diplomasi publik pada masa perang dingin

advertisement
DIPLOMASI PUBLIK PADA MASA PERANG DINGIN:
VOICE OF AMERICA DAN RADIO FREE EUROPE SEBAGAI SARANA
PENDUKUNG KEBIJAKAN CONTAINMENT
Sepak terjang Uni Soviet pascaPerang Dunia II dengan paham komunisnya
mengganggu Amerika Serikat. Paham komunis Soviet merupakan paham yang besar
dan cukup berpengaruh di dunia. Sebaliknya, paham demokrasi liberal Amerika
Serikat juga sama kuatnya. Dimulailah persaingan keduanya di bidang politik,
ekonomi, pertahanan keamanan, termasuk perlombaan senjata pemusnah massal. Hal
tersebut menimbulkan ketegangan baru di dunia yang mengantarkan mereka pada
arena perang Dingin.
Menurut Combs (1986), hubungan antara Amerika Serikat dan Soviet mulai
tampak alot pada masa pemerintahan Franklin D. Roosevelt. Setelah Pearl Harbor
diserang, Roosevelt membutuhkan dukungan Stalin (Uni Soviet) untuk membalas
Jepang. Namun, ditengah perundingan tentang keamanan dunia, Soviet menunjukkan
gelagat yang kurang menyenangkan dengan tuntutannya atas Eropa Timur. Roosevelt
berusaha sedapat mungkin meredam sepak terjang Soviet bahkan memberikan
kepercayaan kepadanya.
Lebih jauh lagi Combs (1986) menguraikan bahwa Harry S. Truman sebagai
penerus Roosevelt masih bersikap lunak kepada Soviet. Ia masih beritikad baik
dengan mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan. Namun, tindakan Soviet
yang agresif diantaranya penguasaan Cekoslovakia, blokade Berlin, penguasaan
China oleh Mao yang komunis, letusan bom pertama Soviet, invasi komunis Korea
Utara ke Korea Selatan, perluasan paham komunis di Iran, Turki, dan Yunani
mendorong Truman untuk melancarkan kebijakan containment (penangkalan) yang
lebih keras. Selain containment, AS juga membantu program pemulihan ekonomi
negara-negara Eropa melalui Marshall Plan, mendirikan aliansi militer dan politik
negara-negara Eropa seperti Western Union dan North Atlantic Treary Organization.
Kebijakan containment yang berupa kebijakan dalam bidang politik, ekonomi,
pertahanan keamanan di atas merupakan diplomasi tradisional. Dalam hal ini
pemerintah AS mengadakan diplomasi (hubungan) dengan pemerintah negara lain
(negara-negara Eropa). Selain diplomasi tradisional tersebut, AS juga menerapkan apa
yang disebut dengan diplomasi publik (public diplomacy) dimana pemerintah AS
mengadakan komunikasi dengan publik/ masyarakat (penduduk) negara lain secara
1
”langsung” tanpa perantara pemerintah negara lain tersebut. Saya akan berusaha
mengupas tentang diplomasi publik sebagai salah satu bagaian dari kebijakan luar
negeri AS dalam makalah ini, utamanya tentang peran diplomasi publik pada masa
Perang Dingin melalui siaran radio Voice of America dan Radio Free Europe serta
hubungan antara diplomasi publik tersebut dengan kepentingan nasional AS.
DIPLOMASI PUBLIK
Menurut US. Department of States dalam Dictionary of International
Relations Terms menyatakan bahwa diplomasi publik adalah berbagai program yang
disponsori oleh pemerintah yang bertujuan untuk memberi informasi atau
mempengaruhi opini publik negara lain; sarana utamanya yaitu publikasi, film,
pertukaran budaya, radio, dan televisi (http://www.publicdiplomacy.org/1.htm).
Sedangkan U.S. Information Agency (USIA) sebagai badan yang menangani
diplomasi publik AS menguraikan bahwa diplomasi publik mendukung kepentingan
dan
keamanan
AS
melalui
saling
pengertian,
pemberian
informasi,
dan
mempengaruhi publik negara lain serta memperluas komunikasi antara warga negara
AS,
institusi,
dan
rekan
mereka
di
luar
negeri
(http://www.publicdiplomacy.org/1.htm). Sementara itu, Hans N. Tuch dalam
bukunya Communicating with the World, memberi definisi diplomasi publik sbb:
Public diplomacy as a government’s process of communicating with
foreign publics in an attempt to bring about understanding for its
nation’s ideas and ideals, its institutions and culture, as well as its
national goals and current policies (Tuch 1990, 3).
Berdasarkan tiga definisi diatas, pemerintah AS melalui diplomasi public
berusaha untuk memberi informasi kepada masyarakat dunia tentang segala
kebijakannya sehingga diharapkan masyarakat dunia memahami dan mengerti tentang
tindakan dan kebijakan AS. Menurut pejabat Departemen Luar Negeri AS, memang
tujuan diplomasi publik yaitu: pertama, untuk meningkatkan pemahaman tentang
nilai-nilai, kebijakan, dan tindakan AS; kedua, untuk melawan sentimen anti Amerika
dan
menangkal
informasi
yang
salah
tentang
AS
di
seluruh
dunia
(http://mountainrunner.us/2008/03/understanding_the_purpose_publ.html).
Satu hal yang menarik yaitu bahwa diplomasi publik juga berusaha untuk
mempengaruhi opini publik negara lain dengan informasi yang diberikan oleh
pemerintah AS. Dengan demikian, apakah diplomasi publik sama halnya dengan
2
propaganda yang berkonotasi negatif? Menurut Edward R. Murrow, mantan ketua
USIA, pada bulan Mei 1963 di hadapan Congressional Committee, menyatakan
bahwa kekuatan diplomasi publik adalah penyampaian tentang kebenaran, dan
kebenaran itu merupakan propaganda yang terbaik. Lebih jauh ia menyatakan:
"American traditions and the American ethic require us to be truthful,
but the most important reason is that truth is the best propaganda and
lies are the worst. To be persuasive we must be believable; to be
believable we must be credible; to be credible we must be truthful. It is
as simple as that”( http://www.publicdiplomacy.org/1.htm).
Sedangkan Tuch berargumen bahwa diplomasi publik dalam usahanya untuk
mempengaruhi tindakan dan opini publik negara lain memerlukan keterlibatan seluruh
spektrum komunikasi, teknologi komunikasi modern, termasuk ilmu komunikasi antar
budaya. Salah satunya yaitu dengan learning experience dimana pemahaman akan
budaya negara lain juga diperlukan. Hal termudah yaitu dengan mempelajari bahasa
negara lain sehingga nantinya komunikasi dapat berjalan dua arah (Tuch 1990, 9—
10). Komunikasi merupakan komponen penting dalam diplomasi publik karena
pemerintah tidak hanya memberikan informasi yang benar kepada publik tetapi juga
memerlukan tanggapan dari publik sehingga tercipta suatu dialog dimana tujuan
diplomasi publik akan tercapai yaitu terciptanya saling pengertian dan pemahaman
antara pemerintah AS dan tentu saja publik negara lain.
Diplomasi publik berbeda dengan diplomasi tradisional. Diplomasi publik
tidak hanya berhubungan dengan pemerintah, tetapi juga berhubungan dengan
individu dan organisasi non-pemerintah. Kegiatan diplomasi publik sering melibatkan
warga Amerika dan organisasi dengan pandangan mereka sebagai tambahan dari
pandangan resmi pemerintah AS. Diplomasi tradisional merupakan hubungan antara
pemerintah yang satu dengan pemerintah negara lainnya. Dalam diplomasi tradisonal,
pejabat kedutaan AS mewakili pandangan pemerintah AS secara resmi. Hubungan ini
lebih bersifat tertutup dan resmi karena berhubungan dengan masalah kenegaraan
(http://www.publicdiplomacy.org/1.htm).
Bagaimana awal mula kebijakan diplomasi publik ini tercipta? Diplomasi
publik telah dimulai sejak Perang Dunia I ketika presiden Woodrow Wilson
membentuk
Committee
on
Public
Information
yang
bertujuan
untuk
menginformasikan tentang tujuan AS terlibat dalam perang ke seluruh dunia. Namun,
badan ini dibubarkan pada tahun 1919. Sebagai tanggapan dari bahaya imperialisme
budaya Jerman dan usaha Nazi yang agresif dalam subversi politik di Amerika Latin,
3
presiden Franklin D. Roosevelt membentuk Interdepartmental Committe for Scientific
Cooperation dan Division for Cultural Cooperation yang mengurusi program
pertukaran budaya AS dan Amerika Latin (Tuch 1990, 14).
Kegiatan diplomasi publik setelah Perang Dunia II difokuskan pada dua hal
yaitu: Perang Dingin dan pendudukan AS atas Jerman, Austria, dan Jepang.
Kegiatannya mencangkup bidang sosial, budaya, dan pendidikan (Tuch 1990, 14).
Kemudian pada tahun 1948 dikeluarkan Smith-Mundt Act yang dirancang untuk
memajukan pemahaman terhadap AS yang lebih baik kepada masyarakat dunia dan
untuk memperkuat kerjasama internasional. Smith-Mundt Act ini pada akhirnya
dipakai sebagai landasan terbentuknya U.S. Information Agency (USIA) yang
berperan sebagai instrumen pemerintah untuk melaksanakan berbagai macam
kegiatan diplomasi publik sampai saat ini (Tuch 1990, 15—16).
Kegiatan diplomasi publik USIA meliputi kegiatan informasi, pertukaran
budaya dan pendidikan, serta penyiaran internasional. Sejalan dengan makin
canggihnya sistem komunikasi, USIA juga melengkapi kegiatannya dengan teknologi
terkini antara lain berupa situs web di internet, CD ROM, e-mail, dan program
teleconference. Kegiatan informasi antara lain berupa pendirian perpustakaan seperti
American Corner atau Information Resource Center, program teleconference, dialog
dengan para pakar atau spesialis. Sedangkan program pertukaran budaya dan
pendidikan yaitu berupa pemberian beasiswa Fullbright, pertukaran warga negara.
Penyiaran internasional antara lain berupa Voice of America, Radio Free Europe,
serta Radio Marti, dll (http://www.publicdiplomacy.org/9.htm).
VOICE OF AMERICA (VOA)
Voice of America mengudara pertama kali pada tanggal 24 Februari 1942, 79
hari setelah Jepang menyerang Pearl Harbor dan masuknya AS ke ajang Perang Dunia
II. Siaran pertama disiarkan ke Eropa melalui transmiter BBC. Pada pertengahan
1941, berkenaan dengan keterlibatan AS di Perang Dunia II, Presiden Roosevelt
mendirikan Foreign Information Service dan menunjuk Robert Sherwood sebagai
direktur yang percaya akan kekuatan gagasan dan perlunya untuk menginformasikan
pandangan Amerika ke dunia. Dengan merekrut sekelompok jurnalis, ia mulai
memproduksi materi untuk disiarkan ke Eropa melalui stasiun radio miliknya
(http://www.voanews.com/english/about/beginning-of-an-american-voice.cfm).
Siaran pertama dibuka dengan pesan: ”Today America has been at war for seventy4
nine days. Daily we shall speak to you at this time about America and the war. The
news may be good or bad. We shall tell you the truth” (Muravchik 1991, 190).
Program berbahasa Jerman diikuti dengan siaran dalam bahasa Perancis, Italia,
dan Inggris. Sampai dengan bulan Juni 1942, VOA berkembang dengan pesat dan
bermarkas di Office of War Information (OWI). Sebanyak 23 transmiter telah
dibangun dan mengudara dengan 27 bahasa pada bulan January 1943 ketika sekutu
mengadakan pertemuan di Casablanca. Pada tahun 1944 VOA mengudara dalam lebih
dari 40 bahasa (http://www.voanews.com/english/about/beginning-of-an-americanvoice.cfm)
Setelah Perang Dunia II berakhir, siaran internasional VOA pun mulai
dikurangi. Namun, dengan adanya ancaman Soviet dan dimulainya Perang Dingin,
untuk mencegah menyebarnya paham komunis, siaran internasional VOA pun mulai
ditambah. Hal tersebut dikarenakan dikeluarkannya Smith-Mundt Act yang bertujuan
untuk menyebarkan informasi tentang AS, warga negara, dan kebijakannya melalui
press, publikasi, radio, film, dan media informasi lainnya, dan salah satunya yaitu
melalui VOA. Siaran berbahasa Rusia untuk Uni Soviet mengudara pertama kali pada
tanggal 17 Februari 1947. Kemudian terjadi perdebatan atas peran VOA, apakah
sebagai saluran untuk menyiarkan berita dan menyampaikan informasi tentang AS
atau sebagai sarana kebijakan luar negeri AS dan sebagai senjata melawan Uni
Soviet? Konggres sepakat bahwa VOA dapat dijadikan senjata untuk melawan Uni
Soviet (http://www.voanews.com/english/About/2007-Post-WWII-history.cfm).
Pada tahun 1953 VOA menjadi bagian dari U.S. Information Agency. Pada
tahun 1960, direktur USIA, George Allen mendukung adanya VOA Charter yang
disusun oleh anggota staf VOA sebagai pernyataan resmi dasar-dasar penyiaran. VOA
Charter ditandatangani oleh President Gerald Ford pada tahun 1976. Piagam tersebut
menjaga independensi dan integritas program-program siaran VOA. Piagam tersebut
berbunyi:
1. VOA will serve as a consistently reliable and authoritative source
of news. VOA news will be accurate, objective, and comprehensive.
2. VOA will represent America, not any single segment of American
society, and will therefore present a balanced and comprehensive
projection of significant American thought and institutions.
3. VOA will present the policies of the United States clearly and
effectively, and will also present responsible discussions and opinion
on these policies (http://www.voanews.com/english/About/2007Mission-in-the-1960s-and-1970s.cfm).
5
Sejak saat itu VOA terus mengembangkan program dan jangkauan siarannya.
VOA meliput berita terkini baik dari dalam negeri AS seperti gerakan hak sipil,
perang Vietnam, sampai pendaratan Neil Amstrong di bulan maupun peristiwa
internasional. Satu hal yang pasti, dimana ada pengaruh Soviet di suatu negara, VOA
pasti segera mengudara di negara tersebut. Misalnya pada bulan September 1980,
sembilan bulan setelah invasi Soviet ke Afganistan, VOA berbahasa Dari mengudara
di Afganistan. Sedangkan siaran berbahasa Pastho, salah satu bahasa daerah lainnya
di
Afganistan,
mengudara
pada
tahun
1982
(http://www.voanews.com/english/About/2007-modernizing-in-the-1980s.cfm).
Program siaran VOA pun makin beragam seperti musik, gaya hidup, nilai-nilai
dan kebudayaan Amerika serta pendidikan, utamanya pelajaran bahasa Inggris.
Namun, peran VOA tetap sama yaitu sebagai corong pemerintah AS dalam diplomasi
publik dan tentu saja sebagai senjata pemerintah AS melawan Uni Soviet. Dalam
perkembangannya setelah paham komunis runtuh dan berakhirnya Perang Dingin,
VOA tidak hanya dapat didengar melalui radio, tetapi juga dapat dinikmati melalui
kotak televisi, bahkan juga dapat ditemui di dunia maya.
RADIO FREE EUROPE/RADIO LIBERTY (RFE/RL)
Radio Free Europe/Radio Liberty didirikan oleh National Committee for a
Free Europe pada tahun 1950. National Committee for a Free Europe sendiri
didirikan pada bulan Juni 1949 di New York dengan bermarkas besar di Munich.
Organisasi anti komunis itu merupakan alat CIA yang diketuai oleh John Foster
Dulles. Organisasi itu masih aktif hingga saat ini di Eropa dan Timur Tengah dengan
siaran lebih dari 1000 jam tiap minggu, dalam 28 bahasa melalui gelombang pendek,
AM, FM, dan internet. Misi resmi RFE/RL yaitu "to promote democratic values and
institutions by disseminating factual information and ideas." RFE menyiarkan
program pertamanya via gelombang pendek pada tanggal 4 Juli 1950 ke Cekoslovakia
(http://www.nationmaster.com/encyclopedia/Radio-Free-Europe/Radio-Liberty).
Tujuan RFE tidak hanya untuk memberi informasi kepada pendengarnya
tetapi juga memberikan alternatif siaran dari dominasi radio tuan rumah yang
dikontrol oleh paham komunis. RFE memang disiarkan untuk mendukung kebebasan
negara satelit seperti Polandia, Cekoslovakia, Hongaria, Rumania, dan Bulgaria dari
paham komunis. Hal tersebut wajar karena RFE merupakan buah pikiran dari para
6
ahli strategi Perang Dingin AS, antara lain George F. Kennan dan John Foster Dulles,
yang mempercayai bahwa Perang Dingin merupakan perang ideologi/paham.
Pada awalnya siaran RFE dinegosiasikan antara CIA, U.S. State Department,
dan staf RFE serta didanai oleh pemerintah secara rahasia. Namun, sejak tahun 1973
RFE (dan juga RL) dioperasikan oleh Board of Internasional Broadcasting dan
didanai secara sukarela oleh Kongres (Tuch 1990, 16). Di negara komunis Eropa
Timur, mendengarkan RFE merupakan tindakan yang ilegal sehingga harus dilakukan
secara sembunyi-sembunyi. Pemerintah Soviet pun seringkali ”merusak” siaran RFE
dengan mengganggu gelombang radio itu. Pada tahun 1976 RFE bergabung dengan
RL yang didirikan pada tahun 1951 oleh American Committee for the Peoples of
Russia, dan secara resmi berganti nama menjadi RFE/RL dengan penambahan siaran
ke dalam tiga bahasa negara Baltik. Walaupun operasinya sudah diambil alih oleh
Board of International Broadcasting, tetapi tujuan utama RFE/RL tetap sama
(http://www.nationmaster.com/encyclopedia/Radio-Free-Europe/Radio-Liberty).
PERAN VOA DAN RFE/RL PADA MASA PERANG DINGIN
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa ahli strategi Perang Dingin AS,
antara lain George F. Kennan dan John Foster Dulles mempercayai bahwa Perang
Dingin merupakan perang ideologi/paham, maka AS dalam strategi perangnya tentu
saja harus memenangkan paham yang dianutnya yaitu paham demokrasi liberal
kapitalis sekaligus mengalahkan paham komunis Soviet. Oleh karena itu, AS berusaha
sedapat mungkin menyebarkan paham demokrasi liberal-kapitalis tersebut ke negaranegara yang mendapat ancaman komunis Soviet, bahkan ke negara yang belum/ tidak
terancam sekali pun. AS berusaha menarik hati dan mempengaruhi negara-negara
lain untuk mengikuti paham yang mereka anut dan untuk menentang bahkan
meninggalkan paham komunis Soviet. Berdasarkan uraian sebelumnya, AS
menggunakan sarana diplomasi publik dalam usahanya untuk menyebarkan
pengaruhnya.
VOA dan RFE/RL sebagai media diplomasi publik pada masa Perang Dingin
dipandang sangat efektif. Menurut Tuch efektivitas VOA (dan RFE/RL) terletak pada
medium yang digunakannya yaitu radio. Radio menurutnya mempunyai beberapa
kelebihan yang tidak dimiliki oleh media lainnya yaitu: pertama, radio merupakan
satu-satunya medium yang dapat menyampaikan pesan atau informasi yang ditujukan
secara langsung ke penerimanya (dalam hal ini pendengar) tanpa adanya perantara
7
yang mungkin dapat mempengaruhi isi pesan tersebut; kedua, gelombang radio
dengan mudah dapat ditangkap walaupun ada usaha untuk merusak/ menganggu
penerimaan siaran radio; ketiga, jangkauan siarannya yang luas akan mudah
ditangkap oleh negara yang penduduknya menyebar di beberapa daerah; keempat,
radio dapat menjangkau mereka yang tidak mempunyai kemampuan untuk membaca
atau buta huruf (Tuch 1990, 89—90). Salah satu kekuatan VOA dan RFE/RL yaitu
penyampaian informasi dengan menggunakan bahasa lokal/ daerah negara setempat
sehingga informasi dapat diterima dan dipahami dengan mudah oleh penduduk negara
tersebut.
Usaha AS untuk mempengaruhi pendengar dengan pahamnya melalui VOA
dan RFE/RL terlihat jelas dari program siaran mereka. VOA menekankan pada berita
dunia yang dilihat dari Amerika dan berita tentang Amerika, sedangkan RFE/RL
mewakili suara dari kekuatan oposisi dari negara target siaran. Berita yang disiarkan
RFE/RL berfokus pada berita negara target dan berita dunia yang memberi pengaruh
secara langsung. Program non berita berupa laporan feature, budaya, keagamaan,
pembacaan karya sastra underground, yang kesemuanya dari dan tentang negara
target. Sedangkan VOA menyiarkan program berita yang berbagi segmen dengan
program budaya Amerika dan beberapa feature yang berbau politik (Muravchik 1991,
191—192).
VOA dan RFE/RL menyiarkan beberapa program yang secara langsung
bertujuan untuk mengembangkan paham demokrasi. VOA menyiarkan program
democracy in action di bidang politik dan ekonomi. Program di bidang politik
diantaranya The Federalist, liputan tentang rapat/ diskusi di kota New England
(semacam rembug desa), dan kampanye pemilu. Sedangkan program di bidang
ekonomi diantaranya yaitu liputan tentang credit union, dan Federal Reserve Board.
RFE/RL selain menyiarkan program democracy in action juga menyiarkan program
HAM. Program democracy in action misalnya program tentang perbedaan antara
komunisme dengan demokrasi sosial atau perbedaan antara sistem pemerintahan
presidensial dengan sistem pemerintahan parlementer. Sedangkan program HAM
misalnya diskusi tentang anti-Semitisme. Ketika paham demokrasi mulai terdengar di
negara Eropa Timur, RFE/RL menambahkan feature baru yaitu The Democratic
Experience berupa liputan diantaranya tentang perkumpulan dagang Amerika,
kampanye di Jerman Barat, dan praktek organisasi pemberitaan ala Barat (Muravchik
1991, 192).
8
Dengan makin berkembangnya teknologi telepon jarak jauh, RFE membuka
saluran telepon di markas besarnya di Munich yang ditujukan bagi para pendengar di
Hongaria, Cekoslovakia, dan Bulgaria. Mereka dapat mengutarakan opini, pendapat,
pengaduan, pengakuan tentang perlakuan pejabat pemerintahan setempat atau
menyampaikan berita yang tidak dapat diliput/ dilarang diliput oleh media resmi
setempat. Durasi telepon dibatasi selama dua menit untuk menghindari penelusuran
sedangkan pesan mereka dibacakan oleh para penyiar. Dengan cara tersebut warga
Cekoslovakia, Hongaria, dan Bulgaria dapat dengan bebas menyatakan pendapat
mereka di hadapan publik (Muravchik 1991, 193).
Selain pemberitaan dan liputan program demokrasi, kedua stasiun penyiaran
tersebut juga meliput pemberitaan tentang paham komunisme. Salah satu segmen
pemberitaan tentang paham komunisme dari Radio Liberty yaitu Communism on the
Spot. Salah satu contoh pemberitaanya yaitu:
COMMUNISM ON THE SPOT. This is _____ speaking for RADIO
LIBERTY. Failures in industrial planning continue to be a serious
bottleneck to Soviet progress. On the basis of articles in the Soviet
press, faulty planning is cutting expected growth to a minimum.
Ironically, this state of affairs is not reflected in Soviet Statistics. For
example, a 1962 statistical report claimed that the volume of industrial
output exceeded by nearly 10% that for a corresponding period last
year. How can this discrepancy between statistical claims and the
actual situation be explained? Very simply. As in other cases, figures
which are of no significance to the national economy are quoted to
prove that industrial progress is proceeding as planned. This has been
a public service presentation of this station and of RADIO LIBERTY,
in its 10th Anniversary Year, the most powerful free voice
broadcasting
exclusively
to
the
Soviet
Union
(http://www.nationmaster.com/encyclopedia/Radio-FreeEurope/Radio-Liberty).
Pemberitaan di atas menyoroti tentang kegagalan rencana perindustrian Uni Soviet.
Uni Soviet bahkan memanipulasi data untuk menutupi kegagalan tersebut. Kegagalan
tersebut solah-olah mewakili kegagalan perekonomian Soviet yang tentu saja juga
pernyataan kegagalan atas paham komunisme yang mereka anut.
VOA dan RFE/RL memang cukup berhasil dalam mempengaruhi warga di
negara target. Salah satu peristiwa yang fenomenal yaitu demonstrasi para pelajar dan
pekerja Hongaria pada tanggal 23 Oktober 1956. Mereka menuntut pemerintahan
boneka Stalin diganti oleh Imre Nagy, pembubaran Tentara Merah, dan pembentukan
partai anti komunis. Demonstrasi tersebut berubah menjadi pemberontakan yang
didukung sepenuhnya oleh VOA dan RFE (Ambrose 1985, 162—163). Salah satu
9
warga Polandia, Lech Walesa memberikan pendapatnya tentang RFE, ”Its
contribution was enormous. Poland without it would be like a land without
sunshine.” Bahkan Vaclav Havel, presiden Cekoslovakia memberi pujian kepada
VOA ketika berkunjung ke AS untuk kali pertama seraya berkata, “the most listened
to Czechoslovak radio station. You have informed us truthfully of events around the
world and in our country as well and, in this way, you helped to bring about the
peaceful revolution which has at long last taken place” (Muravchik 1991, 192—193).
VOA pun dengan setia meliput gerakan pro demokrasi di Taman Tiananmen, Beijing
yang didengarkan oleh jutaan warga China. VOA bahkan membuka saluran hot line
khusus peristiwa itu. Para pemuda China
memutarnya
di
tape
mereka
juga merekam liputan VOA dan
(http://www.voanews.com/english/About/2007-
modernizing-in-the-1980s.cfm).
Jelas bahwa AS dengan diplomasi publik melalui VOA dan RFE/RL berhasil
mempengaruhi warga ”dunia” dan berhasil menangkal paham komunis. Dengan
diplomasi publik, AS dapat berkomunikasi langsung dengan warga negara target dan
mempengaruhi mereka. AS melalui pemberitaan VOA dan RFE/RL yang secara terus
menerus memberi informasi tentang paham demokrasi liberal kapitalis seolah-olah
mengindoktrinasi warga negara target dengan paham itu. AS tampaknya sadar akan
kekuatan massa (rakyat) yang dapat menggulingkan suatu pemerintahan. Sejarah
membuktikkan bahwa kekuatan rakyat sangat dasyat, misalnya Revolusi Perancis
yang berkobar karena kekuatan rakyat atau tumbangnya kekuasaan Soeharto karena
desakan mahasiswa dan masyarakat Indonesia. AS mungkin cukup mengalami
kesulitan untuk mempengaruhi musuhnya, (pemerintah) Uni Soviet tetapi dengan
mendekati rakyatnya dengan diplomasi publik AS dapat berebut kesempatan dan
mempunyai cukup peluang untuk memenangkan perang (pengaruh).
DIPLOMASI PUBLIK DAN KEPENTINGAN NASIONAL AS
Amerika Serikat sebagai bangsa yang pragmatis, dalam setiap penerapan
kebijakan luar negerinya tidak pernah meninggalkan apa yang disebut dengan
kepentingan nasional. Dengan kata lain, kepentingan nasional selalu menjadi prioritas
utama dalam setiap kebijakan yang mereka ambil, baik berupa isolasionisme, pasifis
idealisme, realisme maupun idealisme. Namun, antara realisme dan idealisme yang
tampak saling bertentangan, justru seringkali berjalan beriringan. Realisme tentu saja
didorong oleh kepentingan nasional. Sedangkan idealisme tidak lepas dari misi-misi
10
yang dipercaya oleh bangsa AS untuk disebarkan ke seluruh dunia. Namun, pada
akhirnya kedua hal tersebut selalu berpangkal dari dan kembali kepada kepentingan
nasional AS.
Menurut Muravchik akar dari realisme yaitu perdebatan antara Alexander
Hamilton dengan Thomas Jefferson atas perjanjian aliansi dengan Perancis pada
tahun 1778. Jefferson menekankan pada kesamaan ideologi AS dengan Perancis yang
berbentuk Republik daripada dengan sistem monarki Inggris. Sedangkan Hamilton
yang memilih untuk netral mengatakan bahwa sebuah negara kecil seperti AS tidak
akan mampu untuk menentang negara besar di Eropa. Menempatkan kepentingan
nasional pada urutan pertama itulah inti dari realisme. Para realis berpendapat bahwa
kebijakan harus berdasarkan kepentingan nasional bukan berdasarkan sentimen,
ideologi, atau prinsip abstrak lainnya (Muravchik 1991, 19).
Sedangkan idealisme berakar pada kepercayaan bangsa Amerika bahwa
mereka adalah orang-orang pilihan yang menjadi contoh bagi bangsa lain.
Kepercayaan ini bermula dari khotbah John Winthrop di hadapan kaum Puritan ketika
berlayar menuju Dunia Baru. Mereka harus menjadi a city upon a hill, menjadi
teladan yang baik untuk ditiru. Salah satu teladan tersebut yaitu kepercayaan bangsa
AS atas nilai demokrasi yang dianutnya. Nilai demokrasi yang menjanjikan
kebebasan untuk mengejar kebahagiaan ini tercantum pada Declaration of
Independence yang menyebutkan bahwa semua orang diciptakan setara dan diberkati
oleh Tuhan hak-hak tertentu yang tidak dapat diambil oleh siapapun yaitu kehidupan,
kebebasan, dan mengejar kebahagiaan. Penyebaran nilai demokrasi ke seluruh dunia
menjadi misi AS.
AS melihat sepak terjang Soviet setelah Perang Dunia II sebagai ancaman
bagi kepentingan nasionalnya. Soviet yang menganut paham komunis tentu saja
berbanding terbalik dengan paham demokrasi liberal AS, baik dari sudut pandang
politik, ekonomi, maupun sosial. Campur tangan pemerintah yang besar, pemerataan
ekonomi, dan hilangnya struktur kelas pada paham komunisme bertentangan dengan
sistem politik yang demokratis, kapitalisme, dan masyarakat yang kompetitif dan
bebas pada paham demokrasi (Lerche 1958, 466—467). Jika banyak negara lain
mengikuti jejak Soviet maka akan menjadi bencana besar bagi AS.
Ancaman Soviet terhadap AS yang paling menonjol yaitu di bidang ekonomi.
AS yang menganut kapitalisme sangat mendukung adanya pasar bebas karena
semakin luas pasar maka semakin banyak keuntungan yang diperoleh yang berarti
11
akan semakin makmur pula negara tersebut. Jika banyak negara lain berhasil
mendapat pengaruh Soviet dengan sistem pasar tertutupnya maka pasar AS pun akan
semakin sedikit yang berarti sedikit pula keuntungan dan kemakmuran yang didapat.
Hal tersebut secara otomatis mengancam kepentingan nasional AS (realisme).
Pada saat yang bersamaan nilai demokrasi AS tertandingi. AS yang percaya
bahwa mereka adalah orang-orang pilihan dengan misinya untuk menyebarkan
demokrasi tentu saja tidak tinggal diam melihat aksi Soviet. Diplomasi publik
dijadikan senjata untuk menyebarkan demokrasi sekaligus untuk menangkal paham
komunis. Penyebaran demokrasi lewat diplomasi publik ini pada dasarnya juga
bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional AS. Ketika demokrasi mulai
menyebar ke dunia, semua nilai-nilai yang terdapat di dalamnya pun akan diterapkan
termasuk sistem kapitalisme. Bahkan Muravchik berpendapat bahwa perlunya untuk
tetap menyebarkan nilai demokrasi pascaPerang Dingin karena tiga alasan yaitu:
pertama, rasa empati terhadap sesama manusia. Demokrasi memang tidak membuat
semua orang bahagia tetapi mereka akan lebih bahagia jika dapat mengejar
kebahagiaan mereka sendiri; kedua, semakin demokratis dunia maka lingkungan
sekitar AS akan semakin bersahabat; ketiga, semakin demokratis dunia maka semakin
damai pula dunia (Muravchik 1991, 8). Terlihat bahwa ketiga alasan tersebut juga
berujung kepada kepentingan nasional AS.
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa kepentingan nasional AS tetap menjadi
prioritas utama pada setiap kebijakan luar negerinya. AS menerapkan kebijakan
realisme dan idealisme pada Perang Dingin. Diplomasi publik, terutama melalui VOA
dan RFE/RL sebagai upaya untuk menyebarkan nilai demokrasi AS merupakan
kebijakan idealisme AS. Keberhasilan VOA dan RFE/RL dalam menyebarkan nilai
demokrasi pada akhirnya juga untuk kepentingan nasional AS.
DAFTAR ACUAN
12
Ambrose, Stephen E. 1985. Rise to globalisme: American foreign policy since 1938.
New York: Penguin Books Ltd.
Armstrong, Matt. “Understanding the Purpose of Public Diplomacy.”
http://mountainrunner.us/2008/03/understanding_the_purpose_publ.html.
Diakses 9 Desember 2008.
Lerche, Charles O. 1958. Foreign policy of the American people. New Jersey:
Prentice-Hall Inc.
Muravchik, Joshua. 1991. Exporting democracy: fulfilling America’s destiny.
Washington D.C.: The AEI Press.
Tuch, Hans N. 1990. Communicating with the world: U.S. public diplomacy overseas.
New York: St. Martin’s Press.
http://www.nationmaster.com/encyclopedia/Radio-Free-Europe/Radio-Liberty.
Diakses 9 Desember 2008.
(http://www.publicdiplomacy.org/1.htm). Diakses 9 Desember 2008.
http://www.publicdiplomacy.org/9.htm. Diakses 9 Desember 2008.
http://www.voanews.com/english/about/beginning-of-an-american-voice.cfm.
Diakses 9 Desember 2008.
http://www.voanews.com/english/About/2007-Post-WWII-history.cfm. Diakses 9
Desember 2008.
http://www.voanews.com/english/About/2007-Mission-in-the-1960s-and-1970s.cfm).
Diakses 9 Desember 2008.
http://www.voanews.com/english/About/2007-modernizing-in-the-1980s.cfm.
Diakses 9 Desember 2008.
13
Download