DIPLOMASI PUBLIK PADA MASA PERANG DINGIN: VOICE OF AMERICA DAN RADIO FREE EUROPE SEBAGAI SARANA PENDUKUNG KEBIJAKAN CONTAINMENT Sepak terjang Uni Soviet pascaPerang Dunia II dengan paham komunisnya mengganggu Amerika Serikat. Paham komunis Soviet merupakan paham yang besar dan cukup berpengaruh di dunia. Sebaliknya, paham demokrasi liberal Amerika Serikat juga sama kuatnya. Dimulailah persaingan keduanya di bidang politik, ekonomi, pertahanan keamanan, termasuk perlombaan senjata pemusnah massal. Hal tersebut menimbulkan ketegangan baru di dunia yang mengantarkan mereka pada arena perang Dingin. Menurut Combs (1986), hubungan antara Amerika Serikat dan Soviet mulai tampak alot pada masa pemerintahan Franklin D. Roosevelt. Setelah Pearl Harbor diserang, Roosevelt membutuhkan dukungan Stalin (Uni Soviet) untuk membalas Jepang. Namun, ditengah perundingan tentang keamanan dunia, Soviet menunjukkan gelagat yang kurang menyenangkan dengan tuntutannya atas Eropa Timur. Roosevelt berusaha sedapat mungkin meredam sepak terjang Soviet bahkan memberikan kepercayaan kepadanya. Lebih jauh lagi Combs (1986) menguraikan bahwa Harry S. Truman sebagai penerus Roosevelt masih bersikap lunak kepada Soviet. Ia masih beritikad baik dengan mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan. Namun, tindakan Soviet yang agresif diantaranya penguasaan Cekoslovakia, blokade Berlin, penguasaan China oleh Mao yang komunis, letusan bom pertama Soviet, invasi komunis Korea Utara ke Korea Selatan, perluasan paham komunis di Iran, Turki, dan Yunani mendorong Truman untuk melancarkan kebijakan containment (penangkalan) yang lebih keras. Selain containment, AS juga membantu program pemulihan ekonomi negara-negara Eropa melalui Marshall Plan, mendirikan aliansi militer dan politik negara-negara Eropa seperti Western Union dan North Atlantic Treary Organization. Kebijakan containment yang berupa kebijakan dalam bidang politik, ekonomi, pertahanan keamanan di atas merupakan diplomasi tradisional. Dalam hal ini pemerintah AS mengadakan diplomasi (hubungan) dengan pemerintah negara lain (negara-negara Eropa). Selain diplomasi tradisional tersebut, AS juga menerapkan apa yang disebut dengan diplomasi publik (public diplomacy) dimana pemerintah AS mengadakan komunikasi dengan publik/ masyarakat (penduduk) negara lain secara 1 ”langsung” tanpa perantara pemerintah negara lain tersebut. Saya akan berusaha mengupas tentang diplomasi publik sebagai salah satu bagaian dari kebijakan luar negeri AS dalam makalah ini, utamanya tentang peran diplomasi publik pada masa Perang Dingin melalui siaran radio Voice of America dan Radio Free Europe serta hubungan antara diplomasi publik tersebut dengan kepentingan nasional AS. DIPLOMASI PUBLIK Menurut US. Department of States dalam Dictionary of International Relations Terms menyatakan bahwa diplomasi publik adalah berbagai program yang disponsori oleh pemerintah yang bertujuan untuk memberi informasi atau mempengaruhi opini publik negara lain; sarana utamanya yaitu publikasi, film, pertukaran budaya, radio, dan televisi (http://www.publicdiplomacy.org/1.htm). Sedangkan U.S. Information Agency (USIA) sebagai badan yang menangani diplomasi publik AS menguraikan bahwa diplomasi publik mendukung kepentingan dan keamanan AS melalui saling pengertian, pemberian informasi, dan mempengaruhi publik negara lain serta memperluas komunikasi antara warga negara AS, institusi, dan rekan mereka di luar negeri (http://www.publicdiplomacy.org/1.htm). Sementara itu, Hans N. Tuch dalam bukunya Communicating with the World, memberi definisi diplomasi publik sbb: Public diplomacy as a government’s process of communicating with foreign publics in an attempt to bring about understanding for its nation’s ideas and ideals, its institutions and culture, as well as its national goals and current policies (Tuch 1990, 3). Berdasarkan tiga definisi diatas, pemerintah AS melalui diplomasi public berusaha untuk memberi informasi kepada masyarakat dunia tentang segala kebijakannya sehingga diharapkan masyarakat dunia memahami dan mengerti tentang tindakan dan kebijakan AS. Menurut pejabat Departemen Luar Negeri AS, memang tujuan diplomasi publik yaitu: pertama, untuk meningkatkan pemahaman tentang nilai-nilai, kebijakan, dan tindakan AS; kedua, untuk melawan sentimen anti Amerika dan menangkal informasi yang salah tentang AS di seluruh dunia (http://mountainrunner.us/2008/03/understanding_the_purpose_publ.html). Satu hal yang menarik yaitu bahwa diplomasi publik juga berusaha untuk mempengaruhi opini publik negara lain dengan informasi yang diberikan oleh pemerintah AS. Dengan demikian, apakah diplomasi publik sama halnya dengan 2 propaganda yang berkonotasi negatif? Menurut Edward R. Murrow, mantan ketua USIA, pada bulan Mei 1963 di hadapan Congressional Committee, menyatakan bahwa kekuatan diplomasi publik adalah penyampaian tentang kebenaran, dan kebenaran itu merupakan propaganda yang terbaik. Lebih jauh ia menyatakan: "American traditions and the American ethic require us to be truthful, but the most important reason is that truth is the best propaganda and lies are the worst. To be persuasive we must be believable; to be believable we must be credible; to be credible we must be truthful. It is as simple as that”( http://www.publicdiplomacy.org/1.htm). Sedangkan Tuch berargumen bahwa diplomasi publik dalam usahanya untuk mempengaruhi tindakan dan opini publik negara lain memerlukan keterlibatan seluruh spektrum komunikasi, teknologi komunikasi modern, termasuk ilmu komunikasi antar budaya. Salah satunya yaitu dengan learning experience dimana pemahaman akan budaya negara lain juga diperlukan. Hal termudah yaitu dengan mempelajari bahasa negara lain sehingga nantinya komunikasi dapat berjalan dua arah (Tuch 1990, 9— 10). Komunikasi merupakan komponen penting dalam diplomasi publik karena pemerintah tidak hanya memberikan informasi yang benar kepada publik tetapi juga memerlukan tanggapan dari publik sehingga tercipta suatu dialog dimana tujuan diplomasi publik akan tercapai yaitu terciptanya saling pengertian dan pemahaman antara pemerintah AS dan tentu saja publik negara lain. Diplomasi publik berbeda dengan diplomasi tradisional. Diplomasi publik tidak hanya berhubungan dengan pemerintah, tetapi juga berhubungan dengan individu dan organisasi non-pemerintah. Kegiatan diplomasi publik sering melibatkan warga Amerika dan organisasi dengan pandangan mereka sebagai tambahan dari pandangan resmi pemerintah AS. Diplomasi tradisional merupakan hubungan antara pemerintah yang satu dengan pemerintah negara lainnya. Dalam diplomasi tradisonal, pejabat kedutaan AS mewakili pandangan pemerintah AS secara resmi. Hubungan ini lebih bersifat tertutup dan resmi karena berhubungan dengan masalah kenegaraan (http://www.publicdiplomacy.org/1.htm). Bagaimana awal mula kebijakan diplomasi publik ini tercipta? Diplomasi publik telah dimulai sejak Perang Dunia I ketika presiden Woodrow Wilson membentuk Committee on Public Information yang bertujuan untuk menginformasikan tentang tujuan AS terlibat dalam perang ke seluruh dunia. Namun, badan ini dibubarkan pada tahun 1919. Sebagai tanggapan dari bahaya imperialisme budaya Jerman dan usaha Nazi yang agresif dalam subversi politik di Amerika Latin, 3 presiden Franklin D. Roosevelt membentuk Interdepartmental Committe for Scientific Cooperation dan Division for Cultural Cooperation yang mengurusi program pertukaran budaya AS dan Amerika Latin (Tuch 1990, 14). Kegiatan diplomasi publik setelah Perang Dunia II difokuskan pada dua hal yaitu: Perang Dingin dan pendudukan AS atas Jerman, Austria, dan Jepang. Kegiatannya mencangkup bidang sosial, budaya, dan pendidikan (Tuch 1990, 14). Kemudian pada tahun 1948 dikeluarkan Smith-Mundt Act yang dirancang untuk memajukan pemahaman terhadap AS yang lebih baik kepada masyarakat dunia dan untuk memperkuat kerjasama internasional. Smith-Mundt Act ini pada akhirnya dipakai sebagai landasan terbentuknya U.S. Information Agency (USIA) yang berperan sebagai instrumen pemerintah untuk melaksanakan berbagai macam kegiatan diplomasi publik sampai saat ini (Tuch 1990, 15—16). Kegiatan diplomasi publik USIA meliputi kegiatan informasi, pertukaran budaya dan pendidikan, serta penyiaran internasional. Sejalan dengan makin canggihnya sistem komunikasi, USIA juga melengkapi kegiatannya dengan teknologi terkini antara lain berupa situs web di internet, CD ROM, e-mail, dan program teleconference. Kegiatan informasi antara lain berupa pendirian perpustakaan seperti American Corner atau Information Resource Center, program teleconference, dialog dengan para pakar atau spesialis. Sedangkan program pertukaran budaya dan pendidikan yaitu berupa pemberian beasiswa Fullbright, pertukaran warga negara. Penyiaran internasional antara lain berupa Voice of America, Radio Free Europe, serta Radio Marti, dll (http://www.publicdiplomacy.org/9.htm). VOICE OF AMERICA (VOA) Voice of America mengudara pertama kali pada tanggal 24 Februari 1942, 79 hari setelah Jepang menyerang Pearl Harbor dan masuknya AS ke ajang Perang Dunia II. Siaran pertama disiarkan ke Eropa melalui transmiter BBC. Pada pertengahan 1941, berkenaan dengan keterlibatan AS di Perang Dunia II, Presiden Roosevelt mendirikan Foreign Information Service dan menunjuk Robert Sherwood sebagai direktur yang percaya akan kekuatan gagasan dan perlunya untuk menginformasikan pandangan Amerika ke dunia. Dengan merekrut sekelompok jurnalis, ia mulai memproduksi materi untuk disiarkan ke Eropa melalui stasiun radio miliknya (http://www.voanews.com/english/about/beginning-of-an-american-voice.cfm). Siaran pertama dibuka dengan pesan: ”Today America has been at war for seventy4 nine days. Daily we shall speak to you at this time about America and the war. The news may be good or bad. We shall tell you the truth” (Muravchik 1991, 190). Program berbahasa Jerman diikuti dengan siaran dalam bahasa Perancis, Italia, dan Inggris. Sampai dengan bulan Juni 1942, VOA berkembang dengan pesat dan bermarkas di Office of War Information (OWI). Sebanyak 23 transmiter telah dibangun dan mengudara dengan 27 bahasa pada bulan January 1943 ketika sekutu mengadakan pertemuan di Casablanca. Pada tahun 1944 VOA mengudara dalam lebih dari 40 bahasa (http://www.voanews.com/english/about/beginning-of-an-americanvoice.cfm) Setelah Perang Dunia II berakhir, siaran internasional VOA pun mulai dikurangi. Namun, dengan adanya ancaman Soviet dan dimulainya Perang Dingin, untuk mencegah menyebarnya paham komunis, siaran internasional VOA pun mulai ditambah. Hal tersebut dikarenakan dikeluarkannya Smith-Mundt Act yang bertujuan untuk menyebarkan informasi tentang AS, warga negara, dan kebijakannya melalui press, publikasi, radio, film, dan media informasi lainnya, dan salah satunya yaitu melalui VOA. Siaran berbahasa Rusia untuk Uni Soviet mengudara pertama kali pada tanggal 17 Februari 1947. Kemudian terjadi perdebatan atas peran VOA, apakah sebagai saluran untuk menyiarkan berita dan menyampaikan informasi tentang AS atau sebagai sarana kebijakan luar negeri AS dan sebagai senjata melawan Uni Soviet? Konggres sepakat bahwa VOA dapat dijadikan senjata untuk melawan Uni Soviet (http://www.voanews.com/english/About/2007-Post-WWII-history.cfm). Pada tahun 1953 VOA menjadi bagian dari U.S. Information Agency. Pada tahun 1960, direktur USIA, George Allen mendukung adanya VOA Charter yang disusun oleh anggota staf VOA sebagai pernyataan resmi dasar-dasar penyiaran. VOA Charter ditandatangani oleh President Gerald Ford pada tahun 1976. Piagam tersebut menjaga independensi dan integritas program-program siaran VOA. Piagam tersebut berbunyi: 1. VOA will serve as a consistently reliable and authoritative source of news. VOA news will be accurate, objective, and comprehensive. 2. VOA will represent America, not any single segment of American society, and will therefore present a balanced and comprehensive projection of significant American thought and institutions. 3. VOA will present the policies of the United States clearly and effectively, and will also present responsible discussions and opinion on these policies (http://www.voanews.com/english/About/2007Mission-in-the-1960s-and-1970s.cfm). 5 Sejak saat itu VOA terus mengembangkan program dan jangkauan siarannya. VOA meliput berita terkini baik dari dalam negeri AS seperti gerakan hak sipil, perang Vietnam, sampai pendaratan Neil Amstrong di bulan maupun peristiwa internasional. Satu hal yang pasti, dimana ada pengaruh Soviet di suatu negara, VOA pasti segera mengudara di negara tersebut. Misalnya pada bulan September 1980, sembilan bulan setelah invasi Soviet ke Afganistan, VOA berbahasa Dari mengudara di Afganistan. Sedangkan siaran berbahasa Pastho, salah satu bahasa daerah lainnya di Afganistan, mengudara pada tahun 1982 (http://www.voanews.com/english/About/2007-modernizing-in-the-1980s.cfm). Program siaran VOA pun makin beragam seperti musik, gaya hidup, nilai-nilai dan kebudayaan Amerika serta pendidikan, utamanya pelajaran bahasa Inggris. Namun, peran VOA tetap sama yaitu sebagai corong pemerintah AS dalam diplomasi publik dan tentu saja sebagai senjata pemerintah AS melawan Uni Soviet. Dalam perkembangannya setelah paham komunis runtuh dan berakhirnya Perang Dingin, VOA tidak hanya dapat didengar melalui radio, tetapi juga dapat dinikmati melalui kotak televisi, bahkan juga dapat ditemui di dunia maya. RADIO FREE EUROPE/RADIO LIBERTY (RFE/RL) Radio Free Europe/Radio Liberty didirikan oleh National Committee for a Free Europe pada tahun 1950. National Committee for a Free Europe sendiri didirikan pada bulan Juni 1949 di New York dengan bermarkas besar di Munich. Organisasi anti komunis itu merupakan alat CIA yang diketuai oleh John Foster Dulles. Organisasi itu masih aktif hingga saat ini di Eropa dan Timur Tengah dengan siaran lebih dari 1000 jam tiap minggu, dalam 28 bahasa melalui gelombang pendek, AM, FM, dan internet. Misi resmi RFE/RL yaitu "to promote democratic values and institutions by disseminating factual information and ideas." RFE menyiarkan program pertamanya via gelombang pendek pada tanggal 4 Juli 1950 ke Cekoslovakia (http://www.nationmaster.com/encyclopedia/Radio-Free-Europe/Radio-Liberty). Tujuan RFE tidak hanya untuk memberi informasi kepada pendengarnya tetapi juga memberikan alternatif siaran dari dominasi radio tuan rumah yang dikontrol oleh paham komunis. RFE memang disiarkan untuk mendukung kebebasan negara satelit seperti Polandia, Cekoslovakia, Hongaria, Rumania, dan Bulgaria dari paham komunis. Hal tersebut wajar karena RFE merupakan buah pikiran dari para 6 ahli strategi Perang Dingin AS, antara lain George F. Kennan dan John Foster Dulles, yang mempercayai bahwa Perang Dingin merupakan perang ideologi/paham. Pada awalnya siaran RFE dinegosiasikan antara CIA, U.S. State Department, dan staf RFE serta didanai oleh pemerintah secara rahasia. Namun, sejak tahun 1973 RFE (dan juga RL) dioperasikan oleh Board of Internasional Broadcasting dan didanai secara sukarela oleh Kongres (Tuch 1990, 16). Di negara komunis Eropa Timur, mendengarkan RFE merupakan tindakan yang ilegal sehingga harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pemerintah Soviet pun seringkali ”merusak” siaran RFE dengan mengganggu gelombang radio itu. Pada tahun 1976 RFE bergabung dengan RL yang didirikan pada tahun 1951 oleh American Committee for the Peoples of Russia, dan secara resmi berganti nama menjadi RFE/RL dengan penambahan siaran ke dalam tiga bahasa negara Baltik. Walaupun operasinya sudah diambil alih oleh Board of International Broadcasting, tetapi tujuan utama RFE/RL tetap sama (http://www.nationmaster.com/encyclopedia/Radio-Free-Europe/Radio-Liberty). PERAN VOA DAN RFE/RL PADA MASA PERANG DINGIN Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa ahli strategi Perang Dingin AS, antara lain George F. Kennan dan John Foster Dulles mempercayai bahwa Perang Dingin merupakan perang ideologi/paham, maka AS dalam strategi perangnya tentu saja harus memenangkan paham yang dianutnya yaitu paham demokrasi liberal kapitalis sekaligus mengalahkan paham komunis Soviet. Oleh karena itu, AS berusaha sedapat mungkin menyebarkan paham demokrasi liberal-kapitalis tersebut ke negaranegara yang mendapat ancaman komunis Soviet, bahkan ke negara yang belum/ tidak terancam sekali pun. AS berusaha menarik hati dan mempengaruhi negara-negara lain untuk mengikuti paham yang mereka anut dan untuk menentang bahkan meninggalkan paham komunis Soviet. Berdasarkan uraian sebelumnya, AS menggunakan sarana diplomasi publik dalam usahanya untuk menyebarkan pengaruhnya. VOA dan RFE/RL sebagai media diplomasi publik pada masa Perang Dingin dipandang sangat efektif. Menurut Tuch efektivitas VOA (dan RFE/RL) terletak pada medium yang digunakannya yaitu radio. Radio menurutnya mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh media lainnya yaitu: pertama, radio merupakan satu-satunya medium yang dapat menyampaikan pesan atau informasi yang ditujukan secara langsung ke penerimanya (dalam hal ini pendengar) tanpa adanya perantara 7 yang mungkin dapat mempengaruhi isi pesan tersebut; kedua, gelombang radio dengan mudah dapat ditangkap walaupun ada usaha untuk merusak/ menganggu penerimaan siaran radio; ketiga, jangkauan siarannya yang luas akan mudah ditangkap oleh negara yang penduduknya menyebar di beberapa daerah; keempat, radio dapat menjangkau mereka yang tidak mempunyai kemampuan untuk membaca atau buta huruf (Tuch 1990, 89—90). Salah satu kekuatan VOA dan RFE/RL yaitu penyampaian informasi dengan menggunakan bahasa lokal/ daerah negara setempat sehingga informasi dapat diterima dan dipahami dengan mudah oleh penduduk negara tersebut. Usaha AS untuk mempengaruhi pendengar dengan pahamnya melalui VOA dan RFE/RL terlihat jelas dari program siaran mereka. VOA menekankan pada berita dunia yang dilihat dari Amerika dan berita tentang Amerika, sedangkan RFE/RL mewakili suara dari kekuatan oposisi dari negara target siaran. Berita yang disiarkan RFE/RL berfokus pada berita negara target dan berita dunia yang memberi pengaruh secara langsung. Program non berita berupa laporan feature, budaya, keagamaan, pembacaan karya sastra underground, yang kesemuanya dari dan tentang negara target. Sedangkan VOA menyiarkan program berita yang berbagi segmen dengan program budaya Amerika dan beberapa feature yang berbau politik (Muravchik 1991, 191—192). VOA dan RFE/RL menyiarkan beberapa program yang secara langsung bertujuan untuk mengembangkan paham demokrasi. VOA menyiarkan program democracy in action di bidang politik dan ekonomi. Program di bidang politik diantaranya The Federalist, liputan tentang rapat/ diskusi di kota New England (semacam rembug desa), dan kampanye pemilu. Sedangkan program di bidang ekonomi diantaranya yaitu liputan tentang credit union, dan Federal Reserve Board. RFE/RL selain menyiarkan program democracy in action juga menyiarkan program HAM. Program democracy in action misalnya program tentang perbedaan antara komunisme dengan demokrasi sosial atau perbedaan antara sistem pemerintahan presidensial dengan sistem pemerintahan parlementer. Sedangkan program HAM misalnya diskusi tentang anti-Semitisme. Ketika paham demokrasi mulai terdengar di negara Eropa Timur, RFE/RL menambahkan feature baru yaitu The Democratic Experience berupa liputan diantaranya tentang perkumpulan dagang Amerika, kampanye di Jerman Barat, dan praktek organisasi pemberitaan ala Barat (Muravchik 1991, 192). 8 Dengan makin berkembangnya teknologi telepon jarak jauh, RFE membuka saluran telepon di markas besarnya di Munich yang ditujukan bagi para pendengar di Hongaria, Cekoslovakia, dan Bulgaria. Mereka dapat mengutarakan opini, pendapat, pengaduan, pengakuan tentang perlakuan pejabat pemerintahan setempat atau menyampaikan berita yang tidak dapat diliput/ dilarang diliput oleh media resmi setempat. Durasi telepon dibatasi selama dua menit untuk menghindari penelusuran sedangkan pesan mereka dibacakan oleh para penyiar. Dengan cara tersebut warga Cekoslovakia, Hongaria, dan Bulgaria dapat dengan bebas menyatakan pendapat mereka di hadapan publik (Muravchik 1991, 193). Selain pemberitaan dan liputan program demokrasi, kedua stasiun penyiaran tersebut juga meliput pemberitaan tentang paham komunisme. Salah satu segmen pemberitaan tentang paham komunisme dari Radio Liberty yaitu Communism on the Spot. Salah satu contoh pemberitaanya yaitu: COMMUNISM ON THE SPOT. This is _____ speaking for RADIO LIBERTY. Failures in industrial planning continue to be a serious bottleneck to Soviet progress. On the basis of articles in the Soviet press, faulty planning is cutting expected growth to a minimum. Ironically, this state of affairs is not reflected in Soviet Statistics. For example, a 1962 statistical report claimed that the volume of industrial output exceeded by nearly 10% that for a corresponding period last year. How can this discrepancy between statistical claims and the actual situation be explained? Very simply. As in other cases, figures which are of no significance to the national economy are quoted to prove that industrial progress is proceeding as planned. This has been a public service presentation of this station and of RADIO LIBERTY, in its 10th Anniversary Year, the most powerful free voice broadcasting exclusively to the Soviet Union (http://www.nationmaster.com/encyclopedia/Radio-FreeEurope/Radio-Liberty). Pemberitaan di atas menyoroti tentang kegagalan rencana perindustrian Uni Soviet. Uni Soviet bahkan memanipulasi data untuk menutupi kegagalan tersebut. Kegagalan tersebut solah-olah mewakili kegagalan perekonomian Soviet yang tentu saja juga pernyataan kegagalan atas paham komunisme yang mereka anut. VOA dan RFE/RL memang cukup berhasil dalam mempengaruhi warga di negara target. Salah satu peristiwa yang fenomenal yaitu demonstrasi para pelajar dan pekerja Hongaria pada tanggal 23 Oktober 1956. Mereka menuntut pemerintahan boneka Stalin diganti oleh Imre Nagy, pembubaran Tentara Merah, dan pembentukan partai anti komunis. Demonstrasi tersebut berubah menjadi pemberontakan yang didukung sepenuhnya oleh VOA dan RFE (Ambrose 1985, 162—163). Salah satu 9 warga Polandia, Lech Walesa memberikan pendapatnya tentang RFE, ”Its contribution was enormous. Poland without it would be like a land without sunshine.” Bahkan Vaclav Havel, presiden Cekoslovakia memberi pujian kepada VOA ketika berkunjung ke AS untuk kali pertama seraya berkata, “the most listened to Czechoslovak radio station. You have informed us truthfully of events around the world and in our country as well and, in this way, you helped to bring about the peaceful revolution which has at long last taken place” (Muravchik 1991, 192—193). VOA pun dengan setia meliput gerakan pro demokrasi di Taman Tiananmen, Beijing yang didengarkan oleh jutaan warga China. VOA bahkan membuka saluran hot line khusus peristiwa itu. Para pemuda China memutarnya di tape mereka juga merekam liputan VOA dan (http://www.voanews.com/english/About/2007- modernizing-in-the-1980s.cfm). Jelas bahwa AS dengan diplomasi publik melalui VOA dan RFE/RL berhasil mempengaruhi warga ”dunia” dan berhasil menangkal paham komunis. Dengan diplomasi publik, AS dapat berkomunikasi langsung dengan warga negara target dan mempengaruhi mereka. AS melalui pemberitaan VOA dan RFE/RL yang secara terus menerus memberi informasi tentang paham demokrasi liberal kapitalis seolah-olah mengindoktrinasi warga negara target dengan paham itu. AS tampaknya sadar akan kekuatan massa (rakyat) yang dapat menggulingkan suatu pemerintahan. Sejarah membuktikkan bahwa kekuatan rakyat sangat dasyat, misalnya Revolusi Perancis yang berkobar karena kekuatan rakyat atau tumbangnya kekuasaan Soeharto karena desakan mahasiswa dan masyarakat Indonesia. AS mungkin cukup mengalami kesulitan untuk mempengaruhi musuhnya, (pemerintah) Uni Soviet tetapi dengan mendekati rakyatnya dengan diplomasi publik AS dapat berebut kesempatan dan mempunyai cukup peluang untuk memenangkan perang (pengaruh). DIPLOMASI PUBLIK DAN KEPENTINGAN NASIONAL AS Amerika Serikat sebagai bangsa yang pragmatis, dalam setiap penerapan kebijakan luar negerinya tidak pernah meninggalkan apa yang disebut dengan kepentingan nasional. Dengan kata lain, kepentingan nasional selalu menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan yang mereka ambil, baik berupa isolasionisme, pasifis idealisme, realisme maupun idealisme. Namun, antara realisme dan idealisme yang tampak saling bertentangan, justru seringkali berjalan beriringan. Realisme tentu saja didorong oleh kepentingan nasional. Sedangkan idealisme tidak lepas dari misi-misi 10 yang dipercaya oleh bangsa AS untuk disebarkan ke seluruh dunia. Namun, pada akhirnya kedua hal tersebut selalu berpangkal dari dan kembali kepada kepentingan nasional AS. Menurut Muravchik akar dari realisme yaitu perdebatan antara Alexander Hamilton dengan Thomas Jefferson atas perjanjian aliansi dengan Perancis pada tahun 1778. Jefferson menekankan pada kesamaan ideologi AS dengan Perancis yang berbentuk Republik daripada dengan sistem monarki Inggris. Sedangkan Hamilton yang memilih untuk netral mengatakan bahwa sebuah negara kecil seperti AS tidak akan mampu untuk menentang negara besar di Eropa. Menempatkan kepentingan nasional pada urutan pertama itulah inti dari realisme. Para realis berpendapat bahwa kebijakan harus berdasarkan kepentingan nasional bukan berdasarkan sentimen, ideologi, atau prinsip abstrak lainnya (Muravchik 1991, 19). Sedangkan idealisme berakar pada kepercayaan bangsa Amerika bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang menjadi contoh bagi bangsa lain. Kepercayaan ini bermula dari khotbah John Winthrop di hadapan kaum Puritan ketika berlayar menuju Dunia Baru. Mereka harus menjadi a city upon a hill, menjadi teladan yang baik untuk ditiru. Salah satu teladan tersebut yaitu kepercayaan bangsa AS atas nilai demokrasi yang dianutnya. Nilai demokrasi yang menjanjikan kebebasan untuk mengejar kebahagiaan ini tercantum pada Declaration of Independence yang menyebutkan bahwa semua orang diciptakan setara dan diberkati oleh Tuhan hak-hak tertentu yang tidak dapat diambil oleh siapapun yaitu kehidupan, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan. Penyebaran nilai demokrasi ke seluruh dunia menjadi misi AS. AS melihat sepak terjang Soviet setelah Perang Dunia II sebagai ancaman bagi kepentingan nasionalnya. Soviet yang menganut paham komunis tentu saja berbanding terbalik dengan paham demokrasi liberal AS, baik dari sudut pandang politik, ekonomi, maupun sosial. Campur tangan pemerintah yang besar, pemerataan ekonomi, dan hilangnya struktur kelas pada paham komunisme bertentangan dengan sistem politik yang demokratis, kapitalisme, dan masyarakat yang kompetitif dan bebas pada paham demokrasi (Lerche 1958, 466—467). Jika banyak negara lain mengikuti jejak Soviet maka akan menjadi bencana besar bagi AS. Ancaman Soviet terhadap AS yang paling menonjol yaitu di bidang ekonomi. AS yang menganut kapitalisme sangat mendukung adanya pasar bebas karena semakin luas pasar maka semakin banyak keuntungan yang diperoleh yang berarti 11 akan semakin makmur pula negara tersebut. Jika banyak negara lain berhasil mendapat pengaruh Soviet dengan sistem pasar tertutupnya maka pasar AS pun akan semakin sedikit yang berarti sedikit pula keuntungan dan kemakmuran yang didapat. Hal tersebut secara otomatis mengancam kepentingan nasional AS (realisme). Pada saat yang bersamaan nilai demokrasi AS tertandingi. AS yang percaya bahwa mereka adalah orang-orang pilihan dengan misinya untuk menyebarkan demokrasi tentu saja tidak tinggal diam melihat aksi Soviet. Diplomasi publik dijadikan senjata untuk menyebarkan demokrasi sekaligus untuk menangkal paham komunis. Penyebaran demokrasi lewat diplomasi publik ini pada dasarnya juga bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional AS. Ketika demokrasi mulai menyebar ke dunia, semua nilai-nilai yang terdapat di dalamnya pun akan diterapkan termasuk sistem kapitalisme. Bahkan Muravchik berpendapat bahwa perlunya untuk tetap menyebarkan nilai demokrasi pascaPerang Dingin karena tiga alasan yaitu: pertama, rasa empati terhadap sesama manusia. Demokrasi memang tidak membuat semua orang bahagia tetapi mereka akan lebih bahagia jika dapat mengejar kebahagiaan mereka sendiri; kedua, semakin demokratis dunia maka lingkungan sekitar AS akan semakin bersahabat; ketiga, semakin demokratis dunia maka semakin damai pula dunia (Muravchik 1991, 8). Terlihat bahwa ketiga alasan tersebut juga berujung kepada kepentingan nasional AS. Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa kepentingan nasional AS tetap menjadi prioritas utama pada setiap kebijakan luar negerinya. AS menerapkan kebijakan realisme dan idealisme pada Perang Dingin. Diplomasi publik, terutama melalui VOA dan RFE/RL sebagai upaya untuk menyebarkan nilai demokrasi AS merupakan kebijakan idealisme AS. Keberhasilan VOA dan RFE/RL dalam menyebarkan nilai demokrasi pada akhirnya juga untuk kepentingan nasional AS. DAFTAR ACUAN 12 Ambrose, Stephen E. 1985. Rise to globalisme: American foreign policy since 1938. New York: Penguin Books Ltd. Armstrong, Matt. “Understanding the Purpose of Public Diplomacy.” http://mountainrunner.us/2008/03/understanding_the_purpose_publ.html. Diakses 9 Desember 2008. Lerche, Charles O. 1958. Foreign policy of the American people. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Muravchik, Joshua. 1991. Exporting democracy: fulfilling America’s destiny. Washington D.C.: The AEI Press. Tuch, Hans N. 1990. Communicating with the world: U.S. public diplomacy overseas. New York: St. Martin’s Press. http://www.nationmaster.com/encyclopedia/Radio-Free-Europe/Radio-Liberty. Diakses 9 Desember 2008. (http://www.publicdiplomacy.org/1.htm). Diakses 9 Desember 2008. http://www.publicdiplomacy.org/9.htm. Diakses 9 Desember 2008. http://www.voanews.com/english/about/beginning-of-an-american-voice.cfm. Diakses 9 Desember 2008. http://www.voanews.com/english/About/2007-Post-WWII-history.cfm. Diakses 9 Desember 2008. http://www.voanews.com/english/About/2007-Mission-in-the-1960s-and-1970s.cfm). Diakses 9 Desember 2008. http://www.voanews.com/english/About/2007-modernizing-in-the-1980s.cfm. Diakses 9 Desember 2008. 13