Beberapa dekade terakhir, perhatian pada kesehatan mental meningkat seiring dengan ditemukan tingginya prevalensi masyarakat dunia yang mengalami gangguan mental. Pada 2001, dilaporkan satu dari empat orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental (http://www.who.int/en/). World Health Report (2001) merilis data bahwa lebih dari 450 juta orang mengalami gangguan mental di seluruh dunia. Jumlah ini tidak sebanding dengan kasus yang sudah tertangani oleh profesional di bidang kesehatan mental seperti psikiater dan psikolog. Kohn, Saxena, Levav, & Saraceno (2004) menjelaskan hal tersebut sebagai treatment gap yang merepresentasikan perbedaan yang signifikan antara prevalensi gangguan dengan proporsi tritmen yang dikenakan pada individu yang mengalami gangguan. Treatment Gap ini menggambarkan banyaknya penderita gangguan yang tidak mendapatkan tritmen yang layak bagi gangguan yang dialaminya. Chong (2013) mengemukakan dalam Regional World Health Summit bahwa treatment gap bila tidak tertangani akan menimbulkan disabiltas secara global. Disabilitas yang dimaksud di antaranya adalah risiko pada peningkatan keparahan gangguan dan kesukaran akan penangannya, muncul komorbiditas gangguan yang semakin kompleks, serta timbul kerugian dalam aspek-aspek kehidupan seseorang. Salah satu rekomendasi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengintegrasikan layanan kesehatan mental di Layanan Kesehatan Primer (Kohn, dkk., 2004). Pada seting layanan ini, tercatat bahwa 60% pasien yang datang sebetulnya memiliki kemungkinan terdiagnosis gangguan mental namun tidak mendapatkan tritmen atas gangguannya. Hal ini semakin mendorong adanya perhatian serius pada identifikasi gangguan mental 1 yang dapat dilakukan di seting Layanan Kesehatan Primer (WHO & Wonca, 2008). Di Indonesia sendiri, khususnya di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta, layanan kesehatan mental sudah mulai diintegrasikan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) melalui praktik layanan Psikologi (Klinis) sejak 2004 (Retnowati, 2011). Rekomendasi dari WHO pada 2008 seperti yang disebutkan di atas, memperkuat peran dan strategi penanganan kesehatan mental di Puskesmas sebagai cara untuk semakin mendekatkan layanan ini pada masyarakat. Besarnya peran Puskesmas ini dilansir dari artikel “DETEKSI KESEHATAN JIWA DILAKUKAN DI PUSKESMAS” dalam situs resmi Depkes Kabupaten Sleman, sangat membantu untuk mengidentifikasi dan melakukan deteksi dini pasien gangguan jiwa sebelum dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa (http://www.depkes.go.id). Meskipun demikian, hal ini tidak berlangsung tanpa masalah. Kendala di lapangan menunjukkan bahwa jumlah angka kasus yang terdeteksi dengan jumlah kasus yang ditangani masih menunjukkan kesenjangan. Di Indonesia, data lain yang dikutip dari artikel “HARGAILAH PENDERITA GANGGUAN JIWA” dalam website Depkes menunjukkan bahkan hanya 10% dari jumlah prevalensi penderita gangguan jiwa yang tertangani di layanan kesehatan (http://www.depkes.go.id). Hal ini menunjukkan terjadi kesenjangan pengobatan mencapai 90% yang merugikan ekonomi negara lebih dari Rp. 20 Trilyun. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, angka prevalensi orang dewasa yang mengalami gangguan mental emosional sebesar 6% dari seluruh penduduk Indonesia (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI], 2013). Mengacu data yang diperoleh di lapangan, dari seluruh pasien 2 Puskesmas, 30% yang datang, mengalami gangguan mental dimana 69% diantaranya datang dengan keluhan fisik (Retnowati, 2011). Bila digeneralisasikan pada seluruh pasien yang datang dengan keluhan fisik ke Puskesmas sebagai layanan kesehatan primer di Indonesia, diprediksi angka temuannya akan meningkat drastis. Fenomena treatment gap seperti yang diulas sebelumnya menjelaskan hal ini sebagai hal yang layak mendapatkan perhatian serius. Kegagalan mengidentifikasi gejala gangguan mental disebabkan salah satunya karena dokter umum di layanan primer kurang peka dalam mengenali dan mendeteksi gejala gangguan mental (Collings, 2005; Liu, Mann, Cheng, Tjung, & Hwang, 2004) yang menyebabkan kurang maksimalnya diagnosis dan penanganan yang diberikan di layanan kesehatan primer (Carver & Jones, 2013). Tantangan bagi klinisi di seting ini adalah menyediakan alat skrining sebagai asemen terstandar untuk mengidentifikasi gangguan mental sehingga pasien mendapatkan penanganan yang tepat (Fitzgerald, Galyer, & Ryan, 2009; Thekkumpurath, Venkateswaran, Kumar, & Bennett, 2008) dibandingkan dengan penanganan atas kondisi fisiknya. Thekkumpurath, dkk. (2008) melanjutkan, instrumen skrining terhadap gejala (distress) psikologis menunjang manajemen penanganan pasien dan pendeteksian gangguan sehingga meningkatkan pelayanan dan intervensi yang diperlukan. Kebutuhan ini telah diinisiasi dikaji dengan melakukan validasi instrumen General Health Questionnaire (GHQ)-12 sebagai instrumen skrining gangguan-gangguan mental yang prevalensinya tinggi di Puskesmas di Kabupaten Sleman, di antaranya pada gangguan penyesuaian (Primasari, 2012) dan gangguan somatoform (Salma, 2013). 3 Penelitian ini hendak melanjutkan pengembangan alat asesmen terstandardisasi untuk deteksi dini ganggguan mental, terutama pada gangguan yang memiliki prevalensi tinggi yang ditangani di Puskesmas. Puskesmas yang dimaksud adalah pada Puskesmas Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman di wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta. Hal ini mengindikasikan paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian pengembangan instrumen, yaitu mengenai gangguan dengan prevalensi cukup tinggi dan instrumen yang akan distandardisasi. Pertama, gangguan yang akan diprediksi dalam penelitian ini adalah Gangguan Somatoform yang menempati 2,7% sesi penanganan dari keseluruhan sesi yang ditangani oleh Psikolog di 18 Puskesmas Kota Yogyakarta dan 1,7% sesi di sejumlah Puskesmas Kabupaten Sleman selama Juli 2010 hingga Februari 2014 (data dari Sistem Informasi Kesehatan Mental online [CPMH, 2014]). Gangguan somatoform sendiri merupakan sekumpulan kondisi yang melibatkan keluhan atas gejala fisik yang seolah-olah memerlukan penanganan medis namun dalam pemeriksaan tidak ditemukan patologis atau abnormalitas fisik untuk menjelaskan keluhannya. DSM-IV-TR mengklasifikasikan Gangguan Somatoform dalam tujuh subkategori mayor yaitu: (1) Gangguan Somatisasi, (2) Gangguan Somatoform Yang-Tak-Tergolongkan (YTT), (3) Gangguan Konversi, (4) Gangguan Nyeri, (5) Hipokondriasis, (6) Gangguan Dismorfik Tubuh, (7) Gangguan Somatoform lainnya (APA, 2000). Gangguan somatoform lebih cocok digolongkan ke dalam gangguan psikologis daripada gangguan fisik karena pada penderitanya tidak ditemukan abnormalitas secara fisik yang dapat menjelaskan keluhan fisiknya. Ketidakmampuan penderita akibat keluhannya, misalnya rasa sakit atau kaku, 4 (harus) tidak ada hubungannya dengan gangguan fisik apapun (Halgin & Whitbourne, 2005). Hal ini yang membedakan dengan gangguan psikosomatis (psikofisiologis) yang mana faktor psikologis berperan secara nyata pada sakit fisik (Passer & Smith, 2007). Penderita gangguan somatisasi biasanya mengeluhkan lebih dari empat gejala somatik pada lebih dari dua sistem metabolisme tubuh disertai dengan disabilitas dalam pekerjaan dan sosial, serta perilaku memeriksakan diri yang berulang-ulang. Bila pada penderitanya hanya ditemukan keluhan nyeri pada satu bagian tubuh secara progresif, maka diklasifikasikan ke dalam gangguan nyeri. Keluhan ekstrim misalnya kebutaan dan kelumpuhan cenderung mengarah pada diagnosis gangguan konversi sedangkan penderita yang mengalami hipokondriasis secara khas ditunjukkan melalui ketakutannya yang sangat besar sedang mengalami sakit yang menimbulkan kematian. Diagnosis gangguan somatoform YTT mensyaratkan lebih sedikit gejala yang berlangsung selama minimal 6 bulan terakhir (APA, 2000). Berdasarkan hal di atas, bentuk keluhan fisik penderita somatoform dapat sangat beragam hingga tampak sebagai keluhan yang sangat ekstrim, atau berupa gangguan pada sistem saraf, atau berupa gejala fisik yang majemuk dan konstans dalam satu waktu, seperti problem nyeri kronis, gangguan perut, dan sakit kepala (pening, pusing). Penderita gangguan ini cenderung menolak atau tidak puas pada hasil pemeriksaan dokter maupun hasil tes medis yang menegasi sakit tertentu. Mereka cenderung memeriksakan diri berulang kali pada dokter dibandingkan pada ahli kesehatan mental. Akibatnya, keluhan yang dimunculkan sulit dievaluasi secara objektif. Para dokter terkadang kesulitan mengenali penyebab faktor psikologis 5 pada masalah pasien sehingga menjalankan prosedur medis yang tidak diperlukan untuk mengobati pasien (Oltmanns & Emery, 2012). Melihat kondisi tersebut, hal yang kedua perlu diperhatikan adalah dengan menyediakan sekaligus memvalidasi instrumen deteksi dini yang dapat digunakan saat pemeriksaan medis (Thekkumpurath, dkk., 2008). Instrumen yang dimaksud untuk divalidasi adalah Recent Life Changes Questionnaire (RLCQ) (Miller & Rahe, 1997) sebagai instrumen pengukuran bobot stres psikososial. Hasil pengukuran instrumen RLCQ berupa data dan informasi mengenai stresor psikososial sekaligus bobot stres total yang dialami pasien. Hasil asesmen ini dapat membantu dokter umum mendeteksi potensial gangguan yang muncul sekaligus memudahkan penegakan Axis IV dalam diagnosis multiaksial. Axis IV memengaruhi diagnosis psikiatrik pada Axis I, dan menjadi sarana komunikasi serta psikoedukasi antara klinisi dan pasien mengenai kaitan stresor dan gangguan (Moncur & Luthra, 2009), serta menentukan prognosis gangguan (Gillman, Trinh, Smoller, Fava, Murphy, & Breslau, 2013). Moncur & Luthra (2009) melanjutkan, Axis IV yang berisi stresor psikososial dan lingkungan dapat membantu klinisi mengidentifikasi faktor etiologi dan menentukan intervensi non-farmakologis yang diperlukan. Instrumen RLCQ menyediakan data kluster peristiwa perubahan dalam kehidupan yang dapat diklasifikasikan sejalan dengan stresor psikososial dan lingkungan pada Axis IV DSM, yang disajikan pada Tabel 1. RLCQ terdiri dari 74 peristiwa perubahan dalam kehidupan yang potensial terjadi pada kehidupan seseorang yang digolongkan dalam lima subkategori: (1) Pekerjaan; (2) Rumah Tangga dan Keluarga; (3) Kesehatan; (4) Pribadi dan Sosial; dan (5) Persoalan Keuangan. Daftar peristiwa atau kejadian 6 dalam RLCQ berasal dari 30 aitem peristiwa hidup yang memiliki bobot Satuan Perubahan Hidup (SPH) dari instrumen Social Readjustment Ratting Scale (SRRS) yang ditambah dengan 44 aitem baru peristiwa hidup yang lebih spesifik (Miller & Rahe, 1997; http://www.proqolid.org). RLCQ memiliki koefisien reliabilitas test-retest sebesar 0,84 (Pearson & Long, 1985 ) dan koefisien Spearman yang sangat signifikan (koefisien rho sebesar 0,84 hingga 0,96) ( Miller & Rahe, 1997). Tabel 1 Klasifikasi Kluster Peristiwa Hidup dalam RLCQ dan Aspek Stresor Psikososial dan Lingkungan Axis IV DSM Penggolongan Kluster dalam RLCQ Aspek Axis IV dalam DSM dan PPDGJ Pekerjaan Masalah pekerjaan Rumah Tangga dan Keluarga Masalah dengan “primary support group” (keluarga) Masalah perumahan Kesehatan Masalah akses ke pelayanan kesehatan Pribadi dan Sosial Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial Masalah pendidikan Masalah berkaitan interaksi dengan hukum/kriminal Masalah psikososial dan lingkungan lain Persoalan Keuangan Masalah ekonomi Kluster life event atau peristiwa sosial pada RLCQ terbukti memiliki etiologi yang signifikan pada munculnya gangguan atau penyakit dan memberi sumbangan pada variabel waktu onset munculnya gangguan (Holmes & Rahe, 1967; Miller & Rahe, 1997; Dana, 1984; Huling, Baccaglini, Choquette, Feinn, & Lalla, 2012). Peristiwa hidup dalam RLCQ memiliki skor bobot stres pada SPH yang dapat diakumulasikan. Akumulasi SPH selama 6 bulan terakhir mengindikasikan tingginya bobot stres yang dialami seseorang dan diprediksi 7 memiliki pengaruh pada kondisi fisik dan mentalnya (Miller & Rahe, 1997; http://www.michellecederberg.com; http://www.proqolid.org). Stres dialami seseorang sebagai reaksi atas situasi yang mendatangkan ketidaknyamanan, baik berasal dari situasi lingkungan yang mengancam, faktor fisik, psikologis, serta sosial yang kuantitas dan kesukarannya melebihi batas kapasitas normal, yang menimbulkan sensasi tegang dan cemas, serta mengancam kesejahteraan psikologis seseorang sehingga membutuhkan upaya untuk mengatasinya (Stuart-Hamilton, 2007; Sunberg, Winebarger, & Taplin, 2007; Halgin & Whitbourne, 2005; Passer & Smith, 2007; Weiten, Dunn, & Hammer, 2012). Faktor-faktor yang menyebabkan stres disebut dengan stresor (Stuart-Hamilton, 2007). Peristiwa yang menyebabkan stres (stresor) sifatnya adalah akumulatif, artinya peristiwa harian yang dialami sehari-hari pun dapat menjadi stresor yang besar bila dialami terus menerus dalam jangka waktu tertentu (Weiten, dkk., 2012; Butcher, Mineka, & Hooley, 2013; Rabkin & Struening, 1976). Stressful Life Event (SLE) oleh Passer & Smith (2007) dijelaskan sebagai unit-unit peristiwa yang mempunyai probabilitas mendatangkan stres. Ingram & Luxton (2005) menyebutkan bahwa peristiwa yang memiliki tingkat keparahan yang cukup dapat memicu munculnya problem psikopatologis meskipun tanpa ada kerentanan atau predisposisi karakter psikologis dan biologis. Perubahan dalam hidup merupakan salah satu aspek yang mendatangkan stres pada kehidupan manusia. Weiten, dkk., (2012) mengelompokkan ‘perubahan’ (change) pada sumber mayor stres, selain sumber mayor lain yaitu frustrasi, konflik internal, dan tekanan. Perubahan menuntut proses penyesuaian yang menimbulkan kondisi stressful. Sejalan dengan penelitian Holmes & Rahe 8 (1967), perubahan dapat berasal dari peristiwa kehidupan yang positif maupun negatif yang dalam hasil penelitiannya memiliki kemungkinan yang sama mendatangkan stres bagi seseorang. SLE dalam banyak penelitian terbukti berperan penting pada prevalensi munculnya gangguan fisik dan psikologis (Newcomb, Huba, & Bentler, 1981; Mueller, Edwards, & Yarvis, 1977; Rabkin & Struening, 1976; Schless, Teichman, Mendels, Weinstein, & Weller, 1977; Dana, 1984), termasuk gangguan somatoform (Oltmanns & Emery, 2012). Nietzel, Bernstein, & Milich (1994) menjelaskan etiologi gangguan klinis dari pola interaksi antara sistem biologis, psikologis, dan sosial, yang diterminologikan dalam istilah Diathesis Stress Model, yang memiliki tiga komponen, yaitu: (1) Kerentanan biologis yang dimiliki seseorang, biasanya mencakup kecacatan pada sistem biokemis atau struktural pada sistem saraf otonom dimana hal ini bisa merupakan turunan genetika maupun akibat adanya trauma, infeksi, dan bawaan penyakit lain, (2) Risiko biologis tersebut membuat seseorang rentan terpapar gangguan psikologis. Hal ini sering dikenal dengan istilah predisposisi terhadap gangguan, (3) Jika mereka yang berisiko ini mengalami pathogenic stresses, predisposisi dapat berkembang menjadi lebih buruk hingga mengalami gangguan (ill). Menurut model ini berarti stres dapat memicu kemunculan gangguan sebagai reaksinya dengan predisposisi yang dimiliki seseorang. Penyakit fisik yang banyak dikaitkan dengan stres yaitu tukak lambung (maag), asma, sakit kepala, sakit jantung (Nevid, Rathus, Greene, 2003), gangguan tidur (Oltmanns & Emery, 2012), dan hipertensi (Butcher, dkk., 2013). Meskipun bukan satu-satunya penyebab, stres memiliki potensi risiko yang besar bagi munculnya gangguan fisik. Rabkin & Struening (1977) menegaskan bahwa 9 SLE berperan sebagai faktor pencetus yang memengaruhi onset munculnya gangguan, baik mental maupun fisik, bukan memengaruhi tipe episode gangguannya. Hasil penelitian tersebut telah dibuktikan baik dalam kerangka studi retrospektif maupun prospektif. Pengukuran terhadap bobot stres yang berkaitan dengan problem kesehatan fisik dan mental sangat luas digunakan dengan instrumen SRRS dan pengembangannya terbaru dengan instrumen RLCQ yang digunakan dalam penelitian ini. Penggunaan instrumen pengukuran bobot stres diduga telah diaplikasikan pada ribuan penelitian (Weiten, dkk., 2012). SRRS sendiri telah diberlakukan pada beragam populasi antara lain bagi populasi di penjara (Hart, 1997), untuk identifikasi klien dengan risiko bunuh diri (Blasco-Fontecilla, Delgado-Gomez, Legido-Gil, de Leon, Perez-Rodriguez, & Baca-Garcia, 2012), guru (Kamizaki & Sousa, 2000), mahasiswa baru yang mengalami culture shock (Zhou, Jindal-Snape, Topping, & Todman, 2008), dan perawat (Drozdova & Kebza, 2011). Pengembangannya yang terbaru dengan RLCQ banyak diterapkan pada studi prospektif dan kajian gangguan fisik (Rahe, 1978), antara lain pada studi prospektif yang melihat kemungkinan Life Change Unit memprediksi kekambuhan penyakit yang dialami wanita dengan Multiple Sclerosis (Mitsonis, Zervas, Mitropoulos, Dimopoulos, Soldatos, Potagas, & Sfagos, 2008) juga dalam penelitian hubungan Stressful Life Event dengan onset kekambuhan penyakit Aphthous Stomatitis (Huling, dkk., 2012). RLCQ juga digunakan pada studi retrospektif otopsi psikologis yang mengkaji faktor penentu perilaku bunuh diri warga Rusia di Estonia (Kõlves, Sisask, Anion, Samm, & Värnik, 2006) serta di Tallinn dan Frankurt (Kõlves, Värnik, Schneider, Fritze, Allik, 2006). 10 Besarnya implikasi stres pada gangguan mental dan fisik mendorong penelitian untuk mengkaji pada tingkat sejauh mana Stressful Life Event yang diukur dalam RLCQ menyebabkan gangguan yang dialami saat ini. Sebagai salah satu gangguan yang prevalensinya cukup tinggi di Puskesmas, Gangguan Somatoform menjadi tolok ukur kemampuan RLCQ dalam memprediksi kemunculan gangguan. Secara teoritis, gangguan somatoform terbukti dipengaruhi oleh faktor stres, khususnya yang bersifat traumatik pada masa anak atau remaja (Oltmanns & Emery, 2012) yang tidak pernah dapat diekspresikan sehingga menyertai seluruh fase perkembangan (Lind, Delmar, & Nielsen, 2014) dan dari sisi biologisnya, stres mengaktivasi hormon Hipotalamic-PituitaryAdrenal (HPA) yang menghasilkan persepsi akan rasa nyeri (Rief & Barasky, 2005). Lind, dkk., (2014) melanjutkan, predisposisi traumatik tersebut dapat membuat seseorang menunjukkan hipersensitifitas terhadap stres yang akhirnya muncul secara khas dalam bentuk preokupasi pada sensasi tubuh selama ‘masa stres.’ RLCQ hendak divalidasi untuk menguji validitas kliniknya sebagai instrumen deteksi dini gangguan somatoform. Pada penelitian instrumen, dilakukan penelitian validasi untuk menguji seberapa tepat suatu alat ukur mengukur tujuan ukurnya (McDowell, 2006; Azwar, 2013). Validitas sendiri terkait dengan bagaimana memaknai, menginterpretasi dan menerapkan skor hasil pengukuran (McDowell, 2006), termasuk menginterpretasi hasil diagnosis alat tes (Attia, 2003). Pada seting klinik, klinisi memerlukan instrumen asesmen dan diagnosis yang valid karena perlu membuat prediksi pada prognosis penyakitnya, menentukan seberapa mungkin kebenaran diagnosis penyakit, mengambil keputusan dari hasil skrining, mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi, menentukan serangkaian diagnosis 11 yang memerlukan beragam tes yang berisiko atau berbiaya mahal, dan melakukan terapi yang efektif (Steyerberg, 2009). Melakukan validasi klinik artinya melakukan prediksi hasil asesmen atau tes terhadap penegakan diagnosis dan prognosis. Berdasarkan fungsi dan keperluan skrining, prognosis berguna untuk mengidentifikasikan tingkat deteksi dini gejala penyakit (gangguan) dan melakukan penanganan sebelum gangguan terdiagnosis pada tingkat yang lebih parah. Dalam prognosis, dua hal yang ditekankan berkaitan dengan masalah estimasi dan pengujian hipotesis. Kedua hal tersebut diatasi dengan menyediakan suatu model statistik berbasis pendekatan prediktif (Steyerberg, 2009). Pengukuran statistik pada model prediktif memerlukan adanya suatu prediktor dan kriteria sejalan dengan konsep validitas prediktif (Anastasi & Urbina, 2007; Azwar, 2013) untuk menguji tingkat kebenaran asumsi yang dihasilkan dari hasil pengukuran. Model prediksi memperkirakan probabilitas dari gangguan berdasarkan diagnosis atau tes, dalam penelitian ini yaitu instrumen RLCQ. Instrumen yang akan divalidasi berfungsi sebagai prediktor bagi performansi (gangguan) di masa datang (Azwar, 2013). Hasil diagnosisnya akan dibandingkan dengan suatu tes standard baku emas sebagai kriteria untuk menguji kevalidan dari estimasi atau perkiraan dari diagnosisnya (prediktor). Instrumen standard baku emas adalah instrumen yang ideal untuk mendiagnosis dengan tingkat sensitivitas 100% dan spesifisitas 100% (McDowell, 2006; Steyerberg, 2009). Mengacu pada prinsip studi retrospektif (Hess, 2004; Malouin, 2008), penelitian ini menerapkan gangguan somatoform yang dialami saat ini sebagai 12 kriteria performansi atas SLE selama enam bulan terakhir yang diukur dengan RLCQ sebagai prediktor. Pengujian vailiditas memerlukan kriteria validasi yang tepat (Azwar, 2013). Penelitian ini menggunakan Structured Clinical Interview for DSM IV Axis I Disorder (SCID-I) sebagai standard baku emas diagnosis gangguan somatoform. SCID merupakan pedoman wawancara semiterstruktur yang terdiri dari serangkaian pertanyaan dasar berdasarkan kriteria dari DSM-IV yang disusun untuk membantu para klinisi menegakkan diagnosis menurut DSMIV secara ringkas dan valid. SCID terdiri dari modul yang dapat diaplikasikan pada kelas mayor gangguan, termasuk gangguan somatoform (Nietzel, dkk., 1994). Berdasarkan uraian di atas, kajian antara stres terhadap gangguan fisik dan psikologis terutama gangguan somatoform, serta penggunaan RLCQ sebagai instrumen pengukuran bobot stres di berbagai seting klinik, maka dapat dugaan umum yang diajukan adalah bahwa stres memprediksi gangguan psikologis. Pengukuran bobot stres melalui RLCQ akan dieksplorasi hingga menemukan hubungan prediksi terbaik dengan gangguan somatoform yang terdiri dari subtipe gangguan somatisasi, gangguan nyeri, dan gangguan somatoform YTT. Temuan eksploratif akan menangkap sejauh mana perubahan dalam kehidupan mampu mendeteksi ada tidaknya gangguan somatoform, mengukur ambang batas total stresor terhadap stres pada pasien, membangun norma, dan melakukan pembobotan peristiwa hidup. Hasil penelitian ini nantinya menghasilkan validitas klinik RLCQ sehingga dapat digunakan sebagai alat ukur yang terstandardisasi untuk mendeteksi gangguan somatoform. Manfaat lainnya adalah sekaligus menjadi instrumen asesmen yang dapat digunakan untuk melakukan diagnosis multiaxial, yaitu 13 pada Axis IV (stresor psikososial dan lingkungan). Dengan demikian, dokter umum maupun psikolog di layanan kesehatan primer dalam asesmennya dapat mengestimasikan bobot stres setiap peristiwa hidup dengan instrumen RLCQ dan menggunakannya sebagai sarana edukasi pada pasien mengenai risiko gangguan yang mungkin dialami akibat perubahan dalam peristiwa hidupnya. 14