bab 2 tinjauan pustaka

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria dan vektornya
Pada dekade terakhir malaria muncul kembali dan menyebar luas dengan
dampak yang merugikan bagi kesehatan, sosial ekonomi dan politik. Kemunculan
kembali malaria lebih sering terjadi di daerah yang telah melakukan eradikasi atau
pada daerah yang insidennya sudah sangat berkurang (WHO 2002). Penyebaran
malaria dipengaruhi oleh lima faktor utama yaitu faktor manusia, parasit, vektor,
sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan yang berinteraksi dalam satu relung
ekologi (Sukowati 2008).
Penyebaran malaria juga dipengaruhi oleh meningkatnya mobilitas
masyarakat dan hubungan komersil yang berakibat meningkatnya kasus malaria
dan menyebabkan terjadinya endemik. Demikian pula halnya dengan perubahan
ekologi sebagai akibat kegiatan manusia yang menciptakan kondisi yang cocok
bagi nyamuk setempat dan penyakit infeksi yang disebarkannya (Wensdorfer &
McGregor 1988).
Di dunia, kecuali benua Antartika terdapat lebih dari 3.000 spesies nyamuk
yang tergolong dalam 34 genus dari famili Culicidae (Fusco 2000). Di Indonesia
terdapat 18 genus nyamuk yang terdiri atas 457 spesies. Empat genus penting
yang sebagian besar spesiesnya berperan sebagai vektor adalah Anopheles (80
spesies), Culex (82 spesies), Aedes (125 spesies) dan Mansonia (8 spesies),
sisanya sebagai anggota dari genus yang tidak penting dalam penularan penyakit
(O’Connor & Sopa 1999). Dari 80 spesies Anopheles, 22 di antaranya telah
dikonfirmasi sebagai vektor malaria yaitu An. aconitus, An. balabacensis, An.
bancroftii, An.barbirostris, An. flavirostris, An. farauti, An. karwari, An.koliensis,
An.punctulatus, An. ludlowae, An. letifer, An. leucosphyrus An. maculatus, An.
minimus, An. nigerrimus, An. parengensis, An.sundaicus, An. subpictus, An.
sinensis, An. umbrosus, An. vagus, dan An. tesselatus (Sukowati 2005; Kandun
2008).
6
Anopheles sejauh ini dilaporkan berperan sebagai vektor malaria. Jumlah
Anopheles yang telah diidentifikasi secara morfologi sebanyak 457 jenis, tetapi
dengan ditemukannya spesies sibling yang secara morfologi tidak bisa dibedakan
maka diperkirakan jumlahnya mencapai 500 jenis. Distribusi Anopheles, bioekologi, dan peranannya sebagai vektor malaria sangat bervariasi dari daerah ke
daerah. Oleh karena itu informasi tentang perilaku vektor malaria dan
distribusinya harus diamati dengan baik secara individual maupun secara menurut
spesies kompleks (WHO 2007).
2.2 Penyebaran dan keragaman nyamuk Anopheles spp.
Indonesia dibagi oleh garis Weber yang memisahkan fauna-fauna oriental
dan Australia sehingga diperlukan kunci indentifikasi khusus untuk fauna di
sebelah barat garis Weber, demikian pula halnya dengan yang di sebelah timurnya
(O’Connor & Soepanto 1999). Dengan demikian pembuatan satu kunci umum
untuk identifikasi nyamuk di Indonesia sulit dilakukan.
Penyebaran nyamuk Anopheles spp. di Indonesia mengikuti pola
penyebaran fauna yang secara geografi terbagi dalam 2 kelompok besar, yaitu
fauna bagian barat Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, Madura, Kalimantan) dan
fauna bagian timur yaitu Sulawesi dan pulau di sebelah timurnya. Dua kelompok
fauna ini mempunyai ciri yang berbeda dan dipisahkan oleh garis Wallace (garis
antara Kalimantan dan Sulawesi yang berlanjut di antara Bali dan Lombok).
Hamparan kepulauan di sebelah timur garis Wallace dari semula memang tidak
termasuk kawasan Australia, karena garis batas barat kawasan Australia adalah
Garis Lydekker yang mengikuti batas paparan Sahul. Dengan demikian ada
daerah transisi yang dibatasi Garis Wallace di sebelah barat dan garis Lydekker di
sebelah timur. Di antara kedua garis ini terdapat garis keseimbangan fauna yang
dinamakan garis Weber (Gambar 1).
7
Gambar 1. Penyebaran fauna di Indonesia, Garis Wallacea memisahkan fauna
Oriental, Garis Lydekker memisahkan fauna Australasia, dan Garis
Weber merupakan daerah transisi
Spesies Anopheles di bagian barat garis Wallacea adalah spesies oriental di
antaranya An. aconitus, An. sundaicus, An. subpictus, An. balabacensis, An.
leucosphyrus, An. minimus dan An. barbirostris. Spesies Australasia di antaranya
An. farauti, An. punctulatus, An. koliensis, An. longirostris dan An. bancrofti.
Beberapa spesies dari kelompok oriental di antaranya ada yang bermigrasi ke
timur, sehingga di wilayah Papua ditemukan spesies oriental, demikian pula
halnya dengan kelompok Australasia ada yang bermigrasi ke bagian barat garis
Lydekker (Sukowati 2008).
Nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan di Pulau Sumatera menunjukkan
keragaman yang spesifik, Suwito (2010) melaporkan bahwa di Padang Cermin
dan Rajabasa, Lampung Selatan terdapat 12 spesies Anopheles spp. yaitu An.
sundaicus, An. vagus, An. tessellatus, An. aconitus, An. subpictus, An. annularis,
An. kochi, An. minimus, An. barbirostris, An. maculatus, An. maculatus dan
An. hyrcanus grup. Di Ogan Komering Olu (OKU), Sumatera Selatan ditemukan
tujuh spesies yaitu An. aconitus, An. annularis, An. kochi, An. schuefneri, An.
vagus, An. barbirostris, dan An. nigerrimus (U’din 2005).
Nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan di Pulau Jawa juga memiliki
keragaman yang berbeda, misalnya di Kokap, Kulonprogo, Barodji et al. (2003)
melaporkan bahwa ditemukan delapan spesies Anopheles spp yaitu An. aconitus,
An. annularis, An. balabacensis, An. barbirostris, An. flavirostris, An. kochi, An.
maculatus dan An. vagus. Sementara itu, Sumantri dan Iskandar (2005)
8
melaporkan bahwa di Pelabuhan Ratu dan daerah Cienunteung Gede,
Tasikmalaya ditemukan enam spesies Anopheles spp. yaitu An. aconitus, An.
annularis, An. maculatus, An. sundaicus, An. vagus dan An. barbirostris. Jumlah
spesies Anopheles yang lebih tinggi ditemukan di Sukabumi sebagaimana yang
dilaporkan oleh Munif et al. (2008), bahwa terdapat sembilan spesies Anopheles
spp. yaitu yaitu An. aconitus, An. annularis, An. baezai, An. barbirostris, An.
indefinitus, An. kochi, An. maculatus, An. sundaicus, dan An. vagus. Ndoen et al.
2010 menemukan jumlah spesies Anopheles spp. yang lebih tinggi di Jawa tengah
yang terdiri dari sembilan spesies yaitu yaitu An. aconitus, An. subpictus, An.
vagus, An. annularis, An. flavirostris, An. indefinitus, An. kiochi, An. maculatus,
dan An. tessellatus.
Di Kalimantan Tengah, dilaporkan terdapat dua spesies Anopheles spp.
yaitu An. letifer dan An. umbrosus (Juliawati 2008). Di Kabupaten Donggala dan
Banggai, Sulawesi Tengah ditemukan empat spesies Anopheles spp. yaitu An.
barbirostris, An. subpictus, An. parangensis dan An. flavirostris (Jatsal et al.
2003). Sementara itu, Garjito et al. (2004), melaporkan bahwa di Kabupaten
Parigi-Muotng terdapat sepuluh spesies Anopheles yaitu An. barbirostris, An,
subpictus, An. parangensis, An. aconitus, An. hyrcanus grup, An. indefinitus,
An. kochi, An. maculatus, An. tessellatus dan An. vagus.
Nyamuk Anopheles spp. yang terdapat di Nusa Tenggara Barat terdiri dari
sepuluh speises yaitu An. kochi, An. aconitus, An. annularis, An. barbirostris,
An. campestris, An. indefinitus, An. subpictus, An. sundaicus, An. tessellatus, dan
An. vagus (Soekirno, Ariati & Mardiana 2006). Sementara itu di Nusa Tenggara
Timur ditemukan empat spesies Anopheles spp. yaitu An. barbirostris, An.
subpictus, An. indefinitus dan An. annularis (Rahmawaty 2010).
Keragaman spesies Anopheles di Maluku Utara lebih tinggi jika
dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Sukowati (2010) melaporkan
bahwa di Halmahera Selatan terdapat sebelas spesies Anopheles yaitu An. kochi,
An. subpictus, An. vagus, An. tesselatus, An. farauti, An. barbumbrosus, An.
ramsayi,
An. punctulatus,
An. hackeri,
An. minimus dan
An. umbrosus.
Mulyadi (2010) melaporkan adanya lima spesies Anopheles di Desa Doro
9
Halmahera Selatan, yaitu An. kochi, An. vagus, An. farauti, An. punctulatus, dan
An. minimus.
Keragaman nyamuk Anopheles spp di Indonesia bersifat lokal spesifik, di
beberapa spesies Anopheles Oriental ditemukan di wilayah Australasia,
sebaliknya beberapa spesies Anopheles Australasia ditemukan di wilayah
Oriental.
Bruce dan Bonne-Wepster (1947) menemukan
nyamuk Anopheles
yang menjadi vektor pada garis batas yang terletak antara Pulau Seram dengan
Irian, terus ke selatan antara P. Timor dan P. Irian. Spesies-spesies dari nyamuk
Anopheles vektor malaria di daerah Australia yang mengadakan migrasi ke daerah
oriental adalah An. farauti, An. punctulatus, An. longirostris, dan An. bancrofti.
Spesies oriental yang mengadakan migrasi ke daerah Australasia adalah An.
karwari dan An. subpictus (Boesri 2007).
2.3. Perilaku nyamuk Anopheles spp.
Nyamuk betina memerlukan protein untuk pembentukan telur. Makanan
nyamuk adalah madu dan sari buah, yang tidak mengandung protein, nyamuk
betina perlu mengisap darah untuk mendapatkan protein yang diperlukan untuk
kebutuhan telur-telurnya. Nyamuk betina dari genus Toxorhynchites tidak pernah
mengisap darah, larva nyamuk besar ini memenuhi kebutuhan proteinnya dengan
cara memangsa jentik-jentik nyamuk yang lain (Depkes 2001).
Nyamuk jantan tidak mengisap darah tetapi madu atau cairan tanaman.
Nyamuk dewasa jantan umumnya hanya tahan hidup selama enam sampai tujuh
hari, sedangkan yang betina dapat mencapai 2 minggu di alam. Nyamuk-nyamuk
di laboratorium yang dipelihara dengan cukup karbohidrat dalam kelembaban
yang tinggi dapat mencapai usia beberapa bulan. Nyamuk tertarik pada cahaya,
pakaian berwarna gelap, manusia serta hewan. Hal ini disebabkan oleh
perangsangan bau zat-zat yang dikeluarkan hewan terutama CO2 dan beberapa
asam amino dan lokalisasi yang dekat pada suhu hangat serta kelembaban (Hadi
& Koesharto 2006).
Beberapa spesies nyamuk bersifat antropofilik yang lebih menyukai
berdekatan
dengan
aktivitas
manusia,
spesies
ini
banyak
ditemukan
dipermukiman. Spesies zoofilik lebih menyukai hidup berdampingan dengan
hewan atau ternak, sedangkan spesies antropozoofilik dapat berkembang baik
10
dalam lingkungan permukiman ataupun dekat dengan hewan. Spesies yang hidup
bebeas di alam umumnya hidup dari bahan-bahan yang tersedia di alam, seperti
cairan tumbuhan atau sisa-sisa kotoran dari tumbuhan dan hewan. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa beberapa jenis nyamuk mencari makan dalam rumah
(endofagik) dan istirahat dalam rumah (endofilik), sedangkan spesies lain
memasuki rumah hanya untuk mencari makan (endofagik) tetapi istirahat di luar
rumah (eksofilik), adapula yang mengisap darah di luar rumah (eksofagik) dan
istirahat juga di luar rumah (eksofilik) (Hadi & Koesharto 2006).
Berbagai studi membuktikan terjadinya perubahan perilaku nyamuk vektor
malaria di Indonesia dan Afrika, sehingga perlu dipikirkan kembali bentuk
pengendalian domestik seperti kelambu dan insektisida. Pemahaman mengenai
jumlah nyamuk pada suatu tempat dan waktu tertentu belum cukup, tetapi perlu
pula diketahui dimana dan kapan nyamuk mengisap darah manusia (Pates &
Curtis 2005, Killeen et al. 2002). Perilaku mencari darah oleh nyamuk
dipengaruhi oleh berbagai jenis faktor yang berkaitan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi nyamuk dalam mencari inang untuk
menemukan darah adalah suhu, kelembaban, karbondioksida, aroma tubuh dan
berbagai jenis faktor visual.
Suhu. Suhu merupakan faktor penting sebagai pengarah dalam penemuan
inang dan merupakan daya tarik utama bagi nyamuk untuk memberi reaksi
mengisap darah (Bates 1970). Nyamuk dapat mendeteksi panas yang dikeluarkan
oleh inang vertebrata dari jarak dekat dan mengarahkannya ke inang untuk
mengisap darah, tetapi pada jarak tertentu yang lebih dekat, panas diduga tidak
menunjukkan pengaruh terhadap daya tarik nyamuk ke inang (Clements 1999).
Kelembaban udara. Kelembaban mempengaruhi metabolisme dan
kelangsungan hidup nyamuk. Kelembaban yang rendah menyebabkan laju
penguapan dari dalam tubuh nyamuk tinggi dan sehingga terjadi dehidrasi. Untuk
perkembangbiakan nyamuk dibutuhkan kelembaban dengan ambien 60%.
Nyamuk akan lebih aktif mencari sumber dan mengisap darah pada kelembaban
yang lebih tinggi (Harijanto 2000).
Menurut Epstein et al. 1998, kepadatan nyamuk berbanding lurus dengan
kelembaban udara, semakin tinggi kelembaban udara, maka kepadatan nyamuk
11
akan semakin tinggi pula. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Juliawati
(2008) bahwa kepadatan mengisap darah An. letifer di Nyaru Menteng, meningkat
dengan meningkatnya kelembaban dan puncaknya terjadi pada saat kelembaban di
atas 83% yang melebihi nilai kelembaban rata-rata (80,3%).
Karbon dioksida (CO2). Nyamuk bereaksi positif terhadap karbon
dioksida. Penelitian tentang pengaruh CO2 terhadap respon nyamuk masih
terbatas dilakukan. Nyamuk Aedes aegypti merespon konsentrasi CO2 yang
cocok, mereka merespon CO2 di udara pada ambang 0,015%-0,03% respon ini
sama hingga konsentrasi 0,02%-0,04% CO2 di udara. Responnya menunjukkan
indenpendensi dan tidak menunjukkan sensitifitas yang lebih besar terhadap
konsentrasi CO2 yang dijumpai sebelumnya (Clements 1999). Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Carlson et al. (1992) yang menunjukkan tidak adanya
hubungan antara penambahan konsentrasi CO2 dengan daya tarik Ae. aegypti
terhadap inang.
Aroma. Willis (1947) menyimpulkan bahwa aroma lengan manusia
merupakan
rangsangan
yang
menarik
nyamuk
Ae.
aegypti,
dan
Ae.
quadrimaculatus. An. koliensis menunjukkan lebih banyak mengisap darah pada
kaki dan bagian sekitar sendi kaki dari pada di tungkai kaki, dan jika kaki dan
bagian sekitar sendi kaki ditutup, maka ia lebih suka mengisap darah pada bagian
tungkai yang tidak berbulu daripada yang berbulu (Cooper & Frances 2000).
An.
gambiae yang
merupakan
vektor utama
malaria di
Afrika,
menggunakan penciuman untuk menanggapi isyarat kimia yang diperlukan untuk
makan, preferensi inang, dan pemilihan pasangan. Organ yang malaksanakan
fungsi ini adalah reseptor bau (An. gambie olfactory response/AgORs) yang
terletak dalam neuron sensorik perifer (Liu et al. 2010). Pada nyaku An. gambiae
di Afrika, gerakan mendekati inang dikendalikan oleh berbagai penanda
semiokimia yang bersifat olfaktori, yang saat ini dikenal sebagai kairomon
spesifik pada manusia (Takken 1999).
Penanda visual. Nyamuk tertarik pada inang yang bergerak, Ae. aegypti
mendekati boks transparan yang berisi tikus rusa (Peromyscus) yang telah dibius
dalam jumlah banyak, tetapi jumlah yang mengumpul pada boks yang berisi tikus
rusa yang tidak dibius (aktif bergerak) dua kali lebih banyak jika dibandingkan
12
dengan boks yang pertama (Clements 1999). Brown dan Bannet (1981)
melaporkan bahwa Ae. aegypti mengisap darah lebih banyak pada lengan umpan
yang menggunakan kaos hitam jika dibandingkan dengan yang menggunakan
kaos dengan warna lain.
2.4 Habitat perkembangbiakan Anopheles spp.
Jenis habitat perkembanganbiakan nyamuk dikelompokkan berdasarkan dua
cara yaitu bedasarkan sifat genangan air dan cara terbentukanya habitat.
Berdasarkan sifat genangan air, habitat terdiri dari: 1) habitat dengan air yang
menggenang permanen atau sementara seperti rawa yang luas, rawa di sekitar
danau, kolam, genangan air dan mata air, 2) kumpulan air tawar yang sifatnya
sementara seperti genangan air terbuka dan kumpulan bekas tapak kaki hewan, 3)
air yang mengalir permanen seperti sungai dan selokan yang mengalir, 4)
penampungan air alami seperti lubang di batu, pohon, lubang buatan hewan dan
tempat penampungan air seperti kaleng bekas, ban, tempurung kelapa, dan 5) air
payau seperti rawa pasang surut. Sedangkan menurut cara terbentuknya, habitat
dibagi menjadi dua kelompok yaitu habitat yang bersifat alamiah seperti danau,
rawa, genangan air, dan habitat buatan manusia seperti sawah, irigasi dan kolam
(Rao 1981).
Habitat nyamuk dalam pengertian luas didefinisikan sebagai tempat yang
cocok
untuk
istirahat,
dimana
terdapat
inang
dan
menjadi
tempat
perkembangbiakan. Faktor yang mempengaruhi pemilihan nyamuk terhadap
habitat utamanya adalah suhu, kelembaban, perlindungan terhadap matahari,
angin dan predator (WHO 1975). Penyebaran nyamuk sangat dipengaruhi oleh
karakteristik lokal, seperti karakteristik inang, lingkungan, dan karakteristik
biotik. Letak geografi, lingkungan ekologi dan sosial budaya masyarakat
mempengaruhi penyebarannya. Faktor ekologis berpengaruh dominan sebagai
penentu prevalensi dan insidensi malaria pada suatu daerah endemis
(Mardihusodo 2001).
Nyamuk merupakan serangga yang sukses dalam memanfaatkan air di
lingkungan, termasuk air alami dan air sumber buatan yang sifatnya permanen
maupun temporer. Danau, aliran air, kolam, air payau, bendungan, saluran irigasi,
air berbatuan, septik teng, selokan, kaleng bekas dan lain-lain dapat berperan
13
sebagai habitat perkembangbiakan larva nyamuk. Nyamuk dewasa bisa tinggal di
sekitar habitat perkembangbiakannya, tetapi dapat juga terbang beberapa
kilometer, tergantung spesies dan berbagai faktor lain. Perubahan lingkungan dan
aktivitas penduduk seperti perkembangan infrastruktur, pertanian, pembuatan
tambak dan irigasi, dapat menyediakan tempat perkembangbiakan bagi Anopheles
(Oaks et al. 1992).
Telur nyamuk harus diletakkan di permukaan air yang mengalir lambat atau
air yang tenang. Larva mencari makan di bawah permukaan air, dan bernafas
dengan udara permukaan (Minakawa et al. 1999). Telur nyamuk diletakkan secara
berderet-deret seperti rakit di permukaan air (Culex) dan pada tumbuhan air
(Mansonia), atau satu per satu dilekatkan pada dinding bejana yang berisi air
(Aedes). Telur nyamuk Anopheles spp. diletakkan satu-per satu di atas permukaan
air, menyerupai perahu dengan pelampung dari khorion yang berlekuk-lekuk di
sebelah lateral (Hadi & Koesharto 2006).
Berbagai tipe habitat mempengaruhi perkembangan dan keberhasilan larva
Anopheles ssp menjadi nyamuk. Penelitian di Kenya menunjukkan adanya
hubungan positif antara stabilitas habitat dan keberadaan pupa. Larva Anopheles
gambie terutama terdapat pada lubang tanah, jejak kaki sapi, jalur ban, dan saluran
drainase (Minakawa et al. 1999). Mikrohabitat ini sangat mendukung
perkembangan nyamuk yang bersifat sinantropik karena mikrohabitat tersebut
menyatu dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu, berbagai jenis ekosistem
buatan merupakan sumber ancaman penyakit dari berbagai nyamuk vektor. Hal
ini juga terjadi di sepanjang Sungai Santa Ana sampai di lahan basah Prado dan
lembah Chino California Selatan yang menunjukkan semakin besarnya ancaman
nyamuk vektor dari waktu ke waktu akibat semakin berkembangannya berbagai
habitat nyamuk sebagai dampak kegiatan pertanian (Mian 2006).
Nyamuk yang hidup di alam dapat ditemukan pada berbagai ekosistem di
antaranya adalah ekosistem hutan, semak, perkebunan dan permukiman, yang
masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. Berikut ini perbedaan
dari masing-masing ekosistem tersebut.
Ekosistem Hutan merupakan areal lahan yang dihuni oleh vegetasi tingkat
tinggi menahun yang didominasi oleh vegetasi tingkat pohon, sedangkan semak
14
merupakan suatu areal yang didominasi oleh vegetasi yang rendah dengan banyak
cabang yang muncul di atas atau dekat permukaan tanah. Ekosistem perkebunan
merupakan areal lahan hasil konversi dari lahan hutan, semak atau dari lahan
dengan fungsi lain yang kemudian dikelola secara berkesinambungan dengan
memodifikasi vegetasi alaminya dengan tanaman budidaya berupa tanaman
kelapa, cokelat, pala dan jenis tanaman komoditas lainnya. Ekosistem semak
adalah areal yang terdiri atas vegetasi dengan ukuran tinggi tanaman yang rendah
dan dicirikan oleh percabangan pada bagian pangkal pohon. Adapun ekosistem
permukiman merupakan areal lahan yang peruntukannya dikhususkan untuk
kawasan tempat tinggal atau permukiman.
Beberapa jenis habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles antara lain
berupa kobakan yang merupakan lubang kecil yang berisi air, biasanya muncul
setelah hujan terbentuk, baik disengaja maupun secara alami oleh erosi percikan
atau erosi permukaan yang mengakibatkan munculnya lubang kecil yang dapat
menampung air hujan. Di Purworejo, Lestari et al. (2007) menemukan dua spesies
Anopheles di kobakan yaitu An. maculatus dan An. balabacensis, sedangkan
Muliadi (2010), menemukan An. farauti dan A. kochi pada bebebrapa kobakan di
Desa Doro, Halmahera Selatan.
Kubangan merupakan habitat yang berupa lubang atau cekungan
dipermukaan tanah yang yang terbentuk secara alami ataupun akibat aktivitas
manusia yang dapat menampung air hujan, ukuran dan retensi airnya lebih besar
dari kobakan. Muliadi (2010), menemukan An. farauti dan A. vagus pada
bebebrapa kobakan di Desa Doro, Halmahera Selatan.
Jenis habitat lainnya adalah tapak ban terbentuk dari jejak roda kendaraan
(roda 2 atau roda empat, atau gerobak) yang ditinggalkan dipermukaan tanah,
terjadi jika kondisi tanah yang dilewati dalam keadaan lembek, becek dan sering
terbentuk setelah hujan, sedangkan tapak hewan merupakan jejak kaki sapi atau
kaki kerbau yang potensil menampung air hujan. Parit/Selokan merupakan saluran
air yang sengaja dibuat dipermukaan tanah dengan cara dibuat galian secara
memanjang
untuk
mengalirkan
air
permukaan
dan
mencegah
banjir.
Setyaningrum et al. (2008) melaporkan rata-rata kepadatan Anopheles spp. yang
ditemukan di Desa Way Muli, Lampung mencapai 12,5 ind/250 ml.
15
Jenis habitat yang lebih besar adalah kolam yaitu tempat penampungan air
di permukaan tanah yang sengaja dibuat untuk menampung air dalam jangka
panjang, sehingga kedalamannya lebih tinggi dibanding habitat lainnya. Kolam
biasanya berbentuk persegi panjang atau bentuk lainnya. Mardiana et al. 2002,
menemukan An. subpictus dan An. vagus pada beberapa kolam yang terdapat di
trenggalek, sedangkan Sukowati (2010) menemukan An. farauti dan An. vagus
pada kolam yang terdapat di beberapa desa di Halmahera Selatan.
Habitat yang juga berukuran relatif besar adalah lagun yang terdapat di
mulut/muara kali kecil yang alirannya tidak permanen sepanjang tahun, terbentuk
akibat hempasan gelombang laut yang membawa pasir ke bibir pantai dan
menutup mulut muara secara temporer. Selama beberapa waktu tertentu hubungan
dengan air laut terputus sehingga salinitas menurun drastis akibat terus
bertambahnya suplai air tawar. Sukowati, 2010 menemukan lima spesies
Anopheles pada beberapa lagun yang terdapat di Halmahera Selatan, yaitu An.
punctulatus, An. vagus, An. barumbrosus, An. subpictus dan An. tessellatus.
2.5 Pengaruh iklim global terhadap malaria
Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan kondisi iklim yang
ditandai oleh perubahan sifat dari rata-rata variabel yang berlangsung lebih dari
satu periode. Perubahan iklim merupakan dampak dari meningkatnya suhu global
yang mencapai 0.74˚C dalam waktu 100 tahun, dan akan meningkat hingga 5˚C
pada tahun 2008. Pengaruh perubahan iklim terhadap kesehatan manusia telah
diprediksi secara global. Terdapat hubungan antara variabel iklim, penyakit diare
dan malaria serta kisaran faktor bukan iklim dengan kesehatan manusia (Bhandari
2010).
Perubahan iklim global yang berdampak terhadap perubahan cuaca mikro
secara global juga berdampak luar biasa terhadap resiko penyakit kevektoran.
Penambahan suhu 0,5˚C menyebabkan meningkatnya kelimpahan vektor 3-10%.
Efek ini disebut dengan amplifikasi biologis dari perubahan iklim (Pazcual et al.
2006). Alonso et al. (2010) melaporkan bahwa perubahan suhu berperan penting
terhadap meningkatnya
kasus
malaria
yang
disebabkan
oleh
semakin
melimpahnya jumlah nyamuk dan semakin cepatnya perkembangan parasit.
16
Selain itu juga ditunjukkan bahwa fluktuasi iklim berperan penting dalam
memulai epidemi malaria di daerah tersebut.
Suhu berpengaruh terhadap masa perkembangan dan perbedaan tahapan
dalam siklus hidup nyamuk, laju mencari makan, siklus gonotrofik dan usia
nyamuk. Kapasitas vektoral dan laju inokulasi entomologi dipengaruhi oleh
kelimpahan vektor dalam hubungannya dengan jumlah orang pada suatu tempat,
laju kelangsungan hidup harian, laju mencari makan, laju mencari makan dan
waktu yang dibutuhkan selama periode siklus sporogoninya. Tahap ini sangat
peka terhadap suhu lingkungan (Sukowati 2010).
Patz dan Olson (2006) meneliti hubungan antara waktu yang dibutuhkan
untuk perkembangan parasit Plasmodium falciparum dan P. vivax dalam tubuh
nyamuk An. gambiae, yang menunjukkan bahwa setelah melewati nilai suhu
18˚C, maka perkembangan keduanya akan semakin tinggi dengan kenaikan suhu.
Masa inkubasi parasit malaria dalam tubuh nyamuk juga dipengaruhi oleh
fluktuasi suhu harian. Fluktuasi suhu diurnal dibawah 21°C akan menghambat
perkembangan parasit dibandingkan dengan suhu konstan, sedangkan fluktuasi
yang melebihi 21°C mempercepat perkembangan parasit.
Nyamuk memerlukan air tergenang untuk habitat perkembangbiakan dan
membutuhkan kelembaban untuk viabilitasnya, curah hujan akan menciptakan
habitat
perkembangbiakan atau
menyapu
nyamuk
fase pradewasa dan
menyebabkan vektor lebih infektif, akan tetapi suhu dan kekeringan yang terlalu
tinggi akan mengurangi kelangsungan hidup nyamuk.
Download