BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kekerasan dalam Rumah Tangga 2.1.1. Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga Beberapa istilah yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga, Wife Abuse, Wife Bathering, Wife Beating, Spouse Abuse, Domestic Violance, Violance Against Women. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) “KEKERASAN” diartikan dengan perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik. Dengan demikian kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau unsur yang perlu di perhatikan adalah berupa paksaan atau ketidak relaan pihak yang dilukai. Sedangkan pengertian rumah tangga tidak dapat ditemukan dalam deklarasi PBB, namun secara umum dapat diketahui bahwa rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan. Yang dijumpai adalah pengertian “KELUARGA” yang tercantum dalam pasal 1 ke 30 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHP yaitu : keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajad tertentu atau hubungan perkawinan. Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasaan terhadap Perempuan mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat Universitas Sumatera Utara kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual,ataupun psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Pasal 2 menjelaskan kekerasan terhadap perempuan harus dipahami tak hanya terbatas pada tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dan perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan, dan praktik kekejaman tradisonal lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja dalam lembaga pendididkan dan sebagainya, perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan di benarkan oleh negara dimanapun terjadinya. (Rika,2009) 2.1.2 Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengatakan bahwa : setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman atau melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (1) Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Universitas Sumatera Utara Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul, melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya. (2) Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentarkomentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau, menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak. (3) Kekerasan seksual meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri. (4) Kekerasan ekonomi adalah setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri (Moerti, 2010). Cookfair (1996) mengungkapkan kekerasan terhadap perempuan terdiri dari (1) Kekerasan fisik (Physical Abuse) merupakan kekerasan yang dilakukan berulangulang seperti mendorong, mendesak, menampar, menendang, menyerang, dengan senjata, menahan, menolak, (2) Kekerasan emosional atau psikologis (Emotional Universitas Sumatera Utara Abuse) yang mungkin di dahului atau bersamaan dengan kekerasan fisik, seperti mengancam, atau melukai fisik, mengisolasi atau cemburu, merampas, mengintimidasi, menghina dan terus mengkritik, (3) Kekerasan seksual (Sexual Abuse) adalah pemaksaan seksual. Hasil penelitian Djannah dkk (2003) menambahkan dari ketiga bentuk kekerasan yang diatas adalah bentuk kekerasan ekonomi. Bentuk kekerasan ini seperti perilaku suami yang membatasi istri untuk bekerja, untuk menghasilkan uang, dan atau membiarkan istri bekerja untuk di eksploitasi atau menelantarkan keluarga dari tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Jadi ekonomi ini dapat menimpa istri yang bekerja maupun yang menjadi ibu rumah tangga. 2.1.3 Faktor yang Mendorong terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga Quratul uyun (2002) mengatakan bahwa faktor budaya patriarki yang mengganggap pria memiliki kekuasaan yang dominan mengakibatkan perasaan inferior bagi perempuan. Nevid (1997) sendiri menambahkan bahwa kekerasan yang terjadi menunjukan proses normalisasi strategi pria untuk menguasai wanita. Adapun faktor yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap kan oleh Moerti (2010); (1) Masalah keuangan, (2) Cemburu, (3) Masalah anak, (4) Masalah mertua, (5) Masalah Saudara, (6) Masalah sopan santun, (7) Masalah masa lalu, (8) Masalah salah paham, (9) Masalah tidak memasak, (10) Suami mau menang sendiri Universitas Sumatera Utara Sedikit berbeda dengan Hakimi dkk (2011) faktor pemicu tindak kekerasan justru terjadi karena hal yang sepele seperti tidak meyediakan makan yang tepat pada waktunya, tidak mampu merawat anak dan rumah dengan baik, menolak suami berhubungan seks, menanyakan pengeluaran ekonomi suami. Erni Sulastri (2003) menambahkan perselingkuhan, penolakan hubungan sex serta lingkungan menjadi faktor kekerasan dalam rumah tangga tersebut. 2.1.4 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Akibat dari kekerasan dapat mempengaruhi mental dan kesehatan fisik perempuan. Hal tersebut di kemukakan juga oleh Nevid dkk (1997) bahwa kekerasan terhadap istri menyebabkan depresi, harga diri rendah resiko luka fisik serta trauma sampai menyebabkan kematian. Lips (1998) menyatakan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga sering merasa menjadi orang yang tidak mampu (powerlessness) dan tak berdaya (helpness). Erni Sulastri (2003) mengatakan adanya rasa sakit bekas kekerasan fisik, sakit juga terasa pada daerah vagina perasaan cemas, takut tertekan dan kehilangan percaya diri hingga stress Hasbianto (1996) mengatakan bahwa secara psikologis tindak kekerasan terhadap istri mengakibatkan gangguan emosi, kecemasan dan depresi yang secara konsekwensi logis dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya. Yang menarik adalah gambaran diri perempuan sebagai korban kekerasan yang dianiaya secara verbal seperti dengan mengatakan bahwa ia memiliki arti, tolol, dan semua label lainnya, maka semakin perempuan melihat bahwa memang begitulah dirinya. Universitas Sumatera Utara Kekerasan yang terjadi pada perempuan bekerja selain berdampak pada dirinya juga pada lingkungan sekitarnya. Perlakuan kejam yang dialami para korban itu mengakibatkan timbulnya berbagai macam penderitaan seperti: (a). Jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit perut, (b) Menderita kecemasan, depresi, dan sakit jiwa akut, (c) Berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku, (d) Kemampuan menyelesaikan masalah rendah (e) kemungkinan keguguran dua kali lebih tinggi bagi korban yang hamil, (f) bagi yang menyusui, ASI sering kali terhenti akibat tekanan jiwa, (g) lebih berkemungkinan bertindak kejam terhadap anak, karena tidak dapat menguasai diri akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tidak menemukan jalan keluar (Erna, 2011) Hayati (2000) berpendapat bahwa kekerasan yang dialami oleh istri berdampak pada kesehatannya. Dampak kekerasan itu berupa kelainan fisik berupa kecacatan bahkan yang paling tragis bisa menimbulkan kematian. Secara psikologis berupa, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri , ketidakstabilan emosi serta rasa ketergantungan pada suami yang menyiksanya. Apabila ia memiliki anak kemungkinan anak dibimbing dengan kekerasan, peluang berlaku kejam pada anak akan semakin meningkat, anak dapat mengalami depresi, dan berpotensi untuk melakukan kekerasan terhadap pasangan nya ketika ia sudah dewasa seperti yang pernah dilihatnya. Bagi perempuan pekerja mempengaruhi kinerja nya di kantor, lebih banyak membuang waktu untuk mencari bantuan, cerita kepada teman, psikolog atau psikiater dan merasa takut kehilangan pekerjaan nya. Dan gangguan kesehatan reproduksi seperti terjadi nya abortus, kehamilan yang tak diingin kan bahkan Universitas Sumatera Utara aktivitas seksual yang dingin. Dampak yang paling sering tidak nampak dan berbekas berupa tekanan emosional dan gangguan aktifitas seksual (Kossek & Ozeki, 1998). Fatahillah (2002) mengatakan bahwa ada beberapa hambatan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yaitu : (1) Persepsi masyarakat Indonesia terhadap KDT menganggab bahwa itu adalah masalah pribadi, (2) Paradigma legalistik aparat penegak hukum yang belum memberikan perlindungan penuh terhadap korban, (3) Kekerasan fisik yang hanya jadi bukti akurat ada kekerasan dalam rumah tangga menyebabkan kekerasan yang lain terabaikan. 2.2 Perempuan Bekerja 2.2.1. Definisi Perempuan Bekerja Definisi perempuan bekerja menurut Encyclopedia Of Children’s Health, adalah seorang perempuan yang bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan disamping membesarkan dan mengurus anak dirumah dalam Lerner, (2001), juga menyebutkan bahwa perempuan bekerja adalah perempuan yang memiliki anak dari umur 0-18 tahun dan menjadi tenaga kerja. Menurut Ihromi (1990), perempuan bekerja adalah perempuan yang sudah bersuami dalam kehidupan atau kegiatan sehari-harinya bekerja di luar rumah mencari nafkah baik sebagai pegawai negri ataupun yang bekerja swasta. Hal ini juga di perkuat oleh Suryadi dalam Anoraga (2001) mengartikan perempuan bekerja sebagai perempuan yang bekerja untuk menghasilkan uang atau lebih cenderung pada pemanfaatan kemampuan jiwa atau karena adanya suatu Universitas Sumatera Utara peraturan sehingga memperoleh kemajuan dan perkembangan dalam pekerjaan, jabatan, dan lain-lain 2.2.2 Faktor Penyebab Perempuan Menikah Bekerja Motivasi untuk bekerja dengan mendapat penghasilan khususnya untuk perempuan golongan menengah tidak lagi hanya untuk ikut memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, melainkan juga untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang telah mereka peroleh serta untuk mengembangkan dan mengaktulisasikan diri (Ihromi, 1990). Pendapat ini di benarkan oleh Rini (2002) dengan mengatakan beberapa faktor yang mendorong wanita bekerja di luar rumah, yaitu : (1) Kebutuhan financial, faktor ekonomi umumnya menjadi alasan seorang wanita bekerja karena dengan penghasilan yang diperoleh, dapat memenuhi kebutuhan seharihari, (2) Kebutuhan sosial dan relasional, kebutuhan sosial-relasional merupakan kebutuhan akan penerimaan sosial, identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja, (3) Kebutuhan aktualisasi diri, bekerja merupakan salah satu jalan untuk mengaktualisasikan diri Maslow dalam Rini (2002) bahwa salah satu kebutuhan bagi manusia adalah aktualisasi diri. Dengan bekerja, seseorang dapat bekerja, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan diri dengan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menghasilkan sesuatu, mendapatkan penghargaan, penerimaan dan prestasi. Universitas Sumatera Utara Seringkali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak, membuat suami dan istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kondisi tersebut membuat sang istri tidak punya pilihan lain kecuali ikut mencari pekerjaan di luar rumah. Ada pula ibu-ibu yang tetap memilih untuk bekerja, karena mempunyai kebutuhan sosial yang tinggi dan tempat kerja mereka sangat mencukupi kebutuhan mereka tersebut. Dalam diri mereka tersimpan suatu kebutuhan akan penerimaan sosial, akan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. Bergaul dengan rekan-rekan di kantor, menjadi agenda yang lebih menyenangkan dari pada tinggal di rumah. 2.2.3 Konflik Peran Ganda pada Perempuan Bekerja Peran perempuan dalam kehidupan baik sebagai individu, istri, ibu maupun anggota masyarakat sangat lah komplek. Konflik peran disini bermakna sebagai gabungan dua atau lebih peran sehingga pemenuhan peran yang satu menghalangi peran yang lain. Perempuan yang berperan sebagai ibu lebih banyak konflik dari pada merek yang tidak memiliki anak. Hal ini disebabkan karena perempuan yang bekerja sebagai ibu merasakan peran yang berlebih (Barnet, 1985). Menurut Green House (dalam Irawati, 2008) mengatakan bahwa konflik peran perempuan bekerja merupakam intercole konflik. Hal ini terjadi karena apabila dalam keluarga dan pekerjaan membutuhkan perhatian yang sama dan saling dipenuhi, namun pemenuhan salah satu peran menghasilkan kesulitan pda peran yang lain. Reaksi emosional akan muncul biasanya disebabkan karena tidak dapat mengurus anak dengan sempurna. Universitas Sumatera Utara Th Dewi (2001) mengatakan bahwa konflik peran itu perempuan seringkali mengorbankan pekerjaan jika tuntutan keluarga semakin meningkat. Perempuan masih berfikir bahwa sebuah kesuksesan bukan hanya ditandai dengan uang dan prestise maka ia akan mundur dari pekerjaan demi keluarganya. Hal itu terjadi karena perempuan tak mau dianggap bersalah bila harus dinilai mementingkan karir dari pada keluarganya. Gejala merasa bersalah, gelisah, cemas, dan frustasi akan menurunkan kesehatan fisik maupun mental ibu (Wiyarini, 1998). Beberapa aspek yang menunjukan bahwa perempun bekerja mengalami konflik peran ganda seperti yang diungkapkan Sembel (2003), apabila kemampuan dalam mengendalikan perubahan dan merancang masa depan masih rendah, kebebasan financial yang diimpikan belum tercapai, pengelolaan waktu yang masih belum teratur, kesehatan fisik kurang diperhatikan, kecerdasan spiritual belum terasah dan manajeman kendali diri belum baik. Hal ini diperkuat oleh Fitri (2008) bahwa aspek yang memengaruhi konflik peran ganda adalah : (1) Masalah kehadiran anak, (2) Keterlibatan dalam keluarga, (3) Komunikasi dengan keluarga, (4) Mengelola waktu, (5) Penentuan prioritas, (6) Keterlibatan kerja. Sedangkan faktor yang memengaruhi konflik peran ganda dijelaskan oleh Rini (2002) adalah; (1) Faktor internal yaitu perasaan ibu, (2) Faktor eksternal yaitu dukungan suami, kehadiran anak dan masalah kerja. Universitas Sumatera Utara 2.2.4 Hubungan Kemandirian Perempuan Bekerja dengan Sikap terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga Tina afiatin (1993) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pendidikan formal tidak membawakan kesadaran beremansipasi karena wanita masih mengikuti pembatasan yang diadakan oleh nilai dan norma masyarakat. Menurut Saraswati (2000) terdapat suatu asumsi ketika perempuan menjadi mandiri secara ekonomi, maka perempuan akan mendapatkan kekuasaan yang sama dengan laki-laki. Pendapat tersebut didukung oleh Sulastri dan Retnowati (2003) yang melakukan studi eksploratif di Indra Mayu hasilnya menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab kekerasan suami terus berulang terhadap istri adalah karena istri tidak mempunyai kemandirian ekonomi. Perempuan yang mandiri secara ekonomi atau memiliki penghasilan sendiri akan otonom, bebas mengeluarkan pendapat dan memberi kritikan. Kemandirian yang di miliki istri akan mengarahkan sikap nya terhadap kekerasan yang di terima. Artinya semakin istri mandiri maka semakin dia menolak tindakan kekerasan terhadap diri nya (Arie, 2006). 2.3 Emosi 2.3.1. Definisi Emosi Emosi termasuk gejala jiwa yang dimiliki oleh semua orang, hanya corak dan tingkatnya tidak sama. Emosi berasal dari kata “emotus” atau “emovere” yang artinya sesuatu hal yang mendorong terhadap sesuatu yang lain, yang mempengaruhi keadaan reaksi psikologis dan fisiologis manusia seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan Universitas Sumatera Utara dan kecintaan (Depdikbud, 2001). Pengertian emosi menurut Goldeson (1970) adalah perasaan yang relatif menetap dalam diri seseorang. Perasaan tersebut biasanya mengarahkan perilaku seseorang dan perubahan fisiologik. Sementara itu, Prinz (2004) menjelaskan emosi dalam tiga pengertian : (1) Emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu, (2) Emosi adalah hasil proses persepsi terhadap situasi, (3) Hasil reaksi kognitif (berpikir) terhadap situasi spesifik. Definisi Emosi juga di utarakan oleh Goleman (1996) sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu atau setiap kegiatan mental yang hebat atau meluap-luap. Emosi merupakan tanggapan rasa sayang, marah, benci yang dialami individu dan menyatakan bahwa ada emosi yang membawa rasa enak atau menyenangkan, ada juga emosi yang menimbulkan rasa kurang menyenangkan. Menurut Morgan (1996), emosi terjadi disebabkan dua hal yaitu terhalangnya keinginan misalnya dapat menyebabkan marah dan tercapainya motivasi misalnya menyebabkan kesenangan. Hal yang sama diungkapkan oleh Maramis (dalam Sunaryo, 2004) emosi merupakan manifestasi perasaan atau afek yang keluar dan disertai banyak komponen fisiologik, dan biasanya tidak lama. Masih dalam pengertian yang sama Bimo Walgito (2004) emosi adalah suatu keadaan perasaan yang telah melampaui batas sehingga untuk mengadakan hubungan dengan sekitarnya mungkin terganggu. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu keadaan yang bergejolak dalam diri individu yang mempengaruhi keadaan reaksi Universitas Sumatera Utara psikologis dan fisiologis dan kecenderungan untuk bertindak manusia. 2.3.2 Hubungan Emosi dengan Gejala Jasmani Keadaan emosi seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilaku orang tersebut. Keadaan emosi seseorang dapat dilihat dari ekspresinya. Setiap individu senantiasa dalam keadaan bergaul, baik dengan sesamanya maupun dengan lingkungan nya. Dalam situasi pergaulan sosial itu memungkinkan timbulnya peristiwa emosi bagi setiap individu yang bersangkutan. Emosi normal akan mempunyai nilai yang berfaedah bagi kesehatan jasmani dan tingkah laku sosial yang pada umum nya disebabkan karena terlalu takut, emosi, cemas (Heri Purwanto, 1999). Menurut Abu (2003) gejala emosi tidak berdiri sendiri, melainkan bersangkut paut dengan gejala jiwa yang lain bahkan tak dapat dipisahkan. Adanya hubungan antara emosi dengan gejala kejasmanian diantara para ahli tidaklah terdapat perbedaan pendapat. Yang menjadi silang pendapat adalah mana yang menjadi sebab dan akibatnya. Bimo (2004) menceritakan tiga teori emosi yaitu: a. Teori L. Keeler Pada teori ini menghubungkan antara emosi dan gejala fisik yang dialami seseorang. Teori ini dikemukakan oleh L. Keeler yang mengatakan adanya hubungan emosi dengan gejala gejala jasmani tidak terdapat perbedaan pendapat. Yang menjadi silang pendapat adalah mana yang menjadi sebab dan akibatnya. b. Teori James-Lange Menurut teori ini emosi bergantung pada aktivitas otak atau sentral nya, reaksi jasmani bukan merupakan dasar dari emosi. Teori ini dikenal dengan teori pendekatan neurologis. Universitas Sumatera Utara c. Teori Schachter-Singer Teori ini mengatakan bahwa emosi yang dialami sesorang merupakan hasil interpertasi dari kondisi jasmani Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa emosi sangat berfungsi dan mempengaruhi dalam kehidupan manusia. Pengaruh emosi lebih terasa apabila manusia dihadapkan pada situasi lingkungan di sekitarnya. Fungsi dari emosi itu bisa menjadikan pengendali perilaku tetapi kadang juga bisa jadi penguat perilaku. Akan tetapi emosi juga bisa membuat individu lari dari kenyataan. 2.3.3 Pengelompokan Emosi Menurut Carol Wade ada tiga elemen emosi yaitu: a. Tubuh Manusia Para psikolog memiliki pandangan berbeda-beda mengenai emosi primer atau sekunder. Daftar emosi primer umumnya meliputi marah, takut, sedih, senang, terkejut, jijik dan sebal. Emosi tersebut memiliki pola psikologis yang berbeda dan menghasilkan ekspresi wajah yang berbeda. Situasi yang menimbulkan emosi tersebut bersifat umum di seluruh dunia, dimanapun manusia berada, kesedihan akan mengikuti persepsi kehilangan, rasa takut akan menghalangi persepsi ancaman atau disakiti, rasa marah akan mengikuti persepsi penghinaan atau ketidakadilan. Sebaliknya emosi sekunder meliputi semua variasi dan campuran berbagai emosi yang bervariasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya serta berkembang secara bertahap. Universitas Sumatera Utara b. Pikiran Banyak fakta menunjukan bahwa berfikir dapat mempengaruhi emosi dan hal tersebut sangat lah mengesankan. Saat seseorang berada dalam kondisi emosi yang tidak menyenangkan, mereka dapat mengunggunakan perasaan tersebut dan menganalisa ulang situasi dan persepsi mereka terhadap situasi tersebut.Emosi bukan lah faktor yang menghambat kemampuan berfikir kritis. Kegagalan berfikir kritislah yang menciptakan emosi. c. Budaya Budaya sangat mempengaruhi semua aspek pengalaman emosi,termasuk jenis emosi yang dikategorikan emosi primer. Budaya sangat mempengaruhi aturan bagaimana seseorang mengekpresikan perasaan nya yang dalam taraf kewajaran. d. Tambahannya adalah menggabungkan emosi dan gender Pria dan perempuan memiliki kemampuan yang sama untuk merasakan semua emosi mulai dari cinta, duka hingga marah. Kebanyakan pria terlihat lebih reaktif secara psikologis terhadap konflik dibandingkan perempuan. Namun kedua jenis kelamin ini terkadang memiliki perbedaaan persepsi yang menghasilkan emosi Goleman (2002) mengemukakan bahwa emosi dasar individu terbagi atas dua yaitu emosi dasar positif dan emosi dasar negatif. Emosi dasar positif merupakan perasaan yang membawa kenyamanan atau kesenangan bagi individu seperti : (1) Kenikmatan didalamnya meliputi bahagia, gembira, puas, riang, senang terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, terpesona, puas, rasa terpenuhi, girang, senang sekali, mania, (2) Cinta, didalamnya meliputi penerimaan, persahabatan, Universitas Sumatera Utara kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih sayang. Sedangkan emosi dasar negative merupakan perasaan yang tidak menyenangkan yang membawa ketidaknyamanan pada individu tersebut: 1) Marah Yaitu reaksi emosional yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, pengekangan diri, serangan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi yang kuat pada sistem saraf. Salah satu cara orang melampiaskan marah adalah dengan katarsis. Marah juga dapat diekspresikan dalam bentuk menyerang, melukai dan menghancurkan objek kemarahan. Ekspresi marah ditandai dengan adanya ciri-ciri kulit wajah yang memerah, sudut mata yang melebar, urat memerah dimata, kontraksi dan mengatupnya bibir, mengatupnya rahang, tangan yang mengepal, suara dan lengan yang gemetaran, jantung berdebar keras, dada terasa sesak, kepala seperti berdenyut, muka terasa panas, peredaran darah cepat, dan sukar berbicara. Didalamnya meliputi brutal, mengamuk, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan. 2. Kesedihan Merupakan suatu keadaan kemurungan, kesedihan, patah semangat yang ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang. Ekspresi sedih adalah menangis, apatis, tidak semangat dalam hidup, sering bernafas panjang sebagai respon dari kesedihannya, depresi dan bunuh diri. Di dalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram, Universitas Sumatera Utara melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi. 3. Takut Rasa takut adalah suatu reaksi emosional yang kuat, mencakup perasaan subjektif, penuh ketidaksenangan dan keinginan untuk melarikan diri atau bersembunyi, disertai kegiatan penuh perhatian. Ketakutan ini merupakan satu reaksi terhadap satu bahaya yang tengah dihadapi atau khawatir karena mengantisipasi satu bahaya. Ekspresi rasa takut adalah menjerit, melarikan diri, menghindar, pucat dan keringat, sembunyi, buang air dan muntah, lemas dan gemetar, nafas memburu, denyut jantung meningkat, air liur mengering, bulu roma ,berdiri, otot-otot menegang dan bergetar . Didalamnya meliputi cemas, takut, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, gugup, panik, dan fobia. 4) Rasa Bersalah Merupakan perasaan emosional yang berasosiasi dengan realisasi bahwa seseorang telah melanggar peraturan sosial, moral atau etis dan susila. Rasa bersalah diekspresikan lewat proyeksi atau isolasi diri, menderita dan tidak dapat menyesuaikan diri, menebus kesalahan di depan umum, menggunakan apa yang dirasakan, permintaan maaf, mengambil hati orang yang menyebabkan kita merasa bersalah atau bunuh diri. Di dalamnya meliputi perasaan menyesal, tertekan atau perasaan tersiksa. 5) Jijik atau Muak Merupakan suatu sikap yang sangat menolak atau menentang, penuh sakit hati serta ada keinginan yang kuat untuk menimbulkan derita pada objek yang tidak Universitas Sumatera Utara disukai. Ekspresi jijik atau muak yaitu bibir atas memonyong ke samping sedang hidung mengerut sedikit, menutup cuping hidung atau meludahkan makanan, senyum menyeringai atau isolasi dari masyarakat. Rasa jijik atau muak memunculkan pola reaksi yang kaku, muntah, menghindari kontak dengan substansi yang menyebabkan rasa jijik atau muak, sulit untuk menyenangi atau menghargai apa yang orang lain, secara individu atau normatif dalam budaya atau sub budaya lain, adalah menyenangkan atau berharga. Emosi jijik atau muak menghalangi hubungan sosial, keinginan seksual dan kesenangan lain, dan dapat mendorong untuk menghindari sekumpulan situasi pengalaman-pengalaman yang tidak menjijikkan/memuakkan bagi orang lain. Didalamnya meliputi hina, benci, mual, tidak suka, dan mau muntah. 6) Malu Merupakan suatu kondisi kegelisahan, tidak menyenangkan dan terhambat, disebabkan oleh kehadiran orang lain. Rasa malu diekspresikan dengan bersembunyi, menghindari orang yang membuat kita merasa malu, menyembunyikan kebenaran, bunuh diri, mengucilkan diri dari hubungan sosial, sulit menjalin persahabatan atau bertemu dengan orang lain yang baru dikenal, sulit mengatakan perasaan, tidak berani memprotes pandangan orang lain yang salah mengenai dirinya, enggan memperlihatkan kemampuannya, menunduk dan terlalu kaku. Didalamnya meliputi malu hati, hina, aib, dan hati hancur lebur. Menurut Johana (2006) hanya pada emosi malu terlihat perbedaan penilaian antara perempuan dan laki-laki. Universitas Sumatera Utara 2.3.4. Pengertian Kestabilan Emosi Menurut Najati (2000) bahwa kestabilan emosi adalah tidak berlebih-lebihan dalam pengungkapan emosi,karena emosi yang diungkapkan secara berlebih-lebihan bisa membahayakan kesehatan fisik dan psikis manusia. Hurlock (1980) berpendapat bahwa kestabilan emosi memiliki beberapa kriteria-kriteria yaitu : (1) Emosi yang secara sosial dapat diterima oleh lingkungan sosial. Individu yang emosinya stabil dapat mengontrol ekspresi emosi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial atau dapat melepaskan dirinya dari belenggu energi mental maupun fisik yang selama ini terpendam dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya, (2) Pemahaman diri, individu yang punya mosi stabil mampu belajar mengetahui besarnya kontrol yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya, serta menyesuaikan diri dengan harapan-harapan sosial, bersikap empati yang tinggi terhadap orang lain, (3) Penggunaaan kecermatan mental. Individu yang stabil emosinya mampu menilai situasi secara cermat sebelum memberikan responnya secara emosional. Kemudian individu tersebut mengetahui cara yang tepat untuk bereaksi terhadap situasi tersebut. 2.3.5 Faktor- Faktor yang Memengaruhi Kestabilan Emosi Menurut Hurlock (1995) faktor yang memengaruhi kestabilan emosi adalah: a. Fisik Kalau seseorang dalam kondisi sehat secara jasmani maka akan cenderung untuk tidak mudah marah dan cepat tersinggung. Individu akan merasa nyaman dan tentram dalam kondisi jasmaniahnya yang sehat. Tapi individu menjadi cepat marah Universitas Sumatera Utara dan cepat tersinggung bila ada salah satu angota badanya kurang sehat. secara medis. Hal ini disebabkan karena ada sesuatu kekurangan yang dirasakan oleh individu, dan hal ini membuat individu merasa tidak nyaman. Pada perempuan bekerja seperti yang di jelaskan diatas, karena aktivitas yang tinggi di kantor menyebabkan kelelahan di rumah. b. Kondisi Lingkungan Adalah kondisi lingkungan tempat individu berada. Lingkungan yang bisa menerima kehadiran individu dan individu mudah diterima pada lingkungan tersebut akan membuat individu mengalami kestabilan dalam emosi. Akan tetapi bila lingkungan tidak bisa menerima kehadiran individu maka individu merasa tidak dianggap oleh lingkungan dan hal ini menyebabkan individu merasa tidak berhargai dan terhina. Lingkungan yang tidak nyaman karena selalu dengan kekerasan membuat perempuan semakin tertekan. c. Faktor Pengalaman Melalui pengalaman individu bisa mengetahui bagaiman anggapan orang lain tentang berbagai bentuk ungkapan emosi. Individu akan mempelajari bagaimana cara mengungkapkan emosi yang bisa diterima oleh lingkungan sosial dan bagaimana ungkapan emosi yang tidak diterima. Hal ini berkaitan dengan kondisi norma budaya setempat. Individu harus bisa mampu mempelajari kondisi lingkungan tempat dia berada. Antara satu daerah dengan daerah yang lain tidak sama adat istiadatnya. Pengalaman dari hari ke hari atas kekerasan membuat emosi makin tidak stabil. Universitas Sumatera Utara 2.3.6 Reaksi Emosional yang Umum Terjadi pada Saat Stress a. Ketakutan adalah reaksi emosional yang mengikut sertakan ketidaknyamanan psikologis dan rangsangan fisik apabila kita merasa terancam b. Fobia adalah ketakutan yang insentif dan irasional yang dikaitkan dengan kejadian dan situasi khusus. c. Ansietas adalah perasaan ketidaknyamanan yang tidak jelas atau samar-samar yang seringkali melibatkan ancaman yang relative tidak jelasatau tidak spesifik. d. Kemarahan khususnya ketika seseorang menerima suatu keadaan sebagai keadaan yang membahayakan atau frustasi. 2.3.7. Dampak Emosi pada Perempuan yang Mengalami Kekerasan Rumah Tangga Seperti yang di sebutkan diatas tadi bahwa fisik, lingkungan dan pengalaman adalah mempengaruhi emosi perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Hal itu diperkuat dengan Johana (2006) bahwa perempuan profesional yang bekerja mampu menangkap dan mengartikan dan menilai emosi dasar manusia seperti jijik, marah, sedih, takut,senang dan terkejut, namun perempuan menilai rasa malu lebih intens dari pada pria. Hampir semua emosi negatip mewakili perasaan yang timbul akibat kekerasan yang dialami nya. Emosi itu bercampur aduk sehingga mengakibatkan ketidakstabilan emosi. Apabila ketidakstabilan emosi itu di biarkan akan berujung pada kecemasan, stress, depresi bahkan tindakan ingin bunuh diri. Universitas Sumatera Utara A. Kecemasan Kecemasan berkaitan dengan tidak pasti dan tidak berdaya, keadaan emosi ini tidak mempunyai obyek yang spesifik. Kecemasan berbeda dengan rasa takut, yang merupakan intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Perbedaan rasa takut dan kecemasan, ketakutan adalah merasa gentar atau tidak berani terhadap objek (Kartini Kartono, 1998). Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam realitas, kepribadian masih utuh namun perilaku masih dalam batas normal (Dadang hawari, 2011). 1. Ciri Kepribadian Pencemas Seseorang akan menderita gangguan cemas mana kala yang bersangkutan tidak mampu mengatasi stressor psikososial yang dihadapinya. Tetapi orang-orang tertentu meskipun tidak ada stressor psikososial, yang bersangkutan menunjukkan kecemasan juga, yang ditandai dengan corak atau kepribadian pencemas, yaitu antara lain : (1) Memandang masa depan dengan was-was, (2) Kurang percaya diri, gugup apabila tampil dimuka umum, (3) Sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain, (4) Tidak mudah mengalah, (5) Gerakan sering serba salah, (6) Sering kali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), Khawatir yang berlebihan terhadap penyakit, (7) Mudah tersinggung, (8) Suka membesar-besarkan masalah yang kecil, (9) Dalam mengambil keputusan, sering mengalami rasa bimbang dan ragu, (10) Bila mengemukakan sesuatu atau bertanya sering kali berulang-ulang (11) Kalau sedang emosi sering kali bertindak histeris (Dadang Hawari, 2011) Universitas Sumatera Utara 2. Jenis Tingkat Kecemasan Stuart (2007) mengidentifikasi ansietas (cemas) dalam 4 tingkatan, setiap tingkatan memiliki karakteristik dalam persepsi yang berbeda, tergantung kemampuan individu yang ada dan dari dalam dan luarnya maupun dari lingkungannya, tingkat kecemasan atau pun ansietas yaitu : a. Cemas Ringan : cemas yang normal menjadi bagian sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. b. Cemas sedang : cemas yang memungkinkan sesorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang tidak penting. c. Cemas berat : cemas ini sangat mengurangi lahan persepsi individu cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berfikir pada hal yang lain. Semua prilaku ditunjukkan untuk mengurangi tegangan individu memerlukan banyak pengesahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain. d. Panik : Tingkat panik dari suatu ansietas berhubungan dengan ketakutan dan mampu melakukan suatu walaupun dengan pengarahan, panik mengakibatkan disorganisasi kepribadian, dengan panik terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran Universitas Sumatera Utara yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian (Stuart & Sundent, 2000). Kecemasan dapat menyebabkan penurunan frekuensi, kekuatan, dan ketertarikan dalam interaksi komunikasi pada individu sehingga individu memiliki keengganan dalam berkomunikasi. Kecemasan yang tinggi menghindari situasi komunikasi, namun saat individu didorong untuk berpartisipasi, individu tersbut akan berkomunikasi sesedikit mungkin. Individu-individu yang mengalami kecemasan yang tinggi akan merasa kurang puas dengan pekerjaan mereka, mungkin karena mereka kurang berhasil dalam membangun hubungan–hubungan interpersonal. Semua perilaku ini tidak mengartikan bahwa kecemasan terjadi pada orang yang tidak bahagia. Kebanyakan individu yang cemas telah belajaratau dapat belajar untuk menangani kecemasan berkomunikasi mereka. Ciri-ciri kecemasan menurut DSM IV yaitu perasaan ketakutan, terganggu konsentrasi, merasa tegang dan gelisah, antisipasi yang buruk, cepat marah dan resah, merasakan ada tanda bahaya, jantung berdebar, berkeringat, mual atau pusing, peningkatan frekwensi buang air besar, sesak nafas, ketegangan otot, sakit kepala dan kelelahan serta insomnia. Universitas Sumatera Utara B. Stress 1. Definisi Stres Stress adalah interaksi antara individu dan lingkungan yang ditandai oleh ketegangan emosional dengan berpengaruh terhadap kondisi mental dan fisik seseorang. Stress adalah sebagai ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan respon di bawah suatu kondisi dimana kegagalan sejalan dengan tuntutan yang mempunyai konsekuensi penting (Jefrey, 2003) Menurut Dadang Hawari (2001) stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stressor psikososial. Secara umum Sunaryo (2004) stres adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan dan emosional. Stres juga merupakan suatu kekuatan yang mendesak atau mencekam yang menimbulkan ketegangan dalam diri seseorang. Di kuatkan oleh Zulfan (2012) bahwa stress merupakan reaksi tubuh dan psikis terhadap tuntutan lingkungan kepada seseorang 2. Penggolongan Stress Menurut Sri kusmiati (dalam Sunaryo,2004)dapat di golongkan: a. Stress fisik, disebabkan oleh suhu atau temperatur yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, suara amat bising, sinar yang terlalu terang atau tersengat arus listrik. b. Stress kimiawi, disebabkan oleh prose kimiawi, gas beracun, hormone, obatobatan. c. Stress mikrobiologik, disebabkan virus, bakteri dan parasit. d. Stress Psikis dan emosional disebabkan oleh gangguan interpersonal,sosial, budaya dan agama. Universitas Sumatera Utara Selye (dalam Abdul, 2011) menggolongkan stres menjadi dua golongan ; a. Distress (stres negatif) Selye menyebutkan distress merupakan stres yang merusak atau bersifat tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya. b. Eustress (stres positif) Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Hansaon (dalam Rice, 1992) mengemukakan frase joy of stress untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang timbul dari adanya stres. Eustress dapat mengakibatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi, dan performansi individu. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya karya seni. 3. Faktor Predisposisi Stress Berbagai jenis unsur mempengaruhi bagaiman seseorang individu merasakan dan merespons suaty peristiwa yang menimbulkan stress. Faktor predisposisi ini sangat berperan dalam menentukan apapun suatu respon adaptif atau maladaptif. Jenis faktor predisposisi adalah genetik, pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini. Pengaruh genetik adalah keadaan kehidupan seseorang yang memperoleh keturunan. Pengalaman masa lalu adalah kejadian yang menghasilkan suatu pola pembelajaran yang dapat mempengaruhi respon penyesuaian individu, termasuk pengalaman sebelumnya terhadap tekanan stress tersebut atau tekanan lainnya. Universitas Sumatera Utara Kondisi saat ini yang meliputi faktor kerentanan yang mempengaruhi kesiapan fisik, psikologis, dan sumber sosial individu untuk menghadapi tuntutan nya (Ermawati,2010) 4. Penyebab Stress Taylor (dalam Abdul, 2011) merinci beberapa karakteristik kejadian yang berpotensi dan dinilai dapat menciptakan stress yaitu : a. Kejadian negative agaknya lebih banyak menimbulkan stress dari pada kejadian positip. b. Kejadian yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi lebih membuat strss daripada kejadian terkontrol dan terprediksi. c. Manusia yang tugasnya melebihi kapasitas lebih mudah mengalami stress dari pada orang yang lebih sedikit. Sunaryo (2004) mengatakan faktor yang mempengaruhi stress: (a) Faktor biologis:konsitusi tubuh, kondisi fisik, neurofisiologik dan neurohormonal, (b) faktor psikoedukatif yaitu perkembangan kepribadian, pengalaman dan kondisi lain yang mempengaruhi. Berbeda dengan Maramis (dalam Sunaryo,2004) sumber stress psikologik adalah frustasi, konflik, tekanan dan krisis. 5. Kemampuan Individu Menahan Stress Setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menahan stress. Hal ini bergantung pada (1) sifat dan hakikat stress; yaitu intensitas, lamanya, lokal dan umum,(2) Sifat Individu yang terkait proses adaptasi. Menurut Prof. Dadang Universitas Sumatera Utara Hawari (2001) bahwa stress apabila ditinjau dari tipe kepribadian individu dibedakan menjadi dua macam yaitu : 1. Tipe yang rentan Mempunyai ciri; ambisius, agresif, kompetitif yang kurang sehat, banyak jabatan rangkap, emosional, terlalu percaya diri, self kontrol yang kuat, sifat kaku, terlalu waspada, organisatoris, leader, workaholic, kurang rileks dan sering terburu-buru, Kurang ramah dan sulit dipengaruhi, tak mudah bergaul 2. Tipe yang Kebal Mempunyai ciri: ambisi nya wajar,berkompetisi secara sehat, tidak agresif, cara bicara tenang, tidak memaksakan diri dalam menghadapi tantangan, mudah bergaul dan ramah. 6. Gejala dan Tanda-Tanda Stress a. Fisik, yaitu mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otototot tegang, sakit kepala, gelisah, dan lain-lain. b. Perilaku yaitu perasaan bingung, cemas, sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, serta kehilangan semangat. c. Watak dan kepribadian yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri, dan lain-lain. d. Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung, suasana hati mudah berubahubah, mudah menangis dan depresi, gugup. e. Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit berkonsentrasi, suka melamun berlebihan. Universitas Sumatera Utara f. Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, menutup diri secara berlebihan (Cooper, 1995). Sering berkemih dan libido menurun ditambah kan oleh Dadang hawari (2011). 7. Tahap-Tahap Stress a. Tahap peringatan : ada respon fisiologis yang rumit yang dialami adanya stresor,. munculnya ketegangan otot, detak jantung meningkat. b. Tahap resistensi : tubuh menggunakan seluruh kemampuannya untuk melawan reaksi stress. c. Tahap kelelahan : sumber daya habis, resistensi menurun. Penyakit atau kematian datang. C. Depresi 1. Definisi Depresi Depresi adalah gangguan mental umum yang menyajikan dengan mood depresi, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, tidur terganggu atau nafsu makan, energi rendah, dan hilang konsentrasi. Masalah ini dapat menjadi kronis atau berulang dan menyebabkan gangguan besar dalam kemampuan individu untuk mengurus tanggung jawab sehari-harinya (WHO, 2011). Episode depresi biasanya berlangsung selama 6 hingga 9 bulan, tetapi pada 15-20% penderita bisa berlangsung selama 2 tahun atau lebih. Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada Universitas Sumatera Utara pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri. Depresi juga merupakan sebuah kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP ( Kaplan, 2007). Hal Ini diperkuat oleh Abdul Nasir (2011) Depresi adalah keadaaan emosional yang ditandai kesedihan yang sangat, perasaan bersalah, menarik diri, kehilangan minat tidur dan melakukan hubungan sex juga hal yang menyenangkan lainnya. Orang yang mengalami depresi memiliki cirri: (a) Sulit berkonsentrasi, kata monoton, suara pelan, (b) Memilih untuk sendirian dan berdiam diri, atau justru tak bisa diam, (c) Sulit menemukan solusi permasalahan. 2. Penyebab Depresi Dasar penyebab depresi yang pasti tidak diketahui, banyak usaha untuk mengetahui penyebab dari gangguan ini. Menurut Kaplan, faktor-faktor yang dihubungkan dengan penyebab depresi dapat dibagi atas: faktor biologi, faktor genetik dan faktor psikososial. Dimana ketiga faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. a. Faktor Biologi Faktor neurotransmiter: Dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Norepinefrin hubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor B-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti Universitas Sumatera Utara lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak reseptor reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Dopamin juga sering berhubungan dengan patofisiologi depresi. Faktor neurokimia lainnya seperti gamma aminobutyric acid (GABA) dan neuroaktif peptida (vasopressin dan opiate endogen) telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood, b. Faktor Genetik Data genetik menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan mood adalah genetik. Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat pada anak, pada anak kembar monozigot adalah 50%, sedangkan dizigot 10-25% (Sadock & Sadock, 2010). Menurut penelitian Hickie et al., menunjukkan penderita late onset depresi terjadi karena mutasi pada gene methylene tetrahydrofolate reductase yang merupakan kofaktor yang terpenting dalam biosintesis monoamin. Mutasi ini tidak bisa diketemukan pada penderita early onset depresi . c. Faktor Psikososial Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan dimana suatu pengamatan klinik menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan sering mendahului episode gangguan mood. Suatu teori menjelaskan bahwa stres yang menyertai episode pertama akan menyebabkan perubahan fungsional neurotransmitter dan sistem pemberi tanda intra neuronal yang akhirnya perubahan Universitas Sumatera Utara tersebut menyebabkan seseorang mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita gangguan mood selanjutnya. Faktor kepribadian premorbid menunjukkan tidak ada satu kepribadian atau bentuk kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap depresi. Semua orang dengan ciri kepribadian manapun dapat mengalami depresi, walaupun tipe kepribadian seperti dependen, obsesi kompulsif, histironik mempunyai risiko yang besar mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya. Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik : Freud (1917) menyatakan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa kemarahan orang depresi diarahkan kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk melepaskan diri terhadap objek yang hilang . Menurut penelitian Bibring mengatakan depresi sebagai suatu efek yang dapat melakukan sesuatu terhadap agresi yang diarahkan kedalam dirinya. Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan mengakibatkan mereka putus asa. Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada depresi. Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada depresi yang disebut sebagai triad kognitif, yaitu pandangan negatif terhadap masa depan, pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh, pemalas, tidak berharga, dan pandangan negatif terhadap pengalaman hidup. Universitas Sumatera Utara 3. Tanda dan Gejala Depresi Pada penderita depresi dapat ditemukan berapa tanda dan gejala umum menurut Diagnostic Manual Statistic IV (DSM-IV): Perubahan yang terjadi meliputi : a. Perubahan Pikiran : Merasa bingung, lambat dalam berfikir, penurunan konsentrasi dan sulit mengungat informasi, sulit membuat keputusan dan selalu menghindar, kurang percaya diri, merasa bersalah dan tidak mau dikritik,ď€ pada kasus berat sering dijumpai adanya halusinasi ataupun delusi, adanya pikiran untuk bunuh diri. b. Perubahan Perasaan : Penurunan ketertarikan ddengan lawan jenis dan melakukan hubungan suami istri,merasa bersalah, tak berdaya, tidak adanya perasaan,merasa sedih, Sering menangis tanpa alasan yang jelas iritabilitas, marah, dan terkadang agresif, c. Perubahan pada Kebiasaan Sehari-hari : Menjauhkan diri dari lingkungan sosial, pekerjaanm menghindari membuat keputusan, menunda pekerjaan rumah,penurunan aktivitas fisik dan latihan, penurunan perhatian terhadap diri sendiri,peningkatan konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang (American Psychiatric Association, 2000) D. Bunuh Diri Gangguan mood sering di hubungkan dengan bunuh diri. Meski perempuan cenderung untuk lebih banyak mencoba bunuh diri,sebenarnya banyak laki-laki yang berhasil, mungkin karena mereka lebih memilih cara mematikan yang mengerikan.Orang yang mencoba bunuh diri sering mengalami depresi namun masih Universitas Sumatera Utara kontak dengan realitas. Niat bunuh diri biasanya mengindikasikan bahwa individu memahami sifat fisik dan konsekuensi dari tindakan merusak diri (Jefrey, 2003). 2.4. Aktivitas Seksual 2.4.1 Aktivitas a. Pengertian Aktivitas Dari segi biologis semua makhluk hidup mulai dari binatang sampai dengan manusia, mempunyai aktivitas masing-masing. Manusia sebagai salah satu makhluk hidup mempunyai bentangan kegiatan yang luas, sepanjang kegiatan yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan, berbicara, bekerja, menulis, membaca, berpikir dan seterusnya. Secara singkat aktivitas manusia tersebut dikelompokkan menjadi 2 yaitu: a) Aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain misalnya: berjalan, bernyanyi,tertawa dan sebagainya. b) Aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar) misalnya berpikir, berfantasi, bersikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005). Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. perilaku dikatakan wajar apabila ada penyesuaian diri yang diselaraskan peran manusia sebagai makhluk ndividu, sosial dan berketuhanan (Purwanto, 1999). Aktivitas atau perbuatan manusia tidak terjadi secara sporadic (timbul dan hilang pada saat-saat tertentu), tetapi selalu ada kelangsungan kontinuitas antara satu perbuatan dengan Universitas Sumatera Utara perbuatan berikutnya. Tiap-tiap perilaku selalu mengarah pada suatu tugas tertentu. Keunikan perilaku berbeda dari yang lainnya. Jadi tiap-tiap manusia memiliki ciriciri, sifat-sifat tersendiri yang membedakan dari manusia lainnya. Pengalamanpengalaman masa lalu dan aspirasi-aspirasinya untuk masa yang akan datang menentukan perilaku dimasa kini dan arena tiap orang mempunyai pengalaman dan aspirasi yang berbeda-beda, maka perilaku di masa kini pun berbeda-beda (Purwanto,1999). b. Faktor- Faktor yang Memengaruhi Aktivitas Menurut teori Abraham Maslow pembentukan perilaku manusia adalah akibat kebutuhan dalam diri, seperti kebutuhan fisiologis, rasa aman, harga diri, sosial, dan aktualisasi diri. Apabila usaha dalam memenuhi kebutuhan yang tercapai, maka orang tak mengalami ketegangan dan mengarah pada kebahagiaan. Namun sebaliknya saat usaha pemenuhan kebutuhan tidak tercapai akan membuat seseorang mengalami frustasi terhadap unsure kebutuhan nya. Frustasi atau kekecewaaan yang berkepanjangan dialami akan mempengaruhi emosi dan perilaku. (Namora,2010). 2.4.2. Seksual a. Definisi Seksual Seksual adalah rangsangan-rangsangan atau dorongan yang timbul berhubungan dengan seks (Eny, 2012). Tiga elemen dimensi pribadi yang terkait seksualitas adalah harga diri, kemampuan berkomunikasi dan kemampuan mengambil keputusan. Seksualitas bukan semata-mata bagian intrinsik dari seseorang tetapi juga meluas sampai berhubungan dengan orang lain. Keintiman dan kebersamaan fisik merupakan kebutuhan Universitas Sumatera Utara sosial dan biologis sepanjang kehidupan. Kesehatan seksual telah didefinisikan sebagai pengintegrasian aspek somatik, emosional, intelektual dan sosial dari kehidupan seksual, dengan cara yang positif memperkaya dan meningkatkan kepribadian, komunikasi dan cinta. Seks juga digunakan untuk memberi label jender, baik seseorang itu pria atau wanita. Seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang di lakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, senggama seksual dan melalui perilaku yang lebih halus seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpelukan dan perbendaraan kata. Jadi Hubungan seksual merupakan dalam keluarga merupakan puncak keharmonisan dan kebahagiaan, oleh karena itulah kedua belah pihak harus menikmati nya ( Ida bagus, 2002). b. Empat Aspek dalam Seksualitas Tujuan dari seksualitas adalah prokreasi artinya meneruskan keturunan dan rekreasi atau memperoleh kenikmatan biologis. Menurut Elffa (2010) ada empat kerangka fikir Dixxon Muller terhadap aspek seksualitas ini yaitu : 1. Pasangan seksual terdiri dari ; a. Jumlah pasangan sex, saat ini maupun dimasa lampau terikat atau tidak terikat pernikahan. b. Lama satu hubungan seks baik teikat atau tidak terikat perkawinan. 2. Tindakan Seksual terdiri dari ; a. Naluri alamiah yaitu hubungan sesame atau berbeda jenis, penetrasi atau tidak, oral atau anal b. Frekwensi yaitu seberapa sering Universitas Sumatera Utara c. Latar belakang suatu hubungan yaitu terpaksa, sukarela atau suka sama suka 3. Makna seksual artinya perempuan tidak boleh lebih agresif dari laki-laki 4. Dorongan dan kenikmatan seksual: persepsi tentang kenikmatan seksual Ditambahkan oleh Ayu (2011) bahwa hormone estrogen, progesterone dan gonadotropin mempengaruhi seksualitas seseorang 2.4.3 Aktivitas Seksual Sugeng (2010) mengatakan bahwa ada tiga faktor yang mengakibatkan disharmoni pada kehidupan seksual suami istri yaitu hambatan komunikasi, kurang nya pengetahuan seksualitas, gangguan fungsi seksual suami atau istri atau keduanya.Sehingga keadaan tersebut berpengaruh pada aktivitas seksual pasangan tersebut. Perilaku (aktivitas) seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentukbentuk aktivitas ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Maramis (dalam Sunaryo, 2004) perilaku seks ini dapat menyesuaikan diri, bukan saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga dengan kebutuhan individu mengenai kebahagian, perwujudan diri sendiri atau peningkatan kemampuan individu untukmengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik. Dikuatkan oleh Kartini Kartono (1989) yang dimaksud perilaku seksual yang normal mengandung pengertian sebagai berikut: (1) Hubungan seksual yang tidak menimbulkan efek-efek merugikan,baik bagi diri sendiri maupun bagi patnernya, (2) Tidak menimbulkan konflik psikis, tidak bersifat paksaan atau perkosaan. Universitas Sumatera Utara Perilaku seksual yang bertanggung jawab mengandung pengertian bahwa kedua belah pihak menyadari akan konsekwensinya dan berani memikul tanggung jawab terhadapnya,serta mewajibkan manusia melakukan seks melalui ikatan perkawinan yang syah. Siti Chandra (2009) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi aktifitas seksual yaitu(1) Genetika dan hormonal, (2) Pelajaran awal dalam keluarga, (3) Keluarga dan teman, (4) Media massa, (5) Pengalaman kekerasan dalam rumah tangga, (6) Psikologis seperti depresi, ketakutan, (7) Penyakit fisik, (8) Citra tubuh, (9) Proses menua, (10) Kehamilan dan menyusui 2.4.4. Senggama Dalam bahasa Latin, senggama di sebut juga dengan Coitus. Senggama merupakan ekspresi emosional dan fisik dari hubungan yang dilandasi dengan kasih sayang. Pada awal perkawinan, senggama dilakukan satu atau beberapa kali sehari. Namun dua tiga tahun pertama menjadi dua atau tiga kali seminggu hingga mencapai usia 35 tahun. Mendekati setengah baya frekwensi senggama berkurang menjadi sekali seminggu. Tapi kesemuanya itu bervariasi tergantung dari masing-masing individu (Derek, 1997). 2.4.5 Orgasme pada Perempuan Siti Chandra (2009) mengatakan dalam melakukan aktivitas seksual itu perempuan akan mengalami orgasme bila ia ikut menikmati nya. Tahapan untuk mencapai orgasme adalah: 1. Tahap gairah ; perempuan mulai merasakan keinginan untuk berhubungan seks Universitas Sumatera Utara 2. Tahap Pendataran ; Ditandai dengan pelumasan vagina dalam 10-30 detik, 2/3 bagian dalam vagina membesar, uterus tertarik keatas, labia mayora menipis, klitoris membengkak, putting susu tegak. 3. Tahapan Orgasme ; Ditandai dengan ketengangan seksual, ukuran vagina mengecil 30%, klitoris mengalami ereksi secara meningkat, warna labia bertambah pekat, areola makin membengkak, ukuran payudara meningkat 2030% bagi yang belum memiliki anak, tapi bila sudah memiliki anak tidak ada peningkatan lagi, detak jantung meningkat, adanya suatu tanda peningkatan dalam besarnya tegangan seksual pada paha dan pantat, dan wanita secara penuh siap untuk melakukan hubungan seksual. 4. Tahap Resolusi; Ditandai dengan vagina kembali ke kondisi normal, klitoris dan puting susu menjadi begitu sensitif, gelora sex menghilang, banyaknya peluh dan nafas sesak, jantung berdebar lebih kencang. Jika orgasme tak terjadi wanita tidak beraksi sama sekali Menurut penelitian yang dilakukan sejauh ini, rata-rata waktu untuk klimaks bagi seorang wanita bervariasi, namun berkisar antara 12-25 menit. Namun, sebanyak 60-70 persen wanita normal banyak yang tidak dapat mencapai orgasme melalui penetrasi semata. Meski demikian, penting untuk diketahui bahwa para wanita masih menikmati penetrasi. Menurut artikel yang pernah terbit di The Journal of Sexual Medicine, dari 33 sex theraphist asal Amerika Serikat dan Kanada pada 2008, durasi normal bercinta bukanlah semalam suntuk, namun antara 7 hingga 13 menit, angka ini di luar aktivitas foreplay. Penelitian yang dilakukan secara acak pada pria dan Universitas Sumatera Utara wanita ini juga mengungkap bahwa penetrasi kurang dari 7 menit dianggap terlalu cepat, sedangkan di atas 13 menit dianggap terlalu lama.Walaupun begitu, menurut dr. Eric Corty, salah seorang seksolog yang terlibat dalam penelitian tersebut, angkaangka dalam penelitian itu bukanlah hitungan baku. Hal itu tergantung pada pasangan masing-masing. Bisa saja angkanya berubah. Yang jelas, “kebutuhan setiap orang akan durasi di tempat tidur berbeda pada setiap orang,”jelas dr.Eric. Penelitian itu juga bertujuan untuk menenangkan pasangan yang masih memiliki anggapan bahwa hubungan seks yang sehat adalah yang dapat bertahan lama. Anggapan semacam itu hanya akan berujung pada kekecewaandan ketidakpuasan. Menurut seksolog Prof.Dr. dr. Alex Pangkahila,M.Sc,Sp.And, durasi seks normal di Indonesia tidak jauh dari penelitian yang dilakukan dr.Eric. “Mulai dari permulaan hingga orgasme sekitar 30 hingga 45 menit dengan variasi masa penetrasi yang berbeda,”ungkap dr.Alex. Durasi seks wanita hingga mencapai ‘puncak’ berbeda-beda. Hal itu tergantung pada banyak hal, seperti konteks, mood, psikis, fisik, faktor sosiokultural, lingkungan, dan berbagai faktor lain. Menurut dr. Alex, dalam hubungan seks yang terpenting bukanlah durasi, melainkan kualitas dari aktivitas seksual tersebut bagi kedua pihak. “Intinya, bagaimana pria dan wanita sama-sama bisa mencapai puncak,” jelas dr. Alex. 2.4.6. Motivasi Seksual Seorang perempuan memilih untuk menerima rangsangan seksual harus dibarengi dengan faktor kedekatan emosional. Faktor biologis dan psikologis ini Universitas Sumatera Utara mempengaruhi pikiran terhadap rangsangan sehingga menimbulkan minat melakukan aktifitas seksual. Penelitian Psikologi telah berhasil menghilangkan pemahaman yang tidak masuk akal bahwa perempuan ‘baik-baik ‘ tidak boleh mengalami orgasme. (Carole wade dkk, 2002). Saat itu kebanyakan orang meyakini bahwa perempuan tidak memiliki motivasi seksual yang setara dengan laki-laki.Karena perempuan lebih memperdulikan afeksi dibandingkan kepuasan seksual. Sesungguhnya persepsi untuk melakukan aktifitas sexual tersebut di control oleh otak. Adapun motif yang mendasari hubungan seks adalah : (1) Enhancement yaitu kepuasan emosional dan fisik, (2) Intimacy yaitu keintiman emosional, (3) Coping atau menghadapi emosi negative, (4) Self Affirmation atau meyakini diri sendiri bahwa kita menarik, (5) Patner Appoval atau dorongan yang menyenangkan dari pasangan yan terakhir untuk mendapat pengakuan dari kelompok (Shapiro, 1998). Namun menurut Carole dkk (2002) setiap manusia mempunyai motif berbeda dalam mengatasi hubungan seksual nya. Motif yang mendasari orang untuk melakukan hubungan seks mempengaruhi berbagai aspek perilaku seksual mereka termasuk apakah mereka mau menikmati hubungan seks, bagaimana cara mereka memilih seks sebagai sesuatu yang aman atau beresiko (Browning, dkk, 2000). Aktivitas seksual melibatkan elemen fisik, psikologis, sosial dan estetik. Faktor ketidakpuasan merupakan penyebab yang paling sering muncul. Universitas Sumatera Utara 2.4.7 Kendala External Hubungan Seksual a. Komunikasi dalam seksual Kelancaran dan kenyamanan dalam kehidupan hubungan seksual, bagaimanapun juga, tergantung pada dua orang yaitu pria dan pasangan nya. Karena setiap individu mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda persepsi mengenai seksual, keadaan fisik dan kesehatan secara perasaan dan kesenangan berbeda. Kehidupan seksual yang sehat di tandai oleh hubungan seksual yang lancar dan tidak bermasalah. Sikap saling menghargai serta mengekspresikan perhatian dan rasa sayang berdampak positip kesediaan untuk pada pasangan seksual. Ekspresi kepedulian bisa disampaikan melalui kata manis, pujian, juga sikap tertentu misalnya memandang, memeluk, dan mencium. Dengan demikian masing masing pasangan merasa pasangan yakin bahwa ia diperhatikan. b. Kemarahan Kemarahan adalah emosi umum yang terjadi dan merupakan penyebab utama dari ketidak bahagiaan. Kemarahan dimulai dengan satu persepsi yang keliru dan berkaitan dengan usaha untuk membuat nya menjadi benar. Persepsi, tentu saja sangat bersifat pribadi dan bisa dianggap aneh dari sudut pandang orang lain pada situasi yang sama. Kemarahan membatasi pikiran yang jernih dan mendorong timbulnya tindakan impulsif, yang seringkali pada akhir nya menjadi sebuah penyesalan. c. Kelelahan Kelelahan atau letih bisa bersifat fisik atau mental. Kelelahan fisik yang sejati disebabkan adanya tumukan produk hasil pembakaran dan produk metabolism pada Universitas Sumatera Utara otot. Istirahat sejenak memberikan waktu agar otot kembali mendapat aliran darah yang normal untuk mengalirkan semua metabolit hasil pembakaran. Kelelahan mental tidak ada hubungan nya dengan pendayagunaan energy yang berlebihan . Kelelahan ini adalah akibat kebosanan, konsentrasi yang telalu lama pada satu tugas saja, ansietas, kebosanan, frustasi, ketakutan, atau hanya keengganan untuk melakukan pekerjaan tertentu d. Depresi 2.4.8 Penurunan Libido Gilly Adrew (2010) mengatakan penurunan libido adalah hilangnya minat dan keinginan untuk merasakan seks. Terkadang hal ini menimbulkan frigid atau dingin. Ini merupakan keluhan umum bagi banyak wanita. Masalah penurunan libido primer dapat terjadi akibat kesulitan yang dialami selama maturasi seksual awal, misalnya penganiayaan seksual pada masa anak-anak atau perkosaan. Masalah penurunan libido sekunder muncul lebih sering dan cenderung dikaitkan dengan peristiwa hidup yang baru terjadi atau peristiwa masa lalu yang memengaruhi emosi atau fisik. 2.4.9 Disfungsi Seksual Teori penyebab disfungsi seksual berpusat pada pengaruh masa kecil yang belajar tentang seks, sikap dan kepercayaan yang problematik, penyebab biologis seperti efek penyakit dan pengobatan, faktor psikodinamik individu, dan masalah hubungan dengan orang lain. Universitas Sumatera Utara Dorongan seks ditentukan oleh kombinasi faktor fisik dan psikologis, tetapi kondisi fisik tertentu dapat menurunkan dorongan seksual. Sakit fisik yang kronis juga dapat menekan dorongan seks Keith (1985), rendahnya dorongan seks dapat disebabkan oleh efek peyakit tersebut, efek pengobatan pada hormon seks atau akibat dari stress, sakit, dan depresi juga dapat mempengaruhi dorongan seksual. Penyebab psikologis lebih bervariasi dan kompleks, faktor situasional seperti perceraian, kematian keluarga, stress pekerjaan dapat menyebabkan menurun hasrat seksual. Tidak masuk akal untuk mengharapkan hubungan seksual yang menyenangkan antara pasangan yang saling membenci satu sama lain hanya mementingkan kepuasan pribadi saja tanpa mau memperhatikan pasangannya. Pada kasus perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga mereka tidak mempunyai motif terhadap kehidupan seksual nya. Pada perempuan umumnya melakukan hubungan seks yang di paksakan karena: (1) Tidak ingin kehilangan pasangan nya, (2) Hubungan seks merupakan sebuah kewajiban, (3) Pasangan mereka membuat mereka merasa bersalah, (4) Ingin memuaskan pasangan sehingga terhindar dari konflik (Carole, 2005). Carole Wade,(2005) juga mengatakan bahwa para perempuan yang merasa tidak aman dengan hubungan mereka kadang juga melakukan hubungan sex yang tidak diinginkan namuun dengan alasan yang berbeda : (1) Menambah pengalaman seksual, (2) Memuaskan rasa ingin tau, (3) Menyenangkan pasangan mereka, (4) Mempererat keintiman. Universitas Sumatera Utara Anton (2009) mengatakan kekerasan dan dominasi pria dapat membatasi kehidupan sex dan reproduksi wanita. Padahal Konfrensi Kependudukan di Kairo 1994 menjelaskan bahwa kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraaan fisik, mental dan social yang utuh tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berkaitan dengan system reproduksi dan fungsi serta prosesnya. Berarti seseorang harus mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman. Mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan bagaimana, bila mana dan seberapa sering mereka melakukan aktifitas seksual. Atmojo (2003) mengatakan memang tak bisa di pungkiri, kehidupan seksual bukanlah segalanya dalam institusi perkawinan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Elvi Handayani (2009) bahwa seks merupakan ekspresi cinta yang membentuk komunikasi indah antara suami dan istri yang harus dinikmati bersama sehingga memperkecil adanya kekerasan dalam rumah tangga. Sayangnya pernyataan itu belum terjadi pada semua perempuan di Indonesia. Sex masih dianggap tak pantas untuk dibicarakan. Kepuasan sex hanya milik pria dan wanita hanya sebagai obyek pemuas nafsu. Apabila perempuan bicara dan mulai menuntut hak nya untuk menikmati seks tersebut, mereka dianggap perempuan yang nakal dan tidak puas dan hal tersebut tidaklah pantas terjadi pada perempuan baik-baik. Masyarakat menganggap perempuan haruslah bersikap pasif, jarang memulai hubungan seks dan tidak menuntut terang–terangan pada laki-laki. Perempuan diharapkan menilai seksualitas nya hanya sebagai awal dari reproduksi, bukan Universitas Sumatera Utara dinikmati. Ia diharapkan menekan perasaan seksual atau menerima walaupun itu tidak menyenangkan. Banyak perempuan dididik untuk meyakini bahwa bangkitnya birahi tergantung pada pasangannya dan tidak boleh lebih agresif dibanding pria. Karena semata perempuan hanya sebagai boneka seks yang selalu siap melayani suaminya sebagai pelepas ketegangan seksual. Jadi agar pria tidak kecewa, wanita sering memalsuka orgasme untuk melindungi citra kejantanan suaminya (Derek, 1997) Derek juga mengatakan bahwa aktifitas seks yang sempurna hanya dicapai jika keduanya memiliki persamaan dengan aktifitas ini sehingga dibagi dan dikerjakan bersama dalam waktu yang disepakati bersama, bukan keinginan untuk satu orang saja. Sedangkan menurut Ira Pramasati (1997) memberikan penilaian bahwa perilaku seksual dipengaruhi oleh faktor psikis, fisik, dan pengalaman seksualnya. Kesalahan perempuan adalah ia memaksakan dirinya tidak menikmati aktifitas sexual dengan harapan mendapat imbalan cinta kasih yang tulus dari pendamping nya. 2.4.10 Dampak Seksual Perempuan yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga Siti Chandra (2009) juga mengatakan hubungan seks yang dipaksakan mengakibatkan : (1) Berkurang nya hasrat sexual, (2) Ketidak inginan seksual, (3) Gangguan rangsangan seksual, (4) Gangguan orgasme, (5) Vaginismus, (6) Hubungan seksual yang terasa sakit, (7) Masalah spesifik. Beliau juga mengatakan bahwa kendala eksternal hubungan seksual di sebabkan oleh Universitas Sumatera Utara komunikasi, kemarahan, kelelahan dan depresi. Hal ini diperkuat dengan klasifikasi disfungsi seksual pada perempuan berdasarkan ICD X. a. Gangguan Hasrat Seksual Gangguan hasrat seksual didefinisikan sebagai tidak adanya atau berkurangnya ketertarikan terhadap seks. Pada keadaan hubungan yang lama dan stabil, banyak perempuan menyatakan bahwa peranan motivasi dalam keinginan hubungan seksual membutuhkan keintiman dan respon seksual dari pasangan nya. Gangguan hasrat seksual ini dipengaruhi oleh 1. Faktor Biologis Adanya ketidak stabilan hormon yang mempengaruhi mood seorang perempuan. Estogen mempengaruhi hasrat dan rangsangan sentral .Kontribusi estrogen tampak dala karakter seks sekunder pada keinginan seksual perempuan. 2. Perasaan Keengganan dalam memberikan respon seksual merupakan cermin pihak perempuan terhadap hubungan seksual pada pria yang tak menarik baginya. Kurang nya hasrat seksual juga dapat disebabkan oleh kurang perhatian, kurang kelembutan maupun ekspresi cinta dari pasangan nya. 3. Motivasi Motivasi melakukan hubungan seksual antara lain untuk tujuan biologis, reproduksi dan kreasi. Tujuan bioogis berarti untuk memenuhi kebutuhan dasar seksual. Tujuan reproduksi berarti untuk mendapatkan keturunan, Sedangkan tujuan rekreasi merupakan pencarian kesenangan dalam hubungan seksual. Universitas Sumatera Utara Faktor motivasi merupakan semangat pada perempuan untuk melakukan atau tidak melakukan hubungan seksual. b. Gangguan Rangsangan Seksual Gangguan rangsangan seksual didefinisikan sebagai ketidak mampuan untuk mencapai atau mempertahankan hingga lengkap suatu aktifitas seksual. Pada perempuan ditandai adanya lubrikasi yang cukup kuat hingga terjadi pembesaran area erotis. Perempuan dengan gangguan rangsangan seksual tidak merasakan kenikmatan pada zona erotis tubuh. Atau hanya merasakan sedikit namun tak bisa di tingkatkan atau di pertahankan. Gangguan rangsangan seksual ditandai dengan : (1) Berkurangnya atau ketidak adaan rangsangan pada genital dan klitoris yang bersifat berulang atau menetap, (2) Rangsangan genital secara fisik tidak diikuti satu atau lebih ciri orgasmus, (3) Rangsangan genital tidak berpengaruh terhadap hasrat seks, (4) Penyebab rangsangan seksual berulang dan menetap tidak dapat diidentifikasikan. Penyebab umum dari gangguan seksual misalnya stress yang berkepanjangan, kondisi ekonomi, ibu hamil dan menyusui serta menopause, proses pembedahan pelvic, efek samping dari mengkonsumsi obat obatan. c. Gangguan Orgasmus Orgasmus adalah sensasi puncak nikmat yang intens dan berlangsung cepat sesuai dengan berjalan nya waktu. Orgasmus pada perempuan merupakan suatu sensasi puncak kenikmatan yang intens, yang di ciptakan oleh suatu keadaan perubahan kesadaran yang tidak dapat dikendalikan yang ditandai perubahan fisik Universitas Sumatera Utara pada organ seks nya. Gangguan orgasmus ini dibagi atas: (1) Primer yaitu orgasmus belum pernah dicapai, (2) Sekunder yaitu orgasmus yang pernah dicapai pada masa lalu, (3) Situasional yaitu orgasmus tidak dimungkinkan pada semua situasi, d. Gangguan Nyeri Seksual 1. Dyspareunia adalah nyeri didaerah genital yang hubungan nya dengan aktivitas seksual sebelum, sesaat dan setelah berhubungan. Dyspareunia dapat digambarkan sebagai ketidak tertarikan, ketidakpuasan terhadap hubungan sesk yang mengakibatkan sakit mulai dari pintu vagina sampai kedalamnya. Penyebab nya selain ada kelainan fisik, penyakit infeksi menular seksual dan adanya gangguan traumatic secara psikis. 2. Vaginismus yaitu nyeri pada vagina karena spasma otot involunter sehingga menyebabkan kesulitan penis untuk penetrasi . Hal ini disebabkan karena adanya defisiensi estrogen, kesulitan pada fase rangsangan dan kurang nya lubrikasi yang disebabkan fore play yang kurang panjang. (Sri, 2008) Begitu besar pengaruh kekerasan rumah tangga terhadap psikis dan aktifitas seksual perempuan. Tentu saja ini bertentangan dengan konsep kesehatan reproduksi dan hak reproduksi untuk menuju tujuan reproduksi seseorang. kesehatan reproduksi sendiri berarti kesehatan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara utuh pda semua hal yang berhubungan dengan system dan fungsi, serta proses reproduksinya bukan hanya terbebas dari penyakitataupun kecacatan ICPD (dalam eny, 2012). Adapun hak reproduksi itu adalah : (1) Hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungankesehatan reproduksi, (2) Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan Universitas Sumatera Utara kesehatan reproduksi, (3) Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi, (4) Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan, (5) Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak, (6) Hak atas kebebasan dan keamanan yang berkitan dengan kehidupan reproduksinya, (7) Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual, (8) Hak untuk mendapat manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, (9) Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga, (10) Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga, (11) Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalm politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Universitas Sumatera Utara