perbankan REPUBLIKA SENIN, 3 JANUARI 2011 28 YOGI ARDHI/REPUBLIKA Wajah yang Mengesankan Oleh Setyavidita Livicakansera Mansyur Faqih Perbankan harus mampu menjaga stabilitas likuiditas rupiah maupun non-rupiah. P ertumbuhan ekonomi yang mecapai enam persen di 2010 telah mampu mendorong industri perbankan nasional. Dorongan ini akan semakin terasa di 2011 mengingat kian bergairahnya perekonomian dan investasi di hampir semua sektor. Para pakar ekonomi menilai kinerja perbankan nasional di 2010 telah menunjukkan perkembangan yang mengesankan. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah indikator utama yang tumbuh, seperti dana pihak ketiga, penyaluran kredit, dan penurunan non performing loan (NPL). Analis perbankan, Ryan Kiryanto mengungkapkan, total aset bergerak perbankan di tahun 2010 naik menjadi Rp 2.758 triliun. Kenaikan aset ini diiringi dengan derasnya penyaluran kredit yang mencapai Rp 1.659,1 triliun. Demikian pula dengan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) yang melejit menyentuh Rp 2.144 triliun. Ketiga indikator utama ini merupakan capaian tertinggi sejak negara Indonesia berdiri. “Secara persentase, pertumbuhan kredit terbilang kencang, yaitu 22 persen. Sementara pertumbuhan dana relatif lebih rendah, hanya berkisar 15 persen. Alhasil, loan to deposit ratio (LDR) melonjak dari 75,3 persen (Juni) menjadi 77,1 persen (September),” ujar Ryan. Kenaikan LDR tersebut sebagai dampak dari kondisi makro ekonomi sepanjang 2010 yang mampu memberikan sentimen positif bagi sektor perbankan. Sementara pertumbuhan dana menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan masih terbilang tinggi. “Yang menggembirakan, rasio kredit bermasalah (non performing loan) mengalami perbaikan menjadi 2,96 persen dibanding kuartal sebelumnya yang tiga persen,” ujar Ryan. Membaiknya NPL, berdampak pada perbaikan kinerja rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional yang menurun dari 90,5 persen (Juni) menjadi 86,3 persen (September 2010). Di tahun 2011 ini, kata dia, permintaan kredit diperkirakan akan bergerak naik. Bukan saja karena sektor riil membutuhkan dukungan pembiayaan perbankan, tapi juga karena gerakan dari regulator menyusul diberlakukannya batasan LDR pada kisaran 78-100 persen oleh BI yang berlaku efektif mulai awal Maret 2011. “Regulasi baru ini diperkirakan akan mendorong perbankan menetapkan target ekspansi kredit lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Jika pertumbuhan kredit tahun 2010 diperkirakan berkisar 18-20 persen, maka tahun 2011 berpeluang naik dan mencapai kisaran 22-25 persen.” Pengamat ekonomi lainnya, David Samual memproyeksikan kredit perbankan bakal naik ke posisi 30 persen dari sebelumnya 22 persen di tahun 2010. Perkiraan ini berdasarkan penguatan demogratif dividen. Yakni, jumlah penduduk produktif jauh lebih tinggi dibanding yang tidak bekerja. Kondisi ini akan dapat mendorong tingkat konsumsi dan industri perbankan. Aviliani juga melihat kinerja perbankan di 2010 cukup menggembirakan. Penguatan nilai rupiah terhadap mata uang asing, rendahnya biaya masuk barang ke Indonesia, dan semakin berkurangnya permasalahan kredit macet, menjadi beberapa indikator perbaikan di sektor perbankan yang terjadi di 2010. Menurut pengamat perbankan ini, penguatan rupiah terhadap mata uang asing secara langsung akan menggerakkan tingkat konsumsi tengah masyarakat. Tingkat inflasi yang juga terbilang rendah, yaitu hanya sekitar enam persen, juga membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi perkonomian paling menjanjikan di Asia dengan daya beli masyarakat yang cukup tinggi. Disebutkan, lima tahun ke depan merupakan momentum yang sangat menjanjikan bagi Indonesia, Cina, dan India untuk berkembang menjadi kekuatan perekonomian dunia yang baru. “Saat ini Amerika dan Eropa tengah mengalami defisit anggaran hingga tujuh persen. Hal ini akan menjadi tantangan berat bagi perekonomian di negara-negara tersebut untuk tumbuh. Di sinilah kesempatan Indonesia,’’ papar Aviliani. Tantangan Menurut Ryan, ada beberapa tantangan yang dihadapi industri perbankan di 2011. Pertama bagaimana menjaga kestabilan likuiditas baik rupiah maupun non-rupiah. Likuiditas yang kuat mengindikasikan kemampuan bank dalam menyalurkan fasilitas kredit dan ketahanan bank dalam menghadapi risiko likuiditas. Kedua, bagaimana menjaga kualitas aset, terutama kredit, agar senantiasa berada dalam kategori performing asset. “Di 2011, perbankan Indonesia juga dituntut memperbaiki struktur dana agar lebih sehat dengan cara mengupayakan dominasi dana murah ketimbang dana mahal,’’ katanya. Dengan dana murah yang terdiri dari tabungan dan giro dalam jumlah lebih besar maka akan memberikan peluang bagi bank menetapkan suku bunga kredit lebih rendah, sehingga bisa memberikan insentif bagi sektor riil. Seiring dengan itu perbankan dituntut untuk dapat mengoptimalkan penghimpunan dana murah agar suku bunga kredit bisa ditekan. Ekspansi kredit dan penambahan aset berkualitas membutuhkan penguatan permodalan melalui berbagai aksi korporasi seperti right issue. Di sinilah perbankan harus tetap fokus pada perbaikan kualitas aset. Menurutnya, untuk mempercepat pertumbuhan aset dan modal, maka langkah strategis melalui merger atau akuisisi dapat menjadi pilihan yang paling rasional. Dengan demikian, upaya-upaya tersebut akan mampu memperbaiki capaian rasio keuangan utama. Perbankan juga dituntut tetap setia untuk melanjutkan momentum pertumbuhan dengan tetap fokus pada pembiayaan infrastruktur dalam arti luas dan diperkuat dengan sektor UMKM. ■ ed: khoirul azwar :: ekspansi :: Penetrasi Masih Rendah Oleh Mansyur Faqih eski kinerja perbankan terus membaik, tetapi penetrasi perbankan secara nasional dinilai belum menunjukkan kemajuan. Masyarakat di daerah-daerah masih awam atau bahkan asing terhadap produk-produk perbankan. Hal ini tentu akan berdampak pada percepatan perekonomian nasional. Pengamat Ekonomi, David Samual mengatakan, penggunaan jasa perbankan di Indonesia masih sangat rendah, bahkan lebih rendah dibanding negaranegara lain di kawasan Asia Tenggara. “Tren perbankan kita masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain,” ujarnya. Rendahnya penetrasi perbankan tersebut terlihat dari beberapa indikator. Antara lain, rasio kredit perbankan terhadap produk domestik bruto (PDB) yang berada di angka 26,3 persen dengan rasio dana pihak ketiga (DPK) sebesar 33,1 persen. Angka ini terkoreksi dari tahun 2009 yang mencatatkan rasio kredit terhadap PDB sebesar 26,5 persen dan DPK terhadap PDB sebesar 35,2 M persen. Bandingkan dengan Malaysia, misalnya, yang total aset terhadap PDB mencapai 211 persen pada 2009. Dengan rasio kredit terhadap PDB sekitar 115 persen. “Negara-negara lain rata-rata rasio aset terhadap PDB-nya telah menembus di atas 100 persen. Kita hanya di atas Filipina yang total aset terhadap PDB-nya 15 persen,” ujar David. David menjelaskan, beberapa hal yang menjadi penyebab rendahnya penetrasi perbankan, antara lain, dampak krisis moneter 1998 yang masih terasa. Setelah krisis berlalu, selama tiga hingga lima tahun pertama perbankan memfokuskan diri untuk konsolidasi. Karena masih terpusat untuk melakukan penguatan modal, maka kegiatan perbankan masih menurun. “Sampai dengan 2003, tren perbankan masih seputar penguatan modal. Setelah itu, baru bisa akselerasi. Tapi memang, jika dibandingkan dengan negara lain, langkah kita terlambat,” ujarnya. Untuk mengatasi kondisi ini, lanjut dia, sangat tergantung pada ekspansi kredit. Karena itu, tak heran jika kemudian Bank FOKUS PULAU JAWA YOGI ARDHI/REPUBLIKA Pelayanan jasa perbankan masih terfokus di Pulau Jawa. Hal ini mengakibatkan penetrasi perbankan nasional mengalami hambatan. Indonesia (BI) getol untuk mematok batasan rasio kredit terhadap dana simpanan (loan to deposit ratio/LDR) di atas 78 persen. Tujuannya tak lain untuk meningkatkan perbankan Indonesia. Faktor lainnya adalah masalah geografis. Penetrasi ekonomi Indonesia masih terpusat di Pulau Jawa, khususnya Jakarta. Sekitar 60-70 persen industri perbankan terjadi di Jakarta. Sedangkan pembukaan perbankan di daerah lain, wilayah Timur khususnya, sangat jarang dan sulit dilakukan. “Ada ketimpangan pembangunan yang masih fokus di Pulau Jawa,” tambahnya. Namun meskipun begitu, ia memperkirakan kondisi tersebut akan membaik ke depan. Untuk kredit misalnya, rasio kredit hingga November 2010 sekitar 22 persen. David yakin jika tahun 2011 rasio tersebut memiliki kesempatan untuk naik hingga ke posisi 30 persen. Hal ini didukung oleh BI yang terus mengeluarkan kebijakan yang pro dengan pertumbuhan perbankan. Pertumbuhan fundamental ekonomi pun diprediksi bakal membaik di 2011. Makanya, David memperkirakan akan ada peningkatan rasio total aset perbankan dari 42,1 persen di 2010 menjadi 42,8 persen di 2011. Rasio kredit terhadap PDB pun akan meningkat menjadi 28,4 persen, dan rasio DPK menjadi 33,6 persen. Indikasi per tumbuhan ekonomi tersebut, antara lain adanya peningkatan dari sektor ekspor, investasi, ser ta aliran dana dari luar negeri yang semakin besar. Dengan begitu, kata David, kemampuan bank untuk meningkatkan modal akan menjadi semakin kuat. Bank-bank besar semakin banyak yang meningkatkan penetrasi ke wilayah luar Jawa, khususnya yang menjadi daerah komoditas. “Tapi kalau tidak ada dukungan pemerintah, hal ini tentu akan sulit. Pemerintah harus mulai memperhatikan untuk tidak hanya melakukan pembangunan di Jawa saja. Tapi juga di daerah lain di luar Pulau Jawa,” paparnya. ■ ed: khoirul azwar