BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kekerasan dalam Rumah Tangga

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kekerasan dalam Rumah Tangga
2.1.1. Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga
Beberapa istilah yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga, Wife
Abuse, Wife Bathering, Wife Beating, Spouse Abuse, Domestic Violance, Violance
Against Women. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) “KEKERASAN”
diartikan dengan perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik.
Dengan demikian kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik
yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau unsur yang perlu di perhatikan adalah
berupa paksaan atau ketidak relaan pihak yang dilukai. Sedangkan pengertian rumah
tangga tidak dapat ditemukan dalam deklarasi PBB, namun secara umum dapat
diketahui bahwa rumah tangga
merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat
yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan. Yang dijumpai adalah pengertian
“KELUARGA” yang tercantum dalam pasal 1 ke 30 UU No 8 Tahun 1981 tentang
KUHP yaitu : keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai
derajad tertentu atau hubungan perkawinan.
Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasaan terhadap Perempuan mengatakan
bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan
jenis kelamin (gender based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat
Universitas Sumatera Utara
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual,ataupun psikologis,
termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan
pribadi.
Pasal 2 menjelaskan kekerasan terhadap perempuan harus dipahami tak hanya
terbatas pada tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi di dalam
keluarga dan masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas
perempuan kanak-kanak, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan
dan perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan, dan praktik
kekejaman tradisonal lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami
istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan,
penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja dalam
lembaga pendididkan dan sebagainya, perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa,
serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan di benarkan oleh negara dimanapun
terjadinya. (Rika,2009)
2.1.2 Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengatakan bahwa : setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman atau melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (1) Kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Universitas Sumatera Utara
Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar,
memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan
rokok, memukul, melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini
akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
(2) Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan
yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentarkomentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia
luar, mengancam atau, menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
(3) Kekerasan seksual meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan
batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri,
tidak memperhatikan kepuasan pihak istri. (4) Kekerasan ekonomi adalah setiap
orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan
menghabiskan uang istri (Moerti, 2010).
Cookfair (1996) mengungkapkan kekerasan terhadap perempuan terdiri dari
(1) Kekerasan fisik (Physical Abuse) merupakan kekerasan yang dilakukan berulangulang seperti mendorong, mendesak, menampar, menendang, menyerang, dengan
senjata, menahan, menolak, (2) Kekerasan emosional atau psikologis (Emotional
Universitas Sumatera Utara
Abuse) yang mungkin di dahului atau bersamaan dengan kekerasan fisik, seperti
mengancam,
atau
melukai
fisik,
mengisolasi
atau
cemburu,
merampas,
mengintimidasi, menghina dan terus mengkritik, (3) Kekerasan seksual (Sexual
Abuse) adalah pemaksaan seksual. Hasil penelitian Djannah dkk (2003)
menambahkan dari ketiga bentuk kekerasan yang diatas adalah bentuk kekerasan
ekonomi. Bentuk kekerasan ini seperti perilaku suami yang membatasi istri untuk
bekerja, untuk menghasilkan uang, dan atau membiarkan istri bekerja untuk di
eksploitasi atau menelantarkan keluarga dari tidak memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga. Jadi ekonomi ini dapat menimpa istri yang bekerja maupun yang menjadi
ibu rumah tangga.
2.1.3 Faktor yang Mendorong terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga
Quratul uyun (2002) mengatakan bahwa faktor budaya patriarki yang
mengganggap pria memiliki kekuasaan yang dominan mengakibatkan perasaan
inferior bagi perempuan. Nevid (1997) sendiri menambahkan bahwa kekerasan yang
terjadi menunjukan proses normalisasi strategi pria untuk menguasai wanita. Adapun
faktor yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap kan oleh
Moerti (2010); (1) Masalah keuangan, (2) Cemburu, (3) Masalah anak, (4) Masalah
mertua, (5) Masalah Saudara, (6) Masalah sopan santun, (7) Masalah masa lalu,
(8) Masalah salah paham, (9) Masalah tidak memasak, (10) Suami mau menang
sendiri
Universitas Sumatera Utara
Sedikit berbeda dengan Hakimi dkk (2011) faktor pemicu tindak kekerasan
justru terjadi karena hal yang sepele seperti tidak meyediakan makan yang tepat pada
waktunya, tidak mampu merawat anak dan rumah dengan baik, menolak suami
berhubungan seks, menanyakan pengeluaran ekonomi suami. Erni Sulastri (2003)
menambahkan perselingkuhan, penolakan hubungan sex serta lingkungan menjadi
faktor kekerasan dalam rumah tangga tersebut.
2.1.4 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Akibat dari kekerasan dapat mempengaruhi mental dan kesehatan fisik
perempuan. Hal tersebut di kemukakan juga oleh Nevid dkk (1997) bahwa kekerasan
terhadap istri menyebabkan depresi, harga diri rendah resiko luka fisik serta trauma
sampai menyebabkan kematian. Lips (1998) menyatakan bahwa perempuan yang
mengalami kekerasan dalam rumah tangga sering merasa menjadi orang yang tidak
mampu (powerlessness) dan tak berdaya (helpness). Erni Sulastri (2003) mengatakan
adanya rasa sakit bekas kekerasan fisik,
sakit juga terasa pada daerah vagina
perasaan cemas, takut tertekan dan kehilangan percaya diri hingga stress
Hasbianto (1996) mengatakan bahwa secara psikologis tindak kekerasan
terhadap istri mengakibatkan gangguan emosi, kecemasan dan depresi yang secara
konsekwensi logis dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya. Yang menarik
adalah gambaran diri perempuan sebagai korban kekerasan yang dianiaya secara
verbal seperti dengan mengatakan bahwa ia memiliki arti, tolol, dan semua label
lainnya, maka semakin perempuan melihat bahwa memang begitulah dirinya.
Universitas Sumatera Utara
Kekerasan yang terjadi pada perempuan bekerja selain berdampak pada
dirinya juga pada lingkungan sekitarnya. Perlakuan kejam yang dialami para korban
itu mengakibatkan timbulnya berbagai macam penderitaan seperti: (a). Jatuh sakit
akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit perut, (b) Menderita kecemasan, depresi,
dan sakit jiwa akut, (c) Berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku,
(d) Kemampuan menyelesaikan masalah rendah (e) kemungkinan keguguran dua kali
lebih tinggi bagi korban yang hamil, (f) bagi yang menyusui, ASI sering kali terhenti
akibat tekanan jiwa, (g) lebih berkemungkinan bertindak kejam terhadap anak, karena
tidak dapat menguasai diri akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tidak
menemukan jalan keluar (Erna, 2011)
Hayati (2000) berpendapat bahwa kekerasan yang dialami oleh istri
berdampak pada kesehatannya. Dampak kekerasan itu berupa kelainan fisik berupa
kecacatan bahkan yang paling tragis bisa menimbulkan kematian. Secara psikologis
berupa, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri , ketidakstabilan emosi serta
rasa ketergantungan
pada suami yang menyiksanya. Apabila ia memiliki anak
kemungkinan anak dibimbing dengan kekerasan, peluang berlaku kejam pada anak
akan semakin meningkat, anak dapat mengalami depresi, dan berpotensi untuk
melakukan kekerasan terhadap pasangan nya ketika ia sudah dewasa seperti yang
pernah dilihatnya. Bagi perempuan pekerja mempengaruhi kinerja nya di kantor,
lebih banyak membuang waktu untuk mencari bantuan, cerita kepada teman, psikolog
atau psikiater dan merasa takut kehilangan pekerjaan nya. Dan gangguan kesehatan
reproduksi seperti terjadi nya abortus, kehamilan yang tak diingin kan bahkan
Universitas Sumatera Utara
aktivitas seksual yang dingin. Dampak yang paling sering tidak nampak dan berbekas
berupa tekanan emosional dan gangguan aktifitas seksual (Kossek & Ozeki, 1998).
Fatahillah (2002) mengatakan bahwa ada beberapa hambatan penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga yaitu : (1) Persepsi masyarakat Indonesia terhadap
KDT menganggab bahwa itu adalah masalah pribadi, (2) Paradigma legalistik aparat
penegak hukum yang belum memberikan perlindungan penuh terhadap korban, (3)
Kekerasan fisik yang hanya jadi bukti akurat ada kekerasan dalam rumah tangga
menyebabkan kekerasan yang lain terabaikan.
2.2 Perempuan Bekerja
2.2.1. Definisi Perempuan Bekerja
Definisi perempuan bekerja menurut Encyclopedia Of Children’s Health,
adalah seorang
perempuan yang bekerja di luar rumah untuk mendapatkan
penghasilan disamping membesarkan dan mengurus anak dirumah dalam Lerner,
(2001), juga menyebutkan bahwa perempuan bekerja adalah perempuan yang
memiliki anak dari umur 0-18 tahun dan menjadi tenaga kerja. Menurut Ihromi
(1990), perempuan bekerja adalah perempuan yang sudah bersuami dalam kehidupan
atau kegiatan sehari-harinya bekerja di luar rumah mencari nafkah baik sebagai
pegawai negri ataupun yang bekerja swasta.
Hal ini juga di perkuat oleh Suryadi dalam Anoraga (2001) mengartikan
perempuan bekerja sebagai perempuan yang bekerja untuk menghasilkan uang atau
lebih cenderung pada pemanfaatan kemampuan jiwa atau karena adanya suatu
Universitas Sumatera Utara
peraturan sehingga memperoleh kemajuan dan perkembangan dalam pekerjaan,
jabatan, dan lain-lain
2.2.2 Faktor Penyebab Perempuan Menikah Bekerja
Motivasi untuk bekerja dengan mendapat penghasilan khususnya untuk
perempuan golongan menengah tidak lagi hanya untuk ikut memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga,
melainkan juga untuk menggunakan keterampilan dan
pengetahuan yang telah mereka peroleh serta untuk mengembangkan dan
mengaktulisasikan diri (Ihromi, 1990).
Pendapat ini di benarkan oleh Rini (2002) dengan mengatakan beberapa
faktor yang mendorong wanita bekerja di luar rumah, yaitu : (1) Kebutuhan financial,
faktor ekonomi umumnya menjadi alasan seorang wanita bekerja karena dengan
penghasilan yang diperoleh, dapat memenuhi kebutuhan seharihari, (2) Kebutuhan
sosial dan relasional, kebutuhan sosial-relasional merupakan kebutuhan akan
penerimaan sosial, identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja,
(3) Kebutuhan aktualisasi diri, bekerja merupakan salah satu jalan untuk
mengaktualisasikan diri
Maslow dalam Rini (2002) bahwa salah satu kebutuhan bagi manusia adalah
aktualisasi diri. Dengan bekerja, seseorang dapat bekerja, berkreasi, mencipta,
mengekspresikan diri, mengembangkan diri dengan orang lain, membagikan ilmu dan
pengalaman, menghasilkan sesuatu, mendapatkan penghargaan, penerimaan dan
prestasi.
Universitas Sumatera Utara
Seringkali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak,
membuat suami dan istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Kondisi tersebut membuat sang istri tidak punya pilihan lain kecuali ikut mencari
pekerjaan di luar rumah. Ada pula ibu-ibu yang tetap memilih untuk bekerja, karena
mempunyai kebutuhan sosial yang tinggi dan tempat kerja mereka sangat mencukupi
kebutuhan mereka tersebut. Dalam diri mereka tersimpan suatu kebutuhan akan
penerimaan sosial, akan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas
kerja. Bergaul dengan rekan-rekan di kantor, menjadi agenda yang lebih
menyenangkan dari pada tinggal di rumah.
2.2.3 Konflik Peran Ganda pada Perempuan Bekerja
Peran perempuan dalam kehidupan baik sebagai individu, istri, ibu maupun
anggota masyarakat sangat lah komplek. Konflik peran disini bermakna sebagai
gabungan dua atau lebih peran sehingga pemenuhan peran yang satu menghalangi
peran yang lain. Perempuan yang berperan sebagai ibu lebih banyak konflik dari pada
merek yang tidak memiliki anak. Hal ini disebabkan karena perempuan yang bekerja
sebagai ibu merasakan peran yang berlebih (Barnet, 1985).
Menurut Green House (dalam Irawati, 2008) mengatakan bahwa konflik peran
perempuan bekerja merupakam intercole konflik. Hal ini terjadi karena apabila dalam
keluarga dan pekerjaan membutuhkan perhatian yang sama dan saling dipenuhi,
namun pemenuhan salah satu peran menghasilkan kesulitan pda peran yang lain.
Reaksi emosional akan muncul biasanya disebabkan karena tidak dapat mengurus
anak dengan sempurna.
Universitas Sumatera Utara
Th Dewi (2001) mengatakan bahwa konflik peran itu perempuan seringkali
mengorbankan pekerjaan jika tuntutan keluarga semakin meningkat. Perempuan
masih berfikir bahwa sebuah kesuksesan bukan hanya ditandai dengan uang dan
prestise maka ia akan mundur dari pekerjaan demi keluarganya. Hal itu terjadi karena
perempuan tak mau dianggap bersalah bila harus dinilai mementingkan karir dari
pada keluarganya. Gejala merasa bersalah, gelisah, cemas, dan frustasi akan
menurunkan kesehatan fisik maupun mental ibu (Wiyarini, 1998).
Beberapa aspek yang menunjukan bahwa perempun bekerja mengalami
konflik peran ganda seperti yang diungkapkan Sembel (2003), apabila kemampuan
dalam mengendalikan perubahan dan merancang masa depan masih rendah,
kebebasan financial yang diimpikan belum tercapai, pengelolaan waktu yang masih
belum teratur, kesehatan fisik kurang diperhatikan, kecerdasan spiritual belum terasah
dan manajeman kendali diri belum baik.
Hal ini diperkuat oleh Fitri (2008) bahwa aspek yang memengaruhi konflik
peran ganda adalah : (1) Masalah kehadiran anak, (2) Keterlibatan dalam keluarga,
(3) Komunikasi dengan keluarga, (4) Mengelola waktu, (5) Penentuan prioritas, (6)
Keterlibatan kerja.
Sedangkan faktor yang memengaruhi konflik peran ganda dijelaskan oleh Rini
(2002) adalah; (1) Faktor internal yaitu perasaan ibu, (2) Faktor eksternal yaitu
dukungan suami, kehadiran anak dan masalah kerja.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Hubungan Kemandirian Perempuan Bekerja dengan Sikap terhadap
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Tina afiatin (1993) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pendidikan formal
tidak membawakan kesadaran beremansipasi karena wanita masih mengikuti
pembatasan yang diadakan oleh nilai dan norma masyarakat. Menurut Saraswati
(2000) terdapat suatu asumsi ketika perempuan menjadi mandiri secara ekonomi,
maka perempuan akan mendapatkan kekuasaan yang sama dengan laki-laki. Pendapat
tersebut didukung oleh Sulastri dan Retnowati (2003) yang melakukan studi
eksploratif di Indra Mayu hasilnya menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab
kekerasan suami terus berulang terhadap istri adalah karena istri tidak mempunyai
kemandirian ekonomi.
Perempuan yang mandiri secara ekonomi atau memiliki penghasilan sendiri
akan otonom, bebas mengeluarkan pendapat dan memberi kritikan. Kemandirian
yang di miliki istri akan mengarahkan sikap nya terhadap kekerasan yang di terima.
Artinya semakin istri mandiri maka semakin dia menolak tindakan kekerasan
terhadap diri nya (Arie, 2006).
2.3 Emosi
2.3.1. Definisi Emosi
Emosi termasuk gejala jiwa yang dimiliki oleh semua orang, hanya corak dan
tingkatnya tidak sama. Emosi berasal dari kata “emotus” atau “emovere” yang artinya
sesuatu hal yang mendorong terhadap sesuatu yang lain, yang mempengaruhi keadaan
reaksi psikologis dan fisiologis manusia seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan
Universitas Sumatera Utara
dan kecintaan (Depdikbud, 2001).
Pengertian emosi
menurut Goldeson (1970) adalah perasaan yang relatif
menetap dalam diri seseorang. Perasaan tersebut biasanya mengarahkan perilaku
seseorang dan perubahan fisiologik. Sementara itu, Prinz (2004) menjelaskan emosi
dalam tiga pengertian : (1) Emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi
tertentu, (2) Emosi adalah hasil proses persepsi terhadap situasi, (3) Hasil reaksi
kognitif (berpikir) terhadap situasi spesifik.
Definisi Emosi juga di utarakan oleh Goleman (1996) sebagai setiap kegiatan
atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu atau setiap kegiatan mental yang hebat atau
meluap-luap. Emosi merupakan tanggapan rasa sayang, marah, benci yang dialami
individu dan menyatakan bahwa ada emosi yang membawa rasa enak atau
menyenangkan, ada juga emosi yang menimbulkan rasa kurang menyenangkan.
Menurut Morgan (1996), emosi terjadi disebabkan dua hal yaitu terhalangnya
keinginan misalnya dapat menyebabkan marah dan tercapainya motivasi misalnya
menyebabkan kesenangan. Hal yang sama diungkapkan oleh Maramis (dalam
Sunaryo, 2004) emosi merupakan manifestasi perasaan atau afek yang keluar dan
disertai banyak komponen fisiologik, dan biasanya tidak lama. Masih dalam
pengertian yang sama Bimo Walgito (2004) emosi adalah suatu keadaan perasaan
yang telah melampaui batas sehingga untuk mengadakan hubungan dengan sekitarnya
mungkin terganggu.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu
keadaan yang bergejolak dalam diri individu yang mempengaruhi keadaan reaksi
Universitas Sumatera Utara
psikologis dan fisiologis dan kecenderungan untuk bertindak manusia.
2.3.2 Hubungan Emosi dengan Gejala Jasmani
Keadaan emosi seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilaku orang
tersebut. Keadaan emosi seseorang dapat dilihat dari ekspresinya. Setiap individu
senantiasa dalam keadaan bergaul, baik dengan sesamanya maupun dengan
lingkungan nya. Dalam situasi pergaulan sosial itu memungkinkan timbulnya
peristiwa emosi bagi setiap individu yang bersangkutan. Emosi normal akan
mempunyai nilai yang berfaedah bagi kesehatan jasmani dan tingkah laku sosial yang
pada umum nya disebabkan karena terlalu takut, emosi, cemas (Heri Purwanto, 1999).
Menurut Abu (2003) gejala emosi tidak berdiri sendiri, melainkan bersangkut
paut dengan gejala jiwa yang lain bahkan tak dapat dipisahkan. Adanya hubungan
antara emosi dengan gejala kejasmanian diantara para ahli tidaklah terdapat
perbedaan pendapat. Yang menjadi silang pendapat adalah mana yang menjadi sebab
dan akibatnya. Bimo (2004) menceritakan tiga teori emosi yaitu:
a. Teori L. Keeler
Pada teori ini menghubungkan antara emosi dan gejala fisik yang dialami
seseorang. Teori ini dikemukakan oleh L. Keeler yang mengatakan adanya
hubungan emosi dengan gejala gejala jasmani tidak terdapat perbedaan pendapat.
Yang menjadi silang pendapat adalah mana yang menjadi sebab dan akibatnya.
b. Teori James-Lange
Menurut teori ini emosi bergantung pada aktivitas otak atau sentral nya, reaksi
jasmani bukan merupakan dasar dari emosi. Teori ini dikenal dengan teori
pendekatan neurologis.
Universitas Sumatera Utara
c. Teori Schachter-Singer
Teori ini mengatakan bahwa emosi yang dialami sesorang merupakan hasil
interpertasi dari kondisi jasmani
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa emosi sangat berfungsi
dan mempengaruhi dalam kehidupan manusia. Pengaruh emosi lebih terasa apabila
manusia dihadapkan pada situasi lingkungan di sekitarnya. Fungsi dari emosi itu bisa
menjadikan pengendali perilaku tetapi kadang juga bisa jadi penguat perilaku. Akan
tetapi emosi juga bisa membuat individu lari dari kenyataan.
2.3.3 Pengelompokan Emosi
Menurut Carol Wade ada tiga elemen emosi yaitu:
a. Tubuh Manusia
Para psikolog memiliki pandangan berbeda-beda mengenai emosi primer atau
sekunder. Daftar emosi primer umumnya meliputi marah, takut, sedih, senang,
terkejut, jijik dan sebal. Emosi tersebut memiliki pola psikologis yang berbeda dan
menghasilkan ekspresi wajah yang berbeda. Situasi yang menimbulkan emosi
tersebut bersifat umum di seluruh dunia, dimanapun manusia berada, kesedihan akan
mengikuti persepsi kehilangan, rasa takut akan menghalangi persepsi ancaman atau
disakiti, rasa marah akan mengikuti persepsi penghinaan atau ketidakadilan.
Sebaliknya emosi sekunder meliputi semua variasi dan campuran berbagai emosi
yang bervariasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya serta berkembang
secara bertahap.
Universitas Sumatera Utara
b. Pikiran
Banyak fakta menunjukan bahwa berfikir dapat mempengaruhi emosi dan hal
tersebut sangat lah mengesankan. Saat seseorang berada dalam kondisi emosi yang
tidak menyenangkan, mereka dapat mengunggunakan perasaan tersebut dan
menganalisa ulang situasi dan persepsi mereka terhadap situasi tersebut.Emosi bukan
lah faktor yang menghambat kemampuan berfikir kritis. Kegagalan berfikir kritislah
yang menciptakan emosi.
c. Budaya
Budaya sangat mempengaruhi semua aspek pengalaman emosi,termasuk jenis
emosi yang dikategorikan emosi primer. Budaya sangat mempengaruhi aturan
bagaimana seseorang mengekpresikan perasaan nya yang dalam taraf kewajaran.
d. Tambahannya adalah menggabungkan emosi dan gender
Pria dan perempuan memiliki kemampuan yang sama untuk merasakan semua
emosi mulai dari cinta, duka hingga marah. Kebanyakan pria terlihat lebih reaktif
secara psikologis terhadap konflik dibandingkan perempuan. Namun kedua jenis
kelamin ini terkadang memiliki perbedaaan persepsi yang menghasilkan emosi
Goleman (2002) mengemukakan bahwa emosi dasar individu terbagi atas
dua yaitu emosi dasar positif dan emosi dasar negatif. Emosi dasar positif merupakan
perasaan yang membawa kenyamanan atau kesenangan bagi individu seperti :
(1) Kenikmatan
didalamnya meliputi bahagia, gembira, puas, riang, senang
terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, terpesona, puas, rasa terpenuhi,
girang,
senang sekali, mania, (2) Cinta, didalamnya meliputi penerimaan, persahabatan,
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih sayang.
Sedangkan emosi dasar negative merupakan perasaan yang tidak menyenangkan
yang membawa ketidaknyamanan pada individu tersebut:
1) Marah
Yaitu reaksi emosional yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang
merangsang, termasuk ancaman, pengekangan diri, serangan, kekecewaan atau
frustasi dan dicirikan oleh reaksi yang kuat pada sistem saraf. Salah satu cara orang
melampiaskan marah adalah dengan katarsis. Marah juga dapat diekspresikan dalam
bentuk menyerang, melukai dan menghancurkan objek kemarahan. Ekspresi marah
ditandai dengan adanya ciri-ciri kulit wajah yang memerah, sudut mata yang
melebar, urat memerah dimata, kontraksi dan mengatupnya bibir, mengatupnya
rahang, tangan yang mengepal, suara dan lengan yang gemetaran, jantung berdebar
keras, dada terasa sesak, kepala seperti berdenyut, muka terasa panas, peredaran
darah cepat, dan sukar berbicara. Didalamnya meliputi brutal, mengamuk, marah
besar, jengkel, kesal hati, terganggu, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak
kekerasan.
2. Kesedihan
Merupakan suatu keadaan kemurungan, kesedihan, patah semangat yang
ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan dan pesimisme
menghadapi masa yang akan datang. Ekspresi sedih adalah menangis, apatis, tidak
semangat dalam hidup, sering bernafas panjang sebagai respon dari kesedihannya,
depresi dan bunuh diri. Di dalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram,
Universitas Sumatera Utara
melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi.
3. Takut
Rasa takut adalah suatu reaksi emosional yang kuat, mencakup perasaan
subjektif, penuh ketidaksenangan dan keinginan untuk melarikan diri atau
bersembunyi, disertai kegiatan penuh perhatian. Ketakutan ini merupakan satu reaksi
terhadap satu bahaya yang tengah dihadapi atau khawatir karena mengantisipasi satu
bahaya. Ekspresi rasa takut adalah menjerit, melarikan diri, menghindar, pucat dan
keringat, sembunyi, buang air dan muntah, lemas dan gemetar, nafas
memburu,
denyut jantung meningkat, air liur mengering, bulu roma ,berdiri, otot-otot menegang
dan bergetar . Didalamnya meliputi cemas, takut, khawatir, waswas, perasaan takut
sekali, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, gugup, panik, dan fobia.
4) Rasa Bersalah
Merupakan perasaan emosional yang berasosiasi dengan realisasi bahwa
seseorang telah melanggar peraturan sosial, moral atau etis dan susila. Rasa bersalah
diekspresikan lewat proyeksi atau isolasi diri, menderita dan tidak dapat
menyesuaikan diri, menebus kesalahan di depan umum, menggunakan apa yang
dirasakan, permintaan maaf, mengambil hati orang yang menyebabkan kita merasa
bersalah atau bunuh diri. Di dalamnya meliputi perasaan menyesal, tertekan atau
perasaan tersiksa.
5) Jijik atau Muak
Merupakan suatu sikap yang sangat menolak atau menentang, penuh sakit
hati serta ada keinginan yang kuat untuk menimbulkan derita pada objek yang tidak
Universitas Sumatera Utara
disukai. Ekspresi jijik atau muak yaitu bibir atas memonyong ke samping sedang
hidung mengerut sedikit, menutup cuping hidung atau meludahkan makanan, senyum
menyeringai atau isolasi dari masyarakat. Rasa jijik atau muak memunculkan pola
reaksi yang kaku, muntah, menghindari kontak dengan substansi yang menyebabkan
rasa jijik atau muak, sulit untuk menyenangi atau menghargai apa yang orang lain,
secara individu atau normatif dalam budaya atau sub budaya lain, adalah
menyenangkan atau berharga. Emosi jijik atau muak menghalangi hubungan sosial,
keinginan seksual dan kesenangan lain, dan dapat mendorong untuk menghindari
sekumpulan situasi pengalaman-pengalaman yang tidak menjijikkan/memuakkan
bagi orang lain. Didalamnya meliputi hina, benci, mual, tidak suka, dan
mau
muntah.
6) Malu
Merupakan suatu kondisi kegelisahan, tidak menyenangkan dan terhambat,
disebabkan oleh kehadiran orang lain. Rasa malu diekspresikan dengan bersembunyi,
menghindari orang yang membuat kita merasa malu, menyembunyikan kebenaran,
bunuh diri, mengucilkan diri dari hubungan sosial, sulit menjalin persahabatan atau
bertemu dengan orang lain yang baru dikenal, sulit mengatakan perasaan, tidak
berani memprotes pandangan orang lain yang salah mengenai dirinya, enggan
memperlihatkan kemampuannya, menunduk dan terlalu kaku. Didalamnya meliputi
malu hati, hina, aib, dan hati hancur lebur.
Menurut Johana (2006) hanya pada emosi malu terlihat perbedaan penilaian
antara perempuan dan laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
2.3.4. Pengertian Kestabilan Emosi
Menurut Najati (2000) bahwa kestabilan emosi adalah tidak berlebih-lebihan
dalam pengungkapan emosi,karena emosi yang diungkapkan secara berlebih-lebihan
bisa membahayakan kesehatan fisik dan psikis manusia. Hurlock (1980) berpendapat
bahwa kestabilan emosi memiliki beberapa kriteria-kriteria yaitu : (1) Emosi yang
secara sosial dapat diterima oleh lingkungan sosial. Individu yang emosinya stabil
dapat mengontrol ekspresi emosi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial atau dapat
melepaskan dirinya dari belenggu energi mental maupun fisik yang selama ini
terpendam dengan cara
yang
dapat
diterima oleh
lingkungan
sosialnya,
(2) Pemahaman diri, individu yang punya mosi stabil mampu belajar mengetahui
besarnya kontrol yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya, serta
menyesuaikan diri dengan harapan-harapan sosial, bersikap empati yang tinggi
terhadap orang lain, (3)
Penggunaaan kecermatan mental. Individu yang stabil
emosinya mampu menilai situasi secara cermat sebelum memberikan responnya
secara emosional. Kemudian individu tersebut mengetahui cara yang tepat untuk
bereaksi terhadap situasi tersebut.
2.3.5 Faktor- Faktor yang Memengaruhi Kestabilan Emosi
Menurut Hurlock (1995) faktor yang memengaruhi kestabilan emosi adalah:
a. Fisik
Kalau seseorang dalam kondisi sehat secara jasmani maka akan cenderung
untuk tidak mudah marah dan cepat tersinggung. Individu akan merasa nyaman dan
tentram dalam kondisi jasmaniahnya yang sehat. Tapi individu menjadi cepat marah
Universitas Sumatera Utara
dan cepat tersinggung bila ada salah satu angota badanya kurang sehat. secara medis.
Hal ini disebabkan karena ada sesuatu kekurangan yang dirasakan oleh individu, dan
hal ini membuat individu merasa tidak nyaman. Pada perempuan bekerja seperti yang
di jelaskan diatas, karena aktivitas yang tinggi di kantor menyebabkan kelelahan di
rumah.
b. Kondisi Lingkungan
Adalah kondisi lingkungan tempat individu berada. Lingkungan yang bisa
menerima kehadiran individu dan individu mudah diterima pada lingkungan tersebut
akan membuat individu mengalami kestabilan dalam emosi. Akan tetapi bila
lingkungan tidak bisa menerima kehadiran individu maka individu merasa tidak
dianggap oleh lingkungan dan hal ini menyebabkan individu merasa tidak berhargai
dan terhina. Lingkungan yang tidak nyaman karena selalu dengan kekerasan
membuat perempuan semakin tertekan.
c. Faktor Pengalaman
Melalui pengalaman individu bisa mengetahui bagaiman anggapan orang
lain tentang berbagai bentuk ungkapan emosi. Individu akan mempelajari bagaimana
cara mengungkapkan emosi yang bisa diterima oleh lingkungan sosial dan bagaimana
ungkapan emosi yang tidak diterima. Hal ini berkaitan dengan kondisi norma budaya
setempat. Individu harus bisa mampu mempelajari kondisi lingkungan tempat dia
berada. Antara satu daerah dengan daerah yang lain tidak sama adat istiadatnya.
Pengalaman dari hari ke hari atas kekerasan membuat emosi makin tidak stabil.
Universitas Sumatera Utara
2.3.6 Reaksi Emosional yang Umum Terjadi pada Saat Stress
a.
Ketakutan adalah reaksi emosional yang mengikut sertakan ketidaknyamanan
psikologis dan rangsangan fisik apabila kita merasa terancam
b.
Fobia adalah ketakutan yang insentif dan irasional yang dikaitkan dengan
kejadian dan situasi khusus.
c.
Ansietas adalah perasaan ketidaknyamanan yang tidak jelas atau samar-samar
yang seringkali melibatkan ancaman yang relative tidak jelasatau tidak spesifik.
d.
Kemarahan khususnya ketika seseorang menerima suatu keadaan sebagai
keadaan yang membahayakan atau frustasi.
2.3.7. Dampak Emosi pada Perempuan yang Mengalami Kekerasan Rumah
Tangga
Seperti yang di sebutkan diatas tadi bahwa fisik, lingkungan dan pengalaman
adalah mempengaruhi emosi perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah
tangga. Hal itu diperkuat dengan Johana (2006) bahwa perempuan profesional yang
bekerja mampu menangkap dan mengartikan dan menilai emosi dasar manusia seperti
jijik, marah, sedih, takut,senang dan terkejut, namun perempuan menilai rasa malu
lebih intens dari pada pria. Hampir semua emosi negatip mewakili perasaan yang
timbul akibat kekerasan yang dialami nya.
Emosi itu bercampur aduk sehingga
mengakibatkan ketidakstabilan emosi. Apabila ketidakstabilan emosi itu di biarkan
akan berujung pada kecemasan, stress, depresi bahkan tindakan ingin bunuh diri.
Universitas Sumatera Utara
A. Kecemasan
Kecemasan berkaitan dengan tidak pasti dan tidak berdaya, keadaan emosi ini
tidak mempunyai obyek yang spesifik. Kecemasan berbeda dengan rasa takut, yang
merupakan intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Perbedaan rasa takut dan
kecemasan, ketakutan adalah merasa gentar atau tidak berani terhadap objek (Kartini
Kartono, 1998). Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan
perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak
mengalami gangguan dalam realitas, kepribadian masih utuh namun perilaku masih
dalam batas normal (Dadang hawari, 2011).
1. Ciri Kepribadian Pencemas
Seseorang akan menderita gangguan cemas mana kala yang bersangkutan
tidak mampu mengatasi stressor psikososial yang dihadapinya. Tetapi orang-orang
tertentu meskipun tidak ada stressor psikososial, yang bersangkutan menunjukkan
kecemasan juga, yang ditandai dengan corak atau kepribadian pencemas, yaitu antara
lain : (1) Memandang masa depan dengan was-was, (2) Kurang percaya diri, gugup
apabila tampil dimuka umum, (3) Sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang
lain, (4) Tidak mudah mengalah, (5) Gerakan sering serba salah, (6) Sering kali
mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), Khawatir yang berlebihan terhadap
penyakit, (7) Mudah tersinggung, (8) Suka membesar-besarkan masalah yang kecil,
(9) Dalam mengambil keputusan, sering mengalami rasa bimbang dan ragu, (10) Bila
mengemukakan sesuatu atau bertanya sering kali berulang-ulang (11) Kalau sedang
emosi sering kali bertindak histeris (Dadang Hawari, 2011)
Universitas Sumatera Utara
2. Jenis Tingkat Kecemasan
Stuart (2007) mengidentifikasi ansietas (cemas) dalam 4 tingkatan, setiap
tingkatan memiliki karakteristik dalam persepsi yang
berbeda, tergantung
kemampuan individu yang ada dan dari dalam dan luarnya maupun dari
lingkungannya, tingkat kecemasan atau pun ansietas yaitu :
a. Cemas Ringan
:
cemas
yang
normal
menjadi
bagian
sehari-hari
dan
menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan
lahan persepsinya.
b. Cemas sedang
:
cemas yang memungkinkan sesorang untuk memusatkan pada
hal yang penting dan mengesampingkan yang tidak penting.
c. Cemas berat
:
cemas ini sangat mengurangi lahan persepsi individu
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan
spesifik dan tidak dapat berfikir pada hal yang lain. Semua
prilaku ditunjukkan untuk mengurangi tegangan individu
memerlukan banyak pengesahan untuk dapat memusatkan
pada suatu area lain.
d. Panik
:
Tingkat panik dari suatu ansietas berhubungan dengan
ketakutan dan mampu melakukan suatu walaupun dengan
pengarahan, panik mengakibatkan disorganisasi kepribadian,
dengan
panik
terjadi
peningkatan
aktivitas
motorik,
menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran
Universitas Sumatera Utara
yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan
kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama
dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian (Stuart &
Sundent, 2000).
Kecemasan dapat menyebabkan penurunan frekuensi, kekuatan, dan
ketertarikan dalam interaksi komunikasi pada individu sehingga individu memiliki
keengganan dalam berkomunikasi. Kecemasan yang tinggi menghindari situasi
komunikasi, namun saat individu didorong untuk berpartisipasi, individu tersbut akan
berkomunikasi sesedikit mungkin. Individu-individu yang mengalami kecemasan
yang tinggi akan merasa kurang puas dengan pekerjaan mereka, mungkin karena
mereka kurang berhasil dalam membangun hubungan–hubungan interpersonal.
Semua perilaku ini tidak mengartikan bahwa kecemasan terjadi pada orang yang tidak
bahagia. Kebanyakan individu yang cemas telah belajaratau dapat belajar untuk
menangani kecemasan berkomunikasi mereka.
Ciri-ciri kecemasan menurut DSM IV yaitu perasaan ketakutan, terganggu
konsentrasi, merasa tegang dan gelisah, antisipasi yang buruk, cepat marah dan resah,
merasakan ada tanda bahaya, jantung berdebar, berkeringat, mual atau pusing,
peningkatan frekwensi buang air besar, sesak nafas, ketegangan otot, sakit kepala dan
kelelahan serta insomnia.
Universitas Sumatera Utara
B. Stress
1. Definisi Stres
Stress adalah interaksi antara individu dan lingkungan yang ditandai oleh
ketegangan emosional dengan berpengaruh terhadap kondisi mental dan fisik
seseorang. Stress adalah sebagai ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan
respon di bawah suatu kondisi dimana kegagalan sejalan dengan tuntutan yang
mempunyai konsekuensi penting (Jefrey, 2003)
Menurut Dadang Hawari (2001) stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap
stressor psikososial. Secara umum Sunaryo (2004) stres adalah reaksi tubuh terhadap
situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan dan emosional. Stres juga
merupakan suatu kekuatan yang mendesak atau mencekam yang menimbulkan
ketegangan dalam diri seseorang. Di kuatkan oleh Zulfan (2012) bahwa stress
merupakan reaksi tubuh dan psikis terhadap tuntutan lingkungan kepada seseorang
2. Penggolongan Stress
Menurut Sri kusmiati (dalam Sunaryo,2004)dapat di golongkan:
a. Stress fisik, disebabkan oleh suhu atau temperatur yang terlalu tinggi atau terlalu
rendah, suara amat bising, sinar yang terlalu terang atau tersengat arus listrik.
b. Stress kimiawi, disebabkan oleh prose kimiawi, gas beracun, hormone, obatobatan.
c. Stress mikrobiologik, disebabkan virus, bakteri dan parasit.
d. Stress Psikis dan emosional disebabkan oleh gangguan interpersonal,sosial,
budaya dan agama.
Universitas Sumatera Utara
Selye (dalam Abdul, 2011) menggolongkan stres menjadi dua golongan ;
a.
Distress (stres negatif) Selye menyebutkan distress merupakan stres yang
merusak atau bersifat tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu
keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir atau
gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif,
menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.
b.
Eustress
(stres
positif)
Selye
menyebutkan
bahwa
eustress
bersifat
menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Hansaon (dalam
Rice, 1992) mengemukakan frase joy of stress untuk mengungkapkan hal-hal
yang bersifat positif yang timbul dari adanya stres. Eustress dapat mengakibatkan
kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi, dan performansi individu. Eustress juga
dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya
karya seni.
3. Faktor Predisposisi Stress
Berbagai jenis unsur mempengaruhi bagaiman seseorang individu merasakan
dan merespons suaty peristiwa yang menimbulkan stress. Faktor predisposisi ini
sangat berperan dalam menentukan apapun suatu respon adaptif atau maladaptif.
Jenis faktor predisposisi adalah genetik, pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini.
Pengaruh genetik adalah keadaan kehidupan seseorang yang memperoleh
keturunan. Pengalaman masa lalu adalah kejadian yang menghasilkan suatu pola
pembelajaran yang dapat mempengaruhi respon penyesuaian individu, termasuk
pengalaman sebelumnya terhadap tekanan stress tersebut atau tekanan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi saat ini yang meliputi faktor kerentanan yang mempengaruhi kesiapan fisik,
psikologis,
dan
sumber
sosial
individu
untuk
menghadapi
tuntutan
nya
(Ermawati,2010)
4. Penyebab Stress
Taylor (dalam Abdul, 2011) merinci beberapa karakteristik kejadian yang
berpotensi dan dinilai dapat menciptakan stress yaitu :
a. Kejadian negative agaknya lebih banyak menimbulkan stress dari pada kejadian
positip.
b. Kejadian yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi lebih membuat strss daripada
kejadian terkontrol dan terprediksi.
c. Manusia yang tugasnya melebihi kapasitas lebih mudah mengalami stress dari pada
orang yang lebih sedikit.
Sunaryo (2004) mengatakan faktor yang mempengaruhi stress: (a) Faktor
biologis:konsitusi tubuh, kondisi fisik, neurofisiologik dan neurohormonal, (b) faktor
psikoedukatif yaitu perkembangan kepribadian, pengalaman dan kondisi lain yang
mempengaruhi. Berbeda dengan Maramis (dalam Sunaryo,2004) sumber stress
psikologik adalah frustasi, konflik, tekanan dan krisis.
5. Kemampuan Individu Menahan Stress
Setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menahan stress.
Hal ini bergantung pada (1) sifat dan hakikat stress; yaitu intensitas, lamanya, lokal
dan umum,(2) Sifat Individu yang terkait proses adaptasi. Menurut Prof. Dadang
Universitas Sumatera Utara
Hawari (2001) bahwa stress apabila ditinjau dari tipe kepribadian individu dibedakan
menjadi dua macam yaitu :
1. Tipe yang rentan
Mempunyai ciri; ambisius, agresif, kompetitif yang kurang sehat, banyak jabatan
rangkap, emosional, terlalu percaya diri, self kontrol yang kuat, sifat kaku, terlalu
waspada, organisatoris, leader, workaholic, kurang rileks dan sering terburu-buru,
Kurang ramah dan sulit dipengaruhi, tak mudah bergaul
2. Tipe yang Kebal
Mempunyai ciri: ambisi nya wajar,berkompetisi secara sehat, tidak agresif, cara
bicara tenang, tidak memaksakan diri dalam menghadapi tantangan, mudah
bergaul dan ramah.
6. Gejala dan Tanda-Tanda Stress
a.
Fisik, yaitu mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otototot tegang, sakit kepala, gelisah, dan lain-lain.
b.
Perilaku yaitu perasaan bingung, cemas, sedih, jengkel, salah paham, tidak
berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, serta kehilangan semangat.
c.
Watak dan kepribadian yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan,
cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri, dan lain-lain.
d.
Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung, suasana hati mudah berubahubah, mudah menangis dan depresi, gugup.
e.
Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit
berkonsentrasi, suka melamun berlebihan.
Universitas Sumatera Utara
f.
Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, menutup diri secara
berlebihan (Cooper, 1995). Sering berkemih dan libido menurun ditambah kan
oleh Dadang hawari (2011).
7. Tahap-Tahap Stress
a.
Tahap peringatan : ada respon fisiologis yang rumit yang dialami adanya stresor,.
munculnya ketegangan otot, detak jantung meningkat.
b.
Tahap resistensi : tubuh menggunakan seluruh kemampuannya untuk melawan
reaksi stress.
c.
Tahap kelelahan : sumber daya habis, resistensi menurun. Penyakit atau kematian
datang.
C. Depresi
1. Definisi Depresi
Depresi adalah gangguan mental umum yang menyajikan dengan mood
depresi, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, tidur
terganggu atau nafsu makan, energi rendah, dan hilang konsentrasi. Masalah ini
dapat menjadi kronis atau berulang dan menyebabkan gangguan besar dalam
kemampuan individu untuk mengurus tanggung jawab sehari-harinya (WHO, 2011).
Episode depresi biasanya berlangsung selama 6 hingga 9 bulan, tetapi pada 15-20%
penderita bisa berlangsung selama 2 tahun atau lebih.
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
Universitas Sumatera Utara
pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan
tidak berdaya, serta bunuh diri. Depresi juga merupakan sebuah kondisi yang dapat
disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter
(noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP ( Kaplan, 2007). Hal
Ini diperkuat oleh Abdul Nasir (2011) Depresi adalah keadaaan emosional yang
ditandai kesedihan yang sangat, perasaan bersalah, menarik diri, kehilangan minat
tidur dan melakukan hubungan sex juga hal yang menyenangkan lainnya. Orang yang
mengalami depresi memiliki cirri: (a) Sulit berkonsentrasi, kata monoton, suara pelan,
(b) Memilih untuk sendirian dan berdiam diri, atau justru tak bisa diam, (c) Sulit
menemukan solusi permasalahan.
2. Penyebab Depresi
Dasar penyebab depresi yang pasti tidak diketahui, banyak usaha untuk
mengetahui penyebab dari gangguan ini. Menurut Kaplan, faktor-faktor yang
dihubungkan dengan penyebab depresi dapat dibagi atas: faktor biologi, faktor
genetik dan faktor psikososial. Dimana ketiga faktor tersebut juga dapat saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
a. Faktor Biologi
Faktor neurotransmiter: Dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin
merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan
mood. Norepinefrin hubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara
turunnya regulasi reseptor B-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis
memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti
Universitas Sumatera Utara
lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak
reseptor reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin
yang dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron
serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Dopamin juga sering
berhubungan dengan patofisiologi depresi. Faktor neurokimia lainnya seperti gamma
aminobutyric acid (GABA) dan neuroaktif peptida (vasopressin dan opiate endogen)
telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood,
b. Faktor Genetik
Data genetik menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan
gangguan mood adalah genetik. Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan
depresi berat pada anak, pada anak kembar monozigot adalah 50%, sedangkan dizigot
10-25% (Sadock & Sadock, 2010). Menurut penelitian Hickie et al., menunjukkan
penderita late onset depresi terjadi karena mutasi pada gene methylene
tetrahydrofolate reductase yang merupakan kofaktor yang terpenting dalam
biosintesis monoamin. Mutasi ini tidak bisa diketemukan pada penderita early onset
depresi .
c. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan dimana suatu pengamatan klinik
menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan
sering mendahului episode gangguan mood. Suatu teori menjelaskan bahwa stres
yang menyertai episode pertama akan menyebabkan perubahan fungsional
neurotransmitter dan sistem pemberi tanda intra neuronal yang akhirnya perubahan
Universitas Sumatera Utara
tersebut menyebabkan seseorang mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita
gangguan mood selanjutnya.
Faktor kepribadian premorbid menunjukkan tidak ada satu kepribadian atau
bentuk kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap depresi. Semua orang
dengan ciri kepribadian manapun dapat mengalami depresi, walaupun tipe
kepribadian seperti dependen, obsesi kompulsif, histironik mempunyai risiko yang
besar mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya.
Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik : Freud (1917) menyatakan suatu
hubungan antara kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa kemarahan
orang depresi diarahkan kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap
objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk
melepaskan diri terhadap objek yang hilang . Menurut penelitian Bibring mengatakan
depresi sebagai suatu efek yang dapat melakukan sesuatu terhadap agresi yang
diarahkan kedalam dirinya. Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak
hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan mengakibatkan mereka putus asa.
Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada depresi. Dia
mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada depresi yang disebut sebagai triad
kognitif, yaitu pandangan negatif terhadap masa depan, pandangan negatif terhadap
diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh, pemalas, tidak
berharga, dan pandangan negatif terhadap pengalaman hidup.
Universitas Sumatera Utara
3. Tanda dan Gejala Depresi
Pada penderita depresi dapat ditemukan berapa tanda dan gejala umum
menurut Diagnostic Manual Statistic IV (DSM-IV): Perubahan yang terjadi meliputi :
a.
Perubahan Pikiran : Merasa bingung, lambat dalam berfikir, penurunan konsentrasi
dan sulit mengungat informasi, sulit membuat keputusan dan selalu menghindar,
kurang percaya diri, merasa bersalah dan tidak mau dikritik,pada kasus berat
sering dijumpai adanya halusinasi ataupun delusi, adanya pikiran untuk bunuh diri.
b.
Perubahan Perasaan : Penurunan ketertarikan ddengan lawan jenis dan melakukan
hubungan suami istri,merasa bersalah, tak berdaya, tidak adanya perasaan,merasa
sedih, Sering menangis tanpa alasan yang jelas iritabilitas, marah, dan terkadang
agresif,
c.
Perubahan pada Kebiasaan Sehari-hari : Menjauhkan diri dari lingkungan sosial,
pekerjaanm menghindari membuat keputusan, menunda pekerjaan rumah,penurunan
aktivitas fisik dan latihan, penurunan perhatian terhadap diri sendiri,peningkatan
konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang (American Psychiatric Association,
2000)
D. Bunuh Diri
Gangguan mood sering di hubungkan dengan bunuh diri. Meski perempuan
cenderung untuk lebih banyak mencoba bunuh diri,sebenarnya banyak laki-laki
yang berhasil, mungkin karena mereka lebih memilih cara mematikan yang
mengerikan.Orang yang mencoba bunuh diri sering mengalami depresi namun masih
Universitas Sumatera Utara
kontak dengan realitas. Niat bunuh diri biasanya mengindikasikan bahwa individu
memahami sifat fisik dan konsekuensi dari tindakan merusak diri (Jefrey, 2003).
2.4. Aktivitas Seksual
2.4.1 Aktivitas
a. Pengertian Aktivitas
Dari segi biologis semua makhluk hidup mulai dari binatang sampai dengan
manusia, mempunyai aktivitas masing-masing. Manusia sebagai salah satu makhluk
hidup mempunyai bentangan kegiatan yang luas, sepanjang kegiatan yang
dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan, berbicara, bekerja, menulis, membaca,
berpikir dan seterusnya. Secara singkat aktivitas manusia tersebut dikelompokkan
menjadi 2 yaitu:
a)
Aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain misalnya: berjalan,
bernyanyi,tertawa dan sebagainya.
b) Aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar) misalnya berpikir,
berfantasi, bersikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. perilaku
dikatakan wajar apabila ada penyesuaian diri yang diselaraskan peran manusia
sebagai makhluk ndividu, sosial dan berketuhanan (Purwanto, 1999). Aktivitas atau
perbuatan manusia tidak terjadi secara sporadic (timbul dan hilang pada saat-saat
tertentu), tetapi selalu ada kelangsungan kontinuitas antara satu perbuatan dengan
Universitas Sumatera Utara
perbuatan berikutnya. Tiap-tiap perilaku selalu mengarah pada suatu tugas tertentu.
Keunikan perilaku berbeda dari yang lainnya. Jadi tiap-tiap manusia memiliki ciriciri, sifat-sifat tersendiri yang membedakan dari manusia lainnya. Pengalamanpengalaman masa lalu dan aspirasi-aspirasinya untuk masa yang akan datang
menentukan perilaku dimasa kini dan arena tiap orang mempunyai pengalaman dan
aspirasi yang berbeda-beda, maka perilaku di masa kini pun berbeda-beda
(Purwanto,1999).
b. Faktor- Faktor yang Memengaruhi Aktivitas
Menurut teori Abraham Maslow pembentukan perilaku manusia adalah akibat
kebutuhan dalam diri, seperti kebutuhan fisiologis, rasa aman, harga diri, sosial, dan
aktualisasi diri. Apabila usaha dalam memenuhi kebutuhan yang tercapai, maka orang
tak mengalami ketegangan dan mengarah pada kebahagiaan. Namun sebaliknya saat
usaha pemenuhan kebutuhan tidak tercapai akan membuat seseorang mengalami
frustasi terhadap unsure kebutuhan nya. Frustasi atau kekecewaaan yang
berkepanjangan dialami akan mempengaruhi emosi dan perilaku. (Namora,2010).
2.4.2. Seksual
a. Definisi Seksual
Seksual adalah rangsangan-rangsangan atau dorongan yang timbul berhubungan
dengan seks (Eny, 2012). Tiga elemen dimensi pribadi yang terkait seksualitas adalah
harga diri, kemampuan berkomunikasi dan kemampuan mengambil keputusan.
Seksualitas bukan semata-mata bagian intrinsik dari seseorang tetapi juga meluas sampai
berhubungan dengan orang lain. Keintiman dan kebersamaan fisik merupakan kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
sosial dan biologis sepanjang kehidupan. Kesehatan seksual telah didefinisikan sebagai
pengintegrasian aspek somatik, emosional, intelektual dan sosial dari kehidupan seksual,
dengan cara yang positif memperkaya dan meningkatkan kepribadian, komunikasi dan
cinta. Seks juga digunakan untuk memberi label jender, baik seseorang itu pria atau
wanita. Seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang mengkomunikasikan
perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang di lakukannya, seperti
sentuhan, ciuman, pelukan, senggama seksual dan melalui perilaku yang lebih halus
seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpelukan dan perbendaraan kata. Jadi Hubungan
seksual merupakan dalam keluarga merupakan puncak keharmonisan dan kebahagiaan,
oleh karena itulah kedua belah pihak harus menikmati nya ( Ida bagus, 2002).
b. Empat Aspek dalam Seksualitas
Tujuan dari seksualitas adalah prokreasi artinya meneruskan keturunan dan
rekreasi atau memperoleh kenikmatan biologis. Menurut Elffa (2010) ada empat
kerangka fikir Dixxon Muller terhadap aspek seksualitas ini yaitu :
1. Pasangan seksual terdiri dari ;
a. Jumlah pasangan sex, saat ini maupun dimasa lampau terikat atau tidak terikat
pernikahan.
b. Lama satu hubungan seks baik teikat atau tidak terikat perkawinan.
2. Tindakan Seksual terdiri dari ;
a. Naluri alamiah yaitu hubungan sesame atau berbeda jenis, penetrasi atau
tidak, oral atau anal
b. Frekwensi yaitu seberapa sering
Universitas Sumatera Utara
c. Latar belakang suatu hubungan yaitu terpaksa, sukarela atau suka sama suka
3. Makna seksual artinya perempuan tidak boleh lebih agresif dari laki-laki
4. Dorongan dan kenikmatan seksual: persepsi tentang kenikmatan seksual
Ditambahkan oleh Ayu (2011) bahwa hormone estrogen, progesterone dan
gonadotropin mempengaruhi seksualitas seseorang
2.4.3 Aktivitas Seksual
Sugeng (2010) mengatakan bahwa ada tiga faktor yang mengakibatkan disharmoni
pada kehidupan seksual suami istri yaitu hambatan komunikasi, kurang nya pengetahuan
seksualitas, gangguan fungsi seksual suami atau istri atau keduanya.Sehingga keadaan
tersebut berpengaruh pada aktivitas seksual pasangan tersebut.
Perilaku (aktivitas) seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh
hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentukbentuk aktivitas ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai
tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama.
Maramis (dalam Sunaryo, 2004) perilaku seks ini dapat menyesuaikan diri,
bukan saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga dengan kebutuhan individu
mengenai kebahagian, perwujudan diri sendiri atau peningkatan kemampuan individu
untukmengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik. Dikuatkan oleh Kartini
Kartono (1989) yang dimaksud perilaku seksual yang normal mengandung pengertian
sebagai berikut: (1) Hubungan seksual yang tidak menimbulkan efek-efek
merugikan,baik bagi diri sendiri maupun bagi patnernya, (2) Tidak menimbulkan
konflik psikis, tidak bersifat paksaan atau perkosaan.
Universitas Sumatera Utara
Perilaku seksual yang bertanggung jawab mengandung pengertian bahwa
kedua belah pihak menyadari akan konsekwensinya dan berani memikul tanggung
jawab terhadapnya,serta mewajibkan manusia melakukan seks melalui ikatan
perkawinan yang syah.
Siti Chandra (2009) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi aktifitas seksual yaitu(1) Genetika dan hormonal, (2) Pelajaran awal
dalam keluarga, (3) Keluarga dan teman, (4) Media massa, (5)
Pengalaman
kekerasan dalam rumah tangga, (6) Psikologis seperti depresi, ketakutan, (7) Penyakit
fisik, (8) Citra tubuh, (9) Proses menua, (10) Kehamilan dan menyusui
2.4.4. Senggama
Dalam bahasa Latin, senggama di sebut juga dengan Coitus. Senggama
merupakan ekspresi emosional dan fisik dari hubungan yang dilandasi dengan kasih
sayang. Pada awal perkawinan, senggama dilakukan satu atau beberapa kali sehari.
Namun dua tiga tahun pertama menjadi dua atau tiga kali seminggu hingga mencapai
usia 35 tahun. Mendekati setengah baya frekwensi senggama berkurang menjadi
sekali seminggu. Tapi kesemuanya itu bervariasi tergantung dari masing-masing
individu (Derek, 1997).
2.4.5 Orgasme pada Perempuan
Siti Chandra (2009) mengatakan dalam melakukan aktivitas seksual itu
perempuan akan mengalami orgasme bila ia ikut menikmati nya. Tahapan untuk
mencapai orgasme adalah:
1. Tahap gairah ; perempuan mulai merasakan keinginan untuk berhubungan seks
Universitas Sumatera Utara
2. Tahap Pendataran ; Ditandai dengan pelumasan vagina dalam 10-30 detik, 2/3
bagian dalam vagina membesar, uterus tertarik keatas, labia mayora menipis,
klitoris membengkak, putting susu tegak.
3. Tahapan Orgasme ; Ditandai dengan ketengangan seksual, ukuran vagina
mengecil 30%, klitoris mengalami ereksi secara meningkat, warna labia
bertambah pekat, areola makin membengkak, ukuran payudara meningkat 2030% bagi yang belum memiliki anak, tapi bila sudah memiliki anak tidak ada
peningkatan lagi, detak jantung meningkat, adanya suatu tanda peningkatan dalam
besarnya tegangan seksual pada paha dan pantat, dan wanita secara penuh siap
untuk melakukan hubungan seksual.
4. Tahap Resolusi; Ditandai dengan vagina kembali ke kondisi normal, klitoris dan
puting susu menjadi begitu sensitif, gelora sex menghilang, banyaknya peluh dan
nafas sesak, jantung berdebar lebih kencang. Jika orgasme tak terjadi wanita
tidak beraksi sama sekali
Menurut penelitian yang dilakukan sejauh ini, rata-rata waktu untuk klimaks
bagi seorang wanita bervariasi, namun berkisar antara 12-25 menit. Namun, sebanyak
60-70 persen wanita normal banyak yang tidak dapat mencapai orgasme melalui
penetrasi semata. Meski demikian, penting untuk diketahui bahwa para wanita masih
menikmati penetrasi. Menurut artikel yang pernah terbit di The Journal of Sexual
Medicine, dari 33 sex theraphist asal Amerika Serikat dan Kanada pada 2008, durasi
normal bercinta bukanlah semalam suntuk, namun antara 7 hingga 13 menit, angka
ini di luar aktivitas foreplay. Penelitian yang dilakukan secara acak pada pria dan
Universitas Sumatera Utara
wanita ini juga mengungkap bahwa penetrasi kurang dari 7 menit dianggap terlalu
cepat, sedangkan di atas 13 menit dianggap terlalu lama.Walaupun begitu, menurut
dr. Eric Corty, salah seorang seksolog yang terlibat dalam penelitian tersebut, angkaangka dalam penelitian itu bukanlah hitungan baku. Hal itu tergantung pada pasangan
masing-masing. Bisa saja angkanya berubah. Yang jelas, “kebutuhan setiap orang
akan durasi di tempat tidur berbeda pada setiap orang,”jelas dr.Eric. Penelitian itu
juga bertujuan untuk menenangkan pasangan yang masih memiliki anggapan bahwa
hubungan seks yang sehat adalah yang dapat bertahan lama. Anggapan semacam itu
hanya akan berujung pada kekecewaandan ketidakpuasan.
Menurut seksolog Prof.Dr. dr. Alex Pangkahila,M.Sc,Sp.And, durasi seks
normal di Indonesia tidak jauh dari penelitian yang dilakukan dr.Eric. “Mulai dari
permulaan hingga orgasme sekitar 30 hingga 45 menit dengan variasi masa penetrasi
yang berbeda,”ungkap dr.Alex.
Durasi seks wanita hingga mencapai ‘puncak’ berbeda-beda. Hal itu
tergantung pada banyak hal, seperti konteks, mood, psikis, fisik, faktor sosiokultural,
lingkungan, dan berbagai faktor lain. Menurut dr. Alex, dalam hubungan seks yang
terpenting bukanlah durasi, melainkan kualitas dari aktivitas seksual tersebut bagi
kedua pihak. “Intinya, bagaimana pria dan wanita sama-sama bisa mencapai puncak,”
jelas dr. Alex.
2.4.6. Motivasi Seksual
Seorang perempuan memilih untuk menerima rangsangan seksual harus
dibarengi dengan faktor kedekatan emosional. Faktor biologis dan psikologis ini
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi
pikiran
terhadap
rangsangan
sehingga
menimbulkan
minat
melakukan aktifitas seksual.
Penelitian Psikologi telah berhasil menghilangkan pemahaman yang tidak
masuk akal bahwa perempuan ‘baik-baik ‘ tidak boleh mengalami orgasme. (Carole
wade dkk, 2002). Saat itu kebanyakan orang meyakini bahwa perempuan tidak
memiliki motivasi seksual yang setara dengan laki-laki.Karena perempuan lebih
memperdulikan afeksi dibandingkan kepuasan seksual. Sesungguhnya persepsi untuk
melakukan aktifitas sexual tersebut di control oleh otak. Adapun motif yang
mendasari hubungan seks adalah : (1) Enhancement yaitu kepuasan emosional dan
fisik, (2) Intimacy yaitu keintiman emosional, (3) Coping atau menghadapi emosi
negative, (4) Self Affirmation atau meyakini diri sendiri bahwa kita menarik,
(5) Patner Appoval atau dorongan yang menyenangkan dari pasangan yan terakhir
untuk mendapat pengakuan dari kelompok (Shapiro, 1998).
Namun menurut Carole dkk (2002) setiap manusia mempunyai motif berbeda
dalam mengatasi hubungan seksual nya.
Motif yang mendasari
orang untuk
melakukan hubungan seks mempengaruhi berbagai aspek perilaku seksual mereka
termasuk apakah mereka mau menikmati hubungan seks, bagaimana cara mereka
memilih seks sebagai sesuatu yang aman atau beresiko (Browning, dkk, 2000).
Aktivitas seksual melibatkan elemen fisik, psikologis, sosial dan estetik.
Faktor ketidakpuasan merupakan penyebab yang paling sering muncul.
Universitas Sumatera Utara
2.4.7 Kendala External Hubungan Seksual
a. Komunikasi dalam seksual
Kelancaran
dan
kenyamanan
dalam
kehidupan
hubungan
seksual,
bagaimanapun juga, tergantung pada dua orang yaitu pria dan pasangan nya. Karena
setiap individu mempunyai latar belakang
kehidupan
yang berbeda persepsi
mengenai seksual, keadaan fisik dan kesehatan secara perasaan dan kesenangan
berbeda. Kehidupan seksual yang sehat di tandai oleh hubungan seksual yang lancar
dan
tidak
bermasalah.
Sikap
saling
menghargai
serta
mengekspresikan perhatian dan rasa sayang berdampak positip
kesediaan
untuk
pada pasangan
seksual. Ekspresi kepedulian bisa disampaikan melalui kata manis, pujian, juga sikap
tertentu misalnya memandang, memeluk, dan mencium. Dengan demikian masing
masing pasangan merasa pasangan yakin bahwa ia diperhatikan.
b. Kemarahan
Kemarahan adalah emosi umum yang terjadi dan merupakan penyebab utama
dari ketidak bahagiaan. Kemarahan dimulai dengan satu persepsi yang keliru dan
berkaitan dengan usaha untuk membuat nya menjadi benar. Persepsi, tentu saja sangat
bersifat pribadi dan bisa dianggap aneh dari sudut pandang orang lain pada situasi
yang sama. Kemarahan membatasi pikiran yang jernih dan mendorong timbulnya
tindakan impulsif, yang seringkali pada akhir nya menjadi sebuah penyesalan.
c. Kelelahan
Kelelahan atau letih bisa bersifat fisik atau mental. Kelelahan fisik yang sejati
disebabkan adanya tumukan produk hasil pembakaran dan produk metabolism pada
Universitas Sumatera Utara
otot. Istirahat sejenak memberikan waktu agar otot kembali mendapat aliran darah
yang normal untuk mengalirkan semua metabolit hasil pembakaran. Kelelahan mental
tidak ada hubungan nya dengan pendayagunaan energy yang berlebihan . Kelelahan
ini adalah akibat kebosanan, konsentrasi yang telalu lama pada satu tugas saja,
ansietas, kebosanan, frustasi, ketakutan, atau hanya keengganan untuk melakukan
pekerjaan tertentu
d. Depresi
2.4.8 Penurunan Libido
Gilly Adrew (2010) mengatakan penurunan libido adalah hilangnya minat
dan keinginan untuk merasakan seks. Terkadang hal ini menimbulkan frigid atau
dingin. Ini merupakan
keluhan umum bagi banyak wanita. Masalah penurunan
libido primer dapat terjadi akibat kesulitan yang dialami selama maturasi seksual
awal, misalnya penganiayaan seksual pada masa anak-anak atau perkosaan. Masalah
penurunan libido sekunder muncul lebih sering dan cenderung dikaitkan dengan
peristiwa hidup yang baru terjadi atau peristiwa masa lalu yang memengaruhi emosi
atau fisik.
2.4.9 Disfungsi Seksual
Teori penyebab disfungsi seksual berpusat pada pengaruh masa kecil yang
belajar tentang seks, sikap dan kepercayaan yang problematik, penyebab biologis
seperti efek penyakit dan pengobatan, faktor psikodinamik individu, dan masalah
hubungan dengan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Dorongan seks ditentukan oleh kombinasi faktor fisik dan psikologis, tetapi
kondisi fisik tertentu dapat menurunkan dorongan seksual. Sakit fisik yang kronis
juga dapat menekan dorongan seks Keith (1985), rendahnya dorongan seks dapat
disebabkan oleh efek peyakit tersebut, efek pengobatan pada hormon seks atau akibat
dari stress, sakit, dan depresi juga dapat mempengaruhi dorongan seksual.
Penyebab psikologis lebih bervariasi dan kompleks, faktor situasional seperti
perceraian, kematian keluarga, stress pekerjaan dapat menyebabkan menurun hasrat
seksual. Tidak masuk akal untuk mengharapkan hubungan seksual yang
menyenangkan antara pasangan yang saling membenci satu sama lain hanya
mementingkan kepuasan pribadi saja tanpa mau memperhatikan pasangannya.
Pada kasus perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga
mereka tidak mempunyai motif terhadap kehidupan seksual nya. Pada perempuan
umumnya melakukan hubungan seks yang di paksakan karena: (1) Tidak ingin
kehilangan pasangan nya, (2) Hubungan seks merupakan sebuah kewajiban,
(3) Pasangan mereka membuat mereka merasa bersalah, (4) Ingin memuaskan
pasangan sehingga terhindar dari konflik (Carole, 2005).
Carole Wade,(2005) juga mengatakan bahwa para perempuan yang merasa
tidak aman dengan hubungan mereka kadang juga melakukan hubungan sex yang
tidak diinginkan namuun dengan alasan yang berbeda : (1) Menambah pengalaman
seksual, (2) Memuaskan rasa ingin tau, (3) Menyenangkan pasangan mereka,
(4) Mempererat keintiman.
Universitas Sumatera Utara
Anton (2009) mengatakan kekerasan dan dominasi pria dapat membatasi
kehidupan sex dan reproduksi wanita. Padahal Konfrensi Kependudukan di Kairo
1994 menjelaskan bahwa kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraaan fisik,
mental dan social yang utuh tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan,
dalam segala hal yang berkaitan dengan system reproduksi dan fungsi serta
prosesnya. Berarti seseorang harus mempunyai kehidupan seks yang memuaskan
dan aman. Mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk
menentukan bagaimana, bila mana dan seberapa sering mereka melakukan aktifitas
seksual.
Atmojo (2003) mengatakan memang tak bisa di pungkiri, kehidupan seksual
bukanlah segalanya dalam institusi perkawinan. Hal ini diperkuat dengan pendapat
Elvi Handayani (2009) bahwa seks merupakan ekspresi cinta yang membentuk
komunikasi indah antara suami dan istri yang harus dinikmati bersama sehingga
memperkecil adanya kekerasan dalam rumah tangga. Sayangnya
pernyataan itu
belum terjadi pada semua perempuan di Indonesia. Sex masih dianggap tak pantas
untuk dibicarakan. Kepuasan sex hanya milik pria dan wanita hanya sebagai obyek
pemuas nafsu. Apabila perempuan bicara dan mulai menuntut hak nya untuk
menikmati seks tersebut, mereka dianggap perempuan yang nakal dan tidak puas dan
hal tersebut tidaklah pantas terjadi pada perempuan baik-baik.
Masyarakat menganggap perempuan haruslah bersikap pasif, jarang memulai
hubungan seks dan tidak menuntut terang–terangan pada
laki-laki. Perempuan
diharapkan menilai seksualitas nya hanya sebagai awal dari reproduksi, bukan
Universitas Sumatera Utara
dinikmati. Ia diharapkan menekan perasaan seksual atau menerima walaupun itu tidak
menyenangkan. Banyak perempuan dididik untuk meyakini bahwa bangkitnya birahi
tergantung pada pasangannya dan tidak boleh lebih agresif dibanding pria. Karena
semata perempuan hanya sebagai boneka seks yang selalu siap melayani suaminya
sebagai pelepas ketegangan seksual. Jadi agar pria tidak kecewa, wanita sering
memalsuka orgasme untuk melindungi citra kejantanan suaminya (Derek, 1997)
Derek juga mengatakan bahwa aktifitas seks yang sempurna hanya dicapai
jika keduanya memiliki persamaan dengan aktifitas ini sehingga dibagi dan
dikerjakan bersama dalam waktu yang disepakati bersama, bukan keinginan untuk
satu orang saja. Sedangkan menurut Ira Pramasati (1997) memberikan penilaian
bahwa perilaku seksual dipengaruhi oleh faktor psikis, fisik, dan pengalaman
seksualnya. Kesalahan perempuan adalah ia memaksakan dirinya tidak menikmati
aktifitas sexual dengan harapan
mendapat imbalan cinta kasih yang tulus dari
pendamping nya.
2.4.10 Dampak Seksual Perempuan yang Mengalami Kekerasan dalam
Rumah Tangga
Siti Chandra
(2009) juga mengatakan
hubungan seks yang dipaksakan
mengakibatkan : (1) Berkurang nya hasrat sexual, (2) Ketidak inginan seksual, (3)
Gangguan
rangsangan
seksual,
(4)
Gangguan
orgasme,
(5)
Vaginismus,
(6) Hubungan seksual yang terasa sakit, (7) Masalah spesifik. Beliau juga
mengatakan bahwa kendala eksternal hubungan seksual di sebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
komunikasi, kemarahan, kelelahan dan depresi. Hal ini diperkuat dengan klasifikasi
disfungsi seksual pada perempuan berdasarkan ICD X.
a. Gangguan Hasrat Seksual
Gangguan
hasrat
seksual
didefinisikan
sebagai
tidak
adanya
atau
berkurangnya ketertarikan terhadap seks. Pada keadaan hubungan yang lama dan
stabil, banyak perempuan menyatakan bahwa peranan motivasi dalam keinginan
hubungan seksual membutuhkan keintiman dan respon seksual dari pasangan nya.
Gangguan hasrat seksual ini dipengaruhi oleh
1.
Faktor Biologis
Adanya ketidak stabilan hormon yang mempengaruhi mood seorang perempuan.
Estogen mempengaruhi hasrat dan rangsangan sentral .Kontribusi estrogen
tampak dala karakter seks sekunder pada keinginan seksual perempuan.
2.
Perasaan
Keengganan dalam memberikan respon seksual merupakan cermin pihak
perempuan terhadap hubungan seksual pada pria yang tak menarik baginya.
Kurang nya hasrat seksual juga dapat disebabkan oleh kurang perhatian, kurang
kelembutan maupun ekspresi cinta dari pasangan nya.
3.
Motivasi
Motivasi melakukan hubungan seksual antara lain untuk tujuan biologis,
reproduksi dan kreasi. Tujuan bioogis berarti untuk memenuhi kebutuhan dasar
seksual. Tujuan reproduksi berarti untuk mendapatkan keturunan, Sedangkan
tujuan rekreasi merupakan pencarian kesenangan dalam hubungan seksual.
Universitas Sumatera Utara
Faktor motivasi merupakan semangat pada perempuan untuk melakukan atau
tidak melakukan hubungan seksual.
b. Gangguan Rangsangan Seksual
Gangguan rangsangan seksual didefinisikan sebagai ketidak mampuan untuk
mencapai atau mempertahankan hingga lengkap suatu aktifitas seksual. Pada
perempuan ditandai adanya lubrikasi yang cukup kuat hingga terjadi pembesaran area
erotis. Perempuan dengan gangguan rangsangan seksual tidak merasakan kenikmatan
pada zona erotis tubuh. Atau hanya merasakan sedikit namun tak bisa di tingkatkan
atau di pertahankan.
Gangguan rangsangan seksual ditandai dengan : (1) Berkurangnya atau
ketidak adaan rangsangan pada genital dan klitoris yang bersifat berulang atau
menetap, (2) Rangsangan genital secara fisik tidak diikuti satu atau lebih ciri
orgasmus, (3) Rangsangan genital tidak berpengaruh terhadap hasrat seks,
(4) Penyebab rangsangan seksual berulang dan menetap tidak dapat diidentifikasikan.
Penyebab umum dari gangguan seksual misalnya stress yang berkepanjangan,
kondisi ekonomi, ibu hamil dan menyusui serta menopause, proses pembedahan
pelvic, efek samping dari mengkonsumsi obat obatan.
c. Gangguan Orgasmus
Orgasmus adalah sensasi puncak nikmat yang intens dan berlangsung cepat
sesuai dengan berjalan nya waktu. Orgasmus pada perempuan merupakan suatu
sensasi puncak kenikmatan yang intens, yang di ciptakan oleh suatu keadaan
perubahan kesadaran yang tidak dapat dikendalikan yang ditandai perubahan fisik
Universitas Sumatera Utara
pada organ seks nya. Gangguan orgasmus ini dibagi atas: (1) Primer yaitu orgasmus
belum pernah dicapai, (2) Sekunder yaitu orgasmus yang pernah dicapai pada masa
lalu, (3) Situasional yaitu orgasmus tidak dimungkinkan pada semua situasi,
d. Gangguan Nyeri Seksual
1. Dyspareunia adalah nyeri didaerah genital yang hubungan nya dengan aktivitas
seksual
sebelum,
sesaat
dan
setelah
berhubungan.
Dyspareunia
dapat
digambarkan sebagai ketidak tertarikan, ketidakpuasan terhadap hubungan sesk
yang mengakibatkan sakit mulai dari pintu vagina sampai kedalamnya. Penyebab
nya selain ada kelainan fisik, penyakit infeksi menular seksual dan adanya
gangguan traumatic secara psikis.
2. Vaginismus yaitu nyeri pada vagina karena spasma otot involunter sehingga
menyebabkan kesulitan penis untuk penetrasi . Hal ini disebabkan karena adanya
defisiensi estrogen, kesulitan pada fase rangsangan dan kurang nya lubrikasi yang
disebabkan fore play yang kurang panjang. (Sri, 2008)
Begitu besar pengaruh kekerasan rumah tangga terhadap psikis dan aktifitas
seksual perempuan. Tentu saja ini bertentangan dengan konsep kesehatan reproduksi
dan hak reproduksi untuk menuju tujuan reproduksi seseorang. kesehatan reproduksi
sendiri berarti kesehatan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara utuh pda semua
hal yang berhubungan dengan system dan fungsi, serta proses reproduksinya bukan
hanya terbebas dari penyakitataupun kecacatan ICPD (dalam eny, 2012). Adapun hak
reproduksi
itu
adalah
:
(1)
Hak
untuk
mendapatkan
pelayanan
dan
perlindungankesehatan reproduksi, (2) Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan reproduksi, (3) Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan
reproduksi, (4) Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan, (5) Hak untuk
menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak, (6) Hak atas kebebasan dan keamanan
yang berkitan dengan kehidupan reproduksinya, (7) Hak untuk bebas dari
penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan,
penyiksaan dan pelecehan seksual, (8) Hak untuk mendapat manfaat kemajuan ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, (9) Hak untuk membangun
dan merencanakan keluarga, (10) Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi
dalam kehidupan berkeluarga, (11) Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi
dalm politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Universitas Sumatera Utara
Download