Chapter II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Rinosinusitis Kronis
2.1.1. Definisi
Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), RSK didefinisikan sebagai
inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis selama lebih dari 12
minggu dengan karakteristik yaitu: a) memiliki 2 gejala atau lebih
yang terdiri dari: hidung tersumbat atau hidung berair (sekret di
anterior maupun berupa post nasal drip), nyeri pada wajah dan
gangguan penciuman; b) memiliki salah satu tanda seperti
gambaran endoskopik yang menunjukkan adanya polip, sekret
mukopurulen dari meatus media, edema mukosa maupun obstruksi
pada meatus media atau gambaran tomografi komputer yang
menunjukkan perubahan mukosa pada area kompleks ostiomeatal
maupun pada sinus paranasalis (Fokkens, Lund and Mullol, 2012).
2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi rinosinusitis di Indonesia juga cukup tinggi, terbukti
data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2003
menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada urutan ke-25
dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi
Departemen THT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada
kurun waktu tersebut adalah 435 pasien dan 69%-nya adalah
sinusitis (Soetjipto, 2006; Dewi, 2013).
Multazar (2011) dalam penelitiannya mengenai penderita
rinosinusitis kronik di poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan
periode Januari 2008 sampai dengan Desember 2008, menjumpai
5
6
296 penderita RSK dengan tindakan operasi terbanyak adalah
BSEF yaitu sebanyak 54 penderita (80,6%), diikuti dengan tindakan
antrostomi (11,94%), CWL (5,97%) dan trepanasi sinus frontalis
sebesar 1,49%.
Penelitian Siddik (2011) di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam
Malik
Medan
tahun
2009-2010
tentang
penderita
sinusitis
maksilaris kronik mendapati kelompok umur terbanyak adalah pada
usia 15-24 tahun (34%) dengan gejala terbanyak hidung tersumbat
(43%) dan jenis operasi yang paling sering dilakukan adalah BSEF
(70%).
Dewi
(2013)
dalam
penelitiannya
mengenai
penderita
rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF di RSUP H.
Adam Malik Medan tahun 2008-2011 menjumpai 111 penderita
yang terdiri dari 59 penderita rinosinusitis kronik tanpa polip dan 52
penderita rinosinusitis kronik dengan polip.
2.1.3. Etiologi dan patofisiologi
Rinosinusitis kronis diduga disebabkan oleh berbagai etiologi
yang terdiri dari (Eloy, et al., 2005):
a. Faktor lokal, seperti pada inflamasi fokal yang persisten
pada area kompleks ostiomeatal.
b. Faktor sistemik, seperti yang disebabkan oleh kelainan
genetik/ kongenital dan defisiensi imun.
c. Faktor lingkungan, seperti polusi udara, merokok, infeksi
virus, jamur dan bakteri.
Fungsi normal sinus paranasalis bergantung pada: sekresi
mukus dimana viskositas, volume, dan komposisinya harus dalam
keadaan normal; aliran mukosilier yang baik untuk mencegah stasis
mukus dan infeksi; dan ostium sinus yang terbuka untuk aliran dan
aerasi yang adekuat. Defek pada salah satu sistem tersebut dapat
menyebabkan sinusitis akut, akut rekuren maupun sinusitis kronik
(Hamilos, 2000).
7
Kompleks ostiomeatal merupakan area yang penting untuk
sistem aliran sinus frontalis, etmoidalis dan sinus maksilaris.
Patensi area ini harus terjaga dengan baik supaya mukus dan
debris tersingkir, oksigenasi cukup dan pertumbuhan bakteri tidak
terjadi (Jackman and Kennedy, 2006).
Patensi kompleks ostiomeatal ↓
PO2 ↓
Stasis mukus
Pertumbuhan
bakteri
Inflamasi
Klirens mukosilier ↓
Fungsi silier ↓
Kerusakan/ hilangnya silia
Reologi Mukus
Produksi ↓
Viskositas mucus ↑
Gambar 2.1. Siklus patologi RSK
(Jackman and Kennedy, 2006).
Gangguan
perubahan
pada
fisiologis
sinus
sinus
paranasalis
akan
paranasalis.
menyebabkan
Hal
ini
dapat
mengakibatkan pertumbuhan mikroba sehingga mencetuskan
proses inflamasi (Gambar 2.1). Patogenesis RSK yang spesifik
masih belum diketahui (Jackman and Kennedy, 2006).
2.1.4. Manifestasi klinis dan diagnosis
Berdasarkan gambaran klinis, diagnosis RSK dapat ditegakkan
apabila dijumpai 2 gejala mayor selama 8-12 minggu atau lebih.
Gejala mayor tersebut terdiri dari: rasa penuh-tertekan-nyeri di
wajah, hidung tersumbat, sekret purulen baik dari anterior maupun
posterior, hiposmia/ anosmia; dan dapat disertai dengan gejala
minor seperti: sakit kepala, halitosis, kelelahan, nyeri pada gigi,
batuk dan nyeri pada telinga (Desrosiers, et al., 2011; Deepthi,
Menon and Madhumita, 2012).
8
Pada pemeriksaan klinis terhadap penderita RSK dapat
dijumpai sekret purulen pada rongga hidung baik melalui
pemeriksaan rinoskopi anterior maupun endoskopi; edema atau
eritema
pada meatus media atau
bula
etmoidalis melalui
pemeriksaan endoskopi; atau polip hidung (Deepthi, Menon and
Madhumita, 2012; Fokkens, Lund and Mullol, 2012).
Selain itu, pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung
diagnosis adalah foto sinus paranasalis baik dengan posisi
Caldwell maupun Water. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan
penebalan membran mukosa > 5 mm; perselubungan pada salah
satu atau beberapa sinus; atau air-fluid level. Tomografi komputer
juga dapat menunjukkan penebalan mukosa yang difus atau
perubahan pada tulang maupun adanya air-fluid level (Deepthi,
Menon and Madhumita, 2012).
Pemeriksaan
penting
lainnya
yang
dilakukan
untuk
mengevaluasi penyakit sinonasal berdasarkan kualitas hidup
penderita terdiri dari pemeriksaan seperti: 20 Item Sinonasal
Outcome Test (SNOT-20), Chronic Sinusitis Survey (CSS),
Rhinosinusitis Symptom Inventory (RSI) dan Visual Analogue Score
(VAS) (Deepthi, Menon and Madhumita, 2012).
2.1.4.1. Sinonasal Outcomes Test (SNOT)-20
Sinonasal Outcome Test (SNOT)-20 merupakan salah satu
instrumen yang digunakan untuk berbagai penyakit sinonasal
tetapi lebih cenderung pada populasi rinosinusitis. SNOT-20
terdiri dari 20 pertanyaan pilihan yang dapat dijawab oleh
penderita sendiri (Tabel 2.1). Pertanyaan-pertanyaan pada
SNOT-20 dapat diberi skor dengan skor ringkasan 0-5.
Instrumen ini mengukur berbagai gejala rinosinusitis yang
berhubungan dengan kesehatan penderita secara umum,
kesehatan penderita yang berhubungan dengan kualitas
hidupnya yaitu termasuk masalah fisik, aktivitas yang terbatas
dan pengaruh emosional (Pynnonen, Kim and Terrel, 2009).
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Sangat
ringan
Ringan
Sedang
Berat
Sangat
berat
Keluhan
Tdkmasalah
9
0
1
2
3
4
5
Usaha mengeluarkan ingus
Bersin-bersin
Ingus encer di hidung
Batuk-batuk
Lendir di tenggorokan
Ingus kental di hidung
Telinga tersumbat
Pusing, “nggliyer”
Nyeri daerah telinga
Nyeri daerah wajah
Susah tidur
Terbangun malam hari
Tidur tidak nyenyak
Lelah saat bangun tidur
Badan terasa lelah
Tidak bisa bekerja
Tidak bisa memusatkan perhatian
Perasaan putus asa
Perasaan sedih,susah
Perasaan malu,rendah diri
Tabel 2.1. Sinonasal Outcome Test (SNOT) -20
(Harowi, Soekardono dan Christanto, 2011)
Browne, et al. (2007) dalam penelitiannya mengenai SNOT20 membagi pertanyaan-pertanyaan dalam SNOT-20 dalam 4
kategori yaitu: masalah hidung, masalah telinga dan wajah
serta masalah tidur dan psikologi. Kategori masalah hidung
terdiri dari pertanyaan: usaha mengeluarkan ingus, bersinbersin, ingus encer di hidung, lendir di tenggorokan, ingus
kental di hidung. Masalah telinga dan wajah terdiri dari telinga
tersumbat, pusing, “nggliyer”, nyeri daerah telinga, nyeri daerah
wajah. Masalah tidur terdiri dari susah tidur, terbangun malam
hari dan tidur tidak nyenyak. Masalah psikologi terdiri dari
badan terasa lelah, tidak bisa bekerja, tidak bisa memusatkan
perhatian, perasaan putus asa, perasaan sedih, susah,
perasaan malu dan rendah diri. Batuk-batuk dan lelah saat
bangun tidur tidak dikategorikan pada kategori manapun.
10
Beberapa sentra THT menggunakan skala di bawah ini
untuk mengevaluasi skor SNOT-20 sebagai acuan tingkat
keparahan
penyakit,
namun
bukan
untuk
menentukan
penatalaksanaannya (Leeman and Nason 2014):
a. 0-10
: tidak bermasalah atau ringan
b. 11-40 : sedang
c. 41-69 : sedang-berat
d. 70-100 : berat
2.1.5. Penatalaksanaan RSK
Penangananan RSK bertujuan untuk mengurangi inflamasi
mukosa, mengatasi infeksi, dan mengembalikan fungsi normal
mukosilier klirens di dalam sinus (Suh and Kennedy 2011).
Apabila diagnosis sudah ditegakkan, penanganan dimulai
dengan pemberian medikamentosa (Gambar 2.2 dan 2.3) yaitu
pemberian kortikosteroid oral maupun topikal dan antibiotik oral
(Desrosiers, et al. 2011).
Antibiotik merupakan salah satu pengobatan yang sering
diberikan untuk RSK. Secara umum, antibiotik lini pertama untuk
RSK
eksaserbasi
akut
adalah
amoksisilin-klavulanat
dan
sefalosporin generasi ke-II dan ke-III (Gambar 2.4). Kuinolon dapat
diberikan sebagai antibiotik lini ke-2 khususnya bagi kasus-kasus
RSK yang sukar disembuhkan (Cain and Lal, 2013).
Steroid oral telah banyak digunakan pada penderita RSK
dengan polip oleh karena efeknya yang dapat mengurangi ukuran
polip dan gejala. Sebaliknya, penelitian-penelitian pemakaian
steroid oral terhadap RSK tanpa polip masih terbatas. Berbeda
dengan obat sistemik, steroid topikal bermanfaat baik untuk RSK
dengan polip maupun tanpa polip. Steroid topikal intranasal
digunakan untuk memperoleh efek antiinflamasi secara lokal dan
meminimalisasi efek sistemik (Cain and Lal, 2013).
11
Gambar 2.2. Panduan Baku Penatalaksanaan Sinusitis
(Soetjipto dan Wardhani, 2007)
12
Gambar 2.3. Panduan Baku Penatalaksanaan Polip Hidung
(Soetjipto dan Wardhani, 2007)
13
Lebih efektif
Kurang efektif
Gambar 2.4. Efektifitas antibiotik pada RSK (Cain and Lal, 2013)
Penanganan medikamentosa maksimal untuk RSK belum ada
standar, tetapi biasanya merupakan pengobatan dengan antibiotik
oral spektrum luas selama 4-6 minggu yang disertai dengan
pemberian obat tambahan seperti dekongestan dan mukolitik.
Namun untuk penderita RSK yang disertai polip, pengobatan
medikamentosa jarang sekali memberikan hasil yang memuaskan
sehingga seringkali menjadi indikasi pembedahan (Lewis and
Busaba, 2006). Pembedahan sinus pada umumnya dilakukan untuk
pasien yang masih mengalami gejala meskipun sudah diberikan
penanganan terapi medikamentosa secara maksimal (Simmen and
Jones, 2005; Suh and Kennedy, 2011).
2.2. Bedah Sinus Endoskopik Fungsional
2.2.1. Sejarah
Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) atau Functional
Endoscopic Sinus Surgery (FESS) pertama kali diperkenalkan oleh
Messerklinger pada tahun 1978 di Eropa. Teknik ini ditemukan
berdasarkan observasi endoskopik terhadap anatomi, patologi
daerah meatus media dan klirens mukosiliar pada mukosa sinus
yang normal dan yang mengalami inflamasi. Pada tahun 1980,
Stammberger mempublikasikan beberapa tulisan mengenai BSEF.
14
Selanjutnya BSEF diperkenalkan oleh David Kennedy di Amerika
Serikat pada tahun 1985 (Aziz, Hassan and Shama, 2006; Deepthi,
Menon and Madhumita, 2012). Kennedy menunjukkan melalui
tindakan BSEF, lebih dari 98% penderita RSK menunjukkan
perbaikan. Hasil dari tindakan BSEF ini dinyatakan dapat bertahan
sampai dengan sekitar 8 tahun setelah operasi (Reddy, 2013).
Bedah sinus endoskopik fungsional pada penderita RSK telah
terbukti mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan
memperbaiki
gambaran
endoskopik
intranasal.
Bedah
sinus
endoskopik fungsional merupakan pilihan penatalaksanaan terhadap
RSK yang tidak respon terhadap pengobatan medikamentosa (Al
Badaai and Samaha, 2010).
Selama 20 tahun terakhir, seiring perkembangan berbagai
instrumen bedah dan diagnostik, BSEF sebagai suatu prosedur yang
bersifat minimal invasif,
tidak hanya
menjadi pilihan dalam
penanganan RSK tetapi juga dalam penanganan berbagai penyakit
di orbita dan tengkorak (Aziz, Hassan and Shama, 2006).
2.2.2. Definisi
Bedah sinus endoskopik fungsional merupakan suatu teknik
operasi
invasif
minimal
yang
memerlukan
3
hal,
yaitu:
1)
nasoendoskopi, 2) tomografi komputer sinus paranasalis dan 3)
pemahaman mengenai kompleks ostiomeatal. Teleskop dengan optik
resolusi tinggi memungkinkan para ahli bedah Telinga, Hidung
Tenggorok (THT) melihat bagian dalam hidung dengan visualisasi
yang baik, dengan mengandalkan tomografi komputer sebagai
panduan untuk menilai anatomi dan mengidentifikasi daerah yang
mengalami obstruksi (Metson and Mardon, 2005).
Prinsip dasar dari tindakan BSEF ini adalah: a) pengenalan yang
akurat secara endoskopik terhadap lokasi yang mengalami inflamasi
persisten dan mengalami obstruksi, b) membuang jaringan mukosa
yang patologis untuk memperbaiki ventilasi pada penderita yang
gagal terhadap penanganan medikamentosa, dan c) membuang
15
jaringan tulang yang sakit dengan tetap mempertahankan mukosa
normal seoptimal mungkin dan melebarkan ostium alami sehingga
aliran klirens mukosiliar kembali normal (Lee and Kennedy, 2006).
2.2.3.
Anatomi endoskopi hidung dan sinus paranasalis
Anatomi hidung dan sinus paranasalis berdasarkan pemeriksaan
endoskopi meliputi: dinding lateral hidung, kompleks ostiomeatal dan
bagian dasar tengkorak anterior (Kamel, 2002).
2.2.3.1.
Dinding lateral hidung
Dinding lateral hidung (Gambar 2.5) memiliki 3 konka, yaitu
konka inferior, media dan superior. Tiap-tiap konka memiliki
meatus (inferior, media dan superior) yang terletak di bawah
struktur
konka-konka
tersebut.
Resesus
sfeno-etmoidalis
terletak di atas, tepat di bagian postero-medial dari konka
superior (Kamel, 2002).
Gambar 2.5. Dinding lateral hidung
(Hansen and Lambert, 2005)
2.2.3.2.
Sinus
Sinus paranasalis
frontalis,
maksilaris
dan
etmoidalis
anterior
merupakan kelompok sinus paranasalis bagian anterior. Ketiga
sinus ini bermuara pada meatus media. Sedangkan sel-sel
etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis merupakan kelompok
sinus paranasalis bagian posterior. Sinus etmoidalis posterior
16
bermuara ke meatus superior dan sinus sfenoidalis bermuara ke
resesus sfeno-etmoidalis (Kamel, 2002).
a. Sinus maksilaris
Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar di
antara sinus paranasalis. Bagian anterior berbatasan dengan
permukaan dinding maksila. Bagian posterior berbatasan
dengan fosa pterigopalatina. Bagian dasar sinus berbatasan
dengan prosesus alveolaris dan bagian superior berbatasan
dengan dasar orbita. Ostium sinus maksilaris bermuara ke
infundibulum etmoidalis (Leung, Walsh and Kern, 2012). Ostium
sinus maksilaris biasanya terletak pada bagian posterior dan
inferior dari sudut yang dibentuk oleh bula etmoidalis dan
prosesus unsinatus. Area fontanela pada dinding medial sinus
maksilaris
dipisahkan
oleh
prosesus
unsinatus
menjadi
fontanela anterior dan posterior. Ostium sinus maksilaris alami
dapat ditemukan di fontanela bagian posterior (Kamel, 2002).
b. Sinus etmoidalis
Salah satu struktur yang penting dalam tindakan BSEF
meliputi
sinus
etmoidalis
dan
struktur-struktur
etmoidalis
lainnya. Sinus etmoidalis dikenal dengan sebutan „labirin‟
karena strukturnya yang kompleks dan variasinya pada tiap-tiap
individu. Beberapa ahli membagi sinus etmoidalis ini dalam
beberapa
lamela
berdasarkan
prekursor
embriologisnya.
Lamela pertama adalah prosesus unsinatus. Lamela kedua
adalah bula etmoidalis, lamela ketiga adalah lamela basalis dari
konka media dan lamela keempat adalah lamela pada konka
superior, dan terakhir adalah lamela kelima, yaitu konka
suprema. Lamela basalis pada konka media membagi sinus
etmoidalis menjadi etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior
(Bolger, 2001; Leung, Walsh and Kern, 2012).
Apabila pneumatisasi terproyeksi ke bagian anterior dari
perlekatan
konka
media,
maka
sel
yang
mengalami
17
pneumatisasi itu disebut dengan sel ager nasi (Leung, Walsh
and Kern, 2012). Prosesus unsinatus, sel ager nasi, bula
etmoidalis dan lamela basalis dapat dilihat melalui endoskopi
dengan menggeser konka media ke medial (Kamel, 2002).
Hiatus semilunaris merupakan suatu celah berbentuk bulan
sabit yang berada diantara prosesus unsinatus bagian posterior
dan dinding anterior bula etmoidalis (Bolger, 2001).
Prosesus unsinatus berbatasan dengan prosesus etmoidalis
konka inferior di bagian inferior sampai ke posterior. Di bagian
anterior dan superior berbatasan dengan lamina papirasea,
dasar tengkorak atau konka media, sedangkan di lateral
berbatasan dengan lamina papirasea dan area fontanela
(Kamel, 2002).
Bula etmoidalis merupakan bagian anterior dan merupakan
sel yang paling besar dari sel-sel etmoidalis. Bula etmoidalis ini
melekat pada lamina papirasea di bagian lateral. Di bagian
posterior berbatasan dengan sinus lateralis (Kamel, 2002;
Leung, Walsh and Kern, 2012).
Infundibulum etmoidalis merupakan suatu ruang 3 dimensi
di daerah etmoidalis anterior yang dibatasi oleh prosesus
unsinatus di medial. Bagian lateral dibatasi oleh lamina
papirasea dan bagian anterior dan superior dibatasi oleh
prosesus frontalis dari osteo maksilaris dan lakrimalis (Bolger,
2001).
Sinus lateralis dibagi atas resesus suprabularis dan
retrobularis. Resesus suprabularis merupakan suatu ruang yang
dibatasi oleh bula etmoidalis (di bagian inferior) dan fovea
etmoidalis (di bagian superior). Sebaliknya, resesus retrobularis
dibatasi oleh bula etmoidalis (di bagian anterior) dan lamela
basalis (di bagian posterior) (Kamel, 2002).
18
c. Sinus frontalis
Ukuran sinus frontalis bervariasi tergantung pneumatisasi
yang terjadi dan terkadang pada beberapa orang sinus frontalis
tidak dijumpai. Sinus ini biasanya dibagi oleh septum intersinus.
Drainase sinus frontalis biasanya sangat kompleks dengan alur
membentuk jam gelas, dimana bagian superior berhubungan
dengan sinus frontalis dan bagian inferior menuju resesus
fontalis (Leung, Walsh and Kern, 2012). Resesus frontalis
dibatasi oleh prosesus unsinatus dan sel ager nasi di bagian
anterior, lamina papirasea di bagian lateral, hiatus semilunaris di
bagian medial, infundibulum etmoidalis di bagian inferior dan
fovea etmoidalis, sel-sel udara supraorbita, arteri etmoidalis
anterior dan ostium frontalis di bagian superior (Kamel, 2002).
d. Sinus sfenoidalis
Ostium sinus sfenoidalis bermuara ke resesus sfenoetmoidalis. Sinus sfenoidalis berbatasan dengan fosa kranialis
anterior di bagian superior; resesus sfeno-etmoidalis, konka
superior dan etmoidalis posterior di bagian anterior; nasofaring
di bagian inferior; sella turcica, fosa kranialis posterior dan basis
sfenoidalis di bagian posterior; serta fosa kranialis media dan
sinus kavernosus di bagian lateral (Kamel, 2002).
2.2.3.3.
Kompleks ostiomeatal
Kompleks ostiomeatal (Gambar 2.6) merupakan suatu area
yang dibatasi oleh konka media di medial, lamina papirasea di
lateral, lamela basalis di posterior dan atap etmoid di superior.
Stuktur-struktur yang terdapat pada area ini adalah meatus
media, yaitu: prosesus unsinatus, infundibulum etmoidalis, selsel etmoidalis anterior, ostium etmoidalis anterior, sinus
maksilaris dan frontalis (Bolger, 2001; Leung, Walsh and Kern,
2012). Unit kompleks ostiomeatal ini dibagi atas 2 yaitu anterior
dan posterior. Kompleks ostiomeatal anterior terdiri dari ostium
sinus maksilaris, ostium sel etmoidalis anterior dan media,
19
resesus frontalis, infundibulum etmoidalis dan meatus media.
Sedangkan kompleks ostiometal posterior terdiri dari resesus
sfeno-etmoidalis dan meatus superior (Dua, et al., 2005). Sedikit
saja obstruksi terjadi pada area ini akan menyebabkan penyakit
yang bermakna pada sinus frontalis dan maksilaris (Bolger,
2001).
Gambar 2.6. Kompleks ostiomeatal (Kennedy, 2001)
2.2.4. Indikasi
Bedah sinus endoskopik fungsional merupakan pilihan pertama
dalam penatalaksanaan bedah terhadap penderita RSK (Kennedy,
2001; Lee and Kennedy, 2006). Selain pada penderita RSK, BSEF
juga dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit-penyakit orbita dan
dasar tengkorak (Tabel 2.2 ).
2.2.5. Kontraindikasi
Hampir tidak dijumpai kontraindikasi absolut untuk tindakan ini.
Kontraindikasi relatif dapat berupa: tidak dijumpai kelainan pada
kompleks ostiomeatal, penyakit pada sinus frontalis lateral,
osteomielitis yang melibatkan sinus, komplikasi intrakranial yang
disebabkan oleh sinusitis frontalis maupun keganasan. Tindakan
BSEF juga dipertimbangkan pada penderita yang merokok aktif
20
karena beresiko tinggi terbentuk jaringan parut, granulasi dan
terjadi rekurensi (Lee and Kennedy, 2006).
Indikasi Bedah Sinus Endoskopik
1. Bedah Hidung
Sinusitis kronis yang sukar disembuhkan dengan pengobatan
medikamentosa
Polip hidung
Sinusitis berulang
Penanganan epistaksis
Eksisi tumor tertentu
2. Bedah Dasar Tengkorak
Penanganan terhadap kebocoran cairan serebrospinal
Bedah endoskopik hipofisa
3. Bedah Orbita
Dekompresi orbita
Dakriosistorinostomi
Dekompresi nervus optik
Tabel 2.2. Indikasi BSEF (Skinner, 2014)
2.2.6. Instrumen
Bedah sinus endoskopik fungsional membutuhkan peralatan
yang dapat memperlihatkan lapangan pandang yang baik dan
dapat membuang jaringan yang tepat. Tindakan ini sebaiknya
dapat mempertahankan jaringan yang normal sebanyak mungkin.
Peralatan ini termasuk teleskop 0 dan 30 derajat 4 mm (Gambar
2.7) dan instrumen untuk memotong (Gambar 2.8). Terkadang
diperlukan pula teleskop 45 derajat. Kamera, monitor dan sumber
cahaya juga dipakai. Peralatan ini sangat membantu terutama
dalam proses pembelajaran dan dokumentasi (Lee and Kennedy,
2006).
2.2.7. Evaluasi pasien pre-operatif
Pasien yang hendak dilakukan tindakan BSEF sebaiknya
dievaluasi dengan baik. Penangananan medikamentosa maksimal
pada penderita rinosinusitis akut dan kronis harus sudah dilakukan
terlebih dahulu. Tujuan utama terapi tersebut adalah untuk
menyingkirkan infeksi dan mengurangi edema pada mukosa
21
sehingga mengurangi pula obstruksi ostium dan mengembalikan
klirens mukosilier (Lee and Kennedy, 2006).
Gambar 2.7. Beberapa jenis teleskop (Stammberger, 2004)
Gambar 2.8. Beberapa instrumen yang digunakan dalam BSEF
(Stammberger, 2004).
22
Pemeriksaan endoskopik juga penting dalam evaluasi pasienpasien yang akan dilakukan tindakan ini. Secara sistematis
pemeriksaan endoskopik harus dilakukan berdasarkan 3 langkah
berikut ini (Gambar 2.9):
1. Pemeriksaan jalur inferior, yaitu melewati dasar hidung,
meatus inferior, konka inferior sampai ke nasofaring.
2. Pemeriksaan jalur tengah, yaitu konka media dan meatus
media.
3. Pemeriksaan jalur superior, yaitu konka superior, resesus
sfeno-etmoidalis rongga hidung (Soetjipto et al., 2004).
Gambar 2.9. Gambaran skematis pemeriksaan endoskopik
(Stammberger, 2004)
2.2.8. Evaluasi tomografi komputer pre-operatif
Gambaran tomografi komputer pada bidang koronal menjadi
pilihan untuk menunjukkan kompleks ostiomeatal secara lebih rinci.
Protokol tomografi komputer sinus paranasalis menganjurkan
potongan dengan ketebalan < 3 mm (idealnya 1 mm).
Melalui pemeriksaan tomografi komputer potongan koronal
dapat dinilai: deviasi septum, keadaan kompleks ostiomeatal, tipe
perlekatan unsinatus, variasi konka media, anatomi lamina
23
papirasea, anatomi dasar tengkorak atau panjang lamela lateralis,
anatomi arteri etmoidalis anterior, anatomi sinus sfenoidalis
maupun adanya sel sfeno-etmoidalis (Onodi) serta identifikasi
nervus optikus dan dehisensi arteri karotis (Rudmik and Smith,
2014).
Berbagai sistem evaluasi temuan tomografi komputer sinus
paranasalis telah banyak ditemukan, namun tidak semua dapat
digunakan dalam praktek klinis sehari-hari. The American Academy
of Otolaryngology telah merekomendasikan sistem Lund Mackay
untuk
menentukan
stadium
RSK.
Sistem
Lund
Mackay
menggunakan sistem skoring numerik untuk masing-asing sinus
yaitu: 0 = tidak dijumpai kelainan; 1 = perselubungan parsial; 2 =
perselubungan total. Sinus-sinus yang dimaksud adalah sinus
maksilaris, sinus etmoidalis anterior dan posterior, sinus frontalis
dan sinus sfenoidalis. Untuk kondisi kompleks ostiomeatal cukup
diberi skoring 0 (bila tidak ada obstruksi) dan 2 (bila obstruksi).
Skor total yang diperoleh secara keseluruhan adalah 0-24 (Lund
and Kennedy 1997; Moghaddasi et al., 2009).
Selain Lund Mackay, Glicklich and Metson (1994) dalam
penelitiannya
mengenai
berdasarkan
temuan
perbandingan
tomografi
stadium
komputer
sinus
rinosinusitis
paranasalis,
menyebutkan bahwa sistem Harvard juga memiliki keunggulan
dalam kesepakatan interpretasi terutama bagi non-radiologis.
Sistem Harvard terdiri dari:
Stadium 0
:
normal (< 2 mm penebalan mukosa pada dinding
sinus)
Stadium I
:
semua penyakit atau kelainan anatomis unilateral
Stadium II
:
penyakit bilateral terbatas pada sinus etmoidalis
atau maksilaris
Stadium III
:
penyakit bilateral dengan keterlibatan > 1 sinus
sfenoidalis atau frontalis
Stadium IV
:
pansinusitis
24
Variasi
anatomi
biasanya
ditemukan
pada
evaluasi
pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis. Beberapa
variasi anatomi berpotensi menyebabkan gangguan ventilasi dan
klirens mukosilier sinus paranasalis sehingga menjadi faktor
predisposisi terjadinya sinusitis (Bolger, 2001).
Beberapa
variasi
anatomi
yang
sering
menjadi
faktor
predisposisi terjadinya sinusitis akut dan rekuren atau bahkan
menyebabkan gangguan pernafasan hidung adalah (Stammberger,
2004):
1. Septum deviasi
Adanya titik temu septum dengan dinding lateral hidung
menyebabkan penyempitan pada area meatus hidung, dapat
menimbulkan rasa nyeri.
2. Sel ager nasi
Tergantung
derajat
pneumatisasi,
penyempitan
pada
resesus frontalis dan apakah menyebabkan gangguan pada
sistem lakrimalis.
3. Prosesus unsinatus
Prosesus unsinatus yang bengkok ke lateral, bersinggungan
dengan lamina papirasea dapat menyebabkan atelektasis
pada infundibulum. Prosesus unsinatus yang bengkok ke
medial dapat menimbulkan kesan konka media ganda.
Selain itu prosesus unsinatus juga dapat mengalami
pneumatisasi.
4. Konka media
Dapat terjadi pneumatisasi (konka bulosa), bengkok secara
paradoksal, bersinggungan dengan prosesus unsinatus
ataupun septum.
5. Bula etmoidalis
Ukuran yang sangat besar dapat disebabkan oleh adanya
pneumatisasi sehingga dapat terkesan mengisi hampir
seluruh rongga hidung, bersinggungan dengan konka media,
25
menutupi hiatus semilunaris, mempersempit area resesus
frontalis, menekan konka media ke septum bahkan dapat
muncul sampai keluar area meatus media.
6. Sel Haller
Dapat
menyebabkan
penyempitan
pada
infundibulum
etmoidalis maupun ostium sinus maksilaris.
2.2.9. Teknik operasi
Tindakan BSEF dapat dilakukan dengan sedasi intravena dan
umum merupakan pilihan yang paling sering dilakukan (Patel,
2012).
Prosedur BSEF dimulai dengan dekongesti hidung agar terjadi
vasokonstriksi yang baik pada mukosa hidung. Untuk tindakan
BSEF dengan anestesi lokal biasanya dilakukan dengan kapas
yang sudah dibasahi dengan Pantocain 2% 1:4-5 dan adrenalin
(1:1000). Kapas ini dimasukkan ke dalam meatus media dan di
sepanjang mukosa yang patologis dengan bantuan endoskopi.
Untuk penderita dengan anestesi umum, kapas cukup diberikan
adrenalin (1:1000). Kapas ini dibiarkan selama 10 menit dan
kemudian diangkat. Anestesi lokal tambahan dapat diberikan, yaitu
dengan infiltrasi mukosa prosesus unsinatus dengan 1% Lidokain
(Xylocain)
dan
Epinefrin
1:200.000
sebanyak
1-1.5
ml
(Stammberger, 2004).
Posisi standar pada saat operasi adalah operator berada di sisi
kanan pasien dan asisten perawat di sisi seberangnya (Gambar
2.10). Monitor diletakkan di sisi kepala pasien, ahli anestesi dapat
mengambil posisi di sisi kiri dekat asisten perawat atau di sisi
kanan di belakang operator (Stammberger, 2004).
2.2.9.1.
Unsinektomi
Bedah sinus endoskopik fungsional dimulai dengan tindakan
unsinektomi. Unsinektomi ini dimulai dengan medialisasi konka
media secara perlahan menggunakan elevator freer, kemudian
menginsisi bagian paling anterior dari prosesus unsinatus
26
menggunakan ujung yang tajam dari freer tersebut atau bisa
juga dengan menggunakan sickle knife. Forsep Blakesley
digunakan untuk mengambil dan mengangkat pinggir unsinatus
yang terlepas. Forsep backbiting juga dapat digunakan untuk
membuang prosesus unsinatus (Patel, 2012).
Gambar 2.10. Skema pengaturan di ruang operasi pada
tindakan BSEF (Stammberger, 2004).
2.2.9.2.
Antrostomi meatus media
Setelah unsinektomi dilakukan maka ostium sinus maksilaris
alami dapat diidentifikasi. Ostium ini biasanya terletak pada
pinggir inferior konka media yaitu sepertiga dari belakang.
Instrumen cutting digunakan untuk memperbesar ostium ini.
Biasanya diameter + 1 cm sudah cukup untuk menghasilkan
aliran yang adekuat dan memudahkan evaluasi setelah operasi.
Pada saat tindakan ini dilakukan sebaiknya berhati-hati jangan
sampai mengenai lamina papirasea. Mata pasien dapat
dipalpasi pada saat identifikasi ostium sinus maksila alami untuk
memastikan lamina papirasea tidak mengalami dehisensi
ataupun untuk mengkonfirmasi lokasi lamina tersebut (Patel,
2012).
27
2.2.9.3.
Etmoidektomi anterior
Tindakan
selanjutnya
adalah
mengidentifikasi
bula
etmoidalis dan membukanya. Tindakan ini dilakukan dengan
menggunakan kuret bentuk-J dengan cara membuka bula
tersebut ke bagian dalam dan medial. Bila sel sudah terbuka
bagian
tulang
dapat
diangkat
dengan
menggunakan
microdebrider atau forsep cutting. Pada daerah ini, sebaiknya
tetap berhati-hati, jangan sampai mengenai bagian lateral yaitu
lamina papirasea. Sel-sel etmoid anterior dibersihkan sampai ke
dasar tengkorak dengan tetap berhati-hati saat mencapai atap
etmoidalis. Etmoidektomi anterior dilakukan sampai mencapai
lamela basal dari konka media (Patel, 2012).
2.2.9.4.
Etmoidektomi posterior
Etmoidektomi posterior dimulai dengan memasuki lamela
basal ke arah superior dan lateral yaitu pada pertemuan
segmen vertikal dan horizontal dari konka media. Bagian lateral
dan superior ini dapat dibersihkan dengan menggunakan
microdebrider.
Operator
harus
mengetahui
bahwa
dasar
tengkorak biasanya berbentuk landai ke arah inferior kira-kira
30º dari anterior ke posterior, oleh karena itu harus diingat
bahwa posisi dasar tengkorak letaknya lebih rendah di bagian
posterior dibandingkan di bagian anterior (Patel, 2012).
2.2.9.5.
Sfenoidektomi
Bila tidak dijumpai sel Onodi, ostium sfenoidalis terletak di
medial dan posterior dari sel etmoidalis posterior. Sinus
sfenoidalis dibuka dengan menggunakan kuret bentuk-J pada
bagian medial dan inferior ke arah ostium alaminya. Bila sudah
memasuki sinus sfenoidalis, ostium dapat dibuka lebih lebar
menggunakan forsep mushroom punch. Tindakan ini dilakukan
dengan berhati-hati karena terkadang dijumpai dehisensi pada
bagian tulang yang menutupi arteri karotis dan saraf optik
(Patel, 2012).
28
2.2.9.6.
Frontal sinusotomi
Apabila dijumpai indikasi untuk melakukan tindakan frontal
sinusotomi, maka sebaiknya menggunakan teleskop 45° atau
70°. Kuret sinus frontalis dapat digunakan untuk membersihkan
ager nasi atau sel frontalis yang menjadi penyebab obstruksi
aliran sinus frontalis.
Pada saat bekerja di bagian resesus
frontalis sebaiknya berhati-hati karena posisi lamina dan dasar
tengkorak sangat berdekatan dengan saluran aliran sinus
tersebut (Patel, 2012).
2.2.9.7.
Pemasangan tampon
Apabila diseksi telah selesai dilakukan dan hemostasis telah
tercapai, tampon yang telah dilumuri antibiotik dimasukkan ke
dalam
lubang
hidung.
Terkadang
beberapa
ahli
juga
memasukkan Gelfilm ke dalam meatus media untuk menjaga
agar
meatus
media
tersebut
tetap
terbuka,
mencegah
lateralisasi dan pembentukan sinekia. Tampon hidung dibuka
pada saat pasien akan pulang. Pasien sebaiknya diberikan
larutan pencuci hidung dan antibiotik. Pasien dianjurkan untuk
kontrol 1 minggu setelah operasi (Patel, 2012).
2.2.10. Perawatan setelah operasi
Perawatan setelah operasi menentukan keberhasilan operasi
itu sendiri. Tampon hidung dapat dilepas pada hari berikutnya dan
bekuan darah dapat disingkirkan. Pasien dengan penyakit berat
dianjurkan untuk kontrol setiap minggu selama 4-6 minggu untuk
memastikan terjadinya proses penyembuhan yang baik. Rongga
hidung dibersihkan secara endoskopik pada masa-masa ini.
Apabila rongga hidung sudah mulai normal dan stabil, terapi
medikamentosa dapat dilanjutkan (Lee and Kennedy, 2006).
Terapi medikamentosa setelah operasi penting diberikan
sampai mukosa hidung sembuh dan klirens mukosilier kembali
normal. Antibiotik, steroid topikal dan antihistamin dapat diberikan
bila masih dijumpai inflamasi mukosa dan tulang. Jika sebelum
29
operasi diberikan steroid oral, maka dapat dilakukan tapering off
tergantung keadaan mukosa sinus. Irigasi sinus dianjurkan 2
minggu setelah operasi yaitu pada saat rongga sinus mulai
sembuh. Hal ini disebabkan oleh karena telah terbukti sebelumnya
infeksi gram negatif dapat meningkat melalui irigasi sinus (Lee and
Kennedy, 2006).
Waktu penyembuhan
yang diperlukan
setelah
dilakukan
tindakan BSEF adalah sekitar 3 bulan (Reddy, 2013).
2.2.11. Komplikasi
Bedah sinus endoskopik merupakan prosedur yang aman.
Angka kejadian komplikasi yang pernah dilaporkan adalah kurang
dari 1% (Luong and Marple 2006). Namun bila dijumpai komplikasi
bisa sangat berbahaya. Komplikasi ini dapat berupa cedera orbita
dan isinya, saraf optik, dura pada bagian anterior dasar tengkorak,
arteri karotis interna dan pembuluh darah otak (Stammberger,
2004). Hal-hal tersebut dapat menyebabkan: perdarahan, diplopia,
hematoma orbita, kebutaan, kebocoran cairan serebrospinal
bahkan cedera langsung pada otak. Selain itu komplikasi lain yang
juga dapat terjadi adalah terbentuknya sinekia dan cedera duktus
nasolakrimalis sehingga menyebabkan epifora (Patel, 2012).
30
2.3. Kerangka Konsep
RSK tanpa polip
RSK dengan polip
Grade I
Grade II
Grade III
Gagal
Terapi medikametosa
Tomografi komputer
Anamnesa
(kategori penyakit
berdasarkan
SNOT-20)
Nasoendoskopi
Perbaikan
Bedah sinus endoskopik
fungsional (BSEF)
Unsinektomi,
etmoidektomi anterior,
etmoidektomi posterior,
sfenoidektomi, frontal
sinusotomi
Temuan operasi
Perawatan
setelah operasi
Variabel penelitian
Download