1. Seperti apa psikologis orang yang menjadi korban gempa ? Gempa sebagai suatu pengalaman yang mendadak/tiba-tiba, menimbulkan berbagai kerusakan yang besar berdampak secara psikologis pada penyintas** (survivor). Dampak psikologis pada penyintas berkembang seiring dengan waktu yang berlalu dan kondisi/konteks sosial pasca bencana. Reaksi segera setelah bencana yang besar seperti gempa di Padang yang baru saja terjadi, umumnya adalah: shock dan terguncang, kemudian berkembang menjadi beragam penghayatan psikologis yang dapat berbeda tampilannya antara satu dengan yang lain, tampil dalam 3 aspek: pemikiran (kognitif), perasaan (afeksi) dan perilaku (psikomotorik). Misalnya: pemikiran: berpikir bahwa Tuhan menghukum, sulit konsentrasi; perasaan: sedih, marah, survivor guilt (merasa bersalah karena selamat, mis:pada ibu yang selamat namun anaknya yang masih kecil tidak berhasil diselamatkan); perilaku, mis: mondar-mandir tidak karuan dll. Umumnya, reaksi tersebut bersifat negatif: penghayatan emosi negatif, pemikiran negatif, perilaku yang konotasi negatif (membahayakan, mengancam, dll) namun tidak tertutup juga reaksi yang bersifat positif. Reaksi Psikologis penyintas sangat individual sifatnya. Hal yang perlu ditekankan tentang reaksi psikologis seseorang adalah: NORMALISASI: berbagai reaksi yang dialami termasuk reaksi-reaksi negatif tersebut merupakan reaksi yang WAJAR dalam menghadapi kondisi yang TIDAK WAJAR. Bayangkan dalam waktu sekejap, sangat singkat ada begitu banyak kehilangan yang harus terjadi. Jadi terus terang, saya sedih jika di media banyak mengekspos bahwa korban gempa mengalami trauma, dll. Terminologi Trauma saat ini sudah disalahartikan terutama semenjak gempa tsunami. Label “Trauma” berkonotasi dengan gangguan yang implikasi stigma dan kesalahan pendekatan dalam penanganan. Padahal reaksi – reaksi psikologis dalam durasi sampai kurang lebih 1-2 bulan pasca bencana dahsyat merupakan reaksi yang wajar terjadi. Dan melalui natural coping mechanism, mereka dapat kembali pulih dan berfungsi sosial. Tidak tertutup kemungkinan bahwa dari komunitas pasca bencana terdapat individu yang tangguh (resilient) sehingga dapat tetap optimal pasca pengalaman bencana. Masyarakat di Aceh dan Yogya banyak yang menampilkan ketangguhannya sehingga tidak terpuruk pasca bencana. Meskipun demikian, setelah bencana, ada pula yang reaksi psikologisnya berkembang menjadi PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) – Gangguan Stress Pasca Trauma (meski jumlahnya relatif terbatas dibandingkan total populasi), yang ditandai oleh 3 hal: reexperiencing (seolah-olah mengalami kembali), avoidance (menghindari dari berbagai hal yang mengingatkan pada pengalaman traumatis) dan hyper-arousal (ketergugahan fisik yang berlebih). Dengan catatan gangguan ini dapat ditegakkan minimal 6 bulan pasca kejadian, individu masih menampilkan reaksi-reaksi tersebut. Dalam bencana termasuk gempa, aspek Psikologis penyintas erat kaitannya dengan penghayatan loss (kehilangan), yang tidak hanya fisik: kehilangan barang milik, kehilangan orang yang dikasihi tetapi juga sosial: kehilangan aktivitas, kehilangan ikatan kekeluargaaan dan lain-sebagainya. Penjelasan: ** Penyintas lebih tepat digunakan untuk menjelaskan mereka yang selamat dari bencana daripada kata ‘korban’ karena di dalam terminologi ‘penyintas’: mengandung makna bahwa pada mereka yang selamat terdapat potensi, kekuatan, ketangguhan untuk pulih, berfungi kembali pasca bencana sebagai suatu pengalaman sulit. 2. Bagaimana penanganan trauma pada korban bencana ? Penanganan aspek psikologis penyintas bencana merupakan suatu proses yang unik tiap individu dan tiap komunitas. Metode untuk memfasilitasi pemulihan pun sangat disesuaikan dengan karakteristik individu dan komunitas termasuk di dalamnya adalah budaya komunitas tersebut. Tiap individu memiliki cara yang sesuai dengan dirinya untuk dapat pulih. Proses pemulihan aspek psikologis penyintas pasca bencana seperti: permainan “ular – tangga”. Dalam hal ini yang penting adalah menciptakan banyak ‘tangga-tangga’ bagi penyintas untuk memfasilitasi, mengakselerasi proses pemulihan psikologisnya. Salah satu tangga yang paling penting adalah: adanya DUKUNGAN SOSIAL. Dukungan sosial yang dimaksud adalah perhatian,pendampingan dari lingkungan terutama lingkungan terdekat,misalnya: keluarga. Saat ini penanganan trauma korban bencana, seringkali disempitartikan dengan KONSELING TRAUMA, TERAPI – TERAPI TRAUMA. Metode konseling dan psikoterapi memang seringkali digunakan profesional kesehatan mental, namun tidak semua cocok dengan pendekatan konseling dan terapi-terapi terutama yang lebih mengedepankan proses komunikasi verbal (meminta penyintas berbicara, bercerita). Tidak semua penyintas membutuhkannya dan cocok dengan pendekatan ini. Mengingat dampak psikologis bencana sangat besar dalam arti jumlah mereka yang mengalami dampak besar namun jumlah profesional kesehatan mental terbatas (jumlah psikolog klinis dan psikiater sedikit) maka penanganan aspek psikologis bencana sebaiknya dilakukan dalam sistem jejaring. Perlu adanya upaya peningkatan kapasitas awam untuk dapat menjadi jembatan antara profesional kesehatan mental dan masyarakat penyintas secara luas. Dalam hal ini, awam misalnya: guru, tokoh masyarakat, tokoh agama, seniman termasuk wartawan dan relawan umum dapat diberdayakan untuk membantu proses pemulihan melalui intervensi yang berimplikasi psikologis namun dilakukan oleh awam yang terlatih/dibekali dinamakan dengan PFA (psychological first aid). Bagaimana guru, relawan, wartawan, tokoh agama dapat memberikan kesejukkan, menenangkan saat berkomunikasi dengan penyintas. ”awam terlatih” ini dibekali dengan kemampuan untuk deteksi dini sehingga dapat melakukan rujukan kepada profesional. Profesional (psikolog klinis, psikiater) dapat melakukan intervensi dengan konseling atau psikoterapi sesuai kompetensi profesional tersebut pada mereka yang dirujuk oleh ’awam terlatih’ ini. Intinya: penanganan aspek psikologis pasca bencana HENDAKNYA menggunakan pendekatan BIOPSIKOSOSIALSPIRITUAL. 3. Apakah betul bahwa korban bencana alam lebih mudah disembuhkan darikorban konflik horizontal ? Menurut pemahaman saya, proses pemulihan psikologis karena konflik horizontal memang lebih kompleks daripada proses pemulihan psikologis karena bencana alam. Hal ini berkaitan dengan pemaknaan yang dikembangkan terhadap kejadian atau pengalaman traumatic tersebut. Pada bencana alam, orang umumnya cenderung menjelaskan bahwa apa yang terjadi di luar kendali dirinya dan orang lain sedangkan pada bencana karena konflik horizontal, penyintas cenderung menjelaskan bahwa ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang terjadi. Saya lebih setuju menggunakan kata optimalisasi pemulihan daripada kata ‘sembuh’ karena sampai kapanpun dampak psikologis bencana akan tetap ada, namun individu yang berhasil mengembangkan pemaknaan yang tepat atas apa yang terjadi dapat menjadi lebih baik dan berkembang pasca bencana dan pengalaman sulit yang menyertainya. Ibarat luka yang bekasnya tidak akan mungkin hilang selamanya. 4. Berapa lama waktu dibutuhkan untuk menangani trauma ? Tidak ada waktu yang persis dapat diberikan untuk menjelaskan lamanya seseorang pulih. Sifatnya sangat individual. Proses pemulihan dipengaruhi oleh begitu banyak faktor, misalnya: internal maupun eksternal. Seperti yang telah dijelaskan, proses pemulihan seperti: seseorang bermain ‘ular-tangga’, sangat mungkin turun-naik, namun penyintas diharapkan dapat mengenali, mengidentifikasi ular yang membuat proses pemulihan mundur sehingga dapat melakukan sesuatu untuk menghindarinya dan dapat menemukan tangga, yaitu: proses yang memfasilitasi, mengakselerasi pemulihan sehingga dapat diakses oleh penyintas untuk dapat tetap optimal. Berdasarkan pengalaman , seringkali kondisi sosial-psikologis pasca bencana dirasakan jauh lebih berat daripada pengalaman bencana itu sendiri. Bantuan yang tidak jelas rencananya dan pengaturannya seringkali menjadi bencana kedua yang efeknya sangat besar bagi proses pemulihan. 5. Sejauh ini terkait dengan trauma yang disebabkan oleh bencana, apakah korban bencana di Indonesia sudah tertangani dengan baik ? Saat ini belum bisa menjawab dengan tegas. Pastinya, pasca bencana, bantuan dan dukungan umumnya lebih prioritaskan pada penanganan aspek fisik yang lebih kasat mata daripada penanganan aspek psikologis. Namun saat ini, pasca bencana besar terutama tsunami di Aceh, perhatian pada aspek psikologis, aspek kesehatan mental jauh lebih memadai dibandingkan sebelumnya. Ada berbagai upaya peningkatan kapasitas lokal untuk dapat melakukan hal praktis sederhana namun membantu dan berdampak pada pemulihan psikologis. Koordinasi dan kolaborasi antar bidang sudah mulai dirintis dalam penanganan aspek psikologis bencana. Sistem rujukan (referral system) juga sudah mulai berjalan di beberapa daerah pasca bencana. Hal yang pasti, proses penanganan aspek psikologis bencana tidak singkat melainkan merupakan proses yang relatif panjang. Sehingga perlu dipastikan suistainability nya di masyarakat. Dan mengacu pada pendekatan bio-psiko-sosial-spiritual, penanganan aspek psikologis juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan spiritual. Pemulihan psikologis menjadi proses yang rumit dan kompleks jika tidak didukung oleh kondisi sosial yang memadai. Sampai disini dulu. Semoga membantu Terimakasih. Nathanael E.J. Sumampouw Staf Pengajar Psikologi Klinis Univ. Indonesia Staf Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI