat), cucunya M (Turut Tergugat I) dan N (TurutTergugat II), dengan rincian sebagai berikut: 1. Tanah pekarangan seluas 670 M2 yang diatasnya berdiri bangunan rumah 10 m x 4 m sebagian (490 M2) dihibahkan oleh Alm kepada Turut Tergugat I, akan tetapi dikuasai semuanya oleh Tergugat yang dalam buku desa tercatat pada leter C No. 369 persil 31 DI terletak di Dusun Sepanyul, Gudo, Jombang (untuk selanjutnya disebut “A1”) 2. Tanah pekarangan seluas 820 M2 yang diatasnya berdiri bangunan rumah 12 m x 6 m, tercatat dalam persil No. 31 klas 1 sebagian seluas 420 M2 dihibahkan kepada S (Alm) karena meninggal dunia semuanya dikuasai Tergugat (untuk selanjutnya disebut “A2”) 3. Tanah sawah seluas 4.470 M2 persil 18a klas SI yang terletak di Dsn/Ds.Sepanyul Kec.Gudo, Kab.Jombang sebagian seluas 1.670 M2 dijual oleh Alm kepada U. Sisa tanah tersebut dikuasai Tergugat seluas 1.400 M2(untuk untuk selanjutnya disebut “A3”) 4. Tanah sawah seluas 6.080 M2 tercatat dalam C desa seluas 5.970 M2persil No.26 klas DII terletak di Dsn/Ds. Sepanyul Kec. Gudo, Kab.Jombang, dihibahkan kepada Turut Tergugat I akan tetapi dikuasai Tergugat (untuk selanjutnya disebut “A4”) Adapun tanah yang dihibahkan Alm kepadaTurut Tergugat II yang untuk sementara dikuasai Penggugat berupa : Universitas Sumatera Utara 99 1. Tanah seluas 780 M2 yang diatasnya berdiri bangunan rumah tercatat dalam buku C desa No.369 persil No.31 Klas DI yang terletak di Dsn/Ds. Sepanyul Kec. Gudo, Kab. Jombang atas nama Alm. (untuk selanjutnya disebut “B1”) 2. Tanah sawah seluas 1.400 M2 bagian dari persil 18a klas DI (sisa dari yang dikuasai Tergugat pada point 3 yang terletak di Dsn/Ds.Sepanyul Kec. Gudo, Kab. Jombang. (untuk selanjutnya disebut “B2”) Penggugat memohon kepada Majelis Hakim menetapkan tanah tersebut di atas sebagai harta waris/barang sengketa dalam perkara ini. Penggugat dalam dalilnya, menganggap hibah yang dilakukan tersebut mengakibatkan Penggugat dirugikan sebagai ahli waris dan terpaksa menguasai harta yang dihibahkan ke Turut Tergugat II, karena Penggugat diusiroleh Tergugat saat menempati harta waris (barang sengketa). Dalam petitum, Penggugat pada pokoknya memohon agar Majelis Hakim menetapkan tanah sebagaimana diuraikan di atas sebagai harta tirkah (harta peninggalan) Alm dan menyatakan akta hibah tidak berkekuatan hukum, penetapan Penggugat sebagai ahli waris tunggal, pembagian harta tirkah (harta peninggalan) tersebut secara hukum kewarisan Islam, serta memohon agar pengadilan memberi bagian waris kepada Tergugat dan Turut Tergugat I dan II sebagai wasiatun wajibah. B. Analisis Hukum Pertimbangan Hakim Dalam Putusan MA RI No.633 K/Ag/2013 Proses pemeriksaan perkara melalui peradilan tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Adapun pertimbangan Hakim dan Amar putusan Hakim pada tiap tingkat peradilan, diuraikan sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 100 Pada Tingkat Peradilan Agama, Majelis Hakim : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak selebihnya; 2. Menyatakan Penggugat sebagai ahli waris tunggal Alm, sedangkan Tergugat, Turut Tergugat I dan II sebagai anak angkatnya; 3. Menetapkan tanah A1, A2, A3, A4, B1, dan B2 merupakan harta tirkah (harta peninggalan) Alm.Soehardjo yang belum dibagi waris, yaitu : 4. Menyatakan hibah yang dilakukan oleh Alm atas seluruh barang sengketa tersebut diatas dengan Akte Hibah tanggal 18 Agustus 1990 (bukti T.5) tidak berkekuatan hukum ; 5. Menyatakan Sertifikat Tanah No.177 Tahun 1979 (bukti T.6) tidak berkekuatan hukum ; 6. Menetapkan Tergugat, Turut Tergugat I dan II mendapatkan 1/3 dari harta tirkah (harta peninggalan) Alm sebagai wasiat wajibah 7. Menetapkan seluruh harta peninggalan Alm, setelah dikurangi 1/3 bagian menjadi hak bagian waris Penggugat; 8. Menghukum Tergugat, Turut Tergugat I dan II atau siapa saja yang mendapatkan hak daripadanya untuk menyerahkan barang sengketa kepada Penggugat dalam keadaan kosong tanpa pembebanan hak apa saja kepada Penggugat untuk dibagi sebagaimana yang ditetapkan dalam diktum. Pada Tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Majelis Hakim : Universitas Sumatera Utara 101 1. Menyatakan, permohonan Banding yang diajukan oleh para Pembanding dapat diterima 2. Membatalkan putusan Peradilan Agama Jombang, Nomor : 0257/Pdt.G/ 2012/PA.Jbg, tanggal 14 Januari 2013 M, yang bertepatandengan tanggal 2 Rabi’ul awal 1434 H, yang dimohonkan banding dan MENGADILI SENDIRI 1. Menyatakan gugatan Penggugat/Terbanding tidak dapat diterima (Niet ont van Kelijk Verklaar); 2. Menghukum Penggugat/Terbanding untuk membayar biaya perkara ini dalam tingkat pertama sebesar Rp6.931.000,00 (enam juta sembilan ratus tiga puluh satu ribu rupiah); 3. Menghukum Penggugat/Terbanding untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding sebesar Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah); Pada Tingkat Kasasi Mahkamah Agung RI Majelis Hakim berpendapat Pengadilan Tinggi Agama Surabaya telah salahmenerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Bahwa Pengadilan Tinggi Agama Surabaya telah lalai mencermati rukun kewarisan; 2. Bahwa dalam posita yang disengketakan adalah harta warisan dan hibah alm. Soehardjo; 3. Bahwa hibah sawah Alm kepada T (Tergugat) seluas 1.400 M2 adalah sah karena tidak melebihi 1/3 harta; Universitas Sumatera Utara 102 4. Bahwa hibah sawah kepada N berupa sawah 1.400 M2 , karena cucu-cucu pemberi hibah yang lain tidak mendapatkan bagian, maka hibah tersebut dirasa tidak adil dan dinyatakan batal dan surat-surat yang berisi pemberian hibah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum; 5. Bahwa sisa dari hibah merupakan harta warisan pewaris yang menjadi milik Penggugat seluruhnya sebagai ahli waris tunggal; MENGADILI 1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Ismunandar binSoehardjo tersebut; 2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya No. 85/Pdt.G/2013/PTA.Sby tanggal 25 April 2013 yang membatalkan Putusan PengadilanAgama Jombang No.257/Pdt.G/2012/PA.Jbg tanggal 14 Januari 2013; MENGADILI SENDIRI: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat/Pemohon Kasasi sebagian ; 2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas barang sengketa positapoint 5 gugatan Penggugat/Pemohon Kasasi yang dilaksanakan tanggal 19 September2012; 3. Menyatakan Penggugat/Pemohon Kasasi sebagai ahli waris tunggal Alm. Soehardjo ; 4. Menetapkan barang sengketa sebagaimana diuraikan dalam gugatan merupakan harta tirkah (harta peninggalan) Alm yang belum dibagi waris Universitas Sumatera Utara 103 5. Menyatakan hibah yang dilakukan oleh Alm atas seluruh harta benda tersebut diatas dengan Akte Hibah tanggal 18 Agustus 1990 (buktiT.5) tidak berkekuatan hukum; 6. Menyatakan Sertifikat Tanah No.1177 Tahun 1979 (bukti T.6) tidak berkekuatan hukum; 7. Menyatakan hibah Alm.Soehardjo kepada saudara kandungnya S sawah seluas 1400 M2 adalah sah; 8. Menetapkan seluruh harta peninggalan Alm setelah dikurangi1400 M2 tersebut angka 7 diatas menjadi hak bagian waris Penggugat/Pemohon Kasasi; 9. Menghukum Tergugat/Termohon Kasasi atau siapa saja yang mendapatkan hak daripadanya untuk menyerahkan barang sengketa kepada Penggugat/Pemohon Kasasi dalam keadaan kosong tanpa pembebanan hak apapun kepada Penggugat/Pemohon Kasasi; 10. Menghukum Turut Tergugat I dan II untuk tunduk dan patuh atas Putusan ini; 11. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya; 1. Penetapan Penggugat/Pemohon Kasasi Sebagai Ahli Waris Tunggal Alm (Pewaris) Dalam pertimbangan hukum, Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi Agama Surabaya telah lalai mencermati rukun kewarisan dan sengketa perkara merupakan sengketa harta warisan dan hibah Alm. Majelis Hakim menimbang bahwa Penggugat/Pemohon Kasasi merupakan ahli waris tunggal Pewaris dan dalam amar putusan menetapkan barang sengketa (A1, A2, A3, B1 dan Universitas Sumatera Utara 104 B2) setelah dikurangi 1.400 M2 tanah yang dihibahkan kepada Siswoyo sebagai bagian harta tirkah (harta peninggalan) Penggugat. Analisis terhadap pertimbangan hukum hakim tersebut, dimulai dengan menganalisis terlebih dahulu peristiwa a quo yang terjadi dalam perkara untuk kemudian dikonstatir dengan peristiwa hukum waris maupun hibah. Pertimbangan hakim tersebut dinilai telah tepat, hanya ada pokok perkara hanya berupa waris dan hibah, sedangkan peristiwa wasiat wajibah yang didalilkan Penggugat/Pemohon Kasasi tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dalam Fiqih Islam, wasiat wajibah didasarkan pada suatu pemikiran bahwa di satu sisi wasiat wajibah dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang-orang yang dekat dengan pewaris tetapi secara sya’i tidak memperoleh bagian dari jalur faraidh.223 KHI yang mengatur tentang wasiat wajibah terdapat dalam Pasal 209. Adapun isi Pasal 209 KHI yaitu : a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 KHI, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari warisan anak angkatnya. (Ayat 1) b. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.(Ayat 2) 223 Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal.1024 Universitas Sumatera Utara 105 Sehingga dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah adalah anak angkat dan orangtua angkat, dimana besarnya wasiat wajibah dibatasi sampai dengan 1/3 bagian harta peninggalan pewaris. Dalam petitum Penggugat/Pemohon Kasasi pada perkara a quo memohonkan kepada Majelis Hakim untuk memberikan maksimal 1/3 bagian harta tirkah (harta peninggalan) kepada Turut Tergugat 2. Penolakan terhadap permohonan tersebut oleh Majelis Hakim pada tingkat Kasasi dinilai telah tepat. Wasiat wajibah tidak diberikan kepada cucu angkat, tetapi kepada anak angkat, sehingga permohonan tersebut harus ditolak karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 209 Ayat 1 KHI. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, waris dalam hukum kewarisan Islam memiliki beberapa syarat atau rukun waris, yaitu kematian pewaris, ahli waris yang hidup pada saat pewaris meninggal, hak waris maupun tidak adanya halangan waris. Salah satu syarat waris adalah kematian pewaris. Kematian Pewaris dalam posita surat gugatan, Penggugat mendalilkan bahwa benar Alm telah meninggal dunia pada tahun 1992. Pembuktian dalil tersebut dilakukan Penggugat dengan mengajukan bukti asli surat kematian (P2). Bukti P2 telah mempunyai kekuatan pembuktian karena berdasarkan ketentuan Pasal 44 Ayat 2, laporan kematian seseorang berupa Register Akta Kematian dan Kutipan Akta Kematian yang dicatat dan diterbitkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil. Universitas Sumatera Utara 106 Dalil Penggugat juga diperkuat oleh kesaksian V dan W yang bersaksi bahwa Alm telah meninggal dunia. Dari pembuktian tersebut dapat diketahui bahwa syarat kematian pewaris telah memenuhi syarat waris. Ahli waris yang masih hidup pada saat pewaris meninggal merupakan syarat kedua dalam waris. Sebelum diuraikan lebih lanjut mengenai syarat kedua tersebut, terlebih dahulu diuraikan tentang kedudukan hukum Penggugat sebagai ahli waris tunggal, sebagaimana pertimbangan hukum Majelis Hakim. Untuk mengetahui bahwa pertimbangan hakim tersebut telah tepat, maka perlu diketahui terlebih dahulu kebenaran secara hukum bahwa Penggugat merupakan anak laki-laki kandung Alm satu-satunya, kedudukan masing-masing pihak terkait dalam perkara a quo serta ada tidaknya halangan waris Penggugat. Salah satu syarat atau sebab seseorang menjadi ahli waris (al waarits) yaitu adanya hubungan kekerabatan (nasab) dengan pewaris. Salah satu ahli waris yang merupakan ahli waris karena hubungan kekerabatan (nasab) adalah anak laki-laki. Dalam posita, Penggugat/Pemohon Kasasi mendalilkan bahwa Penggugat merupakan anak tunggal kandung dari Alm. Dalil tersebut diperkuat dengan Surat Kartu Keluarga Alm.Soehardjo (P.VI), kesaksian X, Y maupun sumpah Penggugat sendiri. Keempat bukti tersebut saling menguatkan satu sama lain dan telah mempunyai nilai pembuktian, sehingga berdasarkan pembuktian tersebut, maka dalil Penggugat merupakan anak laki-laki kandung Alm.Soehardjo sudah tepat dan benar. Kedudukan anak laki-laki tanpa diselingi perempuan dalam hukum kewarisan Islam adalah sebagai ashabah, lebih khususnya anak laki-laki merupakan Universitas Sumatera Utara 107 ashabah binnafsih.Alquran tidak membatasi bagian waris anak laki-laki, sehingga anak laki-laki sebagai ashabah binnafsih berhak untuk mewarisi seluruh harta tirkah (harta peninggalan). Penggugat/Pemohon Kasasi sebagai anak kandung laki-laki tunggal Alm.Soehardjo tidak secara otomatis menjadi ahli waris tunggal. Untuk mengetahui hal tersebut, maka harus dinilai perlu untuk terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap kedudukan beberapa pihak yang terkait dengan perkara a quo. a. B (Janda Alm) Janda merupakan salah satu ahli waris dalam hukum kewarisan Islam. Janda merupakan salah satu ahli waris yang tergolong dalam aschabul furudh (ashabalfurudh) khususnya aschabul furudh is-sababiyah, dimana bagian waris janda sudah ditentukan dalam Alquran. Janda memperoleh 1/8 bagian dari harta tirkah (harta peninggalan), jika pewaris mempunyai anak atau ¼ bagian jika pewaris tidak mempunyai anak. Untuk mengetahui bahwa Musriah berhak atau tidak sebagai ahli waris Alm, perlu dianalisis kebenaran pernikahan Alm semasa hidup dengan B. Asli Surat Nikah yang dikeluarkan dari Kantor Kenaiban Kecamatan Gudo Kabupaten Jombang, Nomor 238, tanggal 16 April1940, (P.1 dan T.1). Bukti P.1 dan T.1 telah memenuhi ketentuan Pasal 7 Ayat 1 KHI, dimana perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Bukti P.1 dan T.1 tersebut telah mempunyai nilai pembuktian, sehingga dalil Penggugat tentang Musriah merupakan janda Alm adalah tepat dan benar. Universitas Sumatera Utara 108 Janda merupakan salah satu ahli waris yang telah ditentukan bagiannya dalam Alquran. B merupakan janda Alm akan tetapi, B tidak memenuhi syarat sebagai ahli waris karena B telah meninggal dunia pada tahun 2006 atau sebelum pemeriksaan perkara a quo tahun 2012. b. U Eksepsi Tergugat/Termohon Kasasi dalam pokok perkara mendalilkan bahwa U juga merupakan ahli waris karena hubungan perkawinannya dengan Alm. U merupakan istri dari perkawinan kedua Alm semasa hidupnya yang melahirkan 2 (dua) orang anak, yaitu Z dan XY. Dalil Tergugat/ Termohon Kasasi bahwa U merupakan istri dari perkawinan ke 2 (dua) Alm dibuktikan Tergugat hanya dengan kesaksian W. Pembuktian perkawinan hanya berdasarkan kesaksian tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Ayat 1 KHI yang mengatur bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Sehingga dalil Tergugat/Termohon Kasasi tidak dapat dibuktikan. Akibat hukum dalil Tergugat/Termohon Kasasi yang tidak dapat dibuktikan tersebut, mengakibatkan U, Z dan XY tidak mempunyai hak waris atas harta tirkah (harta peninggalan) Alm. c. T (Tergugat/ Termohon Kasasi) Dalam eksepsi, Tergugat/Termohon Kasasi mendalilkan bahwa Tergugat/Termohon Kasasi merupakan anak Alm dan bernama T. Dalam replik, Penggugat/Pemohon Kasasi membantah dalil tersebut dengan tegas bahwa Universitas Sumatera Utara 109 Tergugat/Termohon Kasasi bernama T bukan merupakan anak Alm, melainkan cucu Alm/ anak S yang merupakan saudara kandung Alm. Tergugat/Termohon Kasasi mengajukan bukti berupa Surat Keterangan dari Kepala Desa Sepanyul Kecamatan Gudo Kabupaten Jombang yang menerangkan tentang T adalah anak dari hasil pernikahan Alm dengan U ( T.3), kesaksian W serta kesaksian V. Berdasarkan bukti tersebut, hakim perkara a quo, menilai bahwa Tergugat/Termohon Kasasi telah dapat membuktikan diri sebagai anak Alm, sehingga telah memenuhi batas-batas minimal nilai pembuktian dan telah memiliki kekuatan pembuktian. Majelis Hakim juga berpendapat bahwa pembuktian tersebut telah mempunyai kekuatan yang seimbang dengan pembuktian yang diajukan Penggugat/Pemohon Kasasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 Ayat 1 UU No.24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Setiap Kelahiran Wajib Dilaporkan oleh Penduduk Kepada instansi pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran dan ayat 2 dimana berdasarkan laporan tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa pembuktian kelahiran seseorang dilakukan dengan mengajukan bukti berupa Akte Kelahiran yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Pertimbangan majelis hakim yang menilai bahwa bukti T.3 yang berupa Surat Keterangan dari Kepala Desa Sepanyul Kecamatan Gudo Kabupaten Jombang Universitas Sumatera Utara 110 mempunyai kekuatan pembuktian yang membenarkan bahwa Tergugat merupakan anak dari Alm dinilai tidak tepat secara hukum dan tidak dapat membuktikan kebenaran dalil Tergugat tersebut. Tergugat terbukti tidak dapat mengajukan bukti berupa Akta Kelahiran yang dikeluarkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil. Hal tersebut juga menyebabkan kekuatan pembuktian antara Penggugat/Pemohon Kasasi tidak seimbang dengan kekuatan pembuktian yang diajukan Tergugat/Termohon Kasasi. Berdasarkan penelitian, tidak ada satupun pasal dalam UU No.7 Tahun 1989tentang Peradilan Agama maupun UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.7 Tahun 1989 yang mengatur kewenangan Hakim Peradilan Agama untuk mengabulkan permohonan sumpah Penggugat untuk membenarkan bahwa Penggugat merupakan anak tunggal Alm. Demikian pula jika berpedoman pada ketentuan HIR sebagai sumber Hukum Acara Perdata yang bersifat umum (lex generalis). Pasal 164 HIR mengatur bahwa sumpah merupakan salah satu alat bukti di persidangan. Ketentuan tentang sumpah sebagai alat bukti, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1829 KUH Perdata. Pasal 1829 KUH Perdata mengatur bahwa terdapat dua macam sumpah di muka Hakim, yaitu : 1).Sumpah pemutus, yaitu sumpah yang diperintahkan untuk dilakukan salah satu pihak terhadap pihak lawan untuk menunda pemutusan perkara. (Ayat 1) 2).Sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya. (Ayat 2) Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa sumpah yang dimohonkan oleh Penggugat untuk dirinya sendiri dan kemudian diizinkan (bukan Universitas Sumatera Utara 111 diperintahkan) oleh Majelis Hakim berdasarkan permohonan tersebut, tidak memenuhi ketentuan Pasal 1829 KUH Perdata. Sumpah yang diizinkan tersebut bukan merupakan alat bukti dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Di samping pembuktian yang dilakukan oleh Penggugat/Pemohon Kasasi maupun Tergugat/Termohon Kasasi, Hakim juga mendengar sendiri keterangan YZ yang berkediaman disamping salahsatu rumah yang menjadi objek sengketa, keterangan mana disampaikan dibawah sumpahnya yang menyatakan bahwa T adalah anak kandungnya S yang merupakan saudara Alm dan dipelihara oleh Alm sejak kecil. Keterangan YZ tersebut juga saling menguatkan dengan keterangan saksi Penggugat N. Berdasarkan hasil analisis sebagaimana yang telah diuraikan tersebut, maka dapat diketahui bahwa Tergugat/Termohon Kasasi, secara hukum bukan merupakan anak kandung dari Alm dari hasil perkawinan dengan U. Hasil analisis tersebut diperkuat pula dengan hasil analisis terhadap U yang tidak terbukti secara hukum merupakan istri kedua yang sah Alm. Tergugat/Termohon Kasasi bukan merupakan anak kandung dari Alm, sehingga Tergugat/Termohon Kasasi bukan merupakan ahli waris Alm. d. N dan M Dalam posita gugatan Penggugat/Pemohon Kasasi, dijelaskan bahwa M merupakan cucu perempuan Alm dan N merupakan cucu laki-laki. Kedua cucu Alm merupakan anak dari Penggugat. M dan N adalah benar merupakan cucu perempuan Universitas Sumatera Utara 112 dan cucu laki-laki Alm berdasarkan fakta persidangan berupa tidak adanya bantahan Tergugat/Termohon Kasasi serta keterangan saksi X. Cucu laki-laki dan cucu perempuan berkedudukan sebagai ahli waris dalam hukum kewarisan Islam, secara khusus merupakan ahli waris yang tergolong pada ahli waris pengganti. Kedudukan cucu perempuan sebagai ahli waris masih belum terbuka jika : 1). Ada anak laki-laki atau cucu laki-laki yang lebih tinggi derajatnya 2). Ada dua anak perempuan atau cucu perempuan yang lebih tinggi derajatnya Kedudukan cucu perempuan sebagai ahli waris baru terbuka jika : 1). Hanya ada satu anak perempuan atau cucu perempuan yang lebih tinggi derajatnya 2). Ada cucu laki-laki bersama dengan cucu perempuan Kedudukan cucu laki-laki sebagai ahli waris akan terbuka jika tidak ada anak laki-laki pewaris, sehingga dapat diketahui bahwa cucu laki-laki mempunyai kedudukan sebagai pengganti anak laki-laki pewaris. Cucu laki-laki dapat mewaris bersama dengan paman (anak laki-laki atau cucu laki-laki yang lebih tinggi derajatnya), juga dapat menarik bibi (anak perempuan atau cucu perempuan yang lebih tinggi derajatnya) dan saudara perempuan (cucu perempuan yang sama derajatnya) menjadi ashabah bilghair. Dalam hal terdapat sejumlah cucu laki-laki bersama atau tidak bersama cucu perempuan yang berasal dari anak laki-laki yang sama, maka bagian anak laki-laki pewaris diterima secara bersama-sama. Universitas Sumatera Utara 113 Jika dibandingkan dengan kedudukan cucu laki-laki dan cucu perempuan Alm.Soehardjo, maka dapat diketahui bahwa M dan N merupakan ahli waris yang terhalang semua hak warisnya (hijab hirman) oleh keberadaan Penggugat/ Pemohon Kasasi (anak laki-laki Alm). Kedudukan M dan N merupakan ahli waris pengganti ayahnya (P/Penggugat) hanya apabila Penggugat telah meninggal dunia saat pembagian waris dilakukan. Berdasarkan uraian tentang kedudukan beberapa pihak yang terkait dalam perkara a quo tersebut di atas menunjukkan penetapan Penggugat/ Pemohon Kasasi sebagai satu-satunya anak laki-laki kandung Alm dan juga merupakan ahli waris tunggal Alm sudah tepat, akan tetapi terdapat beberapa perbedaan pandangan antara pertimbangan hukum hasil penelitian dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim. Perbedaan tersebut terletak pada pertimbangan hakim yang menetapkan N dan M sebagai cucu dari ahli waris menjadi anak angkat pewaris. Penetapan tersebut dinilai tidak tepat, karena N dan M merupakan ahli waris Almarhum dan berhak mendapatkan bagian harta tirkah, seandainya P yang merupakan orangtua N dan M telah meninggal. 2. Penetapan Bagian Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Penggugat/Pemohon Kasasi sebagai Ahli Waris Tunggal Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Kasasi, ditetapkan bahwa harta warisan pewaris yang menjadimilik Penggugat seluruhnya sebagai ahli waris tunggal adalah barang sengketa setelah dikurangi hibah sawah Alm kepada T (Tergugat) Universitas Sumatera Utara 114 seluas 1.400 M2. Hibah sawah Alm kepada T (Tergugat) seluas 1.400 M2 adalah sah karena tidak melebihi 1/3 harta Pewaris. Hibah sawah kepada N berupa sawah 1.400 M2, dirasa tidak adil dan dinyatakan batal serta surat-surat yang berisi pemberian hibah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan pertimbangan, karena cucu-cucu pemberi hibah yang lain tidak mendapatkan bagian. Untuk menganalisis pertimbangan majelis hakim tersebut, dinilai perlu untuk menganalisis secara hukum terlebih dahulu hibah sawahseluas 1.400 M2yang dilakukan Alm semasa hidupnya kepada T (Tergugat). Dalam perspektif hukum Islam, ada 3 (tiga) Rukun Hibah. Pertama, adanya ijab dan kabul yang menunjukkan telah terjadi pemindahan hak milik dari seseorang yang menghibahkan kepada orang lain yang menerima hibah. Pemindahan hak milik tersebut ditandai dengan kata-kata hibah itu sendiri, dengan kata-kata hadiah atau dengan kata-kata lain yang mengandung arti pemberian. Kedua, ada orang yang menghibahkan dan yang akan menerima hibah. Harta yang diserahkan benar-benar milik penghibah secara sempurna dan penghibah harus merupakan orang yang cakap untuk bertindak menurut hukum. Syarat lain yang penting bagi penghibah adalah bahwa tindakan hukum itu dilakukan atas kesadaran sendiri, bukan karena ada paksaan dari pihak luar. Ketiga, ada harta yang akan dihibahkan dengan syarat harta itu milik penghibah secara sempurna tidak bercampur dengan harta orang lain serta rnerupakan harta yang bermanfaat dan diakui agama. Dengan demikian, hibah tidak Universitas Sumatera Utara 115 sah jika harta yang akan dihibahkan tidak ada, bukan milik penghibah secara sempurna misalnya harta pinjaman dari orang lain, harta tersebut masih dalam khayalan atau harta yang dihibahkan itu adalah benda-benda yang materinya diharamkan agama. Peruntukan hibah dikecualikan terhadap beberapa orang berikut, dengan ketentuan224: a. Bila hibah dilakukan terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka hibah harus diserahkan kepada wali atau pengampu yang sah dari anak di bawah umur atau orang yang tidak waras tersebut b. Bila hibah dilakukan terhadap anak di bawah umur yang diwakili oleh saudaranya yang laki-laki atau oleh ibunya, hibah menjadi batal c. Hibah kepada seseorang yang belum lahir juga batal. KHI mengatur secara khusus tentang hibah dalam Bab V tentang Hibah mulai dari Pasal 210 sampai dengan Pasal 214, sebagaimana diuraikan berikut : a. Pasal 210 Ayat 1 KHI, yaitu pemberi hibah merupakan orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa ada paksaan pada saat melakukan hibah. Pemberi hibah hanya dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Ayat 2, yaitu harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. b. Pasal 211, yaituhibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. 224 Abdur Rahman I Doi, Op.Cit., hal.202 Universitas Sumatera Utara 116 c. Pasal 212, yaitu hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. d. Pasal 213, yaituhibah yang diberikan pada saatu penerima hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematiannya, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. e. Pasal 214, yaitu Warga Negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini. Hibah tanah seluas 1.400 M2 (A3) oleh Alm kepada Tergugat/Termohon Kasasi merupakan satu-satunya tanah dari enam bidang tanah yang merupakan barang sengketa dalam perkara a quo yang ditetapkan sebagai hibah yang sah oleh Majelis Hakim. Penilaian terhadap pertimbangan hakim tersebut dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menganalisis pembuktian kebenaran dalil masing-masing pihak, kemudian menganalisis berdasarkan ketentuan KHI. Penggugat dalam posita mendalilkan bahwa Alm dalam keadaan sakit telah menghibahkan tanah A3 kepada Tergugat. Tergugat/ Termohon Kasasi dalam eksepsi juga membenarkan dan mempertegas bahwa telah terjadi hibah tanah A.3 dari Alm kepadanya. Berdasarkan ketentuan Pasal 213 diatur bahwa hibah yang diberikan pada saat penerima hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematiannya, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. Penggugat/Pemohon Kasasi tidak dapat membuktikan bahwa Alm saat menghibahkan tanah tersebut berada dalam keadaan sakit dan tidak ada kewajiban Universitas Sumatera Utara 117 bagi Tergugat/Termohon Kasasi untuk meminta persetujuan kepada Penggugat selaku ahli waris. Akan tetapi, hibah tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 210 Ayat 1 KHI dimana hibah seharusnya dilakukan di hadapan dua orang saksi. Hibah hanya dilakukan di hadapan Penggugat/ Pemohon Kasasi. Kesaksian X hanya menerangkan bahwa tanah A.3 digarap oleh Tergugat/Termohon Kasasi bukan menyaksikan sendiri hibah atas tanah tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa pertimbangan hukum bahwa telah terjadi hibah tanah A.3 oleh Alm kepada Tergugat/Termohon Kasasi dinilai tidak tepat secara hukum. Sehingga dapat pula diketahui bahwa Penggugat/Pemohon Kasasi merupakan ahli waris tunggal Alm yang berhak atas keseluruhan harta tirkah (harta peninggalan) Alm tanpa dikurangi dengan hibah tanah A.3 seluas 1.400 M2 sebagaimana didalilkan oleh Penggugat/Pemohon Kasasi maupun Tergugat/Termohon Kasasi. Universitas Sumatera Utara 118 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Harta warisan merupakan bagian dari harta tirkah (harta peninggalan). Pemisahan harta warisan dari harta tirkah dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pelunasan kewajiban pewaris sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 175 KHI yang berupa biaya pengurusan pemakaman jenazah pewaris, pelunasan hutang serta penyelesaian wasiat yang dibuat pewaris semasa hidup. 2. Penyelesaian pembagian harta tirkah (Harta Peninggalan) adalah dimulai dari melaksanakan kewajiban ahli waris dalam bentuk : tajhijsh jenazah, membayar hutang mayat, mengembalikan titipan orang pada pewaris dan melaksanakan wasiat. Setelah itu baru mengadakan pembahagian warisan menurut petunjuk alquran, sunnah, dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Ketentuan mengenai pembagian harta tirkah (harta peninggalan) telah diatur secara jelas di dalam Qur’an dalam Surat An Nisa 4 ayat 7,11,12,33 dan176 dan surat lainnya yang tercantum dalam al-Quran, Sunnah serta Kompilasi Hukum Islam. Putusan hakim tentang pembagian harta tirkah dan hibah dalam kasus ini, dinilai telah sesuai dengan KHI,namun pertimbangan hukum hakim yang menetapkan N dan M sebagai anak angkat Pewaris tidak tepat. 3. Pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 633/K/Ag/2013 adalah Penggugat/Pemohon Kasasi terbukti 118 Universitas Sumatera Utara 119 merupakan anak kandung laki-laki satu-satunya Alm. Tergugat/Termohon Kasasi, B (janda Alm.Soehardjo), U, M dan N tidak mempunyai kedudukan sebagai ahli waris terhadap harta tirkah (harta peninggalan) Alm. Pertimbangan hakim yang menetapkan kedudukan Penggugat/Pemohon Kasasi merupakan ahli waris tunggal Alm dinilai telah tepat. Demikian pula dengan hibah tanah A.3 seluas 1.400 M2 oleh Alm.Soehardjo kepada Tergugat/Termohon Kasasi telah sesuai dengan ketentuan Pasal 213 KHI karena Penggugat/Pemohon Kasasi tidak dapat membuktikan bahwa hibah dilakukan Alm saat dalam keadaan sakit, sehingga Tergugat/Termohon Kasasi tidak berkewajiban untuk meminta persetujuan dari Penggugat yang merupakan ahli waris. Hibah sebagaimana didalilkan Penggugat dan Tergugat tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 210 KHI karena tidak dilakukan di hadapan minimal dua orang saksi. B. Saran 1. Bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam, khususnya para ahli waris untuk secara cermat dan jujur dalam memperhitungkan harta tirkah dan kewajiban pewaris, sehingga para ahli waris maupun pihak-pihak lainnya memperoleh bagian yang merupakan haknya.Bagi masyarakat secara khusus masyarakat yang memiliki harta yang besar nilainya, disarankan untuk memanfaatkan kewenangan yang dimiliki notaris dalam menginventarisir dan membuat akta autentik tentang pemisahan dan pembagian harta pewaris. Langkah tersebut dapat mencegah terjadinya sengketa dan apabila perselisihan Universitas Sumatera Utara 120 tetap terjadi, maka langkah tersebut dapat mempermudah pembuktian di persidangan demi tercapainya keadilan bagi ahli waris. 2. Bagi ahli waris, untuk terlebih dahulu memahami makna atau hakikat diberikannya harta oleh Allah SWT yaitu untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya dan sebagai perekat hubungan persaudaraan atau ikhuwah Islamiyah dan Insaniyah. Pemahaman yang mendalam tentang hakikat harta tersebut sebaiknya dilanjutkan dengan pembagian yang adil yaitu pembagian harta waris kepada ahli waris dengan porsi yang berdasarkan kepada ketentuan Qur’an. 3. Bagi Majelis Hakim untuk lebih cermat, tidak mengabaikan serta berhati-hati menilai fakta-fakta hukum dalam persidangan yang diperoleh dari bukti-bukti, baik yang berupa bukti tertulis maupun kesaksian para saksi. Hakim sebaiknya memahami secara mendalam, prinsip-prinsip hukum Islam diantaranya hukum kewarisan Islam maupun prinsip hukum perkawinan, untuk kemudian menjadikan prinsip tersebut sebagai pedoman dalam memutus perkara dan menghasilkan putusan pembagian waris yang adil. Universitas Sumatera Utara